Daftar Isi
Bab 1: Awal Sebuah Janji
Nadia dan Raka berjanji untuk tetap bersama, tidak peduli apa pun yang terjadi.
Raka harus pergi ke luar kota untuk mengejar mimpinya, meninggalkan Nadia yang tetap menunggu.Suara deru ombak yang menghantam karang terdengar jelas di telinga Aisyah. Langit sore di Pantai Selatan itu begitu memukau dengan gradasi warna jingga yang perlahan berubah menjadi ungu tua. Angin laut yang sejuk menerpa wajahnya, membuat rambut hitam panjangnya berantakan. Namun, Aisyah tak peduli. Pandangannya terpaku pada seseorang yang berdiri di sampingnya—Arka.
Mata Arka yang tajam namun hangat memancarkan ketenangan. Wajahnya yang sedikit terbakar matahari terlihat semakin mempesona di bawah sinar mentari senja. Ia adalah sosok yang selama ini mengisi hari-hari Aisyah dengan tawa, cerita, dan harapan.
“Aisyah,” panggil Arka lembut.
“Hmm?” Aisyah menoleh, matanya bertemu dengan tatapan serius Arka.
“Kamu tahu kenapa aku ajak kamu ke sini hari ini?” tanyanya.
Aisyah menggeleng, meski sebenarnya ia punya firasat bahwa ada sesuatu yang penting yang ingin disampaikan Arka.
Arka menarik napas panjang sebelum melanjutkan, “Aku tahu hidup nggak selalu berjalan sesuai rencana. Kadang ada hal-hal yang nggak bisa kita kendalikan. Tapi satu hal yang selalu pasti—aku ingin kamu ada di sisiku, apa pun yang terjadi.”
Jantung Aisyah berdebar mendengar kata-kata itu.
“Aku mau kita buat janji,” lanjut Arka sambil menggenggam tangan Aisyah erat. “Apa pun yang terjadi nanti, kita nggak akan pernah saling menyerah. Kita akan berjuang bersama, menghadapi apa pun yang ada di depan kita.”
Aisyah terdiam sejenak. Ada rasa haru yang menyelimuti hatinya. Ia tahu bahwa perjalanan cinta mereka tidak akan mudah. Arka adalah sosok yang ambisius, dengan cita-cita besar di dunia bisnis. Sementara itu, Aisyah adalah seorang seniman yang hidup dengan impian sederhana—membuka galeri seni kecil dan menghabiskan waktu dengan lukisan-lukisannya.
Namun, di balik semua perbedaan itu, ada cinta yang kuat yang menyatukan mereka.
“Aku janji, Arka,” jawab Aisyah dengan suara bergetar. “Apa pun yang terjadi, aku nggak akan pernah menyerah. Aku akan selalu ada di sisimu.”
Arka tersenyum lega. “Aku juga janji, Aisyah. Kita akan menghadapi semuanya bersama.”
Senja itu menjadi saksi awal sebuah janji yang akan mengubah hidup mereka selamanya.
Beberapa bulan setelah momen di pantai itu, kehidupan Aisyah dan Arka berjalan dengan penuh kebahagiaan. Mereka sering menghabiskan waktu bersama, menjelajahi tempat-tempat baru, dan berbicara tentang masa depan.
Namun, seperti yang sudah mereka duga, kehidupan tidak selalu berjalan mulus.
Suatu pagi yang cerah, Arka menerima telepon penting dari perusahaannya. Wajahnya yang semula ceria berubah tegang setelah mendengar kabar tersebut.
“Apa yang terjadi?” tanya Aisyah cemas.
“Ada proyek besar di luar negeri. Perusahaan ingin aku memimpin tim di sana selama setahun,” jawab Arka dengan nada berat.
Aisyah terdiam. Kabar itu seperti petir di siang bolong. Selama ini mereka selalu bersama, dan kini Arka harus pergi jauh untuk waktu yang lama.
“Jadi kamu akan pergi?” tanyanya lirih.
“Aku belum tahu, Aisyah. Aku nggak mau ninggalin kamu,” jawab Arka.
Namun, dalam hati Aisyah tahu bahwa Arka tidak bisa menolak kesempatan besar itu. Ini adalah impian yang selama ini Arka kejar. Dan sebagai orang yang mencintainya, Aisyah tahu bahwa ia harus mendukung Arka.
“Kalau itu memang yang terbaik untukmu, aku akan mendukungmu,” kata Aisyah dengan suara yang berusaha tegar.
“Tapi gimana dengan kita?” Arka menatap Aisyah dengan tatapan penuh kekhawatiran.
“Kita sudah buat janji, Arka. Apa pun yang terjadi, kita nggak akan menyerah. Aku percaya sama kamu,” jawab Aisyah dengan yakin.
Arka menggenggam tangan Aisyah erat. “Aku nggak akan pernah lupa janji itu.”
Dua minggu kemudian, Arka berangkat ke luar negeri. Perpisahan di bandara terasa begitu berat. Aisyah berusaha menahan air matanya saat melihat Arka melangkah pergi. Namun, hatinya terasa hampa.
Hari-hari tanpa Arka terasa begitu sunyi. Aisyah mencoba mengalihkan pikirannya dengan bekerja di toko buku dan melukis, tetapi rasa rindu terus menghantui.
Di sisi lain, Arka juga menghadapi tantangan besar di tempat barunya. Proyek yang ia pimpin tidak berjalan semulus yang diharapkan. Tekanan dan tuntutan pekerjaan membuatnya sering merasa stres. Namun, setiap kali ia berbicara dengan Aisyah melalui telepon atau video call, semangatnya kembali bangkit.
“Kamu adalah alasan aku tetap kuat di sini,” ujar Arka suatu malam.
“Kita udah janji, Arka. Kita nggak akan menyerah,” jawab Aisyah dengan senyum yang meski terlihat lelah, tetap penuh cinta.
Namun, ujian yang sebenarnya belum datang. Suatu hari, Aisyah menerima kabar yang membuat dunianya seakan runtuh. Arka mengalami kecelakaan di tempat proyek dan harus menjalani operasi besar.
Berita itu membuat Aisyah terhempas dalam kepanikan dan kesedihan. Ia ingin segera terbang ke tempat Arka berada, tetapi kondisi keuangan dan situasi yang rumit membuatnya tidak bisa langsung pergi.
Di tengah kesedihannya, Aisyah teringat janji mereka. Janji untuk tidak pernah menyerah apa pun yang terjadi. Dengan tekad yang kuat, ia berusaha tetap tegar dan mendukung Arka dari kejauhan.
“Aku nggak akan ninggalin kamu, Arka. Aku akan selalu ada untuk kamu, meski jarak memisahkan kita,” bisiknya dalam hati.
Aisyah berdiri di tepi danau yang tenang, angin sore berhembus lembut menggoyangkan ujung gaunnya. Matahari yang hampir terbenam memantulkan cahaya keemasan di permukaan air, menciptakan suasana yang begitu damai. Namun, dalam hatinya, ada perasaan yang berkecamuk.
