Kisah Cinta
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
Kisah Cinta
No Result
View All Result

TERSENYUM DALAM KE SAKITAN

TERSENYUM DALAM KESAKITAN

SAME KADE by SAME KADE
February 4, 2025
in Penghianatan Cinta
Reading Time: 16 mins read

Daftar Isi

  • Bab 1: Cinta yang Terhalang
  • Bab 2: Dilema antara Kewajiban dan Cinta
  •  Bab 3: Cinta yang Terjual
  • Bab 4: Hati yang Terpisah
  • Bab 5: Kebebasan yang Tak Terbatas

Bab 1: Cinta yang Terhalang

Hujan turun dengan rintik-rintik yang semakin deras, menciptakan irama yang menenangkan di luar jendela. Di dalam sebuah kafe kecil di pinggir kota, seorang wanita duduk di sudut ruangan, menatap kosong ke luar jendela, seolah berharap dapat menembus kabut yang menyelimuti pandangannya. Namanya Liana, seorang perempuan berusia dua puluh lima tahun yang hidup di tengah kebingungan dan kepedihan. Ia tidak sedang merenung tentang cuaca, melainkan tentang sesuatu yang jauh lebih berat—tentang cinta yang terhalang.

Cinta itu, cinta yang seharusnya membawa kebahagiaan, kini hanya menjadi kenangan pahit yang menyakitkan. Liana mengenal cinta itu sejak lima tahun yang lalu, ketika ia bertemu dengan Arka, seorang pemuda yang datang dari dunia yang sangat berbeda dengan dunianya. Arka adalah sosok yang karismatik, penuh semangat, dan punya mimpi besar yang tidak terbatas oleh waktu dan ruang. Liana dan Arka bertemu di sebuah acara seminar tentang pengembangan diri, dan meskipun awalnya mereka hanya berbicara secara biasa, perasaan yang tumbuh di antara mereka sangat kuat dan cepat.

Arka adalah tipe orang yang membuat Liana merasa hidup dengan cara yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya. Ia mengajarkan Liana untuk melihat dunia dengan cara yang berbeda—untuk berani mengejar impian, untuk tidak takut mengambil risiko. Di sisi lain, Liana adalah sosok yang lebih tenang, introvert, dan cenderung mengikuti arus tanpa banyak mempertanyakan. Kehadiran Arka dalam hidupnya seperti sebuah cahaya yang memberi warna pada dunia yang sebelumnya terasa abu-abu.

Namun, cinta mereka tidak mudah. Ada banyak halangan yang datang, dan tidak semua dari mereka datang dari luar diri mereka. Liana tahu, bahwa ia datang dari keluarga yang sangat berbeda dengan keluarga Arka. Keluarga Liana sangat tradisional, dan mereka sudah punya rencana tersendiri untuk masa depannya. Orang tua Liana tidak pernah setuju dengan pilihannya untuk mengejar karier di bidang seni, apalagi jika itu berarti mengabaikan harapan mereka agar ia menikah dengan seseorang yang mereka pilihkan.

Sementara itu, Arka datang dari keluarga yang kaya raya, dengan standar kehidupan yang jauh lebih tinggi. Orang tuanya menginginkan agar ia menjalani hidup dengan jalur yang sudah ditentukan—menjadi seorang pengusaha sukses, mewarisi perusahaan keluarga, dan tentu saja menikah dengan wanita yang berasal dari latar belakang sosial yang sepadan. Arka sudah berusaha sekeras mungkin untuk meyakinkan keluarganya bahwa ia memiliki hak untuk memilih jalan hidupnya sendiri, tetapi tekanan dari orang tuanya semakin berat seiring berjalannya waktu.

Liana dan Arka pernah berbicara tentang masa depan mereka, tentang bagaimana mereka bisa mengatasi perbedaan ini. Namun, setiap percakapan berakhir dengan keraguan. Cinta mereka begitu besar, tetapi realitas dunia yang mereka hadapi terlalu keras untuk mereka terobos. Dalam hati Liana, ada rasa takut yang terus berkembang—takut bahwa cinta ini hanya akan membawa mereka pada kesedihan yang lebih dalam.

Hari itu, di kafe yang sama seperti biasa, Liana dan Arka duduk berhadapan. Ada keheningan yang panjang di antara mereka. Liana menggigit bibir bawahnya, mencoba mencari kata-kata yang tepat. Akhirnya, Arka membuka suara dengan nada yang lebih rendah dari biasanya.

“Liana, aku tahu ini berat untuk kita. Aku tahu betapa kerasnya tekanan yang kita terima, tapi aku tak bisa berhenti mencintaimu. Aku… aku ingin kita tetap bersama, apapun yang terjadi.”

Liana menatap wajah Arka, memandang mata yang penuh dengan keyakinan, namun juga kelelahan. Di sana, ada pergulatan batin yang tak bisa disembunyikan lagi. Meskipun ia ingin sekali berlari ke dalam pelukan Arka, ada sesuatu yang menghalangi dirinya. Ketika ia memikirkan orang tuanya, keluarganya yang sangat menginginkan ia menikah dengan pria yang sudah mereka pilihkan, ada rasa bersalah yang menggerogoti hati Liana.

