Daftar Isi
Bab 1 Perpisahan Tak Terduga
Pagi itu, angin laut berhembus lembut, menyapu wajah Alya yang duduk termenung di pinggir jendela kamarnya. Ia menatap pantai yang terbentang luas di depan rumah kayu yang sederhana. Sejak kecil, pantai itu adalah tempat favoritnya untuk melarikan diri dari hiruk-pikuk kehidupan. Ia merasakan ketenangan setiap kali melihat gelombang yang datang dan pergi, seolah memberi tahu bahwa hidup ini pun sama datang dan pergi, silih berganti tanpa bisa dihindari.
Namun, hari itu, suasana di hatinya jauh berbeda. Di luar, langit cerah tanpa awan, namun di dalam dirinya ada sebuah badai yang tak terduga. Pagi yang indah ini justru membawa kabar yang mengubah hidupnya. Sesuatu yang sudah lama ia tak duga akan datang begitu cepat, namun kini kenyataan itu menghampirinya dengan tiba-tiba.
“Alya, ada yang ingin aku bicarakan,” suara Raka terdengar lewat telepon, menggetarkan hati Alya yang tengah memandangi laut dari jendela. Nada suara Raka terdengar berbeda, seolah ada beban berat yang tak bisa disembunyikan. Alya yang biasanya bisa membaca ekspresi Raka melalui percakapan mereka, kini merasa kebingungan. Ada ketegangan yang aneh.
Apa yang terjadi? Alya bertanya dalam hati.
“Kenapa, Rak?” tanya Alya dengan suara yang mencoba terdengar tenang, meskipun hatinya sudah mulai gelisah.
“Alya… Aku mendapat tawaran pekerjaan di luar negeri,” jawab Raka, akhirnya membuka percakapan yang telah ditunggu-tunggu. Suaranya terdengar lebih berat, penuh perasaan. “Pekerjaan yang benar-benar aku impikan sejak dulu. Aku… aku harus pergi.”
Perkataan itu seperti petir yang menyambar di tengah hari cerah. Alya terdiam, tidak tahu harus berkata apa. Rasa kaget itu begitu mendalam, dan ia merasa seolah seluruh dunia mendadak berputar terlalu cepat di sekelilingnya. Rasanya, baru kemarin mereka berbicara tentang masa depan, tentang segala impian yang mereka rajut bersama. Dan sekarang, semua itu seperti terkoyak begitu saja oleh sebuah keputusan yang begitu mendalam.
“Jadi, kamu… benar-benar akan pergi?” suara Alya serak, berusaha menahan air mata yang sudah mulai menggenang di matanya.
“Ya, Alya. Aku harus pergi, ini kesempatan yang sulit untuk dilewatkan. Tapi ini bukan berarti aku ingin meninggalkanmu… Aku hanya… aku hanya perlu waktu untuk memikirkan langkah berikutnya,” kata Raka dengan hati-hati, namun kata-katanya tetap membawa kepedihan yang mendalam.
Alya menarik napas panjang, mencoba mencerna semuanya. Mereka baru saja menghabiskan waktu bersama beberapa bulan yang lalu, menghabiskan waktu yang indah penuh tawa dan rencana masa depan. Tak ada yang mengira bahwa perpisahan ini akan datang begitu cepat, begitu tiba-tiba.
“Tapi, Rak,” Alya berbicara dengan suara bergetar, “kita baru saja merencanakan semuanya. Kita baru saja mulai benar-benar merasa nyaman satu sama lain. Bagaimana dengan semua hal yang kita bicarakan? Semua impian kita?”
“Alya, aku tahu ini sulit,” jawab Raka dengan suara pelan, seolah ia sendiri tidak yakin bagaimana menjelaskannya. “Aku juga merasa sulit, tapi ini adalah kesempatan yang mungkin tidak akan datang lagi. Aku harus memilih antara pekerjaan ini atau terus tinggal di sini. Aku butuh waktu, aku perlu berpikir tentang masa depan kita.”
Keheningan pun melingkupi keduanya. Alya menatap pemandangan di luar jendela, tak lagi mampu menikmati keindahan yang biasanya ia rasakan. Semua terasa kabur, seolah ada kabut yang menutupi penglihatannya. Dalam hati, ia bertanya-tanya, apakah ini adalah ujian pertama dalam hubungan mereka? Seharusnya, mereka berdua sudah siap menghadapi segala tantangan, tetapi mengapa kenyataan itu datang begitu cepat, dan begitu sulit untuk diterima?
“Alya?” Raka memanggil namanya pelan, seperti ingin memastikan bahwa Alya masih ada di ujung telepon.
Alya mengusap wajahnya, menahan air mata yang hampir jatuh. “Aku di sini, Rak. Tapi… aku tidak tahu harus berkata apa. Semua ini… tiba-tiba.”
“Aku tahu. Aku juga bingung, Alya. Aku tidak ingin ini menghancurkan apa yang sudah kita bangun. Tapi… kita harus bisa menjalani hubungan ini, meskipun jarak memisahkan kita. Aku janji, aku tidak akan pergi tanpa alasan yang jelas.”
Alya menggigit bibirnya, berusaha menahan segala emosi yang datang begitu mendalam. Raka adalah seseorang yang sudah dia kenal cukup lama—selama berbulan-bulan mereka berbicara lewat pesan dan video call, mereka membangun sebuah hubungan yang kuat. Mereka saling mendukung, berbagi impian, dan merencanakan masa depan. Alya merasa bahwa hubungan mereka telah sampai pada titik di mana keduanya merasa aman dan nyaman satu sama lain. Namun, kenyataan yang datang begitu mendalam membuatnya mempertanyakan segalanya.
Tapi, di sisi lain, Alya tahu betul bahwa ini adalah kesempatan besar bagi Raka. Ini adalah pekerjaan yang ia impikan, dan Alya tidak bisa egois dengan memintanya untuk tinggal hanya demi dirinya. Cinta bukanlah tentang memaksa, melainkan tentang mendukung satu sama lain untuk berkembang, meski kadang itu berarti harus terpisah sementara.
“Jadi, apa yang harus kita lakukan sekarang?” tanya Alya dengan suara yang lebih tenang, meski hatinya masih terasa berat.
“Akulah yang harus memutuskan, Alya. Aku akan pergi, tapi aku tidak ingin kita putuskan semuanya begitu saja. Aku akan menulis surat untukmu, dan kita akan terus berkomunikasi, tidak peduli seberapa jauh jarak memisahkan kita. Aku janji, aku tidak akan hilang begitu saja,” jawab Raka, suaranya kini terdengar lebih mantap.
Alya menutup matanya, mencoba menahan air mata yang semakin sulit untuk ditahan. “Aku… aku tidak tahu bagaimana rasanya tanpa kamu di sini, Rak. Tapi aku juga tidak ingin menahanmu. Aku tahu ini adalah kesempatan besar bagimu.”
Ada kesedihan dalam setiap kata yang mereka ucapkan. Namun, meskipun hati mereka terluka, keduanya tahu bahwa perpisahan ini bukanlah akhir. Itu adalah sebuah titik awal untuk perjalanan yang lebih panjang. Sebuah perjalanan yang mereka tidak tahu bagaimana akan berakhir, tetapi mereka tahu mereka akan saling berjuang untuk tetap bersama, meskipun jarak menguji mereka.
Setelah beberapa saat yang terasa sunyi, mereka pun mengakhiri percakapan itu dengan janji. Janji untuk terus bertahan, meski dunia mereka mulai terpisah. “Aku akan menunggu suratmu, Rak,” kata Alya, suara tergetar.
“Alya, aku janji, kita akan melalui ini bersama. Aku akan menulis surat itu secepatnya,” jawab Raka, dan suara itu terdengar penuh harapan.
Alya mengakhiri panggilan itu dengan perasaan campur aduk kehilangan, rindu, dan harapan yang terpendam. Ia tahu bahwa perjalanan ini baru dimulai. Meskipun perpisahan datang tak terduga, mereka harus berjuang, memulai perjalanan cinta mereka dengan cara yang berbeda melalui surat-surat yang penuh perasaan.
Hari itu, Alya duduk sendiri di depan jendela, menatap langit yang masih biru. Ia tahu, perpisahan ini bukanlah akhir, melainkan sebuah awal dari cerita baru yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Sebuah cerita yang akan ditulis dalam setiap sepucuk surat yang akan datang.*
Bab 2 Surat Pertama
Alya duduk di meja kerjanya, menatap layar komputer yang kosong. Di sekelilingnya, suasana pantai yang biasanya menenangkan kini terasa sunyi dan berat. Pagi itu, angin laut yang semula menyegarkan terasa menambah kesunyian yang ada dalam hatinya. Raka sudah pergi—keputusan yang terpaksa diterima meskipun rasa tidak siap terus menyelubungi dirinya. Mereka baru saja berbicara lewat telepon, saling berjanji untuk bertahan, meski jarak kini memisahkan mereka. Setelah percakapan itu, Alya hanya bisa duduk termenung, menunggu sesuatu yang tak bisa ia pastikan.
