Kisah Cinta
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
Kisah Cinta
No Result
View All Result

SELAMANYA JAUH, SELAMANYA CINTA

SELAMANYA JAUH, SELAMANYA CINTA

SAME KADE by SAME KADE
February 12, 2025
in Cinta Jarak jauh
Reading Time: 31 mins read
SELAMANYA JAUH, SELAMANYA CINTA

Daftar Isi

  • Bab 1  Perkenalan yang Tak Terduga
  • Bab 2  Ketergantungan Emosional
  • Bab 3  Ujian Waktu
  • Bab 4  Keputusan Besar
  • Bab 5  Rindu yang Membara
  • Bab 6  Temuan dalam Kesendirian
  • Bab 7  Kabar yang Menenangkan
  • Bab 8  Menantikan Pertemuan
  • Bab 9  Akhir yang Baru
  • Bab 10  Selamanya Jauh, Selamanya Cinta

Bab 1  Perkenalan yang Tak Terduga

Alya tidak pernah membayangkan bahwa sebuah percakapan singkat di dunia maya bisa mengubah arah hidupnya. Di tengah rutinitas kesehariannya yang monoton, hari itu dia sedang duduk di depan laptop, mencoba mencari sesuatu yang bisa mengusir kejenuhan. Pekerjaan di kantor mulai terasa seperti beban, dan hubungan dengan teman-teman sekitarnya pun mulai kehilangan kehangatannya. Dunia maya adalah tempat yang dia pilih untuk mencari sedikit hiburan, meskipun dia tidak terlalu sering menggunakannya.

Sore itu, ia membuka sebuah forum online yang sering ia kunjungi, tempat yang membahas berbagai topik tentang buku, film, dan hal-hal ringan lainnya. Alya sedang mencari referensi buku terbaru yang bisa dia baca ketika sebuah notifikasi masuk. Itu adalah pesan pribadi dari seorang pengguna dengan nama Raka.

“Hei, aku lihat kamu suka baca buku-buku klasik. Apa pendapatmu tentang Pride and Prejudice? Aku baru selesai membacanya dan merasa agak bingung dengan endingnya.”

Alya terkejut. Bukan karena pesan itu datang dari seseorang yang tak dikenal, melainkan karena topik yang dibicarakan sangat menarik perhatian. Pride and Prejudice adalah salah satu buku favoritnya, dan dia senang bisa berbicara tentang buku itu dengan orang lain. Tanpa berpikir panjang, ia membalas pesan itu dengan cepat.

“Ah, aku juga suka buku itu! Ending-nya memang agak menggantung, kan? Tapi aku rasa itulah yang membuatnya menarik. Kita nggak benar-benar tahu apakah Elizabeth dan Darcy benar-benar bahagia atau tidak. Bagaimana menurutmu?”

Percakapan mereka pun dimulai dengan lancar. Alya merasa nyaman berbicara dengan Raka, meskipun mereka baru saja saling mengenal. Topik mereka bergeser dari Pride and Prejudice ke buku-buku lain yang mereka suka, lalu ke film-film favorit, dan bahkan ke kehidupan pribadi masing-masing. Raka ternyata seorang pria yang gemar membaca dan memiliki selera humor yang cukup menghibur. Alya pun merasa cukup terbuka, bahkan menceritakan beberapa hal yang selama ini hanya dia pendam sendiri. Raka mendengarkan dengan sabar, memberikan pendapatnya, dan seolah mampu memahami setiap kata yang Alya ucapkan.

Tidak terasa, waktu berlalu begitu cepat. Alya yang awalnya hanya berniat mencari hiburan sesaat, kini merasa sudah terlalu lama berbicara dengan Raka. Mereka pun menukar nomor WhatsApp agar bisa melanjutkan percakapan lebih mudah. Sejak saat itu, percakapan mereka semakin intens. Hari-hari Alya dipenuhi dengan pesan-pesan yang datang dari Raka. Terkadang, mereka mengobrol panjang lebar hingga larut malam. Tentang buku, tentang film, tentang apa saja yang mereka alami seharian. Rasanya, mereka sudah mengenal satu sama lain lebih dalam meskipun baru beberapa minggu berkenalan.

Namun, Alya selalu merasa ada yang aneh. Setiap kali dia terhubung dengan Raka, ada perasaan yang sulit dijelaskan. Itu bukan sekadar rasa nyaman yang ia rasakan saat berbicara dengan teman baru, tapi ada sesuatu yang lebih dalam. Alya merasa semakin lama, percakapan mereka bukan lagi sekadar mengenai topik ringan, melainkan sudah mulai menyentuh hal-hal pribadi yang lebih dalam. Raka, meskipun selalu berhati-hati dalam berbicara, mulai berbagi tentang kehidupan pribadinya. Tentang masa kecilnya, tentang perjalanan hidupnya, dan bahkan tentang impian-impian besar yang ingin dia capai.

Alya pun mulai merasakan hal yang sama. Raka mendengarkan dengan penuh perhatian setiap cerita yang dia bagi. Ada kalanya Alya merasa kesepian, terutama saat malam tiba dan dia tidak bisa tidur, dia mulai membuka percakapan dengan Raka, berbicara tentang hal-hal yang mungkin tidak akan dia bicarakan dengan siapa pun. Di sisi lain, Raka juga tampaknya mulai menggali lebih dalam tentang dirinya. Mereka menjadi saling percaya, meskipun pertemuan mereka hanya terjadi lewat layar ponsel atau komputer.

Suatu malam, setelah beberapa minggu intens berkomunikasi, Alya merasa perlu mengungkapkan perasaannya. Bukan hanya sekadar perasaan nyaman, tapi sesuatu yang lebih dari itu. Ketika mereka sedang berbicara tentang buku favorit dan penulis yang mereka kagumi, Alya memutuskan untuk memberanikan diri.

“Aku tahu kita baru saling kenal, tapi… aku rasa kita semakin dekat, Raka. Aku merasa nyaman berbicara denganmu, bahkan tentang hal-hal yang aku sendiri nggak bisa ceritakan ke orang lain,” tulis Alya di layar ponselnya, tangannya sedikit gemetar saat menekan tombol kirim.

Raka membalas dalam beberapa detik, membuat jantung Alya berdegup lebih kencang.

“Alya, aku juga merasa hal yang sama. Rasanya seperti sudah lama kita kenal, meskipun baru beberapa waktu lalu kita mulai berbicara. Aku nggak tahu kenapa, tapi aku merasa ada sesuatu yang lebih antara kita.”

Tiba-tiba, Alya merasa cemas. Apa yang dia rasakan ini, apakah hanya sekadar keterikatan emosional karena mereka sering berbicara, ataukah ada sesuatu yang lebih? Di dunia maya, semuanya terasa lebih mudah, lebih aman. Tapi dalam hati Alya, ada ketakutan—apakah perasaan ini benar adanya, ataukah hanya sebuah khayalan yang dibangun oleh komunikasi yang intens?

Namun, Raka, seolah bisa merasakan keraguan itu, mengirim pesan berikutnya yang membuat hati Alya sedikit lebih tenang.

“Alya, aku nggak ingin terburu-buru mengatakan sesuatu yang belum aku yakin sepenuhnya. Tapi yang pasti, aku ingin terus berkomunikasi denganmu. Aku ingin mengenalmu lebih dalam lagi, dan melihat kemana ini akan membawa kita.”

Perkataan itu membuat Alya merasa sedikit lebih lega. Mungkin mereka memang masih terlalu baru untuk membicarakan perasaan lebih dalam, tetapi Alya merasa ada sesuatu yang lebih dari sekadar persahabatan. Mungkin ini adalah awal dari sesuatu yang akan tumbuh menjadi lebih, mungkin juga bukan. Tetapi untuk pertama kalinya, Alya merasa yakin bahwa perjalanan mereka berdua baru saja dimulai.

Dan malam itu, mereka berdua kembali berbicara hingga larut malam. Tidak ada kata-kata romantis, tidak ada janji-janji, hanya percakapan yang mengalir dengan mudah, seolah mereka sudah mengenal satu sama lain bertahun-tahun lamanya. Di balik percakapan ringan tentang film dan musik, ada sebuah perasaan yang tumbuh, perlahan tapi pasti. Cinta, mungkin, atau hanya sekadar kedekatan yang menghangatkan hati.

Namun, satu hal yang pasti: Perkenalan ini adalah awal dari perjalanan panjang yang tak terduga, yang akan membawa mereka ke tempat yang tidak pernah mereka bayangkan sebelumnya.*

Bab 2  Ketergantungan Emosional

Hari demi hari, percakapan antara Alya dan Raka semakin intens. Mereka mulai saling berbagi lebih banyak hal pribadi, bahkan lebih banyak dari yang biasanya mereka bagikan kepada orang lain di dunia nyata. Setiap pesan yang dikirimkan membawa kedekatan yang semakin dalam. Rasanya, dunia mereka terhubung oleh jaringan tak terlihat yang mengikat mereka lebih erat, meskipun jarak yang memisahkan mereka sangat jauh.

Alya mulai merasakan bahwa komunikasi dengan Raka menjadi kebutuhan. Setiap kali ponselnya berbunyi, jantungnya berdegup kencang. Entah itu pesan teks, panggilan video, atau hanya sekedar notifikasi dari aplikasi chat yang menunjukkan ada pesan baru darinya, Alya selalu merasa lebih tenang setelah berbicara dengan Raka. Ada perasaan nyaman yang selalu dia cari, dan entah mengapa, itu hanya bisa ditemukan melalui percakapan dengan Raka.

“Raka, aku sedang merasa lelah dengan pekerjaanku,” tulis Alya suatu malam setelah seharian penuh dengan tugas-tugas kantor yang menumpuk. “Banyak hal yang harus diselesaikan, tapi rasanya energi sudah habis.”