“Aku juga mencintaimu, Arka,” jawab Liana dengan suara gemetar. “Tapi bagaimana dengan orang tua kita? Aku tak ingin membuat mereka kecewa. Aku tahu ini mungkin terdengar klise, tapi aku tak tahu harus bagaimana lagi.”

Arka terdiam, lalu menundukkan kepala. Ia mengerti apa yang dirasakan Liana. Di sisi lain, ia merasa sudah terlalu lama mengikuti apa yang diinginkan orang tuanya. Tetapi cinta mereka begitu besar, hingga ia tidak bisa begitu saja melepaskannya tanpa berjuang.

“Jika kita terus menghindari masalah ini, kita hanya akan semakin terjerat dalam kebimbangan,” kata Arka akhirnya. “Aku sudah memutuskan untuk berbicara dengan keluargaku, untuk mengutarakan keinginanku untuk hidup sesuai dengan pilihanku sendiri. Mungkin itu akan sulit, dan mereka akan marah, tapi aku tak bisa terus hidup dalam bayang-bayang ketakutan. Aku mencintaimu, Liana, dan aku ingin hidup bersama denganmu, meskipun segala halangan yang ada.”

Liana terdiam, hatinya berdebar kencang. Kata-kata Arka begitu tulus dan penuh harapan, namun Liana tahu bahwa keputusan yang mereka buat tidak hanya akan mempengaruhi hidup mereka, tetapi juga hidup orang-orang di sekitar mereka. Cinta mereka mungkin terlalu besar untuk dipendam, tetapi apakah mereka cukup kuat untuk menghadapi kenyataan yang tak bisa mereka hindari?*

Bab 2: Dilema antara Kewajiban dan Cinta

Hujan yang semula mereda kini kembali turun dengan deras, mengguyur kota yang tampaknya tidak pernah lelah. Liana duduk di meja kerjanya di kantor desain, menyelami layar komputer tanpa benar-benar fokus pada apa yang ia kerjakan. Pikirannya terbang jauh, jauh dari tumpukan desain dan deadline yang harus diselesaikan. Ia teringat percakapan dengan Arka beberapa hari lalu—percakapan yang membuat hatinya semakin bingung dan penuh dilema.

Sejak saat itu, Liana merasa seolah-olah ia terjebak di persimpangan jalan, di mana setiap langkah membawa risiko yang semakin besar. Di satu sisi, ada cinta yang mendalam terhadap Arka—pria yang selalu mendukungnya untuk menjadi diri sendiri, yang mengajarkan arti kebebasan dan mengikuti kata hati. Di sisi lain, ada kewajiban terhadap keluarganya—terutama orang tuanya yang selalu memiliki harapan besar untuk masa depannya. Orang tuanya tidak pernah berbicara langsung tentang siapa yang harus ia nikahi, tetapi lewat setiap ucapan dan harapan yang disampaikan, Liana bisa merasakan dengan jelas bahwa mereka menginginkan dia menikah dengan pria yang memiliki latar belakang yang stabil, terutama secara ekonomi. Mereka menginginkan Liana menikah dengan orang yang ‘sesuai’, yang bisa memberikan masa depan yang terjamin dan tidak membawa masalah bagi keluarga.

Liana tahu bahwa ia tidak bisa menyepelekan kewajiban tersebut. Ia bukanlah anak yang suka mengecewakan orang tuanya. Sejak kecil, ia dididik untuk menjadi pribadi yang bertanggung jawab, yang bisa diandalkan dalam segala hal. Orang tuanya telah mengorbankan banyak hal agar ia bisa mengenyam pendidikan yang baik, memberikan kehidupan yang layak, dan memastikan masa depan Liana terjamin. Dan meskipun Liana tahu mereka mencintainya, ia tidak bisa menutup mata bahwa mereka berharap ia bisa mengikuti jejak mereka—menjalani kehidupan yang teratur, menikah dengan pria yang memiliki status sosial dan finansial yang setara atau lebih tinggi.

Namun, di sisi lain, Arka telah menunjukkan bahwa hidup bisa lebih dari sekadar materi dan ekspektasi sosial. Cinta Arka adalah cinta yang membebaskan, yang tidak terikat oleh norma dan tradisi. Arka tidak memaksakan Liana untuk mengikuti jalannya, tetapi ia dengan tegas menyatakan bahwa ia ingin Liana ada di sampingnya, mengejar impian bersama. Dengan Arka, Liana merasa bebas untuk menjadi dirinya sendiri, tanpa harus terus-menerus memenuhi tuntutan yang ada. Tetapi di balik kebahagiaan itu, Liana merasa cemas. Cinta itu indah, tetapi cinta juga bisa melukai, apalagi jika itu bertentangan dengan segala yang telah ia bangun bersama keluarganya.

