Kisah Cinta
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
Kisah Cinta
No Result
View All Result

Terpesona Pada Pandangan Pertama

SAME KADE by SAME KADE
February 7, 2025
in Cinta Pertama
Reading Time: 19 mins read
Terpesona Pada Pandangan Pertama

Daftar Isi

  • Bab 1: Kehidupan Sehari-hari yang Biasa
  • Bab 2: Pertemuan yang Tak Terduga
  • Bab 3: Perasaan yang Tumbuh
  • Bab 4: Keraguan dan Rintangan
  • Bab 5: Momen Pencerahan
  • Bab 6: Awal dari Cinta

Bab 1: Kehidupan Sehari-hari yang Biasa

 

Alia duduk di bangku depan kelas dengan pandangan kosong, menatap papan tulis yang penuh dengan catatan sejarah yang sama sekali tidak menarik perhatian. Buku catatannya terbuka, namun matanya tak pernah lepas dari jendela kelas yang memperlihatkan pohon besar di luar. Angin sepoi-sepoi menggerakkan daun-daun pohon yang jatuh satu per satu, menari-nari mengikuti irama alam. Pemandangan itu memberi ketenangan yang ia cari, meski hati Alia terasa penuh dengan kebosanan.

 

Sejak kecil, Alia terbiasa hidup dengan rutinitas yang hampir tidak pernah berubah. Ia bangun pagi, pergi ke sekolah, kembali ke rumah, dan menghabiskan sisa hari dengan membaca atau menonton film. Teman-temannya sudah memiliki pacar, bergaul di luar, dan merasakan dunia yang jauh lebih seru daripada dunia Alia. Tapi, baginya, dunia luar itu tidak pernah terlalu mengundang. Alia merasa nyaman dengan dunianya yang tenang, meskipun terkadang kesepian mulai menyelinap di hati.

 

Hari-hari di sekolah berjalan begitu saja, tanpa ada hal menarik yang benar-benar memikat perhatiannya. Alia bukanlah orang yang paling populer di sekolah, dan dia juga tidak terlalu merasa perlu untuk menjadi seperti itu. Punya teman dekat, iya. Namun, lebih sering Alia merasa seperti seorang penonton dalam kehidupan orang lain. Teman-temannya memiliki kisah cinta, kegembiraan, dan drama yang membuat mereka terlihat hidup. Sementara itu, Alia merasa kehidupannya lebih seperti sebuah rutinitas yang terus berulang.

 

“Apa kamu nggak pernah merasa bosan?” tanya Vina, teman sekelasnya yang duduk di sampingnya, suatu hari di tengah pelajaran. “Maksudku, kamu nggak merasa ada yang kurang?”

 

Alia mengalihkan pandangannya dari jendela dan menatap Vina. Temannya itu dengan wajah cerah duduk dengan penuh semangat, sementara Alia hanya mengangkat bahu.

 

“Entahlah,” jawab Alia pelan. “Mungkin aku nggak merasa butuh hal-hal kayak gitu.”

 

Vina tertawa kecil. “Cinta pertama? Pacar? Punya perasaan yang bisa membuat hidupmu lebih berwarna?” Vina bertanya dengan mata berbinar, seperti itu adalah hal yang pasti akan datang dalam hidup setiap orang.

 

Alia hanya tersenyum tipis. Ia sudah sering mendengar pertanyaan-pertanyaan seperti itu dari teman-temannya. Mereka tidak mengerti bahwa bagi Alia, cinta bukanlah sesuatu yang mudah didapatkan. Bukan karena dia tidak percaya pada cinta, tapi karena perasaan itu terasa begitu jauh. Ia lebih memilih menikmati kesendiriannya, mencari kedamaian dalam kesunyian, dan menenangkan diri dengan buku atau musik. Bagi Alia, dunia itu sudah cukup memadai tanpa kehadiran seseorang yang membuat perasaan bergejolak.

 

Alia sering merasa seperti orang luar dalam lingkaran sosial teman-temannya. Mereka selalu berbicara tentang pasangan, film romantis, atau cerita-cerita manis tentang cinta. Sementara Alia, yang tak pernah benar-benar merasakan cinta, merasa sedikit asing dalam percakapan mereka. Baginya, cinta pertama adalah hal yang hanya ada dalam buku-buku dan film. Sebuah mimpi indah yang jarang menjadi kenyataan.

 

Saat istirahat siang tiba, Alia berjalan sendirian menuju kantin, menikmati makanan sambil mengamati sekeliling. Teman-temannya, yang sebagian besar sudah memiliki pasangan, duduk bersama di meja-meja, berbincang dan tertawa dengan ceria. Alia tahu mereka menikmati waktu bersama, tetapi ia tetap merasa seperti penonton di tepi panggung kehidupan. Bukan karena mereka tidak ramah, tetapi karena hatinya tidak merasa terhubung dengan mereka dalam hal-hal yang lebih pribadi.

 

Di luar jendela kantin, cuaca mulai berubah menjadi lebih cerah. Langit biru yang cerah membentang luas, memberi Alia sedikit kedamaian di tengah hiruk-pikuk dunia sekitarnya. Ia menyandarkan punggungnya ke kursi, menikmati seulas senyum kecil yang terbit dari bibirnya. Ada semacam ketenangan yang bisa ia rasakan dalam kesendirian ini. Tanpa drama, tanpa kisah cinta yang rumit, hanya dia dan dunia yang diam.

 

Namun, meski ia menikmati kesendirian itu, ada satu hal yang sering terlintas di pikirannya. Apa rasanya memiliki perasaan yang begitu kuat untuk seseorang? Apa rasanya menjadi seseorang yang dicintai dengan tulus, yang tahu bahwa ada seseorang di luar sana yang hanya ingin melihatmu bahagia? Alia sering merasa penasaran dengan perasaan itu, meski ia tak tahu bagaimana cara mencapainya.