Di sampingnya, Arka terdiam dengan wajah yang tampak serius. Lelaki itu biasanya penuh dengan senyum hangat, tapi kali ini ekspresinya sulit terbaca.
“Apa yang sebenarnya ingin kamu bicarakan, Arka?” tanya Aisyah, memecah keheningan yang menggantung di antara mereka.
Arka menghela napas panjang, seolah sedang mencari keberanian untuk mengatakan sesuatu yang berat. “Aku… aku mau kita bicara tentang masa depan.”
Aisyah mengerutkan kening. “Masa depan?”
“Ya.” Arka menatap lurus ke mata Aisyah. “Aku ingin kita buat janji. Apa pun yang terjadi nanti, kita akan tetap bersama. Kita nggak akan menyerah satu sama lain.”
Kata-kata itu membuat jantung Aisyah berdegup kencang.
“Kenapa tiba-tiba ngomong kayak gini?” tanyanya, merasa ada sesuatu yang disembunyikan oleh Arka.
Arka terdiam sejenak sebelum menjawab, “Aku dapat tawaran kerja di luar negeri. Proyek besar yang mungkin akan mengubah hidupku… dan hidup kita.”
Aisyah tertegun. Selama ini mereka selalu bersama, menjalani hari-hari dengan penuh kebahagiaan meski sederhana. Bayangan hidup tanpa Arka membuat hatinya terasa sesak.
“Berapa lama?” suara Aisyah bergetar.
“Setahun, mungkin lebih,” jawab Arka dengan nada berat. “Tapi aku nggak mau keputusan ini merusak hubungan kita. Aku percaya kita bisa melewati ini kalau kita saling berjanji untuk tetap bertahan.”
Aisyah terdiam. Angin sore yang berhembus tidak mampu mengusir kebingungan yang melanda pikirannya. Namun, di balik semua kekhawatiran itu, ia tahu satu hal—ia mencintai Arka.
Dengan suara yang penuh keyakinan, Aisyah berkata, “Aku janji, Arka. Apa pun yang terjadi, aku nggak akan menyerah.”
Mata Arka berbinar mendengar jawaban itu. “Aku juga janji, Aisyah. Aku akan kembali untuk kamu, apa pun yang terjadi.”
Senja itu menjadi saksi awal sebuah janji yang akan mengubah hidup mereka selamanya.
Hari-hari setelah perbincangan itu dipenuhi dengan persiapan keberangkatan Arka. Meski mencoba terlihat tegar, Aisyah tidak bisa menyembunyikan rasa cemasnya.
“Kamu yakin nggak akan berubah setelah sampai di sana?” tanya Aisyah suatu malam saat mereka duduk di balkon rumah Arka.
Arka tertawa kecil. “Kenapa kamu tiba-tiba ngomong gitu?”
“Aku cuma takut aja. Takut kalau jarak dan waktu bikin kita jauh, bukan cuma secara fisik tapi juga hati.”
Arka menggenggam tangan Aisyah erat. “Dengerin aku, Aisyah. Aku nggak akan pernah ninggalin kamu. Jarak itu cuma ujian kecil buat kita. Kita udah janji, kan?”
Aisyah mengangguk, meski hatinya masih diliputi keraguan.
Hari keberangkatan Arka tiba lebih cepat dari yang mereka bayangkan. Di bandara, Aisyah berdiri dengan wajah yang mencoba tegar. Arka mengenakan jaket hitam dan membawa tas ransel besar di punggungnya.
“Aku bakal kangen sama kamu,” kata Aisyah dengan suara bergetar.
“Aku juga,” jawab Arka sambil menatapnya dalam-dalam. “Tapi aku janji akan pulang secepat mungkin.”
Mereka berpelukan erat, seolah tidak ingin melepaskan satu sama lain. Namun, waktu tidak bisa dihentikan. Panggilan terakhir untuk penerbangan Arka terdengar di seluruh terminal.
“Aku harus pergi,” kata Arka dengan berat hati.
Aisyah menahan air matanya. “Hati-hati di sana, ya.”
Arka mengangguk. “Aku akan selalu ingat janji kita.”
Dengan langkah yang berat, Arka berjalan menuju pintu keberangkatan. Aisyah hanya bisa menatap punggungnya yang semakin menjauh hingga akhirnya menghilang dari pandangan.
Hari-hari tanpa Arka terasa begitu sunyi bagi Aisyah. Ia mencoba mengisi waktunya dengan bekerja di toko buku dan melukis, tetapi rasa rindu terus menghantui.
Malam-malam panjang diisi dengan pesan singkat dan panggilan video yang terkadang terputus karena perbedaan waktu dan kesibukan Arka.
“Aku kangen sama kamu,” kata Aisyah suatu malam saat mereka berbicara melalui video call.
“Aku juga, Aisyah. Tapi kita harus kuat. Ingat janji kita?”
Aisyah tersenyum lemah. “Aku ingat.”
Namun, seiring berjalannya waktu, komunikasi mereka semakin jarang. Kesibukan Arka dengan proyeknya membuat hubungan mereka terasa semakin jauh.
Aisyah mulai merasa ragu. Apakah janji yang mereka buat di tepi danau itu masih berarti bagi Arka?
Suatu malam, Aisyah menerima pesan dari Arka.
“Aku nggak bisa video call malam ini. Maaf, aku sibuk banget.”
Aisyah menatap pesan itu dengan perasaan hampa. Ini bukan pertama kalinya Arka membatalkan janji untuk berbicara dengannya.
Dengan hati yang berat, Aisyah menulis balasan, “Nggak apa-apa. Aku ngerti.”
Namun dalam hatinya, Aisyah merasa seolah janji mereka perlahan mulai terkikis oleh waktu dan jarak.
Bab ini berakhir dengan perasaan ambigu yang menyelimuti Aisyah. Janji yang pernah mereka buat di tepi danau kini diuji oleh kenyataan hidup yang tidak terduga. Apakah cinta mereka cukup kuat untuk bertahan? Hanya waktu yang akan menjawabnya.*
Bab 2: Waktu yang Berjalan
Nadia tetap bertahan dengan keyakinannya bahwa Raka akan kembali.
Ia mulai menjalani hidupnya sendiri, tetapi bayangan janji itu selalu membayanginya.
Hari demi hari berlalu sejak kepergian Arka ke luar negeri. Bagi Aisyah, waktu yang berjalan terasa lambat dan melelahkan. Setiap sudut kota yang pernah mereka lalui bersama kini terasa hampa. Kafe kecil di ujung jalan yang dulu menjadi tempat favorit mereka untuk berbincang hingga larut malam kini hanya menyisakan kenangan yang membuat dadanya sesak.