Pesan itu tidak membutuhkan waktu lama untuk mendapatkan balasan.

“Alya, aku bisa bayangkan bagaimana capeknya kamu,” balas Raka dengan cepat. “Kamu sudah bekerja keras. Kadang, kita memang butuh jeda, bahkan hanya untuk berbicara dengan seseorang. Aku di sini, kok, kalau kamu butuh teman bicara.”

Alya tersenyum kecil membaca balasan Raka. Rasanya, seperti ada sesuatu yang menghangatkan hatinya. Setiap kali merasa down atau kelelahan, dia tahu ada seseorang yang siap mendengarkan. Raka tidak hanya menjadi teman biasa baginya, tetapi juga seorang pendengar yang sabar. Terkadang, mereka berbicara tentang topik yang ringan, seperti film yang baru mereka tonton atau buku yang baru dibaca, tapi ada kalanya mereka berbicara tentang hal-hal yang lebih dalam, seperti ketakutan mereka, impian mereka, atau keraguan-keraguan yang mengganggu.

Suatu malam, setelah percakapan panjang tentang pekerjaan dan kehidupan mereka masing-masing, Alya merenung sejenak. Sudah beberapa bulan sejak mereka pertama kali berbicara, dan dalam waktu yang singkat itu, perasaan yang dia rasakan terhadap Raka semakin tumbuh. Bukan hanya sebagai teman, tetapi sebagai seseorang yang sangat berarti dalam hidupnya.

“Apa kamu merasa seperti kita sudah semakin dekat, Raka?” tanya Alya dengan hati-hati.

Pertanyaan itu keluar begitu saja, tanpa dia rencanakan. Tapi begitu dia mengirimkannya, dia merasa sedikit cemas. Apakah itu terlalu cepat untuk diungkapkan? Apakah perasaan ini hanya datang karena mereka sering berbicara dan saling bergantung satu sama lain?

Beberapa detik setelah pesan itu terkirim, ponselnya bergetar, menandakan ada balasan dari Raka.

“Ya, aku merasa begitu,” balas Raka singkat. “Sepertinya kita sudah saling mengenal lebih dalam, bahkan meskipun jarak memisahkan kita. Aku merasa nyaman bisa berbicara denganmu tentang banyak hal. Aku nggak tahu kenapa, tapi ada sesuatu yang lebih dalam daripada sekadar teman biasa.”

Hati Alya berdegup kencang saat membaca balasan itu. Tidak ada yang perlu diucapkan lebih lanjut. Mereka berdua tahu apa yang mereka rasakan, meskipun tidak secara eksplisit mengatakannya. Mereka berdua tahu bahwa kedekatan yang terjalin ini bukanlah sekadar hubungan biasa. Ada ikatan emosional yang sulit dijelaskan, namun mereka merasakannya.

Namun, seiring berjalannya waktu, ketergantungan emosional itu semakin tumbuh. Setiap kali Alya merasa lelah, atau ada masalah yang datang dalam hidupnya, dia merasa lebih mudah untuk berbicara dengan Raka. Raka, di sisi lain, juga merasakan hal yang sama. Mereka mulai mengandalkan satu sama lain untuk mengisi kekosongan emosional yang terkadang sulit ditemukan di dunia nyata.

“Alya, aku nggak tahu kenapa, tapi aku merasa kayak aku bisa jadi diri sendiri kalau ngobrol sama kamu,” tulis Raka suatu malam setelah mereka berbicara panjang lebar tentang masa depan mereka. “Kadang aku merasa dunia ini berat, tapi percakapan kita membuat semuanya terasa lebih ringan.”

Alya menatap layar ponselnya, merasa ada perasaan hangat yang mengalir ke dalam dadanya. Raka bukan hanya teman baginya, tapi sudah menjadi bagian dari hidupnya yang tak terpisahkan. Meski mereka hanya saling berkomunikasi lewat layar ponsel, perasaan itu terasa sangat nyata.

“Aku merasa sama, Raka,” balas Alya. “Setiap kali ada masalah, aku tahu aku bisa berbicara sama kamu, dan itu selalu membuat aku merasa lebih baik. Tapi, kadang aku khawatir, kita terlalu bergantung sama satu sama lain. Apa kita nggak takut jika satu hari nanti, kita nggak bisa berbicara lagi?”

Alya menekan tombol kirim, lalu menunggu. Ada rasa cemas yang menggelayuti hatinya. Dia tahu hubungan mereka semakin dekat, namun ada ketakutan jika ketergantungan emosional ini justru akan membebani mereka suatu hari nanti. Apa yang terjadi jika suatu saat Raka merasa lelah, atau mereka terhalang oleh kesibukan masing-masing?

Beberapa menit kemudian, Raka membalas, memberikan jawaban yang membuat Alya merasa sedikit lebih tenang.

“Kita tidak bisa menjamin apa yang akan terjadi di masa depan, Alya. Tapi satu hal yang aku tahu, sekarang kita berdua merasa nyaman satu sama lain. Aku nggak akan membiarkan hubungan ini hilang begitu saja, jika itu yang kamu maksud. Kita bisa menemukan cara untuk tetap terhubung, bahkan jika kita harus menghadapi jarak atau waktu yang semakin panjang.”

Alya menghela napas lega, meski perasaannya masih terombang-ambing. Ada sesuatu dalam dirinya yang merasa takut kehilangan ikatan ini, tapi pada saat yang sama, dia tahu bahwa hubungan ini memberi arti yang lebih besar dalam hidupnya.

Malam itu, mereka berbicara hingga larut, saling berbagi cerita, berbicara tentang harapan dan impian mereka. Mereka tahu bahwa mereka sudah terikat lebih dari sekadar teman biasa. Mereka sudah mulai bergantung satu sama lain, dan perasaan itu semakin mendalam. Namun, dengan segala ketergantungan emosional yang ada, mereka juga sadar bahwa hubungan ini memerlukan pengorbanan dan perjuangan. Meskipun jarak memisahkan mereka, perasaan yang tumbuh di antara mereka tidak bisa begitu saja diabaikan.

Di balik setiap percakapan, ada harapan yang tak pernah padam. Mereka ingin berjuang, meskipun banyak rintangan yang harus dihadapi. Karena di dalam hati mereka, ada keyakinan yang sama: Cinta ini lebih dari sekadar kata-kata, dan mereka siap untuk menjaga dan merawatnya, walaupun jarak tetap memisahkan.*

Bab 3  Ujian Waktu

Waktu, yang sebelumnya terasa tak terbatas, kini menjadi musuh yang semakin nyata bagi hubungan Alya dan Raka. Dulu, ketika mereka pertama kali berbicara, segala sesuatunya terasa sederhana. Mereka bertukar pesan, berbicara setiap hari, dan merasa terhubung meskipun hanya lewat layar. Namun, semakin lama, kedekatan itu diuji oleh tuntutan dunia nyata yang tak dapat dihindari.

Pekerjaan Alya semakin padat. Jam kerjanya yang panjang dan tenggat waktu yang terus berdatangan membuatnya hampir tidak punya waktu untuk beristirahat, apalagi untuk berbicara dengan Raka. Begitu juga dengan Raka, yang harus menghadapi tanggung jawabnya yang semakin besar di tempat kerjanya. Mereka berdua mulai merasakan adanya kesenjangan, sebuah jarak yang tidak hanya fisik, tetapi juga waktu dan perhatian yang semakin terbagi.

“Maaf, aku baru bisa bales pesanmu sekarang,” tulis Alya pada suatu malam setelah seharian penuh dengan tugas yang menumpuk. “Aku kelelahan banget hari ini.”

Raka membalas dengan cepat, tapi ada nada berbeda dalam balasannya kali ini, seolah ada sedikit ketegangan yang mulai terasa.

“Tidak apa-apa, Alya. Aku ngerti kok. Aku juga sibuk banget belakangan ini,” balas Raka. “Tapi aku rasa kita mulai jarang ngobrol ya, apakah itu hanya aku saja yang merasa begitu?”

Alya terdiam sejenak membaca pesan itu. Perasaannya tercampur aduk. Di satu sisi, dia merasa bersalah karena tidak bisa memberikan perhatian yang cukup pada Raka. Di sisi lain, dia juga merasa frustrasi dengan beban pekerjaan yang terus meningkat. Bahkan ketika dia ingin berbicara dengan Raka, kadang waktu yang ada begitu terbatas, dan percakapan mereka menjadi lebih singkat, lebih terburu-buru.

“Aku juga merasa begitu, Raka,” balas Alya akhirnya, mengetik perlahan. “Kadang aku merasa seperti hubungan ini mulai terasa berat. Bukan karena kita tidak ingin berbicara, tapi karena waktunya nggak ada.”

Setelah pesan itu terkirim, Alya duduk termenung. Ada ketakutan yang perlahan merayapi dirinya. Apakah perasaan ini akan berlanjut? Akankah mereka bisa terus bertahan meskipun waktu menjadi penghalang utama mereka?

Raka, setelah beberapa menit, membalas dengan kata-kata yang lebih lembut.

“Alya, aku paham. Aku juga merasa berat. Tapi aku nggak ingin hubungan ini berakhir hanya karena waktu. Aku ingin kita mencari cara agar bisa tetap terhubung, meskipun jarak dan kesibukan kita semakin jauh.”

Alya menghela napas panjang. Kata-kata Raka benar. Mereka berdua tidak ingin melepaskan satu sama lain begitu saja, tetapi kenyataannya memang sulit. Perasaan yang mereka miliki tidak bisa mengalahkan tuntutan hidup mereka masing-masing.

