Kisah Cinta
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
Kisah Cinta
No Result
View All Result

Terlarang Tapi Membara: Aku dan Anak Majikanku

FASA KEDJA by FASA KEDJA
April 20, 2025
in Cinta Terlarang
Reading Time: 19 mins read
Terlarang Tapi Membara: Aku dan Anak Majikanku

 

Daftar Isi

  • Bab 1: Awal Takdir yang Mempertemukan
  • Bab 2: Ketertarikan yang Mulai Bersemi
  • Bab 3: Batas yang Semakin Kabur
  • Bab 4: Godaan yang Menguji Batas
  • Bab 5: Rahasia yang Terbongkar
  • Bab 6: Antara Hati dan Logika
  • Bab 7: Amarah Sang Ayah
  • Bab 8: Pelarian yang Berisiko
  • Bab 9: Kejaran Tanpa Henti
  • Bab 10: Takdir yang Menentukan

Bab 1: Awal Takdir yang Mempertemukan

Matahari siang itu terasa begitu terik, menyengat kulit Laras saat ia berdiri di depan gerbang besar berwarna hitam. Jantungnya berdebar kencang, campuran antara gugup dan harapan memenuhi dadanya. Ini adalah hari pertamanya bekerja sebagai asisten rumah tangga di rumah keluarga **Tuan Arman**, seorang pengusaha sukses yang dikenal sangat tegas.

Rumah itu begitu megah, jauh dari apa yang pernah ia bayangkan. Dindingnya tinggi, halaman luas dengan taman yang terawat rapi. Laras menarik napas dalam sebelum akhirnya menekan bel di samping gerbang.

Tak butuh waktu lama, seorang wanita setengah baya membuka gerbang. **Mbak Sari**, kepala asisten rumah tangga di rumah itu, menyambutnya dengan tatapan menilai.

“Kamu Laras, kan?” tanyanya singkat.

Laras mengangguk sopan. “Iya, Mbak. Saya Laras.”

“Masuk. Saya jelaskan tugas-tugas kamu nanti.”

Dengan langkah ragu, Laras mengikuti Mbak Sari melewati halaman menuju pintu utama. Begitu masuk ke dalam, udara sejuk dari pendingin ruangan langsung menyergapnya. Matanya berkeliling, mengagumi interior mewah yang tampak seperti di film-film.

“Ini dapur, tempat kamu nanti banyak bekerja,” kata Mbak Sari sembari menunjuk ruangan luas dengan peralatan dapur serba modern. “Tugas kamu membantu masak, bersih-bersih, dan kadang melayani keluarga kalau ada acara.”

Laras mengangguk, mencatat dalam hati. Ia bertekad bekerja sebaik mungkin.

Namun, sebelum ia sempat melanjutkan, suara langkah kaki terdengar dari tangga. Seorang pria muda muncul, mengenakan kaos putih dan celana pendek. Postur tubuhnya tinggi, rambutnya sedikit berantakan, tetapi pesonanya begitu kuat.

Mbak Sari langsung menunduk hormat. “Mas Raka.”

Laras ikut menunduk, merasa gugup. Ia tahu bahwa pria ini adalah **Raka**, putra satu-satunya Tuan Arman.

Raka menatap Laras sekilas sebelum akhirnya bertanya, “Orang baru?”

“Iya, Mas. Namanya Laras.”

Alih-alih memberikan respons, Raka hanya tersenyum simpul, lalu berjalan melewati mereka menuju dapur. Laras bisa merasakan tatapan matanya, seolah sedang menilai dirinya. Ia segera menunduk, tak ingin menarik perhatian.

Hari pertama Laras berjalan cukup baik, meski ia masih canggung. Tapi, satu hal yang ia sadari—setiap kali ia melewati Raka, pria itu selalu memperhatikannya dengan sorot mata yang sulit ia tafsirkan.*

Bab 2: Ketertarikan yang Mulai Bersemi

Hari-hari pertama Laras bekerja di rumah keluarga Tuan Arman berjalan dengan baik. Ia mulai terbiasa dengan rutinitasnya—bangun pagi, menyiapkan sarapan, membersihkan rumah, dan membantu pekerjaan lain bersama asisten rumah tangga lainnya. Walaupun lelah, ia tetap bersyukur karena pekerjaan ini bisa membantunya menghidupi keluarganya di desa.

Namun, ada satu hal yang mulai mengganggu pikirannya—**Raka**.

Sejak pertemuan pertama mereka, pria itu sering terlihat di sekitar Laras. Meski tak pernah banyak bicara, tatapannya terasa begitu menusuk, seolah mengawasi setiap gerak-geriknya.

Awalnya, Laras berpikir itu hanya kebetulan. Namun, semakin lama, ia menyadari bahwa Raka selalu berada di tempat yang sama dengannya—di dapur saat ia sedang membersihkan peralatan, di taman saat ia menyiram bunga, bahkan di ruang tamu saat ia sedang mengepel lantai.

Suatu sore, saat Laras sedang membersihkan meja makan, Raka tiba-tiba muncul dari arah dapur. Ia mengenakan kaus hitam polos dan celana santai. Rambutnya sedikit acak-acakan, namun tetap terlihat menarik.

“Kamu betah kerja di sini?” tanyanya tiba-tiba.

Laras terkejut. Sejak bekerja di rumah ini, ini pertama kalinya Raka berbicara langsung padanya.

“Eh… I-iya, Mas,” jawab Laras gugup. Ia berusaha tetap fokus pada pekerjaannya, mengelap meja dengan cepat.

Raka menyandarkan tubuhnya di kursi dan menatapnya dengan senyum tipis. “Kamu berasal dari mana?”

“Dari kampung, Mas. Di desa kecil, agak jauh dari kota.”

“Hm… Pasti jauh lebih tenang dibandingkan di sini.”

Laras hanya mengangguk. Ia tak berani membalas terlalu banyak. Sejak awal, ia sudah tahu batasannya. Ia hanyalah seorang pekerja, sementara Raka adalah anak majikannya.

Namun, Raka tampaknya tidak terganggu dengan batasan itu.

Hari demi hari, pria itu semakin sering mengajaknya berbicara. Kadang hanya sekadar menanyakan kabarnya, terkadang malah melemparkan candaan yang membuat Laras tersipu malu.

Seperti hari itu, saat Laras tengah mencuci gelas di dapur, tiba-tiba Raka datang dan bersandar di meja.

“Kamu rajin banget, ya.”

Laras menoleh sekilas, lalu buru-buru kembali fokus pada pekerjaannya. “Sudah tugas saya, Mas.”