 

Malamnya, setelah makan malam bersama keluarga, Alia duduk di kamarnya dengan laptop terbuka. Ia mulai membaca artikel-artikel tentang cinta pertama dan bagaimana banyak orang merasa terpesona oleh seseorang tanpa alasan yang jelas. Ia menemukan banyak cerita tentang bagaimana cinta pertama adalah hal yang luar biasa, penuh kegembiraan, dan kadang-kadang membawa seseorang pada perjalanan hidup yang tak terduga.

 

Tetapi, dalam hati kecilnya, Alia tetap merasa skeptis. Cinta pertama itu seperti kisah yang terlalu indah untuk menjadi kenyataan. Ia sering bertanya-tanya, apakah dia akan pernah merasakannya? Atau apakah itu hanya cerita yang diceritakan oleh orang lain, sesuatu yang hanya bisa dilihat dari luar, seperti sebuah impian yang tak terjangkau?

 

Saat ia menutup laptopnya dan berbaring di tempat tidur, pikirannya tetap melayang. Cinta pertama—apakah itu hanya angan-angan semata ataukah suatu hari nanti, dalam perjalanan hidupnya yang penuh kejutan, ia akan menemukan jawabannya?

Bab 2: Pertemuan yang Tak Terduga

 

Hari itu dimulai seperti hari-hari lainnya bagi Alia. Cuaca cerah dan angin yang sepoi-sepoi seolah mengundang untuk keluar dari rutinitas yang membosankan. Seperti biasa, Alia berangkat ke sekolah dengan sepeda, melewati jalan-jalan yang sudah sangat ia kenal. Ia selalu merasa bahwa kota kecil tempatnya tinggal memiliki kedamaian yang sulit ditemukan di tempat lain. Namun, meskipun kota ini tenang, hatinya tetap merasa hampa. Ia tidak berharap banyak pada hari itu.

 

Pagi itu, kelas dimulai dengan biasa. Alia duduk di tempat duduknya, di bangku depan dekat jendela, sambil mendengarkan guru yang menjelaskan materi sejarah. Pikiran Alia terus mengembara, jauh dari pelajaran yang sedang disampaikan. Meski ia selalu berusaha untuk fokus, pikirannya lebih sering terjebak pada hal-hal lain yang tidak bisa ia pahami. Seperti perasaan kosong yang selalu datang begitu saja.

 

Tiba-tiba, suara langkah kaki mengalihkan perhatian Alia. Tanpa sadar, matanya menoleh ke pintu kelas. Seorang pemuda masuk, terlihat ragu-ragu dan sedikit canggung. Alia tertegun sejenak. Biasanya, tidak ada yang baru masuk ke kelas ini begitu saja, apalagi di tengah tahun ajaran yang sudah berjalan.

 

Pemuda itu mengenakan jaket hitam dan celana jeans sederhana. Rambutnya yang cokelat tampak sedikit acak-acakan, seakan baru saja bangun tidur dan terburu-buru keluar rumah. Wajahnya yang tampan memiliki ekspresi serius, tapi ada sesuatu yang membuat Alia penasaran. Entah kenapa, matanya tidak bisa lepas dari pemuda itu. Ada sesuatu yang berbeda—sesuatu yang mengundang perhatian.

 

Guru memandang pemuda itu dengan senyum ramah. “Oh, ada murid baru. Namanya Rifki,” kata guru tersebut, memperkenalkan pemuda itu kepada seluruh kelas. “Rifki baru pindah ke sekolah ini. Silakan duduk di tempat kosong di sebelah Alia.”

 

Alia merasa jantungnya berdebar cepat. Tak tahu mengapa, ia merasa sedikit gugup. Ia tidak mengenal Rifki, tapi ada sesuatu dalam dirinya yang membuatnya merasa seperti ada ikatan tak terlihat antara mereka berdua. Rifki berjalan menuju tempat duduknya yang berada di sebelah Alia, dan dengan sedikit canggung, ia duduk.

 

Alia mencoba fokus kembali ke pelajaran, tapi matanya tetap mencuri pandang ke Rifki. Dari sudut matanya, ia melihat Rifki membuka buku pelajaran dan menatapnya sesekali, seperti mencari sesuatu di dalam kelas. Setiap kali mata mereka bertemu, Alia merasa seolah-olah ada listrik yang melintasi udara. Itu hanya pandangan singkat, namun cukup untuk membuat hatinya berdebar.

 

Hari pertama dengan Rifki di kelas terasa aneh bagi Alia. Ia tidak tahu mengapa, tapi setiap detik yang berlalu sepertinya lebih lambat. Begitu banyak hal yang ingin ia katakan atau tanyakan pada Rifki, namun ia terlalu malu untuk melakukannya. Apa yang bisa dia katakan? Hanya seorang murid baru. Namun, ada perasaan aneh yang terus menggelayuti hatinya.

 

Saat jam istirahat tiba, Alia pergi ke kantin bersama Vina, sahabat dekatnya. Meskipun Vina sangat bersemangat bercerita tentang kejadian di kelas tadi, Alia tidak bisa fokus pada apa yang dikatakannya. Pikirannya kembali tertuju pada Rifki, pemuda yang baru saja datang ke sekolah ini. Ia tidak tahu mengapa, tapi entah mengapa ia merasa ingin tahu lebih banyak tentang Rifki.

 

Alia dan Vina duduk di meja yang agak jauh dari keramaian, tetapi Alia tidak bisa mengabaikan pandangannya yang sering tertuju ke arah Rifki. Ternyata Rifki duduk sendirian di meja sebelah, terlihat sedikit terasing meski berada di tengah banyak orang. Ia mengunyah makanannya sambil sesekali melihat ke sekitar, seakan menilai tempat baru yang ia masuki.

 

Vina yang memperhatikan sikap Alia pun langsung mencolek lengan Alia. “Kamu nggak lihat, ya? Rifki duduk sendiri di sana, tuh,” kata Vina dengan suara pelan, berharap tidak terdengar oleh Rifki.

