Daftar Isi
- BAB 1: Awal Kehidupan yang Berubah
- BAB 2: Tatapan yang Membakar
- BAB 3: Terjebak dalam Jaring Godaan
- BAB 4: Mimpi Buruk yang Nyata
- BAB 5: Dekat Tapi Terperangkap
- BAB 6: Menghindar, Tapi Tak Bisa Lari
- BAB 7: Jerat yang Semakin Mengikat
- BAB 8: Jalan Keluar yang Terjal
- BAB 9: Bayang-Bayang yang Terus Menghantui
- BAB 10: Kebenaran yang Terungkap
BAB 1: Awal Kehidupan yang Berubah
Matahari senja meredup di ufuk barat ketika aku melangkah masuk ke rumah baru yang megah itu. Sebuah rumah besar dengan pilar-pilar tinggi dan lampu kristal menggantung di langit-langit. Aku masih belum percaya bahwa aku akan tinggal di tempat semewah ini.
“Selamat datang di rumah baru kita, Nadia,” ucap Ibu dengan senyum bahagia di wajahnya.
Aku hanya bisa tersenyum tipis. Ibuku, Rina, baru saja menikah dengan seorang pria kaya bernama Raka Pradipta. Pria berusia 45 tahun dengan wajah tampan dan tubuh yang masih tegap untuk usianya. Aku tak tahu bagaimana ibu bisa jatuh cinta padanya, tapi melihat kehidupan kami yang penuh kesulitan selama ini, aku mengerti mengapa ia memilih menikah lagi.
“Kamu pasti suka rumah ini,” lanjut Ibu, merangkulku erat. Aku mengangguk pelan.
Namun, hatiku terasa berat. Aku tidak tahu mengapa, tapi ada sesuatu dalam diri pria itu yang membuatku merasa tidak nyaman. Tatapan matanya sejak pertama kali kami bertemu terasa berbeda. Bukan seperti seorang ayah melihat anak tirinya, tapi seperti seorang pria yang menilai seorang wanita.
Aku menggelengkan kepalaku, mencoba mengusir pikiran buruk itu. Mungkin aku hanya terlalu curiga. Aku harus berusaha menerima keadaan ini demi kebahagiaan Ibu.
**~~~**
Malam itu, aku berdiam diri di kamar baruku. Kamar yang lebih besar dari tempat tinggalku sebelumnya, dilengkapi perabotan mewah yang tak pernah kubayangkan sebelumnya. Aku menyentuh sprei lembut di tempat tidur, tetapi tetap saja, aku merasa asing di sini.
Ketukan di pintu membuyarkan lamunanku.
“Nadia?” Suara Raka terdengar dari balik pintu.
Aku sedikit terkejut. “Iya, Om?”
Pintu terbuka perlahan, dan pria itu masuk dengan senyum tipis di wajahnya. “Jangan panggil aku Om. Kita sekarang keluarga. Panggil aku Ayah.”
Aku mengangguk canggung. “Baik, Ayah.”
Ia menatapku dengan cara yang aneh. Sejenak, ia terdiam, seperti tengah meneliti sesuatu dalam diriku.
“Kau sangat mirip dengan ibumu waktu muda,” katanya tiba-tiba.
Aku tersenyum, tetapi tak bisa menahan perasaan aneh yang merayapi kulitku.
“Kalau butuh sesuatu, jangan sungkan bicara padaku,” lanjutnya, sebelum akhirnya keluar dari kamarku.
Aku menghembuskan napas lega. Aku tak tahu kenapa, tapi keberadaannya begitu dekat denganku membuatku tidak nyaman.
Dan sejak malam itu, aku tahu hidupku tak akan pernah sama lagi.*
BAB 2: Tatapan yang Membakar
Minggu pertama di rumah baru terasa begitu canggung bagiku. Aku masih berusaha menyesuaikan diri dengan kemewahan yang tiba-tiba hadir dalam hidupku. Tidak ada lagi kamar sempit dengan dinding yang mulai mengelupas, tidak ada lagi suara gaduh tetangga yang sering bertengkar di kontrakan kami yang dulu. Kini, semuanya terasa sunyi dan terlalu luas.
Namun, ada sesuatu yang terus mengganggu pikiranku—tatapan ayah tiriku, Raka.
Aku mulai menyadarinya sejak pertama kali bertemu dengannya, tapi aku mencoba mengabaikannya, menganggapnya hanya perasaanku saja. Tapi semakin hari, semakin aku yakin bahwa ada sesuatu yang salah dalam cara dia melihatku.
Pagi itu, aku turun ke ruang makan dengan masih mengenakan piyama lengan panjang berwarna putih. Ibu sudah lebih dulu duduk di meja makan, menyantap sarapan dengan santai.
“Nadia, duduk sini,” kata Ibu dengan senyum cerah.
Aku mengambil tempat di seberangnya dan mulai menyendok bubur ayam yang masih hangat. Aku merasa tenang saat bersama Ibu. Tetapi ketenangan itu sirna saat suara langkah kaki terdengar dari tangga.
Aku menoleh dan mendapati Raka berjalan turun dengan mengenakan kemeja biru yang digulung sampai siku. Rambutnya tertata rapi, menunjukkan sisi karismatiknya yang mungkin dulu membuat Ibu jatuh cinta.
Pandangannya langsung tertuju padaku. Aku bisa merasakan matanya mengamati setiap detail diriku. Aku menundukkan kepala, mencoba fokus pada sarapanku, tapi aku bisa merasakan tatapannya yang seolah menembus kulitku.
“Selamat pagi,” katanya dengan suara berat yang dalam.
“Selamat pagi, Mas,” sahut Ibu riang.
Aku hanya mengangguk pelan.