“Tapi tetap aja, biasanya orang bakal malas kalau kerja berat begini.”

Laras tersenyum kecil. “Saya harus bekerja, Mas. Lagipula, saya sudah terbiasa.”

Raka memperhatikannya tanpa berkata apa-apa. Namun, ada sesuatu di tatapan matanya yang membuat Laras merasa gelisah. Ia tak ingin berpikir macam-macam, tapi kehadiran Raka yang terus-menerus di dekatnya mulai membuat dadanya berdebar tak menentu.

Semua menjadi lebih rumit ketika suatu hari Laras hampir terpeleset di dekat kolam renang saat membawa nampan berisi gelas-gelas. Untungnya, sebuah tangan sigap menangkap lengannya sebelum tubuhnya jatuh ke air.

Laras terperangah, jantungnya hampir berhenti berdetak.

Raka.

Pria itu berdiri sangat dekat dengannya, jemarinya masih menggenggam erat pergelangan tangan Laras. Mata mereka bertemu, dan sejenak, waktu seakan berhenti.

“Kamu nggak apa-apa?” suara Raka terdengar rendah, hampir seperti bisikan.

Laras menelan ludah. Ia buru-buru menarik tangannya dan mundur selangkah, wajahnya memanas. “M-makasih, Mas. Saya nggak apa-apa.”

Raka tersenyum kecil, tapi Laras bisa melihat sesuatu yang berbeda di sorot matanya—sesuatu yang membuatnya semakin waspada.

Ia tahu, ada sesuatu yang mulai tumbuh di antara mereka. Sesuatu yang seharusnya tidak pernah ada.

Dan itu membuatnya takut.*

Bab 3: Batas yang Semakin Kabur

Laras mencoba mengabaikan segala perasaan aneh yang mulai tumbuh di hatinya. Ia tahu, semakin ia memikirkannya, semakin ia akan terjerumus dalam sesuatu yang seharusnya tidak ia rasakan.

Raka adalah anak majikannya. Ia seorang asisten rumah tangga. Tidak seharusnya ada hubungan apa pun di antara mereka selain sekadar hubungan majikan dan pekerja.

Namun, mengabaikan perasaan itu ternyata lebih sulit dari yang ia bayangkan.

Setiap kali ia bekerja, Raka selalu ada di sekitarnya—seolah-olah pria itu sengaja mencari-cari alasan untuk tetap dekat.

Seperti pagi itu, saat Laras sedang menyapu teras belakang. Raka tiba-tiba muncul dengan segelas kopi di tangan, duduk di kursi taman, dan menatapnya dengan santai.

“Kamu nggak capek kerja terus?” tanyanya tiba-tiba.

Laras berhenti menyapu sejenak, menoleh ke arahnya. “Sudah biasa, Mas.”

Raka tersenyum tipis. “Kamu kerja keras banget. Kayaknya lebih rajin dari Mbak Sari dan yang lain.”

Laras hanya tersenyum kecil, lalu kembali fokus pada sapunya.

“Udah lama kerja di rumah orang?” tanya Raka lagi.

Laras mengangguk. “Dari umur enam belas. Sebelumnya saya kerja di rumah orang lain.”

Raka mengamati Laras dengan tatapan yang sulit ditebak. “Kamu nggak pernah kepikiran buat sekolah lagi?”

Laras menghentikan gerakannya. Pertanyaan itu menohok sesuatu di hatinya.

“Tidak semua orang punya kesempatan, Mas,” jawabnya pelan.

Raka menyesap kopinya, matanya tetap tertuju pada Laras. “Kalau kamu punya kesempatan, kamu mau?”

Laras tersenyum tipis. “Hidup nggak selalu tentang mau atau nggak, Mas. Kadang kita harus memilih jalan yang sudah ada di depan kita.”

Raka tidak menjawab. Hening sejenak.

Laras bisa merasakan tatapan pria itu yang tak pernah lepas dari wajahnya. Perasaan aneh kembali menyeruak di dadanya, membuatnya gugup dan ingin segera menyelesaikan pekerjaannya.

Namun, Raka sepertinya tidak berniat membiarkannya pergi begitu saja.

Beberapa hari kemudian, Laras sedang mengambil pakaian dari jemuran ketika Raka tiba-tiba muncul dari arah belakang rumah.

“Hari ini panas banget, ya?” katanya ringan, menyeka keringat di lehernya.

Laras hanya tersenyum tipis, mencoba tetap fokus pada tugasnya.

Raka melangkah lebih dekat. “Kamu udah makan?”

Laras menoleh dengan bingung. “Makan?”

“Iya. Kamu udah makan siang belum?”

Laras mengangguk. “Sudah, Mas.”

Raka tersenyum kecil. “Bagus, jangan sampai lupa makan. Kamu kerja terus, takutnya lupa.”

Laras merasa ada sesuatu yang berbeda dalam suara Raka. Ada perhatian di sana, perhatian yang seharusnya tidak diberikan seorang majikan kepada pekerjanya.

Ia buru-buru menunduk, kembali memasukkan pakaian ke dalam keranjang.

“Laras.”

Laras terdiam. Suara Raka terdengar lebih serius kali ini.

“Apa, Mas?” tanyanya pelan, masih tak berani menatap.

“Kenapa kamu selalu menghindar setiap kali aku ada di dekatmu?”

Laras meremas jemari di balik keranjang yang ia pegang. Hatinya semakin gelisah.

“Saya nggak menghindar, Mas.”

“Kamu selalu buru-buru pergi setiap kali aku ngobrol sama kamu,” kata Raka lagi.

Laras menghela napas. Ia berusaha mencari kata-kata yang tepat untuk menjelaskan tanpa menyinggung perasaan pria itu.

“Saya cuma nggak mau menimbulkan masalah, Mas. Saya cuma pekerja di sini.”

Raka terdiam sejenak sebelum akhirnya tersenyum tipis. “Jadi menurutmu aku adalah masalah?”

Laras menahan napas.

“Bukan begitu, Mas—”

“Aku cuma ngobrol sama kamu, Laras. Aku nggak menggigit, kok.” Raka tertawa kecil, tapi ada sesuatu di matanya yang menunjukkan bahwa ia mengerti maksud Laras.

Laras tidak tahu harus berkata apa. Ia hanya bisa menunduk dan menggenggam erat tepi keranjang pakaian di tangannya.

“Sudahlah,” kata Raka akhirnya. “Aku nggak akan maksa kamu buat dekat sama aku. Tapi setidaknya, jangan menghindar seolah aku ini sesuatu yang harus kamu jauhi.”

