Daftar Isi
BAB 1 AWAL DARI SEBUAH DENDAM
Hujan turun dengan deras di malam itu. Langit kelabu seakan mencerminkan hati Ares yang dipenuhi kebencian. Ia berdiri di depan jendela besar rumah megahnya, menatap kosong ke arah jalanan yang basah oleh hujan. Di genggaman tangannya, ada sebuah foto lama yang sudah mulai pudar—foto keluarganya yang tersenyum bahagia sebelum semuanya berubah menjadi kehancuran.
Ares masih mengingat malam itu dengan jelas. Malam yang merenggut segalanya dari keluarganya. Ayahnya, seorang pengusaha sukses, jatuh bangkrut dalam sekejap karena ditipu oleh rekan bisnis yang ia percayai—keluarga Nayla. Sejak saat itu, hidupnya berubah drastis. Dari seorang anak lelaki yang dikelilingi kehangatan keluarga, ia tumbuh menjadi seseorang yang penuh kebencian dan dendam. Ibunya jatuh sakit, dan ayahnya harus bekerja serabutan demi bertahan hidup.
“Ares, sudah malam. Istirahatlah,” suara ibunya yang lemah mengalihkan pikirannya.
Ares menoleh, melihat wanita yang kini tampak jauh lebih tua dari usianya. Raut wajah ibunya yang dulu ceria kini dipenuhi kesedihan dan kelelahan. Semua ini karena keluarga itu. Keluarga Nayla.
“Aku tidak akan membiarkan mereka hidup tenang,” gumam Ares pelan, suaranya nyaris tak terdengar.
Di sisi lain kota, Nayla tengah duduk di bangku taman sekolahnya. Gadis itu menatap langit yang mendung, menikmati hembusan angin yang sejuk. Berbeda dengan Ares yang penuh dendam, Nayla tidak tahu-menahu tentang tragedi masa lalu yang melibatkan keluarganya. Yang ia tahu, hidupnya selama ini baik-baik saja. Ayah dan ibunya adalah orang baik yang selalu mengajarinya tentang arti kebaikan dan kejujuran.
Namun, semua itu berubah sejak kehadiran Ares di sekolahnya.
Ares adalah siswa baru yang baru saja pindah ke sekolahnya beberapa bulan lalu. Sejak awal, Nayla merasakan ada sesuatu yang aneh dari pria itu. Tatapannya dingin, penuh kemarahan yang tak ia mengerti. Namun, yang paling membuat Nayla penasaran adalah bagaimana Ares selalu bersikap kasar padanya. Setiap ada kesempatan, Ares akan melontarkan kata-kata tajam atau menunjukkan sikap tidak menyenangkan.
Seperti siang tadi di kelas, ketika Nayla tak sengaja menabrak Ares karena terburu-buru. Buku-buku yang dibawanya jatuh berserakan di lantai. Nayla buru-buru membungkuk, hendak mengambilnya, tetapi Ares hanya menatapnya dengan sinis.
“Lain kali, lihat ke mana kamu berjalan,” ucapnya dingin.
Nayla mengangkat wajahnya, bertemu dengan mata tajam Ares yang seolah menembus dirinya. Ada sesuatu di mata itu—sesuatu yang membuatnya bergidik. Dendam. Kebencian.
“Aku tidak sengaja,” jawab Nayla, mencoba bersikap biasa saja.
Ares tidak menjawab. Ia hanya berlalu begitu saja, meninggalkan Nayla yang masih berusaha memahami mengapa pria itu begitu membencinya.
Hari-hari berlalu, tetapi sikap Ares terhadap Nayla tidak berubah. Ia selalu mencari cara untuk menyulitkan gadis itu, entah dengan kata-kata sinis, tatapan penuh kebencian, atau tindakan kecil yang membuat Nayla merasa tidak nyaman. Namun, yang lebih membingungkan bagi Nayla adalah perasaannya sendiri. Meski Ares begitu kasar padanya, ada sesuatu dalam diri pria itu yang membuatnya penasaran. Ada luka di balik tatapan dinginnya. Ada rahasia di balik kemarahannya.
Di lain sisi, Ares semakin sulit mengendalikan emosinya. Setiap kali melihat Nayla, ia teringat pada penderitaan keluarganya. Ia ingin membalas dendam, ingin membuat gadis itu merasakan rasa sakit yang sama seperti yang ia alami. Tapi di saat yang sama, ada sesuatu dalam diri Nayla yang mengganggunya. Kelembutan, ketulusan, dan ketidaktahuan gadis itu membuatnya mulai meragukan dendamnya sendiri.
Malam itu, Ares kembali duduk di depan jendela kamarnya, menatap foto lama yang selalu ia simpan. Dendamnya belum padam, tetapi kini ia mulai mempertanyakan satu hal.
Apakah Nayla benar-benar bersalah?
Atau apakah ia hanya menjadi korban dari kebencian masa lalu yang diwariskan kepadanya?
Dan jika itu benar…
Apakah ia sanggup menghancurkan gadis itu?*
BAB 2 PERTEMUAN TAK TERDUGA
Pagi itu, cuaca cerah, dan suasana sekolah terasa ramai seperti biasa. Nayla berjalan cepat menuju kelasnya, berharap hari itu bisa berjalan lancar tanpa gangguan apapun. Ia merasa agak aneh karena sudah beberapa hari terakhir, perasaannya terasa gelisah, seperti ada sesuatu yang akan terjadi, meskipun ia tidak tahu apa itu. Pikirannya berputar, memikirkan berbagai hal yang perlu ia kerjakan, namun tetap saja ada perasaan tidak nyaman yang mengganjal.
Tiba-tiba, dari arah belakang, terdengar suara langkah yang cepat, disertai suara benda keras yang jatuh ke tanah. Nayla terkejut dan berbalik untuk melihat apa yang terjadi. Ia melihat seorang pemuda yang tidak ia kenal sedang berdiri dengan wajah cemas, sepertinya baru saja terjatuh karena melompat dari pagar sekolah.