Hari itu, saat makan malam bersama orang tuanya, Liana merasakan beratnya pilihan yang ada. Ayahnya berbicara tentang prospek masa depan, tentang bagaimana ia bisa berkembang lebih cepat dalam karier jika ia bergabung dengan perusahaan yang sudah lama menjadi mitra kerja ayahnya. Sementara itu, ibunya mulai membuka pembicaraan tentang rencana pernikahan, berbicara tentang seorang pria dari keluarga terhormat yang sudah dikenalkan kepada mereka. Pria itu adalah seorang pengusaha muda yang memiliki banyak kesamaan dengan apa yang diinginkan orang tuanya untuk Liana—sosok yang ‘tepat’ menurut mereka.

Mendengar hal itu, Liana merasa seperti terjepit antara kewajibannya sebagai anak yang taat dan keinginannya untuk mengikuti suara hatinya. Ia tidak bisa memungkiri bahwa ia merasa terhormat dengan perhatian yang diberikan kepadanya, tetapi di sisi lain, ia juga merasa bahwa ia bukanlah orang yang cocok dengan pria yang dimaksud. Di matanya, pria itu adalah sosok yang baik, tetapi tidak bisa memberi kebebasan dan kebahagiaan seperti yang ia rasakan bersama Arka.

Setelah makan malam, Liana pergi ke balkon rumahnya, menatap langit yang gelap, mencoba menenangkan pikirannya. Suara detak jam di dalam rumah terasa begitu jelas, mengingatkannya pada waktu yang terus berjalan. Apa yang harus ia pilih? Apakah ia harus mengikuti jalan yang sudah digariskan oleh orang tuanya, dengan segala rasa hormat dan rasa terima kasih yang mendalam atas semua pengorbanan mereka? Ataukah ia akan memilih untuk mengejar kebahagiaan yang sejati, meski itu berarti menghadapi kemungkinan besar bahwa ia akan kehilangan dukungan dan harapan yang selama ini diberikan oleh keluarga?

Liana tahu, keputusan ini tidak hanya akan memengaruhi hidupnya, tetapi juga hidup orang-orang yang ia cintai. Ia memikirkan Arka, yang dengan penuh keyakinan berjuang untuk hidup sesuai dengan pilihannya sendiri, meskipun itu bertentangan dengan harapan orang tuanya. Arka tidak meminta Liana untuk memilih antara dirinya dan keluarganya, tetapi Liana bisa merasakan betapa besar perasaan Arka terhadapnya. Arka ingin ia bersama, tapi Arka juga ingin agar Liana tidak kehilangan jati dirinya demi sebuah hubungan yang mungkin saja berakhir dengan kegagalan.

Namun, dalam hati Liana, ada perasaan takut yang menggerogoti. Jika ia mengikuti kata hati dan memilih Arka, apakah ia akan merasa menyesal? Jika ia memilih untuk mengikuti kehendak orang tuanya, apakah itu berarti ia mengorbankan kebahagiaannya sendiri? Liana tidak bisa memutuskan. Rasanya, apapun yang ia pilih, ia akan kehilangan sesuatu yang sangat penting dalam hidupnya.

Di sisi lain, ia teringat akan perkataan Arka beberapa waktu lalu, saat mereka berdua duduk di tepi pantai, memandang matahari terbenam. “Cinta bukan tentang memilih satu jalan, Liana. Cinta adalah tentang perjalanan yang kita pilih bersama. Tidak peduli seberapa sulit jalan itu, jika kita bersama, kita akan menghadapinya.”

Liana menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. Ia tahu bahwa apa pun pilihannya nanti, ia harus siap dengan konsekuensinya. Cinta bukan hanya soal perasaan, tetapi juga soal komitmen dan keberanian untuk menghadapi segala tantangan yang datang.

Malam itu, Liana tidur dengan pikiran yang penuh. Di luar, hujan masih turun, mengguyur kota dengan lembut. Tapi dalam hatinya, badai itu terus bergemuruh, menuntut jawaban yang belum siap ia berikan.*

 Bab 3: Cinta yang Terjual

Liana duduk diam di ruang tamu rumahnya, matanya kosong menatap layar ponsel yang tergeletak di depannya. Di sana, sebuah pesan masuk dari Arka, yang membuat perasaan campur aduk muncul begitu saja. Satu kalimat singkat yang berbunyi, *”Aku sudah berbicara dengan orang tuaku.”* Namun, kalimat tersebut tidak membawa kebahagiaan seperti yang diharapkan. Justru, ada rasa khawatir yang semakin dalam, menambah beban berat di hatinya.

Liana menatap pesan itu lama sekali, mencoba mencerna kata-kata Arka yang seolah mempersiapkan dirinya untuk sebuah perubahan besar. Ia tahu, percakapan dengan orang tua Arka tidak akan mudah. Arka berasal dari keluarga yang sangat terhormat dan kaya raya—keluarga yang tidak bisa menerima begitu saja jika anak mereka memilih jalan yang tidak sesuai dengan harapan mereka. Namun, Arka sudah memutuskan untuk tetap berjuang, meskipun itu berarti mengorbankan kenyamanan dan status sosial yang telah ia miliki.