 

Alia hanya mengangguk pelan, mencoba menutupi rasa malunya. Ia merasa sedikit canggung. Mengapa ia merasa seolah-olah segala sesuatu yang dilakukan Rifki menarik perhatiannya? “Iya, aku lihat,” jawabnya dengan suara datar, berusaha menutupi perasaan yang mulai tumbuh.

 

Tak lama kemudian, Vina berdiri dan berjalan menuju meja tempat Rifki duduk. Alia terkejut, tidak tahu apa yang Vina rencanakan. Tanpa banyak kata, Vina mengajak Rifki untuk bergabung dengan mereka di meja. Rifki terlihat ragu sejenak, tetapi akhirnya ia berdiri dan mengikuti Vina menuju meja mereka.

 

Alia hanya menatap, mencoba terlihat biasa saja meskipun hatinya berdebar-debar. Ketika Rifki duduk di meja mereka, suasana menjadi sedikit canggung. Vina memulai percakapan dengan pertanyaan-pertanyaan ringan, seperti asal Rifki, hobi, dan bagaimana dia merasa tentang sekolah baru ini. Rifki menjawab dengan tenang, dan Alia hanya mendengarkan, lebih banyak diam daripada berbicara.

 

Namun, setiap kali Alia melirik Rifki, hatinya berdebar lebih cepat. Ia merasa ada sesuatu yang aneh dan tak bisa dijelaskan. Mungkin itu hanya perasaan kagum biasa, atau mungkin ada yang lebih dari itu. Alia tidak tahu, tetapi ia tidak bisa menepis perasaan itu.

 

Setelah makan siang, saat jam pelajaran dimulai lagi, Rifki kembali ke kelas dengan Alia dan Vina. Sepanjang jalan menuju kelas, Alia berusaha menghindari perasaan yang semakin kuat di dalam hatinya. Apa ini? Kenapa perasaan ini begitu membingungkan?

 

Ketika mereka tiba di kelas, Rifki kembali duduk di sebelah Alia. Kali ini, mereka tidak lagi merasa canggung. Beberapa kali, mata mereka bertemu, dan kali ini Alia merasa seolah-olah ada kedekatan yang tercipta, meski hanya dalam keheningan. Ada sesuatu yang berbeda, dan Alia tak bisa menjelaskan mengapa ia merasa seolah-olah dunia berputar lebih lambat setiap kali mereka berbicara.

 

Hari itu berakhir, dan meskipun Alia merasa sedikit bingung, hatinya juga merasa ringan. Ia tahu, pertemuan dengan Rifki bukanlah kebetulan. Mungkin, hanya mungkin, ada alasan mengapa ia terpesona sejak pertama kali melihatnya. Alia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, tapi satu hal yang pasti: hidupnya tidak akan pernah sama lagi setelah hari itu.

Bab 3: Perasaan yang Tumbuh

 

Hari-hari setelah pertemuan dengan Rifki terasa seperti berjalan di atas kabut bagi Alia. Setiap detik, setiap momen, selalu ada perasaan yang menggelitik di dalam hati, sesuatu yang membuatnya merasa tidak tenang meski tampak biasa saja di luar. Di sekolah, saat Rifki duduk di sebelahnya di kelas, Alia merasakan hal yang aneh—seperti ada sesuatu yang tumbuh dalam dirinya, perasaan yang tidak bisa ia jelaskan. Itu bukan hanya perasaan kagum biasa, melainkan sesuatu yang lebih dalam. Alia tahu, meskipun ia enggan mengakui, bahwa perasaan itu lebih dari sekadar ketertarikan.

 

Pagi-pagi di hari Senin, Alia bangun dengan perasaan yang lebih cemas dari biasanya. Sebelumnya, ia sudah mulai terbiasa dengan rutinitas sekolahnya yang membosankan, namun hari itu, perasaannya berbeda. Perhatian Alia lebih sering teralihkan oleh sosok Rifki yang ada di kelas. Meskipun mereka belum terlalu banyak berbicara, setiap kali mata mereka bertemu, hatinya berdebar tak karuan. Rifki bukanlah seseorang yang mudah didekati, tetapi ada sesuatu dalam dirinya yang membuat Alia merasa tertarik. Ia merasa, mungkin inilah yang disebut dengan “perasaan”—sesuatu yang membuat seseorang merasa terhubung tanpa bisa dijelaskan.

 

Saat istirahat tiba, Alia berjalan sendirian menuju kantin, seperti biasa. Namun, kali ini, ia tidak merasa sendirian. Pikirannya terus kembali pada Rifki—senyum tipisnya, matanya yang penuh dengan ketenangan, dan cara dia mendengarkan setiap kata dengan penuh perhatian. Alia bahkan sering tanpa sengaja mencuri pandang ke arah Rifki saat dia duduk bersama teman-temannya. Mungkin itu bukan sesuatu yang aneh, tapi bagi Alia, itu adalah perasaan yang baru, yang membuatnya bingung.

 

Ketika Alia duduk di meja kantin, Vina seperti biasa mulai bercerita tentang berbagai hal yang terjadi di sekolah, namun Alia merasa tidak sepenuhnya mendengarkan. Pikirannya masih berkelana, terjebak dalam perasaan yang semakin hari semakin sulit dihindari. Vina yang sudah mulai curiga menatap Alia dengan wajah penasaran.

 

“Kamu kenapa? Kelihatannya nggak fokus banget,” kata Vina sambil menyipitkan mata.

 

Alia tersentak, mencoba tersenyum sambil menggelengkan kepala. “Enggak kok, cuma lagi capek aja,” jawabnya, berusaha menutupi keraguan yang sedang mengganggu pikirannya. Namun, Vina tidak begitu saja melepaskannya.

 

“Jangan bohong deh. Kamu pasti mikirin Rifki, kan?” tanya Vina dengan suara yang sedikit lebih keras.

 

Alia terdiam. Ia bisa merasakan pipinya memanas, dan ia hanya bisa mengalihkan pandangannya ke arah meja lain, berusaha menenangkan diri. “Aku nggak tahu,” jawabnya, masih mencoba menghindar. “Tapi, entah kenapa, aku ngerasa ada sesuatu yang berbeda sama dia.”

