Daftar Isi
Bab 1: Pertemuan yang Menggetarkan
Aku tidak pernah menyangka bahwa hari itu akan menjadi awal dari dilema terbesar dalam hidupku. Semuanya terjadi begitu saja, tanpa aku rencanakan, tanpa aku duga. Aku hanya berniat berkunjung ke rumah kakakku untuk menghadiri acara kecil yang mereka adakan. Namun, di sana, aku bertemu dengannya—seseorang yang seharusnya hanya menjadi bagian dari keluargaku, bukan dari hatiku.
Dia adalah **Raka**, suami kakakku, pria yang selama ini kuanggap sebagai saudara ipar yang baik dan perhatian. Aku tidak pernah memandangnya dengan cara yang berbeda. Setidaknya, hingga hari itu.
Saat aku melangkah masuk ke dalam rumah mereka, suasana penuh dengan suara riuh tawa keluarga. Aku menyapa semua orang dengan ramah, lalu mendekati kakakku, **Nadia**, yang sedang sibuk di dapur.
“Kamu datang juga, akhirnya!” seru Nadia sambil tersenyum. “Aku kira bakal sibuk terus di kantor.”
Aku tertawa kecil. “Mana mungkin aku melewatkan acara keluarga begini.”
Saat itulah, mataku tanpa sengaja bertemu dengan mata Raka. Dia berdiri di sudut ruangan, memegang gelas kopi, memperhatikanku dengan tatapan yang entah mengapa terasa begitu dalam. Aku mengabaikannya, menganggapnya hanya sekadar tatapan biasa.
Namun, perasaanku mulai goyah ketika dia mendekat.
“Hai,” sapanya dengan suara rendah.
“Hai juga,” jawabku, berusaha terdengar santai.
Kami berbincang ringan, membicarakan hal-hal sepele seperti pekerjaan dan perjalanan yang kulakukan sebelum ke sini. Semuanya terasa biasa saja, tetapi ada sesuatu dalam caranya menatapku yang membuat jantungku berdegup lebih cepat dari seharusnya.
Aku mengutuk diriku sendiri. Ini hanya perasaan sesaat, bukan?
Namun, semakin lama aku berada di rumah ini, semakin aku merasakan sesuatu yang berbeda. Aku tidak seharusnya merasakan ini terhadap suami kakakku sendiri.
Saat malam semakin larut dan tamu-tamu lain mulai berpamitan, aku merasa lega karena akhirnya bisa pulang. Namun, saat aku berdiri di dekat pintu, bersiap melangkah keluar, Raka tiba-tiba berkata dengan suara pelan namun jelas, “Hati-hati di jalan.”
Kata-kata sederhana itu seharusnya biasa saja. Tapi mengapa saat dia mengucapkannya, rasanya seolah ada makna tersembunyi di dalamnya?
Aku pergi malam itu dengan pikiran yang kacau. Aku tahu aku harus mengabaikan perasaan aneh ini. Tapi, bisakah aku benar-benar menghindarinya?*
Bab 2: Getaran di Balik Kebersamaan
Sejak malam itu, aku berusaha mengabaikan perasaan aneh yang muncul di dalam hatiku. Aku yakin, apa yang terjadi hanyalah perasaan sesaat, efek dari pertemuan setelah sekian lama. Aku terus meyakinkan diriku bahwa aku hanya berlebihan, bahwa tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Tapi semakin aku mencoba melupakan, semakin bayangan itu melekat dalam pikiranku.
Aku bahkan mulai merasa gelisah setiap kali ponselku berbunyi, takut kalau-kalau itu dari Nadia yang mengajakku bertemu, yang berarti ada kemungkinan aku akan bertemu dengan Raka lagi. Dan yang lebih buruk, aku takut mengakui bahwa aku sebenarnya menantikannya.
Aku tahu ini salah. Aku sadar aku sedang bermain api.
Tapi, perasaan itu tetap ada.
### **Sebuah Undangan Tak Terduga**
Seminggu setelah acara di rumah Nadia, ponselku berdering. Aku melihat nama Nadia di layar dan segera mengangkatnya.
_”Ayo ikut aku belanja besok! Aku butuh teman, lagipula sudah lama kita tidak jalan bareng,”_ katanya dengan nada riang.
Aku ragu sejenak. Aku ingin menolak, tapi aku juga tak ingin menimbulkan kecurigaan. Lagi pula, aku rindu Nadia. Hubungan kami sebagai saudara selalu dekat, dan aku tak ingin ada sesuatu yang mengubah itu.
“Baiklah,” akhirnya aku menjawab. “Jam berapa?”
Kami pun sepakat bertemu di sebuah pusat perbelanjaan esok harinya.
Aku pikir, ini bisa menjadi kesempatan untuk mengalihkan pikiranku dari Raka. Mungkin setelah menghabiskan waktu dengan Nadia, aku akan kembali bisa berpikir jernih dan menganggap semua ini sebagai kebodohan semata.
