Daftar Isi
- Bab 1: Awal yang Tak Terduga
- Bab 2: Senyuman yang Menghantui
- Bab 3: Kedekatan yang Tak Direncanakan
- Bab 4: Ketika Hati Mulai Ragu
- Bab 5: Kenyataan yang Tak Bisa Dihindari
- Bab 6: Keputusan yang Menyakitkan
- Bab 7: Waktu yang Memisahkan
- Bab 8: Takdir Membawa Kembali
- Bab 9: Di Antara Cinta dan Luka
- Bab 10: Setiap Detik untuk Kamu
Bab 1: Awal yang Tak Terduga
Pertemuan pertama yang tak terbayangkan antara dua tokoh utama. Bisa terjadi karena insiden kecil, momen kebetulan, atau bahkan kesalahpahaman yang mengubah hidup mereka.
Hujan turun deras sore itu. Awan gelap menggantung di atas kota, membuat suasana semakin sendu. Langit seakan menangisi sesuatu yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata.
Di sebuah kedai kopi kecil di sudut jalan, Aira duduk sambil memeluk cangkir cappuccino-nya yang masih mengepul hangat. Ia baru saja keluar dari kampus setelah presentasi yang melelahkan. Kepalanya penuh dengan berbagai tugas dan rencana masa depan yang terasa semakin kabur.
Di sisi lain, Rey berlari menerobos hujan tanpa payung. Jaketnya basah, rambutnya meneteskan air, dan sepatu putihnya berubah kecoklatan karena genangan. Sial, gumamnya dalam hati. Ia hanya ingin duduk sebentar dan menghangatkan diri.
Rey membuka pintu kedai dengan kasar, membuat suara lonceng kecil berdenting keras. Semua mata menoleh, termasuk Aira yang sempat mengernyit melihat pria yang baru saja masuk dengan keadaan berantakan.
Hanya ada satu meja kosong di dekat jendela. Rey langsung berjalan ke sana, tetapi sebelum ia sempat duduk, seorang barista berkata, “Maaf, meja ini sudah dipesan.”
Aira menghela napas, kemudian mengangkat wajahnya. Meja ini kosong sejak tadi, kenapa dibilang sudah dipesan? pikirnya. Namun, ketika ia melihat mata Rey yang menatap kosong ke arah barista, seolah pasrah pada keadaan, ia tiba-tiba merasa kasihan.
“Kamu bisa duduk di sini kalau mau,” kata Aira tanpa sadar.
Rey menoleh dengan ekspresi terkejut. “Serius?” tanyanya.
Aira mengangguk sambil kembali menyeruput kopinya. “Daripada berdiri di sana sambil menatap meja kosong, kan?”
Tanpa berpikir panjang, Rey menarik kursi dan duduk di hadapan Aira. Ia melepas jaketnya dan mengibaskan rambutnya yang basah, membuat beberapa tetesan air hampir mengenai buku catatan Aira.
“Hey!” Aira spontan menarik bukunya menjauh.
Rey tersenyum kecil. “Maaf, refleks.”
Kedai kopi itu dipenuhi suara hujan yang mengguyur kaca jendela, aroma kopi yang menguar di udara, dan dua orang asing yang tanpa mereka sadari baru saja membuka lembaran awal dari kisah yang tak terduga.
Aira menatap Rey yang kini sibuk mengeringkan tangannya dengan tisu. Ia tak tahu bahwa laki-laki di hadapannya ini akan menjadi bagian penting dalam hidupnya.
Dan Rey, yang hanya ingin berteduh sebentar, tidak pernah membayangkan bahwa pertemuan ini akan mengubah setiap detik kehidupannya ke depan.
Bab 2: Senyuman yang Menghantui
Salah satu tokoh mulai merasa ada sesuatu yang berbeda dari pertemuan pertama. Entah rasa penasaran, kekaguman, atau justru kebencian yang diam-diam tumbuh menjadi sesuatu yang lebih dalam.
Sejak pertemuan tak terduga di kedai kopi sore itu, ada satu hal yang terus terbayang dalam pikiran Aira: senyum Rey.
Bukan senyum yang lebar atau terlalu mencolok, tapi ada sesuatu dalam caranya melengkungkan bibir yang terasa… berbeda. Sebuah senyum yang samar, tapi cukup untuk membuatnya teringat setiap kali ia menatap kosong ke buku catatannya.