Namun, meskipun mereka berusaha saling memahami, ada rasa cemas yang terus menggelayuti hati Alya. Setiap kali dia mengingat betapa sibuknya dia dengan pekerjaannya, dia takut kalau perasaan itu akan memudar. Ada perasaan khawatir, apakah hubungan ini cukup kuat untuk mengatasi ujian waktu. Mungkin mereka berdua merasa terhubung sekarang, tetapi bagaimana kalau beberapa bulan lagi mereka sudah terlalu jauh untuk saling mengingat?

Malam itu, mereka hanya mengirim beberapa pesan singkat, saling memberi semangat untuk menghadapi hari-hari yang sulit. Setelah itu, mereka berdua kembali terperangkap dalam dunia masing-masing. Alya berusaha fokus pada pekerjaannya, sedangkan Raka tenggelam dalam kesibukan yang sama. Mereka masih saling menyapa lewat pesan, tetapi itu tidak lagi seperti dulu. Percakapan mereka semakin jarang, dan perasaan cemas yang Alya rasakan semakin menumpuk.

Minggu demi minggu berlalu, dan jarak waktu semakin terasa. Alya mulai merasa bahwa setiap kali dia mencoba menghubungi Raka, jawabannya lebih lambat, lebih singkat, seolah-olah ada sesuatu yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Hal yang sama terjadi pada Raka. Kadang dia merasa cemas bahwa Alya mungkin merasa bosan atau lelah dengan dirinya.

“Raka, aku merasa kita makin jauh,” tulis Alya suatu pagi. “Aku rindu obrolan panjang kita dulu. Aku nggak tahu kenapa, tapi sekarang semuanya terasa berbeda.”

Raka membalas dengan kalimat yang lebih pendek dari biasanya.

“Alya, aku rasa kita berdua hanya butuh waktu untuk menyesuaikan diri. Pekerjaan memang mulai menyita banyak waktu. Tapi aku nggak mau hubungan ini berakhir. Aku masih ingin ada di hidupmu, meskipun waktunya terbatas.”

Malam itu, Alya terbangun dari tiduran yang gelisah. Rasa cemas dan rindu yang mulai menggebu begitu kuat. Di satu sisi, dia tahu bahwa dia dan Raka sedang berjuang dengan masalah yang sama, tetapi di sisi lain, dia merasa seperti ada dinding tak terlihat yang perlahan terbentuk di antara mereka. Dinding itu adalah waktu, yang memisahkan mereka semakin jauh, meskipun perasaan mereka tetap ada.

Di tengah kesibukannya yang tak kunjung berakhir, Alya akhirnya memutuskan untuk mencari waktu untuk berbicara dengan Raka. Dia merasa bahwa, jika tidak, hubungan ini bisa semakin jauh. “Raka,” tulisnya setelah beberapa minggu tanpa percakapan panjang. “Aku ingin berbicara. Ini penting.”

Alya menunggu dengan cemas, namun balasan dari Raka datang dengan cepat.

“Apa yang ingin kamu bicarakan, Alya?”

Dengan perasaan campur aduk, Alya memutuskan untuk mengungkapkan semua kekhawatirannya. “Aku merasa semakin jauh dari kamu. Waktu kita semakin terbatas, dan aku khawatir hubungan ini bisa hilang begitu saja. Aku tidak tahu apa yang harus kita lakukan. Aku ingin kita tetap bertahan, tetapi aku takut kita tidak bisa.”

Raka membaca pesan itu dengan seksama, dan beberapa saat kemudian, balasan darinya muncul.

“Alya, aku juga merasakan hal yang sama. Tapi, aku ingin kita berjuang untuk ini. Aku nggak mau menyerah hanya karena waktu. Kita harus mencari cara untuk menjaga apa yang kita punya.”

Alya menatap layar ponselnya, merasa ada secercah harapan. Meskipun waktunya terbatas, mereka masih punya pilihan. Mereka masih bisa berusaha, dan itu membuatnya merasa sedikit lebih tenang. Mungkin perjalanan ini tidak akan mudah, tetapi setidaknya mereka berdua sudah siap untuk menghadapinya bersama.

Mereka tahu bahwa ujian waktu tidak akan berhenti menguji mereka, namun jika mereka saling berkomitmen, mungkin saja hubungan ini bisa bertahan. Cinta mereka masih ada, meskipun waktu terus berjalan, dan hanya mereka yang bisa menentukan apakah cinta itu akan bertahan atau menghilang begitu saja.*

Bab 4  Keputusan Besar

Alya duduk termenung di meja kerjanya, tatapannya kosong, memandangi layar komputer yang tampak kabur karena pikirannya yang terlalu berat. Setelah berbulan-bulan berkomunikasi dengan Raka, perasaan yang tumbuh semakin kuat, meskipun jarak dan waktu selalu menjadi penghalang. Mereka telah berusaha mempertahankan hubungan ini, meskipun ujian demi ujian datang silih berganti. Namun kali ini, Alya merasa ada sebuah keputusan besar yang harus dia buat.

Keputusan yang akan menentukan arah hidupnya, bukan hanya untuk dirinya, tetapi juga untuk Raka dan hubungan yang mereka jalin.

Pekerjaan yang semakin menumpuk, rutinitas yang menguras tenaga, dan rasa rindu yang semakin mendalam membuat Alya mulai merasakan kelelahan. Dia merasa seperti terjebak dalam lingkaran yang tak ada habisnya. Setiap hari, dia merasa semakin jauh dari Raka. Meskipun mereka saling berbicara lewat pesan atau video call, ada bagian dari dirinya yang merasa kosong. Rindu yang tumbuh semakin dalam, dan dia tahu, untuk menghadapinya, dia harus membuat keputusan besar.

Alya memandang jam dinding yang berdetak pelan, seakan mengingatkan bahwa waktu terus berjalan. Pikirannya melayang, mengingat percakapan terakhir mereka. Raka telah mengungkapkan betapa dia ingin bertemu, ingin merasakan kedekatan yang lebih nyata daripada sekadar melalui layar ponsel. Alya tahu, Raka sudah mulai lelah dengan jarak yang memisahkan mereka. Dan dia juga merasa hal yang sama.

Tapi, ada sebuah pertanyaan yang terus mengganggu benaknya: Apa yang akan terjadi jika aku memilih untuk bertemu dengannya?

Bertemu langsung berarti mengubah segalanya. Alya tahu, jika mereka memutuskan untuk bertemu, maka itu akan menjadi langkah besar. Pertemuan itu bisa membuka peluang bagi hubungan mereka untuk tumbuh lebih dalam, atau justru mengungkapkan ketidaksesuaian yang selama ini tersembunyi di balik kata-kata dan pesan-pesan manis. Jarak ini, yang sebelumnya terasa seperti penghalang sementara, bisa jadi berubah menjadi kenyataan yang harus mereka hadapi.

Alya menarik napas panjang dan membuka ponselnya. Di layar, muncul pesan dari Raka yang baru saja dia baca beberapa jam yang lalu, yang berisi kalimat singkat namun penuh makna.

“Alya, aku ingin kita bertemu. Aku merasa sudah saatnya kita berjumpa, untuk melihat apakah kita benar-benar bisa bersama dalam dunia nyata.”

Kalimat itu seperti menyentuh bagian terdalam hatinya. Keinginan Raka yang begitu tulus membuat Alya semakin bingung. Namun, pada saat yang sama, dia merasakan sesuatu yang lain sebuah dorongan untuk memutuskan, untuk mengambil langkah berani meskipun segala ketakutan dan kekhawatiran melingkupi.

Raka selalu meyakinkannya bahwa mereka bisa melewati ini bersama. Tapi, apakah dia siap untuk menghadapinya?

Alya tahu, keputusan ini bukan sekadar tentang bertemu dengan Raka. Ini juga tentang dirinya tentang apakah dia siap mengubah hidupnya, untuk menerima kemungkinan-kemungkinan baru yang bisa datang setelah pertemuan itu. Apakah dia siap untuk memperjuangkan sesuatu yang lebih besar dari sekadar kata-kata di layar ponsel?

Dengan perasaan campur aduk, Alya akhirnya memutuskan untuk menghubungi Raka. Dia tidak bisa terus berlarut-larut dalam keraguan ini. Dia harus membuat keputusan, dan segera.

“Raka,” tulis Alya dengan hati-hati. “Aku sudah memikirkan apa yang kamu katakan. Aku ingin bertemu denganmu, meskipun aku tahu ini adalah langkah besar. Aku takut, tapi aku rasa kita sudah waktunya untuk mencoba. Apa kita bisa mencari cara untuk membuat ini terjadi?”

Tangan Alya gemetar sedikit saat menekan tombol kirim. Ketika pesan itu terkirim, sebuah perasaan lega mengalir, meskipun rasa takut tetap menyelimutinya. Apakah dia sudah siap untuk berkomitmen pada hubungan ini dalam dunia nyata? Apakah dia bisa membangun sesuatu yang lebih kuat setelah bertemu dengan Raka?

Beberapa saat kemudian, balasan dari Raka muncul.

“Alya, aku sangat senang mendengar ini. Aku tahu ini keputusan besar untuk kita berdua, tapi aku percaya kita bisa melakukannya. Kita akan mencari cara, apapun itu. Aku sudah tidak sabar menunggu hari itu tiba.”

Membaca pesan itu, Alya merasa ada kekuatan yang mengalir dalam dirinya. Meskipun ketakutan masih ada, ada juga harapan yang baru terbangun. Ternyata, keputusan besar ini bukan hanya tentang keberanian untuk melangkah, tetapi juga tentang kepercayaan. Kepercayaan bahwa apa yang mereka miliki adalah sesuatu yang berharga, sesuatu yang layak untuk diperjuangkan.

Alya tahu, perjalanan mereka belum berakhir. Ini adalah langkah pertama dari banyak langkah yang harus mereka ambil bersama. Keputusan untuk bertemu adalah titik balik yang akan menentukan apakah hubungan ini akan berlanjut atau berakhir. Tapi, meskipun ada rasa takut dan keraguan, Alya merasa bahwa dia harus berani melangkah.