Saat Raka duduk di kursinya, aku merasakan kakinya bergerak di bawah meja, menyentuh kakiku tanpa sengaja—atau mungkin sengaja? Aku langsung menarik kakiku dan berpura-pura tidak terjadi apa-apa.
Selama sarapan, aku berusaha untuk tidak terlalu banyak bicara. Aku hanya ingin segera menyelesaikan makan dan pergi ke kamarku. Tetapi aku bisa merasakan bahwa Raka terus memperhatikanku.
“Jadi, kamu sekarang sudah kelas berapa, Nadia?” tanyanya tiba-tiba.
Aku mengangkat wajah, mencoba tetap bersikap wajar. “Kelas dua belas, Ayah.”
“Hmm,” gumamnya sambil tersenyum tipis. “Sebentar lagi lulus, ya? Sudah punya rencana mau kuliah di mana?”
Aku mengangkat bahu. “Masih belum tahu, mungkin universitas negeri di kota ini saja.”
“Ayah bisa membantumu masuk universitas yang lebih bagus, kalau mau,” katanya, matanya menatapku dalam.
Aku tersenyum tipis. “Terima kasih, tapi aku ingin mencoba sendiri dulu.”
“Ayah suka gadis yang mandiri,” katanya pelan.
Aku terdiam. Kalimat itu terdengar aneh di telingaku. Aku melirik ke arah Ibu, tapi dia tampaknya tidak menyadari nada suara Raka yang terdengar sedikit berbeda.
Setelah selesai sarapan, aku segera meminta izin untuk naik ke kamarku. Namun, baru saja aku hendak menaiki tangga, suara Raka menghentikanku.
“Nadia,” panggilnya.
Aku menoleh, dan sekali lagi, aku menangkap tatapan itu. Tatapan yang tidak seharusnya dimiliki seorang ayah tiri terhadap anak tirinya. Tatapan yang membuat bulu kudukku berdiri.
“Jangan terlalu sering mengurung diri di kamar. Rumah ini juga rumahmu, bersantailah,” katanya dengan senyum tipis.
Aku hanya mengangguk, lalu segera menaiki tangga dengan langkah cepat. Saat aku tiba di kamarku dan menutup pintu, aku menghela napas panjang.
Aku tidak tahu apa yang terjadi, tapi aku merasa ada sesuatu yang salah.
Dan aku mulai takut.*
BAB 3: Terjebak dalam Jaring Godaan
Sejak pagi itu, aku semakin waspada terhadap keberadaan Raka. Tatapan dan sikapnya membuatku gelisah, meski aku tidak berani mengatakannya kepada Ibu. Aku takut ia menganggapku berlebihan atau lebih buruk lagi—tidak mempercayai firasatku.
Hari-hariku di rumah besar ini terasa semakin menyesakkan. Setiap aku melewati lorong atau turun ke ruang makan, aku merasa dia selalu ada di sekitarku, memperhatikanku dalam diam. Aku berusaha untuk tidak memikirkannya, tetapi semakin aku mengabaikannya, semakin jelas aku menyadari bahwa Raka memang sengaja mencoba mendekatiku.
**~~~**
Suatu siang, Ibu mengajakku keluar untuk berbelanja kebutuhan rumah. Tapi karena aku merasa lelah setelah mengerjakan tugas sekolah, aku memutuskan untuk tinggal di rumah.
“Jangan lupa makan, ya,” pesan Ibu sebelum pergi.
Aku hanya mengangguk dan tersenyum, berharap bisa menikmati waktu sendirian di rumah yang terlalu besar ini.
Aku duduk di ruang tamu, menonton televisi sambil menikmati segelas jus dingin. Rumah terasa begitu sepi tanpa Ibu. Suasana ini sebenarnya nyaman, tetapi entah kenapa aku tetap merasa gelisah.
Saat aku hampir tertidur di sofa, suara langkah kaki terdengar dari lantai atas. Aku menegang. Aku berpikir seharusnya tidak ada orang di rumah selain aku—dan Raka.
Benar saja, tak lama kemudian, pria itu muncul di ambang pintu ruang tamu.
“Kamu sendirian?” tanyanya, suaranya terdengar dalam dan sedikit serak.
Aku menelan ludah. “Iya, Ibu pergi belanja.”
Aku berharap ia hanya lewat dan pergi, tetapi ia malah berjalan masuk dan duduk di sofa di seberangku.
“Kenapa nggak ikut? Biasanya cewek suka belanja,” katanya sambil tersenyum tipis.
Aku mengangkat bahu. “Lagi malas keluar, capek.”
Raka mengangguk, tetapi sorot matanya tetap menatapku dengan intens. “Kamu kelihatan lelah. Jangan sampai sakit.”
Aku hanya tersenyum tipis. Aku berharap percakapan ini segera berakhir, tetapi kemudian ia melakukan sesuatu yang membuat jantungku berdebar tak nyaman.
Ia menyandarkan tubuhnya ke sofa dan mengamati wajahku dengan tatapan yang lebih dalam. “Kamu semakin cantik, Nadia.”
Aku menegang. Kata-kata itu membuatku merasa tak nyaman.
“Tidak heran banyak lelaki seusiamu pasti tertarik padamu,” lanjutnya.
Aku memaksakan tawa. “Aku nggak tahu, Ayah.”
Ia tersenyum, tetapi ada sesuatu di balik senyum itu yang membuatku merasa seperti terperangkap dalam situasi yang tidak mengenakkan.
“Kamu harus lebih percaya diri,” katanya pelan. “Gadis secantik kamu harus tahu cara menghargai dirinya sendiri.”
Aku ingin berdiri dan pergi, tetapi Raka tiba-tiba bergerak lebih dekat. Aku bisa mencium aroma parfumnya yang mahal, aroma yang biasanya tercium samar setiap ia lewat di dekatku, tetapi kini terlalu dekat untuk membuatku merasa nyaman.