“Eh, kamu nggak apa-apa?” tanya Nayla, segera mendekat untuk memastikan. Pemuda itu terbaring di atas tanah dengan ekspresi wajah yang terkejut dan kesakitan. Nayla bisa melihat darah mengalir dari tangan kanan pemuda itu yang tampaknya terluka cukup parah.
Pemuda itu, yang ternyata bernama Ares, menatap Nayla dengan mata penuh kejutan. Ia sedikit terkejut, bukan karena adanya rasa sakit pada tubuhnya, tetapi karena tanpa sengaja, ia baru saja bertemu dengan seseorang dari keluarga yang telah lama menjadi musuh keluarganya. Nayla adalah putri dari keluarga yang telah menjadi sumber dendam antara keluarganya dan keluarganya sendiri. Ares sudah mendengar nama Nayla berkali-kali, tetapi ini adalah kali pertama mereka bertemu langsung.
“Sepertinya kamu terluka, ayo aku bantu,” kata Nayla dengan cemas, meskipun dalam hatinya terasa ada sedikit ketegangan. Ia tahu siapa Ares, dan seharusnya ia tidak merasa terlalu peduli padanya. Namun, nalurinya sebagai seorang manusia yang baik hati tidak bisa mengabaikan begitu saja pemuda yang terluka di depannya.
Ares yang semula ingin menolak bantuan Nayla, akhirnya terdiam, merasa agak canggung. “Nggak usah repot-repot,” jawabnya dengan suara rendah, mencoba menghindari perhatian orang-orang di sekitar mereka. Namun, melihat darah yang mengalir dari tangannya semakin deras, ia sadar bahwa ia membutuhkan pertolongan.
“Ayo, aku bawa kamu ke ruang kesehatan,” ucap Nayla tegas, tanpa memberikan ruang bagi Ares untuk menolak. Perlahan, ia merangkul lengan Ares dan membantunya berjalan menuju ruang kesehatan sekolah. Ares merasa tidak nyaman dengan situasi itu, apalagi karena mereka berasal dari dua keluarga yang saling bermusuhan. Namun, rasa sakit yang dirasakannya lebih mendominasi daripada egonya.
Sesampainya di ruang kesehatan, Nayla segera memberitahu perawat sekolah tentang kondisi Ares. Perawat itu dengan cepat merawat tangan Ares, membersihkan luka, dan memberikan obat agar luka tersebut tidak terinfeksi. Ares duduk dengan wajah yang tertutup oleh rasa canggung. Sementara Nayla, yang sudah terbiasa menghadapi berbagai masalah, berusaha untuk tetap tenang meski perasaannya sedikit bergejolak.
“Apa yang kamu lakukan di sini, Ares?” tanya Nayla akhirnya, mencoba memecahkan ketegangan yang ada. “Kenapa kamu lompat dari pagar?”
Ares menatap Nayla dengan wajah yang tertutup, jelas terlihat ia sedang berusaha untuk menyembunyikan sesuatu. “Hanya ingin keluar cepat dari sekolah ini,” jawabnya singkat. “Aku tidak suka tempat ini.”
Nayla mengangguk, tetapi entah kenapa, ia merasa ada sesuatu yang tidak beres dengan jawaban Ares. Suasana menjadi canggung, dan tidak ada dari mereka yang melanjutkan percakapan. Nayla merasakan perasaan aneh muncul di hatinya. Ia tahu bahwa Ares adalah bagian dari keluarga yang telah mempersoalkan keluarganya selama bertahun-tahun. Namun, di depan matanya, pemuda itu terlihat berbeda. Meskipun ia tampaknya penuh dengan ego dan sikap keras kepala, ada sesuatu di dalam dirinya yang membuat Nayla merasa iba.
“Ares…” suara Nayla akhirnya keluar perlahan. “Kenapa kamu nggak pernah bicara tentang masalah ini? Tentang… keluarga kita?”
Ares mengangkat kepalanya, menatap Nayla dengan mata yang penuh dengan kepahitan. “Keluarga kita tidak pernah bisa disatukan, Nayla,” jawabnya dengan suara penuh kemarahan yang tertahan. “Aku nggak tahu apa yang terjadi di masa lalu, tapi aku tahu satu hal: keluarga kita tidak akan pernah berdamai. Dan aku juga nggak akan berdamai dengan keluarga kamu.”
Nayla merasa sedikit terkejut mendengar kata-kata Ares. Ia tahu tentang permusuhan antara keluarganya dan keluarga Ares, tetapi mendengar Ares mengungkapkan hal itu secara langsung terasa sangat menyakitkan. Namun, ia juga bisa merasakan ketulusan dalam suara Ares. Ada luka yang lebih dalam daripada sekadar kebencian yang diwariskan. Ares juga manusia, dan ia memiliki rasa sakit yang ia sembunyikan.
“Aku nggak tahu apa yang terjadi antara keluarga kita,” jawab Nayla dengan suara pelan, mencoba mencari kata-kata yang tepat. “Tapi, apa kita nggak bisa berusaha untuk menghentikan semuanya? Mungkin kita bisa membuat perubahan, Ares.”
Ares menatap Nayla dengan tatapan tajam. “Kamu benar-benar berpikir kita bisa mengubah semua ini? Semua kebencian yang sudah mengakar di antara keluarga kita?”
Nayla terdiam. Ares benar, mereka tidak bisa begitu saja mengubah apa yang telah terjadi. Namun, di dalam hatinya, Nayla merasa bahwa mungkin ada harapan. Mungkin, hanya mungkin, ada cara untuk melepaskan mereka berdua dari belenggu kebencian itu.
Suasana di ruang kesehatan itu seketika hening. Hanya suara detakan jam yang terdengar. Ares mengalihkan pandangannya ke jendela, sementara Nayla tetap berdiri di sampingnya, perasaan mereka bertaut dalam keheningan yang berat. Pada akhirnya, mereka berdua tahu satu hal: mereka terjebak dalam dunia yang penuh dengan permusuhan dan kebencian, namun ada sesuatu yang lebih besar yang mulai tumbuh di antara mereka, meski tak terucapkan.