Laras masih tak menjawab. Ia hanya menunduk, lalu buru-buru pergi meninggalkan Raka sendirian di halaman.

Namun, semakin ia mencoba menjauh, semakin ia menyadari bahwa batas yang seharusnya ada antara mereka semakin kabur.

Dan itu membuatnya takut.*

Bab 4: Godaan yang Menguji Batas

Laras semakin resah. Ia sadar bahwa batas antara dirinya dan Raka semakin tipis. Meski berusaha menjaga jarak, pria itu terus-menerus mendekatinya, seolah ingin menguji seberapa lama ia bisa bertahan dalam godaan yang mulai menguasai hati mereka.

Sore itu, Laras sedang mencuci piring di dapur ketika suara langkah kaki yang begitu familiar terdengar di belakangnya.

“Masih sibuk?” Suara Raka terdengar ringan, tapi entah kenapa selalu membuat dada Laras berdebar.

Laras mengangguk tanpa menoleh. “Iya, Mas. Masih banyak yang harus dibereskan.”

Raka berjalan mendekat, berdiri di sampingnya sambil bersandar pada meja dapur. “Kamu nggak bosan kerja terus?”

Laras tersenyum tipis. “Saya sudah terbiasa, Mas.”

“Kamu nggak pernah kepikiran buat istirahat sejenak?”

Laras menoleh sesaat, lalu buru-buru kembali fokus ke piring-piring di tangannya. “Kalau saya istirahat, siapa yang akan menyelesaikan pekerjaan ini?”

Raka terkekeh. “Kamu selalu serius, ya?”

Laras tidak menjawab. Ia berharap Raka segera pergi agar ia bisa bekerja dengan tenang. Namun, alih-alih pergi, pria itu justru semakin mendekat, tangannya terulur mengambil piring yang baru saja Laras bilas.

Laras tersentak. “Mas, jangan! Itu masih basah—”

Namun, Raka tidak peduli. Dengan santainya, ia ikut mengelap piring tersebut menggunakan lap kering, lalu menatap Laras dengan senyum menggoda. “Gini aja panik. Aku cuma mau bantu.”

Laras buru-buru mengambil kembali piring itu dari tangan Raka. “Tugas saya memang mencuci piring, Mas. Nggak perlu bantu.”

Raka menatapnya sejenak sebelum akhirnya terkekeh. “Baiklah, baiklah. Aku nggak akan ganggu kamu.”

Ia berbalik hendak pergi, tetapi sebelum benar-benar keluar dari dapur, ia berbisik pelan, “Tapi jangan terlalu menolak aku, Laras. Aku nggak seburuk itu.”

Laras menahan napas. Ia hanya bisa menggigit bibirnya, berusaha mengabaikan perasaan yang kembali berkecamuk dalam dadanya.

—

Beberapa hari kemudian, kejadian yang lebih mengejutkan terjadi.

Saat itu sudah malam, dan Laras baru saja selesai membersihkan ruang tamu. Ia hendak kembali ke kamar asisten rumah tangga ketika tiba-tiba seseorang menarik pergelangan tangannya dengan lembut.

Laras terkejut. Ia menoleh dan menemukan Raka berdiri di sana, menatapnya dengan mata yang sulit dibaca.

“Mas?” Laras berbisik panik.

Raka menariknya ke sudut ruangan, jauh dari jangkauan pandangan siapa pun. “Aku cuma mau bicara sebentar,” katanya.

“Tapi ini sudah malam, Mas,” bisik Laras, suaranya gemetar. “Kalau ada yang melihat kita—”

“Nggak ada yang melihat.” Raka tersenyum kecil, lalu menatap Laras dengan lebih dalam. “Kenapa kamu selalu takut?”

Laras menelan ludah. “Karena saya tahu posisi saya, Mas. Saya cuma pekerja di sini.”

“Jadi menurutmu, aku nggak boleh peduli sama kamu?”

Laras terdiam. Ia tahu, kalau ia terus meladeni pembicaraan ini, ia akan semakin terseret dalam pusaran perasaan yang seharusnya tidak ia rasakan.

“Mas, tolong biarkan saya pergi,” bisiknya, berusaha menarik tangannya.

Namun, Raka tak langsung melepaskannya. Jarinya justru sedikit mengerat, seolah tak rela.

“Aku cuma mau tahu satu hal, Laras,” suaranya lebih pelan, lebih lembut. “Apa kamu benar-benar tidak merasakan apa-apa setiap kali aku dekat?”

Jantung Laras berdetak kencang. Ia merasa dadanya sesak.

“Mas…”

“Aku tahu kamu menghindar bukan karena benci,” lanjut Raka. “Kamu menghindar karena kamu takut.”

Laras terdiam. Ia tak bisa membantahnya, karena itu benar. Ia takut.

Takut jika ia membiarkan perasaan ini tumbuh, ia akan kehilangan segalanya.

Laras menarik napas dalam, berusaha menguatkan hatinya. Dengan penuh tekad, ia berkata, “Mas Raka… kita nggak bisa seperti ini.”

Mata Raka sedikit menyipit. “Kenapa tidak?”

“Kita berbeda.”

Raka tersenyum miring. “Beda di mana? Kita sama-sama manusia, Laras.”

“Tapi saya cuma pekerja,” Laras menegaskan. “Dan Mas Raka adalah anak majikan saya. Dunia kita nggak sama.”

Raka menatapnya dalam diam selama beberapa detik. Lalu, dengan berat hati, ia akhirnya melepaskan genggamannya.

“Kalau aku bilang aku nggak peduli dengan perbedaan itu, kamu masih akan tetap menolakku?” tanyanya lirih.

Laras tak bisa menjawab. Ia hanya menunduk, lalu dengan cepat berbalik pergi sebelum air matanya jatuh.

Namun, ia tahu satu hal—ini bukanlah akhir dari godaan yang terus menguji batas mereka.

Dan ia takut, suatu saat, ia mungkin tak lagi mampu menolaknya.

—

**Bab 4 selesai!** Bab ini semakin memperlihatkan bagaimana Raka terus menggoda Laras dan mencoba menembus batas yang selama ini ia jaga. Laras masih berusaha bertahan, tetapi perasaannya mulai goyah.*

Bab 5: Rahasia yang Terbongkar

Laras semakin gelisah. Setiap kali berusaha menjaga jarak, Raka selalu menemukan cara untuk mendekatinya. Setiap tatapan, senyuman, dan bisikan pria itu seolah menjeratnya lebih dalam ke dalam perasaan yang seharusnya tidak ada.