 

Vina tersenyum lebar, tahu bahwa Alia sedang mencoba menutupi perasaannya. “Ah, aku tahu itu! Perasaan seperti itu memang nggak bisa disembunyikan,” kata Vina, mempererat perhatian Alia pada percakapan mereka. “Kamu harus bicara sama Rifki! Kasih tahu dia apa yang kamu rasakan.”

 

Alia terdiam. Sebelumnya, ia tidak pernah menganggap bahwa perasaan terhadap seseorang bisa sekompleks ini. Dalam pikirannya, cinta pertama hanyalah sesuatu yang bisa ditemukan di dalam film atau novel. Tapi, sekarang, dengan Rifki, semuanya terasa berbeda. Ada perasaan yang mengalir begitu saja, tanpa bisa ia kendalikan. Itu seperti sebuah benih yang baru saja tumbuh, namun ia tidak tahu apakah itu bisa berkembang menjadi sesuatu yang lebih besar atau hanya sekadar angin lalu.

 

Hari berikutnya di sekolah, Alia berusaha lebih berhati-hati. Ia tidak ingin perasaannya terbaca terlalu jelas, meskipun ada banyak momen yang membuat hatinya berdebar-debar. Rifki mulai lebih sering menyapanya, tidak hanya di kelas, tetapi juga saat istirahat. Sesekali mereka berjalan bersama ke kantin, berbincang tentang pelajaran atau hal-hal kecil yang terjadi di sekitar mereka. Meski percakapan mereka ringan, Alia merasa ada sesuatu yang lebih. Setiap senyum Rifki, setiap kata yang ia ucapkan, semakin membuat Alia merasa terikat, meskipun mereka belum benar-benar berbicara lebih dalam tentang perasaan mereka.

 

Suatu hari, setelah pelajaran selesai, Rifki menghampiri Alia yang sedang duduk sendirian di taman sekolah, membaca buku seperti biasa. Saat melihat Rifki datang menghampirinya, jantung Alia langsung berdebar lebih cepat.

 

“Alia, kamu lagi baca apa?” tanya Rifki dengan suara yang lembut, seakan-akan tidak ada yang lebih penting selain mendengarkan jawabannya.

 

Alia menutup bukunya dan tersenyum. “Hanya buku sejarah biasa. Kamu sendiri, gimana?” jawabnya, mencoba terlihat biasa saja meskipun perasaan di dalamnya berkata lain.

 

Rifki duduk di sebelah Alia dengan nyaman. “Aku lagi mikirin pelajaran matematika sih. Tapi, kayaknya aku harus banyak belajar kalau mau ngerti.” Rifki tertawa kecil, dan Alia hanya bisa tertawa kecil, merasa sedikit canggung.

 

Percakapan itu berlangsung dengan santai, dan meskipun tidak ada yang spesial, bagi Alia itu sudah cukup berarti. Setiap kali mereka berbicara, Alia merasa lebih dekat dengan Rifki, meski tidak mengungkapkan apa yang ada dalam hatinya. Ia hanya berharap perasaan itu bisa tetap ada, meskipun terkadang ia merasa bingung apakah perasaan ini hanya sementara atau bisa berkembang menjadi sesuatu yang lebih.

 

Hari demi hari, perasaan Alia semakin kuat. Setiap kali Rifki tersenyum padanya, hati Alia berdebar tak karuan. Setiap pertemuan dengan Rifki, baik itu hanya untuk berbicara tentang pelajaran atau sekadar berbagi tawa, semakin membuat Alia merasa nyaman. Namun, di saat yang sama, perasaan itu juga semakin menekan. Alia tahu bahwa perasaan ini tidak bisa dipendam lebih lama, namun ia tidak tahu bagaimana harus memulainya.

 

Alia sering kali bertanya-tanya, apakah Rifki merasakan hal yang sama? Apakah perasaan yang ia rasakan ini hanya datang dari satu sisi, atau ada kemungkinan bahwa Rifki juga mulai merasa ada ikatan yang sama? Namun, yang lebih penting lagi, apakah ia siap untuk menghadapi perasaan yang semakin berkembang ini?

 

Malam itu, sebelum tidur, Alia memejamkan mata, mencoba merasakan ketenangan. Tetapi, di dalam hatinya, perasaan yang tak terungkapkan itu terus bergemuruh. Cinta pertama, mungkin, memang datang tanpa diundang, tetapi apakah ia akan siap jika cinta itu benar-benar tumbuh dan berkembang? Alia hanya bisa berharap bahwa, pada akhirnya, segala kebingungannya akan menemukan jawabannya.

Bab 4: Keraguan dan Rintangan

 

Hari-hari setelah pertemuan yang semakin intens dengan Rifki membawa perasaan yang membingungkan bagi Alia. Meskipun kedekatan mereka semakin jelas terasa, ada perasaan keraguan yang semakin menggelayuti hatinya. Setiap kali mereka berbicara, setiap kali mata mereka bertemu, Alia merasa perasaannya semakin dalam, namun sekaligus semakin takut. Takut jika perasaan itu tidak terbalas, takut jika ia terbuka dan kemudian terluka. Mungkin, inilah yang disebut dengan keraguan dalam cinta pertama—sebuah perasaan yang sulit ditangani.

 

Alia mulai merasakan perbedaan dalam dirinya. Sebelumnya, ia adalah seorang gadis yang cukup tertutup, tidak terbiasa mengungkapkan perasaan. Namun, sejak bertemu dengan Rifki, sesuatu dalam dirinya mulai berubah. Setiap senyum Rifki, setiap sapaan lembutnya, seolah membuka hati Alia sedikit demi sedikit. Tapi, meskipun perasaan itu berkembang, keraguan selalu mengikutinya, seperti bayangan yang tak pernah pergi. Apa yang sebenarnya dirasakan Rifki? Apakah perasaan itu hanya bersifat sementara, atau ada sesuatu yang lebih dari sekadar pertemuan biasa di sekolah?