“Aira, kamu kenapa senyum-senyum sendiri?” suara Lala, sahabatnya, menyadarkan Aira dari lamunannya.
Aira tersentak, menutup bukunya dengan cepat. “Hah? Enggak, kok. Aku cuma… inget sesuatu,” jawabnya gugup.
Lala menyipitkan mata. “Bukan inget sesuatu, tapi seseorang, kan?” godanya.
Aira menggeleng cepat, mencoba menyembunyikan rona merah di pipinya. Tapi semakin ia berusaha melupakan, semakin bayangan Rey muncul di benaknya.
Sementara itu, di tempat lain, Rey duduk di bangku taman kampus dengan sebotol air mineral di tangannya. Ia memandangi layar ponselnya, ada satu nama yang ingin ia cari di media sosial, tapi ia ragu.
“Aira… siapa, ya, nama lengkapnya?” gumamnya.
Lucu. Baru sekali bertemu, tapi wajah gadis itu—dengan tatapan tajam dan ekspresi sebalnya ketika ia mengibaskan rambut basah—masih melekat dalam pikirannya.
Rey menarik napas, lalu tersenyum kecil. “Ah, sudahlah. Kalau memang harus bertemu lagi, pasti semesta akan mengatur caranya.”
Tapi ia salah. Semesta ternyata lebih iseng dari yang ia duga.
Keesokan harinya, di kampus, Rey berjalan dengan santai menuju kelasnya. Baru saja ia melangkah ke koridor, seseorang berlari dari arah berlawanan dengan tergesa-gesa.
Bruk!
Tumpukan buku berserakan di lantai. Rey mundur selangkah, menatap orang yang menabraknya. Dan saat tatapan mereka bertemu, seolah waktu berhenti sesaat.
Aira.
“Kamu?” ucap mereka hampir bersamaan.
Rey mengerjap, lalu perlahan tersenyum. Senyum yang sama seperti di kedai kopi. Senyum yang kini menghantui Aira setiap malam.
Sementara Aira, yang biasanya bisa bicara dengan lantang, kali ini hanya bisa terdiam.
Hatinya berdetak lebih cepat.
Dan ia tahu, kali ini bukan hanya tentang kebetulan.
Bab 3: Kedekatan yang Tak Direncanakan
Hubungan mereka mulai berkembang, dari sekadar kenalan menjadi teman. Momen-momen kecil bersama yang tanpa sadar menumbuhkan perasaan lebih dari sekadar persahabatan.
Sejak insiden di koridor kampus itu, Aira dan Rey mulai sering bertemu. Bukan karena sengaja, tapi karena semesta tampaknya memang punya cara unik mempertemukan mereka berdua.
Hari itu, Aira duduk di sudut perpustakaan, mencoba fokus membaca jurnal penelitian. Tapi pikirannya terusik oleh seseorang yang duduk di depannya, menatap layar laptop dengan serius.
Rey.
Bukan sekali dua kali mereka bertemu secara kebetulan. Minggu lalu di kantin. Kemarin di taman kampus. Dan sekarang? Di perpustakaan.
“Aku nggak stalking kamu, sumpah,” Rey tiba-tiba berbisik, seakan bisa membaca pikiran Aira.
Aira mendengus pelan. “Siapa juga yang nuduh kamu stalking?”
Rey terkekeh. “Ekspresi kamu tuh kayak orang curiga banget.”
Aira membuang napas, berusaha kembali fokus pada jurnalnya. Tapi tetap saja, ia tidak bisa mengabaikan kehadiran Rey yang duduk tak jauh darinya.
Saat suasana mulai hening, tiba-tiba Rey berdeham pelan. “Boleh pinjam bolpoin? Punyaku habis tintanya.”
Aira mendelik, lalu mengulurkan bolpoinnya tanpa bicara. Namun, saat jari mereka bersentuhan sekilas, ada sesuatu yang aneh. Detik itu, Aira merasa ada getaran kecil yang tak bisa dijelaskan.
Rey, di sisi lain, hanya tersenyum tipis. “Thanks. Jangan khawatir, nanti aku balikin.”
Sejak hari itu, kedekatan mereka mulai terasa berbeda.