Namun, kali ini bukan hanya perasaan yang menjadi masalah. Ada sesuatu yang lebih besar mengintai di balik bayangan, sesuatu yang bisa menghancurkan segalanya.

Malam itu, Laras baru saja selesai membereskan dapur ketika ia mendengar suara pelan dari arah taman belakang.

“Laras.”

Ia tersentak. Raka berdiri di dekat pintu kaca, mengenakan kaus hitam dan celana santai. Tatapannya tajam, seolah ingin menyampaikan sesuatu yang penting.

“Mas?” Laras menelan ludah.

Raka melangkah lebih dekat, dan tanpa banyak bicara, ia menarik pergelangan tangan Laras, membawanya ke sudut taman yang lebih tersembunyi.

“Mas, ini sudah malam,” bisik Laras cemas. “Kalau ada yang melihat kita—”

“Aku nggak peduli,” potong Raka cepat. “Aku butuh kamu, Laras.”

Jantung Laras berdegup kencang.

“Kita nggak bisa terus seperti ini, Mas,” katanya, berusaha menarik tangannya, tetapi genggaman Raka terlalu kuat.

“Tapi aku nggak bisa pura-pura nggak merasakan apa-apa.” Raka menatapnya dalam. “Kamu juga merasakan hal yang sama, kan?”

Laras menggigit bibirnya. Ia ingin berbohong, ingin mengatakan bahwa ia tidak merasakan apa pun. Tapi matanya, sikapnya, semuanya sudah cukup menjadi jawaban bagi Raka.

Namun, sebelum Laras bisa menjawab, suara seseorang tiba-tiba terdengar dari arah belakang mereka.

**“Apa yang kalian lakukan di sini?”**

Laras langsung membeku. Raka pun sontak melepaskan genggamannya dan menoleh.

Mbak Sari berdiri di ambang pintu dengan tatapan tajam.

Laras merasa tubuhnya melemas. Kepalanya langsung dipenuhi berbagai kemungkinan buruk yang bisa terjadi.

“Mbak…” Laras berusaha berbicara, tapi suaranya hampir tak keluar.

Mbak Sari melipat tangannya di dada. “Aku sudah curiga dari dulu.” Ia menatap Laras dengan dingin. “Kamu pikir aku nggak tahu kalau Mas Raka selalu ada di dekatmu? Kamu pikir aku buta?”

Laras merasakan tubuhnya bergetar.

“Apa yang kalian lakukan barusan?” suara Mbak Sari meninggi, penuh kecurigaan.

Raka maju selangkah. “Kami cuma bicara, Mbak Sari. Nggak ada yang perlu dibesar-besarkan.”

Mbak Sari mengerutkan kening. “Mas Raka, ini bukan hal sepele. Kalau Tuan Arman tahu—”

“Dia nggak akan tahu,” potong Raka tajam.

Mbak Sari menghela napas panjang. Ia menatap Laras dengan tatapan yang sulit diartikan, antara kecewa dan khawatir.

“Laras,” panggilnya. “Kamu tahu kan, apa yang kamu lakukan ini bisa membuatmu diusir?”

Laras menunduk dalam. Dadanya sesak. Ia tahu itu. Ia tahu semua risikonya.

“Saya… saya nggak—”

“Aku yang mendekati dia, Mbak,” potong Raka lagi. “Jangan salahkan Laras.”

Mbak Sari menatap keduanya bergantian, lalu menghela napas.

“Aku nggak akan bilang ke siapa pun,” katanya akhirnya. “Tapi kamu harus berhenti, Laras.”

Laras menatapnya dengan mata berkaca-kaca.

“Aku nggak tahu apa yang ada di kepala Mas Raka,” lanjut Mbak Sari, “tapi kamu bukan bagian dari dunia mereka. Kamu hanya pekerja di rumah ini. Jangan sampai kamu menyesal di kemudian hari.”

Laras menggigit bibirnya, berusaha menahan air mata. Ia tahu Mbak Sari benar.

Tanpa berkata apa-apa lagi, ia berbalik dan berjalan cepat ke arah kamarnya, meninggalkan Raka yang masih berdiri di tempatnya.

Namun, meskipun ia mencoba pergi… ia tahu hatinya masih tertinggal bersama pria itu.

Dan kini, rahasia mereka tak lagi aman.*

Bab 6: Antara Hati dan Logika

Laras duduk di tepi tempat tidurnya, tangannya saling menggenggam erat. Pikirannya masih kacau setelah kejadian tadi malam. Mbak Sari telah memperingatkannya, dan ia tahu wanita itu benar.

Namun, seberapa keras pun ia mencoba meyakinkan dirinya untuk menjauh dari Raka, hatinya seolah berteriak sebaliknya.

Ketukan pelan di pintu membuat Laras tersentak.

“Laras?” Suara Mbak Sari terdengar dari luar.

Laras buru-buru menghapus air matanya sebelum membuka pintu.

Mbak Sari masuk, menutup pintu perlahan, lalu menatap Laras dengan ekspresi lembut namun tegas.

“Kamu baik-baik saja?” tanyanya.

Laras mengangguk kecil. “Saya nggak apa-apa, Mbak.”

Mbak Sari menghela napas. Ia duduk di kursi kecil dekat meja rias. “Laras, aku ngerti… mungkin kamu nggak sengaja masuk ke dalam situasi ini. Tapi kamu harus sadar, kamu dan Mas Raka itu beda dunia.”

Laras menunduk, menggenggam ujung kain dasternya dengan canggung.

“Kamu tahu, kan, siapa ayahnya? Tuan Arman bukan orang yang bisa ditentang begitu saja. Kalau dia tahu kamu dekat dengan Mas Raka…”

Laras menelan ludah. Ia tahu maksud Mbak Sari.

“Aku nggak mau lihat kamu diusir atau lebih buruk lagi,” lanjut Mbak Sari. “Kamu harus bisa mengendalikan perasaanmu, Laras.”

Laras menggigit bibirnya. “Tapi Mbak… saya nggak pernah berniat macam-macam.”

Mbak Sari menatapnya dengan tajam. “Tapi Mas Raka jelas punya niat. Kamu juga sadar, kan?”

Laras tak bisa menyangkal itu. Raka selalu mencari cara untuk mendekatinya. Ia merasa Raka tidak main-main, tapi apakah pria itu sadar akan konsekuensi dari semua ini?

“Aku cuma mau mengingatkan, Laras,” kata Mbak Sari lagi. “Jangan biarkan hatimu mengalahkan logika.”