Aisyah mencoba mengalihkan pikirannya dengan melukis. Kanvas demi kanvas ia isi dengan warna-warna cerah yang seolah ingin menyembunyikan kegelisahan di hatinya. Namun, setiap sapuan kuas hanya membawa ingatannya kembali pada senyuman Arka, suara tawanya, dan tatapan matanya yang penuh cinta.
“Kenapa semuanya terasa kosong tanpa kamu?” gumam Aisyah sambil menatap lukisannya yang belum selesai.
Di tengah keheningan itu, ponselnya berdering. Nama Arka muncul di layar, membuat jantung Aisyah berdegup kencang. Dengan cepat ia menjawab panggilan itu.
“Halo, Aisyah,” suara Arka terdengar dari seberang.
“Halo, Arka! Aku kangen banget sama kamu,” jawab Aisyah dengan suara penuh antusias.
“Aku juga kangen. Maaf aku baru bisa nelpon. Proyek di sini benar-benar menyita waktu,” kata Arka dengan nada menyesal.
“Nggak apa-apa. Yang penting sekarang kita bisa ngobrol,” ujar Aisyah berusaha terdengar ceria meski hatinya sedikit terluka.
Mereka berbicara selama beberapa menit, membicarakan hal-hal ringan seperti cuaca dan aktivitas sehari-hari. Namun, Aisyah tidak bisa menahan diri untuk bertanya tentang sesuatu yang mengganggunya.
“Kamu masih inget janji kita, kan?” tanyanya tiba-tiba.
Arka terdiam sejenak sebelum menjawab, “Tentu aja, Aisyah. Aku nggak akan pernah lupa janji itu.”
Meski jawaban Arka terdengar meyakinkan, Aisyah tidak bisa sepenuhnya menghilangkan rasa cemas yang terus mengintai hatinya. Waktu yang berjalan tanpa kehadiran Arka perlahan-lahan mulai menguji keteguhan hatinya.
Setiap pagi, Aisyah menjalani rutinitas yang sama: membuka toko buku kecil milik keluarganya, melayani pelanggan, dan melukis di sela-sela waktu luangnya. Namun, tanpa disadari, semangatnya mulai memudar. Toko yang dulu selalu ia isi dengan tawa dan cerita kini terasa sepi.
Suatu siang, sahabatnya, Rina, datang berkunjung. Rina adalah orang yang selalu ada untuk Aisyah, terutama sejak kepergian Arka.
“Lukisan kamu makin bagus aja,” puji Rina sambil memperhatikan salah satu karya Aisyah yang terpajang di dinding toko.
“Thanks,” jawab Aisyah singkat.
Rina mengerutkan kening. “Kamu kenapa? Biasanya kamu cerita panjang lebar tentang lukisan kamu.”
Aisyah menghela napas. “Aku cuma lagi nggak mood aja.”
“Ini pasti karena Arka, kan?” tebak Rina.
Aisyah terdiam. Ia tahu Rina selalu bisa membaca suasana hatinya.
“Long distance relationship itu memang nggak gampang, Aisyah. Tapi kalau kalian saling percaya, pasti bisa lewatinnya,” kata Rina mencoba menyemangati.
Aisyah tersenyum tipis. “Iya, aku tahu. Tapi kadang aku ngerasa jarak dan waktu ini kayak tembok yang makin lama makin tinggi.”
Rina menggenggam tangan Aisyah. “Kamu kuat, Aisyah. Dan aku yakin Arka juga berusaha di sana.”
Meski kata-kata Rina sedikit menghibur, Aisyah tidak bisa sepenuhnya menghilangkan rasa kosong yang terus menghantuinya.
Seiring berjalannya waktu, komunikasi antara Aisyah dan Arka semakin jarang. Pekerjaan Arka yang semakin padat membuatnya sulit untuk meluangkan waktu berbicara dengan Aisyah. Pesan-pesan yang dulu selalu dibalas dengan cepat kini sering kali tertunda.
Suatu malam, Aisyah mengirim pesan kepada Arka.
“Aku kangen. Kapan kita bisa video call?”
Namun, pesan itu tidak kunjung mendapat balasan. Aisyah menunggu dengan penuh harap, tetapi hingga larut malam ponselnya tetap sunyi. Perasaan kecewa mulai menyelimuti hatinya.
“Kamu masih inget janji kita, Arka?” gumam Aisyah dengan mata yang mulai berkaca-kaca.
Di tengah kegelisahannya, Aisyah memutuskan untuk mengunjungi galeri seni tempat ia biasa mencari inspirasi. Di sana, ia bertemu dengan Pak Danu, seorang seniman senior yang selalu memberikan nasihat bijak.
“Kamu kelihatan nggak semangat, Aisyah,” ujar Pak Danu saat melihat wajahnya yang murung.
Aisyah tersenyum tipis. “Saya lagi banyak pikiran, Pak.”
“Kalau ada yang mengganggu pikiran, coba tuangkan dalam lukisan. Seni itu punya cara sendiri untuk menyembuhkan hati,” kata Pak Danu dengan bijak.
Nasihat itu menyentuh hati Aisyah. Malam itu, ia kembali ke studionya dan mulai melukis tanpa henti. Setiap sapuan kuasnya seolah menjadi pelampiasan dari semua emosi yang terpendam. Ketika akhirnya ia selesai, sebuah lukisan indah terpampang di depannya—pemandangan pantai dengan dua siluet yang berdiri berdampingan di bawah langit senja.
Aisyah menatap lukisan itu dengan mata berkaca-kaca. “Aku nggak akan menyerah. Aku harus kuat, sama seperti janji kita.”
Beberapa hari kemudian, Arka akhirnya menghubungi Aisyah. Wajahnya terlihat lelah di layar ponsel, tetapi senyum hangatnya tetap ada.
“Maaf ya, Aisyah. Aku sibuk banget akhir-akhir ini,” ujar Arka dengan nada menyesal.
“Nggak apa-apa. Aku ngerti,” jawab Aisyah meski hatinya masih menyimpan luka.
“Aku cuma mau bilang kalau aku nggak pernah lupa sama janji kita. Aku tahu ini berat, tapi aku janji akan pulang secepat mungkin.”
Kata-kata itu sedikit mengobati kerinduan Aisyah. Meski waktu terus berjalan dan jarak memisahkan mereka, cinta dan janji yang pernah mereka buat tetap menjadi pegangan yang kuat.
Malam itu, Aisyah tidur dengan hati yang sedikit lebih tenang. Ia tahu perjalanan mereka masih panjang, tetapi ia bertekad untuk tetap bertahan. Waktu mungkin akan terus berjalan, tetapi cinta mereka akan selalu menemukan jalannya sendiri*
Bab 3: Kabar yang Mengguncang
Nadia mendengar kabar bahwa Raka telah bertunangan dengan wanita lain.
