Daftar Isi
- Bab 1: Takdir yang Mempertemukan
- Bab 2: Rasa yang Diam-Diam Tumbuh
- Bab 3: Ujian Pertama dalam Cinta
- Bab 4: Luka dari Masa Lalu
- Bab 5: Di Antara Cinta dan Ego
- Bab 6: Keputusan Terberat
- Bab 7: Pergi untuk Kembali
- Bab 8: Takdir yang Tak Bisa Dihindari
- Bab 9: Menerima dan Memperjuangkan
- Bab 10: Sehidup Sesurga dengan Kamu
Bab 1: Takdir yang Mempertemukan
Awal pertemuan tokoh utama yang terasa seperti kebetulan, tetapi ternyata adalah bagian dari rencana takdir.
Matahari mulai tenggelam di ufuk barat, menyisakan semburat jingga yang menghiasi langit. Di sebuah kafe kecil di sudut kota, Alina duduk dengan secangkir cokelat panas di hadapannya. Ia menatap keluar jendela, menikmati hembusan angin sore yang membawa aroma hujan.
Hari itu terasa berat baginya. Kehidupan yang monoton, beban pekerjaan, dan pertanyaan-pertanyaan dari keluarga tentang masa depannya membuatnya lelah. Namun, semua itu seakan menghilang ketika seseorang tiba-tiba mengambil tempat di depannya.
“Maaf, meja lain sudah penuh. Boleh aku duduk di sini?”
Alina mendongak. Seorang pria dengan jaket hitam dan senyuman samar berdiri di hadapannya. Ada sesuatu dalam sorot matanya yang terasa familiar, seolah ia pernah mengenal pria ini. Dengan sedikit ragu, Alina mengangguk.
Percakapan dimulai dengan basa-basi sederhana. Nama pria itu Adrian. Ia baru saja kembali ke kota ini setelah bertahun-tahun merantau. Entah bagaimana, obrolan mereka mengalir begitu saja, seperti dua orang sahabat lama yang akhirnya dipertemukan kembali oleh waktu.
“Aku merasa kita pernah bertemu sebelumnya,” gumam Alina tanpa sadar.
Adrian tersenyum tipis. “Mungkin takdir yang mempertemukan kita lagi.”
Ada sesuatu di balik kata-katanya yang membuat jantung Alina berdetak lebih cepat. Sejak saat itu, tanpa ia sadari, pertemuan di kafe kecil itu menjadi awal dari sebuah kisah yang akan mengubah hidupnya selamanya.
Bab 2: Rasa yang Diam-Diam Tumbuh
Seiring waktu, hubungan mereka semakin dekat. Tanpa disadari, benih-benih perasaan mulai muncul, tetapi belum ada yang berani mengungkapkan.
Sejak pertemuan pertama di kafe itu, Alina dan Adrian semakin sering bertemu. Awalnya, hanya kebetulan. Mereka berpapasan di toko buku, di kedai kopi favorit Alina, bahkan di taman tempat Alina sering menghabiskan waktu membaca. Namun, semakin lama, pertemuan mereka terasa seperti sesuatu yang memang seharusnya terjadi.
“Aku mulai curiga, jangan-jangan kamu sengaja ngikutin aku,” canda Alina suatu hari saat mereka kembali bertemu di taman.
Adrian terkekeh. “Atau mungkin kita memang sering ada di tempat yang sama karena punya selera yang mirip?”
Dari perbincangan ringan itu, keduanya semakin mengenal satu sama lain. Adrian bukan sekadar pria dengan senyum misterius dan mata teduh. Ia penuh perhatian, selalu tahu cara membuat Alina tertawa saat hari-harinya terasa berat.
Di sisi lain, Alina mulai merasakan sesuatu yang berbeda. Rasa nyaman yang perlahan tumbuh setiap kali mereka bersama. Cara Adrian mendengarkan ceritanya, bagaimana ia selalu ada ketika Alina butuh seseorang, dan kebiasaan kecilnya yang tanpa sadar membuat Alina merasa diperhatikan.
Namun, perasaan itu hanya ia simpan sendiri. Ia tak yakin apakah Adrian merasakan hal yang sama atau hanya menganggapnya sebagai teman biasa.