Laras mengangguk lemah. Setelah Mbak Sari keluar, ia termenung lama.

Logikanya mengatakan bahwa ia harus menjauh. Tapi hatinya terus menariknya kembali ke dalam jebakan perasaan ini.

—

Beberapa hari berlalu, dan Laras berusaha sekuat tenaga menjaga jarak. Ia menghindari kontak mata dengan Raka, menghindari ruangan yang sama, dan memastikan dirinya selalu sibuk dengan pekerjaan.

Namun, Raka sepertinya tak mudah menyerah.

Suatu siang, Laras sedang menyapu halaman depan ketika suara langkah mendekatinya.

“Kamu sengaja menghindar dariku?”

Laras langsung tegang. Raka berdiri di depannya, mengenakan kemeja santai dengan lengan tergulung.

“Saya cuma bekerja, Mas,” jawab Laras tanpa menoleh.

Raka menghela napas. “Laras, kita perlu bicara.”

“Tidak ada yang perlu dibicarakan, Mas,” sahut Laras cepat, lalu berbalik hendak pergi.

Namun, Raka dengan cepat meraih pergelangan tangannya. “Jangan pergi.”

Laras menahan napas. Sentuhan itu begitu hangat, begitu menyesakkan.

“Aku nggak mau kamu menghindar terus,” kata Raka lirih. “Apa kamu benar-benar nggak punya perasaan apa-apa untukku?”

Laras memejamkan mata, berusaha menguatkan dirinya.

“Bukan itu masalahnya, Mas,” bisiknya. “Saya nggak mau hancur karena perasaan ini.”

Raka terdiam. Jemarinya perlahan melepas genggaman itu.

“Kamu takut?” tanyanya pelan.

Laras menatapnya dengan mata berkaca-kaca. “Saya bukan takut, Mas. Saya sadar diri.”

Raka mengepalkan tangannya, seolah menahan sesuatu dalam dadanya.

“Kamu pikir aku akan membiarkan sesuatu yang buruk terjadi padamu?”

Laras tersenyum pahit. “Bukan soal Mas Raka membiarkan atau tidak. Dunia Mas dan dunia saya itu beda. Saya tahu tempat saya.”

Raka mendekat selangkah, menatapnya lekat. “Tapi aku nggak peduli soal dunia kita yang berbeda.”

Laras menggeleng. “Mas bisa bilang seperti itu sekarang. Tapi bagaimana nanti?”

Suara Raka terdengar semakin dalam. “Laras, aku serius sama kamu.”

Jantung Laras semakin berdetak tak beraturan. Namun sebelum ia sempat menjawab, suara lain tiba-tiba terdengar.

“Apa yang kalian lakukan?”

Mereka berdua tersentak dan menoleh.

Tuan Arman berdiri di ambang pintu rumah dengan ekspresi dingin dan penuh kecurigaan.

Laras merasakan tubuhnya melemas.

Inilah saat yang paling ia takutkan.

Rahasia yang selama ini ia coba kubur kini di ambang kehancuran.*

Bab 7: Amarah Sang Ayah

Laras merasakan tubuhnya melemas begitu melihat Tuan Arman berdiri di depan pintu dengan tatapan tajam yang penuh kecurigaan.

Raka tampak lebih tenang, meski rahangnya sedikit mengeras. Ia berdiri tegak, seolah siap menghadapi amarah ayahnya.

“Apa yang kalian lakukan di sini?” suara Tuan Arman terdengar dingin, membuat bulu kuduk Laras meremang.

Laras buru-buru menunduk, berusaha menghindari tatapan pria itu. “Saya… saya hanya sedang menyapu, Pak,” katanya dengan suara lirih.

Tuan Arman mengalihkan pandangannya ke Raka. “Dan kamu? Kenapa ada di sini?”

“Aku hanya sedang berbicara dengan Laras,” jawab Raka, suaranya terdengar tenang.

Tuan Arman menyipitkan matanya. Ia menatap anaknya tajam, lalu bergeser menatap Laras dengan penuh penilaian.

“Laras, masuk ke dalam,” perintahnya.

Laras menelan ludah, tapi ia tak berani membantah. Dengan kepala tertunduk, ia segera berjalan menuju pintu. Namun, sebelum ia sempat melangkah lebih jauh, suara Tuan Arman kembali terdengar.

“Bukan ke dalam rumah, tapi ke kamar pembantu. Jangan keluar sampai aku memanggilmu.”

Laras terhenti sejenak. Ia bisa merasakan hawa dingin dari nada suara pria itu.

“Ya, Pak,” ucapnya pelan sebelum melangkah cepat menuju kamar asisten rumah tangga di belakang rumah.

Namun, sebelum menutup pintu, ia masih bisa mendengar suara Tuan Arman berbicara dengan Raka.

“Masuk ke ruang kerja sekarang. Kita perlu bicara.”

Laras memejamkan mata. Dadanya sesak oleh kecemasan. Ia tahu ini akan menjadi buruk.

—

Di dalam ruang kerja Tuan Arman, suasana tegang terasa begitu kuat. Raka duduk di kursi berhadapan dengan ayahnya yang menatapnya tajam dari balik meja.

“Apa yang sebenarnya terjadi antara kamu dan Laras?” tanya Tuan Arman langsung ke pokok permasalahan.

Raka menarik napas dalam. “Aku menyukai dia, Ayah.”

Tuan Arman menyipitkan matanya. “Menyukai? Kamu pikir ini permainan, Raka? Dia itu cuma pembantu di rumah ini!”

“Jangan sebut dia seperti itu,” sahut Raka dengan nada tajam.

Tuan Arman menggebrak meja. “Kamu berani membantahku?”

Raka tetap tenang. “Aku tidak membantah, Ayah. Aku hanya ingin Ayah tahu bahwa aku serius dengan Laras.”

Tuan Arman tertawa kecil, tapi tidak terdengar seperti tawa bahagia. “Serius? Apa kamu sadar siapa kamu dan siapa dia? Jangan bertindak bodoh, Raka.”

Raka mengepalkan tangannya di atas lututnya. “Aku tidak peduli dengan status atau perbedaan kami.”

Tuan Arman menghela napas panjang, lalu menyandarkan tubuhnya ke kursi.

“Kamu pikir perasaan saja cukup? Dunia ini tidak bekerja seperti itu, Raka,” katanya dengan nada lebih dingin. “Ada batas yang tidak bisa kamu langgar.”

“Ayah bicara seolah-olah aku melakukan kesalahan besar,” sahut Raka. “Aku hanya mencintai seseorang. Apa itu salah?”