Keesokan harinya, setelah beberapa hari merencanakan perjalanan dan mengatur segala persiapan, Alya mulai merasakan kecemasan yang semakin menguat. Pikirannya dipenuhi dengan berbagai kemungkinan—bagaimana jika pertemuan itu tidak berjalan seperti yang dia harapkan? Bagaimana jika, setelah bertemu, semuanya berubah? Ketakutan itu menghantui setiap sudut pikirannya. Namun, ada juga perasaan lain yang lebih kuat: harapan.

Harapan untuk melihat Raka secara langsung, untuk merasakan kehadirannya bukan hanya di dunia maya, tetapi juga dalam kehidupan nyata. Harapan bahwa hubungan ini bisa berkembang, bukan hanya karena perasaan yang ada, tetapi juga karena keduanya siap untuk berkomitmen pada sesuatu yang lebih besar dari sekadar kata-kata di layar ponsel.

Hari yang dinanti pun tiba. Alya mengemas barang-barangnya dengan hati berdebar, menunggu waktu yang tepat untuk berangkat. Rasa takut dan antisipasi bercampur aduk, tapi dia tahu satu hal: keputusan besar ini adalah langkah yang harus dia ambil. Meskipun ada ketakutan, ada juga keyakinan dalam hatinya bahwa mereka bisa menghadapi apa pun yang datang setelah pertemuan itu.

Alya berdiri di depan pintu, siap melangkah keluar. Sebuah perjalanan baru dimulai, bukan hanya untuk dirinya, tetapi juga untuk cinta yang mereka bangun meskipun terpisah oleh jarak. Di ujung perjalanan ini, dia tahu bahwa apapun yang terjadi, dia dan Raka telah siap untuk menghadapi ujian terbesar dalam hubungan mereka pertemuan yang akan mengubah segalanya.*

Bab 5  Rindu yang Membara

Waktu berjalan begitu cepat, dan meskipun Alya berusaha mengisi hari-harinya dengan aktivitas yang padat, rasa rindu pada Raka tetap tak tertahankan. Setiap hari, ia merasa semakin terperangkap dalam lautan kesibukan dan kebingungannya sendiri. Namun, ada satu hal yang terus menggelora dalam dirinya: rindu yang membara. Rindu yang tak pernah padam meski jarak memisahkan mereka.

Hari itu, seperti hari-hari lainnya, Alya duduk di meja kerjanya. Pekerjaan menumpuk di hadapannya, namun pikirannya tidak bisa lepas dari sosok Raka. Mereka sudah membuat keputusan besar untuk bertemu, tetapi pertemuan itu masih beberapa minggu lagi. Meskipun begitu, perasaan yang tumbuh di hatinya semakin dalam, semakin kuat. Rindu itu seolah menjadi api yang tak pernah padam, malah semakin menyala-nyala.

Alya memandangi layar ponselnya, membuka aplikasi pesan, dan melihat foto Raka yang ada di kontaknya. Tersenyum manis dengan latar belakang pemandangan kota yang dia kirim beberapa waktu lalu. Seperti biasa, Raka akan mengirimkan pesan singkat setiap pagi atau malam, tetapi malam ini, dia merasa seperti ada yang kurang. Ada jarak yang semakin lebar meski mereka masih berhubungan.

Setelah beberapa detik memandangi layar, Alya mulai mengetik pesan.

“Raka, aku merindukanmu. Aku tahu kita akan segera bertemu, tapi rindu ini semakin sulit ditahan.”

Pesan itu terkirim, dan Alya menatap dengan cemas, menunggu balasan yang datang. Dalam beberapa detik, ponselnya bergetar. Raka membalas pesannya dengan cepat, seolah-olah dia sudah menunggu.

“Aku juga merindukanmu, Alya. Rasanya, setiap hari tanpa kamu terasa hampa. Aku menghitung hari untuk kita bertemu. Tidak ada yang lebih aku inginkan selain berada di dekatmu.”

Alya menarik napas panjang dan memejamkan mata, meresapi setiap kata yang dikirimkan Raka. Meski hanya kata-kata di layar, rasanya seperti ada api yang menyentuh hatinya, membakar setiap inci tubuhnya dengan rasa rindu yang begitu kuat. Bagaimana bisa jarak yang begitu jauh membuatnya merasa begitu dekat dan begitu jauh dalam waktu bersamaan?

Alya meletakkan ponselnya dan menatap keluar jendela. Malam itu, bintang-bintang di langit begitu terang. Langit yang seakan ingin mengingatkan dia tentang apa yang ia dan Raka perjuangkan. Mereka berdua berada di tempat yang berbeda, namun satu hal yang sama adalah perasaan mereka—rindu yang terus membara, tak bisa diredakan.

“Kenapa rasanya begitu sulit?” gumam Alya pelan pada dirinya sendiri. Dia sudah berusaha sekuat tenaga untuk tetap sibuk, untuk terus maju dengan kehidupannya, namun semakin hari, perasaan itu semakin tak tertahankan. Rindu yang membara itu datang begitu mendalam, mengisi setiap ruang yang ada. Rindu yang seakan mengisi kekosongan dalam hidupnya yang semakin terasa hampa tanpa Raka.

Sambil menunggu balasan dari Raka, Alya kembali membuka album foto di ponselnya. Ada banyak foto yang mereka kirimkan satu sama lain—foto Raka di tempat kerja, foto Alya saat berada di sebuah kafe favorit mereka, hingga foto-foto sederhana yang mereka ambil hanya untuk berbagi cerita sehari-hari. Setiap foto itu membawa kenangan indah yang seakan tak pernah bisa dia lupakan.

Pikiran Alya mulai melayang. Dia membayangkan hari-hari yang akan mereka lewati setelah bertemu nanti. Bagaimana rasanya berjalan bersama, duduk di sebuah taman sambil berbicara tentang segala hal, atau hanya duduk diam bersama sambil menikmati kebersamaan tanpa kata-kata. Kehadiran fisik yang selama ini hanya ada dalam impian mereka, akhirnya akan menjadi kenyataan. Namun, meskipun begitu, dia tahu bahwa perjalanan ini tidak akan mudah. Mereka akan menghadapi banyak tantangan setelah bertemu, tantangan yang tak hanya berhubungan dengan jarak, tetapi juga dengan perasaan mereka sendiri.

Ponselnya bergetar lagi, dan pesan dari Raka muncul di layar.

“Aku tahu kita berdua sedang berada di titik yang sulit. Aku merasa semakin tidak sabar untuk bertemu denganmu, tetapi aku juga merasa cemas. Cemas apakah pertemuan ini akan sesuai dengan apa yang kita bayangkan.”

Membaca pesan itu, Alya terdiam sejenak. Rindu dan kecemasan yang dirasakan Raka seolah menyatu dengan perasaan yang ada dalam dirinya. Mereka berdua telah menghabiskan waktu berbulan-bulan berbicara melalui layar, saling mengungkapkan perasaan, tetapi tetap saja ada rasa takut yang tak bisa dihindari. Ketakutan bahwa segala yang mereka bayangkan mungkin tidak akan sesuai dengan kenyataan.

Alya merasa tak berdaya, bingung bagaimana menjelaskan perasaan ini. Ada rasa takut untuk mengecewakan Raka, ada rasa khawatir bahwa segala sesuatu yang mereka harapkan mungkin tidak akan terwujud sebagaimana mestinya. Namun, di sisi lain, perasaan rindu yang membara itu tetap ada, semakin menguatkan dirinya untuk tetap maju, untuk tetap percaya bahwa mereka bisa melewati semua ini bersama.

“Aku juga merasa cemas, Raka,” balas Alya akhirnya. “Tapi kita sudah begitu jauh untuk menyerah sekarang. Rindu ini terlalu kuat untuk diabaikan. Aku ingin bertemu denganmu, meskipun aku juga takut.”

Alya menatap balasan itu sebelum mengirimnya. Ada kejujuran yang dia ungkapkan, sebuah kejujuran yang sudah lama terpendam di dalam hatinya. Rindu itu adalah kenyataan yang tidak bisa dihindari, dan mereka berdua harus berani menghadapinya, meskipun itu sulit.

Beberapa menit kemudian, balasan dari Raka datang.

“Aku juga takut, Alya. Tapi aku ingin melawan rasa takut itu. Aku ingin kita saling memberi kesempatan untuk merasakan apa yang selama ini kita impikan. Kita berdua sudah terlalu lama terpisah oleh jarak. Mari kita buktikan bahwa cinta ini lebih kuat daripada apa pun.”

Membaca pesan itu, Alya merasa ada beban yang sedikit terangkat dari hatinya. Rindu yang membara itu tidak hanya terasa satu arah. Raka merasakan hal yang sama, dan mereka berdua saling menguatkan dengan kata-kata yang begitu tulus. Mungkin mereka tidak bisa mengontrol jarak, tetapi mereka bisa mengontrol bagaimana mereka berjuang untuk mempertahankan apa yang sudah mereka bangun.

“Aku setuju,” balas Alya. “Mari kita berjuang untuk cinta ini, meskipun jarak dan waktu selalu menguji kita. Aku percaya kita bisa melakukannya.”

Malam itu, Alya merasa lebih tenang. Rindu itu tetap ada, tetap membara, tetapi kini dia tahu bahwa dia tidak sendirian. Raka ada di sana, merasakan hal yang sama, dan mereka akan berjuang bersama. Karena pada akhirnya, meskipun jarak terus memisahkan, cinta mereka akan tetap kuat.*

Bab 6  Temuan dalam Kesendirian

Malam itu, Alya duduk di balkon apartemennya, membiarkan angin malam yang sejuk menyapu wajahnya. Bintang-bintang tampak begitu terang di langit, seolah menatapnya dengan penuh harapan, meski ia tahu, Raka yang ia rindukan begitu jauh di sana. Di antara jarak yang memisahkan mereka, ia merasa terperangkap dalam perasaan yang ambigu di satu sisi, ia merasa lebih dekat dengan Raka daripada sebelumnya, namun di sisi lain, ia merasa semakin jauh. Ada semacam kekosongan yang semakin terasa saat malam tiba, saat dunia seakan berhenti dan hanya kesendirian yang menemani.

