Kisah Cinta
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
Kisah Cinta
No Result
View All Result

SETIAP LANGKAH MENJAUH,HATIKU SEMAKIN DEKAT

SETIAP LANGKAH MENJAUH, HATIKU SEMAKIN DEKAT

SAME KADE by SAME KADE
February 21, 2025
in Cinta Jarak jauh
Reading Time: 19 mins read
SETIAP LANGKAH MENJAUH,HATIKU SEMAKIN DEKAT

Daftar Isi

  • Bab 1  Pertemuan yang Tak Terduga
  • Bab 2  Jarak yang Memisahkan
  • Bab 3  Ujian Rindu
  • Bab 4  Cinta yang Tertunda
  • Bab 5  Tepi Harapan
  • Bab 6  Akhir yang Indah

Bab 1  Pertemuan yang Tak Terduga

Lila menatap layar laptop dengan pandangan kosong, jarinya terhenti di atas tombol keyboard. Tugas besar di mata kuliah sastra yang seharusnya sudah lama dia selesaikan kini malah tertunda. Entah mengapa, ide-ide itu seperti kabur begitu saja. Pikirannya melayang jauh, entah ke mana. Terlalu banyak hal yang ingin dia pikirkan tugas kuliah yang menumpuk, hubungan yang terasa datar, dan, tentu saja, masa depan yang semakin menuntut. Tapi hari itu, semua terasa berat. Mungkin karena sedang tidak ada yang menarik perhatian, atau mungkin hanya karena kebosanan yang menumpuk.

Matanya bergerak ke samping, menatap dinding kamar apartemennya yang hampir tak berubah selama berbulan-bulan. Rak buku yang terisi berbagai jenis novel, piring-piring kotor yang menumpuk, serta secangkir kopi yang sudah dingin di samping laptop. Semua itu terasa seperti bagian dari rutinitas yang tak ada habisnya. Lila menghela napas, merasa semakin terjebak dalam kehidupan yang monoton. Keinginan untuk melarikan diri, meskipun hanya sejenak, begitu kuat. Dia ingin sesuatu yang baru. Sesuatu yang bisa membuatnya merasa hidup kembali.

Saat itulah, notifikasi dari aplikasi Kisah Cinta ID di ponselnya muncul. Tertulis sebuah pesan baru: “Halo, saya baca cerita kamu di sini. Menarik sekali. Bisa kita ngobrol?”

Lila terkejut. Tidak banyak orang yang mengiriminya pesan di platform itu. Kisah Cinta ID bukanlah tempat di mana dia mencari teman baru, melainkan hanya sebuah ruang untuk menuangkan pikirannya dalam bentuk tulisan. Tapi entah kenapa, pesan dari orang yang tak dikenal ini membuatnya penasaran. Matanya bergerak cepat ke nama pengirim, dan di sana tertulis: Ari.

Tanpa berpikir panjang, Lila membuka pesan itu dan mulai mengetik balasan. “Hai, terima kasih sudah membaca. Apa yang menarik menurutmu?”

Beberapa menit kemudian, sebuah balasan datang. “Saya suka bagian yang kamu tulis tentang bagaimana cinta bisa tumbuh meskipun terhalang jarak. Itu benar-benar mengena. Saya sendiri sedang menjalani hubungan jarak jauh. Kadang rasanya berat, tapi juga indah.”

Lila terdiam sejenak. Pesan itu terasa sangat pribadi, dan entah kenapa, ia merasa seperti mengenal orang ini lebih lama daripada sekadar sebuah pesan singkat. Kejujuran dalam kata-kata Ari membuat hatinya sedikit tergerak. Tidak banyak orang yang terbuka seperti itu, apalagi di dunia maya yang penuh dengan kecanggungan dan keengganan untuk saling berbagi. Tapi Ari, dalam beberapa kalimat, seolah telah membuka sedikit ruang di hatinya.

Tanpa ragu, Lila membalas, “Saya juga merasakan hal yang sama. Kadang, hubungan jarak jauh itu penuh dengan keraguan, ya. Tapi di sisi lain, rasanya juga seperti tantangan yang membuat kita belajar lebih banyak tentang diri kita sendiri.”

Percakapan mereka berlanjut dengan cepat. Ari ternyata lebih terbuka dari yang Lila duga. Dia menceritakan bagaimana dia dan kekasihnya yang tinggal di luar negeri saling berjuang dengan waktu dan jarak, berusaha untuk tetap menjaga komunikasi meskipun kesibukan seringkali menghalangi. Lila merasa seperti mendengarkan cerita tentang dirinya sendiri, meskipun dia belum pernah mengungkapkan semua itu pada siapa pun.

Ari juga mulai bertanya tentang kehidupan Lila. Ia ingin tahu lebih banyak tentang rutinitasnya, tentang apa yang dia lakukan di Bandung, dan bagaimana dia bisa bertahan dengan segala kesibukannya yang selalu menuntut. Lila merasa aneh, tetapi juga nyaman. Entah kenapa, berbicara dengan Ari membuatnya merasa seperti menemukan seseorang yang mengerti.

Hari-hari berikutnya, pesan-pesan antara Lila dan Ari semakin sering datang. Mereka berbicara tentang banyak hal: tentang kuliah, pekerjaan, harapan, bahkan tentang kenangan masa lalu yang terkadang terasa manis dan pahit. Tidak ada yang terasa terlalu berat, namun semuanya terasa penting. Setiap kalimat yang mereka tukar mengandung kejujuran, seperti ada ikatan yang mulai terbentuk meski hanya melalui tulisan.

Namun, semakin sering mereka berkomunikasi, semakin Lila merasa ada sesuatu yang berkembang dalam hatinya. Perasaan itu sulit dijelaskan. Apakah ini hanya sekadar kekaguman terhadap seseorang yang bisa mengerti dirinya? Ataukah ini adalah benih-benih perasaan yang lebih dalam, yang mulai tumbuh meskipun mereka belum pernah bertemu? Lila tidak tahu. Tetapi satu hal yang pasti, ada sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang membuatnya merasa terhubung, meskipun dunia nyata tidak mengizinkan mereka untuk bertemu secara langsung.