Tuan Arman mendengus. “Sangat salah, Raka. Dan aku tidak akan membiarkan ini berlanjut.”

Mata Raka mengeras. “Apa maksud Ayah?”

“Aku akan memastikan Laras pergi dari rumah ini,” ucap Tuan Arman tegas.

Raka langsung berdiri. “Ayah tidak bisa melakukan itu!”

“Aku bisa dan aku akan melakukannya,” balas Tuan Arman, suaranya penuh otoritas. “Aku tidak akan membiarkan anakku merusak masa depannya hanya karena jatuh cinta pada seorang pembantu!”

Raka menatap ayahnya dengan penuh kemarahan. “Ayah hanya peduli dengan status dan harga diri keluarga, tapi Ayah lupa kalau aku juga manusia! Aku punya hak untuk memilih siapa yang aku cintai!”

Tuan Arman bangkit dari kursinya, kini berdiri berhadapan dengan Raka. “Dan sebagai ayahmu, aku punya hak untuk memastikan kamu tidak membuat keputusan bodoh!”

Hening sesaat. Kedua pria itu saling menatap tajam, seolah saling mengukur siapa yang akan menyerah lebih dulu.

Namun, Tuan Arman akhirnya menghela napas panjang dan berkata dengan nada lebih dingin, “Aku beri kamu waktu satu hari. Kalau kamu masih ingin melawan, maka aku yang akan turun tangan.”

“Apa maksud Ayah?” tanya Raka tajam.

“Aku akan memecat Laras besok pagi,” jawab Tuan Arman tanpa ragu. “Dan aku tidak ingin melihatnya lagi di rumah ini.”

Raka mengepalkan tangannya. Ia tahu ayahnya tidak main-main.

Namun, satu hal yang ia sadari lebih dari apa pun—ia tidak akan membiarkan itu terjadi.

—

Di kamar kecilnya, Laras duduk termenung. Ia tahu Tuan Arman pasti marah, dan ia tahu apa pun yang dikatakan Raka mungkin tidak akan mengubah keadaan.

Pikirannya dipenuhi ketakutan. Apakah besok ia akan diusir? Apakah ini akhir dari semuanya?

Ketukan di pintu membuatnya tersentak.

“Laras?”

Itu suara Raka.

Laras buru-buru berdiri dan membuka pintu. Raka berdiri di sana dengan ekspresi penuh amarah dan ketegangan.

“Ada apa, Mas?” tanyanya cemas.

“Kita harus pergi dari sini,” ucap Raka tanpa ragu.

Laras terkejut. “Apa maksud Mas?”

“Ayah ingin memecatmu besok pagi,” kata Raka dengan nada penuh tekad. “Dan aku tidak akan membiarkan itu terjadi.”

Laras merasa dunianya berputar. Semua ini terjadi terlalu cepat.

“Apa… apa yang Mas maksud dengan ‘pergi’?” tanyanya, suaranya bergetar.

Raka menatapnya dalam-dalam. “Ikut denganku, Laras. Kita pergi dari sini. Aku nggak peduli dengan apa pun lagi, asal kamu tetap bersamaku.”

Laras merasa jantungnya hampir berhenti.

Ini adalah pilihan yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya.

Tetap di rumah ini dan menerima nasib… atau pergi bersama Raka dan menghadapi dunia yang tidak pasti?

Ia harus memilih.

Dan waktunya hampir habis.*

Bab 8: Pelarian yang Berisiko

Laras berdiri terpaku di ambang pintu kamarnya. Kata-kata Raka masih menggema di telinganya.

*”Ikut denganku, Laras. Kita pergi dari sini.”*

Laras menatap pria itu dengan mata penuh kebingungan dan ketakutan. Pergi? Meninggalkan rumah ini? Bagaimana mungkin?

“Tapi Mas… kita mau ke mana?” suaranya bergetar.

“Aku sudah menyiapkan semuanya,” ucap Raka tegas. “Kita bisa pergi malam ini. Aku akan menyewa tempat tinggal sementara sampai kita punya rencana yang lebih jelas.”

Laras menggeleng, rasa takut mencengkeram hatinya. “Ini gila, Mas. Kalau Tuan Arman tahu—”

“Dia memang akan tahu,” potong Raka. “Tapi aku nggak peduli. Aku nggak akan biarkan dia mengusirmu begitu saja.”

Laras menggigit bibirnya. Ia ingin percaya pada Raka, tapi risiko yang harus mereka hadapi begitu besar.

“Laras,” suara Raka melunak. “Aku nggak mau kehilangan kamu. Aku tahu ini keputusan besar, tapi aku serius sama kamu. Aku mau kita bersama.”

Laras menatap pria itu, melihat ketulusan di matanya. Namun, sebelum ia bisa menjawab, suara langkah kaki terdengar mendekat.

Mbak Sari!

Dengan panik, Raka mendorong Laras masuk ke dalam kamar dan ikut masuk bersamanya.

Tak lama kemudian, suara ketukan terdengar. “Laras, kamu di dalam?”

Laras menatap Raka dengan panik sebelum menjawab, “I-iya, Mbak.”

“Pintu kamu dikunci?”

Laras melirik gagang pintu yang memang tertutup rapat. “Iya, Mbak. Saya lagi istirahat.”

Mbak Sari terdiam sejenak, lalu berkata dengan nada serius, “Hati-hati, Laras. Aku dengar Tuan Arman mau bicara sama kamu besok pagi. Aku nggak tahu apa yang akan terjadi, tapi berjaga-jagalah.”

Laras merasa jantungnya berdetak lebih cepat. “Terima kasih, Mbak.”

Tak lama kemudian, langkah kaki Mbak Sari menjauh.

Laras menghela napas lega, sementara Raka menatapnya dengan tekad kuat.

“Kita harus pergi sekarang,” bisiknya.

Laras menatapnya dengan keraguan. “Mas, kalau kita pergi, kita akan jadi buronan. Tuan Arman pasti akan mencarimu.”

“Aku tahu,” sahut Raka. “Tapi aku siap menanggung semuanya demi kamu.”

Laras menatap pria itu dalam-dalam. Ada rasa takut, ada kebimbangan. Tapi juga ada sesuatu yang lain… harapan.

Setelah beberapa detik hening, Laras akhirnya mengangguk pelan.

“Baik, Mas. Saya ikut.”

—

Mereka berdua bergerak dengan hati-hati, menyelinap keluar dari rumah tanpa menimbulkan suara.