Hari itu, Nayla dan Ares tidak hanya bertemu untuk pertama kalinya, tetapi juga mulai menyadari bahwa takdir mereka mungkin lebih rumit dari yang mereka bayangkan.
Perjalanan mereka baru saja dimulai, dan meskipun belum ada kata “cinta” yang diucapkan, ada benih-benih yang mulai tumbuh dalam hati mereka, yang akan mengubah jalan hidup mereka selamanya.*
BAB 3 PERASAAN YANG MULAI TUMBUH
Hari-hari berlalu, dan perasaan Ares semakin rumit. Di luar dirinya, ia masih berusaha menjaga jarak dari Nayla, seperti yang ia janjikan pada dirinya sendiri. Namun, di dalam hati, perasaan yang tak dapat ia kontrol mulai tumbuh. Ia tak pernah menduga bahwa perasaan yang ia anggap hanya sekadar kebencian terhadap keluarga Nayla akan berkembang menjadi perasaan yang jauh lebih dalam.
Ares sedang duduk di kursinya di ruang tamu besar rumah keluarganya, menatap keluar jendela. Matanya kosong, tapi pikirannya melayang jauh, memikirkan Nayla—gadis itu yang selama ini ia anggap musuh. Sejak pertemuan pertama mereka, saat Nayla dengan tulus membantu Ares yang terluka akibat perkelahian di luar, ia merasa sesuatu yang berbeda. Ada sisi dari Nayla yang tak pernah ia kenal sebelumnya. Bukan hanya kecantikannya yang menawan, tetapi juga sikapnya yang penuh kebaikan, dan yang lebih mengejutkan lagi, hatinya yang besar.
Namun, rasa yang berkembang ini tak bisa ia terima begitu saja. Ares tahu, dengan siapa ia berada, dengan siapa ia tumbuh besar—keluarganya yang selalu menanamkan kebencian terhadap keluarga Nayla. Setiap detik dalam hidupnya telah tertanamkan bahwa Nayla adalah musuhnya, dan meski hatinya ingin sekali mendekatkan diri pada Nayla, akal sehatnya mengatakan bahwa itu adalah hal yang tidak bisa diterima. Itu adalah pelanggaran terhadap segalanya yang telah ia pelajari tentang dunia.
Di sisi lain, Nayla juga merasakan keanehan dalam perasaannya. Awalnya, ia hanya menganggap Ares sebagai seseorang yang sulit didekati, penuh rahasia, dan pasti memiliki banyak masalah. Namun, semakin sering ia bertemu dengannya, semakin ia sadar bahwa Ares bukanlah orang yang dingin dan kejam seperti yang ia kira. Ada keraguan di matanya, ada kesedihan yang tak terlihat, dan yang paling mengejutkan, ada rasa terluka yang begitu mendalam yang ia sembunyikan dengan keras kepala. Nayla merasa tersentuh, dan entah bagaimana, perasaan itu mulai berkembang menjadi rasa kasihan, kemudian rasa peduli. Rasa yang perlahan-lahan menjadi cinta, meskipun ia mencoba untuk menahannya.
Pagi itu, Nayla dan Ares bertemu di taman dekat sekolah, tempat yang sudah menjadi rutinitas mereka beberapa minggu terakhir. Mereka duduk di bangku yang sama, meskipun tak sepenuhnya nyaman, karena selalu ada kecanggungan yang melingkupi mereka.
“Ares, kenapa kamu sering datang ke sini?” tanya Nayla, mencoba membuka percakapan, meskipun ia tahu jawaban itu mungkin bukan sesuatu yang ingin didengar.
Ares hanya mengangkat bahu, tapi ada secercah senyum tipis yang terlihat di wajahnya. “Hanya merasa lebih tenang di sini. Taman ini… seperti tempat pelarian.”
Nayla merasa ada yang ganjil dari perkataan Ares. Tempat pelarian? Apa maksudnya? Tidak ada yang mengerti betapa beratnya beban yang ditanggung Ares, selain dirinya sendiri. Nayla menatap Ares dengan penuh perhatian, ingin tahu lebih banyak, namun tidak tahu bagaimana cara membuka percakapan lebih dalam lagi.
“Ares,” Nayla berkata pelan, hatinya berdebar, “Kenapa kamu tidak pernah cerita tentang dirimu? Tentang keluarga, tentang semua hal yang kamu sembunyikan.”
Ares menatap Nayla dengan pandangan tajam. Rasa takutnya muncul sejenak, takut jika ia mengungkapkan perasaan yang telah tumbuh untuk Nayla. Takut jika ia terlalu banyak terbuka, itu akan memicu konsekuensi yang tidak dapat ia kendalikan. Namun, entah kenapa, ada dorongan kuat di dalam dirinya yang ingin berbicara, ingin berbagi sesuatu, bahkan jika itu sangat berat.
“Keluargaku…” Ares mulai, suara lembutnya terdengar rapuh, “Mereka memiliki sejarah yang panjang dengan keluargamu. Dan mungkin itu alasan kenapa aku selalu merasa sulit untuk dekat denganmu.”
Nayla menunduk. Kata-kata Ares memang benar. Mereka berasal dari dua keluarga yang sudah lama bermusuhan, saling menyimpan dendam, kebencian, dan rahasia yang kelam. Tapi Nayla merasa ada lebih dari itu. Ares bukan hanya sekadar pewaris dari keluarganya yang keras kepala. Ia merasa ada bagian lain dari Ares yang tersembunyi, bagian yang bahkan Ares sendiri tidak ingin ungkapkan.
“Aku paham, Ares,” jawab Nayla perlahan, “Tapi, apakah kamu yakin kamu hanya ingin hidup seperti ini, selalu terjebak dalam masa lalu dan kebencian yang diwariskan begitu saja? Aku yakin kamu lebih dari itu.”
Ares menatap Nayla lama, seolah mencoba mencari tahu apakah kata-kata Nayla itu datang dari ketulusan atau hanya sebuah penghiburan belaka. Namun, meskipun ia mencoba menutupi perasaan itu, hatinya mulai berdetak lebih cepat setiap kali berada dekat dengan Nayla.