Sementara itu, Liana, meskipun memiliki cinta yang begitu mendalam untuk Arka, merasa dirinya semakin terjepit di antara dua dunia yang saling bertentangan. Keluarganya sudah sejak lama menyusun rencana masa depan untuknya. Mereka tidak pernah secara eksplisit memaksanya untuk menikah dengan seseorang yang mereka pilihkan, tetapi mereka selalu berbicara dengan cara yang mengarah pada satu tujuan: menikah dengan seorang pria dari keluarga yang memiliki kedudukan sosial yang sepadan. Orang tua Liana sudah mengenalkan calon suami yang “ideal” — seorang pengusaha muda yang sukses dan berasal dari latar belakang yang sesuai dengan keinginan mereka.

Pada awalnya, Liana merasa tidak nyaman dengan gagasan itu. Hatinya tak bisa dibohongi; ia masih mencintai Arka. Namun, seiring berjalannya waktu, rasa cemas mulai merasukinya. Mungkin, hidup bersama Arka memang memberikan kebahagiaan yang tulus, namun, apakah ia bisa terus menentang kehendak orang tuanya? Apakah ia siap melepaskan semua kenyamanan dan stabilitas yang sudah diberikan keluarga kepadanya hanya demi cinta yang belum tentu bisa bertahan?

Sore itu, Liana bertemu dengan calon suami yang telah diperkenalkan oleh orang tuanya—Aditya. Sosok yang tampaknya sempurna di mata orang tuanya, namun bagi Liana, Aditya hanyalah seorang pria yang terlalu terikat pada segala aturan sosial dan status. Liana merasa canggung, tidak bisa berbicara dengan bebas, tidak bisa menjadi dirinya sendiri. Aditya berbicara banyak tentang pekerjaan, tentang proyek-proyek besar yang sedang ia jalani, dan bagaimana ia memimpikan sebuah keluarga yang solid dengan pasangan yang mendukungnya dalam segala hal. Namun, di balik semua pembicaraan itu, Liana hanya bisa merasakan kosong. Hatinya masih teringat pada Arka, pada pria yang pernah membuatnya merasa hidup.

Keesokan harinya, setelah pertemuan yang dipenuhi dengan ketegangan dan kebisuan, Liana memutuskan untuk menemui Arka. Ia ingin mendengar langsung bagaimana hasil pertemuan Arka dengan orang tuanya. Liana merasa, di balik semua keputusan dan pilihan yang ada, Arka adalah satu-satunya orang yang bisa membuatnya merasa nyaman dengan dirinya sendiri.

Di kafe kecil yang menjadi tempat biasa mereka bertemu, Liana melihat Arka sudah duduk menunggunya. Wajah Arka terlihat lebih serius dari biasanya. Matanya menatap kosong, seolah tak ada energi yang tersisa. Liana duduk di hadapannya, dan sejenak mereka hanya saling menatap tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

“Apa yang terjadi, Arka?” tanya Liana dengan suara lembut. “Apa yang mereka katakan?”

Arka menghela napas panjang. “Mereka tidak setuju, Liana. Aku sudah mencoba menjelaskan semua hal tentang kita, tentang apa yang kita miliki, tapi mereka tetap tidak menerima kita. Mereka sudah menjodohkan aku dengan seseorang yang mereka anggap lebih… sesuai.”

Liana merasakan dadanya sesak. Seakan-akan dunia yang selama ini ia kenal tiba-tiba runtuh di depannya. Arka tampak kecewa, namun ada tekad yang begitu kuat dalam dirinya. “Aku tahu ini sulit, tapi aku tidak bisa berpura-pura lagi, Liana. Aku mencintaimu, dan aku siap untuk melawan mereka. Aku tidak peduli dengan kekayaan atau status sosial. Tapi aku juga tidak bisa memaksa kamu untuk memilih. Jika kamu merasa tidak bisa mengikuti langkahku, aku akan mencoba untuk mengerti.”

Kata-kata Arka menghantam Liana dengan keras. Ia merasa seperti terpojok, seolah-olah pilihan yang ada hanya dua: mengikuti Arka, atau kembali ke jalur yang telah ditentukan oleh keluarganya. Arka bahkan sudah siap untuk melawan keluarganya demi cinta mereka. Namun, Liana tahu bahwa pilihannya akan membawa konsekuensi yang tak mudah. Arka bisa kehilangan semuanya, termasuk warisan dan kedudukan keluarganya. Sementara itu, Liana, meskipun ia ingin sekali bersama Arka, juga merasa sulit untuk meninggalkan kenyamanan yang telah ia kenal.

Liana memutuskan untuk berbicara dengan orang tuanya malam itu juga. Mereka mengajaknya ke sebuah restoran mewah, tempat di mana percakapan serius selalu berlangsung. Di sana, mereka kembali membahas tentang masa depannya, tentang pentingnya memilih pasangan yang tepat. Ayahnya berbicara tentang Aditya, yang dianggapnya sebagai pria yang berpotensi besar, seseorang yang bisa menjaga stabilitas keluarga dan masa depan Liana.

Malam itu, Liana merasakan perasaan yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Seakan seluruh hidupnya hanya tentang kepentingan keluarga, tentang apa yang bisa memberi mereka keuntungan dan kebahagiaan. Ia merasa dirinya hanyalah bagian dari rencana besar yang ditentukan oleh orang tuanya. Cinta yang ia rasakan kepada Arka terasa begitu jauh, seolah terjual begitu saja demi mempertahankan segala sesuatu yang diinginkan orang tuanya.