Ponselnya bergetar, dan sebuah notifikasi muncul di layar.
“Surat pertama untukmu, Alya.”
Jantung Alya berdetak lebih cepat. Tidak ada kata-kata lain selain itu yang terpampang di layar ponselnya. Surat. Surat pertama dari Raka. Tanpa pikir panjang, ia membuka pesan itu dan mulai membaca.
“Alya,
Aku tidak tahu harus mulai dari mana. Mungkin aku harus mulai dengan mengatakan betapa berat hatiku meninggalkanmu. Perpisahan ini datang lebih cepat dari yang kubayangkan, dan aku tidak bisa menahan diri untuk merasa sangat kosong. Sejak kita pertama kali bertemu, rasanya hidupku penuh dengan kebahagiaan baru. Kita berbicara tentang segala hal, tentang masa depan, tentang hal-hal kecil yang membuat kita tertawa, dan kita memimpikan dunia yang lebih baik bersama. Namun, hidup membawa kita ke jalan yang berbeda, dan aku harus pergi.
Aku ingin kamu tahu bahwa keputusan ini tidak mudah, tetapi ini adalah langkah yang harus aku ambil. Aku yakin kamu mengerti, meskipun aku tahu ini sulit. Aku akan selalu berusaha untuk tidak membuat jarak ini terasa lebih jauh dari yang sudah ada.
Aku ingin menulis surat ini, bukan hanya untuk memberitahumu bahwa aku sudah pergi, tetapi untuk menyampaikan sesuatu yang lebih penting. Aku ingin kamu tahu bahwa meskipun kita terpisah oleh jarak, perasaanku untukmu tidak akan berubah. Bahkan, mungkin perasaan itu semakin kuat karena kita harus menghadapinya dengan cara yang berbeda.
Alya, aku berjanji aku akan selalu ada untukmu, meski aku jauh. Aku mungkin tidak bisa berada di sisimu, tetapi aku akan mengirimkan surat-surat ini, kata-kata yang akan menghubungkan kita di setiap detik yang kita lalui terpisah.
Aku berharap kamu bisa merasakan hal yang sama. Aku berharap kita bisa terus tumbuh, meskipun dengan cara yang berbeda. Aku tahu ini bukan akhir dari segalanya, karena cinta kita akan menemukan cara untuk tetap hidup meskipun kita jauh.
Aku akan menulis lagi, dan aku ingin tahu bagaimana kabarmu. Jangan biarkan jarak ini membuat kita lupa pada kenangan indah yang sudah kita buat. Aku menunggu jawabanmu dengan hati yang penuh harapan.
Dengan penuh cinta,
Raka”
Alya menutup ponselnya dan duduk kembali di kursinya, merenung. Surat itu terasa seperti sebuah pelukan yang datang dari jauh. Kata-kata Raka mengalir begitu lancar, penuh dengan perasaan yang mendalam. Alya bisa merasakan betapa tulusnya Raka mengungkapkan isi hatinya. Dia tahu, meskipun terpisah oleh ribuan kilometer, cinta mereka tetap hidup.
Namun, di balik kata-kata manis itu, ada sebuah rasa takut yang tak bisa ia sembunyikan. Apakah ia bisa benar-benar menjalani hubungan ini dengan hanya mengandalkan kata-kata tertulis? Apakah surat-surat ini akan cukup untuk menjaga cinta mereka tetap hidup? Atau apakah jarak ini akan membuat mereka terpisah lebih jauh lagi, perlahan namun pasti?
Alya memikirkan kata-kata Raka yang terakhir: “Aku berharap kita bisa terus tumbuh, meskipun dengan cara yang berbeda.” Ia ingin percaya pada itu, tetapi rasa ragu datang begitu saja. Tumbuh, apakah itu berarti mereka harus berubah karena jarak? Atau justru mereka akan semakin dekat karena saling mendukung meski tidak bisa bertemu setiap hari?
Tetesan air mata perlahan jatuh di pipinya. Alya mengusapnya, berusaha mengendalikan perasaan yang bercampur aduk. Setiap kata dalam surat itu terasa seperti sebuah janji, janji yang akan membuat mereka tetap bersama meskipun segala rintangan ada di hadapan mereka. Namun, perasaan takut kehilangan selalu ada, bersembunyi di balik kata-kata manis itu.
Alya menarik napas dalam-dalam, lalu membuka aplikasi pesan di ponselnya. Ia hendak menulis balasan. Ia ingin menulis, ingin menjawab surat pertama itu, namun kata-kata yang keluar terasa begitu sulit. Bagaimana ia bisa merespons dengan baik? Bagaimana ia bisa menjelaskan apa yang ada di hatinya tanpa membuat Raka merasa cemas atau bersalah karena pergi?
Alya menulis beberapa kalimat, lalu menghapusnya. Ia merasa tak ada kata-kata yang cukup untuk menggambarkan perasaannya saat ini. Rindu, cemas, harapan, semuanya bercampur menjadi satu. Tapi, akhirnya, ia tahu bahwa ia harus menulis—untuk Raka, untuk dirinya, untuk mereka berdua.
“Raka,
Suratmu datang seperti angin yang menenangkan hati yang gelisah. Aku tahu ini tidak mudah bagimu, dan aku tidak bisa bayangkan bagaimana beratnya keputusan yang kamu ambil untuk pergi. Tapi aku ingin kamu tahu bahwa aku mengerti, dan aku menghargai setiap kata yang kamu tulis untukku.
Aku tidak bisa berkata banyak, karena rasanya semua kata yang ada di pikiranku terlalu kecil untuk menggambarkan betapa aku merindukanmu. Kita baru saja mulai merasakan kenyamanan ini, kita baru saja merencanakan banyak hal, dan sekarang kita harus menghadapi kenyataan ini. Jarak yang memisahkan kita terasa begitu nyata, namun aku tahu ini bukan akhir dari segalanya. Aku akan tetap menunggu surat-suratmu. Aku akan tetap menanti setiap kata yang kamu kirimkan.
Aku ingin kita tetap seperti ini, meskipun jauh. Aku ingin kita terus berbagi cerita, meskipun hanya lewat surat. Ini mungkin terasa aneh, tetapi aku percaya kita bisa melewati ini bersama. Aku percaya cinta kita cukup kuat untuk bertahan.
Aku menantikan suratmu selanjutnya.
Dengan penuh harapan,
Alya”
Alya menekan tombol kirim, dan kemudian meletakkan ponselnya di atas meja. Ia merasa sedikit lebih lega, seolah ada beban yang sedikit terangkat dari pundaknya. Mungkin, ini adalah langkah pertama untuk mereka, sebuah awal dari cerita cinta yang penuh dengan tantangan. Namun, Alya tahu, selama mereka tetap saling menulis, selama mereka terus berbagi perasaan melalui surat, cinta ini akan tetap hidup.
Sekarang, yang perlu ia lakukan hanyalah menunggu. Menunggu surat-surat berikutnya yang akan datang dari Raka, dan berharap bahwa mereka berdua akan mampu mengatasi segala rintangan yang akan datang.*
Bab 3 Mengisi Kekosongan dengan Kata-Kata
Hari-hari berlalu begitu cepat, namun setiap detiknya terasa penuh dengan keheningan yang mencekam. Alya merasa ada kekosongan yang sulit diisi sejak Raka pergi. Meskipun mereka terus berkomunikasi melalui pesan-pesan singkat dan surat yang saling mereka kirim, ada sesuatu yang hilang—sesuatu yang tak bisa tergantikan hanya dengan kata-kata.
Setiap pagi, Alya masih duduk di tempat yang sama, di dekat jendela kamarnya yang menghadap laut. Ia memandangi gelombang yang tak pernah berhenti bergerak, namun hatinya seperti terhenti pada satu titik. Kadang, ia merasa gelombang itu bisa membawa kembali Raka ke sisinya, meskipun ia tahu itu tidak mungkin.
Teleponnya bergetar, dan dengan cepat, Alya meraihnya. Sebuah pesan masuk dari Raka.
“Alya, aku hanya ingin kau tahu bahwa aku merindukanmu. Meskipun jarak memisahkan kita, perasaanku padamu tidak akan pernah berubah. Aku sedang berusaha menyesuaikan diri di sini, tapi ada banyak hal yang kurindukan tentangmu. Aku berharap kamu baik-baik saja.”