Pada suatu malam, setelah percakapan panjang yang mengalir dengan begitu alami, Ari mengirimkan pesan yang membuat Lila terdiam cukup lama.

“Lila, aku merasa seperti sudah mengenalmu lama. Entah kenapa, setiap kali aku membaca tulisanmu, aku merasa lebih dekat denganmu, seolah-olah kita telah lama berbagi cerita.”

Lila merasa jantungnya berdegup lebih cepat. Ada kehangatan dalam kata-kata itu, namun juga ketegangan yang tidak bisa dia hindari. Ia membalas dengan hati-hati, “Aku juga merasa seperti itu. Kadang, kita tidak perlu bertemu langsung untuk bisa merasa dekat, kan?”

Ari membalas dengan cepat, “Aku setuju. Kadang, kata-kata bisa membawa kita lebih dekat daripada apa pun.”

Lila tersenyum kecil. Benar, kata-kata memang bisa membawa seseorang lebih dekat meskipun jarak fisik memisahkan mereka. Saat itu, dia mulai berpikir bahwa mungkin ini adalah awal dari sesuatu yang lebih dari sekadar percakapan biasa.

Namun, perasaan itu tidak datang tanpa keraguan. Meskipun mereka terhubung begitu mudah, ada bagian dari dirinya yang ragu apakah hubungan ini bisa bertahan. Bagaimana jika jarak ini terlalu besar untuk diatasi? Bagaimana jika percakapan ini hanya sebuah pelarian dari kenyataan yang tak terhindarkan? Lila tidak tahu. Tetapi yang dia tahu, hari itu, pertemuan yang tak terduga melalui pesan di platform itu telah mengubah segalanya.

Dan di sinilah, dalam dunia maya yang penuh ketidakpastian ini, kisah mereka baru saja dimulai.*

Bab 2  Jarak yang Memisahkan

Waktu berjalan cepat, dan meskipun Lila merasa semakin dekat dengan Ari, kenyataan tentang jarak yang memisahkan mereka mulai semakin terasa. Hubungan mereka yang semula ringan dan penuh harapan kini mulai menghadapi ujian yang tak terduga. Setelah hampir dua bulan berkomunikasi setiap hari, Lila mulai merasakan kelelahan yang tak bisa disembunyikan. Jarak bukan hanya tentang kilometer yang memisahkan mereka, tetapi juga tentang bagaimana waktu dan kebiasaan hidup yang berbeda seakan memisahkan mereka lebih jauh lagi.

Pagi itu, Lila duduk di meja belajar dengan laptop terbuka, mencoba menyelesaikan tugas-tugas kuliah yang tak kunjung habis. Di sebelahnya, ponsel bergetar. Sebuah pesan masuk dari Ari.

“Lila, maaf aku belum bisa membalas pesanmu kemarin. Tugas kantor numpuk banget, dan aku harus fokus. Gimana kuliahmu?”

Lila memandangi pesan itu dengan hati yang sedikit kecewa. Tidak ada yang salah dengan pesan itu—Ari memang sibuk. Tetapi semakin sering dia menerima pesan seperti ini, semakin Lila merasa seperti dirinya bukanlah prioritas. Seperti hubungan mereka hanyalah bagian dari rutinitas yang tergantikan oleh kesibukan masing-masing. Meskipun mereka sudah sepakat untuk tetap berkomunikasi sebanyak mungkin, kenyataannya tidak selalu semudah itu. Jarak memisahkan mereka, bukan hanya secara fisik, tetapi juga emosional.

Lila membalas pesan itu dengan cepat. “Aku ngerti kok, Ari. Aku juga sibuk dengan tugas-tugas. Aku harap kamu nggak terlalu kelelahan.” Tetapi di dalam hatinya, ada rasa yang sulit dia jelaskan. Kerinduan yang sudah mulai terasa berat, ditambah dengan ketidakpastian apakah semuanya akan baik-baik saja.

Setelah membalas pesan Ari, Lila kembali menatap layar laptopnya. Namun, kata-kata dalam tugas kuliah itu terasa kosong. Pikirannya terus kembali ke Ari. Sejak pertama kali mereka bertemu di Kisah Cinta ID, hubungan mereka memang berkembang pesat. Mereka selalu berbagi cerita, saling mendukung satu sama lain, dan entah kenapa, rasanya seperti tidak ada batasan yang menghalangi kedekatan mereka. Namun, semakin banyak waktu yang berlalu, semakin jelas bahwa hubungan mereka tak hanya menghadapi masalah praktis seperti perbedaan zona waktu, tetapi juga masalah emosional yang lebih dalam.

Lila memutuskan untuk menghubungi Ari lewat video call malam itu. Mereka telah berjanji untuk menyempatkan waktu satu sama lain, meski sebentar. Saat Ari menjawab panggilan, Lila bisa melihat kelelahan di wajahnya. Rambut Ari sedikit berantakan, dan mata yang biasanya cerah kini tampak lebih lelah dari biasanya.

“Hai,” ujar Ari dengan senyum lelah. “Maaf banget, hari ini benar-benar kacau. Kerjaan numpuk banget.”

Lila tersenyum tipis. “Aku ngerti kok. Aku juga lagi sibuk, jadi aku nggak mau ganggu. Tapi aku kangen, Ari.”

Kata-kata itu keluar begitu saja, meskipun Lila sempat ragu. Dia takut kalau itu akan terdengar terlalu mengharapkan, tapi ternyata, Ari hanya tersenyum mendengar pengakuannya.

“Aku juga kangen, Lila. Kamu tahu kan? Setiap hari terasa lebih lama tanpa bisa lihat kamu langsung.”

Mereka tertawa kecil, meskipun ada keheningan di antara mereka. Lila menatap wajah Ari, mencoba merasakan kehadirannya meskipun hanya lewat layar ponsel. Tapi malam itu, perasaan kerinduan yang begitu dalam membuatnya semakin sadar bahwa rasa cinta mereka tidak cukup hanya dengan kata-kata. Rindu ini membutuhkan lebih dari sekadar percakapan singkat dan pesan-pesan yang datang dan pergi.