~
Minggu berikutnya, di sebuah acara kampus, Aira dan Rey lagi-lagi bertemu. Bedanya, kali ini mereka benar-benar harus bekerja sama.
Aira ditunjuk sebagai koordinator acara, sedangkan Rey bertugas di bagian publikasi. Mereka dipasangkan dalam satu tim yang sama, dan mau tak mau, mereka harus sering berdiskusi.
Di sela-sela rapat, Rey melirik Aira yang sibuk mencatat sesuatu di buku kecilnya.
“Kamu selalu seserius ini kalau kerja?” tanyanya tiba-tiba.
Aira menoleh sekilas, lalu menghela napas. “Tentu. Beda sama kamu yang santai kayak di pantai.”
Rey tertawa. “Bukan santai, tapi menikmati proses.”
Aira mengerutkan kening. “Hah?”
Rey menatapnya sekilas sebelum menjawab. “Kita nggak bisa terus-menerus ngerjain sesuatu dengan tegang, Aira. Kadang, menikmati setiap detik itu juga penting.”
Aira terdiam. Untuk pertama kalinya, ia merasa tersentuh oleh kata-kata Rey.
Mungkin… Rey ada benarnya.
Dan tanpa Aira sadari, sejak saat itu, ia mulai melihat Rey dengan cara yang berbeda.
Kedekatan mereka bukan sesuatu yang direncanakan. Tapi semakin mereka menghabiskan waktu bersama, semakin sulit bagi Aira untuk mengabaikan perasaan yang mulai tumbuh di hatinya.
Bab 4: Ketika Hati Mulai Ragu
Ada keraguan yang muncul, entah karena masa lalu yang belum selesai, perbedaan yang terlalu besar, atau ketakutan untuk jatuh cinta. Salah satu dari mereka mulai menjaga jarak.
Aira mulai merasa ada yang berubah.
Bukan dari Rey, tapi dari dirinya sendiri.
Setiap kali mereka bertemu, ada sesuatu dalam hatinya yang terasa berbeda. Perasaan yang sulit ia jelaskan. Jantungnya berdetak lebih cepat, dan ia mulai memperhatikan hal-hal kecil tentang Rey—cara dia tertawa, caranya menyelipkan tangan di saku jaketnya, atau bahkan caranya menatap Aira dengan sorot mata yang tak bisa ditebak.
Tapi… apakah ini perasaan yang nyata? Atau hanya sesaat?
Aira tidak tahu.
Dan justru itulah yang membuatnya ragu.
“Aira, fokus dong!” suara Rena, sahabatnya, membuyarkan lamunannya.
Aira mengerjap, menyadari bahwa ia telah menatap layar laptopnya selama lima menit tanpa benar-benar membaca satu kata pun.
“Maaf, aku cuma lagi kepikiran sesuatu.”
Rena menaikkan alisnya. “Atau… seseorang?” tanyanya menggoda.
Aira langsung menggeleng. “Nggak mungkin. Aku nggak kepikiran siapa-siapa.”
Rena tertawa. “Ya ampun, Aira. Aku sahabat kamu. Aku tahu kalau kamu lagi nyembunyiin sesuatu.”
Aira terdiam sejenak sebelum akhirnya mengakui. “Aku cuma… lagi bingung. Aku sama Rey belakangan ini jadi sering bareng, dan aku mulai merasa aneh. Kayak… ada sesuatu yang berubah.”
Rena menatapnya lekat-lekat. “Dan itu masalahnya?”
“Aku nggak tahu ini apa. Aku takut ini cuma perasaan sesaat. Takut kalau aku terlalu berharap.”
Rena tersenyum tipis. “Aira, kalau kamu terus-terusan ragu, kamu nggak akan pernah tahu apa yang sebenarnya kamu rasain. Kadang, kita cuma perlu jujur sama diri sendiri.”
Aira menghela napas panjang.
Jujur?
Seandainya itu semudah kedengarannya.
Malamnya, Aira menatap layar ponselnya. Di sana, ada satu pesan dari Rey.
Rey: Kamu sibuk besok? Ada sesuatu yang pengin aku omongin.
Jantungnya berdebar.
Apakah ini pertanda sesuatu? Atau justru akan membuat segalanya semakin rumit?
Untuk pertama kalinya, Aira benar-benar merasa ragu.