“Apa kamu… merasakan hal yang sama?” Ares akhirnya bertanya, suaranya hampir tidak terdengar.
Nayla terkejut mendengar pertanyaan itu. Ia menunduk, menyembunyikan wajahnya yang memerah. Ia ingin mengatakan bahwa ya, ia merasakannya—bahwa perasaan yang tumbuh di hatinya bukan sekadar kebetulan. Namun, takut jika itu hanya akan membuat situasi semakin rumit, ia hanya bisa diam.
“Ares, aku…” Nayla menghela napas. “Aku nggak bisa menjelaskan semuanya. Tapi aku tahu perasaan ini sulit untuk diabaikan. Aku merasa… kita bisa lebih dari sekadar musuh.”
Ares menatap Nayla dengan mata yang penuh kebingungan. Ia ingin sekali melangkah lebih dekat, menggapai hatinya yang selama ini tertutup rapat, namun takut jika itu akan menghancurkan segalanya. Ia tidak tahu apakah perasaan itu adalah perasaan cinta yang seharusnya ia rasakan, atau sekadar kekeliruan dari hatinya yang terombang-ambing.
“Kadang… kita harus berani memilih, Nayla,” kata Ares akhirnya. “Memilih untuk melawan takdir kita, atau terus terperangkap dalam dendam yang tak ada habisnya.”
Nayla menatapnya dalam-dalam. Ia tahu, untuk pertama kalinya, Ares mulai membuka diri, mulai memperlihatkan sisi lain dari dirinya yang tidak banyak orang tahu. Itu adalah langkah pertama, langkah yang besar, menuju perasaan yang tak terhindarkan.
Dan di saat itu, di bawah langit yang cerah, perasaan mereka berdua tumbuh semakin kuat. Tapi, mereka tahu bahwa cinta mereka, cinta pertama ini, akan menghadapi tantangan yang lebih besar daripada yang mereka bayangkan.*
BAB 4 RAHASIA YANG TERUNGKAP
Nayla duduk di kursi kayu di halaman rumahnya, memandang kosong ke arah taman yang rimbun dengan bunga-bunga berwarna cerah. Hatinya terasa begitu berat, seperti ada sesuatu yang mengganjal, menekan dalam dirinya. Sore itu, ia baru saja kembali dari sebuah pertemuan dengan Ares yang telah mengubah segalanya. Satu pertemuan itu seharusnya menjadi kebahagiaan, tetapi sebaliknya, malah memunculkan lebih banyak pertanyaan.
Ia tidak pernah bisa membayangkan bahwa hidupnya akan terjerat dalam kebencian yang diwariskan oleh orang-orang tuanya. Nayla, gadis muda yang tidak pernah tahu alasan di balik permusuhan dua keluarga besar, kini mulai merasakan dampaknya. Ares, pria yang semula ia anggap sebagai musuh, kini hadir dalam hidupnya, membangkitkan perasaan yang tidak bisa ia kontrol. Tetapi, semakin ia mendekat padanya, semakin banyak hal yang ia temui, dan itu semua terasa semakin membingungkan.
Hari itu, saat pertemuan mereka berakhir, Ares meninggalkan satu kalimat yang terus terngiang di telinga Nayla. “Ada banyak hal yang kamu tidak tahu, Nayla, tentang apa yang terjadi dulu. Kalau kamu tahu kebenarannya, aku tidak yakin kamu akan bisa melihatku dengan cara yang sama.”
Kalimat itu menghantui Nayla sepanjang malam. Apa maksudnya? Kebenaran seperti apa yang Ares maksud? Apa yang selama ini ia sembunyikan darinya? Nayla tidak bisa tidur, terus memutar kalimat tersebut dalam pikirannya, mencoba mencari jawabannya. Ia merasa seperti ada sesuatu yang menghalangi mereka untuk bersama, dan kini ia harus mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Keesokan harinya, Nayla memutuskan untuk menemui ibunya. Ia perlu mendapatkan jawaban tentang apa yang sebenarnya terjadi antara keluarga mereka dan keluarga Ares. Ia tahu bahwa selama ini ibunya selalu menghindari pertanyaan mengenai masa lalu, tetapi kali ini Nayla merasa ia tidak bisa terus hidup dalam ketidakpastian.
“Nayla, kenapa kamu tiba-tiba bertanya tentang hal ini?” tanya ibunya dengan wajah cemas saat Nayla membuka percakapan.
“Ibu, aku hanya ingin tahu kebenarannya. Tentang apa yang terjadi antara keluarga kita dan keluarga Ares. Kenapa kita harus saling membenci? Apa yang terjadi di masa lalu?” tanya Nayla dengan suara tegas namun hati-hati.
Ibunya menghela napas panjang dan duduk di kursi. “Nayla, ini bukanlah cerita yang mudah. Aku berharap kamu tidak perlu tahu.”
“Kenapa, Ibu? Aku sudah cukup besar untuk mengerti, dan aku ingin tahu. Ares bukanlah musuh. Dia hanya seseorang yang ingin aku kenal. Aku tidak bisa terus hidup dengan kebencian ini.” Suara Nayla terdengar lebih emosional, tetapi ia tidak bisa menahan rasa penasaran yang menggebu.
Ibunya menundukkan kepala, tampaknya berpikir keras. Beberapa saat kemudian, ia mengangkat wajahnya dengan tatapan yang penuh kesedihan. “Baiklah, Nak. Aku akan memberitahumu, tetapi ini bukan hal yang mudah untuk diterima. Apa yang terjadi antara keluargamu dan keluarga Ares adalah sebuah tragedi besar. Ayahmu—ayahmu pernah terlibat dalam sebuah peristiwa yang sangat buruk dengan keluarga Ares. Mereka kehilangan segalanya karena tindakan yang dilakukan oleh ayahmu. Itu sebabnya mereka selalu membenci kita, dan kita tidak bisa begitu saja melupakan apa yang sudah terjadi.”
