Kisah Cinta
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
Kisah Cinta
No Result
View All Result

terjerat pesona terlarang

FASA KEDJA by FASA KEDJA
April 14, 2025
in Cinta Terlarang
Reading Time: 23 mins read
terjerat pesona terlarang

 

Daftar Isi

  • Bab 1: Pertemuan Tak Terduga
  • Bab 2: Getaran yang Salah
  • Bab 3: Batas yang Kian Samar
  • Bab 4: Menolak yang Tak Terhindarkan
  • Bab 5: Jarak yang Semua
  • Bab 6: Dosa dalam Diam
  • Bab 7: Batas yang Mulai Kabur
  • Bab 8: Di Ambang Kehancuran
  • Bab 9: Rahasia yang Terungkap.
  • Bab 10: Melepaskan yang Tak Seharusnya Dimiliki

Bab 1: Pertemuan Tak Terduga

Aulia menarik napas dalam-dalam, berusaha meredakan detak jantungnya yang berdebar cepat. Ia berdiri di tengah taman belakang rumah, sibuk menata meja dan kursi untuk acara pertunangan kakaknya, Nayla. Hari itu, matahari bersinar terik, membuat dahinya dipenuhi keringat. Namun, bukan cuaca yang membuatnya merasa gugup—melainkan kenyataan bahwa hari ini ia akan bertemu dengan pria yang selama ini hanya ia dengar dari cerita Nayla.

**Adrian.**

Nama itu sudah berkali-kali meluncur dari bibir Nayla dengan penuh kebanggaan dan kasih sayang. Setiap kali berbicara tentangnya, mata Nayla berbinar. “Dia pria yang sempurna, Li,” katanya suatu kali, “dewasa, bertanggung jawab, dan sangat perhatian.”

Aulia selalu tersenyum mendengar itu. Nayla memang pantas mendapatkan yang terbaik. Namun, saat ini, entah kenapa ada kegelisahan aneh yang merayap di dadanya.

Saat ia tengah menata serbet di meja, suara langkah kaki terdengar mendekat. “Kamu pasti Aulia?”

Aulia menoleh cepat. Di hadapannya berdiri seorang pria tinggi dengan rambut hitam yang tertata rapi. Matanya tajam, tetapi ada kelembutan dalam tatapannya. Rahangnya tegas, senyumnya tipis, tapi cukup untuk membuatnya terlihat karismatik.

Aulia mengangguk, berusaha menjaga ekspresinya tetap netral. “Iya,” jawabnya singkat.

Pria itu tersenyum lebih lebar. “Aku Adrian.”

Nama itu terdengar begitu familiar, tapi sekarang terdengar jauh lebih nyata.

Aulia tak tahu harus berkata apa. Ia hanya bisa mengangguk sopan sebelum kembali fokus pada pekerjaannya. Namun, ia bisa merasakan bahwa Adrian masih menatapnya beberapa detik sebelum akhirnya berkata, “Kamu butuh bantuan?”

Aulia meliriknya sekilas. “Tidak perlu, aku bisa sendiri.”

“Tidak masalah. Aku juga butuh melakukan sesuatu biar nggak cuma diam menunggu,” katanya sambil tertawa kecil. Tanpa menunggu jawaban, Adrian mengambil beberapa gelas dan mulai menata di meja.

Aulia terpaksa membiarkannya. Namun, selama mereka berdiri berdampingan, ia mulai merasa tak nyaman. Bukan karena Adrian bersikap aneh, tapi justru karena semuanya terasa **terlalu nyaman**.

“Jadi, kamu kuliah di mana?” tanya Adrian setelah beberapa saat.

“Universitas Bina Karya, semester enam,” jawab Aulia tanpa menoleh.

Adrian mengangguk. “Bagus. Nayla sering cerita kalau adiknya ini pintar dan ambisius.”

Aulia tersenyum kecil. “Kak Nayla suka melebih-lebihkan.”

Adrian tertawa pelan. “Tapi aku yakin dia benar.”

Seketika, jantung Aulia berdetak lebih cepat. Ia mengutuk dirinya sendiri karena merasakan hal aneh. Ini tunangan kakaknya. Ia tidak boleh merasa **apa-apa**.

“Li!”

Aulia mendengar suara Nayla dari dalam rumah dan langsung menoleh. Kakaknya berjalan menghampiri mereka dengan gaun merah anggun yang membalut tubuhnya dengan sempurna.

“Apa yang kalian lakukan di sini?” Nayla tertawa kecil sambil melingkarkan tangannya di lengan Adrian dengan santai. “Aku sudah mencari kamu, sayang.”

Aulia tiba-tiba merasa seperti orang luar dalam percakapan itu. Ia menghela napas pelan dan pura-pura sibuk menata piring.

“Kami cuma ngobrol sedikit,” jawab Adrian sambil tersenyum pada Nayla.

Nayla menatap adiknya. “Adrian baik, kan? Aku yakin kalian akan akrab dalam waktu singkat.”

Aulia hanya mengangguk kecil.

Tanpa bisa dihindari, sepanjang acara pertunangan, Aulia beberapa kali menangkap tatapan Adrian yang mengarah padanya. Setiap kali mata mereka bertemu, Adrian tidak buru-buru mengalihkan pandangannya. Tatapan itu bukan tatapan yang canggung, melainkan seolah mengamati, seolah ingin membaca sesuatu yang tersembunyi dalam diri Aulia.

Dan itu membuat Aulia semakin tidak nyaman.

Ketika malam semakin larut dan acara mulai mereda, Aulia berdiri di balkon rumahnya, menikmati udara malam yang lebih sejuk. Ia butuh menenangkan pikirannya.

“Sendirian?”

Suara itu membuatnya sedikit tersentak. Ia menoleh dan mendapati Adrian berdiri di dekatnya, tangannya dimasukkan ke dalam saku celana.

“Aku butuh udara segar,” jawab Aulia tanpa banyak bicara.

Adrian berdiri di sampingnya, ikut menatap langit malam. Beberapa saat berlalu dalam keheningan, hingga akhirnya ia berkata, “Aku senang bisa mengenal kamu.”

Aulia mengerutkan keningnya. “Kenapa?”

Adrian menoleh ke arahnya dan tersenyum. “Entahlah. Aku hanya merasa… ada sesuatu dalam dirimu yang menarik.”

Aulia terdiam. Hatinya mulai berdegup lebih kencang lagi, dan itu membuatnya panik.

Ia buru-buru mengalihkan tatapannya dan berkata datar, “Aku rasa aku harus masuk. Selamat malam.”

Tanpa menunggu jawaban Adrian, Aulia bergegas pergi.

Namun, meskipun ia sudah berada di dalam kamar dan menutup pintu, kata-kata Adrian masih terngiang di kepalanya.

**Ada sesuatu dalam dirimu yang menarik.**

Aulia tahu itu hanya kalimat sederhana. Tapi kenapa hatinya bereaksi berlebihan?

Malam itu, ia berusaha tidur, tapi matanya terus terbuka. Ia mengutuk dirinya sendiri karena merasa sesuatu yang tidak seharusnya ia rasakan.

Karena satu hal yang pasti—Adrian adalah milik Nayla.

Dan Aulia **tidak boleh** melangkah lebih jauh.*

Bab 2: Getaran yang Salah

Matahari sore mulai condong ke barat saat Aulia duduk di bangku taman kampusnya, menatap buku yang terbuka di pangkuannya. Namun, pikirannya sama sekali tidak tertuju pada materi perkuliahan yang seharusnya ia pelajari. Bayangan Adrian terus mengganggunya sejak acara pertunangan Nayla dua hari lalu.

Ia menggelengkan kepala pelan, mencoba mengusir pikiran itu. Tidak, ini tidak boleh terjadi. Adrian adalah tunangan Nayla—pria yang akan menikahi kakaknya. Tidak seharusnya ia terlalu memikirkan pria itu.