Langit malam gelap, hanya diterangi lampu jalan yang redup. Jantung Laras berdebar kencang saat mereka melewati gerbang samping rumah. Jika mereka tertangkap sekarang, semuanya akan berakhir.

Raka menggenggam tangannya erat. “Ayo, Laras.”

Mereka berjalan cepat menuju mobil yang sudah disiapkan Raka di ujung jalan. Begitu mereka masuk, Raka segera menyalakan mesin dan melaju pergi.

Laras menoleh ke belakang, melihat rumah megah itu semakin menjauh. Ia merasa seakan meninggalkan seluruh hidupnya di sana.

“Tidak ada jalan kembali setelah ini,” bisik Laras, lebih kepada dirinya sendiri.

“Tidak ada,” sahut Raka, menatapnya sekilas. “Tapi aku janji, aku akan menjagamu.”

Laras menggenggam erat roknya, mencoba menenangkan dirinya.

Namun, baru saja mereka melewati perempatan jalan, suara sirene mobil terdengar di belakang mereka.

Laras langsung menoleh. Sebuah mobil hitam melaju dengan cepat, lampu depannya menyala terang menyorot ke arah mereka.

Raka mengetatkan genggamannya di kemudi. “Sial… Ayah sudah tahu.”

Laras merasa napasnya tersengal. “Apa yang harus kita lakukan, Mas?”

Raka menekan pedal gas lebih dalam. “Bersiaplah, Laras. Kita tidak boleh tertangkap.”

Mobil mereka melaju kencang di tengah malam, meninggalkan jejak takdir yang baru saja mereka ukir.

Namun, mereka tidak tahu bahwa bahaya yang lebih besar sudah menunggu di depan.*

Bab 9: Kejaran Tanpa Henti

Mobil yang dikendarai Raka melaju kencang menembus jalanan malam yang sepi. Di belakang mereka, mobil hitam yang dikirim Tuan Arman semakin mendekat. Sirene berbunyi nyaring, membuat jantung Laras berdebar tak karuan.

“Mas, mereka semakin dekat!” seru Laras panik.

“Aku tahu,” sahut Raka sambil menggertakkan gigi. Tangannya erat mencengkeram kemudi, mencoba mencari jalan keluar dari situasi ini.

Lampu merah di depan membuatnya ragu sesaat, tapi tanpa berpikir panjang, Raka menginjak pedal gas lebih dalam. Mobil mereka menerobos perempatan dengan kecepatan tinggi, membuat beberapa kendaraan lain membunyikan klakson keras.

Namun, mobil hitam di belakang mereka tidak menyerah.

“Laras, pegang yang erat!” Raka memperingatkan sebelum dengan cepat membanting setir ke kanan, masuk ke jalan kecil yang lebih gelap.

Laras mencengkeram kursi dengan erat, dadanya naik turun akibat ketakutan.

“Mas… apa kita akan selamat?” suaranya bergetar.

Raka meliriknya sekilas sebelum kembali fokus pada jalan di depan. “Aku nggak akan biarkan mereka menangkap kita, Laras.”

Namun, baru saja ia menghela napas lega karena mobil pengejar sempat tertinggal, dua mobil lain muncul dari arah berlawanan. Mereka jelas bukan mobil biasa.

Laras menelan ludah. “Mereka mengepung kita, Mas!”

Raka memaki pelan. Ia menyadari bahwa ini bukan lagi sekadar pengejaran biasa. Tuan Arman benar-benar serius ingin menangkap mereka.

—

Mobil Raka berusaha mencari celah untuk kabur, tapi dua mobil dari depan semakin mendekat, memaksa mereka untuk memperlambat laju.

Raka mencoba berbelok ke jalanan yang lebih kecil, tapi jalur itu justru semakin menyempit.

“Tidak ada jalan keluar,” gumamnya.

Laras merasakan tubuhnya gemetar. Ia melihat ke belakang, ke depan, ke samping—semua jalan tertutup. Mereka telah masuk dalam perangkap.

Raka menginjak rem dengan kasar. Mobil mereka berhenti tepat di tengah jalan sempit itu.

Seketika, pintu mobil hitam yang mengejar mereka terbuka, dan beberapa pria berbadan tegap keluar.

Laras menelan ludah. Ia mengenali salah satu dari mereka.

Pak Burhan—pengawal pribadi Tuan Arman.

“Laras, tetap di dalam,” bisik Raka.

“Tapi Mas—”

“Jangan keluar, apa pun yang terjadi.”

Pintu mobil Raka terbuka perlahan, dan ia keluar dengan tenang.

Pak Burhan berjalan mendekat dengan ekspresi dingin. “Tuan Raka, Anda tahu kami ke sini untuk apa.”

Raka berdiri tegap, menatap pria itu tanpa takut. “Aku tahu.”

“Tuan Arman ingin Anda pulang sekarang,” lanjut Pak Burhan. “Dan dia ingin Laras ikut dengan kami.”

Mata Raka menyipit. “Ke mana kalian akan membawanya?”

“Itu bukan urusan Anda,” jawab Pak Burhan tegas.

Raka mengepalkan tangannya. “Aku nggak akan biarkan kalian menyentuhnya.”

Pak Burhan menghela napas. “Tuan Raka, Anda tahu saya hanya menjalankan tugas.”

“Sampaikan ke Ayah, aku nggak akan kembali,” kata Raka tegas.

Pak Burhan menatapnya lama sebelum melirik ke arah Laras yang masih duduk ketakutan di dalam mobil.

“Tuan Arman akan sangat marah,” katanya. “Tapi itu keputusan Anda.”

Raka terkejut melihat reaksi Pak Burhan yang tampaknya tidak memaksa mereka lebih jauh.

“Saya hanya ingin memperingatkan satu hal,” lanjut Pak Burhan. “Dunia ini lebih kejam daripada yang Anda kira, Tuan Raka. Jika Anda memilih jalan ini, Anda harus siap menghadapi semuanya.”

Raka mengangguk. “Aku tahu risikonya.”

Pak Burhan menatapnya sekali lagi sebelum memberi isyarat pada anak buahnya untuk kembali ke mobil.

Laras yang masih shock melihat kejadian itu hampir tidak bisa percaya ketika para pria itu mulai pergi.

Raka kembali masuk ke dalam mobil dengan napas masih memburu.

“Mereka… mereka membiarkan kita pergi?” Laras bertanya tak percaya.

“Untuk sekarang,” jawab Raka lirih. “Tapi aku tahu Ayah tidak akan menyerah semudah ini.”