 

Pagi itu, seperti biasa, Alia menuju sekolah dengan sepeda, namun kali ini pikirannya jauh lebih sibuk daripada biasanya. Ia merasa ada jarak antara dirinya dan Rifki, meskipun mereka semakin sering menghabiskan waktu bersama. Setiap kali mereka berjalan bersama menuju kelas atau berbincang di luar jam pelajaran, Alia merasakan kehangatan yang tidak bisa dijelaskan. Namun, setiap kali mereka berbicara tentang hal-hal biasa, Alia merasa tidak ada cukup keberanian untuk mengungkapkan apa yang ada dalam hatinya.

 

Ketika istirahat datang, Alia dan Rifki berjalan menuju kantin bersama. Namun, suasana kali ini berbeda. Ada sesuatu yang mengganjal di hati Alia, sesuatu yang membuatnya ragu. Ia merasa tidak bisa lagi sekadar bertindak biasa-biasa saja di hadapan Rifki. Hatinya berdebar-debar, dan meskipun Rifki terlihat santai, Alia merasa cemas. Seolah-olah ada tembok yang membatasi mereka, meskipun mereka semakin dekat.

 

Saat mereka duduk di meja kantin, Vina yang melihat ekspresi Alia yang gelisah mulai mengerutkan kening. “Kamu kenapa? Kelihatannya lagi mikirin sesuatu yang berat banget,” tanya Vina, menatap Alia dengan khawatir.

 

Alia hanya mengangguk pelan. “Aku nggak tahu, Vina. Kadang aku merasa perasaan ini terlalu besar buat aku, dan aku nggak yakin Rifki merasa hal yang sama,” jawab Alia, suaranya sedikit teredam.

 

Vina mendengarkan dengan serius, tetapi di matanya, Alia bisa melihat sebuah pemahaman. “Kamu takut nggak? Takut kalau Rifki nggak punya perasaan yang sama? Tapi, nggak ada salahnya kamu coba untuk ngomong, Alia. Jangan biarkan perasaan ini menguasai kamu,” kata Vina dengan nada lembut, namun penuh keyakinan.

 

Alia menarik napas dalam-dalam, meresapi kata-kata Vina. Benar, jika Rifki tidak merasakan hal yang sama, ia akan terluka. Namun, bukan berarti ia harus menghindari perasaan itu selamanya. Setiap kali bersama Rifki, Alia merasa ada sesuatu yang lebih dari sekadar persahabatan. Tetapi, perasaan itu masih terkunci rapat dalam dirinya. Bagaimana jika ternyata ia salah? Bagaimana jika ia membuka hati, tetapi yang ia dapatkan hanya penolakan?

 

Hari-hari berlalu, dan keraguan Alia semakin menjadi-jadi. Rifki, meskipun tidak berubah dalam sikapnya, tampaknya sedikit lebih jauh dari biasanya. Mereka masih berbicara, masih tertawa bersama, namun ada perasaan aneh yang muncul dalam diri Alia. Apakah itu hanya perasaan yang berlebihan? Ataukah ada sesuatu yang benar-benar sedang terjadi?

 

Suatu sore, Alia memutuskan untuk berbicara dengan Rifki, meskipun hatinya terasa sangat berat. Ia merasa jika tidak mengungkapkan perasaannya sekarang, perasaan itu akan semakin mempengaruhinya. Namun, ketika mereka bertemu di luar kelas setelah jam sekolah, suasana tampak lebih canggung dari biasanya.

 

Rifki menyapa dengan senyum khasnya, tetapi Alia merasakan sesuatu yang berbeda—senyum itu tidak sehangat biasanya. Ia bertanya-tanya apakah Rifki merasakan adanya jarak antara mereka, atau mungkin, hanya ia yang merasa demikian.

 

“Rifki, aku harus ngomong sesuatu,” kata Alia, mencoba terdengar tenang meskipun hatinya berdebar.

 

Rifki menatapnya, dan ada sedikit kekhawatiran di matanya. “Ada apa, Alia? Kamu kelihatan nggak enak,” jawabnya dengan lembut.

 

Alia menggigit bibir bawahnya. “Aku nggak tahu kalau kamu merasa sama, tapi aku merasa kita semakin dekat, dan aku nggak tahu harus bagaimana dengan perasaan ini. Aku nggak bisa terus-terusan merasa seperti ini, tanpa tahu apakah kamu juga merasa hal yang sama atau nggak,” kata Alia, suara sedikit tercekat.

 

Rifki terdiam sejenak. Pandangannya mengarah ke tanah, dan Alia bisa melihat ada keraguan di matanya. Tiba-tiba, Alia merasa sangat cemas, takut akan jawaban yang mungkin akan ia terima. Namun, sebelum ia sempat mengucapkan apa pun, Rifki akhirnya mengangkat kepalanya dan berkata dengan pelan, “Aku juga merasa dekat denganmu, Alia. Tapi aku juga bingung. Ada banyak hal yang harus aku pertimbangkan. Aku nggak mau kamu salah paham, dan aku nggak mau menyakitimu.”

 

Alia merasa seperti ada batu besar yang jatuh di dadanya. Kata-kata Rifki memang bukanlah penolakan secara langsung, tetapi ada sesuatu dalam suaranya yang membuat hatinya terasa kosong. Keraguan Alia yang semula hanya sekadar perasaan kini tampak seperti kenyataan yang sulit diterima. Rifki, meskipun tidak mengabaikan perasaannya, juga tidak siap untuk melangkah lebih jauh. Itu adalah kenyataan pahit yang harus dihadapi.

 

Mereka berjalan pulang bersama, tetapi keheningan yang ada membuat segalanya terasa lebih sulit dari sebelumnya. Alia merasa perasaannya yang semula terang benderang kini mulai meredup. Mungkin ini memang waktu yang tepat untuk berhenti berharap lebih. Namun, apakah ia benar-benar siap untuk menerima kenyataan ini? Perasaan yang sudah tumbuh begitu besar, apakah bisa dilepaskan begitu saja?