Ketika pulang ke rumah, Liana merasa lelah secara fisik dan mental. Ia duduk di samping jendela, menatap malam yang gelap. Di luar, kota tampak sepi, hanya sesekali terdengar suara kendaraan yang lewat. Namun, di dalam dirinya, badai perasaan itu terus bergemuruh. Ia merasa telah kehilangan sesuatu yang sangat berharga—sesuatu yang tidak bisa dibeli dengan kekayaan atau status sosial, tetapi dengan perasaan tulus dan keberanian untuk melawan dunia.

Malam itu, Liana tahu bahwa ia harus membuat keputusan yang besar. Namun, seiring berjalannya waktu, ia semakin sadar bahwa cinta yang sejati tidak bisa dipaksakan. Apakah ia akan tetap memegang teguh hatinya, atau apakah ia akan memilih jalur yang lebih mudah dan “terjamin”? Cinta yang terjual, atau cinta yang tetap ada meski tanpa jaminan—itu adalah pilihan yang harus dihadapinya.*

Bab 4: Hati yang Terpisah

Pagi itu, Liana berjalan perlahan di sepanjang trotoar yang sepi, melangkah dengan pikiran yang penuh kegelisahan. Hatinya seperti terbelah menjadi dua bagian yang tak pernah bisa bersatu—satu bagian yang ingin mengejar kebahagiaannya dengan Arka, dan satu lagi yang merasa terikat erat pada kewajiban, pada ekspektasi orang tua, pada kehidupan yang sudah digariskan untuknya. Setiap langkah yang ia ambil terasa berat, seperti berjalan di atas pasir yang lembut namun penuh jebakan. Tak ada yang bisa memutuskan dengan pasti apakah ia bergerak maju atau mundur.

Ia ingat betul malam itu, saat ia duduk bersama keluarganya di meja makan, mendengarkan ayahnya berbicara panjang lebar tentang “masa depan” yang harus dipersiapkan, tentang pentingnya memilih pasangan yang bisa memberikan “kestabilan hidup”. Mereka berbicara tentang Aditya, pria yang mereka pilihkan untuknya—pria yang sempurna di mata orang tuanya, tetapi tidak pernah bisa ia lihat sebagai pasangan hidupnya. Aditya adalah pria yang baik, tidak diragukan lagi, tetapi perasaan Liana tidak pernah bisa tertambat padanya. Di hatinya, ada Arka—pria yang jauh lebih berani, yang mencintainya tanpa melihat status sosial, yang bersedia melawan segala hal demi kebahagiaan mereka.

Liana berusaha keras untuk meyakinkan dirinya bahwa ia hanya perlu menerima kenyataan. Bahwa memilih Aditya adalah jalan yang lebih bijaksana, yang akan membuat orang tuanya bahagia, yang akan membawa kehidupan yang lebih stabil. Namun, di setiap malam sepi yang ia jalani, Arka selalu datang dalam mimpinya, selalu mengingatkan akan cinta yang belum usai. Setiap kali Liana menutup mata, wajah Arka muncul, dan dalam sekejap, segala keputusan yang telah ia buat terasa sia-sia.

Namun, setelah beberapa hari berpikir dan mencoba menenangkan hati, Liana memutuskan untuk bertemu dengan Arka. Ia tahu bahwa keputusan ini tidak bisa lagi ia tunda. Ia harus berbicara dengan Arka, mengungkapkan apa yang selama ini ia pendam, meskipun itu berarti menghadapinya dengan rasa sakit yang lebih besar. Arka harus tahu bahwa ia tidak bisa memilih di antara keduanya—kehidupannya dengan keluarganya atau kebahagiaannya bersama Arka.

Kafe tempat mereka biasa bertemu tampak seperti biasa—terdengar suara mesin kopi yang berdengung, cahaya lampu yang hangat, dan suasana yang seolah selalu memberikan ketenangan. Liana masuk dan melihat Arka duduk di sudut meja yang sudah mereka pilihkan, tampak lebih tenang daripada biasanya. Ketika Arka melihatnya, senyum tipis muncul di wajahnya, tetapi mata itu tidak bisa menyembunyikan kelelahan dan kerisauan yang sudah lama terpendam.

“Liana,” kata Arka lembut saat Liana duduk di hadapannya. “Apa yang kau putuskan?”

Liana menarik napas panjang. Setiap kata yang akan ia ucapkan terasa seperti beban yang terlalu berat untuk dipikul. “Arka…” suara Liana tercekat. “Aku… aku sudah membuat keputusan.”

Arka menatapnya dengan penuh harap, namun ada rasa khawatir yang terlihat jelas di matanya. Ia tidak mengganggu, hanya menunggu dengan sabar. Seperti biasa, ia memberi ruang untuk Liana berbicara, memberi kebebasan untuk memilih meskipun ia tahu betapa sulitnya itu. Liana merasa hatinya serasa terhimpit oleh kenyataan yang harus dihadapi.