Hari-hari terakhir ini, meskipun mereka saling berkomunikasi hampir setiap hari, Alya mulai merasa ada yang hilang. Mereka berbicara tentang hal-hal ringan, tertawa, dan berbagi cerita, tetapi rasa rindu itu tidak pernah benar-benar terobati. Setiap kata yang tertulis di layar ponselnya terasa hampa, tidak seperti dulu. Dia merasa seperti ada sesuatu yang lebih besar yang harus ia temui, bukan hanya dalam hubungan mereka, tetapi juga dalam dirinya sendiri.

“Apa yang kurang?” pikirnya. “Kenapa meskipun kita saling berusaha, rasa ini masih tak terpuaskan?”

Rasa rindu itu seperti api yang tidak bisa dipadamkan, terus menyala meskipun ia mencoba untuk mengabaikannya. Namun, kali ini, bukan hanya Raka yang ia rindukan ia juga merindukan dirinya sendiri. Selama ini, ia terlalu banyak memberikan perhatian pada hubungan ini, terlalu banyak berfokus pada apa yang ada di luar dirinya, hingga ia lupa untuk melihat ke dalam hatinya sendiri. Ia mulai bertanya pada dirinya, apakah ia sudah benar-benar siap untuk menghadapi apa yang akan datang setelah pertemuan itu? Apakah cinta ini sudah cukup untuk mempertahankan mereka berdua, ataukah masih ada bagian dari dirinya yang harus ia temui terlebih dahulu?

Kehidupan yang begitu cepat, pekerjaan yang terus menuntut, dan tanggung jawab yang terus menumpuk membuat Alya merasa hilang. Ia merasa semakin terjepit antara kebutuhan untuk menjaga hubungan ini dan keinginannya untuk menemukan kedamaian dalam dirinya sendiri. Setiap kali ia mencoba merenung, pikirannya terbang ke Raka keinginan untuk segera bertemu, untuk merasakan kedekatan itu. Tetapi, ada juga suara kecil yang mengingatkannya bahwa ada lebih banyak yang perlu ia temui dalam perjalanan hidup ini, selain hanya memikirkan jarak yang memisahkan mereka.

Suatu sore, setelah pulang kerja, Alya memutuskan untuk berjalan-jalan sendiri. Ia membutuhkan waktu untuk berpikir, untuk meresapi segala hal yang tengah terjadi dalam hidupnya. Langkah demi langkah, ia berjalan tanpa tujuan yang pasti, hanya mengikuti insting yang membawanya ke sebuah taman kecil di ujung jalan. Taman itu tidak terlalu ramai, hanya beberapa orang yang duduk menikmati udara sore yang sejuk. Alya mencari tempat duduk di dekat sebuah pohon besar, yang cabang-cabangnya menyebar lebar, memberikan naungan yang nyaman.

Di situlah, untuk pertama kalinya dalam beberapa minggu terakhir, Alya merasa bisa bernapas dengan lega. Tanpa ponsel yang berbunyi, tanpa pesan-pesan yang harus dibalas, hanya dirinya dan kesendirian. Ia menatap langit yang mulai memudar warnanya, beralih ke biru gelap yang dihiasi oleh bintang-bintang. Di situlah ia merasa seolah dunia berhenti sejenak, memberi ruang untuknya merenung.

“Ini semua tentang menemukan keseimbangan,” pikirnya. “Mungkin aku terlalu lama mengabaikan diri sendiri. Aku terlalu sibuk dengan hubungan ini hingga lupa untuk mencari tahu apa yang aku butuhkan. Apa yang aku inginkan dalam hidupku.”

Alya menutup mata, mencoba untuk mendengarkan suara hatinya. Terkadang, kesendirian itu bukanlah musuh, tetapi teman yang bisa memberikan jawaban yang kita cari. Selama ini, ia terlalu bergantung pada Raka untuk mengisi kekosongan dalam hidupnya, namun sekarang ia mulai menyadari bahwa perasaan kosong itu harus ia temui sendiri. Jika ia ingin berbagi hidupnya dengan seseorang, ia harus tahu terlebih dahulu apa yang membuatnya utuh.

Beberapa saat kemudian, ponsel Alya bergetar. Sebuah pesan dari Raka masuk, tetapi kali ini ia merasa lebih tenang dalam membacanya. Tidak ada lagi rasa takut atau kegelisahan yang menyertainya. Kali ini, ia hanya membaca dengan penuh perhatian, tanpa buru-buru membalas. Raka menulis:

“Alya, aku tahu kita sedang berada di titik yang berat, dengan segala rasa rindu dan keraguan. Tapi aku ingin kau tahu satu hal aku percaya padamu, dan aku percaya pada kita. Aku hanya berharap, suatu hari nanti, kita bisa menemukan kedamaian di antara semua jarak yang memisahkan kita. Aku merindukanmu lebih dari apa pun.”

Membaca pesan itu, Alya merasakan ada sebuah ketenangan yang muncul dalam dirinya. Rindu yang mereka rasakan memang besar, tetapi ia mulai mengerti bahwa itu bukanlah beban. Rindu itu adalah tanda bahwa mereka memiliki sesuatu yang berharga. Dan untuk pertama kalinya, Alya merasa siap untuk menerima semua perasaan ini rindu, ketakutan, harapan dan menghadapinya dengan kepala tegak. Ia sadar bahwa ia tak bisa terus mengandalkan orang lain untuk menyembuhkan luka-luka dalam dirinya, dan ia tak bisa terus berharap bahwa hubungan ini akan menyelesaikan segalanya. Ia harus belajar untuk menyembuhkan dirinya sendiri, untuk menemukan kedamaian dalam kesendirian sebelum ia bisa benar-benar bersatu dengan seseorang.

Alya memutuskan untuk membalas pesan Raka, tetapi kali ini dengan perasaan yang lebih jernih. “Aku juga merindukanmu, Raka. Dan aku mulai mengerti bahwa rindu ini bukan hanya tentang kita, tetapi juga tentang diriku sendiri. Aku perlu belajar menerima diriku sebelum aku bisa benar-benar memberi pada hubungan ini.”

Alya merasa lega setelah mengirim pesan itu. Dia tahu, perasaan ini adalah sebuah temuan dalam kesendirian yang tidak pernah ia duga sebelumnya. Ia tidak perlu terus mencari jawaban di luar dirinya. Semua jawaban itu sudah ada di dalam dirinya, tersembunyi dalam setiap kata yang ia tulis, dalam setiap langkah yang ia ambil.

Malam itu, ketika ia kembali ke apartemennya, Alya merasa ada sesuatu yang berubah dalam dirinya. Ia masih merindukan Raka, tentu saja, tetapi kini ia merasakan kedamaian dalam dirinya yang sebelumnya tidak ada. Rindu itu bukan lagi sebuah beban, melainkan sebuah perjalanan yang harus ia tempuh, bersama dengan dirinya sendiri dan Raka. Dan ia tahu, pertemuan mereka kelak bukan hanya tentang dua orang yang saling merindukan, tetapi tentang dua jiwa yang siap untuk saling mengerti, saling mendukung, dan saling menghargai perjalanan masing-masing.

Kesendirian itu, yang dulu ia takuti, akhirnya mengajarinya untuk menemukan sesuatu yang lebih dalam—kedamaian yang tak bergantung pada siapa pun selain dirinya sendiri.*

Bab 7  Kabar yang Menenangkan

Hari itu, Alya berjalan gontai di sepanjang trotoar, matanya sedikit sayu setelah pertemuan yang penuh ketegangan dengan klien di kantor. Pekerjaan yang semakin menumpuk membuat pikirannya semakin berkecamuk, dan entah mengapa, sejak beberapa hari terakhir, hatinya terasa gelisah. Bahkan meskipun ia sudah berusaha mengalihkan perhatian dengan segala macam kesibukan, rasa rindu terhadap Raka kembali menyeruak. Tidak ada yang bisa menenangkan hatinya seperti dulu, selain kabar dari Raka.

Sudah berhari-hari sejak percakapan terakhir mereka. Meski mereka tetap saling mengirimkan pesan, ada sesuatu yang terasa berbeda. Rindu yang Alya rasakan semakin mendalam, dan ketegangan dalam komunikasi mereka mulai terasa. Pesan-pesan singkat seolah menggambarkan jarak yang semakin lebar, meskipun mereka terus berusaha untuk saling menjaga komunikasi. Alya merasa seolah ada yang hilang. Mungkin, ini adalah dampak dari jarak yang semakin menguji ketahanan hubungan mereka, atau mungkin karena ia terlalu banyak menaruh harapan yang belum tentu bisa terwujud.

Ketika Alya sampai di rumah, ia langsung meraih ponselnya dan memeriksa apakah ada pesan baru dari Raka. Ada rasa cemas yang tak bisa ia sembunyikan. Ia tahu bahwa mungkin saja Raka sibuk, atau mungkin ada hal lain yang membuatnya belum sempat mengirim kabar. Namun, tak ada pesan masuk. Alya menatap layar ponselnya dengan sedikit kecewa. Bahkan dalam detik-detik seperti ini, ia berharap bisa mendengar kabar dari Raka yang bisa sedikit menenangkan hatinya.

Ponselnya bergetar, dan Alya segera menatapnya. Seulas senyum muncul di wajahnya saat melihat nama Raka muncul di layar.