Mau lanjut ke Bab 5? 🤔🔥
Bab 5: Kenyataan yang Tak Bisa Dihindari
Rahasia atau konflik mulai terungkap. Bisa jadi ada pihak ketiga, masalah keluarga, atau perasaan yang terlalu sulit untuk diungkapkan.
Aira duduk diam di kafe tempat ia dan Rey biasa bertemu. Tangannya menggenggam gelas kopi yang sudah mulai dingin, tapi pikirannya jauh lebih kacau dibanding suhu minumannya.
Rey belum datang.
Pesan yang dikirimnya kemarin masih ada di layar ponsel Aira:
Rey: Kamu sibuk besok? Ada sesuatu yang pengin aku omongin.
Dan sekarang, Aira duduk di sini, menunggu sesuatu yang bahkan ia sendiri tak yakin siap untuk mendengarnya.
Apa yang ingin Rey katakan?
Apakah ini tentang mereka? Apakah selama ini Rey juga merasakan hal yang sama? Atau… ini sesuatu yang lain? Sesuatu yang mungkin lebih menyakitkan?
Suara lonceng pintu kafe berdenting.
Aira mengangkat kepalanya.
Rey masuk, mengenakan jaket hitam dan celana jeans favoritnya. Ekspresinya datar, tapi ada sesuatu di matanya yang terasa berbeda—sesuatu yang membuat dada Aira tiba-tiba terasa sesak.
“Maaf telat.” Rey duduk di depannya.
Aira menggeleng. “Gak apa-apa.”
Beberapa detik berlalu dalam keheningan. Hanya suara musik latar kafe yang mengisi suasana di antara mereka.
Lalu Rey menarik napas panjang. “Aku harus jujur sama kamu.”
Aira merasakan jantungnya berdetak lebih cepat. “Oke… tentang apa?”
Rey menatap lurus ke matanya. “Aku akan pergi.”
Aira terdiam. “Maksudnya?”
“Aku dapat tawaran kerja di luar kota. Dalam waktu dekat, aku harus pindah.”
Kata-kata itu terasa seperti palu godam yang menghantam dadanya.
Aira berusaha tersenyum, tapi rasanya wajahnya terlalu kaku. “Oh… itu kabar bagus.”
“Bukan buat aku.”
Aira mengerutkan kening. “Kenapa?”
Rey menunduk, menggenggam gelas kopinya. “Karena aku gak mau ninggalin kamu.”
Aira merasa dunianya berhenti berputar.
Ini pertama kalinya Rey mengungkapkan sesuatu yang terasa begitu… nyata.
Tapi nyatanya, seberapa pun mereka peduli satu sama lain, kenyataan tetap tak bisa dihindari.
Aira tahu, ini adalah titik di mana mereka harus memutuskan. Apakah ini akan berakhir di sini? Atau mereka akan mencoba melawan kenyataan yang sudah ada?
Dan yang lebih penting, apakah Aira benar-benar siap menghadapi jawabannya?
Bab 6: Keputusan yang Menyakitkan
Salah satu tokoh mengambil keputusan yang sulit—mungkin memilih pergi, menjauh, atau berpura-pura tidak peduli lagi demi kebaikan bersama.
Aira menatap layar ponselnya yang masih terbuka di chat terakhir dengan Rey. Pesannya sudah dibaca, tapi tak ada balasan.
Hari ini seharusnya mereka bertemu lagi, tapi Aira tidak tahu apakah ia siap.
Rey akan pergi. Itu fakta yang tak bisa diubah.
Yang tersisa sekarang hanyalah keputusan—apakah mereka akan tetap bersama dan mencoba melawan jarak, atau membiarkan segalanya berakhir sebelum terlalu terlambat?
Dan yang paling menyakitkan adalah, Aira tahu jawabannya mungkin bukan yang ingin ia dengar.
“Aira.”
Suara Rey membuyarkan lamunannya. Aira menoleh dan melihatnya berdiri di depan, wajahnya tampak lelah, namun tetap dengan senyuman yang selama ini selalu membuatnya merasa nyaman.
Tanpa banyak kata, Rey duduk di kursi di depannya.
“Aku gak mau perpisahan ini jadi menyakitkan,” kata Rey akhirnya, suaranya terdengar berat.