Sampai suatu hari, saat mereka berteduh di bawah halte setelah hujan turun mendadak, Adrian tiba-tiba berkata, “Aku suka momen-momen seperti ini. Bersamamu.”
Jantung Alina berdegup lebih kencang. Ia menoleh ke arah Adrian yang sedang menatap hujan, seperti menyembunyikan sesuatu di balik sorot matanya.
Dan di situlah Alina sadar, rasa yang ia simpan diam-diam mungkin saja tidak hanya tumbuh dalam hatinya.
Bab 3: Ujian Pertama dalam Cinta
Saat hubungan mulai nyaman, ujian pertama datang. Kepercayaan dan kesetiaan mulai dipertanyakan, membuat mereka harus memilih: bertahan atau melepaskan.
Sejak momen di halte saat hujan turun, hubungan Alina dan Adrian semakin dekat. Mereka mulai menghabiskan lebih banyak waktu bersama—mengobrol di kafe favorit mereka, berbagi playlist musik, hingga saling bertukar cerita tentang masa lalu yang tak semua orang tahu.
Namun, kebahagiaan itu tak bertahan lama. Sebuah ujian datang tanpa diduga.
Suatu sore, saat Alina sedang menunggu Adrian di kafe tempat mereka biasa bertemu, ia melihat sesuatu yang membuat dadanya terasa sesak. Adrian berdiri di seberang jalan, berbicara dengan seorang perempuan. Mereka terlihat begitu akrab. Perempuan itu sesekali tertawa, dan Adrian menatapnya dengan sorot mata yang sulit diartikan.
Alina mencoba menenangkan pikirannya. Mungkin hanya teman, pikirnya. Namun, ketika melihat Adrian menyentuh lembut bahu perempuan itu sebelum berpisah, hatinya mulai dipenuhi keraguan.
Malam itu, Adrian menghubungi Alina seperti biasa. Namun, Alina tak bisa menyembunyikan kegelisahannya.
“Kamu kenapa?” tanya Adrian, menyadari perubahan nada suara Alina.
Alina menarik napas dalam. “Aku tadi lihat kamu sama seseorang… seorang perempuan,” katanya pelan.
Hening. Beberapa detik yang terasa begitu lama.
“Dia mantanku,” jawab Adrian akhirnya. “Namanya Dinda. Kami kebetulan bertemu, dan dia hanya ingin ngobrol sebentar.”
Alina terdiam. Ia ingin percaya pada Adrian, tapi hatinya masih dipenuhi pertanyaan. Apakah Adrian benar-benar sudah move on? Apakah rasa yang mereka miliki cukup kuat untuk menghadapi bayang-bayang masa lalu?
Dalam hatinya, Alina sadar bahwa ini adalah ujian pertama dalam cinta mereka—sebuah ujian yang akan menentukan apakah mereka benar-benar bisa melangkah bersama, atau justru mulai meragukan segalanya.
Bab 4: Luka dari Masa Lalu
Salah satu dari mereka menyimpan luka yang belum sembuh. Masa lalu yang kembali hadir menguji seberapa kuat ikatan yang telah mereka bangun.
Malam itu, setelah percakapan yang terasa menggantung dengan Adrian, Alina tidak bisa tidur. Perasaan cemas dan ragu terus menghantuinya. Apakah dia benar-benar siap menerima seseorang yang masih menyimpan masa lalu?
Keesokan harinya, Alina memilih untuk menjauh sejenak. Dia tidak langsung membalas pesan Adrian, meskipun hatinya ingin sekali menanyakan lebih banyak hal. Namun, pikirannya masih terlalu kacau.
Di sisi lain, Adrian merasa ada sesuatu yang salah. Alina tidak seperti biasanya. Biasanya, mereka selalu berbagi cerita, tetapi kini ada jarak yang tiba-tiba muncul.
Akhirnya, Adrian memutuskan untuk menemui Alina di kampus. Ketika dia melihat Alina sedang duduk sendirian di taman, dengan tatapan kosong menatap layar ponselnya, Adrian tahu bahwa ada sesuatu yang harus mereka bicarakan.
“Alina…” panggilnya pelan.
Alina mendongak, sedikit terkejut melihat Adrian di sana.
“Kita perlu bicara,” lanjut Adrian, duduk di sampingnya.
Alina menghela napas. “Adrian… aku nggak tahu harus gimana. Aku takut.”