“Aku… aku tidak bisa melanjutkan hubungan ini, Arka,” suara Liana hampir pecah. “Aku tidak bisa meninggalkan keluargaku. Aku tidak bisa mengecewakan mereka, aku tidak bisa…”

Arka menundukkan kepala, dan Liana bisa melihat napasnya yang berat. Sesuatu dalam dirinya yang tadinya begitu penuh harapan kini perlahan-lahan memudar. Meski ia sudah siap dengan kemungkinan ini, tetap saja rasanya seperti tersayat. Tak ada kata-kata yang bisa menggambarkan betapa dalamnya rasa sakit yang menyelimutinya.

“Jadi, kau memilih Aditya?” tanya Arka pelan, meskipun ia sudah bisa menebak jawabannya.

Liana tidak bisa menghindar lagi. Ia mengangguk pelan. “Aku harus memilih jalanku, Arka. Aku harus memilih keluarga. Mereka sudah memberikan semuanya untukku, aku tidak bisa membiarkan mereka kecewa lagi.”

Keheningan antara mereka terasa seperti sekat yang sangat tebal. Liana merasa tubuhnya kaku, seolah-olah setiap kata yang ia ucapkan semakin menjauhkan dirinya dari Arka. Sesuatu yang sangat berharga, yang telah tumbuh begitu dalam dalam dirinya, perlahan-lahan hancur hanya karena realitas hidup yang harus mereka hadapi. Cinta tidak cukup untuk melawan segalanya.

Arka akhirnya mengangkat kepalanya, menatap Liana dengan mata yang terlihat berkaca-kaca. Namun, ada sesuatu yang lain di sana—sesuatu yang lebih dalam, lebih penuh dengan pengertian. Ia tahu, meskipun hatinya hancur, meskipun ia merasa ditinggalkan, cinta yang ia miliki untuk Liana tetap ada.

“Liana,” kata Arka, suaranya tegas meskipun bergetar. “Aku tahu ini bukan salahmu. Aku tidak bisa memaksamu untuk memilih aku, dan aku tidak ingin kamu hidup dalam penyesalan. Aku ingin kamu bahagia, walaupun itu berarti aku harus kehilanganmu.”

Liana merasa air mata mulai menggenang di matanya, namun ia berusaha keras untuk menahan mereka. Hatinya semakin hancur mendengar kata-kata Arka, kata-kata yang seharusnya tidak perlu keluar dari mulutnya. Arka adalah orang yang paling ia cintai, dan saat ini, ia merasa seperti membiarkan segala sesuatunya hilang begitu saja.

“Aku akan selalu mencintaimu, Liana. Itu tidak akan pernah berubah. Aku berharap, suatu saat nanti, kita bisa menemukan jalan kembali satu sama lain, tapi jika itu tidak mungkin, aku akan menerima kenyataan. Aku hanya ingin kau tahu, kau adalah bagian terindah dalam hidupku.”

Liana memejamkan matanya, mencoba menahan tangis yang hampir pecah. Ia ingin mengatakan sesuatu, ingin memberi Arka harapan, tetapi tak ada kata yang bisa ia ucapkan. Semua sudah terlambat. Apa yang mereka miliki kini hanyalah kenangan—kenangan yang begitu indah namun tak bisa mereka pegang lagi.

“Aku…” Liana terdiam, tak tahu harus berkata apa. “Aku juga akan selalu mencintaimu, Arka. Tapi aku harus pergi.”

Arka hanya tersenyum pahit. “Pergilah, Liana. Pilihanmu sudah jelas, dan aku tidak akan menghalangimu. Aku akan selalu menghargai semua yang telah kita jalani.”

Dengan perasaan yang hancur, Liana berdiri, berbalik, dan meninggalkan kafe itu. Setiap langkah yang ia ambil terasa semakin jauh dari Arka, semakin jauh dari cinta yang seharusnya menjadi miliknya. Hatinya terasa begitu kosong, tetapi ia tahu bahwa ini adalah pilihan yang harus ia buat.

Di luar kafe, hujan mulai turun lagi, mengguyur jalanan yang sepi. Liana menatap hujan itu, merasakan betapa dalamnya rasa kehilangan yang kini merasuki dirinya. Sebuah cinta yang begitu indah kini harus terpisah karena dunia yang tak bisa mereka lawan. Dan meskipun waktu akan terus berjalan, Liana tahu, hatinya akan selalu mengenang Arka, cinta yang hilang, dan keputusan yang ia ambil dengan penuh rasa sakit.*

Bab 5: Kebebasan yang Tak Terbatas

Waktu terus berlalu dengan begitu cepat, membawa Liana pada sebuah realitas yang semakin sulit diterima. Hari-hari yang terasa penuh dengan rutinitas kini seperti berjalan tanpa arah, tanpa tujuan yang jelas. Meskipun ia telah memutuskan untuk mengikuti jalan yang telah ditentukan keluarganya, hati Liana tetap tak pernah bisa benar-benar menerima kenyataan itu. Kebebasan yang dulu ia miliki, kebebasan yang ia rasakan ketika bersama Arka, kini terasa begitu jauh. Rasanya, meskipun ia menjalani kehidupan yang penuh kenyamanan, ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang lebih berharga dari semua itu: jati dirinya.