Aira menatapnya. “Lalu bagaimana?”
“Kita harus realistis.”
Kalimat itu membuat napas Aira tercekat. Ia menunggu Rey melanjutkan, meskipun dalam hatinya ia sudah tahu kemana arah pembicaraan ini.
“Hubungan jarak jauh… aku gak yakin kita bisa. Aku gak mau kita berakhir saling menyakiti karena jarak dan waktu yang memisahkan.”
Aira menggigit bibirnya, mencoba mengendalikan emosinya. “Jadi, maksudmu… kita harus berhenti di sini?”
Rey menunduk, lalu mengangguk pelan. “Aku gak mau kehilangan kamu, tapi aku juga gak mau kamu terjebak dalam sesuatu yang mungkin malah bikin kita lebih sakit nantinya.”
Aira ingin marah, ingin mengatakan bahwa mereka bisa mencoba, bahwa cinta mereka seharusnya cukup kuat untuk mengalahkan segalanya.
Tapi di lubuk hatinya, ia tahu Rey benar.
Dan mungkin inilah saatnya mereka membuat keputusan yang paling menyakitkan.
“Jadi ini perpisahan?”
Rey menatapnya, ragu sejenak sebelum akhirnya berkata, “Ini bukan perpisahan… ini hanya kita membiarkan waktu menentukan segalanya.”
Aira mengangguk pelan, meskipun air matanya mulai menggenang. Ia tidak ingin menangis di depan Rey. Tidak saat ini.
Ia ingin mengingatnya seperti ini—dengan tatapan yang masih penuh dengan perasaan, meskipun mereka tahu ini adalah akhir dari sesuatu yang indah.
“Baiklah, Rey,” ucapnya lirih. “Kalau ini yang terbaik, aku akan menerima.”
Rey tersenyum kecil, lalu meraih tangannya untuk terakhir kalinya. “Terima kasih untuk setiap detik yang kamu berikan untukku, Aira.”
Dan saat Rey melepaskan genggamannya, Aira tahu…
Tidak semua kisah harus memiliki akhir yang bahagia.
Bab 7: Waktu yang Memisahkan
Mereka menjalani kehidupan masing-masing, mencoba melupakan, namun setiap detik selalu mengingat satu sama lain. Ada momen-momen kilas balik yang membuat mereka bertanya: apakah ini benar-benar akhir?
Waktu berlalu lebih cepat dari yang Aira kira.
Hari-hari yang dulu selalu diisi dengan pesan singkat dari Rey, tawa di sela-sela kesibukan, dan obrolan panjang tanpa akhir, kini hanya menyisakan keheningan.
Rey telah pergi.
Bukan hanya dari kota ini, tapi juga dari hidup Aira—setidaknya, itulah yang ia rasakan.
Mereka memang tidak berpisah dengan pertengkaran. Tidak ada kata-kata kasar, tidak ada tangisan berlebihan. Hanya keheningan yang perlahan berubah menjadi jarak.
Dan sekarang, yang tersisa hanyalah Aira… dan kenangan yang terus menghantuinya.
“Kamu gak bisa terus kayak gini, Air.”
Aira mengangkat kepalanya, menatap sahabatnya, Nadya, yang menatapnya dengan tatapan khawatir.
“Kayak gimana?” tanya Aira, meskipun ia tahu apa yang dimaksud Nadya.
“Kamu terus hidup di masa lalu. Aku tahu kamu masih berharap Rey bakal kembali, tapi kamu juga harus sadar, waktu gak bisa kita ulang lagi.”
Aira terdiam.
Nadya tidak salah. Setiap hari Aira berusaha menjalani hidupnya seperti biasa—kuliah, kerja part-time, nongkrong dengan teman-temannya. Tapi di dalam dirinya, ada bagian yang masih bertahan di masa lalu.
Bagian yang masih berharap bahwa mungkin, suatu hari nanti, Rey akan kembali.
Malam itu, Aira duduk di balkon kamarnya, menatap langit yang penuh bintang.
Di sudut pikirannya, ia bertanya-tanya…
Apakah Rey juga sedang memikirkannya?
Atau… apakah Rey sudah melangkah maju, meninggalkan semuanya?
Tiba-tiba, ponselnya bergetar.
Sebuah pesan masuk.