Namun, semakin ia berusaha mengabaikan, semakin bayangan itu memenuhi kepalanya. Tatapan Adrian, senyumnya, caranya berbicara dengan lembut tapi tetap penuh percaya diri. Dan terutama, kata-kata terakhirnya di balkon malam itu.

_”Aku hanya merasa… ada sesuatu dalam dirimu yang menarik.”_

Aulia menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan.

“Pikirin apa, Li?”

Suara Dinda, sahabatnya, mengagetkannya. Aulia tersentak dan menoleh, mendapati Dinda sedang duduk di sampingnya sambil menyesap es kopi dari gelas plastik.

“Enggak, cuma lagi capek aja,” jawab Aulia, mencoba tersenyum.

Dinda menyipitkan mata curiga. “Bohong. Wajahmu kayak orang yang lagi banyak pikiran.”

Aulia mengalihkan pandangannya. “Nggak kok, serius.”

Dinda mengangkat bahu, tak mau memaksa. “Oke, kalau kamu nggak mau cerita. Tapi ingat, aku selalu ada kalau kamu butuh ngobrol.”

Aulia tersenyum kecil. “Makasih, Din.”

Namun, sebelum percakapan mereka berlanjut, ponsel Aulia bergetar di dalam tasnya. Ia mengambilnya dan melihat nama di layar.

**Adrian.**

Aulia menelan ludah. Kenapa Adrian meneleponnya?

Dengan ragu, ia bangkit dari bangku dan menjauh beberapa langkah sebelum menjawab panggilan itu. “Halo?”

“Hai, Aulia.” Suara Adrian terdengar ramah, tapi ada sesuatu dalam nada suaranya yang membuat jantung Aulia berdetak lebih cepat.

“Iya, ada apa?” tanyanya, berusaha terdengar biasa saja.

“Aku di dekat kampusmu sekarang. Aku harus menunggu Nayla yang masih ada meeting di gedung seberang. Kamu sibuk?”

Aulia terdiam sesaat. Ia tahu seharusnya ia menolak, tapi lidahnya terasa kelu. “Ehm… nggak juga. Kenapa?”

“Ayo ketemuan sebentar. Aku janji nggak lama,” kata Adrian, suaranya terdengar berharap.

Hatinya berteriak agar ia berkata **tidak**, tapi entah bagaimana, mulutnya justru berkata, “Baiklah.”

**Kenapa aku setuju?**

—

Lima belas menit kemudian, Aulia menemukan dirinya duduk di sebuah kafe kecil dekat kampus, berhadapan dengan Adrian yang mengenakan kemeja biru langit dengan lengan tergulung hingga siku. Tatapan matanya tetap tajam, tetapi kali ini terlihat lebih lembut.

“Terima kasih sudah mau bertemu,” kata Adrian sambil tersenyum.

Aulia hanya mengangguk. Ia berusaha mengabaikan perasaan aneh yang mulai merayap di hatinya.

“Mau pesan sesuatu?” tanya Adrian.

Aulia menggeleng. “Aku nggak lama, jadi nggak perlu.”

Adrian mengangkat alis, tapi tidak memaksa. “Baiklah. Aku cuma ingin ngobrol sebentar. Aku merasa kita belum sempat bicara banyak waktu di acara pertunangan.”

Aulia menelan ludah. “Kak Nayla cerita banyak tentangmu,” katanya, mencoba mengalihkan pembicaraan.

Adrian tersenyum. “Begitu juga sebaliknya. Dia sering cerita tentang kamu. Dan sejujurnya… aku penasaran.”

“Penasaran?” Aulia mengerutkan keningnya.

Adrian mengangguk. “Iya. Dari cara Nayla bercerita, kamu terdengar seperti orang yang menarik. Dan setelah bertemu, aku mengerti kenapa dia sangat bangga padamu.”

Pipi Aulia terasa panas. Ia segera menunduk, memainkan jemari di pangkuannya. “Aku nggak sehebat yang kak Nayla bilang,” gumamnya.

“Jangan merendahkan diri sendiri,” kata Adrian dengan nada serius. “Kamu cerdas, mandiri, dan punya semangat. Itu kualitas yang jarang ditemukan.”

Aulia mengangkat wajahnya dan mendapati Adrian tengah menatapnya dengan intens. Ia buru-buru mengalihkan pandangan, merasa ada sesuatu yang salah dalam percakapan ini.

“Adrian,” katanya pelan, “aku rasa kita nggak seharusnya sering bertemu seperti ini.”

Adrian terdiam sejenak sebelum akhirnya berkata, “Kenapa?”

“Kamu tahu kenapa,” jawab Aulia, suaranya hampir berbisik.

Adrian menarik napas dalam, lalu tersenyum kecil. “Aku hanya ingin mengenal adik tunanganku lebih baik. Apa itu salah?”

Aulia tidak bisa menjawab. Kata-kata Adrian terdengar masuk akal, tapi hatinya berkata lain. Ia tahu, ada sesuatu yang lebih dari sekadar ingin mengenal.

“Maaf, aku harus pergi,” kata Aulia sambil mengambil tasnya.

Adrian tidak menghentikannya. Ia hanya menatap Aulia dengan ekspresi yang sulit diartikan. “Baiklah. Tapi… aku harap kita bisa bicara lagi lain kali.”

Aulia tidak menjawab. Ia hanya bergegas pergi, meninggalkan perasaan berdebar yang semakin sulit ia kendalikan.

—

Malamnya, Aulia berbaring di tempat tidurnya, menatap langit-langit dengan perasaan campur aduk.

Ia tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa ada sesuatu di antara mereka—sesuatu yang tidak seharusnya ada.

Tapi yang lebih menakutkan adalah…

Ia tidak yakin apakah ia ingin menghentikannya atau membiarkannya berkembang.*

Bab 3: Batas yang Kian Samar

Aulia menghela napas panjang sambil meremas ujung sweaternya. Ia berdiri di depan cermin kamarnya, menatap refleksi dirinya dengan pikiran yang penuh kekacauan. Sudah tiga hari berlalu sejak pertemuannya dengan Adrian di kafe, tapi perasaan gelisah itu tak kunjung pergi.

Ia ingin percaya bahwa semua ini hanya kesalahpahaman, bahwa Adrian hanya ingin mengenalnya sebagai adik dari wanita yang akan dinikahinya. Namun, jauh di lubuk hatinya, Aulia tahu ada sesuatu yang lebih dalam dari itu. Dan yang lebih menakutkan—ia tidak yakin apakah ia ingin menghentikannya.

Ponselnya bergetar di atas meja. Ia menoleh, dan jantungnya langsung berdebar kencang.

**Adrian mengirim pesan.**

> *Aku di dekat kampusmu lagi. Mau makan siang bareng?*

Aulia menatap layar ponselnya cukup lama. Ia bisa saja mengabaikannya, bisa saja berkata tidak, tapi jari-jarinya justru bergerak sendiri.

> *Aku ada kelas sebentar lagi.*

Jawaban yang aman. Tidak langsung menolak, tapi juga tidak menerima. Namun, beberapa detik kemudian, balasan dari Adrian muncul.

> *Aku bisa menunggumu selesai.*

Aulia menggigit bibirnya. Ia harus menolak. Ia harus menarik garis batas sekarang juga. Tapi… mengapa hatinya justru menginginkan hal yang sebaliknya?

—

Dua jam kemudian, Aulia keluar dari gedung kampus dan mendapati Adrian bersandar di mobilnya di pinggir jalan. Ia mengenakan kemeja hitam dengan lengan tergulung, membuatnya terlihat santai tapi tetap berkarisma.

“Hei,” sapanya dengan senyum ramah.

Aulia mencoba menjaga ekspresinya tetap netral. “Kamu benar-benar menunggu?”

Adrian mengangkat bahu. “Aku sudah bilang, aku bisa menunggu.”

Aulia menghela napas. “Seharusnya kamu makan sendiri saja.”

“Tapi makan sendiri itu membosankan,” jawab Adrian ringan. “Ayo, aku tahu tempat makan enak di sekitar sini.”

Aulia membuka mulutnya untuk menolak, tapi Adrian sudah lebih dulu membuka pintu mobil untuknya. Dengan ragu, Aulia akhirnya masuk.