“Alya, aku rindu kamu.”

Sederhana, tetapi kata-kata itu sudah cukup untuk menenangkan kegelisahan yang sempat menguasai hatinya. Alya membalas pesan itu dengan cepat, tak ingin membiarkan rindu ini menguasai mereka lebih lama lagi.

“Aku juga rindu, Raka. Rasanya sudah terlalu lama kita tidak benar-benar berbicara.”

Alya menunggu dengan cemas, sambil menatap langit yang mulai memudar menjadi gelap. Di luar, suara angin berdesir pelan, mengiringi kebisuan malam yang semakin memeluk kota. Dalam hati, Alya tahu bahwa ini bukan hanya tentang rindu, tetapi juga tentang bagaimana mereka bisa tetap bertahan meski terpisah oleh jarak yang begitu jauh.

Beberapa detik kemudian, ponsel Alya bergetar lagi. Kali ini, pesan dari Raka datang lebih panjang.

“Aku tahu kita sudah lama tidak berbicara seperti dulu. Aku minta maaf, Alya. Aku tahu kamu pasti merasa kesepian, dan aku tidak ingin membuatmu merasa seperti itu. Aku hanya… ada banyak hal yang harus aku atur di sini, tapi aku ingin kamu tahu satu hal: meskipun kita jauh, kamu selalu ada dalam pikiranku. Aku berjanji akan lebih sering memberi kabar, bahkan ketika aku sibuk. Karena, jujur, aku tidak bisa jauh darimu.”

Alya membaca pesan itu dengan penuh perhatian. Kata-kata Raka seperti angin sepoi yang menenangkan hatinya yang gelisah. Untuk pertama kalinya dalam beberapa hari terakhir, Alya merasakan kedamaian yang datang begitu saja, mengalir dalam dirinya. Ia membalas pesan itu dengan hati yang lebih ringan.

“Aku mengerti, Raka. Aku tahu kamu sedang sibuk, dan aku tidak ingin membuatmu merasa terbebani. Aku hanya berharap kita bisa lebih sering berbicara, karena meskipun kita jauh, aku merasa sangat dekat denganmu. Aku rindu mendengar suaramu, rindu bercanda denganmu seperti dulu.”

Pesan itu segera terkirim, dan Alya memejamkan mata sejenak, meresapi perasaan yang muncul dalam dirinya. Rindu itu tak lagi terasa berat. Mungkin karena kini mereka sudah lebih terbuka satu sama lain, berbicara tentang perasaan mereka dengan lebih jujur, tanpa rasa khawatir akan menyakiti hati satu sama lain. Jarang sekali mereka membicarakan tentang betapa beratnya perasaan rindu itu. Namun, malam ini, mereka akhirnya bisa mengungkapkannya dengan kata-kata yang menenangkan.

Tidak lama setelah itu, ponselnya kembali bergetar. Raka mengirimkan pesan yang lebih panjang lagi.

“Alya, aku tidak ingin kamu merasa sendirian di sini. Aku tahu ini tidak mudah, dan kadang aku juga merasa lelah dengan jarak ini. Tapi aku ingin kita terus berusaha, karena aku tahu kita bisa melewati semuanya. Aku ingin kita bersama, Alya. Selamanya.”

Alya terdiam sejenak setelah membaca pesan itu. Perasaan yang ia pendam selama ini, perasaan cemas dan takut akan ketidakpastian hubungan mereka, tiba-tiba terasa lebih ringan. Kata-kata Raka seolah membawa angin segar yang menyapu semua kekhawatirannya. Ada sesuatu yang sangat tulus dalam kata-kata itu. Alya merasa seperti mendapatkan kembali bagian dirinya yang sempat hilang.

Dengan hati yang penuh kebahagiaan, Alya membalas pesan itu.

“Aku juga ingin kita bersama, Raka. Dan aku percaya kita bisa melewati ini. Mungkin tidak mudah, tapi aku tahu kita akan berhasil. Aku tidak akan menyerah.”

Setelah mengirim pesan itu, Alya merasa sebuah kedamaian mengalir dalam dirinya. Ia tidak lagi merasa cemas atau gelisah. Meskipun ada jarak, ada waktu yang memisahkan mereka, tetapi mereka tetap bisa menjaga komunikasi dan rasa saling percaya. Rindu yang sempat membebani perasaannya kini menjadi kekuatan yang menyatukan mereka. Kabar dari Raka itu, meskipun sederhana, membawa kelegaan yang begitu besar.

Ponselnya tidak lagi bergetar, tetapi Alya merasa cukup dengan pesan itu. Malam itu, dia tidak merasa kesepian lagi. Ia tahu bahwa meskipun Raka tidak ada di sampingnya secara fisik, hatinya selalu bersama Alya, berbagi rindu yang sama, dan berjanji untuk terus berjuang agar perasaan itu tidak terhenti begitu saja.

Di luar, langit semakin gelap, namun bintang-bintang mulai bersinar terang, memberikan kesan seakan dunia ini mengerti bahwa mereka berdua sedang berjuang dalam diam, menjaga cinta yang terjaga meski jauh. Alya memandangi bintang-bintang itu, merasa lebih dekat dengan Raka, dan berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia akan terus berusaha untuk menjaga cinta ini, tidak peduli betapa sulitnya jarak yang memisahkan.*

Bab 8  Menantikan Pertemuan

Alya duduk di dekat jendela, memandangi langit senja yang perlahan berubah warna menjadi jingga keemasan. Udara sore itu terasa sejuk, tetapi hatinya terasa hangat, penuh dengan perasaan yang tak bisa ia ungkapkan dengan kata-kata. Setiap hari yang berlalu, semakin mendalam rasa rindu yang ia rasakan. Rindu itu bukan sekadar ingin bertemu, tetapi lebih kepada rasa ingin berbagi momen-momen sederhana yang telah lama ia impikan bersama Raka. Ia tahu, jarak masih menjadi penghalang, tetapi harapan untuk bisa bertemu kembali semakin menguat seiring waktu.

Selama beberapa bulan terakhir, komunikasi mereka hanya bisa dilakukan melalui pesan singkat dan panggilan video. Walau keduanya sudah saling berbagi cerita, tertawa bersama, dan merencanakan masa depan, tidak ada yang bisa menggantikan kenyataan bahwa mereka tetap terpisah oleh ribuan kilometer. Alya tahu, pertemuan yang dinantikan itu adalah satu-satunya hal yang bisa menghapus segala rasa rindu yang terus menggelora di hatinya.

“Tak sabar rasanya, Raka,” bisik Alya sambil menatap layar ponselnya, membaca pesan singkat dari Raka yang baru saja ia terima.

“Aku juga sangat ingin bertemu. Kita sudah melalui banyak hal bersama, dan aku tahu, pertemuan ini akan mengubah semuanya. Aku sudah merencanakan semuanya, Alya. Semuanya.”

Alya tersenyum, membaca kalimat itu berkali-kali. Raka selalu memiliki cara untuk menenangkan hatinya, meskipun terkadang kata-katanya terasa begitu sederhana. Alya mengingat pertemuan pertama mereka yang telah berlangsung beberapa bulan lalu. Pertemuan yang mereka tunggu-tunggu setelah sekian lama menjalin hubungan jarak jauh. Saat itu, mereka berdua merasa seperti dunia berhenti sejenak. Raka begitu nyata di hadapannya, jauh lebih nyata daripada hanya sekadar suara di ujung telepon. Namun, pertemuan itu pun berakhir, dan jarak kembali memisahkan mereka.

Tetapi kali ini berbeda. Pertemuan kedua yang mereka impikan hampir tiba. Raka akhirnya memutuskan untuk mengunjungi Alya, dan mereka akan menghabiskan waktu bersama. Tidak ada lagi layar ponsel yang menghalangi mereka. Tidak ada lagi pesan singkat yang harus menunggu balasan. Mereka akan berada di tempat yang sama, menghirup udara yang sama, dan merasakan kehangatan satu sama lain secara langsung. Alya merasa kegembiraan itu mengalir melalui setiap syaraf tubuhnya, tetapi di balik kegembiraannya, ada perasaan yang lebih mendalam—perasaan takut kehilangan, atau bahkan takut bahwa pertemuan itu mungkin tidak akan sesuai dengan harapan.

Namun, ia cepat mengusir pikiran-pikiran itu. Ia tahu bahwa cinta mereka telah teruji selama ini. Mereka sudah melalui banyak hal bersama, dan pertemuan ini adalah bukti bahwa mereka telah sampai pada titik di mana mereka benar-benar siap untuk melangkah ke tahap berikutnya. Tidak ada lagi keraguan, hanya harapan dan keinginan untuk bersama.

Pagi itu, ketika ia bangun, ada perasaan yang berbeda di dalam dirinya. Ia melangkah ke dapur, menyiapkan secangkir kopi, dan merenung. Tiga hari lagi—tiga hari lagi, dan Raka akan tiba di kota ini. Setelah itu, mereka akan menghabiskan waktu bersama. Alya tak bisa menahan perasaan bahagianya. Seiring dengan semakin dekatnya hari yang ditunggu-tunggu, rasa cemas dan rindu semakin intens, seolah jarak yang memisahkan mereka selama ini akhirnya dihitung dengan detik-detik yang tersisa.

Setiap hari yang berlalu membawa lebih banyak rindu, tetapi juga membawa lebih banyak harapan. Alya mulai merencanakan hal-hal yang ingin mereka lakukan bersama—mungkin mereka akan berjalan-jalan ke pantai, atau sekadar duduk di kafe sambil berbicara tentang segala hal yang selama ini tidak sempat mereka bicarakan. Ada begitu banyak hal yang ingin ia bagi dengan Raka, begitu banyak cerita yang ingin ia sampaikan, dan begitu banyak momen yang ingin ia nikmati bersamanya.