Adrian mengernyit. “Takut? Takut kenapa?”
Alina menggigit bibirnya. “Takut kalau aku hanya menjadi pelarian buat kamu. Aku takut kalau suatu hari nanti, perasaan kamu masih ada buat Dinda.”
Adrian terdiam sejenak, sebelum akhirnya menghela napas panjang. “Alina, aku ngerti perasaan kamu. Tapi percayalah, aku udah selesai dengan masa lalu. Aku nggak mungkin datang ke kamu kalau hati aku masih terikat dengan Dinda.”
Alina menunduk. “Tapi luka dari masa lalu itu nggak bisa hilang begitu aja, kan?”
Adrian mengangguk. “Iya, dan aku juga nggak bisa memaksa kamu buat percaya begitu aja. Tapi yang bisa aku lakukan adalah buktiin ke kamu kalau aku benar-benar memilih kamu.”
Mata Alina mulai berkaca-kaca. “Aku cuma takut, Adrian… Aku pernah ada di posisi itu, ditinggalkan oleh seseorang yang katanya mencintaiku. Aku nggak mau mengalami hal yang sama lagi.”
Adrian menggenggam tangan Alina dengan lembut. “Kalau kamu takut, kita hadapi sama-sama. Aku nggak akan ninggalin kamu, Lina.”
Alina menatap mata Adrian, mencari kejujuran di sana. Ada ketulusan yang begitu dalam. Luka dari masa lalu memang tidak bisa dihapus begitu saja, tetapi mungkin… bersama Adrian, ia bisa belajar untuk menyembuhkan.
Bab 5: Di Antara Cinta dan Ego
Ketika perasaan semakin dalam, ego mulai berbicara. Perbedaan prinsip, mimpi, dan harapan membuat mereka harus menentukan arah hubungan ini.
Sejak percakapan terakhir mereka, hubungan Alina dan Adrian mulai terasa berbeda. Ada hal yang belum terselesaikan, dan itu menciptakan jarak yang semakin hari semakin melebar.
Alina masih dihantui ketakutannya. Dia ingin percaya pada Adrian, tetapi bayangan masa lalu selalu muncul dan membuatnya ragu. Sementara itu, Adrian merasa lelah berusaha membuktikan dirinya jika Alina terus meragukannya.
Suatu malam, Adrian mengajak Alina bertemu di kafe favorit mereka. Udara dingin menyelimuti suasana, namun bukan itu yang membuat hati Alina terasa membeku—melainkan suasana canggung di antara mereka.
“Aku nggak ngerti, Alina,” Adrian membuka percakapan. “Apa yang harus aku lakuin supaya kamu percaya sama aku?”
Alina menggigit bibirnya. “Adrian, ini bukan tentang kamu. Ini tentang aku… tentang rasa takutku.”
“Tapi kalau setiap aku mencoba meyakinkan kamu, kamu malah mundur, gimana kita bisa lanjut?” Adrian menatapnya, matanya penuh dengan frustrasi.
Alina terdiam. Di satu sisi, dia ingin mempertahankan hubungan ini. Namun di sisi lain, egonya menahannya untuk mengakui bahwa mungkin dia memang terlalu takut untuk benar-benar jatuh cinta lagi.
“Kenapa kamu nggak bisa lihat kalau aku beneran serius sama kamu?” suara Adrian sedikit bergetar, menahan emosi yang sudah lama ia pendam.
Alina akhirnya menatapnya. “Karena aku takut kamu akan pergi suatu hari nanti.”
Adrian mendengus pelan, mengusap wajahnya. “Jadi, kamu lebih memilih buat menjauh duluan daripada bertahan dan berusaha?”
Alina terdiam. Kata-kata Adrian benar, dan itu menyakitkan.
Keheningan menyelimuti mereka. Dua hati yang saling mencintai, tetapi sama-sama terjebak dalam ego masing-masing.
Akhirnya, Adrian menghela napas panjang. “Aku capek, Alina. Aku nggak bisa terus-terusan berjuang sendiri. Kalau kamu masih ragu, aku nggak bisa maksa.”
Hati Alina mencelos. Ia ingin menahan Adrian, tetapi bibirnya tak sanggup mengucapkan apapun.