“Tahu nggak?” katanya, suaranya lebih pelan dari sebelumnya. “Kamu mengingatkanku pada seseorang.”
Aku menelan ludah, mencoba menjaga ekspresiku tetap netral. “Siapa?”
Ia tersenyum. “Ibumu, waktu masih muda.”
Aku langsung berdiri. “Aku… aku mau ke kamar dulu, Ayah.”
Aku berbalik, tetapi sebelum aku bisa melangkah lebih jauh, tangannya meraih pergelangan tanganku dengan lembut, tetapi cukup kuat untuk menghentikanku.
Aku membeku.
Jantungku berdebar kencang. Aku bisa merasakan kehangatan tangannya di kulitku, dan aku merasa seperti seekor burung kecil yang terjebak dalam cengkeraman pemangsa.
Raka menatapku dengan mata tajam. “Jangan takut sama Ayah, Nadia.”
Aku mencoba menarik tanganku, dan untungnya, ia melepasnya setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya. Aku buru-buru pergi tanpa menoleh ke belakang.
Saat aku sampai di kamarku dan mengunci pintu, aku jatuh terduduk di lantai, tubuhku gemetar.
Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi, tetapi satu hal yang pasti—aku benar-benar terjebak dalam situasi yang tidak seharusnya terjadi.
Dan aku tidak tahu bagaimana cara keluar dari jerat ini.*
BAB 4: Mimpi Buruk yang Nyata
Aku tidak bisa tidur malam itu.
Bayangan kejadian siang tadi terus mengganggu pikiranku. Tatapan Raka, genggaman tangannya, dan kata-katanya yang samar tapi penuh makna membuatku semakin yakin bahwa aku harus lebih berhati-hati. Aku tahu ada sesuatu yang salah, sesuatu yang tidak boleh terjadi, tetapi bagaimana aku bisa menghindarinya?
Aku menggigit bibirku, menatap langit-langit kamar. Biasanya, rumah ini terasa terlalu luas dan sepi, tetapi malam ini, aku merasakan ketakutan yang berbeda. Aku merasa tidak aman.
Jam di dinding menunjukkan pukul 1:00 dini hari ketika aku akhirnya terlelap, tetapi tidurku tidak nyenyak. Aku bermimpi tentang sesuatu yang mengganggu.
Aku berdiri di tengah ruangan yang gelap, hanya diterangi oleh cahaya temaram dari lampu gantung di atas kepala. Aku merasa ada seseorang yang mengamatiku dari kejauhan.
“Nadia…”
Suara itu… suara Raka.
Aku menoleh, tetapi aku tidak melihat siapa pun. Namun, aku bisa merasakan kehadirannya. Langkah kaki terdengar mendekat, dan semakin lama suara napasnya semakin jelas.
Tiba-tiba, seseorang berdiri tepat di belakangku. Aku tidak bisa bergerak, tubuhku terasa kaku. Aku ingin berteriak, tetapi suaraku tercekat di tenggorokan.
Sebuah tangan terulur, menyentuh bahuku dengan lembut.
Aku tersentak dan terbangun dengan keringat dingin membasahi dahiku. Nafasku memburu, jantungku berdetak tidak karuan.
Itu hanya mimpi… hanya mimpi…
Tapi mengapa terasa begitu nyata?
Aku duduk di tempat tidur, mengusap wajahku dengan tangan gemetar. Aku meraih ponsel, berharap ada sesuatu yang bisa mengalihkan pikiranku. Namun, mataku justru terpaku pada notifikasi pesan yang masuk.
Nomor tak dikenal.
**“Kenapa tidak tidur, Nadia?”**
Jantungku hampir berhenti berdetak. Aku membaca ulang pesan itu, berharap aku hanya salah lihat. Tapi tidak, pesan itu nyata.
Aku menelan ludah, jemariku gemetar saat membalas.
**“Siapa ini?”**
Tak butuh waktu lama sebelum balasan datang.
**“Seseorang yang memperhatikanmu.”**
Aku terlonjak. Aku segera memblokir nomor itu, lalu melempar ponsel ke samping. Aku mencoba berpikir jernih, tetapi satu-satunya kemungkinan yang terlintas di pikiranku adalah… Raka.
Tidak… tidak mungkin… atau mungkin?
Aku menarik selimut dan memeluk diri sendiri. Aku harus mencari cara untuk keluar dari situasi ini sebelum semuanya semakin buruk.
Tapi bagaimana?
**~~~**
Keesokan paginya, aku duduk di meja makan dengan perasaan tidak tenang. Ibu sedang sibuk menyiapkan sarapan, sementara Raka duduk di ujung meja, menyesap kopi hitamnya dengan santai.
Aku tidak berani menatapnya terlalu lama. Aku takut dia tahu bahwa aku curiga padanya.
“Nadia, nanti sore temani Ibu ke butik, ya?” kata Ibu dengan riang. “Ibu mau beli beberapa baju baru.”
Aku mengangguk, sedikit lega karena aku bisa menghabiskan lebih banyak waktu di luar rumah bersama Ibu.
“Tapi jangan lama-lama.”
Aku menoleh ke arah Raka yang kini menatapku sambil meletakkan cangkirnya.
“Nadia harus pulang sebelum malam,” lanjutnya. “Aku tidak suka rumah ini terlalu sepi.”
Ada sesuatu dalam suaranya yang terdengar seperti peringatan. Aku menelan ludah, lalu mengangguk pelan.
Entah mengapa, aku merasa seperti seekor burung dalam sangkar emas, dan Raka adalah pemiliknya yang tak ingin aku pergi terlalu jauh.
