Kisah Cinta
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
Kisah Cinta
No Result
View All Result

Terjerat Nafsu Sang Guru

FASA KEDJA by FASA KEDJA
April 27, 2025
in Cinta Terlarang
Reading Time: 16 mins read
Terjerat Nafsu Sang Guru

 

Daftar Isi

  • Bab 1: Kagum yang Bersemi dalam Diam
  • Bab 2: Kedekatan yang Tak Biasa
  • Bab 3: Batas yang Kian Samar
  • Bab 4: Momen-Momen Terlarang
  • Bab 5: Perasaan yang Kian Tak Terbendung
  • Bab 6: Menyerah pada Godaan
  • Bab 7: Terjerat dalam Dosa
  • Bab 8: Rahasia yang Mulai Tercium
  • Bab 9: Di Ambang Kehancuran
  • Bab 10: Akhir dari Segalanya

Bab 1: Kagum yang Bersemi dalam Diam

Alya duduk di barisan kedua dari depan, tepat di tengah kelas. Matanya terpaku pada sosok pria yang berdiri di depan papan tulis, menjelaskan materi dengan suara tenang namun tegas. Pak Adrian, guru Bahasa Indonesia di sekolahnya, bukan hanya memiliki wibawa yang tinggi, tetapi juga pesona yang sulit diabaikan. Setiap kali ia berbicara, setiap murid terhanyut dalam penjelasannya. Tapi bagi Alya, mendengarkan suaranya seperti musik yang menenangkan hati.

Sejak pertama kali diajar oleh Pak Adrian, Alya mulai merasakan kekaguman yang berbeda. Dia bukan hanya sekadar menghormati gurunya, tetapi ada sesuatu yang lebih dari itu. Sesuatu yang bahkan tidak berani ia akui pada dirinya sendiri.

Pak Adrian bukan pria sembarangan. Dia berusia awal 30-an, memiliki wajah yang rupawan dengan garis rahang tegas dan mata tajam yang memancarkan ketenangan. Penampilannya selalu rapi, dengan kemeja yang tersetrika rapi dan aroma parfum maskulin yang samar namun cukup meninggalkan kesan mendalam.

Alya tahu, kekagumannya ini tidak seharusnya ada. Bagaimanapun, Pak Adrian adalah gurunya, dan lebih dari itu, dia sudah menikah. Namun, semakin Alya berusaha menepis perasaan itu, semakin dalam ia tenggelam dalam pesona gurunya.

Hari itu, pelajaran berlangsung seperti biasa. Pak Adrian menjelaskan tentang puisi klasik, bagaimana sebuah sajak dapat mengungkapkan perasaan terdalam seseorang. Saat ia membacakan bait-bait puitis dengan intonasi khasnya, Alya merasakan sesuatu bergetar di dadanya.

“Puisi adalah cara lain untuk menyampaikan apa yang sulit diucapkan dengan kata-kata biasa,” kata Pak Adrian, sembari menatap seluruh kelas. Matanya sempat berhenti sejenak di Alya. Sekilas, tatapan mereka bertemu, dan Alya merasa jantungnya berdetak lebih cepat.

Dia segera menundukkan pandangannya, berusaha mengatur napasnya yang tiba-tiba menjadi tidak beraturan.

Sepanjang pelajaran, Alya mencoba untuk tetap fokus, tapi pikirannya terus melayang. Perasaan yang ia simpan rapat-rapat semakin sulit dikendalikan.

Setelah bel berbunyi, menandakan jam pelajaran berakhir, para siswa mulai bergegas keluar dari kelas. Alya masih sibuk merapikan bukunya ketika sebuah suara yang sangat ia kenal menyapanya.

“Alya, kamu bisa sebentar?”

Ia menoleh dan menemukan Pak Adrian berdiri di samping mejanya.

“Iya, Pak?” tanyanya, berusaha terdengar setenang mungkin.

Pak Adrian tersenyum. “Tadi saya lihat kamu sangat fokus dalam pelajaran. Apa kamu tertarik dengan puisi?”

Alya mengangguk, meski suaranya sedikit bergetar. “Iya, Pak. Saya suka puisi. Rasanya… seperti bisa memahami perasaan orang lain lewat kata-kata.”

Pak Adrian mengangguk pelan. “Bagus. Kalau begitu, saya ada buku yang mungkin kamu suka. Besok saya bawakan untukmu.”

Alya hampir tidak bisa menyembunyikan kegembiraannya. “Terima kasih, Pak.”

Pak Adrian tersenyum lagi sebelum melangkah pergi. Sementara itu, Alya hanya bisa berdiri di tempatnya, merasakan dadanya yang berdebar semakin kencang.

Hari itu, dia sadar bahwa kekagumannya bukan lagi sekadar rasa hormat seorang murid kepada gurunya. Tapi, sesuatu yang lebih dalam. Sesuatu yang lebih berbahaya.*

Bab 2: Kedekatan yang Tak Biasa

Sejak pertemuan singkat itu, Alya merasa ada sesuatu yang berubah. Meskipun dia berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa itu hanya obrolan biasa antara guru dan murid, hatinya berkata lain. Keesokan harinya, perasaan gugup menyelimutinya saat memasuki kelas.

Matanya langsung mencari sosok Pak Adrian, yang saat itu sedang duduk di meja guru sambil membaca buku. Tidak lama kemudian, bel berbunyi, dan pelajaran pun dimulai.

Selama mengajar, Pak Adrian beberapa kali menatap Alya. Tatapan yang mungkin hanya sekadar kebiasaan seorang guru yang ingin memastikan muridnya memperhatikan, tetapi bagi Alya, tatapan itu terasa berbeda. Seakan ada sesuatu yang tersirat di balik sorot mata laki-laki itu.