Malam itu, untuk pertama kalinya, mereka pulang tanpa saling menggenggam tangan. Ego mereka terlalu besar, dan cinta yang ada di antara mereka mulai dipertaruhkan.
Bab 6: Keputusan Terberat
Salah satu dari mereka dihadapkan pada pilihan sulit: tetap bersama dengan segala konsekuensi atau melepaskan demi kebaikan bersama.
Hujan turun deras malam itu, seakan mencerminkan perasaan Alina yang tengah kacau. Ia duduk di tepi jendela kamarnya, menatap butiran air yang jatuh tanpa henti. Di tangannya, ponselnya terus bergetar dengan pesan dari Adrian. Namun, ia tak punya keberanian untuk membukanya.
Sudah hampir seminggu sejak percakapan terakhir mereka di kafe. Sejak saat itu, Adrian tak lagi menghubunginya sesering dulu. Tidak ada ajakan makan malam, tidak ada pesan ‘Selamat pagi’ seperti biasa. Dan jujur saja, itu membuat hati Alina semakin gelisah.
Ia tahu, Adrian mulai lelah.
Tetapi, apa yang harus ia lakukan? Mengabaikan ketakutannya dan memilih bertahan? Atau membiarkan Adrian pergi meskipun ia tahu itu akan menghancurkan hatinya?
Di sisi lain kota, Adrian duduk di dalam mobilnya, memandangi layar ponselnya dengan tatapan kosong. Ia sudah menulis dan menghapus pesan berkali-kali.
Aku nyerah, Alina. Aku nggak bisa terus menunggu kamu percaya padaku.
Tapi ia tak sanggup mengirimkannya.
Ia mencintai Alina. Itu sudah pasti. Tapi apakah cinta saja cukup? Ia merasa hubungan ini hanya berjalan satu arah, dan ia mulai mempertanyakan apakah layak baginya untuk terus bertahan.
Akhirnya, Adrian menghela napas panjang dan menghubungi Alina. Ia harus tahu ke mana arah hubungan mereka.
Di dalam kamarnya, Alina terkejut melihat nama Adrian muncul di layar ponselnya. Jemarinya gemetar saat ia mengangkatnya.
“Adrian…”
Suara Adrian terdengar berat. “Alina, kita perlu bicara.”
Alina menggigit bibirnya, mencoba menahan getaran di suaranya. “Baik… kapan?”
“Besok sore. Di tempat biasa,” jawab Adrian singkat sebelum menutup telepon.
Sore itu, di kafe yang menjadi saksi kebersamaan mereka, Alina duduk dengan gelisah. Ia menatap secangkir kopi di depannya, jari-jarinya saling meremas di bawah meja.
Tak lama, Adrian datang. Tatapannya tenang, tapi ada sesuatu yang berbeda.
“Aku nggak akan bertele-tele,” kata Adrian akhirnya. “Aku ingin tahu, kita ini ke mana, Alina? Apa kamu masih mau menjalani ini atau lebih baik kita berhenti sampai di sini?”
Hati Alina mencelos. Ia ingin menjawab bahwa ia tak ingin kehilangan Adrian. Tapi ketakutan di hatinya masih ada.
“Aku butuh waktu,” bisiknya lemah.
Adrian tersenyum kecil, tapi matanya menyiratkan luka. “Alina, aku sudah memberimu waktu. Tapi sampai kapan? Aku nggak bisa terus menggantungkan harapan kalau pada akhirnya kamu nggak yakin sama aku.”
Air mata menggenang di mata Alina. Ia benci dirinya sendiri karena tidak bisa langsung memberikan jawaban yang Adrian inginkan.
Adrian menarik napas dalam. “Aku nggak mau memaksamu. Tapi kalau kamu masih ragu… mungkin ini saatnya aku pergi.”
Dada Alina terasa sesak. Ia ingin meneriakkan bahwa ia mencintai Adrian, bahwa ia ingin mereka tetap bersama. Tapi egonya masih menahannya.
Dan di detik berikutnya, Adrian berdiri. “Kalau suatu hari nanti kamu sudah punya jawaban, kamu tahu di mana mencariku.”
Lalu ia pergi.
Alina ingin berlari mengejarnya. Tapi tubuhnya tetap diam, membeku dalam kebingungan dan rasa sakit.