Dan itu semakin membuatku takut.*
BAB 5: Dekat Tapi Terperangkap
Aku duduk di dalam mobil bersama Ibu, berusaha menikmati kebersamaan kami sore itu. Kami baru saja selesai berbelanja di butik, dan kini mobil melaju menuju rumah.
Aku ingin lebih lama di luar, ingin merasakan udara segar tanpa bayang-bayang Raka mengikutiku. Tetapi aku tahu itu tidak mungkin. Dia menginginkan aku pulang sebelum malam.
“Sepertinya kau kurang bersemangat hari ini, sayang,” ujar Ibu sambil melirikku. “Ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu?”
Aku menatapnya dan ingin mengatakan semuanya. Ingin memberitahu betapa takutnya aku berada di rumah yang sama dengan suaminya. Tetapi kata-kata itu terjebak di tenggorokanku.
“Aku hanya lelah, Bu,” jawabku akhirnya, memaksakan senyum.
Ibu mengangguk, tak mencurigai apa pun. Ia terlalu bahagia dengan kehidupan barunya bersama Raka, dan aku tidak tega merusaknya.
**~~~**
Malam itu, aku berdiri di depan cermin di dalam kamar, menatap bayanganku sendiri. Aku terlihat baik-baik saja di luar, tetapi di dalam, aku hancur perlahan.
Aku harus keluar dari sini.
Tapi bagaimana?
Saat aku tenggelam dalam pikiranku sendiri, ponselku bergetar di atas meja. Aku mengambilnya dan melihat satu pesan dari nomor yang sudah aku blokir sebelumnya.
**“Kamu cantik sekali dengan gaun itu tadi.”**
Tanganku langsung gemetar.
Aku mengenakan gaun krem tadi sore saat pergi bersama Ibu. Itu berarti…
Dia melihatku.
Aku menoleh ke jendela, tetapi semua tirai sudah tertutup rapat. Lalu bagaimana dia tahu?
Aku buru-buru mengetik balasan.
**“Siapa kamu? Berhenti menggangguku!”**
Tak lama, sebuah balasan masuk.
**“Kamu tahu siapa aku, Nadia.”**
Aku ingin menjerit.
Ini gila. Aku tidak bisa terus seperti ini.
Aku mematikan ponsel dan melemparkannya ke tempat tidur. Aku tidak ingin melihat layar itu lagi malam ini. Aku hanya ingin tidur dan berharap saat aku bangun, semua ini hanya mimpi buruk belaka.
**~~~**
Aku tidak tahu jam berapa ketika aku terbangun oleh suara ketukan pelan di pintu kamarku.
Tok. Tok. Tok.
Aku menahan napas.
Siapa yang datang tengah malam begini?
Aku tetap diam, berharap orang di luar menyerah dan pergi. Tetapi ketukan itu datang lagi, kali ini sedikit lebih keras.
Tok. Tok. Tok.
Aku meraih ponsel dan menyalakan layarnya. Pukul **01.30** dini hari.
Jantungku berdebar saat aku turun dari tempat tidur, berjalan perlahan ke pintu, dan menempelkan telinga di sana.
“Nadia…”
Suara itu.
Aku langsung mundur.
Itu suara Raka.
Apa yang dia lakukan di depan kamarku di tengah malam?
“Nadia, aku tahu kamu belum tidur,” katanya dengan nada lembut, tetapi ada sesuatu dalam suaranya yang membuat bulu kudukku berdiri.
Aku menutup mulutku rapat-rapat, menahan napas.
Ketukan itu kembali terdengar.
“Ayah cuma mau bicara sebentar…”
Aku melangkah mundur perlahan. Aku tahu aku tidak boleh membuka pintu ini. Aku tahu aku harus tetap diam.
Beberapa detik kemudian, suara langkah kakinya terdengar menjauh. Aku tetap berdiri terpaku, masih tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi.
Aku harus menemukan cara untuk keluar dari sini… sebelum semuanya semakin terlambat.*
BAB 6: Menghindar, Tapi Tak Bisa Lari
Sejak malam itu, aku mulai menghindari Raka sebisa mungkin. Aku memastikan tidak pernah sendirian di dalam rumah jika tidak ada Ibu. Aku selalu mengunci pintu kamarku sebelum tidur dan berusaha untuk tidak memberi kesempatan sekecil apa pun agar dia bisa mendekatiku lagi.
Tapi semakin aku mencoba menghindar, semakin aku merasa terjebak.
Aku tidak bisa menceritakan semuanya kepada Ibu. Aku takut menghancurkan kebahagiaannya. Ia terlihat begitu mencintai Raka, dan aku tidak yakin apakah ia akan mempercayaiku jika aku mengungkapkan kebenaran.
Yang lebih buruk lagi, Raka tahu aku ketakutan.
Dan dia menikmatinya.
**~~~**
Sore itu, aku memutuskan untuk duduk di taman belakang rumah sambil membaca buku, berharap udara segar bisa menenangkan pikiranku. Tapi ketenangan itu hanya bertahan sebentar.
Aku bisa merasakan seseorang mengamatiku.
Aku berpura-pura membaca, tetapi dari sudut mataku, aku melihat Raka berdiri di ambang pintu, menyandarkan tubuhnya pada kusen sambil melipat tangan di dada. Tatapan matanya membuat napasku tercekat.
Aku menelan ludah dan berusaha tetap tenang.
“Sejak kapan kamu suka membaca di luar?” tanyanya, suaranya terdengar santai tapi tetap menekan.
Aku mengangkat bahu tanpa menatapnya. “Sejak lama.”
Dia melangkah mendekat. “Kamu kelihatan stres belakangan ini.”
Aku ingin pergi, tetapi sebelum aku bisa bergerak, dia sudah duduk di bangku di depanku. Jarak kami terlalu dekat.
“Nadia,” katanya pelan, “kenapa kamu selalu menghindar dari Ayah?”