**Salah. Ini salah.**

Tapi mengapa ada bagian dari dirinya yang merasa ini benar?

—

Mereka tiba di sebuah restoran kecil yang tidak terlalu ramai. Suasananya hangat, dengan dekorasi kayu dan musik jazz lembut mengalun di latar belakang.

Adrian menarik kursi untuknya sebelum duduk di seberangnya. “Jadi, bagaimana harimu?” tanyanya.

Aulia menatap pria di depannya, mencoba membaca maksud di balik semua ini. “Kenapa kamu melakukan ini?” tanyanya tiba-tiba.

Adrian mengerutkan kening. “Melakukan apa?”

“Aku tunangan Nayla,” lanjut Aulia, suaranya sedikit bergetar. “Kenapa kamu terus mencari aku?”

Adrian menatapnya lama sebelum akhirnya berkata, “Aku sendiri juga tidak tahu.”

Jawaban itu membuat Aulia semakin gelisah.

“Aku tahu ini terdengar salah, dan aku tidak ingin membuatmu merasa tidak nyaman,” lanjut Adrian. “Tapi sejak pertama kali bertemu, aku merasa… ada sesuatu tentangmu yang membuatku ingin mengenalmu lebih jauh.”

Aulia terdiam. Ia tidak tahu harus berkata apa.

“Aku tahu seharusnya aku menjaga jarak,” lanjut Adrian, suaranya lebih pelan, “tapi semakin aku mencoba, semakin aku merasa ingin berada dekat denganmu.”

Jantung Aulia berdebar lebih kencang. “Kita tidak bisa seperti ini,” katanya lemah.

Adrian mengangguk. “Aku tahu.”

Tapi meskipun mereka berdua tahu, mengapa tidak ada dari mereka yang benar-benar berusaha menghentikan ini?

—

Sepanjang perjalanan pulang, Aulia diam. Pikirannya penuh dengan kata-kata Adrian. Ketika mobil berhenti di depan rumahnya, Aulia membuka pintu tanpa berkata apa-apa.

“Aulia,” panggil Adrian sebelum ia keluar.

Aulia menoleh.

“Aku tidak meminta kita untuk melakukan hal yang salah,” kata Adrian dengan serius. “Tapi aku ingin jujur dengan perasaanku.”

Aulia mengerjap. “Apa maksudmu?”

Adrian menatapnya lekat. “Aku tidak ingin menyakitimu, atau Nayla. Tapi aku tidak bisa berpura-pura tidak merasakan apa pun.”

Kata-kata itu seakan menghantam dada Aulia. Ia buru-buru keluar dari mobil sebelum Adrian bisa mengatakan lebih banyak.

Saat ia masuk ke dalam rumah, hatinya terasa kacau.

Ia seharusnya menutup pintu bagi perasaan ini. Ia seharusnya tidak membiarkan semuanya berkembang lebih jauh.

Tapi entah kenapa, saat Adrian berkata bahwa ia tidak bisa berpura-pura…

Aulia menyadari bahwa dirinya pun merasakan hal yang sama.*

Bab 4: Menolak yang Tak Terhindarkan

Malam itu, Aulia duduk di teras belakang rumahnya, menatap langit yang bertabur bintang. Angin malam berhembus lembut, tapi tidak cukup untuk menenangkan gejolak dalam hatinya.

Sejak pertemuan dengan Adrian tadi siang, pikirannya terus dipenuhi oleh kata-kata pria itu.

_”Aku tidak bisa berpura-pura tidak merasakan apa pun.”_

Aulia menggigit bibirnya. Ia tidak boleh memikirkan ini. Ia tidak boleh membiarkan hatinya ikut terjerat dalam sesuatu yang begitu salah.

“Kenapa belum tidur?”

Suara Nayla membuat Aulia tersentak. Ia menoleh dan melihat kakaknya berjalan mendekat, mengenakan piyama satin berwarna biru. Wajah Nayla terlihat tenang, tanpa beban. Tidak seperti dirinya yang saat ini dilanda kebingungan.

“Belum ngantuk,” jawab Aulia singkat.

Nayla duduk di sampingnya, menghela napas pelan. “Aku bisa lihat ada yang kamu pikirkan.”

Aulia menegang, tapi berusaha tersenyum. “Nggak kok, cuma kepikiran tugas kuliah.”

Nayla terkekeh. “Kamu ini, selalu serius sama kuliah. Aku bangga sih, tapi jangan sampai stres sendiri, ya.”

Aulia hanya mengangguk kecil.

Kemudian, Nayla bersandar di sandaran kursi dan berkata dengan nada lembut, “Aku bersyukur punya Adrian.”

Jantung Aulia seketika mencelos.

“Aku tahu hubungan kami baru berjalan beberapa bulan sebelum akhirnya bertunangan, tapi aku merasa sudah sangat mengenalnya. Dia selalu tahu bagaimana membuatku nyaman. Aku yakin, dia pria yang tepat untukku.”

Aulia menahan napas. Hatinya terasa seperti diremas.

“Aku tahu mungkin ini terlalu cepat,” lanjut Nayla, “tapi aku yakin, pernikahan kami akan bahagia.”

Aulia menggigit bibirnya, berusaha keras menahan emosinya. Ia ingin merasa bahagia untuk kakaknya, ia ingin mendukung sepenuhnya.

Tapi semakin ia mendengar Nayla berbicara tentang Adrian, semakin ia merasa bersalah.

—

Keesokan harinya, Aulia memutuskan untuk menghindari Adrian. Ia tahu, jika mereka terus bertemu, batas yang seharusnya ada akan semakin kabur.

Tapi menghindari Adrian ternyata tidak semudah yang ia kira.

Siang itu, ketika ia keluar dari kelas, ia mendapati pria itu berdiri di dekat tempat parkir kampusnya. Seakan-akan ia memang menunggu Aulia.

Aulia berusaha berjalan cepat, pura-pura tidak melihat, tapi suara Adrian menghentikannya.

“Aulia.”

Langkahnya terhenti. Ia bisa saja terus berjalan, berpura-pura tidak mendengar, tapi entah mengapa ia tetap berbalik.

Adrian berjalan mendekatinya, ekspresi wajahnya serius. “Kamu menghindar dariku.”

Aulia menegakkan bahunya, mencoba bersikap tegas. “Aku hanya sibuk.”

Adrian menatapnya dalam. “Tidak. Kamu menghindar.”

Aulia menghela napas. “Karena kita tidak seharusnya sering bertemu, Adrian. Ini tidak benar.”

Adrian terdiam beberapa detik sebelum berkata pelan, “Aku tahu.”

“Kalau kamu tahu, kenapa masih mencariku?” tanya Aulia, suaranya penuh keputusasaan.

Adrian menatapnya, seolah berusaha mencari jawaban dalam mata Aulia. “Karena aku tidak bisa berhenti memikirkanmu.”

Jantung Aulia berdebar kencang, tapi ia menggigit bibirnya, menahan emosinya. “Adrian, kamu akan menikah dengan Nayla. Aku tidak bisa… kita tidak bisa…”

“Aku juga tidak ingin menyakiti Nayla,” potong Adrian cepat. “Aku tahu aku salah karena membiarkan perasaan ini berkembang, tapi aku tidak bisa membohongi diriku sendiri.”

Aulia meremas ujung tasnya. “Kita harus berhenti, Adrian. Kita harus menjaga jarak.”

Adrian menghela napas dalam, lalu menundukkan kepalanya. “Aku mengerti.”

Ada keheningan yang begitu menyakitkan di antara mereka.

Aulia menatap pria itu sekali lagi sebelum berbalik pergi.

Namun, sebelum ia sempat melangkah lebih jauh, Adrian berkata, “Tapi meskipun kita berhenti bertemu… perasaan ini tidak akan hilang begitu saja.”

Aulia menutup matanya sesaat sebelum kembali melangkah, meninggalkan Adrian di sana, tanpa berani menoleh lagi.