Untuk pertama kalinya, ia menyadari sesuatu—bahwa ketakutannya mungkin telah menghancurkan sesuatu yang paling berharga dalam hidupnya.
Bab 7: Pergi untuk Kembali
Setelah perpisahan, mereka mencoba menjalani hidup masing-masing. Namun, hati tak bisa dibohongi. Adakah jalan untuk kembali?
Langit senja mulai meredup saat Alina duduk di bangku taman, tempat yang biasa ia kunjungi bersama Adrian. Namun, kali ini ia sendirian. Sudah sebulan sejak pertemuan terakhir mereka di kafe—sebulan sejak Adrian memutuskan untuk pergi.
Sejak saat itu, hari-harinya terasa kosong. Tidak ada lagi pesan pagi dari Adrian, tidak ada lagi obrolan panjang mereka tentang segala hal, tidak ada lagi tawa yang memenuhi harinya.
Ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa ini adalah keputusan terbaik. Bahwa mungkin lebih baik begini, daripada terus berada dalam ketidakpastian. Tapi semakin hari, semakin ia menyadari satu hal—kehilangan Adrian adalah hal yang paling menyakitkan dalam hidupnya.
• • •
Di kota lain, Adrian duduk di balkon apartemennya, menatap lampu-lampu yang berpendar di kejauhan.
Ia memutuskan untuk menerima tawaran pekerjaan di luar kota, berharap jarak bisa membantunya melupakan Alina. Namun, nyatanya itu tidak semudah yang ia kira.
Setiap sudut kota ini mengingatkannya pada Alina. Setiap lagu yang ia dengar, setiap aroma kopi di pagi hari, setiap kebiasaan kecil yang dulu ia lakukan bersama Alina—semuanya masih melekat dalam ingatannya.
Ia merindukannya.
Tapi ia tidak bisa kembali begitu saja. Ia telah memberi Alina kesempatan untuk memilih, dan jika Alina tidak mengejarnya, itu berarti jawabannya sudah jelas.
Namun, jauh di lubuk hatinya, ia masih berharap.
• • •
Alina menatap tiket pesawat di tangannya. Ini gila. Ia tidak pernah melakukan hal seperti ini sebelumnya. Tapi ia tahu, kalau ia tidak segera bertindak, ia akan menyesal seumur hidupnya.
Ia mengambil napas dalam, mengingat kembali setiap momen bersama Adrian. Ia terlambat menyadari bahwa bukan cinta yang membuatnya ragu selama ini, tapi ketakutannya sendiri.
Kini, ia siap.
Ia siap untuk mengejar Adrian.
• • •
Adrian hampir tidak percaya saat ia melihat sosok Alina berdiri di depan apartemennya.
Hujan turun rintik-rintik, membasahi rambut dan bahu Alina, tapi ia tetap berdiri di sana, menatap Adrian dengan mata penuh keyakinan.
“Alina…?”
Alina tersenyum kecil, meskipun air mata mulai menggenang di matanya.
“Aku bodoh,” katanya, suaranya sedikit bergetar. “Aku menghabiskan terlalu banyak waktu untuk takut, terlalu lama menahan diri. Tapi sekarang aku tahu satu hal, Adrian. Aku tidak bisa tanpamu.”
Adrian hanya diam, masih terkejut dengan kehadirannya.
“Aku tahu aku mungkin terlambat,” lanjut Alina, “tapi kalau kamu masih mau… kalau kamu masih bisa menerima aku… aku ingin kita memulai lagi.”
Adrian menatapnya lama, lalu menghela napas panjang. Perlahan, bibirnya melengkung membentuk senyum kecil.
“Kamu benar-benar datang mengejarku?” tanyanya.
Alina mengangguk. “Aku pergi untuk kembali. Untukmu.”
Dan tanpa berkata apa-apa lagi, Adrian menarik Alina ke dalam pelukannya.
Hujan semakin deras, tapi mereka tidak peduli.
Karena untuk pertama kalinya, mereka yakin bahwa cinta ini layak diperjuangkan.
Bab 8: Takdir yang Tak Bisa Dihindari
Tanpa direncanakan, mereka bertemu lagi. Rasa yang dulu ada ternyata belum benar-benar hilang. Namun, masih ada keraguan yang menghalangi.