Aku menegakkan punggungku. “Aku tidak menghindar.”
Dia tersenyum miring. “Benarkah?”
Aku mengangguk cepat, berusaha terlihat setenang mungkin. Tapi saat dia mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan, aku bisa merasakan hawa panas dari tubuhnya.
“Ayah ingin kamu nyaman di rumah ini,” bisiknya. “Kita harus lebih dekat, bukan?”
Aku menggigit bibir, berusaha menahan napas agar tidak menunjukkan ketakutan yang jelas terpancar dari mataku.
Aku harus pergi. Sekarang.
Aku menutup buku dengan cepat dan bangkit. “Aku lupa, Ibu memintaku membantunya di dapur.”
Aku berbalik, tetapi tangannya tiba-tiba meraih pergelangan tanganku.
Jantungku serasa berhenti berdetak.
“Tunggu sebentar,” bisiknya, jari-jarinya mencengkeram kulitku cukup kuat.
Aku meneguk ludah, berusaha menarik tanganku secara halus. “Ada apa, Ayah?”
Dia menatapku lama sebelum akhirnya tersenyum kecil dan melepaskan genggamannya. “Tidak apa-apa. Pergilah.”
Aku segera melangkah masuk ke dalam rumah, tidak berani menoleh ke belakang.
Saat aku tiba di kamar, aku langsung mengunci pintu dan bersandar di sana, napasku tersengal. Aku menatap pergelangan tanganku—bekas genggamannya masih terasa di sana.
Aku semakin yakin.
Aku harus keluar dari sini.
**~~~**
Malamnya, aku mencari cara untuk bisa pergi dari rumah ini. Aku berpikir untuk kembali ke rumah nenek, tetapi aku tahu itu tidak akan mudah. Ibu pasti akan bertanya-tanya, dan aku tidak ingin ia curiga.
Tapi aku tidak bisa tinggal lebih lama di sini.
Aku mengambil ponsel dan mencari tiket bus ke kota tempat nenek tinggal. Jika aku bisa menemukan alasan untuk pergi, mungkin aku bisa menyelamatkan diri sebelum semuanya semakin buruk.
Saat aku sedang fokus mencari tiket, ponselku bergetar.
Nomor tak dikenal lagi.
Aku menahan napas sebelum membaca pesannya.
**”Jangan coba-coba lari, Nadia.”**
Ponsel di tanganku hampir terjatuh.
Aku menggigit bibir, menahan air mata yang mulai menggenang.
Dia tahu.
Dia selalu tahu.
Aku mematikan ponsel dan berbaring di tempat tidur, menarik selimut hingga menutupi tubuhku.
Aku harus menemukan jalan keluar.
Sebelum semuanya terlambat.*
BAB 7: Jerat yang Semakin Mengikat
Aku tidak bisa berpura-pura lagi.
Sejak pesan terakhir itu, aku semakin yakin bahwa Raka tidak akan membiarkanku pergi. Aku merasa dia mengawasi setiap gerak-gerikku. Setiap langkah yang kuambil, setiap tatapan yang kulemparkan, semua terasa seperti berada di dalam pengawasan.
Aku tidak bisa bernapas lega di dalam rumah ini.
Namun, aku tidak bisa gegabah. Jika aku menunjukkan tanda-tanda ingin kabur, dia pasti akan bertindak lebih jauh.
Aku harus mencari cara lain.
**~~~**
Pagi ini, aku berpura-pura bersikap seperti biasa saat duduk di meja makan bersama Ibu dan Raka. Aku berusaha tersenyum, berusaha terlihat tenang.
Ibu mengobrol tentang rencana akhir pekannya dengan teman-temannya, sementara aku hanya mengangguk sesekali, pura-pura tertarik. Aku tahu Raka sedang memperhatikanku, tetapi aku mengabaikannya.
Aku tidak akan membiarkan dia tahu bahwa aku takut.
“Kamu kelihatan lebih ceria hari ini, Nadia,” ujar Raka tiba-tiba.
Aku hampir tersedak roti yang sedang kumakan, tetapi segera menguasai diri. Aku menoleh dan memasang senyum palsu. “Aku hanya mencoba menikmati hari.”
Raka menyesap kopinya, matanya tetap tertuju padaku. “Baguslah. Aku tidak suka melihatmu murung.”
Aku meneguk air putih untuk menenangkan diri.
Saat aku menoleh ke arah Ibu, ia sibuk dengan ponselnya, mungkin sedang mengatur jadwal pertemuannya dengan teman-temannya. Ini mungkin kesempatan yang aku butuhkan.
“Ibu,” panggilku pelan. “Aku ingin pergi sebentar ke kampus hari ini. Ada beberapa dokumen yang harus aku urus.”
Ibu mengangkat wajahnya, lalu tersenyum. “Tentu saja. Kamu bisa pergi sekarang kalau mau.”
Aku menahan napas, menunggu reaksi dari Raka.
Dia meletakkan cangkir kopinya dan menatapku dengan ekspresi tenang, tetapi aku bisa melihat sesuatu yang tersembunyi di balik matanya.
“Kamu mau pergi sendiri?” tanyanya.
Aku mengangguk, berusaha bersikap santai. “Ya, aku bisa naik bus.”
Dia terdiam sejenak, lalu tersenyum tipis. “Tidak perlu. Aku akan mengantarmu.”
Jantungku mencelos. Itu bukan yang kuinginkan.
“Tidak usah repot-repot, Ayah. Aku bisa—”
“Aku tidak sibuk hari ini,” potongnya. “Lagipula, aku ingin memastikan kamu aman.”
Itu bukan tawaran. Itu peringatan.
Aku tidak punya pilihan selain mengangguk pelan.
**~~~**
Sepanjang perjalanan menuju kampus, aku berusaha mencari cara untuk melarikan diri. Tetapi bagaimana? Raka duduk di belakang kemudi, sementara aku di sebelahnya.