Alya memejamkan mata sejenak, menelan perasaan yang muncul begitu mendalam. Kata-kata Raka selalu punya kekuatan untuk mengusir sejenak perasaan kosong yang mengisi ruang hatinya. Setiap pesan yang datang terasa seperti pelipur lara, namun tidak pernah bisa sepenuhnya menghapus rasa rindu yang terus tumbuh.
Ia membalas pesan itu dengan hati-hati, mencoba menulis sebaik mungkin, meskipun di dalam dirinya ada banyak perasaan yang sulit dijelaskan.
“Aku juga merindukanmu, Rak. Kadang aku merasa hampa tanpa ada suara tawa kita di sini. Tanpa ada kau yang berbicara tentang rencana masa depan kita. Tapi aku tahu ini adalah jalan yang harus kita tempuh, meskipun rasanya sangat sulit. Aku harap kamu bisa menyesuaikan diri dan segera merasa lebih baik. Aku selalu di sini, menunggumu, Rak.”
Alya menekan tombol kirim, dan setelah itu, ia kembali menatap laut di depan rumahnya. Gelombang yang datang dan pergi seperti kehidupan itu sendiri—kadang tenang, kadang bergolak. Terkadang, hidup terasa penuh dengan kesunyian, tetapi di sisi lain, Alya merasa seperti ada sesuatu yang berdenyut dalam diri mereka berdua, meskipun mereka terpisah oleh ribuan kilometer.
Hari-hari mereka kini terbentuk oleh kata-kata yang mereka kirimkan satu sama lain—kata-kata yang memberi harapan, yang mengisi kekosongan hati mereka. Setiap surat, setiap pesan singkat yang mereka kirimkan, menjadi jalan untuk menghubungkan dua jiwa yang terpisah. Namun, meskipun begitu, Alya merasa ada yang kurang. Keberadaan Raka—suara tawanya, sentuhan tangannya, tatapan matanya—semuanya itu terasa begitu jauh. Kata-kata tidak pernah cukup untuk menggantikan semua itu.
Suatu sore, setelah pulang dari pasar, Alya duduk di ruang tamu dan mengambil buku catatannya. Ia mulai menulis lagi, menulis surat yang belum ia kirimkan. Surat itu ditujukan untuk Raka, tetapi kali ini ia tidak menulis untuk memberi kabar atau membalas pesan. Ia menulis untuk mengungkapkan segala perasaan yang selama ini tersimpan.
“Rak,
Aku sedang duduk di teras rumah, memandangi laut yang selalu kita nikmati bersama. Entah mengapa, pemandangan itu tidak lagi memberikan kenyamanan yang sama. Tanpa kehadiranmu di sini, laut itu hanya tampak seperti sebuah pemandangan kosong—seperti perasaanku yang tak bisa sepenuhnya mengisi tempatmu yang hilang.
Rindu ini kadang datang begitu mendalam, tak bisa dihindari. Setiap kali aku membuka ponsel, aku berharap menemukan pesan darimu, berharap mendengar suara kita bercanda tentang hal-hal sepele. Tapi sekarang, yang tersisa hanyalah pesan-pesan yang kita kirimkan satu sama lain—kita bertukar kata, tetapi aku tahu kata-kata tidak akan pernah cukup.
Aku selalu memikirkanmu, Raka. Bahkan di saat-saat yang seharusnya paling biasa. Aku ingin kamu tahu bahwa aku selalu ingin berada di sampingmu, tetapi aku juga tahu kita harus belajar untuk bertahan dengan apa yang kita punya. Aku harus bisa merasa cukup dengan kata-kata itu dulu. Aku tahu kamu sedang berusaha sebaik mungkin di sana, dan aku ingin kamu tahu bahwa aku bangga padamu.
Tapi, Rak… ada kalanya aku merasa sangat lelah dengan semua ini. Setiap malam aku tidur dengan memikirkanmu, tetapi tetap saja aku terbangun di pagi hari tanpa bisa merasakan kehadiranmu. Aku merindukan pelukanmu, aku merindukan hangatnya suaramu yang selalu menenangkan. Kata-kata mungkin bisa mengisi kekosongan sementara, tetapi bukan pengganti yang sejati. Kamu adalah kekosonganku yang hilang.
Aku tidak tahu bagaimana rasanya tanpa kamu di sini. Kadang aku merasa seperti semua yang ada di sekitarku terasa asing tanpa ada kamu. Bahkan benda-benda kecil di rumah ini, yang biasa kita nikmati bersama, kini terasa sepi tanpa suara tawamu.
Namun, aku akan berusaha sekuat tenaga. Aku akan menunggu, Rak. Aku akan menunggu setiap kata yang kamu kirimkan. Karena meskipun kata-kata itu tidak pernah bisa menggantikan kehadiranmu, mereka adalah satu-satunya cara kita tetap terhubung. Aku akan menjaga diriku, dan aku akan menjaga harapan ini.
Aku hanya berharap, suatu hari nanti, kita bisa berada di tempat yang sama lagi. Aku menunggu itu, Rak. Aku menunggu kehadiranmu, bukan hanya dalam kata-kata, tetapi dalam kenyataan.
Dengan cinta yang tak pernah pudar,
Alya”
Alya berhenti sejenak, membaca kembali surat yang baru saja ia tulis. Mungkin surat ini tidak akan pernah sampai pada Raka. Mungkin ia hanya akan menyimpannya sebagai kenangan, atau mungkin suatu hari nanti, ketika keadaan sudah membaik, ia akan mengirimkan surat itu. Namun, untuk saat ini, kata-kata ini sudah cukup mewakili perasaannya Ia meletakkan pena dan menatap langit senja yang mulai memerah. Seperti gelombang laut yang terus bergulung, hidup mereka akan terus berjalan, meskipun ada jarak yang memisahkan. Namun, Alya tahu, selama ada kata-kata, selama mereka masih bisa berbagi perasaan melalui tulisan, mereka masih bisa saling terhubung. Meskipun ia tidak bisa menggantikan kehadiran fisik Raka, ia tahu bahwa cinta mereka akan terus hidup dalam setiap kata yang mereka tulis untuk satu sama lain.
Dengan hati yang penuh harapan, Alya menyimpan surat itu, dan untuk pertama kalinya dalam beberapa hari, ia merasakan sedikit kedamaian.*
Bab 4 Rindu yang Mendalam
Hari-hari berlalu, dan Alya mulai merasakan betapa dalamnya kerinduan itu. Semakin lama, semakin banyak kenangan yang datang begitu saja, menghampirinya seperti ombak yang datang tak terduga. Setiap kenangan tentang Raka semakin melekat, menempel di setiap sudut hatinya, dan semakin membuatnya merasa terperangkap dalam rindu yang tak bisa ia ungkapkan dengan kata-kata.
Malam itu, angin laut berhembus pelan, membawa aroma asin yang khas. Alya duduk di beranda rumah, menghadap laut yang luas, mencoba menenangkan pikirannya. Hujan gerimis turun perlahan, dan sesekali suara ombak yang saling bertabrakan terdengar di kejauhan. Rasanya, hanya suara itu yang membuatnya merasa sedikit lebih tenang. Rindu yang menggelora di hatinya seolah berusaha dipadamkan oleh suara alam yang menenangkan.
Tapi, meskipun laut itu ada di depannya, meskipun hujan itu turun dengan pelan, perasaan rindu itu tetap menyelimutinya, membuat dada Alya terasa sesak. Ia merindukan Raka dengan segala hal yang ada pada dirinya—dengan senyumnya yang mampu mencerahkan hari-harinya, dengan candanya yang selalu menghidupkan suasana, dan dengan keberadaannya yang selalu memberi rasa nyaman di setiap detik yang mereka habiskan bersama.
Alya mengambil ponselnya, membuka pesan-pesan yang sudah beberapa hari terabaikan. Ada beberapa pesan dari Raka yang belum ia balas. Meski hanya pesan singkat, kata-kata itu seakan mampu menyentuh hatinya yang gundah. Namun, ketika ia membuka satu pesan, ada sebuah ketakutan yang datang begitu saja. Apa yang harus ia balas? Apa yang bisa ia katakan untuk mengungkapkan betapa ia merindukannya, tetapi tidak ingin membuat Raka merasa bersalah karena berada begitu jauh darinya?
Pesan pertama yang dibaca adalah dari beberapa hari lalu.
“Alya, aku tahu ini sulit untuk kita, tapi aku ingin kamu tahu aku selalu memikirkanmu. Mungkin kita tidak bisa bertemu saat ini, tapi aku percaya kita bisa bertahan. Aku rindu kamu.”