—

Malam itu, Aulia menatap ponselnya, melihat satu pesan dari Adrian yang masuk beberapa jam lalu.

> *Aku akan mencoba menjauh. Tapi aku ingin kamu tahu… aku tidak menyesal pernah mengenalmu.*

Aulia merasa matanya panas. Ia tahu, ini adalah yang terbaik. Tapi mengapa hatinya begitu sakit?

Ia menaruh ponselnya di meja, lalu memejamkan mata, berharap semua ini hanyalah mimpi.

Namun, ia tahu, perasaan ini nyata.

Dan ini adalah sesuatu yang tidak seharusnya ada.*

 

Bab 5: Jarak yang Semua

Sudah seminggu sejak percakapan terakhirnya dengan Adrian. Sejak hari itu, Aulia berusaha keras menjalani harinya seperti biasa—fokus pada kuliah, menghindari percakapan yang tidak perlu dengan Nayla tentang pernikahannya, dan tentu saja, menjauh dari segala hal yang berhubungan dengan Adrian.

Tapi tidak peduli seberapa keras ia mencoba, pikirannya tetap tidak bisa lepas dari pria itu.

Setiap kali ia melewati kafe tempat mereka pernah bertemu, ia merasakan dadanya sesak. Setiap kali ia melihat pesan dari Nayla yang bercerita tentang rencana pernikahan, ia merasa bersalah.

Dan yang paling buruk, setiap malam sebelum tidur, ia masih mendengar suara Adrian di kepalanya.

_”Aku tidak bisa berpura-pura tidak merasakan apa pun.”_

Aulia menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan. Ia tidak boleh seperti ini. Ia sudah memutuskan untuk menjauh, jadi ia harus konsisten dengan keputusannya.

Namun, keputusan itu diuji lebih cepat dari yang ia bayangkan.

—

Sore itu, Aulia pulang lebih awal dari kampus karena dosennya mendadak membatalkan kelas. Saat ia baru saja memasuki rumah, ia mendengar suara Nayla tertawa di ruang tamu.

Rasa penasaran membuatnya melangkah ke arah sumber suara, dan saat melihat siapa yang duduk di sana, jantungnya langsung berdebar kencang.

**Adrian.**

Pria itu duduk di sofa dengan kemeja abu-abu yang terlihat santai namun tetap rapi. Ia tersenyum pada Nayla yang tampak sibuk menunjukkan sesuatu di ponselnya.

Namun, begitu menyadari kehadiran Aulia, tatapan Adrian berubah. Ada ketegangan di matanya, seolah ia juga tidak menyangka akan bertemu Aulia di sini.

“Hai, Aulia!” Nayla menyapanya riang. “Kamu pulang lebih cepat?”

Aulia memaksakan senyum dan mengangguk. “Iya, kelasnya dibatalkan.”

Nayla bangkit dan menghampiri Aulia dengan semangat. “Kebetulan banget, Adrian baru saja datang. Aku tadi cerita ke dia soal tempat resepsi, dan dia mau lihat beberapa referensi. Bantu aku pilih dong!”

Aulia melirik Adrian sekilas. Pria itu hanya diam, tapi sorot matanya seolah ingin mengatakan sesuatu yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata.

“Aku… capek, Kak,” kata Aulia akhirnya. “Mau istirahat dulu.”

Nayla mengerucutkan bibirnya. “Ya ampun, baru jam segini udah capek? Ya udah, nanti kalau udah segar, kamu lihat bentar ya?”

Aulia hanya mengangguk sebelum melangkah pergi ke kamarnya.

Saat ia menutup pintu, ia bersandar di belakangnya, berusaha mengatur napas.

**Kenapa perasaannya jadi serumit ini?**

—

Malam harinya, Aulia baru saja keluar dari kamar untuk mengambil air minum ketika ia melihat sosok Adrian di halaman depan rumahnya.

Ia berdiri di sana, menatap langit, seakan sedang berpikir dalam-dalam.

Aulia menggigit bibirnya. Ia bisa saja kembali ke kamarnya dan pura-pura tidak melihatnya. Ia bisa saja mengabaikan keberadaan Adrian, seperti yang seharusnya ia lakukan.

Tapi entah mengapa, kakinya justru melangkah mendekat.

Saat ia berdiri di ambang pintu, Adrian menoleh dan mata mereka bertemu.

“Hai,” suara Adrian terdengar pelan.

Aulia menelan ludah. “Kenapa masih di sini?”

Adrian menghela napas dan memasukkan tangannya ke dalam saku celana. “Nayla baru saja tidur. Aku mau pulang, tapi…”

“Tapi apa?”

Adrian menatap Aulia dengan dalam. “Aku ingin bicara denganmu dulu.”

Aulia menegang. “Adrian, kita tidak boleh—”

“Aku tahu,” potong Adrian cepat. “Aku tahu kita sudah memutuskan untuk menjaga jarak. Aku tahu seharusnya aku tidak mencari kamu lagi.”

Aulia mengepalkan tangannya. “Lalu kenapa kamu tetap melakukannya?”

Adrian mendekat satu langkah. “Karena tidak peduli seberapa keras aku mencoba, aku tetap tidak bisa berhenti memikirkanmu.”

Jantung Aulia berdetak liar, tapi ia tetap mencoba bertahan. “Adrian, ini salah.”

Adrian mengangguk. “Aku tahu.”

Hening sejenak.

Kemudian, suara Adrian terdengar lebih pelan, lebih lembut. “Tapi katakan padaku, Aulia. Apakah kamu benar-benar tidak merasakan apa pun?”

Aulia menahan napas.

Ia ingin berbohong. Ia ingin mengatakan bahwa ia tidak merasakan apa pun. Bahwa ia tidak terganggu dengan keberadaan Adrian. Bahwa ia tidak merindukan pria itu saat mereka tidak bertemu.

Tapi mulutnya seakan terkunci.

Adrian menatapnya dalam, seakan mencari jawaban dari ekspresi wajahnya.

Dan saat Aulia tidak juga memberikan jawaban, Adrian menghela napas pelan. “Aku mengerti.”

Pria itu berbalik, melangkah pergi menuju mobilnya.

Namun, saat ia baru membuka pintu mobil, Aulia tanpa sadar berkata, “Adrian.”

Adrian berhenti.

Aulia menggigit bibirnya, lalu menggeleng pelan. “Aku… aku juga tidak bisa berpura-pura.”

Adrian membalikkan badan, tatapannya berubah. Ada harapan di sana, ada sesuatu yang lebih dalam.

“Tapi itu tidak mengubah kenyataan,” lanjut Aulia, suaranya hampir berbisik. “Kamu tetap tunangan Nayla. Dan aku tetap adiknya.”

Adrian menatapnya lama sebelum akhirnya tersenyum kecil—senyum yang tidak benar-benar menunjukkan kebahagiaan.

“Aku tahu,” katanya. “Tapi setidaknya, aku ingin mendengar kamu mengakuinya.”

Aulia menunduk, tidak sanggup menatapnya lebih lama.

Adrian menatapnya sejenak lagi sebelum akhirnya masuk ke dalam mobil. Mesin mobil dinyalakan, lalu perlahan melaju menjauh, meninggalkan Aulia yang masih berdiri di depan rumah, dengan hati yang semakin kacau.

Ia telah mengakuinya.

Tapi mengakui bukan berarti bisa memilikinya.

Dan itulah yang paling menyakitkan.*

Bab 6: Dosa dalam Diam

Sejak malam itu, Aulia merasa hidupnya berubah.

Bukan karena sesuatu yang besar terjadi, tapi karena kesadaran yang kini tertanam kuat dalam hatinya—ia dan Adrian saling memiliki perasaan.

Namun, perasaan itu tidak memiliki tempat.

Sejak pengakuannya, Aulia semakin berhati-hati. Ia menghindari interaksi yang tidak perlu, bahkan saat Adrian datang ke rumah bersama Nayla, ia lebih banyak mengurung diri di kamar.

Tapi justru di sanalah letak permasalahannya.