Aku mencengkeram ujung rokku, mencoba menyusun rencana dengan cepat.
“Kenapa diam saja?” tanyanya tanpa mengalihkan pandangan dari jalan.
Aku menoleh, memaksakan senyum. “Hanya memikirkan tugas-tugas di kampus.”
Raka tertawa pelan. “Aku rasa bukan itu yang kamu pikirkan.”
Aku menegang.
“Aku tahu kamu mencoba menghindariku, Nadia,” lanjutnya, suaranya rendah dan penuh makna. “Tapi kamu harus tahu satu hal…”
Dia melirikku sekilas sebelum kembali fokus ke jalan.
“Kamu tidak bisa lari dariku.”
Tanganku langsung menggenggam rokku lebih erat.
Aku harus keluar dari sini…
**~~~**
Saat tiba di kampus, aku berpura-pura bersikap santai. Aku turun dari mobil, berusaha menyembunyikan kegugupanku.
“Aku akan menunggumu di sini,” kata Raka sambil menyalakan sebatang rokok.
Aku menelan ludah. Aku tidak boleh membiarkan ini menjadi kesempatan sia-sia.
Aku melangkah cepat menuju gedung administrasi, berpura-pura hendak mengurus sesuatu. Tetapi begitu aku sampai di dalam, aku langsung mencari jalan lain.
Aku harus kabur.
Aku berjalan ke lorong belakang, lalu menuju pintu darurat yang jarang dipakai. Aku menoleh ke belakang, memastikan tidak ada yang mengikutiku.
Aku membuka ponsel dan buru-buru menghubungi satu-satunya orang yang bisa menolongku saat ini.
“Paman Danu, tolong jemput aku sekarang. Aku harus pergi dari sini.”
Aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi.
Jika aku tetap tinggal di sini…
Aku akan benar-benar terperangkap selamanya.*
BAB 8: Jalan Keluar yang Terjal
Aku berdiri di lorong belakang kampus, jantungku berdegup kencang menunggu jawaban dari Paman Danu. Tanganku sedikit gemetar saat menempelkan ponsel ke telinga.
“Ada apa, Nadia?” suara beratnya terdengar dari seberang.
Aku menelan ludah. “Aku butuh bantuan, Paman. Aku harus pergi dari sini sekarang.”
Hening.
“Apa yang terjadi?” tanyanya curiga.
Aku menggigit bibir. Aku tidak bisa menjelaskan semuanya sekarang. Aku tidak punya waktu.
“Aku akan menjelaskannya nanti. Tolong jemput aku di belakang gedung administrasi kampus. Jangan beri tahu siapa pun.”
Paman Danu terdiam beberapa detik sebelum akhirnya menjawab, “Baik. Tunggu di sana. Aku akan segera datang.”
Aku menghela napas lega. Setidaknya aku punya kesempatan untuk melarikan diri.
Aku mematikan panggilan dan menoleh ke sekitar. Lorong ini sepi. Tak ada siapa pun yang bisa melihatku, tetapi aku tetap merasa cemas.
Aku harus cepat.
**~~~**
Aku mengintip dari sudut dinding, memastikan bahwa Raka masih berada di parkiran. Dari kejauhan, aku bisa melihatnya duduk di dalam mobil dengan rokok di tangannya, terlihat santai.
Tapi aku tahu dia tidak benar-benar santai.
Dia mengawasi.
Jika aku kembali ke sana, aku tidak akan pernah bisa pergi.
Aku menarik napas dalam-dalam dan mundur ke belakang gedung. Di sana ada pintu kecil yang jarang digunakan mahasiswa, tempat yang biasa digunakan petugas kampus untuk akses keluar-masuk.
Aku mengintip ke luar. Jalanan tidak terlalu ramai, tetapi cukup banyak orang berlalu-lalang sehingga aku bisa menyelinap pergi tanpa menarik perhatian.
Aku berjalan cepat menuju trotoar dan menunggu. Aku menoleh ke kiri dan kanan, berharap Paman Danu segera tiba.
Lima menit terasa seperti satu jam.
Aku terus menggenggam ponsel di tanganku, bersiap untuk menelepon lagi jika perlu.
Lalu, aku melihat sebuah mobil hitam berhenti tak jauh dariku. Jendela terbuka, dan aku melihat wajah Paman Danu yang penuh kebingungan.
“Nadia, cepat masuk!” serunya.
Aku tidak membuang waktu. Aku membuka pintu mobil dan segera duduk di kursi penumpang. Begitu pintu tertutup, Paman langsung melajukan mobilnya.
Aku menghela napas panjang, berusaha menenangkan detak jantungku.
“Kau mau ke mana?” tanya Paman sambil melirikku.
Aku menggigit bibir. “Ke rumah Nenek. Aku tidak bisa kembali ke rumah.”
Paman Danu menatapku tajam, tetapi ia tidak banyak bertanya. “Baik. Aku akan mengantarmu ke terminal bus. Dari sana, kau bisa pergi ke rumah Nenek dengan lebih aman.”
Aku mengangguk cepat.
Aku pikir semuanya akan baik-baik saja.
Tapi aku salah.
**~~~**
Baru beberapa menit mobil melaju, aku melihat sesuatu yang membuat darahku membeku.
Dari kaca spion, aku melihat mobil lain melaju di belakang kami.
Mobil Raka.
“Astaga,” bisikku panik. “Paman, kita dikuntit!”
Paman Danu melirik kaca spion dan wajahnya langsung mengeras. “Siapa dia?”
Aku mencengkeram sabuk pengaman erat-erat. “Suami Ibu. Aku harus pergi jauh darinya!”