Alya menggigit bibirnya, perasaan yang campur aduk membuatnya terhenti sejenak. Rindu yang ia rasakan kini terasa begitu mendalam, begitu mencekik. Ketika perasaan itu begitu kuat, kata-kata terasa tidak cukup untuk mengungkapkannya. Apa yang bisa ia katakan untuk menyampaikan rasa yang terus menggelora? Bagaimana ia bisa menunjukkan bahwa ia merasa sangat kosong tanpa kehadiran Raka?
Alya menulis beberapa kata, lalu menghapusnya. Ia menulis lagi, lalu menghapusnya. Setiap kali mencoba menulis balasan, ia merasa ada sesuatu yang hilang sesuatu yang tak bisa digantikan oleh kata-kata.
Ia menarik napas panjang, lalu memutuskan untuk menulis, meskipun ia tahu, kata-kata itu tidak akan pernah cukup untuk menggambarkan perasaannya.
“Raka,
Aku juga merindukanmu lebih dari yang bisa aku katakan. Setiap malam aku terjaga, memikirkanmu, memikirkan semua yang kita lakukan bersama. Tidak ada hari yang berlalu tanpa aku merasakan kehilangan. Setiap suara, setiap senyum, setiap tawa kita semuanya sekarang terasa sangat jauh. Seolah kita berada di dua dunia yang berbeda, meskipun hatiku selalu ingin berada dekat denganmu.
Aku ingin kamu tahu bahwa aku berusaha untuk kuat. Aku berusaha untuk melawan rindu ini, tapi kadang-kadang aku merasa lelah. Ada kalanya aku merasa begitu kosong, seperti ada bagian dari diriku yang hilang, dan aku tahu itu karena kamu tidak ada di sini. Tapi aku tidak ingin membuatmu merasa bersalah, Rak. Aku tahu kamu juga berjuang, dan aku menghargai itu.
Aku ingin kita tetap bertahan. Aku ingin kita terus berbagi cerita, meskipun hanya lewat pesan-pesan ini. Setiap pesan yang kamu kirimkan selalu membuatku merasa sedikit lebih dekat denganmu, meskipun kita terpisah oleh ribuan kilometer.
Tapi, Rak… Aku rindu kamu lebih dari yang bisa aku ungkapkan. Aku berharap suatu hari nanti, kita bisa bertemu lagi. Aku ingin kamu tahu, meskipun aku rindu, aku juga sangat bersyukur pernah bertemu denganmu.
Aku menunggu kabarmu.
Dengan penuh cinta,
Alya”
Alya menekan tombol kirim, dan sesaat setelah itu, sebuah perasaan lega menyelimutinya. Mungkin kata-kata itu tidak akan pernah cukup untuk mengungkapkan betapa dalamnya rasa rindunya, tapi setidaknya, ia telah mencoba. Ia telah berusaha menyampaikan perasaannya, meskipun dengan cara yang tidak sempurna.
Beberapa menit kemudian, sebuah balasan masuk. Alya membuka pesan itu dengan cepat.
“Alya, terima kasih untuk suratmu. Aku bisa merasakan betapa dalamnya perasaanmu, dan aku ingin kamu tahu bahwa aku juga merasakannya. Aku merindukanmu setiap hari, lebih dari yang aku bisa ungkapkan. Tapi aku percaya, meskipun jarak memisahkan kita, kita akan terus kuat. Aku akan selalu berjuang untuk kita.”
Alya menatap layar ponselnya, perasaan haru memenuhi dadanya. Kata-kata Raka seperti pelukan yang menghangatkan hati, meskipun mereka terpisah oleh ruang dan waktu. Dia tahu, meskipun rindu ini tidak mudah, mereka tidak sendirian. Mereka masih memiliki cinta ini cinta yang tumbuh meskipun terpisah jarak.
Dengan hati yang sedikit lebih tenang, Alya menatap laut di depannya. Rindu itu masih ada, masih mendalam, namun kini ia tahu bahwa perasaan itu adalah bagian dari sebuah perjalanan panjang yang harus mereka jalani. Setiap detik yang mereka lewati tanpa bertemu hanyalah sebuah pengujian, dan mereka harus terus berjuang untuk menjaga cinta ini tetap hidup.
Alya menutup matanya, membayangkan Raka di sana, jauh di tempat yang berbeda. Suatu hari nanti, mereka akan bertemu. Suatu hari nanti, jarak ini akan berakhir, dan rindu ini akan terbayar.
Sampai saat itu datang, Alya akan terus mengisi kekosongan hatinya dengan kata-kata kata-kata dari Raka yang selalu ia simpan dengan penuh cinta.*
Bab 5 Menghadapi Ujian Waktu
Alya duduk di balkon rumahnya, memandangi matahari yang perlahan tenggelam di balik cakrawala. Suasana senja itu membawa perasaan yang sulit dijelaskan. Ada kesedihan yang terselip, tetapi juga ada rasa hangat yang datang dari kenangan bersama Raka. Namun, semakin ia merenung, semakin ia merasa berat. Waktu seolah menjadi ujian yang semakin lama semakin menguji mereka berdua.
Sejak perpisahan yang tak terduga itu, kehidupan Alya seolah terbelah antara dua dunia—dunia nyata yang penuh dengan rutinitas dan dunia maya tempatnya berbagi cerita dengan Raka. Mereka terus saling berkomunikasi melalui pesan, telepon, bahkan video call. Tetapi semakin lama, waktu semakin menambah jarak yang tidak hanya fisik, tetapi juga perasaan. Setiap obrolan terasa semakin terputus, semakin terjeda, dan rasa rindu semakin dalam. Waktu yang seharusnya menjadi penguji cinta mereka kini menjadi pemisah yang menyiksa.
Alya menatap layar ponselnya. Sudah beberapa hari Raka tidak mengirimkan kabar, dan ia mulai merasakan kekhawatiran yang perlahan tumbuh. Rasa cemas itu datang begitu saja bagaimana jika sesuatu terjadi padanya? Atau lebih buruk lagi, bagaimana jika Raka mulai merasa lelah dengan jarak ini dan memutuskan untuk melangkah pergi? Alya mencoba mengusir pikiran-pikiran negatif itu, tapi ia tak bisa menahan kecemasan yang menyelimuti hatinya.
Ponselnya bergetar, dan detak jantung Alya pun semakin cepat. Sebuah pesan dari Raka. Ia membuka dengan hati-hati, berharap ini akan membawa kabar baik.
“Alya, aku ingin minta maaf karena beberapa hari ini tidak bisa menghubungimu. Pekerjaan di sini sangat padat, dan aku merasa sangat tertekan. Aku tahu kamu pasti merasa kesepian, dan aku merasa bersalah karena tak bisa selalu ada untukmu. Tapi aku ingin kamu tahu, aku tetap memikirkanmu. Aku merindukanmu setiap saat.”
Alya menatap pesan itu dengan penuh perhatian, dan untuk pertama kalinya dalam beberapa hari terakhir, ia merasa sedikit lega. Kata-kata Raka meskipun singkat, berhasil mengurangi sedikit kekhawatirannya. Rindu yang selama ini ia pendam, tiba-tiba seperti menemukan sedikit pelipur lara. Namun, seiring dengan rasa lega itu, muncul lagi perasaan yang lebih besar: waktu. Waktu yang selalu datang tanpa bisa dihentikan, waktu yang perlahan menggerogoti keyakinan mereka bahwa cinta ini bisa bertahan.
Alya tahu, ujian waktu tidak hanya datang dalam bentuk kesibukan, tetapi juga dari perasaan yang semakin terkikis oleh jarak. Mereka semakin jarang berbicara, dan percakapan yang terjadi pun tidak lagi seperti dulu—penuh canda, tawa, dan impian bersama. Sekarang, semuanya terasa lebih serius dan terkadang hampa. Mungkin, mereka berdua sedang berjuang, tapi apakah itu cukup?
Alya menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan dirinya. Meskipun ada keraguan yang mulai mengisi pikirannya, ia tahu satu hal yang pasti—ia mencintai Raka. Cinta itu belum pudar, meskipun waktu dan jarak terus mengujinya. Ia tahu bahwa mereka tidak bisa terus-menerus terperangkap dalam kecemasan dan keraguan. Mereka harus terus berjuang.
Alya memutuskan untuk membalas pesan itu dengan kata-kata yang tulus, meskipun hatinya merasa ragu.