**Perasaan tidak bisa dihindari.**

Semakin ia menjauh, semakin ia menyadari bahwa ada sesuatu dalam dirinya yang tetap tertarik pada Adrian. Seperti gravitasi yang tidak bisa ia lawan.

Dan ketika Nayla mulai sibuk dengan persiapan pernikahan, Aulia tanpa sadar semakin banyak memikirkan pria itu.

**Bagaimana jika semua ini tidak pernah terjadi? Bagaimana jika mereka bertemu lebih dulu?**

Tapi kehidupan tidak bekerja seperti itu. Kenyataan sudah terbentuk, dan Aulia hanya bisa menerima bahwa ia berada dalam posisi yang salah.

Namun, meskipun ia mencoba menjaga jarak, semesta seolah tidak mengizinkannya.

—

Sore itu, Aulia baru saja keluar dari sebuah toko buku ketika langkahnya terhenti di trotoar.

Di seberang jalan, berdiri seorang pria dengan kemeja biru tua, matanya menatap lurus ke arahnya.

**Adrian.**

Aulia menelan ludah. Ia bisa saja pura-pura tidak melihat dan segera pergi. Namun, sebelum ia sempat melangkah, Adrian sudah berjalan mendekat.

Saat pria itu berdiri di hadapannya, Aulia bisa merasakan detak jantungnya meningkat.

“Kamu sendirian?” tanya Adrian.

Aulia mengangguk pelan. “Kak Nayla sibuk dengan persiapan pernikahan.”

Adrian terdiam sejenak, lalu berkata, “Aku bisa temani kamu sebentar?”

Aulia tahu ia harus mengatakan tidak. Ia tahu bahwa membiarkan Adrian berada di dekatnya hanya akan memperburuk keadaan.

Tapi saat melihat mata pria itu, ia tidak sanggup menolak.

“Ada kafe enak di dekat sini,” kata Adrian. “Kamu suka kopi, kan?”

Aulia menghela napas. “Adrian, kita tidak boleh—”

“Aku cuma ingin bicara,” potong Adrian.

Aulia menggigit bibirnya. “Baiklah,” katanya akhirnya, meskipun di dalam hati, ia tahu ini adalah kesalahan.

—

Kafe itu tidak terlalu ramai. Mereka memilih meja di sudut ruangan, agak jauh dari pengunjung lain.

Adrian menatap Aulia dengan sorot mata yang sulit diartikan. “Kamu menghindariku.”

Aulia mengaduk kopinya tanpa menatapnya. “Aku cuma berusaha melakukan hal yang benar.”

Adrian tersenyum kecil, tapi senyumnya tidak menunjukkan kebahagiaan. “Kalau ini adalah hal yang benar, kenapa rasanya begitu menyakitkan?”

Aulia mengangkat kepalanya, menatap pria itu. Ada kejujuran dalam tatapan Adrian, sesuatu yang membuat hatinya kembali bergetar.

“Aku tahu kamu juga merasakannya, Aulia,” lanjut Adrian. “Aku bisa melihatnya setiap kali kita bertemu.”

Aulia menelan ludah. “Perasaan itu tidak penting, Adrian. Yang penting adalah apa yang benar dan apa yang salah.”

Adrian menghela napas, menatap kopinya dengan ekspresi frustrasi. “Aku mencoba. Aku benar-benar mencoba untuk tidak merasa seperti ini. Tapi setiap kali aku melihatmu, semuanya kembali lagi.”

Aulia menggigit bibirnya. “Kita tidak bisa terus seperti ini.”

“Aku tahu,” gumam Adrian.

Hening sejenak. Hanya ada suara dentingan sendok dan percakapan samar dari meja lain.

Kemudian, Adrian berkata pelan, “Apa kamu pernah berpikir… bagaimana kalau kita bertemu lebih dulu?”

Aulia menahan napas. Pertanyaan itu adalah pertanyaan yang sama yang menghantui pikirannya selama ini.

“Apa itu akan mengubah segalanya?” tanya Adrian lagi.

Aulia mengalihkan pandangannya ke luar jendela. “Tidak ada gunanya berpikir seperti itu. Faktanya, kamu sudah bertunangan dengan Kak Nayla.”

Adrian menatapnya lama, lalu berkata, “Tapi jika keadaan berbeda… aku yakin aku akan memilihmu.”

Jantung Aulia mencelos. Ia tidak tahu harus merasa bahagia atau semakin hancur mendengar kata-kata itu.

“Jangan berkata seperti itu,” bisiknya.

Adrian menghela napas panjang. “Aku minta maaf, Aulia. Aku hanya ingin jujur.”

Aulia menatapnya, dan untuk pertama kalinya, ia benar-benar melihat perasaan itu di mata Adrian.

Bukan hanya ketertarikan sesaat, bukan hanya kebingungan.

Tapi sesuatu yang lebih dalam.

Dan itu membuat semuanya menjadi semakin sulit.

—

Saat Aulia pulang ke rumah malam itu, ia mendapati Nayla duduk di sofa dengan tumpukan undangan pernikahan di sekelilingnya.

“Kamu dari mana?” tanya Nayla tanpa menoleh.

Aulia menelan ludah. “Dari toko buku.”

“Kok lama banget?”

Aulia terdiam sejenak. “Ketemu teman,” jawabnya, setengah berbohong.

Nayla tersenyum tanpa curiga. “Oh ya, tadi Adrian bilang dia sibuk hari ini, jadi nggak bisa datang. Aku pikir dia kerja lembur.”

Jantung Aulia berhenti sejenak.

**Adrian berbohong pada Nayla.**

Dan kini, Aulia juga melakukan hal yang sama.

Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa seperti orang jahat.

Namun, apa yang lebih buruk dari itu… adalah kenyataan bahwa ia tidak menyesali pertemuannya dengan Adrian hari ini.

Ia seharusnya merasa bersalah.

Tapi yang ia rasakan justru lebih dari itu.

Ia merasakan ketakutan—bukan karena salah, tapi karena ia tahu ia sudah semakin tenggelam.

Dan mungkin, tidak ada jalan untuk kembali.*

Bab 7: Batas yang Mulai Kabur

Hari-hari berlalu dengan semakin banyak kebohongan yang harus Aulia simpan.

Setelah pertemuan mereka di kafe, Aulia dan Adrian memang tidak pernah secara sengaja bertemu lagi. Namun, bukan berarti semuanya kembali seperti semula.

Sejak hari itu, ada sesuatu yang berubah dalam cara mereka bertatapan. Dalam cara Adrian menyebut namanya. Dalam cara Aulia berusaha menghindarinya tapi selalu gagal.

Batas yang seharusnya tegas antara mereka kini mulai kabur.

Aulia tahu seharusnya ia menghentikan ini, tapi semakin hari, semakin sulit baginya untuk berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja.

Dan suatu hari, batas itu benar-benar hancur.

—

Malam itu, hujan turun deras. Petir sesekali menyambar, menyinari langit yang gelap. Aulia baru saja keluar dari perpustakaan kampus ketika ia melihat layar ponselnya.

**1 pesan dari Kak Nayla.**

> *Aulia, aku harus ke luar kota besok pagi buat fitting gaun. Aku sudah bilang ke Adrian buat jemput aku malam ini, tapi tiba-tiba dia ada meeting dadakan. Bisa tolong temani aku ke apartemennya buat ambil beberapa dokumen?*

Jantung Aulia mencelos.

Ke apartemen Adrian?

**Tidak, tidak mungkin.**

Tapi sebelum ia bisa mengetikkan penolakan, Nayla mengirim pesan lagi.

> *Please? Aku nggak punya kunci cadangan, dan aku butuh dokumen itu sekarang. Adrian bilang dia akan pulang lebih malam, jadi kita cuma sebentar aja kok!*

Aulia menggigit bibirnya.

Jika Adrian tidak ada, maka tidak akan ada masalah, bukan?

Dengan ragu, ia mengetik balasan.

> *Oke, Kak. Aku jemput sekarang.*

—

Sekitar 30 menit kemudian, Aulia tiba di apartemen Adrian bersama Nayla.