Paman Danu mengumpat pelan, lalu menekan pedal gas. Mobil melaju lebih cepat, berusaha meninggalkan mobil Raka di belakang.
Tetapi Raka tidak menyerah.
Dia juga mempercepat lajunya.
Aku bisa melihatnya semakin mendekat.
“Nadia, dengarkan aku,” ujar Paman Danu tegang. “Kita akan mencoba masuk ke jalan kecil dan bersembunyi. Pegang erat-erat!”
Aku mengangguk panik.
Mobil Paman Danu berbelok tajam ke jalan kecil di sisi kiri, mencoba menghilang dari pandangan Raka. Aku menoleh ke belakang dan melihat mobil Raka melaju melewati jalan utama.
Dia kehilangan jejak kami.
Aku menghela napas lega.
“Tapi kita belum aman,” ujar Paman Danu. “Kita harus cepat keluar dari kota ini.”
Aku menggigit bibir dan menatap keluar jendela. Aku tidak tahu apakah aku benar-benar bisa kabur dari Raka…
Tapi aku tidak akan menyerah.
Aku harus bebas.*
BAB 9: Bayang-Bayang yang Terus Menghantui
Aku pikir setelah berhasil melarikan diri dari Raka, aku bisa bernapas lega. Tapi ternyata, ketakutan itu masih mengendap di dalam dadaku.
Mobil Paman Danu melaju dengan kecepatan stabil di jalanan kecil yang sepi. Aku menggigit bibir, mencoba menenangkan diriku sendiri, tetapi pikiranku masih dipenuhi bayangan Raka.
Aku tahu dia tidak akan diam saja.
“Nadia,” suara Paman Danu membuyarkan lamunanku. “Kamu mau langsung ke terminal atau mau sembunyi dulu di tempat yang lebih aman?”
Aku menatap keluar jendela. Langit mulai gelap, dan aku sadar jika aku pergi ke terminal sekarang, kemungkinan Raka bisa menemukan aku masih sangat besar.
“Kita cari tempat aman dulu,” jawabku pelan.
Paman Danu mengangguk dan mengubah arah mobilnya menuju sebuah daerah yang tidak terlalu ramai. Aku tidak tahu ke mana dia membawaku, tapi aku percaya padanya.
**~~~**
Setengah jam kemudian, mobil kami berhenti di depan sebuah rumah kecil yang tampak sederhana.
“Di sini,” ujar Paman Danu.
Aku mengerutkan kening. “Ini rumah siapa?”
“Teman lama Paman. Aku sudah menghubunginya tadi. Dia bersedia membantu kita sementara waktu.”
Aku mengangguk dan mengikuti Paman masuk ke dalam rumah. Seorang wanita paruh baya menyambut kami dengan senyuman hangat.
“Kalian bisa istirahat di sini dulu,” katanya. “Jangan khawatir, aku tidak akan bilang ke siapa pun.”
Aku tersenyum kecil. “Terima kasih, Tante.”
Kami masuk ke dalam dan duduk di ruang tamu. Aku baru sadar betapa lelahnya aku setelah semua kejadian ini.
“Nadia,” Paman Danu menatapku serius. “Kamu harus ceritakan semuanya ke Paman. Apa yang sebenarnya terjadi?”
Aku terdiam sejenak, lalu mengambil napas panjang. Aku tidak bisa menyembunyikan ini lebih lama lagi.
“Ayah tiri mencoba mendekatiku dengan cara yang tidak pantas,” kataku akhirnya, suaraku bergetar.
Paman Danu mengepalkan tangannya. “Bajingan!”
Aku mengangguk, menundukkan kepala. “Aku sudah mencoba menghindar, tapi dia terus mengawasi setiap gerak-gerikku. Aku takut, Paman. Aku tidak tahu harus bagaimana lagi.”
Paman Danu menghela napas berat. “Kita harus melaporkannya ke polisi.”
Aku tersentak. “Tidak! Ibu… Ibu pasti akan hancur kalau tahu ini.”
“Jadi kamu mau membiarkan dia terus membayangi hidupmu?” suara Paman Danu meninggi. “Nadia, orang seperti dia tidak akan berhenti sampai dia mendapatkan apa yang dia mau.”
Aku menutup wajah dengan kedua tangan. Aku tahu Paman benar. Tapi aku juga tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi Ibu jika tahu tentang ini.
Aku menangis pelan. Aku benar-benar tidak tahu harus bagaimana lagi.
**~~~**
Malam itu, aku tidak bisa tidur. Aku hanya berbaring di kasur kecil yang disediakan oleh Tante pemilik rumah ini, memandangi langit-langit yang gelap.
Pikiranku dipenuhi ketakutan.
Apakah Raka masih mencariku?
Apakah dia tahu aku bersembunyi di sini?
Apakah aku benar-benar bisa lari darinya?
Aku menggenggam selimut erat-erat.
Aku tidak bisa hidup dalam ketakutan seperti ini selamanya.
Aku harus menemukan cara untuk benar-benar lepas dari Raka.
Dan aku tahu, hanya ada satu cara.
Aku harus menghadapi semuanya.
Besok, aku akan menemui Ibu.
Dan aku akan mengatakan yang sebenarnya.*
BAB 10: Kebenaran yang Terungkap
Aku berdiri di depan rumah, jantungku berdebar keras.
Setelah semalaman berpikir, aku akhirnya memutuskan untuk pulang dan menghadapi semuanya. Aku tidak bisa terus bersembunyi dalam ketakutan.
Paman Danu ingin ikut masuk bersamaku, tetapi aku menolaknya. Aku harus menghadapi Ibu sendirian.
Aku menarik napas dalam-dalam, lalu mengetuk pintu.
Beberapa detik kemudian, pintu terbuka dan aku melihat Ibu berdiri di sana, wajahnya penuh kebingungan dan kelegaan sekaligus.