Mereka pikir setelah pertemuan di tengah hujan itu, segalanya akan lebih mudah. Bahwa setelah mereka memutuskan untuk kembali bersama, dunia akan memberikan jalan yang mulus bagi cinta mereka.
Tapi nyatanya, takdir punya rencana lain.
• • •
Alina duduk di dalam kamarnya, tangannya gemetar saat membaca email di ponselnya. Sebuah tawaran pekerjaan dari perusahaan arsitektur ternama di Paris, impiannya sejak dulu. Tawaran yang tidak mungkin ia tolak, namun juga tidak mungkin ia terima dengan mudah.
Pikirannya berkecamuk. Ia baru saja mendapatkan Adrian kembali, apakah ia harus memilih antara cinta dan impian?
Sementara itu, Adrian juga dihadapkan pada kenyataan yang sulit. Ibunya tiba-tiba sakit keras, dan satu-satunya pilihan adalah kembali ke kampung halamannya untuk merawatnya.
Dua pilihan. Dua arah yang berbeda.
Cinta mereka diuji lagi, kali ini oleh sesuatu yang lebih besar dari sekadar ego atau kesalahpahaman—oleh kehidupan itu sendiri.
• • •
Malam itu, mereka bertemu di taman tempat segalanya dimulai. Adrian menggenggam tangan Alina erat, seolah takut waktu mereka bersama semakin menipis.
“Kamu harus mengambil kesempatan itu, Alina,” kata Adrian, suaranya bergetar. “Aku tahu ini impianmu sejak dulu.”
“Tapi bagaimana dengan kita?” Alina menatapnya dengan mata penuh kebingungan. “Setelah semua yang kita lalui, apakah kita harus berpisah lagi?”
Adrian menelan ludah. Ia ingin mengatakan bahwa mereka bisa mencari cara, bahwa jarak bukan penghalang. Tapi ia tahu, cinta tidak bisa hanya bertumpu pada janji yang rapuh.
“Aku tidak mau menghalangimu,” lanjut Adrian. “Dan aku juga tidak bisa meninggalkan ibuku sekarang.”
Air mata mulai mengalir di pipi Alina. “Jadi ini akhirnya?”
Adrian menggeleng pelan. “Aku tidak tahu, Alina. Tapi yang aku tahu… takdir selalu membawa kita kembali. Jika kita memang ditakdirkan bersama, kita akan menemukan jalan kembali, seperti sebelumnya.”
Alina terisak, tapi ia mengangguk.
Mereka saling berpelukan, membiarkan perasaan mereka berbicara dalam diam.
Mungkin ini bukan perpisahan selamanya.
Mungkin ini hanya cara semesta menguji mereka sekali lagi.
Karena takdir selalu punya rencana. Dan cinta yang sejati akan menemukan jalannya.
Bab 9: Menerima dan Memperjuangkan
Ketika kesadaran datang bahwa cinta sejati bukan hanya tentang memiliki, tetapi juga memperjuangkan. Mereka akhirnya memahami arti kebersamaan yang sesungguhnya.
Hidup selalu memberi dua pilihan: menerima keadaan atau memperjuangkan apa yang benar-benar diinginkan.
Bagi Alina dan Adrian, ini adalah saat di mana mereka harus memilih.
• • •
Hari-hari setelah perpisahan di taman terasa hampa. Alina sibuk mengurus keberangkatannya ke Paris, tetapi setiap malam sebelum tidur, pikirannya selalu dipenuhi dengan bayangan Adrian.
Di sisi lain, Adrian mencoba menyesuaikan diri dengan kehidupannya di kampung halaman. Merawat ibunya menjadi prioritas, tetapi hatinya terasa kosong tanpa Alina.
Sampai akhirnya, sebuah panggilan telepon mengubah segalanya.
“Adrian…” suara Alina terdengar di seberang telepon. Lirih, penuh keraguan.
“Hai…” Adrian berusaha terdengar tenang, meski hatinya bergejolak.
“Aku sudah di Paris.”
Deg. Sekuat apa pun ia berusaha mempersiapkan diri untuk ini, kenyataan bahwa Alina benar-benar pergi tetap terasa menyakitkan.
“Kamu… baik-baik saja di sana?” Adrian bertanya, meski ia tahu pertanyaan itu tidak cukup untuk menggambarkan perasaannya.