Hujan masih turun deras, membasahi jalanan yang lengang.

Saat Nayla mengetuk pintu, Aulia hanya berdiri di belakangnya, mencoba menenangkan debaran di dadanya.

“Kita cuma ambil dokumen terus pergi,” gumamnya pada diri sendiri.

Namun, rencana itu hancur begitu pintu terbuka.

Adrian berdiri di sana, mengenakan kemeja putih yang lengannya tergulung hingga siku. Rambutnya sedikit berantakan, tanda bahwa ia baru saja selesai bekerja.

Aulia membeku.

Nayla juga tampak terkejut. “Loh? Kamu di rumah? Bukannya kamu bilang ada meeting?”

Adrian mengusap tengkuknya, terlihat sedikit canggung. “Meetingnya batal.”

Aulia tidak bisa mengabaikan sesuatu yang aneh di sini. Kenapa Adrian berbohong?

Tapi sebelum pikirannya bisa menggali lebih dalam, Nayla sudah masuk ke dalam apartemen sambil menggerutu, “Ya ampun, kalau tahu kamu ada di sini, aku nggak perlu repot-repot datang.”

Aulia ragu sejenak, tapi akhirnya mengikuti Nayla masuk.

Apartemen Adrian terasa hangat dengan aroma kopi yang samar. Aulia berusaha untuk tidak terlalu memperhatikan sekeliling, tapi ia sadar bahwa ini pertama kalinya ia berada di tempat ini.

“Dokumennya di mana?” tanya Nayla.

Adrian berjalan ke meja kerjanya, mengambil sebuah map cokelat, lalu menyerahkannya pada Nayla. “Ini.”

Nayla mengangguk puas. “Oke, aku masuk kamar mandi sebentar, terus kita langsung pulang, ya.”

Sebelum Aulia bisa menjawab, Nayla sudah menghilang ke dalam kamar mandi.

Kini, hanya ada Aulia dan Adrian.

Keheningan langsung memenuhi ruangan.

Aulia berusaha fokus pada pintu kamar mandi, berharap Nayla segera keluar. Tapi ia bisa merasakan tatapan Adrian padanya.

“Aulia,” panggil Adrian pelan.

Aulia menelan ludah, lalu menggeleng. “Jangan.”

Adrian menghela napas, lalu berjalan mendekat. “Aku tahu ini salah, tapi aku nggak bisa mengabaikan perasaanku.”

Aulia mengepalkan tangannya. “Adrian, kita nggak boleh kayak gini.”

Adrian menatapnya dalam. “Lalu aku harus bagaimana? Berpura-pura nggak merasakan apa-apa?”

Aulia ingin menjawab, ingin mengatakan bahwa itulah yang seharusnya mereka lakukan. Tapi hatinya memberontak.

Tatapan Adrian begitu intens, begitu penuh perasaan yang selama ini mereka coba abaikan.

“Kalau aku bilang aku ingin kamu tetap di sini lebih lama… kamu bakal marah nggak?”

Pertanyaan itu membuat Aulia membeku.

Ia ingin menjawab “ya”. Ia ingin mengatakan bahwa ia marah, bahwa ia kecewa karena Adrian tidak berusaha menghentikan semua ini.

Tapi yang keluar dari mulutnya hanyalah…

“Aku nggak tahu.”

Adrian menatapnya seolah sedang menimbang sesuatu.

Dan dalam satu detik yang terasa begitu lama, mereka hanya berdiri di sana, saling menatap dengan perasaan yang terlalu sulit dijelaskan.

Namun, sebelum sesuatu yang lebih buruk terjadi, suara pintu kamar mandi terbuka.

Aulia langsung mundur selangkah, berusaha menyembunyikan kegelisahannya.

“Udah, yuk pulang!” kata Nayla riang sambil merapikan rambutnya.

Adrian dan Aulia sama-sama berusaha bersikap biasa.

Namun, saat mereka berpisah malam itu, Aulia tahu sesuatu telah berubah.

Batas di antara mereka bukan hanya kabur lagi.

Batas itu sudah hampir hilang.*

Bab 8: Di Ambang Kehancuran

Sejak malam itu di apartemen Adrian, Aulia tidak lagi bisa membohongi dirinya sendiri.

Ia tahu ia seharusnya menjauh, tapi perasaannya sudah terlalu dalam. Setiap kali melihat Adrian, ada sesuatu dalam dirinya yang ingin tetap dekat, meskipun ia tahu itu salah.

Namun, di sisi lain, perasaan bersalah terhadap Nayla juga semakin menghantuinya.

Dan yang lebih buruk, Aulia tidak tahu sampai kapan ia bisa bertahan sebelum semuanya runtuh.

—

Sore itu, Aulia sedang duduk di bangku taman kampus, mencoba fokus membaca buku, tapi pikirannya terus melayang pada Adrian.

Ia tidak tahu sejak kapan perasaan ini tumbuh begitu kuat. Awalnya hanya kekaguman, lalu ketertarikan, hingga akhirnya berubah menjadi sesuatu yang jauh lebih dalam.

Namun, semua itu tidak mengubah kenyataan—Adrian adalah tunangan kakaknya.

Saat ia masih tenggelam dalam pikirannya, suara ponselnya bergetar.

**1 pesan dari Adrian.**

> *Bisa ketemu sebentar?*

Aulia menatap layar ponselnya lama. Ia tahu seharusnya ia tidak pergi. Ia seharusnya tidak terus-terusan menempatkan dirinya dalam situasi seperti ini.

Namun, sebelum ia bisa menolak, pesan lain masuk.

> *Aku butuh bicara. Ini penting.*

Aulia menggigit bibirnya. Entah apa yang membuatnya mengetik balasan.

> *Di mana?*

—

Setengah jam kemudian, Aulia tiba di sebuah kafe kecil di sudut kota. Kafe itu cukup sepi, hanya ada beberapa pengunjung yang sibuk dengan laptop mereka.

Saat ia masuk, Adrian sudah duduk di pojok, menatap keluar jendela dengan ekspresi serius.

Aulia menarik napas panjang sebelum berjalan mendekat.

“Ada apa?” tanyanya pelan saat ia duduk di hadapan Adrian.

Adrian menoleh, menatapnya dengan sorot mata yang sulit diartikan. “Aku nggak bisa terus kayak gini, Aulia.”

Jantung Aulia berdebar. “Maksud kamu?”

Adrian menatap meja, lalu menghela napas panjang. “Aku nggak bisa berpura-pura bahwa aku nggak mencintaimu.”

Aulia membeku.

Itu adalah pertama kalinya Adrian mengatakannya dengan begitu jelas.

“Cukup, Adrian,” bisiknya.

“Tidak, Aulia. Aku sudah mencoba menahan semuanya, tapi aku nggak bisa lagi,” Adrian bersandar ke belakang, mengusap wajahnya. “Aku mencintaimu, dan aku tahu kamu juga merasakan hal yang sama.”

Aulia mengepalkan tangannya. “Perasaan kita nggak mengubah kenyataan. Kamu tetap tunangan Kak Nayla.”

Adrian terdiam lama sebelum akhirnya berkata, “Aku berpikir untuk membatalkan pertunangan ini.”

Aulia langsung menegang. “Jangan gila, Adrian!”

“Apa aku terlihat gila?” Adrian menatapnya dalam. “Aku cuma nggak ingin terus berbohong. Aku nggak ingin menikahi Nayla sementara hatiku ada pada orang lain.”

Aulia merasakan tubuhnya gemetar. Ini terlalu jauh. Ini bukan yang ia inginkan.

“Tapi ini sudah terjadi, Adrian,” kata Aulia lirih. “Kamu nggak bisa menghancurkan semuanya hanya karena perasaan sesaat.”

Adrian menatapnya tajam. “Apa menurutmu ini cuma perasaan sesaat?”

Aulia tidak menjawab. Ia tahu ini lebih dari sekadar ketertarikan sesaat, tapi mengakuinya hanya akan membuat segalanya semakin buruk.