Setelah pelajaran berakhir, saat para siswa berhamburan keluar kelas, Pak Adrian memanggil Alya lagi.

“Alya, ini buku yang saya janjikan kemarin,” katanya, menyerahkan sebuah buku bersampul cokelat tua. “Kumpulan puisi Chairil Anwar. Saya rasa kamu akan suka.”

Alya menerima buku itu dengan tangan sedikit gemetar. “Terima kasih, Pak. Saya pasti akan membacanya.”

Pak Adrian tersenyum tipis. “Bagus. Kalau ada yang ingin kamu diskusikan, jangan ragu bertanya.”

Alya mengangguk sebelum berbalik pergi, tapi baru beberapa langkah, suara Pak Adrian kembali menghentikannya.

“Oh iya, kamu sering belajar di mana kalau di luar jam sekolah?” tanyanya santai.

Alya menoleh, sedikit terkejut dengan pertanyaan itu. “Biasanya di perpustakaan, Pak.”

Pak Adrian mengangguk. “Kalau begitu, mungkin nanti saya bisa membantu kalau kamu ada kesulitan dalam materi sastra.”

Sekilas, kata-kata itu terdengar biasa saja. Namun, cara Pak Adrian mengatakannya—dengan suara rendah dan penuh ketulusan—membuat Alya merasa sesuatu bergetar di dalam dirinya.

Sejak hari itu, kedekatan mereka semakin terasa. Alya sering menemukan dirinya lebih sering berbincang dengan Pak Adrian, baik saat jam istirahat maupun di perpustakaan. Setiap pertemuan selalu diisi dengan diskusi menarik tentang puisi, sastra, dan hal-hal kecil lainnya.

Namun, tidak hanya itu yang berubah.

Pak Adrian mulai menunjukkan perhatian yang lebih dari biasanya. Kadang-kadang, ketika berbicara, ia menatap Alya lebih lama dari seharusnya. Pernah suatu kali, saat Alya menyerahkan buku catatannya, jari mereka bersentuhan sekilas—sentuhan yang seharusnya tak berarti, tetapi cukup untuk membuat jantung Alya berdetak lebih cepat.

Salah satu momen yang paling membekas terjadi di perpustakaan suatu sore. Saat itu hujan turun deras di luar, dan hanya ada mereka berdua di dalam ruangan yang sunyi.

“Kamu suka hujan?” tanya Pak Adrian tiba-tiba, sambil menatap ke luar jendela.

Alya, yang saat itu sedang membaca, mengangkat wajahnya. “Iya, Pak. Rasanya tenang.”

Pak Adrian tersenyum. “Saya juga. Hujan seperti membawa kenangan lama yang ingin kembali.”

Alya menatap gurunya dengan rasa ingin tahu. “Kenangan apa, Pak?”

Sejenak, Pak Adrian terdiam. “Sesuatu yang seharusnya tidak saya ceritakan,” katanya akhirnya, dengan senyum yang sulit diartikan.

Alya tidak bertanya lebih lanjut, tetapi percakapan itu terus terngiang dalam pikirannya. Ada sesuatu di mata Pak Adrian yang sulit ia pahami.

Hari demi hari berlalu, dan tanpa sadar, Alya semakin terbiasa dengan perhatian Pak Adrian. Dia menyukai bagaimana pria itu memperlakukannya dengan cara yang berbeda dari murid lain. Namun, di balik semua itu, ada kegelisahan yang mulai tumbuh.

Apakah yang ia rasakan ini wajar? Apakah perasaan yang muncul setiap kali Pak Adrian tersenyum padanya adalah sesuatu yang bisa dibiarkan begitu saja?

Alya tahu, dia sedang berjalan di tepian jurang yang berbahaya. Tapi, entah mengapa, dia tak bisa berhenti melangkah.*

Bab 3: Batas yang Kian Samar

Hari itu, suasana kelas terasa lebih tenang dari biasanya. Pak Adrian sedang menjelaskan tentang sastra klasik, tapi pikiran Alya terus melayang. Setiap kata yang keluar dari mulut pria itu terdengar seperti musik yang merdu di telinganya.

Dia tidak lagi bisa mengelak. Perasaan yang semula ia kira hanya kekaguman perlahan berubah menjadi sesuatu yang lebih dalam. Setiap perhatian kecil dari Pak Adrian membuatnya semakin tenggelam.

Ketika pelajaran berakhir, Alya masih sibuk membereskan bukunya. Murid lain sudah berhamburan keluar kelas, menyisakan dirinya yang masih duduk di bangkunya.

“Alya.”

Suara itu membuatnya menoleh. Pak Adrian berdiri di sampingnya, dengan senyum tipis yang selalu berhasil membuatnya salah tingkah.

“Iya, Pak?”

“Kamu ada waktu sebentar? Saya ingin membahas tugas esai yang kamu kumpulkan kemarin.”

Alya mengangguk. Mereka kemudian berjalan ke ruang guru yang saat itu cukup sepi. Pak Adrian duduk di kursinya, sementara Alya berdiri di depan mejanya.

“Tulisanmu bagus,” katanya sambil menatap esai yang tergeletak di mejanya. “Tapi ada beberapa bagian yang bisa kamu kembangkan lagi.”

Alya memperhatikan saat Pak Adrian mulai menjelaskan beberapa perbaikan yang perlu ia lakukan. Namun, perhatiannya teralihkan oleh sesuatu yang lain—tatapan pria itu yang begitu dalam, begitu hangat.