Dinda menyarankan Nadia untuk merelakan, tetapi hatinya masih menolak.Alya termenung di balkon apartemennya. Pagi itu, langit Jakarta terlihat cerah, namun hatinya gelisah. Ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. Tepat seminggu yang lalu, ia menerima sebuah pesan singkat yang mengubah segalanya. Sejak saat itu, hidupnya tidak pernah sama lagi. Pesan itu datang dari nomor yang tidak dikenal, namun suara di ujung sana sangat familiar. Nama yang disebutkan dalam pesan itu adalah sesuatu yang sangat berarti baginya: “Adrian.”
Nama itu seakan membawa Alya kembali pada kenangan masa lalu, kenangan yang sudah lama terkubur dalam-dalam. Adrian, lelaki yang dulu pernah menjadi bagian penting dalam hidupnya, lelaki yang pernah meninggalkannya tanpa penjelasan. Kenapa sekarang dia muncul kembali?
Alya membaca kembali pesan yang diterimanya pagi itu:
“Alya, aku ingin kita bertemu. Ada sesuatu yang harus aku jelaskan. Mungkin ini terlalu terlambat, tapi aku tidak bisa lagi menahan diri.”
Hatinya berdegup kencang saat membacanya. Terlambat? Alya menatap layar ponselnya, mencoba memahami makna dari setiap kata yang tertulis. Apa yang ingin dia jelaskan? Ada begitu banyak hal yang tidak ia pahami, begitu banyak pertanyaan yang belum terjawab.
Kenangan di Masa Lalu
Alya masih ingat dengan jelas bagaimana semuanya dimulai. Pertemuan pertama mereka di sebuah kafe kecil di sudut kota. Adrian dengan senyum cerahnya, seorang pemuda dengan mata yang selalu memancarkan kehangatan. Mereka langsung terhubung, berbicara tentang segala hal seakan waktu berhenti. Tak ada yang lebih indah bagi Alya selain saat-saat itu. Mereka jatuh cinta dengan cara yang sederhana, namun penuh makna.
Namun, seperti halnya kisah cinta yang tak selalu berjalan mulus, hubungan mereka harus berakhir secara tiba-tiba. Adrian menghilang tanpa jejak, tanpa alasan yang jelas. Alya hanya mendapatkan pesan singkat dari Adrian yang berbunyi, “Aku harus pergi, ini demi kebaikan kita berdua.” Tanpa penjelasan lebih lanjut, dia menghilang begitu saja.
Alya tidak pernah tahu alasan mengapa Adrian pergi. Dia mencoba untuk melanjutkan hidup, meskipun bayangan Adrian selalu hadir dalam pikirannya. Ia memutuskan untuk fokus pada kariernya, mengejar impian yang sempat tertunda. Namun, setiap kali ia merasa hampir melupakan Adrian, kenangan tentangnya selalu datang kembali, seakan tak bisa dihapus begitu saja.
Perubahan yang Tidak Terduga
Sekarang, setelah bertahun-tahun berlalu, Adrian kembali muncul dengan cara yang tak terduga. Alya bingung dan khawatir. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan dengan perasaan yang kembali muncul begitu saja. Dia ingin tahu alasan mengapa Adrian pergi, tetapi di sisi lain, dia takut jika pertemuan ini hanya akan membuka luka lama.
Sambil menatap jalanan yang sibuk, Alya memutuskan untuk menghubungi Adrian. Setelah beberapa kali berpikir, ia mengetik pesan singkat:
“Adrian, aku tidak tahu apa yang ingin kau jelaskan, tapi jika ini tentang masa lalu kita, aku rasa aku sudah cukup berdamai. Aku tidak tahu apakah aku siap untuk bertemu.”
Beberapa menit berlalu, dan ponselnya berbunyi. Sebuah pesan masuk dari Adrian:
“Alya, aku mengerti jika kau ragu. Tapi aku ingin bertemu untuk menjelaskan semuanya. Aku janji ini akan membuatmu mengerti.”
Pesan itu meninggalkan Alya dengan banyak perasaan campur aduk. Ada rasa penasaran yang mendalam, namun juga ketakutan yang datang bersamaan. Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa sekarang?
Pertemuan yang Mengubah Segalanya
Alya pun akhirnya memutuskan untuk bertemu dengan Adrian. Mereka sepakat untuk bertemu di tempat yang sama dengan tempat pertama kali mereka bertemu—kafe kecil yang penuh dengan kenangan. Saat Alya tiba di sana, Adrian sudah menunggu di meja yang sama. Hanya saja, kali ini dia terlihat lebih matang, lebih serius, dengan ekspresi yang penuh penyesalan.
Alya duduk di hadapannya, memandangi wajah Adrian yang tampak tidak banyak berubah. Namun, ada kesan berbeda dalam tatapannya, seolah ada sesuatu yang tersembunyi di balik matanya.
“Terima kasih sudah datang,” kata Adrian, suaranya serak. “Aku tahu ini sulit untukmu, dan aku tidak berharap kau bisa langsung memaafkan semuanya. Tapi aku harus memberitahumu yang sebenarnya.”
Alya menatapnya dengan tatapan penuh pertanyaan. “Kenapa kau pergi dulu, Adrian? Apa yang sebenarnya terjadi?” tanyanya dengan suara bergetar.
Adrian menarik napas panjang, tampaknya sedang mencari kata-kata yang tepat. “Aku… aku tidak bisa memberitahumu waktu itu. Aku merasa ada sesuatu yang lebih besar yang harus aku tangani, sesuatu yang membuatku harus memilih untuk pergi. Aku merasa itu adalah satu-satunya jalan, meskipun itu sangat menyakitkan.”
Alya terdiam. Semua kata-kata itu seperti petir yang menyambar hatinya. Apa yang dimaksud Adrian dengan “sesuatu yang lebih besar”? Mengapa dia tidak pernah memberi penjelasan lebih dulu?
“Apa itu?” Alya akhirnya memutuskan untuk bertanya. “Kenapa kau tidak memberitahuku? Kenapa harus pergi begitu saja?”
Adrian menundukkan kepala, tampak penuh penyesalan. “Aku… aku terjebak dalam sesuatu yang lebih besar dari diriku. Ada keluarga, ada tanggung jawab yang harus aku hadapi. Aku tidak ingin membebanmu dengan itu. Aku tidak ingin kau terluka lebih jauh.”
Alya merasa hatinya tersayat. Kenapa semua ini baru diketahui sekarang? Kenapa Adrian baru datang setelah bertahun-tahun menghilang?
“Kenapa kau tidak bisa memberitahuku semua itu? Kenapa harus meninggalkan aku dalam kebingungan?” suara Alya pecah, dan ia merasa air mata mulai menggenang di matanya.
Adrian mengulurkan tangan, mencoba meraih tangan Alya. “Aku tahu aku salah, Alya. Aku terlalu egois waktu itu. Aku tidak bisa memberi penjelasan karena aku merasa itu akan membuatmu lebih terluka. Tapi aku sadar, aku tidak bisa terus lari dari kenyataan. Aku harus menghadapi masa lalu.”