“Aku butuh waktu untuk berpikir,” gumam Adrian.

Aulia menggeleng. “Jangan buat keputusan yang akan kamu sesali.”

“Tapi lebih baik daripada terus hidup dalam kebohongan, bukan?”

Aulia tidak punya jawaban untuk itu.

Ia hanya tahu bahwa apa pun yang terjadi setelah ini, semuanya tidak akan pernah sama lagi.

—

Malam itu, Aulia merasa dadanya begitu sesak.

Ia berbaring di tempat tidur, menatap langit-langit kamar, mencoba mencerna semuanya.

Adrian ingin membatalkan pertunangannya.

Itu berarti jika benar terjadi, Aulia akan menjadi alasan utama perpisahan mereka.

**Bisakah ia hidup dengan kenyataan itu?**

Saat ia masih sibuk dengan pikirannya, pintu kamarnya terbuka.

“Aulia?”

Aulia tersentak dan langsung duduk. Nayla berdiri di ambang pintu, tersenyum lembut.

“Kak Nayla? Ada apa?”

Nayla masuk dan duduk di tepi tempat tidur. “Aku cuma mau cerita sesuatu.”

Aulia menelan ludah, hatinya tidak tenang. “Apa?”

“Aku semakin yakin kalau Adrian adalah orang yang tepat untukku,” kata Nayla dengan tatapan penuh kebahagiaan. “Dia selalu ada untukku, selalu mendukung aku dalam segala hal. Aku nggak sabar untuk menikah dengannya.”

Aulia merasa seolah jantungnya diremas.

Nayla melanjutkan, “Aku tahu kamu belum terlalu dekat dengan Adrian, tapi aku harap setelah kami menikah, kamu bisa melihat sendiri betapa baiknya dia.”

Aulia menunduk, menyembunyikan ekspresi wajahnya.

**Betapa baiknya dia?**

Adrian yang ia kenal adalah pria yang kini sedang berpikir untuk meninggalkan pertunangan ini. Pria yang telah mengungkapkan perasaan yang seharusnya tidak ada.

Dan lebih dari itu—pria yang telah membuatnya jatuh cinta.

“Kamu nggak apa-apa?” tanya Nayla tiba-tiba.

Aulia memaksakan senyum. “Iya, Kak. Aku cuma capek.”

Nayla mengangguk. “Oke, kalau gitu aku nggak ganggu. Istirahat ya.”

Saat Nayla meninggalkan kamar, Aulia merasa napasnya berat.

Matanya terasa panas, dan sebelum ia bisa menghentikan dirinya sendiri, air mata mulai mengalir di pipinya.

Ia sudah melampaui batas.

Dan kini, ia berada di ambang kehancuran.*

Bab 9: Rahasia yang Terungkap.

Hari-hari setelah pertemuan terakhir mereka terasa seperti bom waktu yang siap meledak kapan saja.

Aulia berusaha bersikap normal di depan Nayla, berpura-pura tidak tahu bahwa Adrian sedang mempertimbangkan untuk membatalkan pertunangan mereka.

Tapi semakin ia mencoba bertindak biasa, semakin hatinya terhimpit rasa bersalah.

Dan yang lebih buruk, ia tidak tahu kapan rahasia ini akan terbongkar—karena cepat atau lambat, kebohongan selalu menemukan cara untuk terungkap.

—

Sore itu, Aulia baru saja keluar dari kelas ketika ponselnya bergetar.

**1 pesan dari Adrian.**

> *Aku sudah bicara dengan Nayla.*

Jantung Aulia langsung berdegup kencang.

Tangannya gemetar saat ia membalas pesan itu.

> *Apa maksudnya?*

Adrian membalas cepat.

> *Aku bilang padanya bahwa aku ingin membatalkan pernikahan.*

Dunia Aulia seakan berhenti.

Tangannya mencengkeram ponsel dengan erat, otaknya mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi.

> *Kapan?*

> *Tadi pagi.*

> *Bagaimana reaksinya?*

Butuh waktu beberapa menit sebelum Adrian membalas.

> *Dia hancur, Aulia.*

Aulia langsung menutup mulutnya, menahan napas. Ia bisa membayangkan wajah Nayla saat mendengar kabar itu—betapa kecewanya dia, betapa hatinya pasti remuk.

> *Dia tahu tentang kita?* tanyanya ragu.

> *Tidak. Aku hanya bilang kalau aku nggak yakin bisa menjalani pernikahan ini.*

Aulia menutup mata. Ada sedikit rasa lega, tapi juga ketakutan yang lebih besar.

Karena cepat atau lambat, Nayla pasti akan mencari tahu alasannya.

> *Apa yang akan kamu lakukan sekarang?*

> *Aku nggak tahu. Tapi aku tahu satu hal, Aulia.*

> *Aku ingin bersamamu.*

Tangan Aulia mencengkeram erat ponselnya, tapi sebelum ia sempat membalas, suara panggilan masuk membuatnya tersentak.

**Kak Nayla.**

Jantungnya langsung mencelos.

Dengan napas tertahan, ia menerima panggilan itu. “Halo, Kak…”

“Aulia…” suara Nayla terdengar lemah, seperti habis menangis.

Aulia merasakan tenggorokannya mengering. “Ada apa, Kak?”

“Aku butuh kamu sekarang…” suara Nayla bergetar. “Aku nggak tahu harus bicara sama siapa lagi…”

Aulia merasa dadanya semakin sesak. “Kak di mana?”

“Aku di rumah. Bisa ke sini sekarang?”

Aulia ragu sejenak, tapi ia tahu ia tidak bisa meninggalkan Nayla sendirian dalam keadaan seperti ini.

“Aku segera ke sana, Kak,” jawabnya pelan.

—

Saat Aulia tiba di rumah, ia menemukan Nayla duduk di sofa dengan mata sembab.

Tumpukan undangan pernikahan berserakan di lantai, beberapa di antaranya sudah robek.

Aulia menelan ludah dan perlahan duduk di sebelah Nayla.

“Kak…” panggilnya pelan.

Nayla mengusap wajahnya, lalu menatap Aulia dengan mata yang masih basah. “Adrian ingin membatalkan pernikahan ini…”

Aulia hanya bisa diam. Ia tidak tahu harus berkata apa.

“Aku nggak mengerti, Aulia,” suara Nayla pecah. “Kami baik-baik saja… aku pikir kami saling mencintai… tapi tiba-tiba dia bilang dia nggak yakin…”

Aulia menggigit bibirnya. “Apa Kakak tanya alasannya?”

Nayla mengangguk pelan. “Dia bilang dia nggak ingin berbohong padaku…” Air mata Nayla kembali mengalir. “Tapi dia nggak mau bilang alasannya… Seakan dia menyembunyikan sesuatu…”

Aulia merasa seluruh tubuhnya lemas.

“Kakak… Kakak masih mau mempertahankan pernikahan ini?” tanyanya hati-hati.

Nayla terdiam sejenak sebelum akhirnya menggeleng lemah. “Aku nggak mau menikahi seseorang yang nggak yakin sama aku…”

Aulia menghela napas dalam.

Seharusnya ini adalah jawaban yang membuatnya sedikit lega. Tapi entah kenapa, rasa sakit di dada justru semakin kuat.

Karena ia tahu, meskipun pernikahan ini batal, bukan berarti semuanya akan baik-baik saja.

“Jadi… ini sudah benar-benar berakhir?” Aulia bertanya pelan.

Nayla menarik napas panjang, lalu mengangguk. “Aku akan bicara dengan orang tua kita besok…”

Aulia mengangguk, mencoba menelan rasa bersalah yang semakin menyesakkan.

Tapi sebelum ia bisa berkata apa-apa, Nayla tiba-tiba menatapnya dengan ekspresi yang sulit diartikan.

“Aulia…” suara Nayla terdengar ragu.

Aulia menegang. “Iya, Kak?”

Nayla menggigit bibirnya, lalu berkata, “Kamu tahu sesuatu yang aku nggak tahu?”

Darah Aulia langsung membeku.