Tanpa sadar, jarak di antara mereka semakin dekat. Saat Pak Adrian menunjukkan sesuatu di kertas esai, jari mereka bersentuhan. Sebuah sentuhan singkat yang seharusnya tak berarti, tapi cukup untuk membuat Alya merasa jantungnya hampir melompat keluar.

Dia menahan napas, berusaha mengendalikan kegugupan yang tiba-tiba muncul. Namun, saat ia mendongak, ia mendapati bahwa Pak Adrian pun terdiam.

Keheningan itu terasa lama. Mata mereka saling bertemu dalam ketegangan yang tak bisa dijelaskan. Seolah ada sesuatu yang ingin diucapkan, tapi tak seorang pun berani mengatakannya.

Alya buru-buru menarik tangannya dan berpura-pura melihat ke arah lain. “Terima kasih, Pak. Saya akan memperbaiki esainya.”

Pak Adrian tersenyum, meskipun ada sesuatu dalam sorot matanya yang sulit ditebak. “Baik. Kalau ada yang perlu ditanyakan, kamu bisa datang ke perpustakaan.”

Alya mengangguk cepat sebelum bergegas keluar dari ruang guru. Saat berjalan di lorong sekolah, ia merasakan dadanya berdebar keras.

Apa yang baru saja terjadi?

Perasaan ini semakin sulit dikendalikan. Ia tahu bahwa batas antara mereka semakin kabur, dan itu seharusnya tidak boleh terjadi.

Tapi… mengapa hatinya justru ingin melangkah lebih jauh?*

Bab 4: Momen-Momen Terlarang

Hujan deras turun tanpa henti sore itu. Langit mendung menggelapkan suasana sekolah, membuat sebagian besar siswa memilih pulang lebih awal. Namun, Alya masih berada di perpustakaan, tenggelam dalam buku yang diberikan Pak Adrian beberapa hari lalu.

Suara rintik hujan di luar jendela menciptakan suasana tenang, tetapi pikirannya justru dipenuhi dengan kegelisahan. Sejak kejadian di ruang guru, ia merasa hubungannya dengan Pak Adrian semakin aneh. Tatapan mereka selalu bertemu lebih lama dari seharusnya, dan setiap kata yang diucapkan Pak Adrian kepadanya terasa lebih hangat dibandingkan dengan murid lain.

Alya tahu, perasaan ini salah. Tapi ia juga tidak bisa membohongi hatinya.

Tiba-tiba, suara langkah kaki mendekat. Alya mengangkat kepalanya dan mendapati Pak Adrian berdiri di dekat rak buku, tersenyum tipis ke arahnya.

“Kamu belum pulang?” tanyanya.

Alya menggeleng. “Hujannya deras, Pak.”

Pak Adrian melirik ke luar jendela, lalu menarik kursi di seberangnya dan duduk. “Kamu suka buku itu?” tanyanya, menunjuk buku yang ada di meja Alya.

Alya mengangguk. “Sangat suka. Puisinya dalam, seperti bisa menyentuh perasaan paling tersembunyi.”

Pak Adrian tersenyum. “Bagus. Sastra memang seperti itu. Bisa menggambarkan perasaan yang bahkan sulit diungkapkan dengan kata-kata biasa.”

Hening sesaat. Suara hujan menjadi satu-satunya latar belakang percakapan mereka.

Lalu, tanpa sadar, Alya bertanya sesuatu yang selama ini ia pendam. “Pak Adrian…”

“Hm?”

“Apa Bapak pernah merasakan sesuatu yang tidak seharusnya?”

Pak Adrian terdiam sejenak. Tatapan matanya berubah, seolah sedang mencari makna di balik pertanyaan itu.

“Kenapa bertanya begitu?”

Alya menggeleng pelan, menghindari tatapannya. “Hanya penasaran.”

Pak Adrian menghela napas. “Manusia sering kali merasakan hal yang seharusnya tidak mereka rasakan, Alya. Tapi yang terpenting adalah bagaimana kita menyikapinya.”

Alya menatap pria itu. Ada sesuatu dalam sorot matanya yang sulit diartikan. Seolah ada beban yang ingin ia ungkapkan, tetapi ia memilih untuk menahannya.

Hujan semakin deras. Suasana perpustakaan semakin sunyi.

Tiba-tiba, aliran listrik padam, membuat ruangan itu semakin gelap. Alya tersentak, sementara Pak Adrian dengan tenang mengeluarkan ponselnya, menyalakan senter.

“Kamu takut gelap?” tanyanya.

Alya menggeleng, meskipun jantungnya berdetak lebih kencang. Bukan karena gelap, tetapi karena situasi ini.

Dalam cahaya temaram, wajah Pak Adrian terlihat lebih dekat. Alya bisa merasakan kehangatan yang terpancar darinya.

“Pak…” suara Alya nyaris tak terdengar.

Pak Adrian menatapnya dalam diam. Sekali lagi, batas itu hampir terlewati. Alya bisa merasakan jarak di antara mereka semakin menipis.

Namun, sebelum sesuatu yang lebih jauh terjadi, suara pintu perpustakaan terbuka tiba-tiba. Seorang penjaga sekolah masuk dengan membawa senter.

“Pak Adrian? Ada di sini?”

Pak Adrian segera menjauh, berdiri dan berdeham kecil. “Ya, saya di sini. Alya juga.”

Penjaga itu mengangguk. “Listrik padam, mungkin karena hujan. Kalian baik-baik saja?”

Alya buru-buru mengemasi bukunya. “Saya harus pulang.”

Pak Adrian mengangguk. “Saya antar kamu sampai gerbang.”