Tapi aku salah.
### **Pertemuan yang Tak Bisa Dihindari**
Hari itu, aku dan Nadia berjalan-jalan di mal, mengunjungi beberapa toko pakaian, mencoba beberapa baju dan bercanda seperti saat masih remaja. Semuanya terasa normal, ringan, tanpa beban. Aku hampir merasa lega.
Namun, semua berubah saat Nadia menerima telepon dari seseorang.
_”Sayang, aku sudah selesai dengan urusan kantor. Aku bisa jemput kamu sekarang kalau mau,”_ suara Raka terdengar dari ponsel Nadia.
_”Oh, baguslah! Aku masih mau ke beberapa tempat lagi, tapi kita bisa pulang bareng,”_ jawab Nadia antusias.
Aku berusaha terlihat biasa saja, tetap fokus menatap menu makanan di tanganku seolah sedang sibuk memilih hidangan penutup. Tapi jantungku mulai berdegup lebih cepat.
Tidak butuh waktu lama sebelum Raka tiba. Aku mendengar suaranya sebelum melihatnya.
“Hai,” sapanya dengan senyum kecil saat tiba di meja kami.
Aku menatapnya sekilas lalu mengangguk singkat. “Hai.”
Aku berusaha menjaga nada suaraku tetap netral. Aku tidak ingin Nadia menyadari ada sesuatu yang aneh.
Kami bertiga melanjutkan belanja sebentar sebelum menuju tempat parkir. Saat Nadia sibuk melihat-lihat sesuatu di etalase, aku dan Raka tanpa sengaja berjalan berdua di belakangnya.
Ada jeda yang canggung. Aku mencoba mengabaikan kehadirannya, tetapi seakan ada gravitasi yang menarikku untuk menyadari keberadaannya.
“Apa kabar?” tanya Raka tiba-tiba.
Aku menoleh sekilas. “Baik.”
Jawabanku singkat, tapi dia tidak langsung menjauh.
“Maaf kalau aku membuatmu tidak nyaman waktu itu,” katanya pelan.
Aku terdiam sejenak.
“Aku tidak tahu maksudmu,” aku akhirnya berkata, berusaha terdengar datar.
Dia tersenyum kecil, tapi aku bisa melihat sesuatu di matanya. Sesuatu yang sulit dijelaskan.
“Kau tahu maksudku,” katanya hampir berbisik.
Aku tertegun.
Saat itu, aku ingin mengatakan sesuatu. Mungkin sebuah penyangkalan, mungkin sebuah peringatan. Tapi aku tidak bisa.
Aku hanya bisa merasakan detak jantungku yang semakin tidak karuan, dan kesadaran bahwa ada sesuatu di antara kami yang tidak bisa diabaikan.
### **Sebuah Ketidaksengajaan yang Berbahaya**
Dalam perjalanan ke parkiran, Nadia masih asyik melihat-lihat beberapa barang di sebuah stand dekat pintu keluar. Aku dan Raka berdiri menunggu tidak jauh darinya.
Aku merasa tidak nyaman berada sedekat ini dengannya. Udara di sekitar kami terasa lebih hangat dari seharusnya, meskipun mal ini ber-AC.
Lalu, tanpa sengaja—atau mungkin terlalu disengaja—tangan kami bersentuhan saat kami berdiri berdampingan.
Aku segera menarik tanganku, tapi sensasi hangatnya masih terasa di kulitku. Aku bisa merasakan Raka menoleh ke arahku, tapi aku tidak berani menatap balik.
“Maaf,” gumamnya.
Aku tidak menjawab. Aku hanya berharap Nadia segera selesai agar aku bisa pergi dari sini.
Beberapa menit kemudian, Nadia akhirnya kembali dengan senyum puas. “Oke, aku sudah selesai. Ayo pulang!”
Aku bernapas lega.
Kami berjalan ke parkiran, dan aku dengan cepat berpamitan, memilih pulang sendiri dengan ojek online daripada ikut mereka. Aku tahu, semakin lama aku berada di dekat Raka, semakin besar risikonya.
Saat aku duduk di kursi belakang motor ojek, aku mencoba mengabaikan semua yang terjadi hari ini. Tapi aku tahu, ini tidak akan mudah.
Karena untuk pertama kalinya, aku sadar bahwa aku tidak hanya tertarik pada Raka.
Aku menginginkannya.
Dan itu berbahaya.*
Bab 3: Hasrat yang Tak Bisa Dipendam
Sejak kejadian di pusat perbelanjaan itu, pikiranku semakin dipenuhi oleh Raka. Aku membenci diriku sendiri karena membiarkan perasaan ini tumbuh. Aku seharusnya tidak merasakan hal semacam ini pada suami kakakku. Ini salah, sepenuhnya salah.