Laras menatap pria itu dengan penuh ketakutan. “Jadi… apa yang harus kita lakukan sekarang?”

Raka menggenggam tangannya erat. “Kita akan pergi lebih jauh. Kita harus bersembunyi.”

Laras menatap ke depan, ke jalan gelap yang belum mereka lalui.

Di satu sisi, ia takut dengan apa yang menunggu mereka. Tapi di sisi lain, ia tahu bahwa kini tidak ada lagi jalan untuk kembali.

Mereka telah memilih jalan ini.

Dan apa pun yang terjadi, mereka harus terus maju.*

Bab 10: Takdir yang Menentukan

Mobil Raka terus melaju di jalanan sunyi. Laras duduk di kursi penumpang dengan hati yang masih diliputi ketegangan. Ia masih sulit percaya bahwa mereka benar-benar meninggalkan rumah itu, meninggalkan semua kenyamanan yang pernah mereka kenal.

“Apa kita benar-benar bisa lari dari semua ini, Mas?” tanya Laras pelan.

Raka mengeratkan genggamannya pada setir. “Aku nggak tahu, Laras. Tapi satu hal yang pasti, aku nggak akan membiarkan Ayah menghancurkan hidup kita.”

Laras terdiam. Ia tahu betapa sulitnya posisi mereka sekarang. Tuan Arman bukan orang yang mudah menyerah, dan mereka pasti sedang diawasi.

Raka tiba-tiba membelokkan mobil ke sebuah jalan kecil di daerah pinggiran kota. Jalan itu sepi, hanya ada beberapa rumah dengan lampu yang redup.

“Kita ke mana, Mas?”

“Aku punya teman di sini. Dia bisa bantu kita untuk sementara.”

Mobil berhenti di depan sebuah rumah kecil sederhana. Raka mengetuk pintu beberapa kali sebelum seorang pria paruh baya membuka pintu.

“Raka?”

“Heri, aku butuh bantuanmu.”

Pria bernama Heri itu menatap mereka berdua dengan penuh tanya, lalu mengangguk. “Masuklah, sebelum seseorang melihat kalian.”

Mereka masuk ke dalam rumah. Laras duduk di sofa, masih merasa canggung.

“Kalian sedang dalam masalah?” tanya Heri sambil menuangkan teh untuk mereka.

“Masalah besar,” jawab Raka singkat.

Heri menghela napas. “Aku sudah dengar kabar dari orang-orang. Ayahmu marah besar, Raka. Dia mengerahkan banyak orang untuk mencari kalian.”

Laras langsung merasa darahnya berdesir.

“Jadi dia masih belum menyerah?” tanya Raka dengan nada tajam.

Heri menggeleng. “Tidak. Dan aku yakin dia nggak akan berhenti sampai dia menemukan kalian.”

Laras mencengkeram roknya erat. “Lalu… apa yang harus kita lakukan?”

Heri menatap mereka lama sebelum berkata, “Aku bisa membantu kalian keluar dari kota ini. Tapi kalian harus siap untuk meninggalkan semuanya.”

Laras menelan ludah. “Meninggalkan… semuanya?”

“Itu satu-satunya cara jika kalian benar-benar ingin bebas,” ucap Heri serius. “Kalau tetap di sini, cepat atau lambat Tuan Arman akan menemukan kalian.”

Raka menatap Laras, mencari jawabannya.

Laras menatap pria itu kembali. Ini bukan pilihan yang mudah. Meninggalkan kota berarti mereka harus memulai dari nol. Tidak ada jaminan bahwa mereka akan selamat.

Tapi jika mereka tetap di sini, mereka pasti akan tertangkap.

Setelah beberapa saat hening, Laras akhirnya mengangguk. “Aku ikut, Mas.”

Raka tersenyum kecil, lalu menatap Heri dengan penuh keyakinan. “Bantu kami, Heri.”

Heri mengangguk. “Baiklah. Tapi kalian harus pergi malam ini juga.”

—

Malam itu, Heri membawa mereka ke terminal bus kecil di pinggiran kota.

“Kalian akan naik bus ini ke kota lain. Dari sana, kalian bisa menyusun rencana selanjutnya,” ucap Heri.

Laras menggenggam tangan Raka erat.

“Terima kasih, Heri,” kata Raka dengan tulus.

Heri tersenyum. “Jaga diri kalian.”

Saat bus mulai bergerak, Laras menatap ke luar jendela, melihat bayangan kota yang mulai menjauh.

Mereka kini benar-benar meninggalkan segalanya.

Mereka tidak tahu apa yang menanti mereka di depan.

Tapi satu hal yang pasti—mereka telah memilih jalan mereka sendiri.

Dan kini, takdirlah yang akan menentukan ke mana mereka akan berlabuh.

——-the end——-

Source: YONGKI
Tags: CintaMajikanDanPembantuCintaYangDikejarDiburuKarenaCintaDramaKeluargaKisahAsmaraPanasKisahCintaPenuhTantanganPelarianBersemangatRahasiaDanPengorbananRomansaTerlarangTakdirAtauPilihan
Previous Post

BALAS DENDAM SANG MANTAN

Next Post

CINTA YANG KU KEJAR

Related Posts

Cinta Berbahaya dengan Suami Tanteku

Cinta Berbahaya dengan Suami Tanteku

May 2, 2025
Iparku, Kekasih dalam Bayangan:

Iparku, Kekasih dalam Bayangan:

May 1, 2025
Milik Ayah dan Anaknya”

Milik Ayah dan Anaknya”

April 30, 2025
Saat Suami Sahabatku Menginginkanku

Saat Suami Sahabatku Menginginkanku

April 29, 2025
Menjadi Milik Suami Sahabatku

Menjadi Milik Suami Sahabatku

April 28, 2025
Terjerat Nafsu Sang Guru

Terjerat Nafsu Sang Guru

April 27, 2025
Next Post
CINTA YANG KU KEJAR

CINTA YANG KU KEJAR

DIANTARA TAWA DAN TANGIS CINTA PERTAMA

DIANTARA TAWA DAN TANGIS CINTA PERTAMA

DUA HATI YANG BERDEGUP

DUA HATI YANG BERDEGUP

Top Stories

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

May 17, 2025
KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

May 16, 2025
KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

May 15, 2025

Tentang Kisah Cinta

Kami menyajikan kumpulan novel dan cerpen cinta yang menggambarkan berbagai sisi cinta, dari yang manis hingga yang pahit, dari yang bahagia hingga yang menyayat hati

Connect on Social

© 2024 Kisahcinta.id

No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta

© 2024 Kisahcinta.id