Mereka berjalan beriringan di lorong yang gelap, ditemani suara hujan yang masih mengguyur deras. Dalam hati, Alya tahu bahwa sesuatu telah berubah di antara mereka.

Dan itu semakin sulit dihentikan.*

Bab 5: Perasaan yang Kian Tak Terbendung

Sejak kejadian di perpustakaan, Alya semakin sering memikirkan Pak Adrian. Bayangan pria itu dalam cahaya temaram, suara lembutnya saat berbicara dengannya, dan tatapan mata yang begitu dalam—semua itu terus menghantuinya.

Dia tahu, hubungan mereka masih dalam batas wajar, setidaknya di mata orang lain. Namun, dalam hatinya, ia merasakan sesuatu yang semakin sulit dikendalikan.

***Apakah Pak Adrian juga merasakan hal yang sama?***

Pertanyaan itu berputar di kepalanya sepanjang hari. Hingga akhirnya, momen yang tak terduga pun terjadi.

—

Hari itu, Alya pulang lebih lambat dari biasanya karena harus menyelesaikan tugas kelompok di sekolah. Saat berjalan menuju gerbang sekolah, hujan mulai turun rintik-rintik. Langit sore tampak kelabu, seakan mencerminkan kegundahan di hatinya.

Ketika ia sampai di depan gerbang, sebuah mobil hitam yang familiar berhenti di dekatnya. Kaca jendela diturunkan, dan di baliknya, terlihat wajah yang selama ini selalu mengisi pikirannya.

“Alya, kamu belum pulang?” suara Pak Adrian terdengar lembut.

Alya tersenyum kecil. “Baru selesai tugas, Pak.”

“Hujannya semakin deras. Saya antar, ya?”

Alya terdiam sejenak. Ia tahu seharusnya menolak. Tapi hati kecilnya justru menginginkan momen ini.

“Baik, Pak. Terima kasih,” katanya akhirnya, lalu masuk ke dalam mobil.

Mobil melaju perlahan di jalanan yang mulai basah oleh hujan. Suasana di dalam terasa begitu tenang, hanya diisi suara gerimis yang mengetuk kaca jendela.

“Bagaimana sekolah hari ini?” Pak Adrian membuka percakapan.

“Baik, Pak. Tapi rasanya… sedikit berbeda,” jawab Alya pelan.

Pak Adrian meliriknya sekilas sebelum kembali fokus pada jalan. “Berbeda bagaimana?”

Alya menggigit bibirnya, ragu-ragu untuk menjawab. Namun, tanpa sadar, ia malah berkata, “Saya merasa seperti semakin… jauh dari batas yang seharusnya.”

Pak Adrian tidak langsung merespons. Ia terdiam, seolah mempertimbangkan setiap kata yang ingin diucapkannya.

“Kamu sadar, kan, Alya?” katanya akhirnya. “Ada hal-hal yang tak boleh kita langkahi.”

Alya menoleh, menatap pria itu dengan perasaan campur aduk. “Tapi… apa Bapak juga merasakan hal yang sama?”

Mobil tiba-tiba berhenti di pinggir jalan. Pak Adrian menghela napas panjang sebelum akhirnya menoleh ke arahnya.

“Alya, kamu masih muda. Perasaan itu bisa saja muncul karena kekaguman, bukan…” Ia tidak melanjutkan kata-katanya, seakan berusaha menahan sesuatu yang seharusnya tidak dikatakan.

“Tapi kalau memang hanya kekaguman, kenapa setiap kali kita bertemu, ada sesuatu yang terasa berbeda?” Alya memberanikan diri untuk berkata jujur.

Mata Pak Adrian menatapnya lekat, dan dalam sekejap, semua batas yang mereka coba pertahankan seolah runtuh.

Alya bisa merasakan detak jantungnya yang berpacu cepat. Ia ingin mendengar jawaban pria itu. Ingin tahu apakah dirinya bukan satu-satunya yang terjebak dalam perasaan ini.

Namun, sebelum ada kata-kata yang terucap, ponsel Pak Adrian berdering. Nama **Nadia**—istri Pak Adrian—tertera di layar.

Seketika, udara di dalam mobil berubah dingin.

Pak Adrian segera mengangkat telepon itu, suaranya berubah lebih tenang dan terkendali. “Ya, sayang? Aku dalam perjalanan pulang.”

Alya menatap lurus ke depan, dadanya terasa sesak.

***Apa yang sebenarnya aku harapkan?***

Beberapa menit kemudian, mobil kembali melaju. Kali ini, tanpa ada percakapan lagi. Ketika sampai di depan rumah Alya, Pak Adrian hanya berkata, “Hati-hati, Alya.”

Alya tersenyum kecil, tetapi ada perasaan sakit yang menggumpal di dadanya. “Terima kasih sudah mengantar saya, Pak.”

Ia keluar dari mobil, menutup pintunya perlahan. Saat mobil itu pergi, meninggalkan jejak di jalanan basah, Alya menyadari satu hal.

Semakin ia mencoba menahan diri, semakin ia terjerat dalam perasaan yang tidak seharusnya ada.

Dan sekarang, ia tak tahu bagaimana cara menghentikannya.*

Bab 6: Menyerah pada Godaan

Hari-hari setelah kejadian di mobil terasa semakin berat bagi Alya. Ia mencoba bersikap biasa di sekolah, tetapi hatinya selalu dipenuhi dengan kebingungan. Sejak telepon dari istri Pak Adrian masuk di mobil hari itu, Alya seperti ditampar oleh kenyataan.

Pak Adrian adalah pria yang sudah menikah.
Seharusnya, perasaan ini tidak boleh ada.
Tapi mengapa semakin ia berusaha menghindar, semakin ia justru ingin mendekat?