Hari demi hari berlalu dengan cepat. Setiap pagi, ia membuka pesan dari Raka, membaca kata-kata yang selalu menghangatkan hati, dan membayangkan bagaimana pertemuan itu akan terjadi. Mereka telah membuat rencana untuk bertemu di bandara, dan meskipun Alya sudah beberapa kali membayangkan pertemuan itu, ia tetap merasa deg-degan. Bagaimana rasanya melihat Raka secara langsung setelah begitu lama terpisah? Apakah ia akan merasa canggung? Apakah Raka juga merasakan hal yang sama?

Semua pertanyaan itu memenuhi pikirannya, tetapi pada akhirnya, ia tahu satu hal: mereka akan bersama. Tidak ada lagi jarak yang memisahkan mereka. Semua yang mereka jalani selama ini, meskipun penuh dengan tantangan, kini akan menemukan titik terang. Rindu yang mendalam ini akan berakhir, dan pertemuan yang mereka impikan akan menjadi kenyataan.

Alya mulai menyiapkan segala sesuatunya untuk kedatangan Raka. Ia merapikan rumah, membersihkan setiap sudut, dan mengatur jadwal untuk aktivitas mereka selama beberapa hari ke depan. Semua persiapan itu terasa begitu istimewa. Setiap langkahnya, setiap keputusan yang diambil, ia lakukan dengan penuh perasaan. Ini bukan hanya tentang pertemuan fisik, tetapi juga tentang perjalanan panjang yang telah mereka tempuh bersama.

Hari itu akhirnya tiba. Alya berdiri di depan cermin, memeriksa penampilannya untuk terakhir kalinya. Ia mengenakan gaun sederhana berwarna putih, rambutnya tergerai natural, dan senyuman di wajahnya begitu tulus. Tidak ada yang lebih ia inginkan selain bertemu dengan Raka. Dengan hati yang penuh harapan, ia berjalan keluar rumah, menuju ke bandara.

Setibanya di bandara, dunia seakan berhenti. Di depan pintu keluar, ia melihat kerumunan orang-orang yang menunggu kedatangan penumpang. Meskipun ada begitu banyak orang, hatinya langsung mengenali sosok yang ia cari. Di antara kerumunan, ada pria yang tampak tersenyum, matanya yang tajam memandangnya dengan penuh kehangatan. Raka.

Langkah Alya semakin cepat, dan begitu dekat dengan Raka, mereka saling mendekat. Dalam sekejap, mereka berpelukan, seolah waktu dan jarak yang selama ini memisahkan mereka tak lagi berarti. Semua keraguan, kecemasan, dan rindu yang telah bertumpuk selama berbulan-bulan akhirnya terbayar.

“Ini lebih dari yang aku bayangkan,” bisik Raka, suaranya terdengar penuh perasaan.

Alya hanya bisa tersenyum, merasakan kehangatan tubuh Raka yang sekarang ada di hadapannya. “Aku juga, Raka. Aku juga.”

Di antara mereka, tak ada lagi jarak yang membentang. Mereka ada di sini, bersama, setelah menantikan pertemuan ini begitu lama. Ini adalah awal baru bagi mereka, sebuah awal yang penuh dengan harapan dan cinta yang tak akan lagi terhalang oleh jarak.*

Bab 9  Akhir yang Baru

Alya duduk di bangku taman, tangan memeluk tas tangan dengan erat, matanya menatap lurus ke depan. Di seberang sana, sebuah pesawat melintas, menuju destinasi yang tak ia ketahui. Perasaan yang ada di dalam dirinya lebih dari sekadar rindu. Ia merasa seperti berada di titik puncak perjalanan hidupnya suatu titik di mana segala hal yang telah ia lewati mengarah pada satu kesimpulan. Segala penantian, segala keraguan, segala harapan, akhirnya berujung pada sebuah titik yang bernama “pertemuan”.

Rasa itu tak hanya tentang pertemuan fisik, tetapi juga tentang bagaimana hati mereka yang terpisah oleh ribuan kilometer akhirnya bisa dipersatukan oleh waktu dan kesabaran. Beberapa tahun yang penuh ujian, tantangan, dan pelajaran telah mengajarkan Alya bahwa cinta tak selalu hadir dalam bentuk yang mudah atau nyaman. Terkadang, cinta hadir dalam bentuk perjuangan yang panjang, dalam jarak yang menguji kekuatan hati, dan dalam waktu yang terasa membeku.

Alya menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan hatinya yang berdegup kencang. Hari ini adalah hari yang berbeda. Setelah berbulan-bulan berbicara lewat pesan dan suara, setelah menulis surat-surat yang penuh kerinduan, dan setelah melewati beragam ujian kesabaran, hari ini, akhirnya, adalah hari mereka bertemu. Raka, pria yang telah membuatnya jatuh cinta dari jarak jauh, akan tiba di kota ini, dan mereka akan bertemu secara langsung untuk pertama kalinya.

Pikirannya kembali mengingat beberapa hari terakhir, ketika kabar tentang kedatangan Raka benar-benar membuatnya terbangun dari tidur panjang yang penuh keraguan. Segalanya seolah mendadak nyata. Meski ia telah mempersiapkan diri, membayangkan momen ini begitu banyak kali dalam pikirannya, namun tetap saja, rasa gugup itu tak bisa disembunyikan. Bahkan sekarang, saat ia hampir bisa merasakannya, saat jantungnya berdetak kencang karena menunggu, ia merasa seperti sedang berada di sebuah ambang batas yang besar.

Beberapa jam yang lalu, Raka mengirim pesan singkat yang menggetarkan hatinya:

“Aku akan segera sampai, Alya. Aku tidak sabar untuk melihatmu, untuk merasakan apa yang kita impikan bersama selama ini. Aku yakin, ini akan menjadi awal dari segalanya.”

Kata-kata itu seperti doa, memberi kepercayaan diri pada Alya. Namun, ia tahu bahwa pertemuan ini lebih dari sekadar fisik. Ini adalah awal dari sebuah perjalanan baru bagi mereka, perjalanan yang dimulai dengan penuh ketidakpastian dan rindu yang tak terbendung, namun juga dengan tekad untuk bersama, untuk terus berjuang. Cinta mereka sudah melalui begitu banyak hal komunikasi terbatas, jarak yang memisahkan, waktu yang menjadi musuh, bahkan ujian kesabaran yang sepertinya tak pernah berakhir. Dan akhirnya, sekarang, mereka akan menghadapinya bersama.

Alya tersenyum, mengingat percakapan terakhir mereka. Raka telah menulis: “Tidak ada yang lebih indah selain bertemu denganmu setelah segala waktu yang kita lewati. Kita akan menjadikannya sebuah kenangan.” Alya tahu, kata-kata itu bukan sekadar janji, tetapi sebuah pengingat akan bagaimana mereka telah bertahan, bagaimana mereka telah menjadi lebih kuat setelah melewati segala kesulitan. Dan sekarang, mereka akan mulai menulis kisah baru, kisah yang bukan hanya tentang jarak atau waktu, tetapi tentang dua hati yang saling memahami dan menerima satu sama lain dengan segala kekurangan dan kelebihan.

Saat pesawat itu akhirnya mendarat, Alya merasa seolah dunia berhenti sejenak. Orang-orang yang berdiri di sekitaran pintu keluar bandara tampak seperti bayangan, semuanya tidak lebih penting dari satu hal yang ada dalam pikirannya: Raka. Beberapa langkah menuju pintu keluar, dan di sana, di ujung matanya, ia melihat sosok yang ia kenal—Raka, dengan wajah yang terlihat sedikit cemas, namun dengan senyum yang tak pernah berubah. Hatinya berdebar, dan kaki Alya terasa berat, seolah setiap langkah yang ia ambil semakin mendekatkannya pada sebuah kenyataan yang hampir tidak ia percayai.

Raka terlihat begitu nyata, lebih dari sekadar suara yang biasa ia dengar, lebih dari sekadar gambar di layar ponselnya. Ia terlihat seperti bagian dari dunia yang pernah ia impikan. Ketika mata mereka bertemu, tak ada kata yang bisa diucapkan. Hanya ada senyum lebar yang tercipta di bibir mereka, senyum yang tulus, yang penuh makna. Dalam sekejap, segala keraguan, segala ketakutan, semuanya menguap begitu saja. Mereka hanya berdiri di sana, saling menatap, mencoba menyerap kenyataan bahwa mereka akhirnya bersama, setelah semua waktu yang telah terlewat.

“Alya…” suara Raka terdengar begitu akrab, meskipun ini adalah pertama kalinya mereka saling berhadapan. “Kamu lebih cantik daripada yang aku bayangkan.”

Alya tertawa pelan, sedikit canggung, tetapi hatinya begitu penuh. Ia merasa seperti rumah yang menemukan pemiliknya, seperti bagian dari dirinya yang hilang dan kini kembali utuh. Tanpa berkata-kata, mereka berdua saling mendekat, dan dalam beberapa detik yang terasa seperti selamanya, mereka berpelukan. Rasanya hangat, penuh kedamaian, dan lebih dari apa pun, rasanya seperti pulang.

Setelah beberapa saat, mereka melepaskan pelukan itu. Raka menatapnya dengan penuh harapan. “Aku tidak tahu harus mulai dari mana, tapi aku tahu kita akan melalui semuanya. Ini baru awal, kan?”

Alya mengangguk pelan. “Iya, ini baru awal. Tapi, aku yakin, kita bisa menghadapinya bersama.”