Ari mulai bercerita tentang kesibukannya di Jakarta. Setiap harinya dipenuhi dengan rapat dan proyek-proyek besar, dan terkadang dia merasa seakan semua waktu di dunia ini tidak cukup untuk mengejar impian yang ia dambakan. Lila mendengarkan dengan penuh perhatian, mencoba memahami, meskipun di dalam hatinya, ada perasaan yang terus menggerogoti apakah hubungan mereka ini akan bertahan dengan jarak yang terus semakin jauh?

“Aku cuma nggak tahu, Lila,” Ari melanjutkan setelah beberapa detik hening. “Kadang aku merasa kayak kita ini semakin jauh, meskipun kita sering komunikasi. Rasanya, kita jadi kayak dua dunia yang berbeda.”

Lila menatap layar dengan hati yang berat. Kata-kata Ari begitu menusuk, karena dia pun merasakannya. Mereka sudah mencoba sebaik mungkin untuk mempertahankan komunikasi, tapi tidak bisa dipungkiri bahwa keduanya mulai merasa kesulitan untuk tetap berada dalam satu frekuensi. Mereka mulai terpisah oleh kesibukan masing-masing. Lila merasa seakan mereka tidak lagi berbicara tentang hal-hal yang sama, atau lebih tepatnya, tidak lagi berbicara tentang hal-hal yang benar-benar penting.

“Aku juga merasakannya, Ari,” jawab Lila dengan suara pelan. “Terkadang aku merasa seperti kita ini semakin jauh, walaupun kita tetap mencoba untuk saling menghubungi. Tapi… aku tetap percaya, kok. Kita bisa melewati ini.”

Ari terdiam sejenak, seolah sedang mencerna kata-katanya. “Aku juga ingin percaya itu, Lila. Tapi, kadang-kadang, aku nggak tahu harus bagaimana.”

Percakapan malam itu berakhir dengan perasaan campur aduk. Lila merasa sedikit lebih baik setelah mendengar suara Ari, namun ada rasa hampa yang tak bisa dia hilangkan. Di satu sisi, mereka berusaha untuk tetap dekat, tetapi di sisi lain, perasaan bahwa jarak ini semakin besar semakin menguat. Rindu yang tak terucapkan, harapan yang mulai kabur, dan ketakutan akan apa yang akan terjadi jika hubungan ini terus berjalan tanpa adanya solusi konkret.

Hari-hari setelah itu berjalan dengan rutinitas yang hampir sama. Lila mencoba menyibukkan diri dengan tugas kuliah, sementara Ari tenggelam dalam pekerjaannya yang terus menumpuk. Mereka masih saling berhubungan, namun komunikasi yang dulu terasa begitu hidup kini mulai terasa seperti kewajiban. Mereka berdua tidak ingin mengakui ketegangan yang mulai tumbuh di antara mereka, tetapi semakin lama, semakin terasa bahwa mereka berada di persimpangan jalan apakah hubungan ini masih bisa bertahan?

Lila merasa semakin kesulitan untuk menyeimbangkan antara harapan dan kenyataan. Jarak ini terasa semakin memisahkan mereka, meskipun hati mereka tetap berusaha untuk dekat. Semakin lama, semakin sulit baginya untuk mempercayai bahwa hubungan ini bisa berjalan jauh tanpa ada pertemuan nyata.

Namun di balik semua ketidakpastian ini, ada satu hal yang masih membuatnya bertahan: cinta. Cinta yang terkadang terasa berat, tetapi tetap ada di dalam hati, meskipun jarak menghalangi segalanya.*

Bab 3  Ujian Rindu

Rindu itu datang tanpa diundang, seperti angin malam yang tiba-tiba menghempas wajah, meninggalkan perasaan kosong yang sulit diungkapkan. Lila duduk di balkon apartemennya, memandang langit malam yang penuh bintang. Hujan baru saja reda, meninggalkan udara yang sejuk dan sunyi. Di tangannya, ponsel yang sudah lama tidak berdering, terasa berat. Tidak ada pesan dari Ari. Tidak ada kabar. Lila merasa perasaan itu semakin menumpuk, bertambah berat, seiring berjalannya waktu.

Sudah hampir tiga minggu sejak terakhir kali mereka berbicara lewat video call. Sejak itu, percakapan mereka hanya terbatas pada pesan singkat yang datang dan pergi, penuh dengan kesibukan yang tak bisa mereka hindari. Ari yang sibuk dengan pekerjaan di Jakarta, dan Lila yang tenggelam dalam tugas-tugas kuliahnya, membuat komunikasi mereka semakin jarang. Meskipun mereka berusaha untuk tetap berhubungan, kenyataan yang ada tak bisa dipungkiri rindu itu mulai menggerogoti mereka.

Lila menggigit bibirnya, berusaha menahan air mata yang hampir menetes. Dia tahu, ini bukan tentang seberapa sering mereka berbicara. Bukan tentang pesan yang datang tiap hari, atau video call yang menyenangkan. Ini tentang ketidakhadiran yang semakin nyata. Ari, yang dulu selalu bisa membuatnya tertawa dengan cerita-cerita lucu, kini seakan jauh di sana, tak terjangkau. Hanya sepotong kata-kata dan gambar di layar yang menemaninya.

Saat itu, sebuah pesan dari Ari muncul di layar ponselnya. “Lila, maaf banget aku baru bisa balas pesanmu sekarang. Pekerjaan lagi numpuk banget. Gimana kuliahmu?”

Lila terdiam sejenak. Kata-kata itu terasa begitu biasa, tetapi di dalamnya ada ketegangan yang tak terucapkan. Dia tahu, Ari sedang berusaha sebaik mungkin, tetapi rasa rindu yang semakin besar membuatnya merasa kesepian. “Aku ngerti kok. Kuliah masih berat, banyak tugas yang harus diselesaikan. Aku cuma kangen banget, Ari.” Lila mengetik kalimat itu dengan hati yang berat, merasa semakin ragu dengan perasaan yang dia miliki. Apakah Ari merasa hal yang sama? Ataukah dia hanya sekadar terjebak dalam rutinitas yang tak ada habisnya?