Di kelas, Pak Adrian tetap mengajarnya seperti biasa. Tidak ada perubahan dalam sikapnya. Namun, Alya tahu, ada sesuatu yang berbeda dalam tatapan mereka. Mereka mulai menghindari kontak mata lebih lama dari yang seharusnya.

Tapi semakin mereka mencoba menekan perasaan itu, semakin besar godaan yang datang.

—

Sore itu, sekolah sudah hampir sepi. Alya sedang duduk di perpustakaan, berusaha menyelesaikan tugasnya. Namun, pikirannya terus melayang, mengingat momen-momen singkat yang ia lalui dengan Pak Adrian.

Hingga tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar mendekat.

Alya menoleh dan melihat sosok yang membuatnya semakin sulit berpikir jernih.

Pak Adrian berdiri di ambang pintu, menatapnya dengan ekspresi ragu.

“Alya…” suaranya terdengar lebih pelan dari biasanya.

Alya menelan ludah, jantungnya berdegup kencang. “Pak Adrian?”

Pak Adrian berjalan mendekat, lalu duduk di kursi di seberangnya. Untuk beberapa saat, mereka hanya terdiam, saling menatap dalam kebisuan yang terasa lebih berbicara daripada kata-kata.

“Saya ingin memastikan kamu baik-baik saja,” akhirnya Pak Adrian membuka suara.

Alya tersenyum tipis. “Saya baik-baik saja, Pak.”

Pak Adrian menatapnya lebih dalam, seolah berusaha menembus kebohongan yang terselip di balik jawaban itu.

“Kamu menghindar dariku, Alya.”

Alya terdiam. Ia tidak bisa menyangkalnya. Memang itulah yang ia lakukan, karena ia takut jika terus berada di dekat pria ini, ia tidak akan bisa lagi mengendalikan dirinya.

“Saya hanya…” Alya menggigit bibirnya, bingung harus berkata apa. “Saya tidak ingin… terlalu jauh.”

Pak Adrian tersenyum miris. “Aku juga, Alya.”

Seketika, suasana di antara mereka berubah. Hati Alya berdetak semakin cepat saat mendengar Pak Adrian akhirnya mengakui hal yang selama ini berusaha mereka sembunyikan.

Hujan kembali turun di luar, menciptakan suasana yang semakin mendukung ketegangan di antara mereka.

Pak Adrian menghela napas, menatap ke arah luar jendela. “Sejak awal, aku tahu ini salah. Tapi entah kenapa… aku tidak bisa menghindar.”

Alya menggenggam ujung bajunya sendiri, mencoba menahan kegelisahan yang membuncah. “Pak…”

Pak Adrian menoleh padanya, dan kali ini tatapannya lebih lembut, lebih hangat—dan lebih berbahaya.

“Sampai kapan kita harus berpura-pura tidak merasakan apa pun?” bisiknya.

Alya merasakan tubuhnya melemah. Kata-kata itu seperti runtuhnya benteng pertahanan terakhir yang ia coba bangun.

Hening kembali menyelimuti mereka. Dalam ruangan sepi itu, dengan suara hujan yang mengiringi, batas yang selama ini mereka coba jaga semakin memudar.

Alya tahu, jika ia membiarkan dirinya terbawa arus ini, ia mungkin akan tenggelam.

Tapi untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia tidak peduli.

Ia tidak peduli pada aturan. Tidak peduli pada konsekuensi.

Yang ia pedulikan hanyalah kehadiran pria di depannya.

Dan bagaimana ia semakin tidak bisa menahan perasaan yang membara di dalam dadanya.*

Bab 7: Terjerat dalam Dosa

Sejak percakapan di perpustakaan itu, segalanya berubah. Hubungan Alya dan Pak Adrian tidak lagi sama. Tatapan mereka semakin sering bertemu, penuh dengan sesuatu yang tak terkatakan. Setiap interaksi, sekecil apa pun, selalu menyisakan debaran yang menyesakkan.

Alya tahu mereka sudah terlalu jauh, tetapi semakin ia berusaha menjauh, semakin kuat daya tarik yang membuatnya ingin kembali.

Hari itu, sekolah mengadakan acara perlombaan di luar kota. Beberapa guru ikut serta sebagai pendamping, termasuk Pak Adrian. Alya, yang menjadi salah satu peserta, tidak bisa menolak kesempatan untuk ikut serta dalam perjalanan ini.

Namun, ia tak menyangka, perjalanan ini akan menjadi awal dari sesuatu yang lebih dalam… dan lebih terlarang.

—

Setelah seharian mengikuti acara, Alya merasa lelah dan ingin segera kembali ke kamar hotel yang disediakan untuk peserta. Siswa perempuan ditempatkan di lantai dua, sementara guru-guru berada di lantai tiga.

Saat berjalan menuju kamarnya, ia melewati lorong yang cukup sepi. Namun, langkahnya terhenti ketika melihat sosok yang begitu familiar berdiri di ujung lorong.

Pak Adrian.

Ia bersandar di dinding, tangan dimasukkan ke dalam saku celananya, seolah sedang menunggunya.

Jantung Alya berdegup kencang. Ia bisa saja berbalik arah, tetapi entah kenapa kakinya malah melangkah mendekat.

“Pak… kenapa masih di sini?” tanyanya pelan.

Pak Adrian menatapnya, sorot matanya sulit ditebak. “Aku menunggumu.”

Alya menelan ludah. Udara di sekitarnya terasa lebih berat, penuh dengan sesuatu yang tidak bisa dijelaskan.

“Seharusnya Bapak sudah istirahat,” katanya, mencoba terdengar tenang.