Rey: Apa kabar, Air?
Jantung Aira berdegup kencang.
Setelah sekian lama, akhirnya pesan itu datang.
Tapi pertanyaannya… apakah ia siap untuk membalasnya?
Bab 8: Takdir Membawa Kembali
Pertemuan yang tidak terduga kembali terjadi. Rasa yang dulu terkubur perlahan muncul lagi. Namun, masih ada ego dan ketakutan yang menghalangi.
Aira menatap layar ponselnya cukup lama.
Pesan dari Rey masih terbuka.
“Apa kabar, Air?”
Begitu sederhana, tapi mengaduk-aduk perasaannya yang sudah berusaha ia kubur selama berbulan-bulan.
Haruskah ia membalas? Atau pura-pura tak pernah menerima pesan ini?
Tangannya gemetar saat akhirnya ia mulai mengetik.
Aira: Baik. Kamu gimana?
Pesan terkirim.
Dan dalam hitungan detik, balasannya masuk.
Rey: Aku di kota sekarang.
Jantung Aira berdegup lebih kencang.
Malam itu, mereka bertemu di sebuah kafe kecil yang dulu sering mereka datangi.
Aira datang lebih dulu. Ia duduk di meja dekat jendela, tempat favorit mereka.
Pintu kafe terbuka, dan di sanalah Rey berdiri.
Sama seperti yang ia ingat.
Namun ada sesuatu yang berbeda.
Matanya. Cara ia tersenyum.
Seolah ada sesuatu yang ingin ia katakan, tapi belum menemukan waktu yang tepat.
“Hai.”
Suara itu masih sama.
“Hai,” balas Aira, mencoba tersenyum.
Rey duduk di depannya, lalu menghela napas panjang. “Aku gak nyangka kita akan ketemu lagi.”
“Aku juga,” Aira mengangguk pelan.
Hening.
Aira tidak tahu harus berkata apa. Ada terlalu banyak yang ingin ia tanyakan, tapi juga terlalu banyak yang ia takut dengar jawabannya.
“Aku balik ke sini untuk waktu yang cukup lama,” Rey akhirnya membuka suara. “Ada beberapa hal yang harus aku urus.”
Aira mengangguk. “Senang mendengarnya.”
“Kamu…” Rey ragu sejenak. “Apa kamu baik-baik aja, Air?”
Aira tersenyum kecil. “Aku berusaha.”
Rey menatapnya, seolah mencari kebenaran dalam kata-katanya.
“Aku juga.”
Malam itu, mereka berbicara lebih lama dari yang mereka kira.
Tentang bagaimana hidup setelah perpisahan, tentang impian yang sempat tertunda.
Dan di antara obrolan itu, Aira menyadari satu hal…
Mungkin, takdir memang tidak pernah benar-benar memisahkan mereka.
Mungkin, ini adalah kesempatan kedua yang selama ini ia tunggu.
Tapi pertanyaannya… apakah ia siap untuk kembali membuka hatinya?
Bab 9: Di Antara Cinta dan Luka
Mereka harus menghadapi perasaan mereka dengan jujur. Apakah luka masa lalu bisa disembuhkan? Apakah cinta mereka cukup kuat untuk bertahan?
Aira menatap bayangannya di cermin. Matanya sedikit sembab, bekas tangis yang ia tahan semalaman.
Pertemuannya dengan Rey semalam seharusnya membuatnya bahagia. Tapi justru sebaliknya.
Karena di antara tawa dan nostalgia yang mereka bagi, ada satu pertanyaan yang terus menghantuinya…
Apakah ia siap untuk terluka lagi?
Hari itu, Aira memilih untuk menghindari Rey.
Ia sibuk di kafe tempatnya bekerja, melayani pelanggan tanpa henti.
Namun, sekeras apa pun ia mencoba lari, kenyataan selalu menemukan jalannya.
Pintu kafe terbuka, dan seseorang masuk.
Rey.
Aira berpura-pura tidak melihatnya, tapi lelaki itu sudah berjalan ke arahnya.
“Bisa kita bicara?” tanyanya dengan suara pelan.
Aira terdiam. Ia bisa saja mengatakan tidak. Tapi… hatinya berkata lain.
Mereka duduk di sudut kafe.