“Raka, aku mengerti betul bagaimana kamu merasa. Aku tahu betapa sulitnya semua ini. Aku juga merindukanmu dengan sangat, tetapi aku percaya kita bisa bertahan. Aku hanya ingin kamu tahu, aku akan selalu ada untukmu, meskipun kita terpisah oleh waktu dan jarak. Jangan khawatir, aku baik-baik saja. Aku akan menunggu, seperti yang sudah aku katakan sebelumnya. Cinta ini lebih kuat dari sekadar waktu dan jarak.”
Alya menekan tombol kirim dan meletakkan ponselnya. Meskipun ia merasa sedikit lega setelah mengirim pesan itu, perasaan rindu yang mendalam kembali muncul. Waktu memang menjadi ujian terbesar mereka. Meskipun mereka berkomunikasi dengan baik, tetap saja ada hal-hal yang tidak bisa diungkapkan hanya dengan kata-kata. Ada perasaan yang tertinggal di antara percakapan mereka—perasaan yang sulit digambarkan, yang terus tumbuh seiring berjalannya waktu.
Hari demi hari, mereka berusaha saling memahami, tetapi ada saat-saat ketika kesabaran Alya mulai diuji. Ia ingin berbicara lebih sering, ingin Raka mendengar setiap keluh kesahnya, setiap tawa kecilnya. Namun, ia tahu bahwa tidak semua keinginan bisa terwujud begitu saja. Waktu dan keadaan selalu menjadi batas yang sulit untuk dilewati.
Pagi-pagi, Alya menerima telepon dari Raka. Suara di ujung sana terdengar lelah, tetapi tetap penuh kehangatan.
“Alya, aku ingin kamu tahu, aku sangat menghargai semua yang kamu lakukan untuk kita. Aku tahu ini bukan hal yang mudah, tapi aku ingin kita tetap percaya bahwa kita bisa melewati semua ini. Aku rindu hari-hari ketika kita hanya duduk bersama, berbicara tentang hal-hal sederhana.”
Alya bisa mendengar kelelahan di suara Raka, dan seketika, hatinya dipenuhi dengan rasa sayang dan simpati yang dalam. Ia tahu Raka berjuang sekuat tenaga, berusaha menyesuaikan diri dengan dunia barunya, dan ia juga merasakannya—betapa beratnya ujian waktu ini bagi mereka berdua. Tapi dalam setiap percakapan mereka, dalam setiap pesan dan surat yang mereka kirim, ada satu hal yang jelas: cinta mereka belum pernah goyah. Mungkin ujian waktu membuat mereka harus lebih sabar, lebih kuat, tetapi cinta itu tetap ada.
“Aku juga merindukanmu, Rak. Aku ingin kita kembali seperti dulu, berbicara tanpa batas, tertawa tanpa rasa khawatir. Tapi aku juga tahu, kita harus berjuang untuk itu. Aku akan terus menunggumu, terus percaya bahwa kita akan melewati semua ini. Aku yakin, meskipun waktu menguji kita, cinta kita tidak akan pernah hilang.”
Setelah menutup telepon, Alya menatap jendela kamar yang menghadap ke laut. Matahari sudah tenggelam sepenuhnya, meninggalkan langit yang gelap, namun dalam kegelapan itu, ia merasa ada sedikit cahaya yang tetap bersinar. Cinta itu, meskipun terhalang oleh waktu, tetap hadir, memberi harapan dan kekuatan untuk terus bertahan.
Alya tahu, ini adalah ujian yang tak mudah, tetapi dia tidak akan menyerah. Ia akan terus menjaga cinta ini, menjaga harapan ini, meskipun waktu terus berlalu dan jarak semakin memisahkan mereka. Karena baginya, cinta yang kuat tidak pernah mengenal waktu. Dan ia percaya, suatu hari nanti, mereka akan menemukan jalan kembali ke satu sama lain.*
Bab 6 Surat yang Mengubah Segalanya
Hari itu, Alya duduk di meja belajarnya dengan secangkir teh hangat di sampingnya. Matahari sudah mulai tenggelam di balik bukit, menciptakan langit yang memerah, namun hatinya terasa lebih gelap. Meski sudah berusaha sabar menghadapi ujian waktu dan jarak, ada perasaan yang terus mengganjal dalam diri Alya. Semua percakapan yang semakin jarang, semua pesan yang semakin lama dibalas, semakin membuatnya meragukan segalanya. Apakah mereka masih punya kesempatan untuk bertahan? Apakah cinta ini masih cukup kuat?
Alya membuka ponselnya dan memeriksa pesan-pesan dari Raka. Sudah beberapa hari berlalu sejak obrolan terakhir mereka, dan sejujurnya, ia merasa semakin kesepian. Rindu itu tumbuh tanpa bisa dihentikan. Setiap kali melihat foto-foto mereka bersama, setiap kali mendengarkan lagu yang mereka suka, perasaan itu semakin menumpuk. Ia merasa seperti kehilangan arah. Apa yang sebenarnya terjadi dengan mereka? Mengapa segalanya semakin terasa sulit?
Tiba-tiba, matanya tertuju pada sebuah amplop putih yang tergeletak di atas meja. Di luar, hujan mulai turun dengan deras, membawa suasana semakin sendu. Amplop itu berbeda dengan surat-surat lain yang biasa ia terima. Tertera nama Raka di bagian depan, dengan tulisan tangan yang rapi dan penuh perhatian. Alya merasa jantungnya berdetak lebih cepat. Ia tahu surat itu bukan sembarang surat. Itu adalah surat yang ia tunggu, meskipun tanpa ia sadari. Surat yang bisa jadi akan mengubah segalanya.
Dengan tangan yang sedikit gemetar, Alya membuka amplop itu. Ia menarik keluar selembar kertas, dan mulai membaca dengan perlahan, setiap kata, setiap kalimat, seolah ingin menyerapnya dengan penuh. Di bawah cahaya redup dari lampu kamar, suara hujan yang terus menggebu di luar, surat itu seakan membawa perasaan yang lebih mendalam dari apa yang bisa disampaikan melalui pesan singkat atau percakapan lewat telepon.
“Alya,
Aku tahu, sudah terlalu lama aku diam, terlalu lama membiarkan waktu mengalir begitu saja tanpa memberikan kabar yang cukup. Aku merasa bersalah, dan aku ingin minta maaf dari lubuk hatiku yang paling dalam. Aku tahu, semakin lama kita tidak berbicara, semakin dalam rasa rindu itu, dan semakin besar pula jarak yang terbentuk di antara kita. Aku tak ingin itu terjadi, Alya. Aku tak ingin kita kehilangan satu sama lain hanya karena jarak yang memisahkan.
Aku menyadari sesuatu yang sangat penting selama waktu-waktu yang penuh kebisuan ini. Aku menyadari bahwa meskipun aku jauh darimu, meskipun aku sibuk dengan dunia baruku, ada satu hal yang tak pernah berubah cinta kita. Aku merasa bahwa semakin jauh jarak memisahkan kita, semakin jelas aku merasakan kekosongan tanpa kehadiranmu. Ketika kita pertama kali berpisah, aku yakin kita bisa menghadapinya. Aku yakin kita bisa melewati semuanya. Tapi kenyataannya, semakin lama aku di sini, semakin aku merasa betapa berharganya keberadaanmu dalam hidupku. Aku merindukanmu dengan cara yang tak bisa aku jelaskan, dan aku ingin kamu tahu, bahwa rindu itu tak akan pernah pudar.
Aku tak bisa lagi berdiam diri, Alya. Aku ingin kita berbicara lagi, dengan lebih terbuka. Aku ingin mendengar suaramu setiap hari, ingin mendengar ceritamu, meski hanya melalui telepon atau pesan singkat. Aku ingin kita terus menjaga percakapan kita, bahkan jika kita tidak selalu bisa bertemu secara fisik. Aku ingin tahu bagaimana kabarmu, bagaimana hari-harimu, dan aku ingin berbagi hidupku denganmu, meskipun dalam jarak yang memisahkan kita.
Aku ingin kita melawan rindu ini bersama, melawan jarak yang terkadang membuat kita merasa putus asa. Karena aku yakin, kita lebih kuat dari itu. Aku percaya, meskipun kita terpisah ribuan mil, cinta kita tetap akan bertahan. Ini adalah ujian, memang. Ujian yang menguji kesabaran, keyakinan, dan kepercayaan kita satu sama lain. Tapi aku yakin, kita akan melewati ini, karena kita saling mencintai.
Alya, aku harap kamu mengerti, aku menulis surat ini dengan seluruh hati. Aku ingin kita kembali menjadi kita yang dulu kita yang saling mendukung, saling berbagi, dan saling mempercayai. Aku ingin kita melanjutkan perjalanan ini bersama. Aku ingin membuatmu merasa bahwa meskipun jarak memisahkan, kita tetap memiliki satu sama lain. Aku ingin kita menghabiskan sisa waktu ini, berjuang bersama, dan saling menemani.