Pak Adrian tersenyum tipis, lalu melirik ke sekitar. “Ikut aku sebentar.”

Alya terkejut. “Ke mana?”

Pak Adrian tidak menjawab. Ia hanya berbalik, berjalan ke arah tangga darurat. Tanpa sadar, Alya mengikuti langkahnya.

Setelah mereka sampai di lantai atas—bagian hotel yang cukup sepi karena hanya ada ruang meeting yang tidak digunakan—Pak Adrian berhenti. Ia berbalik menatap Alya, dan dalam sepersekian detik, jarak di antara mereka menghilang.

“Alya…” suaranya terdengar lebih berat, penuh emosi yang tertahan.

Alya bisa merasakan jantungnya berdetak kencang. Ia seharusnya pergi. Seharusnya menghentikan ini sebelum semuanya semakin terlambat.

Tapi saat tangan Pak Adrian terangkat, menyentuh pipinya dengan lembut, seluruh pertahanan yang ia bangun runtuh seketika.

“Kenapa kamu membuatku seperti ini?” bisik Pak Adrian, matanya menatap dalam ke mata Alya.

Alya menggigit bibirnya, mencoba mencari kata-kata yang tepat. Tapi tak ada yang keluar.

Yang ada hanya perasaan yang semakin membakar, semakin sulit dikendalikan.

Dan dalam hitungan detik, batas terakhir di antara mereka akhirnya lenyap.

Pak Adrian menarik Alya dalam pelukannya, erat, seolah tak ingin melepaskannya.

Alya bisa merasakan kehangatan tubuh pria itu, bisa mendengar degup jantungnya yang seirama dengan miliknya.

Ini salah.

Ini seharusnya tidak terjadi.

Tapi mengapa rasanya begitu sulit untuk berhenti?

Di ruangan sunyi itu, di bawah redupnya cahaya lampu lorong, mereka akhirnya menyerah pada perasaan yang selama ini mereka coba lawan.

Dan sejak saat itu, Alya tahu… tidak ada jalan untuk kembali.

Mereka telah terjerat dalam dosa yang tak terampuni.*

Bab 8: Rahasia yang Mulai Tercium

Setelah malam itu, hubungan antara Alya dan Pak Adrian semakin sulit untuk disembunyikan. Tatapan mereka di kelas menjadi lebih intens, sentuhan-sentuhan kecil yang tak sengaja terjadi terasa begitu berarti, dan setiap pertemuan mendadak di lorong sekolah selalu menyisakan debaran yang tak tertahankan.

Alya merasa dirinya berubah. Ia tidak lagi hanya seorang siswi yang mengagumi gurunya. Ia kini menjadi seseorang yang menyimpan rahasia besar—rahasia yang jika terbongkar, akan menghancurkan segalanya.

Namun, semakin ia larut dalam hubungan terlarang ini, semakin ia menyadari bahwa kebahagiaan yang ia rasakan hanyalah ilusi yang cepat atau lambat akan berakhir.

Dan ia tidak menyangka bahwa akhir itu akan datang lebih cepat dari dugaannya.

—

Pagi itu, Alya sedang berbincang dengan sahabatnya, Dinda, di kantin. Mereka duduk di meja paling pojok, menikmati sarapan sebelum bel masuk berbunyi.

“Belakangan ini kamu sering melamun,” komentar Dinda sambil mengunyah roti. “Jangan bilang kamu lagi jatuh cinta?”

Alya tersentak. “Hah? Enggak, kok!” sahutnya cepat, terlalu cepat hingga justru membuat Dinda semakin curiga.

Dinda menyipitkan mata. “Serius, Alya. Aku bisa lihat kamu berubah. Kamu lebih sering diam, terus kadang kalau aku panggil, kamu kayak lagi di dunia lain.”

Alya tertawa kecil, berusaha menyembunyikan kegugupannya. “Mungkin aku cuma capek.”

Dinda mengangkat bahu. “Yakin bukan karena seseorang?” godanya.

Alya tersenyum tipis, tetapi tidak menjawab.

Bagaimana mungkin ia bisa menceritakan ini kepada siapa pun? Bahkan kepada sahabatnya sendiri?

—

Di tempat lain, Pak Adrian duduk di ruang guru, berusaha fokus pada pekerjaannya. Namun, pikirannya tidak bisa lepas dari Alya.

Setiap malam, ia terjebak dalam perasaan bersalah yang semakin menghantui. Ia mencintai istrinya, tetapi di saat yang sama, Alya telah menjadi candu baginya.

Namun, pagi ini ada sesuatu yang mengganggunya.

Saat ia baru saja menutup bukunya, salah satu rekan sesama guru, Bu Rina, menghampirinya. Wanita itu menatapnya dengan tatapan penuh selidik.

“Pak Adrian,” katanya pelan, tetapi tegas.

Pak Adrian mengangkat alis. “Ya, Bu Rina?”

Bu Rina melipat tangannya di dada. “Saya hanya ingin mengingatkan… sebaiknya Anda lebih berhati-hati.”

Pak Adrian merasakan jantungnya berdetak lebih cepat. “Maksud Anda?”

Bu Rina menatapnya lama sebelum akhirnya berbisik, “Ada beberapa orang yang mulai memperhatikan… kedekatan Anda dengan Alya.”

Darah Pak Adrian seakan berhenti mengalir.

“Apa maksudnya?” tanyanya, mencoba tetap tenang.

Bu Rina menghela napas. “Saya tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, dan saya tidak ingin berprasangka buruk. Tapi ada beberapa guru yang mulai bertanya-tanya kenapa Alya sering terlihat bersamamu, kenapa tatapan kalian terasa… berbeda.”