Aditya, calon suami yang diperkenalkan oleh orang tuanya, adalah seorang pria yang baik, penuh perhatian, dan tentunya memiliki masa depan yang cerah. Namun, meskipun mereka sering menghabiskan waktu bersama, Liana tetap merasa tidak ada ikatan batin yang mendalam antara mereka. Setiap percakapan terasa kosong, setiap senyuman terasa terpaksa. Liana tidak bisa menipu dirinya sendiri—ia merasa terjebak dalam kehidupan yang bukan pilihannya.

Hidup dengan Aditya memberi Liana segala yang diinginkan oleh orang tuanya. Ia mendapatkan apa yang diharapkan dari seorang anak—kebahagiaan materi, kestabilan, dan masa depan yang terjamin. Namun, hatinya tetap kosong. Tak ada yang bisa menggantikan perasaan yang ia miliki untuk Arka. Tak ada yang bisa menggantikan kebebasan untuk memilih, kebebasan untuk mencintai tanpa batasan.

Pagi itu, Liana duduk di balkon rumahnya, menikmati secangkir kopi sambil memandangi pemandangan kota yang semakin sibuk. Kepingan-kepingan kenangan bersama Arka mulai muncul kembali dalam pikirannya—kenangan-kenangan yang tak bisa ia lupakan. Mereka dulu sering berjalan-jalan bersama di tepi pantai, menikmati matahari terbenam, berbicara tentang impian, tentang kehidupan yang lebih sederhana, yang tidak terikat oleh harapan orang lain. Cinta mereka adalah tentang kebebasan—kebebasan untuk menjadi diri sendiri, kebebasan untuk mencintai tanpa rasa takut.

Namun, semuanya kini berubah. Arka sudah pergi, memilih jalannya sendiri, dan Liana tetap terjebak di antara kewajiban dan harapan yang tidak bisa ia hindari. Ia merasa terperangkap dalam kehidupan yang ia pilih untuk menyenangkan orang tuanya, tetapi hatinya tetap merindukan sesuatu yang lebih. Kebebasan, yang dulu ia rasakan dengan Arka, kini hanya menjadi kenangan yang semakin memudar.

Siang itu, Aditya mengajaknya makan siang di sebuah restoran mewah yang sering mereka kunjungi. Makanan yang lezat, suasana yang nyaman—semua sempurna di luar, tetapi Liana merasa tidak ada yang benar-benar membuatnya bahagia. Mereka duduk berhadapan, dan Aditya mulai berbicara tentang rencana masa depan mereka. Tentang pernikahan yang akan segera digelar, tentang rumah yang akan mereka beli, dan tentang keluarga yang ingin mereka bangun.

Liana mendengarkan, tetapi pikirannya melayang jauh. Ia tidak bisa mengabaikan perasaan yang ada dalam dirinya—perasaan yang berkata bahwa ia tidak akan pernah bisa merasakan kebahagiaan sejati jika terus hidup dalam bayang-bayang harapan orang lain. Kebebasan yang begitu ia dambakan terasa seperti sebuah dunia yang tak bisa ia capai lagi. Apa yang bisa ia lakukan untuk mendapatkan kembali kebebasan itu? Apakah kebebasan itu sudah hilang selamanya?

Setelah makan siang, mereka berjalan di sepanjang trotoar, menuju mobil Aditya yang terparkir di tepi jalan. Liana merasa langkahnya berat, seperti tubuhnya terikat oleh sesuatu yang tak terlihat. Aditya berbicara dengan penuh semangat tentang pekerjaan dan proyek yang akan datang, tetapi Liana hanya bisa tersenyum dan mengangguk, tidak tahu harus berkata apa. Perasaan itu kembali—perasaan kosong yang semakin mendalam.

Saat mereka tiba di mobil, Aditya membuka pintu dan menoleh ke arah Liana. “Aku senang kita bisa merencanakan masa depan bersama, Liana,” katanya dengan senyuman tulus. “Aku ingin kita bahagia, tidak hanya dalam pernikahan, tetapi juga dalam segala aspek hidup kita. Kita akan melalui semua ini bersama.”

Liana menatapnya, tetapi hatinya tidak bisa menerima sepenuhnya kata-kata itu. Ia tahu, meskipun Aditya berusaha sebaik mungkin, ia tidak akan pernah bisa menggantikan tempat Arka di hatinya. Dan meskipun ia menghargai semua yang telah diberikan oleh Aditya, ia merasa terperangkap dalam kehidupan yang bukan pilihannya. Cinta yang mereka miliki tidak bisa dibandingkan dengan cinta yang dulu ia rasakan.

Malam itu, Liana kembali ke rumah dan duduk di ruang tamu. Rumah yang dulunya terasa hangat dan penuh kebahagiaan kini terasa sepi. Semua dekorasi, semua perabotan, semua benda-benda yang mengelilinginya seolah menjadi pengingat bahwa ia hidup dalam kenyataan yang berbeda dari apa yang ia inginkan. Ia merindukan kebebasan yang dulu ia rasakan bersama Arka—kebebasan untuk mencintai tanpa batasan, tanpa rasa takut akan penolakan atau kehilangan.