Aku tahu ini bukan jalan yang mudah, dan aku tahu kita berdua punya banyak ketakutan. Tapi aku ingin kamu tahu, aku berjanji akan selalu berusaha. Aku tidak akan membiarkan waktu dan jarak merusak apa yang telah kita bangun. Aku ingin kita tetap kuat, tetap bersama.
Aku menunggu jawabmu, Alya. Aku ingin mendengar apa yang ada di hatimu. Jangan biarkan rindu ini membunuh kita, karena aku tahu kita bisa lebih dari itu.
Dengan cinta yang tak pernah surut,
Raka”
Alya terdiam beberapa saat setelah membaca surat itu. Air mata tiba-tiba mengalir di pipinya, tetapi kali ini bukan karena kesedihan. Ini adalah air mata yang muncul karena kelegaan. Surat Raka, yang tulus dan penuh cinta, mengingatkannya akan semua alasan mengapa ia harus bertahan. Cinta yang mereka miliki tidak akan pernah mati hanya karena jarak. Raka mungkin tidak selalu ada di sana, tetapi cintanya selalu hadir, membalutnya dengan kehangatan yang membuat segala keraguan mereda.
Alya menyeka air matanya dengan ujung jari. Ia membaca kembali surat itu, kali ini dengan lebih seksama, dan merasakan setiap kata yang tertulis dengan begitu dalam. Raka mungkin tidak sempurna, dan begitu juga dirinya. Tetapi surat ini menunjukkan satu hal yang jelas—mereka masih punya harapan. Mereka masih punya cinta yang cukup kuat untuk menghadapi segala ujian yang datang. Tidak ada yang lebih berharga daripada itu.
Ia meraih ponselnya dan mulai mengetik balasan, hati yang dipenuhi perasaan haru dan bahagia.
“Raka,
Aku membaca suratmu dengan hati yang penuh. Aku tak tahu bagaimana menjelaskan apa yang aku rasakan, tetapi aku merasa begitu lega. Suratmu mengubah banyak hal, lebih dari yang aku bisa ungkapkan dengan kata-kata. Aku tahu, kita masih punya perjalanan panjang, dan ada banyak ujian yang harus kita hadapi. Tapi, suratmu mengingatkanku bahwa cinta kita lebih dari sekadar jarak dan waktu. Cinta ini lebih kuat dari itu.
Aku berjanji akan terus menunggu dan terus berjuang. Aku akan terus berada di sini, bersama-sama denganmu, walau hanya dalam kata-kata dan pikiran. Kita akan melewati semua ini, Raka. Aku yakin itu.
Aku mencintaimu, dan aku akan selalu mencintaimu.
Alya”
Alya menekan tombol kirim dengan penuh keyakinan. Surat itu mungkin hanya sebuah pesan, tetapi bagi mereka, itu adalah titik balik—titik balik dari keraguan, dari ketidakpastian, dari segala rasa takut yang menghinggapi. Mereka akan terus melangkah, bersama, meskipun terpisah ribuan mil. Karena cinta mereka, yang tak pernah luntur, adalah alasan mereka untuk terus bertahan.
Dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Alya merasa bahwa mereka akan baik-baik saja.*
Bab 7 Janji yang Ditulis dalam Surat
Pagi itu, Alya duduk di tepi jendela kamar, menatap langit yang masih gelap. Hujan semalam telah meninggalkan embun yang membasahi daun-daun di luar, menciptakan pemandangan yang tenang dan damai. Namun, hati Alya tidak sependiam itu. Ada kegelisahan yang masih terus membayangi dirinya, meskipun surat Raka yang terakhir sudah dibaca berulang kali dan menenangkan sebagian dari ketakutannya.
Setiap kali ia menatap surat itu, perasaan yang campur aduk kembali hadir. Raka telah menuliskan sebuah janji sebuah janji yang begitu dalam, begitu tulus, dan begitu penuh makna. Surat itu telah memberi kelegaan, namun juga membuka kembali keraguan-keraguan yang selama ini ia simpan rapat. Janji-janji itu terasa seperti beban yang harus mereka buktikan. Janji yang tak hanya diucapkan, tetapi juga harus diwujudkan dalam setiap tindakan.
Alya menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan pikirannya. Surat itu jelas mengubah banyak hal. Raka tidak hanya mengungkapkan perasaannya yang terdalam, tetapi juga berjanji untuk berjuang bersama. Janji untuk tidak membiarkan jarak dan waktu merusak apa yang telah mereka bangun. Janji untuk terus ada, meski tidak selalu secara fisik. Dan janji itu, meskipun membuat hatinya lebih tenang, juga membawa rasa cemas. Bagaimana mereka bisa menjaga janji itu? Apakah mereka benar-benar cukup kuat?
Namun, di sisi lain, janji itu juga memberi harapan baru. Cinta yang tulus, yang diakui dengan sepenuh hati, adalah kekuatan yang dapat menahan segala hal, bahkan waktu yang terus bergerak tanpa peduli. Alya merasa seolah-olah ia berada di ujung sebuah perjalanan yang tidak pasti, tapi surat itu memberi panduan memberikan sebuah kompas yang mengarahkan hatinya ke arah yang benar.
Hari itu, setelah beberapa lama termenung, Alya memutuskan untuk menulis surat balasan kepada Raka. Sebuah surat yang tidak hanya berisi rasa cinta, tetapi juga komitmen. Sebuah janji yang akan ia pegang, janji yang akan ia perjuangkan, seperti yang telah dilakukan Raka.
“Raka,
Hari-hari yang kita lewati sejak perpisahan itu memang tidak mudah. Banyak kali aku merasa rindu yang begitu dalam, banyak kali aku merasakan ketakutan takut akan jarak, takut akan waktu yang semakin menguji kita. Tetapi, suratmu mengubah segalanya. Surat itu mengingatkanku bahwa meskipun jarak memisahkan kita, cinta kita tidak akan pernah pudar. Dan dengan setiap kata yang kamu tulis, aku merasa semakin yakin bahwa kita bisa melawan apapun yang datang menghampiri kita.
Aku tahu, janji yang kamu tulis dalam surat itu bukanlah hal yang mudah. Aku tahu kita akan terus diuji, bukan hanya oleh jarak yang memisahkan kita, tetapi juga oleh kehidupan yang terus berjalan. Aku tahu ada banyak hal yang harus kita hadapi, tetapi aku ingin kamu tahu, aku berjanji akan selalu ada untukmu, seperti yang kamu janjikan padaku. Aku berjanji untuk terus mencintaimu, meskipun kita terpisah oleh ribuan mil.
Aku berjanji untuk berjuang bersama, untuk tidak pernah menyerah, meskipun terkadang rasanya sangat sulit. Aku berjanji untuk menjaga komunikasi kita, untuk selalu berbicara, meskipun itu hanya dalam bentuk pesan singkat atau telepon, agar kita bisa terus merasakan kehadiran satu sama lain. Aku berjanji untuk tidak membiarkan rasa rindu ini menjadi beban, tetapi menjadi pengingat bahwa cinta kita tetap hidup. Aku berjanji, Raka, untuk tidak menyerah pada apa yang telah kita mulai. Kita sudah berjalan sejauh ini, dan aku tahu kita bisa melanjutkannya.
Aku akan menunggu, seperti yang aku katakan sebelumnya, dan aku akan terus percaya bahwa waktu dan jarak tidak akan memisahkan kita. Cinta kita lebih kuat dari itu. Dan setiap kali aku merasa lelah atau ragu, aku akan mengingatkan diri sendiri tentang janji yang kita buat—janji untuk terus saling mencintai, saling mendukung, dan saling mempercayai.
Aku berharap kita bisa terus berjalan bersama, meskipun kita tidak tahu kapan kita akan bertemu lagi. Tetapi aku percaya, meskipun kita tidak bisa bersama setiap hari, kita masih bisa merasakan kehadiran satu sama lain melalui hati kita. Dan aku berjanji untuk menjaga hatiku tetap terbuka untukmu, seperti kamu menjaga hatimu untukku.
Aku mencintaimu, Raka. Janji kita ini adalah komitmen yang akan aku pegang, dan aku akan terus berjuang untuk itu. Aku tahu kita tidak akan pernah tahu apa yang akan terjadi di masa depan, tetapi aku percaya bahwa dengan cinta ini, kita akan menemukan jalan kita sendiri.