Beberapa detik kemudian, pesan balasan datang. “Aku juga kangen banget, Lila. Rasanya aku butuh waktu untuk bisa ngobrol denganmu seperti dulu. Tapi kerjaan ini memang nggak bisa ditunda.”

Lila menatap pesan itu tanpa berkedip. Setiap kalimatnya terasa seperti pisau yang mengiris hati. Ari mengatakan hal yang benar. Pekerjaannya memang harus diutamakan. Namun, Lila merasa seperti mereka semakin terpisah oleh segala hal yang tidak bisa mereka kendalikan—pekerjaan, jadwal, jarak. Dia tidak tahu harus bagaimana lagi.

Dia ingin sekali bertemu Ari, merasakan kehangatan yang dulu mereka rasakan setiap kali berdekatan, walaupun hanya lewat video call. Tapi perasaan itu semakin terpendam, tenggelam oleh ketidakpastian dan rindu yang semakin mendalam. Setiap hari, Lila merasa seperti sebuah puzzle yang hilang potongannya. Potongan itu adalah kehadiran Ari, yang sekarang terasa semakin jauh.

Malam itu, Lila menatap layar ponselnya sekali lagi. Pesan-pesan singkat yang datang semakin jarang, membuatnya bertanya-tanya, apakah mereka masih memiliki cukup kekuatan untuk bertahan. Meskipun dia berusaha sekuat tenaga untuk tetap percaya bahwa jarak bukanlah akhir dari segalanya, rasa rindu yang menyesakkan membuatnya mulai meragukan segalanya.

“Ari, aku merasa sangat kesepian. Sepertinya kita semakin jauh, dan aku nggak tahu harus gimana lagi,” Lila mengetik pesan itu dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Sebuah perasaan yang campur aduk kerinduan, kebingungan, dan kelelahan. Ketika ia menekan tombol kirim, rasanya seperti melepas sesuatu yang sangat berat dari hatinya.

Tidak lama setelah itu, pesan balasan datang. “Lila, aku juga merasa hal yang sama. Aku rindu kamu, tapi kadang aku merasa sangat terbebani dengan semua yang terjadi. Mungkin ini lebih sulit dari yang kita bayangkan.”

Lila menunduk, menahan air mata yang hampir menetes. Itu adalah jawaban yang dia takutkan. Ari merasa hal yang sama, tapi mereka tidak tahu bagaimana cara menghadapinya. Kadang, rasanya seperti mereka hanya saling berjuang dalam diam, berusaha bertahan meskipun perasaan itu semakin lama semakin berat.

Ari melanjutkan, “Aku ingin kita bertemu, Lila. Aku ingin kamu tahu kalau aku berjuang untuk kita. Tapi sekarang, aku harus mencari cara agar aku bisa lebih banyak waktu untukmu. Aku janji, aku nggak akan menyerah.”

Mendengar kata-kata itu membuat Lila merasa sedikit lega. Setidaknya, dia tahu bahwa Ari masih berjuang untuk mereka. Namun, rasa rindu itu tetap saja ada. Bagaimana mereka bisa bertahan dalam kesulitan ini? Apakah cinta mereka akan cukup kuat untuk mengalahkan jarak yang semakin melebar?

Lila menghela napas panjang, menatap langit malam yang sepi. “Aku juga nggak akan menyerah, Ari. Meskipun kadang terasa sangat sulit, aku percaya kita bisa bertahan. Kita sudah melalui banyak hal bersama, dan aku yakin kita akan menemukan cara.”

Meski kata-kata itu terdengar meyakinkan, Lila tahu bahwa ujian rindu ini belum selesai. Mungkin rindu ini akan terus datang, datang lebih kuat, lebih mendalam, dan menguji kesabaran mereka. Tapi yang bisa mereka lakukan hanya satu—terus bertahan, terus mempercayai satu sama lain, dan terus berharap bahwa suatu hari nanti, jarak ini akan menghilang.

Setelah beberapa menit, Ari membalas lagi. “Aku kangen banget, Lila. Suatu saat nanti kita pasti bisa bertemu dan merasakan semuanya secara langsung.”

Lila tersenyum tipis, meskipun hatinya terasa berat. “Aku juga, Ari. Aku juga.”

Rindu itu memang ujian yang tak mudah, tetapi mereka tahu bahwa cinta mereka bisa melewati itu semua—selama mereka tidak menyerah. Meskipun langkah mereka semakin menjauh, hati mereka tetap berusaha untuk tetap dekat.*

Bab 4  Cinta yang Tertunda

Lila duduk di depan jendela apartemennya, menatap hujan yang turun perlahan. Setiap tetes air yang menempel di kaca seolah mengingatkannya pada perasaan yang sulit diungkapkan rindu yang semakin dalam, tetapi tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Sejak beberapa minggu terakhir, mereka hanya bisa berkomunikasi lewat pesan teks, video call yang semakin jarang, dan janji-janji yang tampaknya tak kunjung menjadi kenyataan. Lila merasa seperti hidup dalam ketidakpastian, di antara harapan dan kenyataan yang terus berjarak.

Ari, di sisi lain, merasa semakin terjepit oleh waktunya yang terbatas. Pekerjaannya semakin menumpuk, tuntutan hidup yang semakin nyata, dan dia tak bisa lagi menyembunyikan rasa lelah yang kian mempengaruhi hubungan mereka. Meskipun dia tahu betul bahwa Lila adalah seseorang yang sangat berharga baginya, kenyataan bahwa jarak semakin membuat mereka terpisah kian terasa menyakitkan. Cinta yang dulu terasa mudah dan penuh semangat kini terpaksa tertunda, seiring dengan semakin padatnya kehidupan mereka masing-masing.