 

Malam itu, Alia berbaring di tempat tidurnya, merenung tentang segala yang terjadi. Ada begitu banyak keraguan dalam dirinya, begitu banyak pertanyaan yang tak terjawab. Namun, satu hal yang pasti: perasaan ini tidak akan pernah mudah untuk dilupakan.

Bab 5: Momen Pencerahan

 

Minggu-minggu setelah percakapan yang menegangkan dengan Rifki menyisakan banyak kebingungan dalam diri Alia. Meski sudah mendapatkan penjelasan bahwa Rifki juga merasa dekat dengannya, namun ada banyak hal yang belum jelas. Perasaan itu tetap ada, tetapi keraguan dan ketakutan Alia juga semakin kuat. Ia merasa seperti berada di persimpangan jalan, bingung harus mengambil langkah seperti apa. Namun, sesuatu yang tak terduga datang dalam bentuk sebuah momen pencerahan, yang memberi Alia keberanian untuk melihat perasaannya dengan cara yang lebih jernih.

 

Hari itu, cuaca cerah, dan sekolah tampak seperti biasa. Alia berjalan menuju kelas dengan langkah yang agak lambat, masih merenung tentang apa yang telah terjadi dengan Rifki. Pikirannya dipenuhi dengan pertanyaan: Apakah aku sudah membuat keputusan yang benar? Setelah percakapan mereka, Alia berusaha lebih menjaga jarak dengan Rifki. Ia tidak ingin terlalu berharap, tetapi juga tidak ingin menjauhkan dirinya sepenuhnya dari perasaan itu. Meskipun begitu, keraguan terus menggerogoti hatinya.

 

Ketika bel istirahat berbunyi, Alia duduk sendirian di bangku taman sekolah. Hari itu tidak seperti biasanya. Biasanya, ia akan berbicara dengan Vina atau teman-temannya, tetapi hari ini, Alia merasa ingin sedikit menyendiri. Ia ingin merenung, mencari jawaban dalam pikirannya. Duduk di bawah pohon besar, ia menatap langit biru yang luas, berusaha menenangkan pikiran yang kacau. Kadang, menjauh dari keramaian bisa memberi perspektif yang lebih jelas.

 

Saat itulah, Rifki tiba-tiba muncul di hadapannya. Alia merasa sedikit terkejut, namun berusaha untuk tetap tenang. Ia tidak tahu apa yang ingin dibicarakan Rifki, tetapi saat melihat senyumannya, ada sesuatu yang membuat hati Alia terasa lebih tenang. Rifki duduk di sebelahnya tanpa berkata-kata sejenak, hanya menikmati kebisuan di antara mereka.

 

“Ada apa, Alia? Kamu kelihatan nggak seperti biasanya,” tanya Rifki dengan lembut, mencoba membuka percakapan.

 

Alia menatap Rifki dengan ragu, namun akhirnya menghela napas panjang. “Aku cuma mikirin banyak hal, Rifki. Kayak… perasaan ini. Aku nggak tahu harus bagaimana lagi,” jawabnya dengan suara yang hampir terdengar putus asa.

 

Rifki menoleh, seolah mengerti perasaan Alia. “Aku tahu perasaanmu, Alia. Dan aku juga bingung. Tapi, aku sadar satu hal. Perasaan itu nggak bisa dipaksakan. Kalau kita terus-menerus mencoba untuk mencari jawaban yang pasti, kita akan semakin jauh dari kenyataan,” katanya pelan, namun jelas. “Terkadang, kita harus membiarkan perasaan itu tumbuh dengan sendirinya, tanpa terbebani oleh keraguan.”

 

Alia menatapnya, merasa seolah ada sesuatu yang membuka matanya. Kata-kata Rifki benar-benar mengena. Selama ini, ia terlalu fokus pada ketakutan dan keraguannya, takut kalau perasaan itu tak terbalas atau bahkan menyesal jika ia terlalu berharap. Namun, sekarang Rifki menyadarkannya bahwa kadang-kadang, untuk menemukan jawaban, kita tidak perlu memaksakan segalanya. Kita hanya perlu memberi ruang untuk perasaan itu berkembang dengan alami.

 

“Aku takut, Rifki,” Alia akhirnya mengungkapkan apa yang selama ini terpendam dalam hatinya. “Takut kalau perasaan ini cuma satu sisi. Takut kalau aku salah paham.”

 

Rifki tersenyum, dan ada sesuatu yang lembut dalam tatapannya. “Perasaan itu memang nggak selalu mudah dimengerti. Kadang kita perlu waktu untuk menyadarinya, dan kadang kita perlu waktu untuk menerima kenyataan. Tapi satu hal yang aku tahu, Alia… kamu nggak sendirian dengan perasaan itu.”

 

Mendengar kata-kata Rifki, hati Alia terasa lega. Seolah-olah beban yang ia rasakan selama ini sedikit berkurang. Perasaan yang semula terasa berat kini mulai terasa lebih ringan. Ia sadar bahwa tak perlu takut untuk merasakan apa yang ia rasakan. Tidak ada yang salah dengan perasaan cinta pertama, dan tidak ada yang perlu diburu. Cinta itu bisa datang dengan cara yang tak terduga, dan mungkin perasaan ini adalah bagian dari perjalanan yang harus ia jalani.

 

Saat mereka duduk bersama di taman, Rifki mulai bercerita tentang dirinya, tentang ketidakpastian yang ia rasakan terhadap banyak hal, termasuk perasaannya terhadap Alia. Ternyata, Rifki juga tidak tahu apa yang akan terjadi, tetapi ia tidak ingin terburu-buru membuat keputusan. “Kadang, kita hanya perlu menjalani waktu bersama tanpa terlalu memikirkan hasil akhirnya. Yang penting adalah bagaimana kita menikmati setiap momen yang ada,” ujar Rifki dengan jujur.