Alya”
Surat itu akhirnya selesai ditulis. Alya menatap tulisan tangan di atas kertas itu dengan perasaan campur aduk. Ada rasa lega, ada harapan, dan ada keyakinan bahwa cinta ini benar-benar bisa bertahan. Janji itu bukan sekadar kata-kata indah yang ditulis di atas kertas. Itu adalah komitmen, sebuah ikatan yang lebih kuat dari apapun. Janji yang harus diwujudkan dengan kesungguhan hati dan tindakan nyata.
Alya kemudian melipat surat itu dengan hati-hati, memasukkannya ke dalam amplop putih yang telah disediakan, dan menulis nama Raka di bagian depan. Meskipun surat itu belum dikirim, hati Alya merasa lebih tenang. Ia tahu bahwa ini adalah langkah besar dalam perjalanan cinta mereka. Sebuah langkah yang akan menguatkan mereka untuk menghadapi setiap rintangan, dan janji itu akan menjadi pengingat bahwa meskipun jarak memisahkan mereka, cinta mereka tidak akan pernah pudar.
Sementara itu, di tempat yang jauh di seberang benua, Raka duduk di meja kerjanya, menatap surat balasan dari Alya yang sudah lama ia tunggu. Dalam hening malam, dengan lampu kamar yang temaram, ia membuka amplop itu dan membaca setiap kata yang tertulis. Surat itu terasa seperti angin segar yang menenangkan hatinya yang sudah lama gelisah. Janji Alya untuk terus berjuang bersamanya membuat hatinya penuh dengan rasa syukur.
Raka tahu bahwa meskipun mereka tidak tahu apa yang akan datang, mereka telah membuat janji—janji untuk tidak menyerah pada cinta ini. Dan dengan janji itu, mereka berdua tahu bahwa tidak ada hal yang lebih kuat daripada cinta yang tulus dan ketulusan untuk berjuang bersama.
Dengan surat itu, mereka tidak hanya berbicara tentang perasaan mereka, tetapi juga tentang komitmen yang lebih dalam—komitmen untuk menghadapi masa depan bersama, meskipun dunia terasa seperti terpisah oleh jarak dan waktu. Janji-janji yang tertulis dalam surat ini adalah bukti bahwa cinta mereka lebih besar dari apapun yang dapat memisahkan mereka.*
Bab 8 Momen yang Dinanti
Alya menatap layar ponselnya dengan penuh harap. Sudah berhari-hari ia menunggu kabar dari Raka, dan meskipun setiap detik terasa seperti seabad, ia tahu momen yang ia tunggu-tunggu akhirnya akan tiba. Sejak menerima surat terakhir dari Raka, hatinya dipenuhi dengan perasaan campur aduk—rindu, harapan, dan kecemasan. Namun, di tengah semua itu, ada satu hal yang selalu menguatkan dirinya: janji mereka untuk bertahan. Janji itu sudah menuntun mereka sejauh ini, meski jarak dan waktu sering kali memisahkan mereka dengan cara yang tak terduga.
Hari itu, senja datang lebih cepat dari yang ia kira. Alya sudah selesai bekerja dan duduk di teras rumah, memandangi langit yang perlahan berubah oranye keunguan. Suasana hati Alya terasa lebih ringan dari hari-hari sebelumnya. Setelah bertahan dengan rindu yang menggebu selama berbulan-bulan, hari ini ia merasa ada secercah cahaya yang menyinari hatinya. Kabar yang ia tunggu-tunggu akhirnya datang. Raka mengiriminya pesan singkat yang membuat seluruh dunia seakan berhenti berputar.
“Alya, aku akan ada di kota minggu depan. Aku ingin kita bertemu, sepertinya sudah saatnya.”
Mata Alya terasa berair. Tanpa sadar, ia menitikkan air mata di sudut matanya. Rasa haru dan bahagia bercampur aduk. Setelah bertahun-tahun hanya saling berbicara lewat layar ponsel dan suara telepon, setelah berbulan-bulan menahan rindu yang tak pernah reda, akhirnya kesempatan itu datang. Mereka akan bertemu secara langsung, untuk pertama kalinya. Alya tahu bahwa ini adalah momen yang akan mengubah segalanya. Momen yang akan membawa mereka dari dunia maya menuju dunia nyata.
Namun, di balik kegembiraan itu, ada juga perasaan cemas yang menyelinap di dalam dirinya. Meskipun mereka sudah saling mengenal, meskipun mereka sudah berbagi segalanya, pertemuan langsung tetaplah sebuah hal yang menakutkan. Bagaimana jika segalanya tidak berjalan seperti yang diharapkan? Bagaimana jika kenyataan tidak seindah harapan? Tetapi, satu hal yang pasti, Alya tahu bahwa pertemuan ini adalah langkah besar dalam perjalanan cinta mereka, langkah yang harus diambil.
Alya memutuskan untuk tidak terlalu memikirkan kekhawatirannya. Ia tahu, jika mereka sudah berhasil mengatasi jarak yang memisahkan mereka selama ini, mereka pasti bisa melewati apapun yang datang di depan. Hari itu, ia sibuk menyiapkan semuanya untuk pertemuan mereka—mulai dari menata penampilan, memikirkan tempat yang sempurna untuk bertemu, hingga memilih kata-kata yang tepat untuk mengungkapkan perasaannya. Rindu yang selama ini menggunung, sekarang ingin ia ucapkan dengan cara yang paling tulus.
Beberapa hari kemudian, momen itu akhirnya tiba. Alya berdiri di depan cermin, menatap refleksinya. Ia mengenakan gaun biru sederhana yang membuatnya merasa nyaman namun tetap percaya diri. Ia mengambil napas dalam-dalam, berusaha menenangkan kegelisahannya. Waktu seakan berjalan lambat, namun akhirnya ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk. Itu dari Raka.
“Aku sudah sampai di bandara. Aku akan segera ke tempat kita janjikan.”
Alya menghela napas lega dan menekan tombol untuk menutup percakapan. Setelah menyiapkan segala sesuatunya, ia melangkah keluar dari rumah. Perjalanan menuju tempat pertemuan mereka terasa seperti mimpi yang terlalu indah untuk menjadi kenyataan. Setiap detik terasa lebih berharga, dan ia semakin tidak sabar untuk bertemu dengan orang yang telah mengisi hari-harinya, meskipun jarak memisahkan mereka begitu lama.
Di tempat yang mereka janjikan, sebuah kafe kecil dengan pemandangan indah di pinggir pantai, Alya sudah duduk di meja dekat jendela. Ia memperhatikan setiap orang yang lewat, berharap melihat sosok yang sudah ia rindukan begitu lama. Matanya menelusuri keramaian, mencoba menemukan sosok yang sudah berbulan-bulan ia bayangkan dalam setiap percakapan mereka. Hatinya berdebar kencang.
Tak lama setelah itu, pintu kafe terbuka, dan seorang pria masuk dengan senyum lebar yang membuat Alya hampir tidak bisa bernapas. Raka. Sosok yang selama ini hanya bisa ia lihat lewat layar ponsel, kini berdiri di depannya, nyata, di dunia yang sama. Wajahnya sedikit berbeda dari yang ia bayangkan—lebih tampan, lebih hangat, lebih nyata. Namun, mata mereka bertemu, dan perasaan itu… tidak berubah.
Raka melangkah mendekat, senyum itu tak pernah lepas dari wajahnya. “Alya,” bisiknya pelan, seakan tidak percaya bahwa akhirnya mereka berada di satu tempat yang sama. “Kamu… kamu cantik sekali.”
Alya hanya tersenyum, air mata kembali menggenang di matanya. Semua perasaan rindu, cemas, dan harapan yang selama ini terpendam kini meluncur begitu saja dalam sebuah pelukan hangat. Mereka saling berpelukan, saling merasakan detak jantung yang berirama serasi, setelah sekian lama terpisah. Itu adalah pelukan yang menghapus semua keraguan, semua ketakutan, dan semua rasa kesepian yang mereka alami.
“Rindu ini…” Alya berbisik, “Tak pernah bisa terbayangkan, Raka. Tak pernah bisa terlukiskan.”
Raka menarik napas panjang, menyadari bahwa kata-kata tak akan pernah cukup untuk menggambarkan betapa besar perasaan mereka. “Aku tahu,” jawabnya pelan. “Aku juga merasakannya. Tapi kita sudah sampai di sini. Kita bisa melakukan ini, Alya.”
Mereka duduk bersama, menikmati teh manis dan kue cokelat di kafe itu. Tak ada kata-kata yang bisa menggambarkan kebahagiaan mereka. Waktu terasa berjalan begitu cepat, namun di saat yang bersamaan, setiap detiknya sangat berarti. Mereka berbicara tentang banyak hal—tentang masa depan, tentang kenangan yang mereka bagi, dan tentang perjalanan yang mereka tempuh bersama meskipun terpisah jarak ribuan mil.