Pikiran Liana terus berputar, mencari jalan keluar dari kebingungannya. Apakah ia bisa kembali ke jalan yang dulu ia pilih? Apakah ia bisa mengejar kebebasan itu lagi, meskipun harga yang harus ia bayar begitu besar? Hatinya berkata iya, tetapi otaknya berkata tidak. Ia tidak bisa menghancurkan segalanya hanya karena rasa yang tak bisa ia jelaskan. Tetapi di sisi lain, ia merasa semakin jauh dari dirinya sendiri.

Kebebasan yang dulu ia nikmati dengan Arka bukan hanya tentang pergi bersama, tentang berjalan tanpa tujuan. Itu lebih dari sekadar fisik—itu adalah kebebasan untuk menjadi diri sendiri, untuk menjalani hidup tanpa beban dan harapan yang mengekang. Liana merindukan kebebasan itu dengan seluruh hatinya, tetapi ia juga tahu bahwa kebebasan itu tidak bisa didapatkan dengan mudah. Ia harus berani untuk melepaskan segala sesuatu yang selama ini mengikatnya.

Keputusan itu datang dengan sendirinya, tanpa peringatan. Liana tidak bisa lagi mengabaikan panggilan hatinya. Ia harus memilih untuk kembali pada dirinya sendiri, untuk memilih kebebasan yang selama ini ia tinggalkan demi memenuhi harapan orang lain. Ia harus berani menghadapi ketakutannya, berani mengambil langkah besar yang selama ini ia hindari.

Hari berikutnya, Liana memutuskan untuk bertemu dengan Aditya. Ia tahu bahwa pertemuan ini akan menjadi titik balik dalam hidupnya. Ia tidak ingin lagi hidup dalam penyesalan, tidak ingin terus menerus menekan perasaan yang tak bisa ia lupakan. Aditya adalah pria yang baik, tetapi ia tahu bahwa ia tidak bisa menjalani hidupnya dengan penuh ketidakjujuran, baik kepada dirinya sendiri maupun kepada orang lain.

Ketika mereka bertemu di kafe tempat biasa mereka duduk, Liana berkata dengan suara mantap, “Aditya, aku harus jujur padamu. Aku tidak bisa melanjutkan hubungan ini. Aku tidak bisa menikah denganmu, karena hatiku tidak berada di sini. Aku tidak bisa terus hidup dalam bayang-bayang harapan orang lain.”

Aditya terdiam, wajahnya berubah sedikit kaget, tetapi tidak ada kemarahan di sana. Ia menatap Liana dengan penuh pengertian. “Aku mengerti, Liana,” katanya pelan. “Mungkin kita memang tidak ditakdirkan untuk bersama. Aku berharap kau bisa menemukan kebahagiaanmu, meskipun itu berarti kita harus berpisah.”

Liana mengangguk, merasa seolah-olah sebuah beban besar terlepas dari pundaknya. Untuk pertama kalinya dalam beberapa waktu, ia merasa bebas. Kebebasan yang ia cari, yang selama ini ia ingkari, akhirnya kembali pada dirinya. Ia bisa memilih jalan yang benar-benar ia inginkan, meskipun itu penuh dengan ketidakpastian.***

————THE END—————

 

Source: DELA SAYFA
Tags: #CintaYangTerlarang #KebebasanYangHilang #PilihanHidup #KonflikBatin #PerpisahanPahit
Previous Post

LANGIT YANG TERPISAH

Next Post

Mencintai Dalam Diam

Related Posts

” KETIKA CINTA MENJADI SEBUAH ILUSI “

” KETIKA CINTA MENJADI SEBUAH ILUSI “

April 30, 2025
MATA YANG PURA – PURA BUTA, HATI YANG MENIKAM DIAM – DIAM

MATA YANG PURA – PURA BUTA, HATI YANG MENIKAM DIAM – DIAM

April 29, 2025
SEMENTARA AKU BERJUANG, KAU MENOREHKAN PISAU

SEMENTARA AKU BERJUANG, KAU MENOREHKAN PISAU

April 28, 2025
DIBALIK SENYUM, ADA LUKA YANG TAK TERLIHAT

DIBALIK SENYUM, ADA LUKA YANG TAK TERLIHAT

April 27, 2025
” CINTA YANG TERKHIANATI DI ANTARA JANJI DAN REALITA “

” CINTA YANG TERKHIANATI DI ANTARA JANJI DAN REALITA “

April 26, 2025
JEJAK PENGHIANATAN

JEJAK PENGHIANATAN

February 6, 2025
Next Post
Mencintai Dalam Diam

Mencintai Dalam Diam

SURAT DARI SINI

SURAT DARI SINI

TERSAKITI OLEH JANJI

TERSAKITI OLEH JANJI

Top Stories

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

May 17, 2025
KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

May 16, 2025
KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

May 15, 2025

Tentang Kisah Cinta

Kami menyajikan kumpulan novel dan cerpen cinta yang menggambarkan berbagai sisi cinta, dari yang manis hingga yang pahit, dari yang bahagia hingga yang menyayat hati

Connect on Social

© 2024 Kisahcinta.id

No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta

© 2024 Kisahcinta.id