Kata-kata ibunya membuat dunia Nayla terasa berputar. Ia tidak bisa membayangkan ayahnya terlibat dalam sebuah tragedi yang begitu besar. Apa yang telah terjadi? Kenapa ibunya tidak pernah memberitahunya? Ia merasa seperti sebuah pintu baru terbuka, dan ia harus berjalan melewatinya, meskipun takut dengan apa yang akan ia temui.
“Apa yang sebenarnya terjadi, Ibu?” tanya Nayla dengan suara gemetar.
Ibunya menghela napas dan menatap Nayla dengan penuh penyesalan. “Ayahmu, sebelum menikah dengan aku, adalah seorang pengusaha yang sangat sukses. Namun, dalam perjalanan bisnisnya, ia terlibat dalam sebuah perjanjian dengan keluarga Ares. Perjanjian itu berakhir dengan pengkhianatan. Ayahmu mengkhianati kepercayaan mereka, dan akibatnya, keluarga Ares kehilangan banyak aset dan kekayaan. Mereka merasa dirugikan, dan akibatnya mereka memutuskan untuk membalas dendam.”
Nayla terdiam, tidak tahu harus berkata apa. Ayahnya, orang yang selama ini ia kenal sebagai sosok yang kuat dan penuh kasih sayang, ternyata terlibat dalam sebuah tragedi yang menghancurkan dua keluarga. Ia merasa hancur dan bingung, bertanya-tanya bagaimana ia bisa mencintai seseorang yang datang dari keluarga yang sama sekali berbeda dengan yang ia kenal.
“Apa ini artinya aku tidak bisa bersama Ares?” tanya Nayla dengan suara pelan. Hatinya berat, seolah-olah ia sudah tahu jawabannya, tetapi ia berharap ada sesuatu yang bisa mengubah takdir mereka.
Ibunya menatap Nayla dengan mata penuh kasih. “Aku tidak bisa memberitahumu apa yang harus kamu lakukan, Nayla. Hanya kamu yang bisa menentukan jalan hidupmu. Namun, ingatlah bahwa terkadang, kebenaran bisa memisahkan kita dari orang yang kita cintai. Dan itu adalah pilihan yang harus kamu buat.”
Nayla keluar dari rumah dengan perasaan kacau. Semuanya kini terasa begitu rumit. Apa yang selama ini ia anggap sebagai cinta pertama dan kebahagiaan, tiba-tiba berubah menjadi sebuah konflik besar antara keluarga dan hati. Ia mencintai Ares, tetapi ia tahu bahwa kebencian yang sudah lama tumbuh di antara keluarga mereka tidak bisa begitu saja dihapuskan. Apa yang harus ia lakukan? Apakah ia bisa mengatasi perasaan dan sejarah masa lalu yang menghantui mereka?
Semakin banyak ia berpikir, semakin ia sadar bahwa ada banyak hal yang belum ia ketahui, dan mungkin, kebenaran ini akan memaksa dirinya untuk memilih jalan yang lebih sulit.*
BAB 5 CINTA TAPI DENDAM
Ares duduk di balkon kamarnya, menatap langit malam yang dipenuhi bintang-bintang. Malam itu, angin berhembus lembut, tetapi hatinya terasa panas, seolah ada api yang membakar dari dalam. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri, tetapi semakin ia berpikir, semakin berat rasanya. Apa yang seharusnya ia pilih? Cinta atau dendam?
Di sisi lain kota, Nayla juga tidak tidur. Di tempat tidur yang seharusnya memberikan kenyamanan, pikirannya terus melayang, kembali pada pertemuan terakhir dengan Ares. Saat itu, Ares menatapnya dengan tatapan penuh kebingungan, seakan ia ingin mengatakan sesuatu, tetapi kata-kata itu terhalang oleh perasaan yang saling bertolak belakang. Mereka tidak bisa bersama, dan Nayla tahu itu.
Setelah kejadian di pesta keluarga beberapa hari yang lalu, di mana Ares dan Nayla harus berpisah begitu saja dengan hati yang penuh luka, kehidupan mereka masing-masing menjadi semakin berat. Keluarga mereka—dua kekuatan yang sudah lama terpisah oleh kebencian—memaksakan tembok pemisah yang semakin kokoh di antara mereka. Nayla dan Ares tidak hanya harus berjuang melawan perasaan mereka satu sama lain, tetapi juga melawan harapan dan tekanan yang datang dari keluarga mereka.
Nayla, yang selama ini berusaha menyembunyikan perasaannya terhadap Ares, merasa terjepit. Ia tahu betul betapa besar kebencian antara keluarganya dan keluarga Ares. Tragedi yang terjadi bertahun-tahun lalu masih terngiang dalam setiap percakapan, mengingatkan mereka akan luka yang tidak pernah sembuh. Namun, perasaan yang tumbuh di dalam hatinya terhadap Ares tidak bisa ia pungut begitu saja. Perasaan itu semakin menguat, semakin sulit untuk dibendung. Tetapi, apakah cinta mereka lebih kuat daripada kebencian yang diwariskan oleh keluarga mereka?
Sementara itu, Ares juga tidak kalah terluka. Setiap malam ia memikirkan Nayla, wajahnya yang cerah, senyumannya yang begitu tulus, dan kelembutan hatinya. Tetapi ia juga tidak bisa melupakan bagaimana keluarganya melihat Nayla dan keluarganya sebagai musuh. Ares merasa berada di tengah antara dua dunia yang saling bertentangan. Di satu sisi, ada Nayla yang mencuri hatinya dengan cara yang tidak pernah ia bayangkan, tetapi di sisi lain, ada keluarganya yang selalu mengingatkan betapa bahayanya untuk menjalin hubungan dengan musuh bebuyutannya.
Beban itu semakin terasa berat ketika Ares mengetahui bahwa ayahnya, seorang pebisnis ternama yang selama ini berperang dengan keluarga Nayla, meminta Ares untuk menjaga jarak dengan Nayla. Ares tahu bahwa ayahnya sangat menginginkan agar ia melanjutkan bisnis keluarga dan menghindari semua hal yang bisa merusak reputasi mereka. “Jaga diri, Ares,” kata ayahnya dengan serius. “Keluarga Nayla adalah ancaman, dan kita tidak bisa terikat dengan mereka. Jangan biarkan dirimu terjerat dalam permainan yang berbahaya ini.”