Alya merasa seolah waktu berhenti sejenak. Untuk pertama kalinya, ia merasakan apa yang disebut sebagai kebersamaan sejati. Tidak ada lagi layar ponsel yang memisahkan, tidak ada lagi kata-kata yang tertunda. Mereka ada di sini, di dunia yang sama, merasakan cinta yang telah mereka jaga selama ini. Rindu yang tumbuh begitu lama kini terbayar dengan kebersamaan yang nyata.
Saat pertemuan itu berakhir, Alya dan Raka berjalan bersama di sepanjang pantai, menikmati angin laut yang sejuk. Momen yang mereka nanti-nantikan akhirnya datang, dan mereka tahu bahwa ini baru permulaan. Ada banyak hal yang harus mereka hadapi, banyak hal yang harus mereka perjuangkan. Tapi dengan cinta yang mereka miliki, mereka yakin bahwa momen ini akan menjadi kenangan indah yang akan mereka jaga selamanya. Karena, bagi mereka, jarak tidak pernah benar-benar memisahkan.
Momen yang mereka nantikan ini bukan hanya tentang bertemu setelah sekian lama, tetapi juga tentang bagaimana mereka akhirnya menemukan jalan menuju satu sama lain. Mereka tahu bahwa cinta mereka telah mengalahkan jarak, dan kini mereka siap untuk melangkah bersama, tak terhalang oleh apapun.*
Bab 9 Melangkah Bersama
Malam itu, angin laut bertiup lembut, menyapu wajah Alya yang kini berjalan berdampingan dengan Raka di sepanjang pantai. Suara deburan ombak yang menghantam pasir seolah menambah suasana romantis yang mengalir di antara mereka. Setelah lama terpisah oleh jarak dan waktu, akhirnya mereka berdiri di tempat yang sama, merasakan kehadiran satu sama lain dengan cara yang nyata.
Raka melirik Alya sekilas, tersenyum dengan senyum yang tak bisa ia sembunyikan. Alya yang berjalan di sampingnya menoleh, merasakan pandangan itu. Mereka tidak banyak berbicara, tapi kata-kata yang tak terucap itu terasa begitu dalam, begitu penuh makna. Hati mereka kini berirama dalam sebuah lagu yang hanya mereka berdua yang bisa mendengarnya.
Alya menggenggam tangan Raka, rasanya begitu nyata. Tangannya yang dulu hanya bisa ia bayangkan kini berada dalam genggaman tangan yang sama. “Raka,” bisiknya pelan, “Kita akhirnya sampai di sini, ya?”
Raka mengangguk, matanya berbinar. “Iya. Kita sudah sampai. Setelah semua waktu yang kita lewati, semua pesan-pesan yang tertunda, semua rindu yang tak terungkapkan… kita akhirnya bisa melangkah bersama.”
Alya tersenyum lembut. “Tapi… ini baru permulaan, bukan? Kita masih harus berjuang banyak hal.”
Raka menepuk pundaknya dengan lembut, lalu meraih tangan Alya dengan penuh kasih. “Iya, aku tahu. Kita masih punya banyak rintangan yang harus dilewati, banyak perjalanan yang harus kita tempuh. Tapi aku yakin, kita bisa melakukannya. Karena kita sudah membuktikan bahwa cinta kita lebih besar dari sekedar jarak dan waktu.”
Alya mengangguk setuju. “Kita sudah terlalu jauh untuk berhenti sekarang. Aku juga yakin, kita bisa bersama. Meskipun kadang ada keraguan, meskipun kadang rasa rindu itu begitu menguras tenaga, aku tahu kita akan terus melangkah bersama.”
Mereka berdua berhenti sejenak, duduk di tepi pantai sambil menatap ke laut yang tenang. Angin malam berhembus lebih kuat, membawa bau asin laut yang menenangkan. Langit gelap dipenuhi bintang-bintang, menyinari mereka dengan cahaya lembut yang seolah memberi restu pada perjalanan mereka.
Raka menggenggam tangan Alya dengan erat, mencoba meyakinkan dirinya bahwa inilah saat yang mereka tunggu-tunggu. “Alya,” katanya, suaranya sedikit bergetar, “Aku tahu kita tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Kita tidak bisa memprediksi bagaimana hidup akan membawa kita. Tapi ada satu hal yang pasti. Aku ingin melangkah bersamamu. Aku ingin terus berada di sisimu, tidak peduli apa yang terjadi.”
Alya menatap mata Raka dengan penuh perasaan. Tanpa berkata-kata, ia merasakan betapa dalamnya cinta yang ada di dalam hati Raka. Cinta yang sudah teruji, yang telah melalui banyak hal. Cinta yang telah menghadapi jarak, waktu, dan kesulitan, namun tetap bertahan. Cinta yang kini membawa mereka di titik ini, titik di mana mereka memutuskan untuk berjalan bersama menuju masa depan.
“Aku juga ingin melangkah bersamamu, Raka,” jawab Alya dengan suara lembut. “Aku tahu ini bukan akhir dari perjalanan kita. Ini baru awalnya. Kita mungkin akan menghadapi lebih banyak rintangan, lebih banyak perpisahan sementara. Tapi aku yakin kita bisa melalui itu semua, seperti kita sudah melalui semua yang ada di belakang kita.”
Raka tersenyum dan menyandarkan kepalanya di bahu Alya, merasakan kenyamanan yang hanya bisa didapat dari seseorang yang benar-benar memahami dirinya. “Kita punya satu sama lain. Itu sudah cukup untuk membuatku merasa kuat. Aku akan selalu ada untukmu, Alya, seperti kamu selalu ada untukku.”
Mereka berdua terdiam, menikmati keheningan yang hanya bisa mereka rasakan. Dunia di sekitar mereka seolah menghilang, hanya ada mereka berdua, dua hati yang saling berhubungan meski tak terlihat oleh mata dunia. Mereka tahu, meskipun perjalanan ini tidak akan selalu mulus, mereka memiliki satu hal yang tak akan pernah pudar—cinta yang terus menguat, semakin dalam.
Lama kelamaan, malam semakin larut, dan suara ombak semakin lembut, seperti melantunkan lagu pengantar tidur bagi mereka yang terbuai dalam kedamaian. Alya dan Raka pun mulai melangkah kembali menuju penginapan, namun kali ini langkah mereka terasa lebih ringan. Mereka tahu, perjalanan mereka belum berakhir, dan meskipun masih banyak hal yang harus mereka hadapi, mereka sudah memutuskan untuk melangkah bersama.
“Raka…” Alya berhenti sejenak, memutar tubuhnya untuk menatap Raka yang berjalan di sampingnya. “Kita akan tetap bersama, bukan? Meskipun nanti kita harus kembali ke tempat asal kita masing-masing, meskipun kita akan kembali ke kehidupan kita yang terpisah lagi, kita akan tetap bersama, kan?”
Raka menatap Alya dengan mata penuh keyakinan. “Kita akan selalu bersama, Alya. Tidak peduli di mana kita berada, tidak peduli jarak apa yang memisahkan kita, kita akan selalu menemukan jalan untuk kembali satu sama lain. Itu janji aku.”
Alya merasakan ketenangan dalam kata-kata Raka. Meski tidak ada yang bisa memastikan apa yang akan terjadi, mereka sudah membuat keputusan untuk selalu berjuang bersama. Mereka telah memilih untuk tidak menyerah, untuk tidak membiarkan apapun merusak apa yang telah mereka bangun. Cinta mereka lebih kuat dari itu.
Perjalanan mereka mungkin baru dimulai, namun satu hal yang pasti—selama mereka saling memegang tangan, mereka tidak akan pernah berjalan sendirian. Mereka akan terus melangkah bersama, melewati segala ujian dan tantangan yang datang, menghadapi masa depan dengan penuh harapan dan cinta yang tak akan pudar.
Saat mereka tiba di penginapan, Raka berhenti sejenak dan menatap Alya dengan penuh kasih. “Aku tahu ini bukan akhir. Kita akan terus berjalan, terus tumbuh, dan terus memperjuangkan cinta kita.”
Alya tersenyum, merasakan kekuatan dalam kata-kata itu. “Aku juga yakin, Raka. Kita akan melangkah bersama, tidak peduli apapun yang datang.”
Dan malam itu, mereka tidur dengan hati yang penuh harapan, siap untuk melangkah bersama ke esok hari. Mereka tahu bahwa selama mereka bersama, tidak ada jarak atau waktu yang bisa memisahkan mereka. Karena mereka telah membuat keputusan yang pasti untuk selalu melangkah bersama.***
————THE END———–