Alya menarik tangannya, menahan diri untuk tidak menangis. Semua perasaan yang ia simpan selama ini kembali muncul. “Apa yang ingin kau katakan, Adrian? Apa yang harus aku lakukan sekarang?”
“Maafkan aku, Alya,” jawab Adrian dengan suara pelan. “Aku ingin memperbaiki semuanya. Aku ingin kita mulai lagi, jika kau bersedia.”
Pilihan yang Sulit
Alya menatap Adrian, bingung dengan apa yang harus dia pilih. Semua kenangan indah yang mereka lalui, dan semua luka yang ditinggalkan, kembali datang bersamaan. Apakah ia bisa menerima penjelasan Adrian? Apakah mereka bisa memulai lagi setelah semua yang terjadi?
Namun, ada satu hal yang tidak bisa disangkal: perasaan itu, meskipun telah lama terkubur, tetap ada. Cinta itu masih terasa, meskipun terlambat.
“Tapi, Adrian,” kata Alya akhirnya, suaranya tegas. “Bukan hanya kamu yang terluka. Aku juga. Dan aku tidak tahu apakah aku siap untuk kembali ke masa lalu itu.”
Kabar yang mengguncang ini, pertemuan yang tak terduga, membawa mereka pada persimpangan jalan yang penuh dengan ketidakpastian. Alya tahu, apapun yang terjadi selanjutnya, hidupnya tidak akan pernah sama lagi.Pagi itu, Alya duduk di meja makan sambil menatap secangkir kopi yang sudah dingin. Ia merasa tak bisa tenang sejak menerima pesan dari Adrian, lelaki yang dulu pernah meninggalkan hidupnya tanpa alasan yang jelas. Perasaan campur aduk menyelimuti hati Alya, antara keinginan untuk mendapatkan penjelasan dan ketakutan akan luka lama yang kembali terbuka.
Ponsel di atas meja bergetar. Sebuah notifikasi pesan masuk dari Adrian. Alya menatap layar dengan ragu. Untuk beberapa detik, ia hanya memandangi pesan itu tanpa membukanya. Akhirnya, dengan perasaan berat, ia membuka pesan tersebut.
“Alya, aku ingin kita bertemu. Aku tahu sudah terlambat, tapi ada hal yang harus aku jelaskan. Aku harap kau bisa memberi kesempatan padaku.”
Alya terdiam, mulutnya kering. Rasa ingin tahu mulai menguasai dirinya, meskipun hatinya tahu bahwa pertemuan ini akan menguras semua perasaan yang sudah lama ia coba lupakan. Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa Adrian baru muncul sekarang setelah bertahun-tahun menghilang tanpa jejak?
Masa Lalu yang Tidak Mudah Dilupakan
Alya mengingat dengan jelas bagaimana semua itu dimulai. Ketika pertama kali bertemu dengan Adrian, dunia seperti berhenti sejenak. Mereka berbicara dengan begitu alami, seakan mereka sudah mengenal satu sama lain sejak lama. Setiap senyum Adrian, setiap kata yang keluar dari mulutnya, terasa begitu menenangkan. Cinta mereka tumbuh begitu cepat, begitu mendalam, tanpa ada tanda-tanda peringatan yang menunjukkan bahwa hubungan itu akan berakhir.
Namun, seperti halnya kebanyakan cerita cinta, hubungan mereka tidak berjalan mulus. Tanpa pemberitahuan, tanpa alasan yang jelas, Adrian menghilang dari hidup Alya. Tidak ada panggilan, tidak ada pesan, tidak ada penjelasan. Hanya sebuah pesan singkat yang mengatakan, “Maaf, aku harus pergi. Ini demi kebaikan kita berdua.” Alya bingung, terluka, dan merasa dibuang begitu saja.
Kenangan itu masih membekas dalam benak Alya. Ia mencoba untuk melanjutkan hidup, untuk berdamai dengan kenyataan bahwa Adrian telah pergi. Namun, setiap kali ia merasa hampir bisa melupakan pria itu, bayangannya selalu hadir dalam pikirannya, menimbulkan perasaan yang sulit dijelaskan.
Pesan yang Tak Terduga
Pesan dari Adrian yang ia terima beberapa hari lalu mengguncang dunia yang sudah dibangunnya. Pesan itu seperti angin yang menggoyang akar pohon yang sudah tumbuh kokoh. Alya merasakan kebingungan yang luar biasa. Ia sudah lama berusaha untuk melupakan, tetapi perasaan itu seakan tak bisa ditekan.
“Apa yang sebenarnya ingin dia jelaskan?” tanya Alya dalam hati. Pertanyaan itu berputar-putar di pikirannya tanpa henti. Ia merasa marah, bingung, dan sekaligus rindu. Rindu pada masa-masa bahagia yang pernah mereka lewati bersama. Namun, ia juga takut jika pertemuan ini hanya akan membuka luka yang selama ini ia sembunyikan.
Setelah beberapa hari berpikir, akhirnya Alya memutuskan untuk membalas pesan itu.
“Aku ingin tahu apa yang terjadi, Adrian. Tapi aku juga takut. Aku tidak tahu apakah aku siap untuk mendengar apa yang kau katakan.”
Pesan itu langsung dibalas, kali ini lebih cepat.
“Aku mengerti jika kau ragu, Alya. Tapi aku berjanji, ini adalah hal yang harus kau ketahui. Aku ingin kita bertemu dan aku akan menjelaskan semuanya.”
Perasaan Alya semakin campur aduk. Di satu sisi, ia merasa lega karena akhirnya ada kesempatan untuk mendengar penjelasan Adrian. Namun, di sisi lain, ia juga merasa takut. Takut jika pertemuan itu akan menghancurkan semua yang telah ia bangun selama ini.
Pertemuan yang Menegangkan
Alya tiba lebih awal di kafe yang telah mereka tentukan sebagai tempat pertemuan. Kafe itu, yang dulu penuh kenangan manis bagi mereka, kini terasa asing. Meja di dekat jendela itu seakan memanggilnya kembali, mengingatkan pada banyak momen yang pernah mereka habiskan bersama. Namun, Alya tahu, segala sesuatunya sudah berbeda.
Adrian belum tiba, namun Alya sudah bisa merasakan getaran ketegangan di udara. Hatinya berdetak lebih cepat dari biasanya. Ia tidak tahu apa yang harus ia rasakan, apakah ia harus marah, bahagia, atau bahkan takut. Semua emosi itu bercampur aduk dalam dirinya.
Tak lama kemudian, sosok Adrian muncul di pintu kafe. Wajahnya sedikit lebih matang, tampak lebih dewasa dan serius dibandingkan dengan yang terakhir kali ia ingat. Tentu saja, sudah bertahun-tahun sejak mereka terakhir bertemu. Meskipun begitu, tatapan mata Adrian masih sama—ada kehangatan yang tidak bisa disembunyikan, namun juga rasa penyesalan yang dalam.