Ares merasa terjebak dalam pilihan yang tidak bisa ia selesaikan dengan mudah. Di satu sisi, ia mencintai Nayla lebih dari apa pun, tetapi di sisi lain, ia merasa tidak bisa mengkhianati keluarganya. Ia tak bisa membiarkan nama keluarganya tercemar karena memilih untuk jatuh cinta pada seseorang yang dianggap sebagai musuh. Keputusan ini tidak hanya akan mempengaruhi dirinya, tetapi juga seluruh orang yang ia cintai.
Hari itu, Ares dan Nayla dipertemukan di sebuah taman yang sepi. Mereka duduk berdua di bangku, memandang ke arah danau yang tenang. Tak ada kata-kata yang terucap, hanya hening yang terasa menyesakkan. Namun, meskipun mereka tidak berbicara, keduanya tahu bahwa keputusan besar sedang menunggu untuk diambil.
Nayla akhirnya memecah keheningan, suaranya lembut, namun penuh dengan keraguan. “Ares, kita tidak bisa terus seperti ini. Ini bukan hanya tentang kita lagi, bukan hanya tentang apa yang kita rasakan satu sama lain. Keluarga kita, sejarah mereka… itu selalu membayangi kita.”
Ares menatapnya, hati yang penuh dengan rasa sakit. “Aku tahu, Nayla. Aku tahu. Tapi aku juga tidak bisa mengabaikan apa yang kita rasakan. Aku mencintaimu, dan aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Cinta ini lebih dari sekadar kata-kata. Ini tentang kita, tentang masa depan yang bisa kita bangun bersama. Tapi aku juga tak bisa mengabaikan tanggung jawabku pada keluargaku.”
Nayla menunduk, merasa air mata mulai menggenang di matanya. “Aku ingin kita bisa melawan semua ini, Ares. Aku ingin kita bisa memilih cinta, bukan dendam. Tapi aku tahu betapa sulitnya itu untukmu. Aku tak ingin memaksamu memilih antara aku dan keluargamu.”
“Aku tidak bisa membiarkan kamu pergi, Nayla,” jawab Ares, suaranya pecah, hampir berbisik. “Aku tidak tahu bagaimana cara mengatasi semua ini, tapi aku tahu satu hal… aku tidak bisa hidup tanpamu. Tapi aku juga tidak bisa mengkhianati keluargaku. Ayahku sangat berharap aku bisa mengendalikan hidupku dengan cara yang benar.”
Mata Nayla berkaca-kaca, tetapi ia mencoba tersenyum meski hatinya terluka. “Ares, aku mengerti. Aku hanya ingin kamu bahagia, tidak peduli apa pun yang terjadi. Aku akan berusaha melupakan ini, meski sulit. Tetapi aku juga tahu, jika kita terus begini, kita hanya akan menyakiti satu sama lain.”
Keheningan kembali menyelimuti mereka, dan seakan-akan dunia di sekitar mereka berhenti berputar. Kedua hati yang saling mencintai kini dihadapkan pada pilihan yang sangat sulit—antara cinta yang tulus atau dendam yang tidak pernah padam. Mereka tahu bahwa keputusan ini akan mengubah segalanya. Tetapi satu hal yang pasti, hati mereka tidak akan pernah bisa kembali seperti semula. Cinta atau dendam—di situlah mereka berdiri.
Ares dan Nayla akhirnya sepakat untuk memberi waktu pada diri mereka sendiri. Mereka tahu bahwa keduanya harus memilih jalan yang sulit, jalan yang penuh dengan pengorbanan. Namun, hanya waktu yang bisa menjawab apakah cinta mereka akan mampu mengatasi semua rintangan, atau apakah dendam yang telah lama diwariskan akan lebih kuat daripada perasaan yang mereka miliki satu sama lain.*
BAB 6 LUKA LAMA YANG KEMBALI
Hujan turun perlahan di luar jendela kamar Nayla, menambah kesunyian yang menyelimuti hati gadis itu. Ia duduk di tepi ranjang, matanya kosong menatap langit yang gelap. Pikiran-pikirannya tak henti berputar, terperangkap antara perasaan yang tak bisa ia ungkapkan dan kenyataan pahit yang terus menghantui. Perasaannya terhadap Ares semakin rumit, semakin dalam, dan semakin sulit untuk dipahami. Namun, ada satu hal yang tak bisa ia lupakan: keluarga mereka, dua dunia yang berbeda, yang sejak kecil diajarkan untuk saling membenci.
Seminggu terakhir ini, Nayla sering merenung, mencoba mencari cara agar kebencian yang diwariskan itu bisa dihentikan. Ia ingin menyelesaikan semua yang ada di antara mereka—antara keluarga, antara Ares, dan dirinya sendiri. Tetapi semakin ia berusaha mengungkapkan kebenaran, semakin banyak kebingungan yang muncul.
Malam itu, ia menerima pesan singkat dari seseorang yang tidak ia kenal. Namanya hanya tertulis dengan inisial: A.L. Nayla merasa curiga, tetapi rasa penasaran yang besar akhirnya mendorongnya untuk membuka pesan itu. Begitu pesan terbuka, sebuah foto lama muncul, memperlihatkan sosok lelaki yang sangat familiar—Ares, pada usia muda, bersama seorang wanita yang tampaknya sudah sangat tua. Wajah wanita itu terlihat jelas, dan ketika Nayla memperhatikan lebih dekat, hatinya tercekat. Itu adalah ibunya. Ibunya yang telah meninggal beberapa tahun lalu.
Dengan gemetar, Nayla membaca pesan yang menyertai foto itu:
“Apakah kamu tahu siapa sebenarnya yang telah menyebabkan penderitaan Ares dan keluarganya?”