 

Kata-kata itu benar-benar menyentuh hati Alia. Mungkin selama ini, ia terlalu banyak berpikir tentang apa yang harus dilakukan, apa yang bisa terjadi, dan apa yang akan menjadi akhirnya. Namun, apa yang sesungguhnya penting adalah menjalani perasaan itu dengan ikhlas dan tanpa terburu-buru. Cinta pertama memang tidak selalu sempurna, tetapi itu adalah perjalanan yang indah, penuh dengan kebingungan, kegembiraan, dan bahkan rasa takut. Dan mungkin, itu adalah bagian dari belajar untuk mencintai diri sendiri terlebih dahulu sebelum mencintai orang lain.

 

Alia akhirnya merasa ada pencerahan dalam dirinya. Ia tidak perlu mencari jawaban pasti tentang perasaannya. Yang penting adalah ia bisa menerima bahwa perasaan itu ada dan bahwa ia bisa merasakannya dengan sepenuh hati. Tidak ada yang salah dengan itu. Cinta pertama memang penuh dengan ketidakpastian, tetapi ia mulai menyadari bahwa ketidakpastian itu adalah bagian dari keindahannya.

 

Saat bel sekolah berbunyi, menandakan istirahat telah selesai, Alia dan Rifki berdiri. Sebelum mereka berpisah, Rifki menatapnya satu detik lebih lama dan tersenyum, seolah mengerti apa yang ada di hati Alia. “Jangan khawatir, Alia. Kita masih punya banyak waktu. Yang penting, kita berjalan bersama,” katanya.

 

Alia mengangguk, merasa lebih tenang. Untuk pertama kalinya dalam beberapa minggu terakhir, ia merasa bebas dari keraguan dan ketakutannya. Cinta pertama memang penuh dengan misteri, tetapi sekarang Alia tahu bahwa ia tidak perlu mencari semua jawaban sekaligus. Kadang, yang dibutuhkan hanya sedikit waktu, dan sedikit keberanian untuk menerima perasaan itu apa adanya.

 

Dengan langkah yang lebih ringan, Alia menuju kelas, merasa lebih siap menghadapi perasaan yang berkembang dalam dirinya, tanpa lagi terbelenggu oleh keraguan. Karena cinta pertama, meskipun penuh dengan ketidakpastian, adalah sesuatu yang harus dijalani dengan hati yang terbuka.

Bab 6: Awal dari Cinta

 

Minggu-minggu setelah percakapan yang memberikan pencerahan bagi Alia, hidupnya mulai berubah dengan cara yang tak terduga. Ada sesuatu yang berbeda dalam dirinya, sesuatu yang lebih ringan dan penuh harapan. Meskipun keraguan masih menyelip di dalam hatinya, ia merasa lebih mampu untuk menerima perasaannya dengan jujur. Cinta pertama itu tidak lagi menjadi sebuah teka-teki yang sulit dipecahkan, tetapi lebih seperti perjalanan yang harus dilalui dengan keikhlasan dan keberanian.

 

Setelah momen pencerahan di taman, Alia dan Rifki semakin sering menghabiskan waktu bersama. Mereka tidak lagi terikat pada ketakutan akan perasaan yang tidak terbalas atau ketidakpastian yang sebelumnya membayangi hubungan mereka. Kini, kedekatan mereka terasa lebih alami. Tidak ada lagi perasaan canggung atau bimbang dalam setiap percakapan yang mereka lakukan. Setiap tawa yang mereka bagi, setiap cerita yang mereka tukarkan, semakin mengikat mereka dalam sebuah ikatan yang lebih dari sekadar pertemanan.

 

Pada suatu sore yang cerah, saat Alia dan Rifki duduk di bangku taman setelah sekolah, mereka berbicara tentang banyak hal. Rifki bercerita tentang mimpi-mimpinya di masa depan, tentang keinginan untuk mengejar karier yang ia impikan, dan tentang hal-hal kecil yang membuatnya bahagia. Alia mendengarkan dengan penuh perhatian, terkadang memberi komentar atau hanya tersenyum mendengarkan cerita Rifki. Namun, meskipun percakapan mereka ringan, ada perasaan yang lebih dalam yang tumbuh di hati Alia. Ia merasa semakin dekat dengan Rifki, bukan hanya sebagai teman, tetapi juga sebagai seseorang yang istimewa.

 

“Aku nggak tahu kenapa, tapi aku selalu merasa lebih baik setiap kali kita bicara,” kata Rifki dengan suara yang sedikit ragu, seolah-olah mencari kata-kata yang tepat.

 

Alia menatapnya, mata mereka saling bertemu. “Aku juga ngerasain hal yang sama,” jawab Alia dengan senyum tulus. “Kadang aku merasa, kita punya ikatan yang lebih kuat dari sekadar pertemanan biasa.”

 

Kata-kata Alia membuat hati Rifki berdebar. Meski keduanya belum mengungkapkan perasaan mereka secara eksplisit, ada sebuah kehangatan yang mengalir di antara mereka. Mereka tidak lagi merasa canggung atau bingung, karena keduanya tahu bahwa ada sesuatu yang lebih dari sekadar persahabatan di antara mereka.

 

Setiap hari, mereka semakin sering berbicara, baik di sekolah maupun di luar jam sekolah. Mereka berbagi cerita tentang segala hal, dari hal-hal kecil yang lucu hingga hal-hal yang lebih pribadi. Alia merasa nyaman dengan Rifki, seolah-olah ia bisa menjadi diri sendiri tanpa takut dihakimi. Begitu juga dengan Rifki, ia merasa Alia adalah seseorang yang bisa ia percayai sepenuhnya.

 

Namun, meskipun kedekatan mereka semakin jelas, Alia masih merasa ada satu langkah besar yang harus diambil untuk mengubah hubungan mereka. Ia merasa bahwa saatnya telah tiba untuk membuka perasaan mereka satu sama lain, untuk mengungkapkan apa yang selama ini mereka simpan di dalam hati. Meskipun ia tahu bahwa ada kemungkinan mereka akan terluka, Alia tidak ingin lagi terjebak dalam ketidakpastian. Ia ingin menjalani hubungan ini dengan sepenuh hati.