“Nadia!” serunya, langsung menarikku ke dalam pelukannya.
Aku terdiam sejenak, merasakan hangatnya pelukan Ibu. Aku ingin menangis, tetapi aku harus kuat.
“Kamu ke mana saja? Kenapa tidak memberi kabar? Ayahmu sangat mengkhawatirkanmu,” ujar Ibu panik.
Mendengar kata “Ayahmu,” aku langsung menegang.
Aku menatap mata Ibu dan berkata dengan suara bergetar, “Ibu… aku harus bicara.”
**~~~**
Aku duduk di sofa, tanganku gemetar saat mencoba menjelaskan semuanya.
Ibu menatapku dengan penuh kebingungan saat aku mulai bercerita.
Tentang bagaimana Raka selalu mengawasi aku.
Tentang pesan-pesan yang ia kirimkan.
Tentang sentuhan-sentuhan yang terasa tidak wajar.
Tentang ketakutanku setiap kali berada di dekatnya.
Dan tentang alasanku melarikan diri.
Ibu terdiam. Wajahnya berubah pucat.
Aku menahan napas, menunggu reaksinya.
“Lelucon macam apa ini, Nadia?” suaranya terdengar bergetar.
“Aku tidak bercanda, Bu,” suaraku serak, hampir menangis. “Aku sudah berusaha diam, tapi aku tidak bisa lagi. Aku takut. Aku ingin pergi dari sini.”
Ibu menggeleng, air matanya mulai mengalir. “Tidak… ini tidak mungkin… Raka tidak mungkin melakukan itu.”
“Ibu!” Aku menggenggam tangannya. “Aku tidak bohong! Aku sudah menahannya selama ini karena aku tidak ingin Ibu terluka. Tapi aku tidak bisa hidup seperti ini lagi!”
Ibu menarik tangannya, berdiri dengan tubuh gemetar. “Kamu salah paham, Nadia. Mungkin Raka hanya bersikap baik. Dia ayah tirimu!”
Aku merasakan dadaku sesak.
Kenapa Ibu tidak mau percaya?
“Aku tahu sulit untuk menerima ini, tapi Ibu harus membuka mata!” suaraku meninggi.
Ibu menangis. “Tidak… ini tidak benar…”
Aku merasa putus asa.
Lalu, suara lain terdengar dari balik pintu.
“Apa yang sedang kalian bicarakan?”
Aku membeku.
Di sana, berdiri sosok yang paling ingin kuhindari.
Raka.
**~~~**
Dia melangkah masuk dengan tenang, matanya tertuju padaku. Aku bisa merasakan aura mengancam yang selalu dia sembunyikan di balik sikapnya yang manis.
“Ada apa ini?” tanyanya pada Ibu, pura-pura bingung.
Ibu masih terisak, tidak tahu harus menjawab apa.
Aku berdiri, menatapnya dengan penuh kebencian. Aku tidak akan mundur lagi.
“Aku sudah memberitahu Ibu semuanya,” kataku tegas.
Wajah Raka tetap tenang, tetapi aku melihat rahangnya mengeras.
“Lalu?” tanyanya santai. “Apa yang ingin kamu lakukan sekarang, Nadia?”
Aku menggigit bibir, lalu berkata dengan mantap, “Aku akan pergi. Aku tidak akan tinggal di rumah ini lagi.”
Raka menatapku beberapa detik, lalu tertawa kecil. “Kamu pikir semudah itu?”
Aku merasakan tubuhku menegang.
“Tidak ada yang akan percaya padamu,” lanjutnya. “Kamu hanya gadis muda yang terlalu banyak berkhayal.”
Aku ingin berteriak.
“Aku percaya padanya.”
Suara Ibu terdengar pelan, tetapi penuh kepastian.
Aku menoleh, begitu pula Raka.
Ibu menatapnya dengan mata merah dan penuh amarah. “Aku percaya pada Nadia,” ulangnya dengan lebih tegas.
Wajah Raka berubah. Dia tidak menyangka bahwa Ibu akan berpihak padaku.
“Apa maksudmu, Sayang? Kamu percaya pada omong kosong ini?” tanyanya, mencoba bersikap lembut.
Tapi Ibu menggeleng, air mata mengalir deras. “Aku buta selama ini… Tapi aku tidak akan membiarkan ini terus terjadi.”
Aku merasakan harapan muncul di dalam hatiku.
Akhirnya… Ibu percaya padaku.
“Aku ingin kamu pergi dari rumah ini, Raka,” suara Ibu bergetar, tetapi tegas. “Sekarang juga.”
Raka menatapnya tajam. Aku bisa melihat kemarahan di matanya, tetapi dia tidak bisa berbuat apa-apa.
Aku dan Ibu sama-sama berdiri di sisinya.
Setelah beberapa detik yang menegangkan, Raka akhirnya menghela napas dan tersenyum kecil, meskipun matanya tetap berbahaya.
“Baiklah,” katanya pelan. “Kalau itu maumu.”
Dia berjalan keluar tanpa berkata apa-apa lagi.
Aku menghembuskan napas panjang, tubuhku melemas.
Aku menangis dalam pelukan Ibu.
Akhirnya… aku bebas.
**~~~**
Beberapa hari kemudian, aku dan Ibu memutuskan untuk pindah ke rumah Nenek.
Kami meninggalkan semua kenangan buruk di rumah itu.
Aku tahu, perjalanan untuk menyembuhkan luka ini masih panjang. Tapi setidaknya, aku tidak sendirian.
Aku punya Ibu.
Dan yang paling penting, aku punya kebebasan.
Aku tidak akan pernah lagi menjadi milik seseorang yang tidak pantas.
Aku berhak atas hidupku sendiri.
Dan aku akan menjalaninya dengan kepala tegak.***
—–the end—–