Nayla merasa seolah dunia berputar di sekelilingnya. Ia menatap foto itu, merasakan panas di pipinya, dan mulai berkeringat dingin. Bagaimana bisa? Ibunya, yang selalu ia anggap baik dan penuh kasih sayang, ternyata terlibat dalam tragedi besar yang melibatkan Ares. Kenapa ia tidak pernah diberitahu? Kenapa semua ini disembunyikan?
Nayla bergegas menelpon Ares. Namun, beberapa kali panggilan yang ia lakukan tidak dijawab. Hatinya semakin panik. Ada sesuatu yang sangat besar yang belum ia ketahui, dan sekarang, pesan misterius itu memaksa segala perasaan dan pertanyaannya keluar begitu saja.
Tak lama kemudian, Ares akhirnya mengangkat telepon. Suara pria itu terdengar lemah, seperti seseorang yang baru saja terjaga dari mimpi buruk. “Nayla,” katanya, suaranya bergetar. “Ada yang ingin aku bicarakan.”
“Ares, siapa wanita itu dalam foto yang kamu kirimkan? Kenapa ibuku ada di sana?” suara Nayla bergetar, kesulitan menahan air mata yang ingin keluar. “Apa yang sebenarnya terjadi di antara keluarga kita?”
Ares terdiam sejenak, seolah menarik napas panjang. “Aku sudah mencoba melupakan masa lalu, Nayla. Tapi kadang-kadang, masa lalu tidak bisa ditinggalkan begitu saja.”
“Jadi, itu benar? Ibuku terlibat dalam semua ini?” tanya Nayla, tak bisa lagi menahan kegelisahan di hatinya.
“Ya,” jawab Ares dengan suara pelan. “Ibuku… dia pernah terlibat dalam kecelakaan yang melibatkan orangtuamu. Kecelakaan yang merenggut nyawa ayahku dan hampir menghancurkan keluarga kami. Aku tahu kamu tidak tahu tentang ini, dan aku sangat ingin melindungimu dari kenyataan pahit ini, tapi kini, rahasia itu sudah terungkap.”
Nayla merasa seperti disambar petir. Semua kenangan indah tentang ibunya yang ia anggap sempurna, yang selalu mengajarkan kebaikan, kini terbalik. Ibunya adalah bagian dari luka besar yang selama ini membekas dalam hidup Ares dan keluarganya. Tapi ada satu hal yang lebih membingungkannya lagi: kenapa ibunya tak pernah memberi tahu ia tentang hal ini?
“Ares, aku… aku nggak tahu apa yang harus aku katakan,” kata Nayla, tangannya gemetar saat ia memegang ponsel. “Kenapa ini tidak pernah diceritakan kepadaku?”
“Aku tidak tahu, Nayla. Aku tidak tahu apa yang ibumu sembunyikan dari kamu,” jawab Ares, suaranya penuh keputusasaan. “Aku hanya ingin kamu tahu satu hal, bahwa apa yang terjadi antara keluarga kita bukan sepenuhnya kesalahan kita. Kita hanya… kita hanya tumbuh dalam kebencian yang diwariskan oleh orangtua kita.”
“Lalu bagaimana kita bisa terus bertahan? Bagaimana kita bisa… saling mencintai jika ini semua terjadi antara keluarga kita?” Nayla menahan isak tangis. “Aku… aku ingin memperbaiki semuanya, Ares. Aku benar-benar ingin mengerti.”
Ares menghela napas panjang. “Aku tahu, Nayla. Aku juga ingin mengerti. Tapi aku juga harus melawan perasaan sakit ini. Kita berdua terjebak dalam sesuatu yang lebih besar dari sekadar kita berdua. Aku tidak ingin menghancurkan apa yang sudah kita bangun. Tapi aku juga tidak bisa membiarkan keluarga kita terus terjebak dalam masa lalu.”
Nayla merasa terjebak. Bagaimana mereka bisa melanjutkan hubungan ini jika setiap langkah mereka dibayangi oleh luka lama yang tak pernah benar-benar sembuh? Setiap perasaan cinta yang mulai tumbuh antara mereka harus berhadapan dengan kenyataan pahit yang tak bisa dihindari.
“Ares,” katanya pelan, “aku mencintaimu. Tapi aku juga merasa sangat bingung. Apa yang harus kita lakukan sekarang?”
Ares terdiam untuk beberapa saat, kemudian berkata dengan suara lembut. “Kita harus menghadapi kenyataan ini bersama, Nayla. Tidak ada jalan pintas. Cinta ini akan selalu diuji oleh masa lalu kita, tetapi aku yakin kita bisa melaluinya, jika kita saling mendukung.”
Malam itu, setelah percakapan yang begitu emosional, Nayla merasa lebih bingung dari sebelumnya. Luka lama yang selama ini ia kira sudah terkubur kini kembali terbuka, lebih dalam dan lebih menyakitkan. Namun, di tengah semua kebingungannya, satu hal yang ia yakini: ia harus memilih untuk berdiri bersama Ares, meski jalan yang mereka pilih penuh dengan duri.*
BAB 7 KEPUTUSAN YANG MENYAKITKAN
Hujan turun deras di luar, menambah berat suasana hati Nayla. Ia berdiri di depan kaca, memandangi pantulan dirinya yang tampak lelah. Tangannya terlipat di dada, bibirnya terkatup rapat, berusaha menahan isak yang ingin keluar. Setiap detik terasa berat. Dalam beberapa jam terakhir, dunia seakan runtuh di sekelilingnya. Keluarga mengharapkannya untuk mengambil keputusan yang tidak bisa ia terima. Mereka meminta Nayla untuk meninggalkan Ares, melupakan segala perasaan yang tumbuh di antara mereka. Dan Nayla tahu, di dalam hatinya, ia tidak bisa begitu saja menghapus cinta itu.
Malam itu, saat ia duduk dengan keluarganya di ruang tamu, ayahnya dengan tegas berbicara.
“Nayla, ini bukan soal perasaan. Ini soal harga diri keluarga kita. Keluarga Ares telah menghancurkan kami, dan kita tidak bisa membiarkan kebencian itu berlalu begitu saja. Kamu harus menjauh dari Ares, kalau tidak, kamu akan menyakiti kami semua,” kata ayahnya dengan nada yang tidak bisa dibantah.