“Kenapa kamu menghindar?” Rey bertanya tanpa basa-basi.
“Aku gak menghindar.”
“Aira.” Rey menatapnya dalam. “Aku tahu kamu terlalu baik untuk berbohong.”
Aira menunduk, mengaduk-aduk cangkir kopinya yang sudah dingin.
“Aku cuma…” Ia menarik napas panjang. “Aku takut, Rey.”
“Takut apa?”
“Takut semuanya berulang lagi.”
Rey terdiam. Ia tahu apa yang Aira maksud.
Mereka punya sejarah yang tidak mudah. Luka yang tidak sembuh begitu saja.
“Aku gak bisa janji kalau aku gak akan pernah nyakitin kamu lagi,” suara Rey terdengar berat. “Tapi yang bisa aku janjiin, aku akan selalu berusaha memperjuangkan kamu.”
Aira mengangkat wajahnya, matanya mulai berembun.
“Aku gak tahu apakah aku bisa percaya lagi, Rey.”
Rey tersenyum tipis, lalu meraih tangannya dengan lembut.
“Aku gak akan minta kamu percaya sekarang.”
“Tapi aku akan tunjukkan kalau aku layak untuk mendapatkan kesempatan itu.”
Hati Aira bergetar.
Di antara luka yang belum sepenuhnya sembuh dan cinta yang masih berusaha ia pahami, ia dihadapkan pada satu pilihan.
Melepaskan… atau mencoba lagi.
Dan kali ini, ia tidak tahu mana yang lebih menakutkan.
Bab 10: Setiap Detik untuk Kamu
Akhir dari perjalanan mereka. Entah itu berujung bahagia atau tidak, yang pasti setiap detik yang mereka lalui selalu untuk satu sama lain.
Malam itu, Aira berdiri di balkon apartemennya, menatap langit yang penuh bintang.
Dulu, dia dan Rey sering menghabiskan waktu dengan menatap langit seperti ini. Berbicara tentang impian, tentang masa depan yang mereka bayangkan bersama.
Tapi sekarang, segalanya berbeda.
Aira menggenggam ponselnya erat. Chat dari Rey masih terbuka di layar.
“Aku tunggu kamu di tempat biasa. Kalau kamu masih percaya aku.”
Hatinya berdebar. Ini bukan hanya sekadar pertemuan biasa. Ini adalah keputusan.
Apakah ia siap untuk memberikan kesempatan kedua?
Aira melangkah masuk ke kafe kecil di sudut kota. Tempat yang dulu penuh dengan kenangan mereka.
Rey sudah di sana, duduk di meja dekat jendela, menatapnya dengan senyum yang selalu membuatnya lemah.
Saat Aira duduk, keduanya terdiam sejenak.
“Aku gak tahu harus mulai dari mana,” Rey menghela napas, “Tapi aku cuma mau bilang satu hal: Aku masih ingin setiap detik dalam hidupku diisi dengan kamu.”
Aira menelan ludah.
“Rey…”
“Aku tahu aku bukan orang yang sempurna, dan aku tahu aku pernah mengecewakanmu,” lanjutnya. “Tapi kalau kamu masih punya sedikit ruang untuk aku… Aku ingin memperbaiki semuanya. Aku ingin kita coba lagi.”
Aira terdiam, menatap kopi di depannya.
Lalu, ia mengangkat wajahnya dan tersenyum tipis.
“Kamu tahu, Rey? Aku selalu bilang aku takut terluka lagi.”
Rey menegang.
“Tapi setelah aku pikir-pikir, lebih menakutkan lagi kalau aku harus menjalani hidup tanpamu.”
Mata Rey membulat, seakan tidak percaya dengan apa yang ia dengar.
Aira menghela napas panjang, lalu meraih tangan Rey di atas meja.
“Aku gak mau lagi kehilangan setiap detik bersamamu.”
Rey tersenyum. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia merasa utuh kembali.
Dan di malam itu, di kafe kecil yang menjadi saksi banyak cerita mereka…
Mereka memutuskan untuk memulai kembali.
Karena cinta yang nyata… tidak diukur dari seberapa sering seseorang terluka, tetapi seberapa kuat mereka memilih untuk tetap bertahan.
Aira dan Rey memilih untuk bertahan.***
TAMAT. ❤️✨
—— THE END ——