Setiap kali Lila membuka ponselnya, harapannya selalu tinggi, berharap ada pesan atau video call yang mengingatkannya bahwa hubungan mereka masih kuat. Namun, hari demi hari berlalu tanpa banyak perubahan. Ari terkadang mengirimkan pesan singkat, mengatakan bahwa dia merindukan Lila dan ingin segera bertemu, tetapi setelah itu, kesibukan mengalihkan perhatian mereka berdua. Lila tahu bahwa Ari berusaha, tetapi dia juga merasa seperti hidup dalam bayang-bayang sebuah janji yang belum bisa mereka tepati. Janji untuk bertemu, untuk menjalani kehidupan bersama, yang seakan tergantung begitu lama, seiring dengan perjalanan waktu yang tak bisa mereka hentikan.

Malam itu, setelah selesai dengan tugas kuliahnya, Lila membuka pesan dari Ari yang baru saja masuk. “Lila, aku merasa aku semakin jauh darimu. Setiap hari semakin sulit untuk tetap menjaga komunikasi seperti dulu. Aku rindu banget ngobrol seperti kita dulu, tanpa beban.”

Lila membaca pesan itu berulang kali. Rasanya seperti mendengar suaranya yang terputus-putus, mengungkapkan betapa kesulitan mereka berdua menghadapi jarak yang terus menggerogoti hubungan ini. “Aku juga, Ari,” jawab Lila akhirnya. “Setiap hari terasa semakin berat. Aku nggak tahu bagaimana kita bisa bertahan jika ini terus berlanjut.”

Beberapa detik setelah itu, Ari membalas. “Aku tahu ini sulit, Lila. Tapi aku nggak mau kamu merasa sendirian. Aku berjanji, suatu saat nanti kita akan bertemu. Kita akan menjalani semua ini bersama, seperti yang kita impikan.”

Lila tersenyum tipis mendengar kata-kata itu, meskipun hatinya tetap terasa berat. Janji itu terdengar indah, tetapi semakin lama ia merasa seperti cinta mereka hanya terjebak dalam penantian tanpa kepastian. Ia ingin percaya bahwa suatu hari mereka akan bersama, tetapi kenyataan hidup tak selalu semudah itu.

Beberapa minggu kemudian, Lila memutuskan untuk mengunjungi kafe favorit mereka di Bandung, tempat di mana mereka pertama kali bertemu. Itu adalah tempat yang selalu mengingatkan Lila pada momen-momen indah bersama Ari percakapan hangat tentang mimpi dan harapan, tawa yang mengisi ruang kecil di kafe, dan pandangan mata mereka yang saling berhubungan. Tapi sekarang, tempat itu terasa sepi. Kursi di depannya kosong, dan hanya ada secangkir kopi yang tak lagi panas. Ia memandangi layar ponselnya, berharap ada pesan dari Ari. Namun, tak ada. Hanya sebuah kekosongan yang semakin mengisi ruang hatinya.

Lila merasa rindu itu semakin menggerogoti dirinya. Meskipun dia tahu bahwa Ari sibuk, dia tidak bisa menghindari perasaan bahwa cinta mereka kini semakin tertunda. Tertunda oleh jarak, oleh waktu, dan oleh kehidupan masing-masing yang seakan tak memberi mereka ruang untuk benar-benar bersatu. Lila ingin berteriak, ingin mengungkapkan bahwa dia tidak ingin lagi menunggu, bahwa dia tidak ingin hanya menjadi bagian dari masa depan yang selalu tertunda.

Tapi Lila tahu, ia tak bisa terlalu egois. Ari, seperti dirinya, juga tengah berjuang dengan tantangan hidup. Pekerjaan yang memerlukan perhatian penuh, impian yang harus diwujudkan, dan kehidupan yang terus berjalan meskipun mereka terpisah. Dalam diam, Lila menyadari bahwa mungkin cinta mereka memang harus tertunda tertunda hingga saat yang tepat, ketika mereka siap untuk bersama.

Pada suatu malam, ketika hujan kembali turun dengan derasnya, Lila memutuskan untuk menghubungi Ari lewat video call. Setelah beberapa detik, wajah Ari muncul di layar, terlihat kelelahan tetapi tetap tersenyum.

“Hei, Lila. Apa kabar? Maaf kalau aku belakangan ini jarang banget ngabarin.”

Lila tersenyum, meskipun ada rasa kecewa yang tak bisa disembunyikan. “Aku baik-baik aja, Ari. Cuma… aku kangen banget.”

Ari menghela napas panjang. “Aku juga kangen. Kamu nggak tahu seberapa besar aku ingin bisa segera bertemu, Lila. Tapi ini benar-benar sulit. Kerjaanku nggak bisa ditunda, dan aku nggak bisa mengabaikan tanggung jawab ini.”

Lila menunduk, merasa sedikit sakit mendengar kata-kata itu. Namun, dia tahu bahwa Ari bukan sedang mencari alasan. Dia berjuang untuk masa depan mereka, meskipun itu berarti harus menunda kebersamaan mereka untuk sementara waktu.

“Aku ngerti, Ari,” jawab Lila, suaranya agak serak. “Aku juga nggak ingin menghalangimu. Aku cuma… merasa seperti cinta kita ini nggak pernah benar-benar dimulai, hanya tertunda tanpa tahu kapan waktunya.”

Ari menatapnya dalam-dalam melalui layar, seolah ingin mengatakan sesuatu, tetapi kata-kata itu seakan terhalang. “Aku janji, Lila. Aku akan berusaha lebih baik. Kita akan melalui semua ini bersama, dan pada akhirnya, kita akan memiliki waktu itu. Cinta kita tidak akan pernah tertunda selamanya.”

Lila menatap mata Ari, merasakan kehangatan yang datang meskipun hanya lewat layar. Ada banyak hal yang masih belum mereka bisa capai, tapi Lila tahu satu hal: cinta mereka bukanlah hal yang akan hilang begitu saja, meskipun tertunda. Mereka mungkin tidak bisa bersama sekarang, tetapi mereka memiliki impian yang sama. Mereka memiliki waktu yang akan datang waktu yang, suatu saat nanti, akan menghapuskan jarak dan menuntun mereka untuk akhirnya bersatu.

“Aku percaya padamu, Ari. Aku akan menunggu, meskipun itu terasa sulit. Kita akan bersama, suatu saat nanti.”