Mereka berdua berjalan keluar dari bandara, bergandengan tangan, menyusuri jalan yang sama, yang penuh dengan harapan dan janji. Alya tahu, hidup mereka akan dipenuhi dengan banyak perjalanan perjalanan yang tak selalu mudah, yang kadang harus dilalui dengan tantangan dan rintangan. Namun, yang paling penting adalah bahwa mereka tidak lagi terpisah oleh jarak. Kini, mereka bisa melangkah bersama, menghadapi setiap tantangan dan menulis cerita mereka bersama-sama.

Ini bukanlah akhir. Ini adalah awal dari cerita baru mereka sebuah kisah cinta yang akan terus berkembang, tumbuh, dan menguat, seiring dengan waktu dan perjalanan hidup yang terus berjalan.*

Bab 10  Selamanya Jauh, Selamanya Cinta

Waktu terus berjalan, dan meskipun Alya dan Raka telah melewati pertemuan yang penuh harapan, kenyataan hidup tak bisa begitu saja mengubah apa yang telah mereka jalani selama ini. Mereka tahu, setelah pertemuan itu, kehidupan mereka tidak akan langsung berubah begitu saja. Cinta mereka, meski telah menyatukan mereka dalam pelukan yang sangat nyata, tetap harus berhadapan dengan kenyataan: jarak itu masih ada. Jarak yang telah menguji kesabaran dan ketahanan mereka selama bertahun-tahun.

Namun, setelah pertemuan itu, Alya merasa lebih yakin dari sebelumnya. Meskipun jarak memisahkan mereka kembali, kali ini ia merasa bahwa perasaan mereka jauh lebih kuat. Raka memang kembali ke benua lain untuk melanjutkan pekerjaannya, dan kehidupan mereka kini kembali terpisah oleh ribuan kilometer. Namun, kedekatan yang mereka rasakan saat bertemu beberapa waktu lalu membuat Alya menyadari satu hal yang sangat penting: jarak, meskipun terasa berat, bukanlah akhir dari segalanya. Bahkan, mungkin jarak ini hanya akan membuat mereka semakin kuat.

Hari itu, Alya duduk di balkon apartemennya, memandang langit yang biru cerah. Udara musim panas yang lembut menyentuh kulitnya, namun hatinya terasa hangat. Ia menatap ponselnya yang tergeletak di meja, menunggu kabar dari Raka. Sudah beberapa hari sejak percakapan terakhir mereka, dan meskipun Raka mengirimkan pesan singkat beberapa kali, Alya tetap merasa rindu yang begitu mendalam.

Pikirannya kembali berkelana pada masa-masa ketika mereka hanya bisa berbicara lewat layar, ketika setiap pesan menjadi harapan yang menunggu untuk diwujudkan dalam bentuk nyata. Bagaimana mereka berdua memulai percakapan dengan tawa kecil, berbagi cerita tentang hari-hari mereka yang penuh kesibukan, dan akhirnya menunggu kabar satu sama lain sebagai satu-satunya pelipur lara. Itulah cinta mereka—terjalin dalam jarak dan waktu, namun tetap berkembang dengan penuh semangat dan harapan.

Meskipun Raka telah mengirim pesan bahwa ia sedang sibuk, Alya merasa tenang. Kali ini, ia tahu bahwa setiap perasaan yang mereka miliki adalah sesuatu yang nyata, sesuatu yang tumbuh dari dalam hati dan bukan sekadar kata-kata. Cinta mereka tidak dibangun atas idealisme semata, tetapi atas sebuah perjalanan panjang yang telah mereka lewati bersama, walaupun terpisah oleh waktu dan ruang.

Seperti biasa, pesan dari Raka datang setelah beberapa menit menunggu. Alya membuka pesan itu dengan hati yang penuh rindu.

“Alya, aku ingin kamu tahu satu hal. Aku tahu kita terpisah jarak, tetapi aku juga tahu bahwa kita akan terus bersama. Jarak ini tak akan pernah mengubah apapun. Tidak ada yang bisa menghentikan perasaan ini, tidak ada yang bisa merubahnya. Aku akan selalu mencintaimu, di sini, di sana, dan di mana pun aku berada.”

Alya tersenyum. Ada ketenangan dalam setiap kata yang ditulis Raka. Pesan itu mengingatkan Alya pada semua hal yang telah mereka perjuangkan—keteguhan hati, ketulusan, dan janji yang mereka buat untuk saling menjaga perasaan masing-masing, meskipun jarak tak akan pernah berhenti menantang mereka.

Ia membalas pesan itu, menulis dengan hati yang penuh kebahagiaan, meskipun tidak bisa berada di samping Raka secara fisik.

“Aku tahu, Raka. Aku juga merasakannya. Jarak ini tak pernah membuatku merasa jauh darimu. Cinta kita selalu ada, bahkan ketika kita tidak bisa bertemu setiap hari. Aku percaya, suatu hari nanti, kita akan berada di tempat yang sama, dan kita akan berbagi hidup bersama. Sampai saat itu datang, aku akan terus menunggumu.”

Setelah mengirimkan pesan itu, Alya menatap langit yang semakin memudar keorannya. Ia merasa sebuah kedamaian yang mendalam. Meskipun jarak memisahkan mereka, perasaan mereka tetap sama. Rindu itu, yang terkadang membuatnya merasa kosong, kini terasa seperti bahan bakar yang menyalakan semangat dalam dirinya. Alya tahu bahwa meskipun tidak ada yang bisa menghapus rasa rindu itu, mereka berdua akan selalu memiliki cinta yang sama, cinta yang tumbuh meskipun mereka berada jauh dari satu sama lain.

Malam semakin larut, dan Alya merasakan sepi yang biasa datang di akhir hari. Namun, kali ini, sepi itu tidak terasa begitu menghimpit. Ia merasa ada kehadiran yang menenangkan kehadiran yang datang dari cinta yang sudah dibangun di atas dasar kepercayaan dan ketulusan. Meskipun jarak ini akan selalu ada, ia tahu bahwa perasaan mereka tidak akan pernah pudar. Cinta mereka bukan hanya tentang bertemu setiap saat, tetapi tentang bagaimana mereka bisa tetap saling menjaga, meskipun terpisah oleh ribuan mil.

Beberapa menit setelah mengirim pesan, ponselnya kembali bergetar. Raka membalas.

“Aku juga mencintaimu, Alya. Kita akan selamanya bersama, meskipun terpisah oleh jarak. Tidak ada yang bisa menghentikan kita. Jarak ini hanya membuat kita lebih kuat. Dan aku berjanji, suatu hari nanti, aku akan datang menjemputmu.”

Alya menatap pesan itu dengan penuh rasa haru. Ada kehangatan yang mengalir dalam hatinya, sebuah perasaan yang hanya bisa dirasakan ketika cinta itu benar-benar tulus. Jarak, meskipun terkadang terasa menyesakkan, tidak pernah bisa mengurangi cinta mereka. Dalam setiap kata yang mereka tulis, ada jaminan bahwa cinta itu tetap ada, meski jauh. Dan mungkin, inilah arti sejati dari sebuah hubungan jarak jauh: tidak ada jarak yang bisa menghentikan cinta yang telah dibangun dengan kesabaran dan pengertian.

Alya menatap layar ponselnya sejenak, kemudian mematikan layar itu dan meletakkannya di meja. Ia menatap langit malam yang kini dipenuhi dengan bintang-bintang yang bersinar terang, seolah memberi sinyal bahwa mereka berdua meskipun jauh, meskipun berbeda benua tetap berada di bawah langit yang sama. Dengan hati yang penuh keyakinan, Alya tahu bahwa tidak ada yang akan mengubah cinta mereka.

Selamanya jauh, selamanya cinta. Begitulah cara Alya melihat hubungan ini. Cinta mereka tak akan pernah pudar, karena cinta sejati tidak diukur dengan jarak atau waktu. Cinta sejati ditemukan dalam hati yang saling berjanji untuk selalu bersama, meskipun fisik mereka terpisah jauh. Dan Alya percaya, meskipun jarak akan selalu ada, cinta mereka akan terus bertumbuh, semakin kuat, semakin dalam, selamanya.***

————THE END————-

Source: ASIFA HIDAYATI
Tags: #cintajarakjauh#cintasejati#CintaTakTerbatas#HubunganLDR#RinduYangMenguat
Previous Post

SEPUCUK SURAT UNTUK MU

Next Post

PERTEMUAN YANG MENGUBAH DUNIA

Related Posts

JIKA RINDU BISA TERBANG

JIKA RINDU BISA TERBANG

May 11, 2025
“MENJAGA CINTA DI ANTARA KILOMETER”

“MENJAGA CINTA DI ANTARA KILOMETER”

May 10, 2025
SELAMANYA MILIKMU: LANGIT YANG SAMA, CINTA YANG BERBEDA

SELAMANYA MILIKMU: LANGIT YANG SAMA, CINTA YANG BERBEDA

May 9, 2025
KISAH DI BALIK LAYAR

KISAH DI BALIK LAYAR

May 8, 2025
“JARAK MENGUJI, HATI BERTAHAN”

“JARAK MENGUJI, HATI BERTAHAN”

May 7, 2025
RINDU YANG TAK TERUCAP

RINDU YANG TAK TERUCAP

May 6, 2025
Next Post
KASIH YANG TERKADANG

PERTEMUAN YANG MENGUBAH DUNIA

CINTA DI UJUNG JALAN DUNIA

CINTA DI UJUNG JALAN DUNIA

SELALU ADA DIHATI ,MESKI TERPISAH JARAK

SELALU ADA DIHATI ,MESKI TERPISAH JARAK

Top Stories

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

May 17, 2025
KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

May 16, 2025
KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

May 15, 2025

Tentang Kisah Cinta

Kami menyajikan kumpulan novel dan cerpen cinta yang menggambarkan berbagai sisi cinta, dari yang manis hingga yang pahit, dari yang bahagia hingga yang menyayat hati

Connect on Social

© 2024 Kisahcinta.id

No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta

© 2024 Kisahcinta.id