“Apa maksud Kakak?” tanyanya hati-hati.

“Aku nggak tahu… cuma perasaanku aja…” Nayla menatapnya dalam. “Sejak tadi pagi, aku merasa ada sesuatu yang aneh… Seolah aku melewatkan sesuatu yang penting…”

Aulia berusaha keras menjaga ekspresinya tetap tenang. “Aku… aku nggak tahu, Kak…”

Tapi Nayla tetap menatapnya, seolah mencoba membaca pikirannya.

“Kalau kamu tahu sesuatu, Aulia… tolong bilang sekarang.”

Aulia ingin mengaku.

Ia ingin mengatakan segalanya, mengakui bahwa ia mencintai Adrian, bahwa ia adalah alasan mengapa Adrian membatalkan pernikahan ini.

Tapi kata-kata itu tidak pernah keluar.

Karena ia tahu jika ia mengaku sekarang, ia akan kehilangan Nayla selamanya.

Jadi, ia hanya menggenggam tangan kakaknya erat dan berkata, “Aku cuma ingin Kakak bahagia.”

Nayla menatapnya lama sebelum akhirnya mengangguk pelan.

Aulia tersenyum kecil, meskipun hatinya hancur.

Karena untuk pertama kalinya, ia menyadari sesuatu.

**Kadang, cinta tidak selalu harus dimiliki. Kadang, mencintai berarti harus melepaskan.*

Bab 10: Melepaskan yang Tak Seharusnya Dimiliki

Pernikahan yang seharusnya menjadi momen bahagia dalam keluarga mereka kini hanya tinggal kenangan.

Nayla telah mengumumkan pembatalan pertunangan pada keluarga mereka. Reaksi orang tua mereka tentu saja penuh dengan kekecewaan, tapi Nayla bersikeras bahwa ini keputusan terbaik.

Aulia hanya bisa diam, menyaksikan semuanya dari samping dengan perasaan yang bercampur aduk.

Satu sisi hatinya merasa lega karena beban rahasia ini tidak lagi sebesar sebelumnya. Tapi di sisi lain, ia juga merasa kehilangan sesuatu—atau mungkin seseorang.

Dan ia tahu, cepat atau lambat, ia harus menghadapi Adrian.

—

Beberapa hari setelah pertunangan dibatalkan, Adrian menghubungi Aulia.

> *Aku ingin bicara. Bisa ketemu?*

Aulia menatap pesan itu lama.

Seharusnya ia tidak pergi. Seharusnya ia membiarkan semuanya berakhir di sini.

Tapi hatinya terlalu lemah untuk menolak.

> *Di mana?*

> *Tempat biasa.*

—

Kafe tempat mereka sering bertemu kini terasa lebih sepi dari biasanya.

Adrian sudah duduk di sudut ruangan ketika Aulia datang. Begitu melihatnya, Adrian langsung berdiri, seolah ingin memastikan bahwa ia benar-benar ada di sana.

Aulia menarik napas dalam sebelum duduk di hadapannya. “Apa yang ingin kamu bicarakan?”

Adrian menatapnya dengan ekspresi serius. “Kamu tahu, kan, kenapa aku melakukan ini?”

Aulia mengangguk pelan. “Kamu bilang kamu nggak mau hidup dalam kebohongan.”

Adrian menghela napas, lalu meraih tangan Aulia di atas meja. “Aku ingin kita jujur sekarang.”

Aulia menatap tangannya yang berada dalam genggaman Adrian, lalu menatap matanya.

“Aulia, aku mencintaimu,” kata Adrian dengan suara yang dalam dan penuh perasaan.

Jantung Aulia berdebar kencang. Ia tahu Adrian tulus, ia tahu bahwa pria di hadapannya ini benar-benar mencintainya.

Tapi apakah itu cukup?

Aulia menarik tangannya pelan, lalu menggeleng. “Adrian, kita nggak bisa.”

Mata Adrian menyipit. “Kenapa?”

“Karena ini salah,” suara Aulia bergetar. “Kita nggak bisa mengabaikan semua yang terjadi. Aku nggak bisa mengkhianati Kak Nayla lebih dari ini.”

Adrian menatapnya dengan ekspresi terluka. “Tapi perasaan kita nyata, Aulia.”

Aulia tersenyum pahit. “Iya, tapi kadang, cinta aja nggak cukup.”

Adrian terdiam.

Aulia melanjutkan, “Kamu bilang nggak mau hidup dalam kebohongan, tapi kalau kita bersama, kita akan terus dihantui oleh masa lalu ini. Kak Nayla, keluargaku, orang-orang di sekitar kita… mereka semua akan tahu. Aku nggak sanggup menghadapi itu.”

Adrian mengusap wajahnya dengan frustrasi. “Jadi kamu mau kita menyerah?”

Aulia menatapnya dalam. “Kita seharusnya nggak pernah memulai ini.”

Adrian menggeleng pelan, seolah tidak percaya dengan apa yang ia dengar. “Aku meninggalkan semuanya untuk kamu, Aulia.”

Aulia tersenyum sedih. “Dan aku tidak bisa melakukan hal yang sama.”

Keheningan menyelimuti mereka.

Di luar, hujan mulai turun, seolah langit ikut merasakan kesedihan yang memenuhi ruangan ini.

Setelah beberapa saat, Adrian akhirnya bersuara. “Aku nggak akan memaksamu. Tapi aku ingin kamu tahu satu hal.”

Aulia menatapnya. “Apa?”

Adrian menelan ludah, lalu berkata dengan suara berat, “Aku nggak akan pernah menyesal telah mencintaimu.”

Aulia menggigit bibirnya, berusaha menahan air mata.

“Aku juga, Adrian,” bisiknya.

Untuk pertama dan terakhir kalinya, Adrian tersenyum sedih.

Dan tanpa kata-kata perpisahan yang dramatis, mereka berdua berdiri dan berjalan keluar kafe, melangkah ke arah yang berbeda.

Mereka memilih untuk berpisah.

Bukan karena cinta mereka tidak cukup besar, tapi karena ada hal-hal yang lebih penting dari sekadar perasaan.

Dan bagi Aulia, melepaskan Adrian adalah cara terbaik untuk mencintainya.

Karena tidak semua cinta harus dimiliki.

Terkadang, cinta yang paling tulus adalah yang berani untuk dilepaskan.

—-the end—–

Source: YONGKI
Tags: #cintaterlarang#DramaRomantis#RomansaforbiddenloveMelodrama
Previous Post

SEHIDUP SESURGA DENGAN KAMU

Next Post

HATI KU SUDAH MATI UNTUK MU

Related Posts

Cinta Berbahaya dengan Suami Tanteku

Cinta Berbahaya dengan Suami Tanteku

May 2, 2025
Iparku, Kekasih dalam Bayangan:

Iparku, Kekasih dalam Bayangan:

May 1, 2025
Milik Ayah dan Anaknya”

Milik Ayah dan Anaknya”

April 30, 2025
Saat Suami Sahabatku Menginginkanku

Saat Suami Sahabatku Menginginkanku

April 29, 2025
Menjadi Milik Suami Sahabatku

Menjadi Milik Suami Sahabatku

April 28, 2025
Terjerat Nafsu Sang Guru

Terjerat Nafsu Sang Guru

April 27, 2025
Next Post
HATI KU SUDAH MATI UNTUK MU

HATI KU SUDAH MATI UNTUK MU

SAAT PERTAMA KALI JATUH CINTA

SAAT PERTAMA KALI JATUH CINTA

MENITI CINTA DARI KEJAUHAN

MENITI CINTA DARI KEJAUHAN

Top Stories

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

May 17, 2025
KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

May 16, 2025
KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

May 15, 2025

Tentang Kisah Cinta

Kami menyajikan kumpulan novel dan cerpen cinta yang menggambarkan berbagai sisi cinta, dari yang manis hingga yang pahit, dari yang bahagia hingga yang menyayat hati

Connect on Social

© 2024 Kisahcinta.id

No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta

© 2024 Kisahcinta.id