Ari tersenyum, dan meskipun jarak masih memisahkan mereka, Lila merasakan bahwa cinta mereka tidak akan pernah benar-benar tertunda. Cinta itu akan tetap tumbuh, meskipun dalam diam, meskipun dalam jarak yang terpisah. Pada akhirnya, mereka tahu bahwa waktu akan membawa mereka lebih dekat dan itu adalah keyakinan yang membuat segala sesuatu terasa layak untuk dijalani.*

Bab 5  Tepi Harapan

Lila berdiri di balkon apartemennya, menyandarkan tubuhnya pada railing logam yang dingin. Matahari senja menyinari kota dengan cahaya oranye yang lembut, menciptakan suasana damai yang kontras dengan keramaian pikirannya. Beberapa bulan telah berlalu sejak mereka memulai perjalanan ini—perjalanan cinta yang penuh dengan janji, harapan, dan ujian. Meskipun perasaan rindu semakin dalam, Lila mulai merasakan sebuah titik terang yang menyelinap di antara bayang-bayang kesepian dan kecemasan yang selama ini mengganggu hatinya.

Setiap hari terasa lebih berat, seiring dengan rutinitas yang semakin menguras tenaga. Ari yang sibuk dengan pekerjaannya, dan Lila yang semakin tenggelam dalam dunia kuliahnya, membuat mereka lebih jarang berbicara. Namun, di balik kebisuan yang semakin terasa, ada sebuah benih harapan yang mulai tumbuh di dalam hati Lila. Ada keyakinan yang semakin menguat bahwa meskipun jarak memisahkan mereka, mereka berdua memiliki mimpi yang sama. Mereka ingin bersama, suatu hari nanti, di sebuah tempat yang mereka sebut rumah.

Hari itu, Lila kembali menerima pesan dari Ari setelah beberapa hari tidak ada komunikasi. “Lila, maaf aku baru bisa balas pesanmu sekarang. Pekerjaanku lagi gila banget. Tapi aku cuma mau bilang, aku rindu banget sama kamu. Aku janji kita akan bersama. Aku nggak akan berhenti berjuang untuk itu.”

Lila membacanya berulang kali. Kata-kata itu mengingatkannya pada percakapan mereka sebelumnya—percakapan tentang masa depan yang penuh harapan, tentang hari-hari ketika mereka akan akhirnya bertemu, mengakhiri rindu yang selama ini menghantui mereka. Walaupun tak ada jaminan kapan hal itu akan terjadi, Lila merasa semakin yakin bahwa mereka memiliki tujuan yang sama. Mereka ingin bertahan bersama, meskipun jalan yang harus ditempuh masih panjang dan penuh tantangan.

Malam itu, Lila memutuskan untuk menghubungi Ari lewat video call. Setelah beberapa detik, wajah Ari muncul di layar ponselnya. Meski tampak lelah, senyumannya tetap memberi kehangatan yang Lila rindukan.

“Hei, Lila. Maaf banget aku baru bisa ngobrol. Kerjaanku lagi nggak ada habisnya.”

Lila tersenyum lembut, berusaha memahami bahwa kehidupan Ari memang penuh tekanan. “Aku tahu kok, Ari. Aku nggak akan buru-buru. Aku cuma… kangen banget. Rasanya sudah lama kita nggak ngobrol seperti dulu.”

Ari mengangguk pelan. “Aku juga kangen, Lila. Aku nggak bisa janji banyak, tapi aku berjanji kita akan bertemu. Aku nggak mau kamu merasa sendirian.”

Mendengar kata-kata itu, Lila merasakan sebuah kehangatan yang menenangkan hatinya. Meskipun kata-kata itu terdengar sederhana, ia tahu bahwa Ari serius. Mereka sudah melalui banyak hal bersama rindu yang tak terucapkan, waktu yang terbatas, dan jarak yang terasa semakin jauh. Tapi di balik semua itu, Lila tahu satu hal: cinta mereka tak akan pernah pudar, bahkan jika harus menunggu lebih lama.

“Ari,” Lila memulai percakapan setelah beberapa detik hening. “Aku cuma mau bilang, aku percaya kita bisa melewati semua ini. Meski jarak memisahkan kita, meski rindu ini terkadang terasa lebih besar dari apapun, aku yakin kita bisa. Aku nggak mau menyerah.”

Ari menatapnya dalam-dalam, seolah ingin memastikan bahwa kata-katanya bukan hanya sekadar janji kosong. “Aku juga nggak mau menyerah, Lila. Kamu penting banget buat aku. Aku janji, kita akan menemukan cara untuk bersama.”

Malam itu, meskipun mereka hanya berbicara lewat layar ponsel, ada sebuah perasaan tenang yang muncul. Seperti ada cahaya yang mulai menembus kegelapan yang selama ini mereka hadapi. Mungkin mereka belum bisa bertemu saat itu, mungkin jarak masih menjadi penghalang, tapi harapan mereka tetap hidup. Harapan bahwa suatu hari nanti, cinta mereka tidak hanya akan ada dalam kata-kata dan impian, tetapi dalam kenyataan.

Lila menatap layar dengan senyuman tipis. Ada rasa lega yang mengalir di dalam hatinya, meskipun tetap ada keraguan yang tak bisa dihindari. Mereka masih terpisah, tetapi Lila merasa bahwa mereka sudah lebih dekat dari sebelumnya. Mereka sudah mulai menemukan jalan menuju masa depan bersama—sebuah jalan yang mungkin penuh dengan rintangan, tetapi penuh dengan harapan yang tak tergoyahkan.

Keesokan harinya, Lila memutuskan untuk melakukan sesuatu yang sudah lama ia tunda menulis surat untuk Ari. Sebuah surat yang selama ini hanya ada dalam pikirannya, namun belum pernah ia tulis. Ia membuka laptopnya, mulai mengetik dengan hati yang penuh perasaan.