Kata-kata itu terus bergema dalam benaknya. Apakah ini yang terbaik untuk semua orang? Namun, perasaannya tidak bisa disangkal. Nayla tahu bahwa Ares bukanlah musuh yang harus ia taklukkan, melainkan seseorang yang juga terluka. Cinta mereka bukanlah pilihan yang mudah. Setiap detik yang mereka habiskan bersama selalu disertai dengan rasa takut, rasa bersalah, dan pertanyaan apakah mereka akan mampu bertahan.
Di sisi lain, Ares berada dalam posisi yang tidak jauh berbeda. Malam itu, ia duduk di kamarnya, memandang keluar jendela. Hujan juga turun di tempatnya, menyelimuti segala sesuatu dengan kabut yang seakan menutup mata batinnya. Hati Ares penuh dengan perasaan kacau. Ia mencintai Nayla, itu tak bisa disangkal. Namun, ia tahu bahwa jika ia terus bersama Nayla, konsekuensinya akan jauh lebih berat daripada yang ia bayangkan. Keluarganya—keluarga yang selama ini ia cintai dan hormati—akan sangat kecewa jika ia melawan mereka demi cinta ini.
Ares meremas tengkuknya. Ia bisa merasakan ketegangan yang semakin besar. “Aku tidak bisa melawan keluargaku,” gumamnya pelan. Tapi suara Nayla yang lembut, senyuman yang ia lihat setiap kali bertemu dengannya, dan ketulusan dalam mata Nayla, membuat hatinya semakin berat. Kenapa dunia mereka harus seperti ini? Kenapa mereka harus memilih antara cinta dan keluarga?
Keesokan harinya, Ares mengirimkan pesan singkat kepada Nayla. Pesan itu singkat, namun penuh makna: *“Kita harus bicara.”*
Nayla merasakan detak jantungnya meningkat begitu membaca pesan itu. Apa yang akan Ares katakan? Apakah ia akan memberitahunya bahwa mereka harus berpisah? Apakah ini akhirnya? Rasa cemas itu menyelubunginya, tetapi ia tahu ia harus bertemu Ares untuk mendengar langsung keputusan yang akan mengubah segalanya.
Mereka sepakat untuk bertemu di tempat yang biasa mereka kunjungi—taman kecil di pinggir kota, tempat yang dulu mereka habiskan waktu bersama tanpa beban. Suasana di sana terasa sunyi, hanya terdengar suara hujan yang semakin deras. Ketika Nayla melihat Ares berdiri di bawah pohon, ia merasa hatinya seakan tertusuk. Ares terlihat begitu murung, wajahnya penuh ketegangan. Ia belum pernah melihat Ares sematang ini.
“Ares…” Nayla memanggilnya dengan suara pelan. Ares menoleh, dan tatapan mereka saling bertemu. Untuk sejenak, mereka hanya diam, seakan kata-kata tak lagi cukup untuk menggambarkan apa yang mereka rasakan.
“Nayla,” Ares mulai, suaranya serak. “Aku… aku harus memilih antara cinta kita dan keluarga. Keluargaku sudah memberiku ultimatum. Aku tidak bisa terus melawan mereka. Aku tidak bisa membuat mereka kecewa. Dan aku tahu, jika aku terus bersama kamu, itu hanya akan membuat semuanya lebih buruk.” Ares terdiam sejenak, menarik napas panjang. “Aku tidak ingin melukai kamu, Nayla. Tapi aku juga tidak ingin menghancurkan hidup kita berdua lebih lanjut.”
Nayla merasakan dadanya sesak. Kata-kata itu seperti pisau yang menusuk hatinya. Ia menatap Ares dengan mata berkaca-kaca, mencoba menahan tangis yang ingin meledak. “Jadi, kamu memilih untuk meninggalkan aku, begitu saja?” tanya Nayla, suaranya hampir tidak terdengar.
Ares menggigit bibirnya, tak mampu berkata apa-apa. Hatinya ingin berteriak bahwa ia tidak ingin meninggalkan Nayla. Ia ingin melawan segala sesuatu demi cintanya, tapi ia juga merasa tidak punya pilihan. Keluarganya, tanggung jawabnya, semuanya seperti memaksanya untuk membuat keputusan yang sangat berat.
“Aku tidak tahu apa yang harus aku pilih, Nayla. Semua ini begitu sulit.” Ares akhirnya menjawab dengan suara gemetar. “Tapi aku tahu, aku tidak bisa menyakiti orang-orang yang telah menjagaku seumur hidup. Aku tidak bisa….”
“Aku mengerti,” Nayla memotong, air mata mulai jatuh dari matanya. “Aku mengerti. Kalau itu yang kamu rasa, aku tidak bisa memaksakan dirimu untuk memilih aku. Tapi kamu harus tahu, Ares… aku akan selalu mencintaimu. Ini bukan keputusan yang mudah untukku, tapi aku harus menghormati pilihanmu.”
Ares menatap Nayla dengan penuh rasa sakit. Mereka berdua tahu, cinta mereka tidak bisa berjalan bersamaan dengan keadaan seperti ini. Mereka saling mencintai, tetapi keadaan memaksa mereka untuk berpisah.
Saat Nayla berjalan pergi dari taman itu, ia merasa hatinya hancur. Ares tetap berdiri di sana, menatap punggung Nayla yang semakin menjauh, dan merasakan seolah-olah seluruh dunianya runtuh. Meskipun mereka berpisah, rasa cinta mereka tetap ada, namun mereka harus berpisah demi menghormati keputusan yang menyakitkan. Dendam keluarga yang tak kunjung padam, membuat mereka harus melepaskan satu sama lain, meskipun hati mereka tak siap.
Keputusan yang menyakitkan ini adalah harga yang harus dibayar untuk cinta pertama mereka. Tapi di dalam hatinya, Ares tahu—tidak ada yang lebih menyakitkan daripada kehilangan Nayla.***
———————–THE END———————