Adrian berjalan menuju meja, dan Alya berdiri. Mereka saling memandang, sejenak diam, sebelum akhirnya Adrian membuka pembicaraan.
“Terima kasih sudah datang,” kata Adrian, suaranya terdengar agak serak, seolah ada beban yang sulit diungkapkan.
Alya hanya mengangguk, meskipun hatinya penuh dengan pertanyaan. “Aku ingin tahu, Adrian. Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa kau pergi tanpa penjelasan? Kenapa meninggalkan aku begitu saja?”
Adrian menarik napas panjang, dan kemudian duduk di kursinya. “Alya, aku… aku tidak pernah bermaksud untuk menyakitimu. Saat itu, ada hal yang lebih besar yang harus aku hadapi. Ada tekanan yang datang dari keluargaku, dan aku merasa itu adalah keputusan terbaik, meskipun itu sangat sulit.”
Alya menatapnya dengan tajam. “Keluarga? Apa maksudmu? Kenapa itu harus membuatmu pergi begitu saja? Kenapa tidak ada penjelasan? Kenapa aku harus terluka seperti ini?”
Adrian menundukkan kepala, seolah menyesali semua yang telah terjadi. “Aku tahu, aku salah. Aku seharusnya memberitahumu. Tapi aku tidak tahu bagaimana caranya. Aku merasa jika aku tetap tinggal, aku akan semakin membuat semuanya lebih buruk. Aku merasa itu adalah satu-satunya cara untuk melindungimu.”
Alya merasa bingung dan marah. “Melindungiku? Dengan pergi tanpa penjelasan? Dengan meninggalkanku sendirian?”
Adrian mengangkat wajahnya, dan matanya menatap dalam-dalam ke mata Alya. “Aku tahu aku tidak berhak meminta maaf, Alya. Tapi itu yang bisa aku lakukan sekarang. Aku ingin kau tahu bahwa aku sangat menyesal. Aku ingin menjelaskan semuanya. Aku ingin memberi tahu kau alasan mengapa aku pergi, meskipun aku tahu ini terlalu terlambat.”
Alya terdiam, hatinya terasa berat. Setiap kata yang keluar dari mulut Adrian seakan memecah dinding pertahanannya. Selama ini, ia berusaha menghindari kenyataan, mencoba untuk melupakan pria yang pernah ia cintai. Namun, sekarang semua kenangan itu kembali datang.
“Lalu, apa yang harus aku lakukan sekarang, Adrian?” tanya Alya dengan suara gemetar, meskipun ia mencoba untuk tegar. “Apa yang harus aku rasakan setelah semua yang kau katakan?”
Adrian tidak langsung menjawab. Ia tampak berpikir sejenak sebelum akhirnya berbicara dengan suara pelan, “Aku ingin kita mulai lagi, Alya. Aku tahu ini tidak mudah, dan aku tahu aku telah banyak menyakiti perasaanmu. Tapi aku ingin memberikan penjelasan, dan aku berharap kau bisa memberi kesempatan padaku untuk memperbaiki semuanya.”
Alya menatapnya lama. Rasa marah, bingung, dan rindu bercampur aduk dalam dirinya. Ia tidak tahu apakah ia bisa menerima penjelasan Adrian, atau apakah ia bisa melupakan semua luka yang pernah ia rasakan. Namun, satu hal yang pasti—kehidupannya tidak akan sama lagi setelah pertemuan ini.*
Bab 4: Antara Kenangan dan Harapan
Hatinya mulai terbuka, tetapi bayangan Raka masih menghantuinya.
Malam itu, hujan turun dengan derasnya, menciptakan simfoni alami di luar jendela kamar Nadia. Ia duduk di tepi tempat tidurnya, menatap layar ponsel yang redup. Jemarinya ragu untuk mengetik pesan, sementara hatinya terombang-ambing dalam ketidakpastian. Kenangan tentang Raka masih menghantuinya, sementara sosok Fajar perlahan mulai mengisi ruang kosong di hatinya.
Sejak kepergian Raka bertahun-tahun lalu, Nadia selalu berpikir bahwa ia akan kembali dan memenuhi janjinya. Namun, waktu terus berlalu, dan harapan itu perlahan menipis, meninggalkan kepedihan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Namun, sejak kehadiran Fajar dalam hidupnya, Nadia mulai merasakan kehangatan yang lama hilang.
Fajar adalah sosok pria yang berbeda dari Raka. Ia tidak banyak berjanji, tetapi selalu hadir saat Nadia membutuhkannya. Ia tidak memberikan harapan kosong, tetapi menawarkan kenyataan yang sederhana dan tulus. Namun, apakah Nadia siap untuk melepaskan masa lalu dan menerima kehadiran seseorang yang baru?
“Jadi, sampai kapan kamu akan terjebak dalam bayang-bayang masa lalu?” tanya Dinda sambil menyeruput kopinya.
Nadia menghela napas panjang. “Aku tidak tahu, Din. Aku merasa bersalah jika harus melupakan Raka. Aku dan dia pernah berjanji…”
“Nadia,” potong Dinda lembut, “janji bukan sesuatu yang harus dipegang selamanya jika orang yang membuatnya sendiri telah mengingkarinya. Kamu tahu Raka sudah bertunangan dengan orang lain, kan? Apa lagi yang kamu tunggu?”
Nadia terdiam. Kata-kata Dinda menohok hatinya. Ia tahu sahabatnya itu benar, tetapi hatinya masih enggan untuk menerima kenyataan sepenuhnya.
Setelah beberapa saat ragu, Fajar akhirnya mengirim pesan singkat.
“Nadia, apa kamu sibuk hari ini? Aku ingin mengajakmu ke suatu tempat.”
Beberapa menit kemudian, balasan dari Nadia masuk.
“Tidak terlalu. Kemana?”
“Tempat di mana kamu bisa melihat masa depan lebih jelas.”
Nadia mengernyit membaca pesan itu. Fajar memang sering berbicara dengan cara yang penuh teka-teki. Namun, karena rasa penasaran, ia pun setuju.
“Kenapa kamu membawaku ke sini?” tanya Nadia sambil memandang Fajar yang berdiri di sampingnya.
Fajar tersenyum. “Karena aku ingin kamu melihat sesuatu.” Ia menunjuk ke arah cakrawala. “Matahari akan terbenam, tapi besok ia akan terbit lagi. Begitu juga dengan hidup kita, Nad. Masa lalu memang pernah indah, tetapi bukan berarti kita harus terus terjebak di dalamnya.”
Nadia menatapnya, matanya berkaca-kaca. “Fajar… aku takut.”
“Takut apa?”
“Takut melangkah ke depan. Takut meninggalkan kenangan yang sudah menemaniku selama ini. Takut jika aku melepaskan Raka, aku akan kehilangan bagian dari diriku sendiri.”