“Aku mencoba, tapi…” Alina menarik napas panjang. “Aku tidak bisa berhenti memikirkanmu, Adrian. Aku rindu kamu.”
Kata-kata itu membuat napas Adrian tercekat. Ia merindukan Alina lebih dari apa pun, tetapi ia juga tahu bahwa mereka kini terpisah ribuan kilometer.
“Aku juga rindu kamu, Alina,” katanya jujur. “Tapi apakah kita bisa menjalani ini? Apakah kita cukup kuat untuk memperjuangkan ini?”
Ada jeda di antara mereka, seolah-olah mereka sama-sama mempertimbangkan jawabannya.
“Aku ingin mencoba,” kata Alina akhirnya. “Aku tidak ingin hanya menerima keadaan dan membiarkan cinta kita pergi begitu saja. Aku ingin memperjuangkan kita, Adrian.”
Adrian terdiam. Dalam hatinya, ia tahu bahwa ia juga tidak ingin menyerah.
“Kalau begitu, kita akan mencari cara,” katanya mantap. “Aku akan berusaha untuk ke sana, dan kamu juga bisa pulang sewaktu-waktu. Kita tidak harus memilih antara cinta dan impian. Kita bisa memiliki keduanya.”
Alina tersenyum di seberang telepon, air matanya menetes. Untuk pertama kalinya sejak kepergiannya, ia merasa yakin bahwa cinta mereka masih punya harapan.
Karena cinta bukan tentang memilih antara menerima atau memperjuangkan.
Terkadang, cinta adalah tentang melakukan keduanya sekaligus.
Bab 10: Sehidup Sesurga dengan Kamu
Akhir dari perjalanan panjang. Cinta yang mereka jaga bukan hanya untuk dunia, tetapi juga berharap bisa bersama hingga ke surga.
Cinta sejati bukan hanya tentang bersama dalam kebahagiaan, tetapi juga tetap menggenggam erat di saat ujian datang.
• • •
Adrian berdiri di depan cermin, merapikan jas putihnya. Hari ini adalah hari yang telah lama ia nantikan—hari di mana ia dan Alina akan mengikat janji suci di hadapan Tuhan.
Sementara itu, di ruangan lain, Alina mengenakan gaun putih sederhana namun anggun. Tangannya sedikit gemetar saat membetulkan veil yang tersemat di kepalanya. Hari ini adalah awal dari perjalanan baru, sebuah takdir yang akhirnya berpihak pada mereka setelah berbagai ujian dan luka yang mereka lewati.
Saat pintu gereja terbuka, Adrian menoleh. Nafasnya tercekat melihat Alina berjalan perlahan menuju altar. Senyum perempuan itu begitu tenang, namun matanya berbinar, seolah mengatakan, Kita berhasil sampai di sini.
Setiap langkah yang Alina ambil adalah langkah menuju kehidupan baru—bersama pria yang selalu menjadi rumah baginya.
Ketika akhirnya mereka berdiri berhadapan, mata mereka bertemu. Semua yang pernah mereka lalui terpantul di sana—tawa, air mata, kehilangan, dan perjuangan.
“Saya berjanji,” Adrian mengucap dengan suara penuh ketulusan, “untuk selalu mencintai, menjaga, dan menghormati kamu. Bukan hanya di dunia ini, tapi hingga nanti di surga.”
Alina tersenyum, air matanya hampir jatuh. “Dan saya berjanji, untuk selalu menggenggam tanganmu dalam setiap keadaan. Kita akan sehidup sesurga, Adrian.”
Cincin melingkar di jari mereka. Doa dan harapan mengiringi setiap detik sakral itu.
Ketika pendeta mengucapkan, “Kalian kini resmi menjadi suami istri,” Adrian menarik Alina dalam pelukannya.
Suara tepuk tangan memenuhi ruangan, tapi bagi mereka, dunia terasa hanya milik berdua.
Sehidup sesurga.
Janji yang tidak hanya terucap di bibir, tapi tertanam dalam hati. Sebuah cinta yang tidak hanya bertahan di dunia, tapi juga mengikat hingga ke keabadian.
Struktur ini penuh dengan konflik, emosi, dan pembelajaran tentang arti cinta sejati. Novel ini menggabungkan elemen romansa dengan nilai-nilai kehidupan yang mendalam. ✨💕.***
—— THE END ——