Pak Adrian menggenggam tangannya erat di bawah meja, berusaha menahan kegelisahan yang mulai muncul.

“Saya hanya ingin mengingatkan sebelum semuanya menjadi masalah besar,” lanjut Bu Rina. “Hati-hati, Pak Adrian. Beberapa orang mungkin tidak akan tinggal diam jika mereka mencurigai sesuatu.”

Setelah mengatakan itu, Bu Rina beranjak pergi, meninggalkan Pak Adrian yang kini tenggelam dalam kecemasan.

Ia tahu, cepat atau lambat, rahasia ini akan terungkap.

Dan jika itu terjadi, mereka berdua akan hancur.*

Bab 9: Di Ambang Kehancuran

Sejak peringatan dari Bu Rina, Pak Adrian semakin waspada. Ia mulai menjaga jarak dengan Alya di sekolah, menghindari interaksi yang terlalu mencolok, dan memastikan tidak ada yang bisa mencurigai hubungan mereka.

Namun, semakin ia mencoba menjauh, semakin Alya merasa tersakiti.

Gadis itu merasa Pak Adrian berubah. Tidak ada lagi tatapan lembut yang selalu menyapa setiap kali mereka bertemu. Tidak ada lagi percakapan singkat yang penuh makna. Bahkan di kelas, pria itu mulai bersikap lebih formal, seolah tidak pernah ada apa pun di antara mereka.

Alya tidak bisa menerima itu.

Bagaimana mungkin setelah semua yang terjadi, Pak Adrian memilih untuk mengabaikannya begitu saja?

—

Hari itu, Alya memberanikan diri menunggu Pak Adrian di tempat parkir setelah sekolah usai. Hujan turun rintik-rintik, membasahi aspal yang mulai gelap karena mendung.

Ketika akhirnya pria itu muncul, Alya segera menghampirinya.

“Pak…” panggilnya pelan.

Pak Adrian tampak terkejut melihatnya di sana, tetapi ia segera memalingkan wajah dan berjalan lebih cepat.

Alya mengejarnya, hatinya penuh dengan pertanyaan yang mendesak untuk dijawab.

“Pak Adrian, tolong jangan seperti ini.”

Pria itu berhenti sejenak, menghela napas panjang sebelum menoleh ke arahnya.

“Alya, kita tidak bisa terus seperti ini.”

Alya merasakan hatinya mencelos. “Apa maksud Bapak?”

Pak Adrian menatapnya dalam, lalu berkata dengan suara yang lebih berat, “Kita harus berhenti.”

Kata-kata itu menghantam Alya lebih keras dari yang ia bayangkan.

“Kenapa?” suaranya bergetar. “Apa karena Bu Rina? Karena orang-orang mulai curiga?”

Pak Adrian meremas jari-jarinya, seolah menahan sesuatu. “Alya, ini salah. Seharusnya tidak pernah terjadi.”

Alya mundur selangkah, matanya mulai memanas.

“Salah?” bisiknya. “Jadi selama ini semua hanya kesalahan bagi Bapak?”

Pak Adrian menutup matanya sejenak, lalu menatapnya dengan ekspresi penuh luka. “Aku tidak pernah mengatakan itu.”

“Tapi tindakan Bapak mengatakan sebaliknya!” suara Alya sedikit meninggi. “Bapak mendekatiku, membuatku jatuh cinta, lalu sekarang Bapak bilang kita harus berhenti?”

Pak Adrian terdiam, tidak bisa membantah.

“Bapak mungkin bisa mengabaikan perasaan ini, tapi aku tidak,” lanjut Alya dengan mata berkaca-kaca. “Aku tidak bisa pura-pura tidak merasakan apa-apa.”

Hujan semakin deras, menciptakan suasana yang semakin menyakitkan di antara mereka.

Pak Adrian melangkah mendekat, wajahnya dipenuhi dengan perasaan bersalah yang mendalam.

“Alya, aku juga…” Ia menggantungkan kata-katanya, seolah tidak sanggup melanjutkan.

Alya menunggu, berharap pria itu akan menariknya ke dalam pelukan, mengatakan bahwa mereka akan menemukan cara untuk tetap bersama.

Tapi yang terjadi justru sebaliknya.

Pak Adrian melangkah mundur, sorot matanya berubah lebih dingin.

“Ini yang terbaik, Alya.”

Dan tanpa menunggu jawaban, ia berbalik, meninggalkan Alya yang kini berdiri di tengah hujan, sendirian.

Alya menggigit bibirnya, menahan isakan yang hampir pecah.

Hatiku hancur, batinnya.

Dan kali ini, ia tidak yakin bisa memperbaikinya.*

Bab 10: Akhir dari Segalanya

Sejak malam itu, Alya merasa dunianya runtuh. Pak Adrian benar-benar menjauh darinya. Tidak ada lagi tatapan penuh makna, tidak ada lagi pertemuan diam-diam. Pria itu kini bersikap seolah-olah mereka tidak pernah memiliki cerita apa pun.

Di sekolah, Alya mencoba bertahan. Ia tetap menjalani hari-harinya seperti biasa, tetapi hatinya kosong. Semakin ia berusaha melupakan, semakin perasaan itu menghantuinya.

Sementara itu, rumor tentang kedekatannya dengan Pak Adrian mulai terdengar. Beberapa teman sekelasnya mulai berbisik-bisik saat ia lewat. Bahkan, Dinda yang selama ini tidak pernah menaruh curiga pun mulai bertanya.

“Alya, jujur sama aku,” kata Dinda suatu hari di kantin. “Kamu ada hubungan sama Pak Adrian, ya?”