“Ari,

Setiap hari aku bertanya pada diriku sendiri, apakah kita akan mampu bertahan melalui semua ini? Aku tahu, hubungan jarak jauh bukanlah sesuatu yang mudah. Tapi aku juga tahu, kita berdua memiliki impian yang sama. Impian untuk saling mendukung, untuk akhirnya bersama di sebuah tempat yang kita sebut rumah.

Aku tak bisa menjanjikan bahwa semuanya akan mudah, atau bahwa kita akan selalu bersama tanpa rintangan. Tapi aku tahu satu hal: aku tidak ingin menyerah. Kita telah melewati banyak hal bersama, dan meskipun jarak selalu menghalangi kita, aku percaya bahwa kita bisa bertahan. Aku ingin bertemu denganmu, Ari. Aku ingin menjalani hidup ini denganmu, walaupun aku tahu itu akan memakan waktu.”

Lila berhenti sejenak, menatap tulisan di layar. Setiap kata terasa penuh makna. Rindu yang selama ini terpendam, keraguan yang perlahan berubah menjadi keyakinan, dan harapan yang mulai meresap ke dalam jiwanya.

“Suatu hari nanti, aku percaya kita akan berada di sini, di tempat yang sama, berbicara langsung, bukan hanya lewat pesan atau video call. Kita akan melewati semua ini dan akhirnya bersama. Sampai saat itu tiba, aku akan terus berharap, karena aku percaya pada kita.

Dengan cinta,
Lila.”

Lila menatap surat itu beberapa saat, merasakannya dalam-dalam. Surat itu bukan hanya untuk Ari, tetapi juga untuk dirinya sendiri. Sebuah pengingat bahwa meskipun cinta mereka masih tertunda, mereka sudah berada di tepi harapan. Harapan yang tak akan padam, meskipun rintangan dan jarak menghalangi.

Ari membalas pesan itu beberapa jam kemudian. “Lila, suratmu membuat aku merasa lebih dekat denganmu. Aku janji, kita akan bersama. Terima kasih sudah selalu ada untuk aku, meskipun aku tidak selalu bisa ada di sampingmu. Aku akan berusaha lebih keras untuk kita.”

Malam itu, Lila merasa lebih ringan. Tepi harapan itu, yang selama ini ia cari-cari, kini semakin jelas. Mungkin perjalanan mereka belum selesai, tetapi Lila tahu bahwa cinta mereka akan selalu ada, meskipun tertunda. Setiap langkah yang mereka ambil, meskipun menjauh, hanya semakin mendekatkan hati mereka. Mereka hanya perlu menunggu, karena pada akhirnya, harapan akan membawa mereka ke tujuan yang mereka impikan.*

Bab 6  Akhir yang Indah

Waktu terasa berlalu dengan cepat, meskipun ada banyak momen yang terasa begitu panjang. Lila berdiri di bandara, menatap papan pengumuman penerbangan yang sibuk, mengabaikan suara-suara riuh di sekelilingnya. Hatinya berdebar kencang, seolah detik-detik yang menghitung mundur hingga tiba saat itu terasa begitu panjang. Sudah lama ia menunggu hari ini hari di mana akhirnya ia akan bertemu dengan Ari setelah berbulan-bulan menjalani hubungan jarak jauh.

Setiap langkah yang ia ambil terasa seperti langkah menuju masa depan. Masa depan yang sebelumnya terasa seperti sebuah mimpi jauh, tetapi kini menjadi kenyataan yang semakin dekat. Lila bisa merasakan kehangatan yang semakin mengalir dalam dirinya, harapan yang dulu hanya ada dalam pesan-pesan singkat dan video call, kini akan terwujud dalam sebuah pertemuan nyata.

Ari sudah beberapa kali mengirim pesan untuk memastikan semuanya berjalan lancar. Mereka berdua sudah merencanakan pertemuan ini selama berbulan-bulan, mengatur jadwal yang penuh dengan kesibukan masing-masing. Dan kini, akhirnya mereka akan bertemu, meskipun sedikit ragu masih ada di hati Lila. Apakah semua akan seindah yang mereka bayangkan? Apakah kenyataan akan lebih baik daripada apa yang mereka rencanakan?

Pesan dari Ari muncul di ponselnya. “Lila, aku sudah di bandara. Aku nggak sabar ketemu kamu.”

Lila tersenyum tipis, membaca pesan itu berulang kali. Rasanya masih sulit dipercaya bahwa pertemuan ini benar-benar akan terjadi setelah semua ujian yang mereka lalui rindu yang menguji kesabaran, jarak yang memisahkan mereka, dan waktu yang terasa berjalan begitu lambat. Tapi kini, mereka sudah hampir sampai di titik ini. Titik yang menandakan akhir dari perjalanan panjang, dan awal dari kehidupan bersama yang mereka impikan.

Beberapa menit kemudian, pengumuman datang. Penerbangan yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba. Lila merasakan jantungnya berdegup semakin kencang, seolah setiap detik yang berlalu membawa kedekatan yang lebih besar. Semua perasaan itu rindu, kegembiraan, dan kecemasan terkumpul menjadi satu. Dan saat itu, ia tahu, bahwa hari ini akan menjadi hari yang tak terlupakan.

Lila berjalan menuju pintu kedatangan, matanya tak lepas mencari sosok yang sudah lama ia rindukan. Dan akhirnya, di ujung pintu kaca, ia melihat sosok yang sudah sangat dikenalnya Ari. Pria itu berdiri di sana, mengenakan jaket hitam dan senyum lebar yang seolah tak bisa disembunyikan. Sejenak, dunia terasa berhenti berputar. Semua perasaan yang terkumpul selama ini, semua keraguan dan kecemasan, seakan hilang begitu saja.

Lila melangkah mendekat, langkahnya terasa ringan, dan saat mereka bertemu, Ari langsung menariknya dalam pelukan hangat. Itu adalah pelukan yang Lila rindukan selama berbulan-bulan. Pelukan yang menghapus segala keraguan, menghapus semua jarak yang selama ini memisahkan mereka. Lila bisa merasakan detak jantung Ari, yang seakan menenangkan perasaan rindu yang begitu dalam.