Fajar menghela napas. “Aku tidak meminta kamu melupakan masa lalumu. Aku hanya ingin kamu memberi kesempatan pada dirimu sendiri untuk bahagia lagi. Kamu berhak atas itu, Nad.”
Angin berembus pelan, membawa kesejukan yang mengisi ruang di antara mereka. Nadia menyadari sesuatu malam itu bahwa mungkin, sudah saatnya ia melepaskan sebuah janji yang telah lama luruh.*
Bab 5: Kembalinya Raka
Setelah sekian lama, Raka kembali dan ingin menepati janjinya.
Ia meminta kesempatan kedua, tetapi Nadia sudah berada di persimpangan.
Konflik batin Nadia antara janji lama dan kebahagiaan yang baru.
Langit sore itu tampak mendung, seakan menyimpan gejolak yang akan segera meledak. Nadia baru saja selesai membereskan buku-bukunya di perpustakaan tempatnya bekerja ketika ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari nomor yang tidak dikenalnya.
“Nadia, aku kembali.”
Tangannya gemetar saat membaca pesan singkat itu. Tidak ada nama, tidak ada penjelasan lebih lanjut, tetapi hatinya tahu, itu dari Raka.
Berbagai perasaan berkecamuk dalam benaknya. Ia sudah mulai menerima kenyataan bahwa Raka bukan lagi bagian dari masa depannya. Namun, pesan ini seperti gelombang besar yang datang tiba-tiba, menghempaskan semua usahanya untuk melangkah maju.
Malam harinya, Dinda datang ke apartemen Nadia setelah mendengar kabar ini.
“Kamu mau menemuinya?” tanya Dinda, matanya mengamati ekspresi Nadia yang sulit ditebak.
Nadia menghela napas panjang. “Aku tidak tahu, Din. Aku sudah mencoba untuk melupakan, tapi kenapa dia muncul lagi sekarang?”
“Kamu sendiri yang harus memutuskan, Nad. Tapi ingat, jangan sampai kamu jatuh ke dalam lingkaran yang sama lagi.”
Nadia mengangguk. Ia tahu Dinda hanya ingin yang terbaik untuknya, tetapi hatinya masih dipenuhi pertanyaan yang belum terjawab.
Raka.
Ia masih tampak sama, tetapi ada sorot lelah di matanya. Saat melihat Nadia, ia tersenyum kecil, seolah-olah tak ada tahun-tahun yang telah memisahkan mereka.
“Terima kasih sudah datang,” ucapnya pelan.
Nadia duduk di depannya tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Ia menatap pria itu, mencoba mencari jawaban atas semua luka yang ditinggalkan.
“Kenapa sekarang, Raka?” akhirnya Nadia bertanya.
Raka menghela napas, menatap ke jendela sebelum akhirnya kembali menatap Nadia. “Karena aku menyesal. Aku meninggalkanmu, berpikir aku bisa mengejar mimpiku, tapi justru kehilangan sesuatu yang lebih berharga.”
Nadia mengepalkan tangannya di pangkuannya. “Lalu, apa yang kamu inginkan sekarang?”
“Aku ingin memperbaiki semuanya. Aku ingin kita kembali seperti dulu. Aku tahu ini egois, tapi aku tidak bisa berpura-pura bahwa aku tidak merindukanmu.”
Hati Nadia mencelos. Dulu, ia akan memberikan segalanya untuk mendengar kata-kata itu. Tetapi sekarang, setelah semua yang terjadi, bisakah ia kembali?
Di benaknya, bayangan Fajar melintas. Pria yang selalu ada untuknya, yang tidak pernah berjanji tetapi selalu hadir. Pria yang membawanya keluar dari bayang-bayang masa lalu.
Nadia menarik napas dalam, mencoba menenangkan emosinya. Ia menatap Raka, mencoba menemukan jawaban di hatinya sendiri.
“Aku… aku butuh waktu,” ucapnya akhirnya.
Raka mengangguk pelan. “Aku mengerti. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku masih di sini, menunggumu, jika kamu siap.”
Nadia bangkit dari tempat duduknya. “Terima kasih sudah datang, Raka. Tapi aku tidak tahu apakah aku masih ada di tempat yang sama seperti dulu.”
Raka terdiam, sorot matanya penuh penyesalan. Nadia melangkah keluar dari kafe dengan perasaan yang masih berantakan, tetapi kali ini, ia tahu bahwa keputusannya akan menentukan masa depannya.
Dan untuk pertama kalinya, ia merasa benar-benar memiliki kendali atas hatinya sendiri.*
Bab 6: Sebuah Janji yang Luruh
Nadia akhirnya menyadari bahwa janji bukanlah sesuatu yang bisa dipertahankan tanpa kepercayaan dan komitmen.
Ia harus memilih antara tetap terjebak dalam kenangan atau melangkah menuju masa depan yang lebih bahagia.
Hujan turun rintik-rintik saat Nadia duduk di teras apartemennya, menatap langit kelabu di atas kota. Pikirannya masih dipenuhi pertemuannya dengan Raka kemarin. Ada perasaan lega, tetapi juga kekosongan yang aneh. Raka, pria yang dulu menjadi pusat dunianya, kini kembali, tetapi mengapa hatinya tidak merasakan hal yang sama?
Di sela keheningan itu, ponselnya bergetar. Nama Fajar muncul di layar.
“Hai, sudah makan?” suara Fajar terdengar hangat di seberang sana.
Nadia tersenyum tipis. “Belum. Lagi nggak terlalu lapar.”
“Hmm, kalau begitu, temani aku makan. Aku di dekat apartemenmu sekarang.”
Tanpa berpikir panjang, Nadia mengiyakan. Lima belas menit kemudian, mereka sudah duduk di sebuah restoran kecil di dekat apartemen Nadia. Fajar memandangnya dengan sorot mata yang penuh perhatian.
“Kamu kelihatan nggak seperti biasanya. Ada yang mau kamu ceritakan?” tanya Fajar.
Nadia terdiam sejenak. “Raka kembali. Dia ingin memperbaiki semuanya.”
Fajar tidak langsung bereaksi. Ia hanya menatap Nadia dalam-dalam, lalu mengangguk pelan. “Dan kamu sendiri? Apa yang kamu inginkan?”
Pertanyaan itu membuat Nadia terdiam lebih lama. Apa yang sebenarnya ia inginkan? Dulu, ia akan melakukan segalanya agar Raka kembali. Namun, setelah sekian lama, kenangan itu hanya terasa seperti bayangan yang perlahan memudar.
“Aku nggak tahu, Fajar. Aku merasa terikat oleh janji yang dulu pernah aku buat dengan Raka. Tapi di saat yang sama, aku juga sadar bahwa aku bukan lagi orang yang sama seperti dulu.”
Fajar tersenyum tipis. “Nadia, janji yang dulu kamu buat itu memang penting, tapi kalau janji itu justru membuatmu terjebak dalam masa lalu, mungkin sudah saatnya kamu melepasnya.”