 

Pada suatu sore, setelah mereka selesai belajar di perpustakaan bersama, Alia memutuskan untuk berbicara dengan Rifki. Hatinya berdebar kencang, tetapi ia tahu bahwa ini adalah langkah yang harus ia ambil. Rifki sedang berjalan di sampingnya, bercakap-cakap tentang ujian yang baru saja mereka lewati, ketika Alia tiba-tiba berhenti dan menatapnya dengan serius.

 

“Rifki,” kata Alia pelan, “aku… aku ingin bilang sesuatu.”

 

Rifki menatapnya dengan bingung, kemudian berhenti juga. “Ada apa, Alia? Kamu kelihatan serius banget.”

 

Alia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. “Aku… aku sudah lama ngerasa ini, tapi aku takut untuk mengungkapkannya. Tapi sekarang aku sadar, kalau aku nggak bilang, aku nggak akan pernah tahu.”

 

Rifki mengerutkan kening, mencoba membaca ekspresi Alia. “Apa yang kamu maksud?” tanya Rifki dengan suara yang lembut.

 

Alia menatapnya dalam-dalam, merasakan jantungnya berdegup kencang. “Rifki, aku… aku suka sama kamu,” ungkap Alia dengan gugup, tapi penuh keyakinan. “Aku tahu kita nggak bisa memaksakan apa-apa, tapi perasaan ini sudah ada sejak lama. Aku nggak ingin terus-terusan diam. Aku suka kamu, dan aku ingin tahu apa kamu juga merasa hal yang sama.”

 

Rifki terdiam, seolah terkejut dengan pengakuan Alia. Alia merasa jantungnya seperti berhenti berdetak sejenak, tetapi ia tetap menatap Rifki dengan penuh harapan. Ia tahu bahwa ini adalah saat yang krusial, dan ia hanya bisa menunggu jawaban Rifki.

 

Setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya, Rifki akhirnya tersenyum. Senyum yang begitu tulus dan hangat, yang membuat hati Alia terasa lega. “Alia,” katanya perlahan, “aku juga suka sama kamu. Aku nggak tahu harus ngomong apa, tapi aku merasa ada sesuatu yang lebih di antara kita. Aku nggak bisa menjelaskan dengan kata-kata, tapi aku juga merasakannya.”

 

Hati Alia meledak dalam kebahagiaan. Ada perasaan yang tak bisa dijelaskan ketika mendengar Rifki mengungkapkan perasaannya. Segala keraguan, ketakutan, dan kebingungannya seolah lenyap begitu saja. Mereka saling tersenyum, dan dalam momen itu, Alia merasa bahwa semua yang terjadi sebelumnya adalah bagian dari perjalanan yang membawa mereka ke titik ini.

 

Rifki melangkah lebih dekat, dan untuk pertama kalinya dalam hubungan mereka, ia meraih tangan Alia. “Aku senang kita akhirnya bisa saling terbuka,” kata Rifki, suaranya lembut namun penuh makna. “Aku ingin kita bisa terus bersama, dan menjalani ini dengan hati yang terbuka.”

 

Alia merasa dunia seakan berhenti sejenak. Dalam kebersamaan mereka, ia merasa cinta itu tidak perlu terburu-buru atau dipaksakan. Mereka telah sampai pada titik ini karena keduanya saling memahami dan menghargai satu sama lain. Tidak ada lagi keraguan yang menghalangi mereka, hanya ada perasaan yang tumbuh dengan sendirinya, perlahan tetapi pasti.

 

Hari itu, di bawah langit senja yang berwarna keemasan, Alia dan Rifki memulai babak baru dalam hubungan mereka. Tidak ada lagi ketakutan, hanya ada kebahagiaan yang sederhana namun mendalam. Cinta pertama mereka baru saja dimulai, dan meskipun mereka tidak tahu apa yang akan terjadi ke depannya, mereka yakin satu hal: ini adalah awal dari cinta yang akan terus tumbuh dan berkembang, langkah demi langkah, bersama-sama.

—THE END—

Source: Muhammad Reyhan Sandafa
Tags: cinta penuh rintangancinta tuluscinta yang kuat
Previous Post

JEJAK PENGHIANATAN

Next Post

RINDU YANG TAK TERLUPAKAN

Related Posts

CINTA PERTAMA, LUKA TERINDAH

CINTA PERTAMA, LUKA TERINDAH

April 30, 2025
DETIK SAAT NAMAMU MENJADI LAGU

DETIK SAAT NAMAMU MENJADI LAGU

April 29, 2025
SENYUMMU, AWAL DARI SEGALANYA

SENYUMMU, AWAL DARI SEGALANYA

April 28, 2025
SENYUMMU, AWAL DARI SEGALANYA

SENYUMMU, AWAL DARI SEGALANYA

April 27, 2025
” RINDU YANG TAK PERNAH TAHU WAKTU “

” RINDU YANG TAK PERNAH TAHU WAKTU “

April 26, 2025
” JEJAK PERTAMA DI HATIMU “

” JEJAK PERTAMA DI HATIMU “

April 25, 2025
Next Post
RINDU YANG TAK TERLUPAKAN

RINDU YANG TAK TERLUPAKAN

TUNGGU AKU DI UJUNG WAKTU

TUNGGU AKU DI UJUNG WAKTU

Ketika Hati Berbicara Pertama Kali

Ketika Hati Berbicara Pertama Kali

Top Stories

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

May 17, 2025
KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

May 16, 2025
KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

May 15, 2025

Tentang Kisah Cinta

Kami menyajikan kumpulan novel dan cerpen cinta yang menggambarkan berbagai sisi cinta, dari yang manis hingga yang pahit, dari yang bahagia hingga yang menyayat hati

Connect on Social

© 2024 Kisahcinta.id

No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta

© 2024 Kisahcinta.id