Alya membeku.

Dinda menatapnya lekat-lekat. “Aku nggak bodoh. Aku lihat cara kalian saling memandang. Aku juga dengar beberapa guru mulai membicarakan ini.”

Alya menggigit bibirnya, menunduk dalam diam.

Dinda menghela napas. “Alya, ini bahaya. Kalau sampai kepala sekolah atau istrinya Pak Adrian tahu—”

“Aku tahu!” potong Alya, suaranya bergetar. “Aku tahu semua itu salah, Din. Tapi aku… aku nggak bisa.”

Alya menutup wajahnya, berusaha menahan air mata yang sudah di ujung.

Dinda meraih tangannya. “Aku nggak mau kamu terluka, Alya.”

Tapi Alya tahu, ia sudah terluka. Dan mungkin, luka itu akan selalu ada.

—

Beberapa hari kemudian, sebuah kejadian mengejutkan terjadi.

Pak Adrian dipanggil oleh kepala sekolah.

Berita itu menyebar dengan cepat. Tidak ada yang tahu pasti apa yang sedang dibahas, tetapi bisik-bisik semakin kencang.

Alya mendengar beberapa murid membicarakannya di lorong.

“Ada yang bilang dia ketahuan dekat sama salah satu murid.”

“Serius? Siapa?”

“Aku nggak tahu, tapi katanya ada bukti, entah foto atau chat.”

Alya merasakan darahnya membeku.

Siapa yang tahu? Siapa yang menyebarkan ini?

Dengan panik, ia mencoba mencari cara untuk menemui Pak Adrian. Namun, pria itu tidak ada di mana pun.

Sampai akhirnya, ia melihatnya di tempat parkir.

Pak Adrian berdiri di samping mobilnya, wajahnya tegang dan penuh kemarahan.

Alya berlari mendekat. “Pak Adrian, apa yang terjadi?”

Pria itu menatapnya dengan ekspresi yang sulit dijelaskan. “Seseorang melaporkan kita, Alya.”

Jantung Alya seolah berhenti berdetak.

“Tapi… bagaimana?”

Pak Adrian menghela napas berat, lalu mengusap wajahnya. “Aku tidak tahu. Tapi yang jelas, aku sudah diperingatkan.”

Alya bisa merasakan ketakutan yang sama menyelimutinya. “Apa yang harus kita lakukan?”

Pak Adrian menatapnya lama, sebelum akhirnya berkata, “Aku akan mengundurkan diri.”

Alya terbelalak. “Apa? Tidak! Kenapa harus sejauh itu?”

Pak Adrian tersenyum miris. “Kalau aku tidak pergi, segalanya akan lebih buruk. Untukku. Untukmu. Untuk keluargaku.”

Alya merasakan air mata menggenang di matanya. “Tapi… aku nggak mau kehilangan Bapak.”

Pak Adrian menghela napas panjang. Ia mendekat, mengusap lembut pipi Alya untuk terakhir kalinya.

“Alya… aku mencintaimu, tapi aku tidak bisa bersamamu.”

Kata-kata itu menusuk hati Alya lebih dalam daripada pisau mana pun.

Hujan kembali turun, seperti malam itu. Tapi kali ini, tidak ada pelukan yang menghangatkan. Tidak ada kata-kata yang menenangkan.

Hanya dua hati yang harus berpisah meski saling mencintai.

Dengan langkah berat, Pak Adrian masuk ke dalam mobilnya.

Alya hanya bisa berdiri di sana, membiarkan air mata bercampur dengan rintik hujan saat mobil itu pergi, menghilang dari pandangannya.

Dan saat itu, ia tahu… semuanya benar-benar berakhir.***

——the end—–

Source: YONGKI
Tags: #DramaEmotionalConflictforbiddenloveHeartbreakLoveAndBetrayalMelancholicLoveRomanceSecretAffairTeacherStudentRelationshipToxicRomance
Previous Post

” CINTA YANG TERKHIANATI DI ANTARA JANJI DAN REALITA “

Next Post

SENYUMMU, AWAL DARI SEGALANYA

Related Posts

Cinta Berbahaya dengan Suami Tanteku

Cinta Berbahaya dengan Suami Tanteku

May 2, 2025
Iparku, Kekasih dalam Bayangan:

Iparku, Kekasih dalam Bayangan:

May 1, 2025
Milik Ayah dan Anaknya”

Milik Ayah dan Anaknya”

April 30, 2025
Saat Suami Sahabatku Menginginkanku

Saat Suami Sahabatku Menginginkanku

April 29, 2025
Menjadi Milik Suami Sahabatku

Menjadi Milik Suami Sahabatku

April 28, 2025
Terpaksa Menjadi Wanita Simpanan Ayah Tiriku

Terpaksa Menjadi Wanita Simpanan Ayah Tiriku

April 26, 2025
Next Post
SENYUMMU, AWAL DARI SEGALANYA

SENYUMMU, AWAL DARI SEGALANYA

CINTA DIANTARA BINTANG DAN BULAN

CINTA DIANTARA BINTANG DAN BULAN

AKU BUCIN, KAMU SULTAN

AKU BUCIN, KAMU SULTAN

Top Stories

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

May 17, 2025
KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

May 16, 2025
KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

May 15, 2025

Tentang Kisah Cinta

Kami menyajikan kumpulan novel dan cerpen cinta yang menggambarkan berbagai sisi cinta, dari yang manis hingga yang pahit, dari yang bahagia hingga yang menyayat hati

Connect on Social

© 2024 Kisahcinta.id

No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta

© 2024 Kisahcinta.id