“Aku kangen banget, Lila,” bisik Ari, suaranya serak karena emosi yang sulit dia ungkapkan. “Kamu nggak tahu seberapa lama aku menunggu untuk bisa ada di sini, bersama kamu.”

Lila hanya tersenyum, merasa air matanya hampir menetes. Ia mengeratkan pelukannya, merasa bahwa semua hal buruk yang terjadi sebelumnya akhirnya terbayar dengan pertemuan ini. “Aku juga kangen, Ari. Rasanya seperti mimpi.”

Mereka berdiri dalam pelukan itu untuk beberapa lama, seakan tak ingin melepaskan satu sama lain. Rasa rindu yang selama ini terasa begitu berat kini menghilang, tergantikan oleh kebahagiaan yang sederhana kehadiran masing-masing. Tidak ada kata-kata yang perlu diucapkan lagi. Semuanya sudah terasa sempurna begitu mereka saling menemukan.

Setelah beberapa menit, mereka saling melepaskan pelukan, dan Ari tersenyum lebar, matanya penuh dengan kehangatan yang dalam. “Lila, akhirnya kita bisa bertemu. Aku nggak akan pernah membiarkan ini lagi. Kita akan bersama, seperti yang sudah kita impikan.”

Lila hanya mengangguk, matanya penuh dengan kebahagiaan yang tak bisa dijelaskan. Dia merasakan bahwa segala sesuatu yang mereka lewati selama ini semua perjuangan, semua kesulitan akhirnya membuahkan hasil. Mereka tidak hanya berhasil bertahan, tetapi kini mereka berdiri di tepi harapan yang akhirnya terwujud.

Hari-hari setelah pertemuan itu terasa seperti mimpi indah yang tak ingin mereka akhiri. Lila dan Ari menghabiskan waktu bersama, mengunjungi tempat-tempat yang sudah lama mereka impikan, menikmati kebersamaan yang sebelumnya hanya ada dalam imajinasi. Semua perasaan yang dulu tertunda kini menjadi kenyataan. Mereka berjalan berdua, tangan mereka saling menggenggam erat, merasakan kedekatan yang semakin mendalam. Tidak ada lagi jarak yang memisahkan mereka, hanya ada cinta yang semakin tumbuh.

Di malam terakhir Lila berada di kota itu, mereka duduk berdua di tepi pantai, menatap bintang-bintang yang berkilauan di langit. Suara ombak yang lembut menciptakan suasana damai yang sempurna. Ari menggenggam tangan Lila dengan lembut, dan mereka saling menatap, merasakan bahwa segala sesuatu telah membawa mereka pada titik ini.

“Aku nggak pernah bayangin kita bisa sampai di sini, Ari. Rasanya seperti semuanya adalah mimpi yang akhirnya jadi kenyataan.” Lila berkata dengan suara yang penuh rasa syukur.

Ari tersenyum hangat, matanya penuh dengan keyakinan. “Kita memang harus melewati banyak hal, Lila. Tapi aku yakin, setiap langkah kita membawa kita lebih dekat. Kita mungkin terpisah oleh jarak, tapi hati kita selalu dekat. Aku janji, kita akan selalu bersama.”

Lila menundukkan kepala, merasakan air mata yang hampir menetes. “Aku percaya padamu, Ari. Aku nggak akan menyerah, dan aku tahu kita bisa menghadapi semua ini. Kita sudah sampai di sini, dan sekarang kita bisa memulai hidup kita bersama.”

Mereka duduk bersama, berbicara tentang masa depan yang cerah, tentang impian yang ingin mereka capai, dan tentang cinta yang mereka jaga dengan sepenuh hati. Semua yang mereka hadapi, semua yang mereka perjuangkan, membawa mereka pada satu hal yang lebih penting—akhir yang indah.

Dan di bawah langit yang penuh bintang, mereka tahu bahwa perjalanan mereka baru dimulai. Mereka tak hanya berhasil melewati segala ujian rindu, jarak, dan waktu, tetapi mereka juga belajar bahwa cinta sejati tidak mengenal batas. Cinta itu akan selalu membawa mereka kembali, pada akhirnya yang indah, yang penuh dengan harapan dan kebahagiaan.***

————–THE END————–

 

Source: ASIFA HIDAYATI
Tags: # Cinta Sejati# Hubungan LDR# Rindu yang Mendalam#Cinta Jarak Jauh#Penantian Cinta
Previous Post

CINTA YANG BERAWAL DARI SANDIWARA

Next Post

KISAH CINTA DI ATAS PERAHU KECIL

Related Posts

JIKA RINDU BISA TERBANG

JIKA RINDU BISA TERBANG

May 11, 2025
“MENJAGA CINTA DI ANTARA KILOMETER”

“MENJAGA CINTA DI ANTARA KILOMETER”

May 10, 2025
SELAMANYA MILIKMU: LANGIT YANG SAMA, CINTA YANG BERBEDA

SELAMANYA MILIKMU: LANGIT YANG SAMA, CINTA YANG BERBEDA

May 9, 2025
KISAH DI BALIK LAYAR

KISAH DI BALIK LAYAR

May 8, 2025
“JARAK MENGUJI, HATI BERTAHAN”

“JARAK MENGUJI, HATI BERTAHAN”

May 7, 2025
RINDU YANG TAK TERUCAP

RINDU YANG TAK TERUCAP

May 6, 2025
Next Post
KISAH CINTA DI ATAS PERAHU KECIL

KISAH CINTA DI ATAS PERAHU KECIL

CINTA KITA TANPA BATAS JARAK

CINTA KITA TANPA BATAS JARAK

CINTA DI SUDUT PERPUSTAKAAN

CINTA DI SUDUT PERPUSTAKAAN

Top Stories

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

May 17, 2025
KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

May 16, 2025
KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

May 15, 2025

Tentang Kisah Cinta

Kami menyajikan kumpulan novel dan cerpen cinta yang menggambarkan berbagai sisi cinta, dari yang manis hingga yang pahit, dari yang bahagia hingga yang menyayat hati

Connect on Social

© 2024 Kisahcinta.id

No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta

© 2024 Kisahcinta.id