Kata-kata Fajar menancap dalam di hati Nadia. Ia menghabiskan bertahun-tahun menunggu Raka karena sebuah janji yang mereka buat bersama. Tapi, apakah janji itu masih relevan jika orang yang membuatnya telah berubah?
“Aku senang kamu mau bertemu lagi,” kata Raka dengan senyum penuh harap.
Nadia menarik napas dalam. “Aku ingin kita bicara dengan jujur, Raka. Aku ingin tahu, kenapa kamu benar-benar kembali?”
Raka terdiam sesaat. “Karena aku menyadari bahwa aku telah membuat kesalahan. Aku meninggalkanmu dengan alasan yang egois, dan selama ini aku terus memikirkanmu. Aku ingin memperbaikinya, Nad.”
Nadia menatap pria itu dengan perasaan campur aduk. “Dulu, aku akan melakukan apa pun untuk mendengar kata-kata itu darimu. Tapi sekarang, aku sadar bahwa aku telah banyak berubah. Aku bukan lagi gadis yang sama seperti saat kamu pergi. Aku telah belajar untuk menjalani hidupku tanpa menunggumu.”
Sorot mata Raka meredup. “Jadi… kamu sudah tidak mencintaiku lagi?”
Nadia tersenyum lembut, meskipun hatinya terasa berat. “Aku tidak bisa bilang kalau aku benar-benar berhenti mencintaimu. Tapi aku sadar bahwa cinta bukan hanya tentang bertahan pada sesuatu yang pernah ada. Cinta juga tentang berani melepaskan, terutama jika itu yang terbaik untuk kita berdua.”
Angin bertiup pelan, membawa kesejukan yang menenangkan. Raka menunduk, lalu menghela napas panjang. “Aku mengerti, Nadia. Jika itu keputusanmu, aku akan menghormatinya.”
Nadia menatapnya dalam-dalam, lalu tersenyum. “Terima kasih, Raka. Untuk semuanya. Untuk kenangan yang pernah kita buat.”
Perlahan, Nadia bangkit dari duduknya dan melangkah pergi. Hatinya terasa lebih ringan dibanding sebelumnya. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia benar-benar merasa bebas. Janji yang dulu mengikatnya kini telah luruh, bersama dengan bayang-bayang masa lalu yang selama ini membebaninya.
Dan di balik semua itu, Nadia tahu bahwa hari esok akan membawanya pada awal yang baru.
Hujan turun rintik-rintik saat Nadia duduk di teras apartemennya, menatap langit kelabu di atas kota. Pikirannya masih dipenuhi pertemuannya dengan Raka kemarin. Ada perasaan lega, tetapi juga kekosongan yang aneh. Raka, pria yang dulu menjadi pusat dunianya, kini kembali, tetapi mengapa hatinya tidak merasakan hal yang sama?
Di sela keheningan itu, ponselnya bergetar. Nama Fajar muncul di layar.
“Hai, sudah makan?” suara Fajar terdengar hangat di seberang sana.
Nadia tersenyum tipis. “Belum. Lagi nggak terlalu lapar.”
“Hmm, kalau begitu, temani aku makan. Aku di dekat apartemenmu sekarang.”
Tanpa berpikir panjang, Nadia mengiyakan. Lima belas menit kemudian, mereka sudah duduk di sebuah restoran kecil di dekat apartemen Nadia. Fajar memandangnya dengan sorot mata yang penuh perhatian.
“Kamu kelihatan nggak seperti biasanya. Ada yang mau kamu ceritakan?” tanya Fajar.
Nadia terdiam sejenak. “Raka kembali. Dia ingin memperbaiki semuanya.”
Fajar tidak langsung bereaksi. Ia hanya menatap Nadia dalam-dalam, lalu mengangguk pelan. “Dan kamu sendiri? Apa yang kamu inginkan?”
Pertanyaan itu membuat Nadia terdiam lebih lama. Apa yang sebenarnya ia inginkan? Dulu, ia akan melakukan segalanya agar Raka kembali. Namun, setelah sekian lama, kenangan itu hanya terasa seperti bayangan yang perlahan memudar.
“Aku nggak tahu, Fajar. Aku merasa terikat oleh janji yang dulu pernah aku buat dengan Raka. Tapi di saat yang sama, aku juga sadar bahwa aku bukan lagi orang yang sama seperti dulu.”
Fajar tersenyum tipis. “Nadia, janji yang dulu kamu buat itu memang penting, tapi kalau janji itu justru membuatmu terjebak dalam masa lalu, mungkin sudah saatnya kamu melepasnya.”
Kata-kata Fajar menancap dalam di hati Nadia. Ia menghabiskan bertahun-tahun menunggu Raka karena sebuah janji yang mereka buat bersama. Tapi, apakah janji itu masih relevan jika orang yang membuatnya telah berubah?
“Aku senang kamu mau bertemu lagi,” kata Raka dengan senyum penuh harap.
Nadia menarik napas dalam. “Aku ingin kita bicara dengan jujur, Raka. Aku ingin tahu, kenapa kamu benar-benar kembali?”
Raka terdiam sesaat. “Karena aku menyadari bahwa aku telah membuat kesalahan. Aku meninggalkanmu dengan alasan yang egois, dan selama ini aku terus memikirkanmu. Aku ingin memperbaikinya, Nad.”
Nadia menatap pria itu dengan perasaan campur aduk. “Dulu, aku akan melakukan apa pun untuk mendengar kata-kata itu darimu. Tapi sekarang, aku sadar bahwa aku telah banyak berubah. Aku bukan lagi gadis yang sama seperti saat kamu pergi. Aku telah belajar untuk menjalani hidupku tanpa menunggumu.”
Sorot mata Raka meredup. “Jadi… kamu sudah tidak mencintaiku lagi?”
Nadia tersenyum lembut, meskipun hatinya terasa berat. “Aku tidak bisa bilang kalau aku benar-benar berhenti mencintaimu. Tapi aku sadar bahwa cinta bukan hanya tentang bertahan pada sesuatu yang pernah ada. Cinta juga tentang berani melepaskan, terutama jika itu yang terbaik untuk kita berdua.”
Angin bertiup pelan, membawa kesejukan yang menenangkan. Raka menunduk, lalu menghela napas panjang. “Aku mengerti, Nadia. Jika itu keputusanmu, aku akan menghormatinya.”
Nadia menatapnya dalam-dalam, lalu tersenyum. “Terima kasih, Raka. Untuk semuanya. Untuk kenangan yang pernah kita buat.”
Perlahan, Nadia bangkit dari duduknya dan melangkah pergi. Hatinya terasa lebih ringan dibanding sebelumnya. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia benar-benar merasa bebas. Janji yang dulu mengikatnya kini telah luruh, bersama dengan bayang-bayang masa lalu yang selama ini membebaninya.
Dan di balik semua itu, Nadia tahu bahwa hari esok akan membawanya pada awal yang baru.***
————–THE END—————-