Aku mencoba mengabaikannya. Aku menyibukkan diri dengan pekerjaan, menyusun jadwal yang padat agar pikiranku tidak punya celah untuk memikirkan hal-hal yang tidak seharusnya. Namun, setiap kali aku membuka ponsel dan melihat grup keluarga yang berisi aku, Nadia, dan Raka, aku merasa gelisah.
Sebuah pesan masuk di grup.
**Nadia:** *Minggu ini kita kumpul di rumah ya! Aku mau masak spesial buat kalian semua.*
Aku menelan ludah. Aku tahu aku harus datang. Aku tidak bisa menolak tanpa alasan yang jelas. Tapi aku juga tahu, ini berarti aku akan bertemu Raka lagi.
**Aku:** *Oke, aku datang.*
Aku mengetik pesan itu dengan jari gemetar sebelum akhirnya menekan tombol kirim.
### **Pertemuan yang Tak Bisa Dihindari**
Hari itu datang lebih cepat dari yang aku harapkan. Aku tiba di rumah Nadia dengan membawa kue yang kubeli di toko favoritnya. Ketika aku mengetuk pintu, Raka yang membukakan.
Jantungku seolah berhenti berdetak.
Aku mencoba menatapnya sekilas, tapi tatapan matanya begitu dalam, seolah mencari sesuatu dalam diriku.
“Hai,” sapanya.
Aku menelan ludah, berusaha mengontrol ekspresi wajahku. “Hai.”
Aku melangkah masuk, meletakkan kue di meja makan, lalu mencari Nadia. Dia berada di dapur, sibuk dengan masakan-masakannya.
“Kamu datang juga!” katanya dengan senyum lebar.
“Tentu saja,” jawabku, mencoba terdengar ceria. “Kamu butuh bantuan?”
“Tidak, kamu duduk saja. Aku hampir selesai.”
Aku mengangguk dan berjalan menuju ruang tamu. Di sana, Raka sudah duduk dengan santai, membaca sesuatu di ponselnya. Aku ragu sejenak sebelum akhirnya duduk di kursi lain yang berseberangan dengannya.
Ada keheningan yang canggung di antara kami.
Aku ingin berbicara, mengatakan sesuatu untuk mengisi kekosongan ini. Tapi sebelum aku sempat berpikir, Raka tiba-tiba berkata pelan, “Kenapa kamu selalu menghindar?”
Aku tersentak. “Aku tidak menghindar.”
Dia tertawa kecil, seolah tidak percaya. “Benarkah? Rasanya kamu selalu menghindar setiap kali aku ada di dekatmu.”
Aku menggigit bibir bawahku, tidak tahu harus menjawab apa.
“Kalau aku memang menghindar,” akhirnya aku berkata, “itu karena aku tahu kita tidak seharusnya begini.”
Tatapan Raka mengeras. “Kita?” ulangnya, seolah ingin memastikan bahwa aku mengakui ada sesuatu di antara kami.
Aku tidak menjawab.
Saat itu, Nadia memanggil kami untuk makan. Aku merasa lega karena akhirnya bisa keluar dari situasi yang membuatku hampir kehilangan kendali.
Kami bertiga makan malam bersama, berbincang dan tertawa seperti keluarga biasa. Aku mencoba bersikap normal, tapi aku bisa merasakan tatapan Raka yang sesekali mengarah padaku.
Seusai makan, aku membantu Nadia mencuci piring di dapur sementara Raka kembali ke ruang tamu.
“Jadi, bagaimana pekerjaanmu?” tanya Nadia santai.
“Masih sama seperti biasa,” jawabku sambil memasukkan piring ke dalam rak. “Kadang sibuk, kadang membosankan.”
“Kamu harus sering-sering main ke sini,” kata Nadia lagi. “Biar nggak stres sendirian di rumah.”
Aku tersenyum, tapi tidak menjawab. Aku tidak yakin apakah itu ide yang bagus.
### **Godaan yang Semakin Kuat**
Setelah selesai membantu, aku berpamitan pulang.
“Udah malam, mau aku antar?” tawar Raka.
Aku menoleh pada Nadia, berharap dia akan menolak atas namaku. Tapi dia justru berkata, “Iya, antar aja. Udah malam, biar aman.”
Aku ingin menolak, tapi aku tidak ingin menimbulkan kecurigaan. Aku hanya bisa mengangguk pelan.
Dalam perjalanan pulang, suasana di dalam mobil terasa begitu sunyi. Aku tidak berani menatap Raka, tapi aku bisa merasakan kehadirannya begitu kuat di sampingku.
“Kamu tahu,” suaranya akhirnya memecah kesunyian, “aku juga berusaha menghindari ini.”
Aku menggigit bibir, tidak ingin menjawab.
“Tapi semakin aku mencoba menjauh, semakin aku ingin mendekat,” lanjutnya dengan suara rendah.
Aku mengalihkan pandangan ke luar jendela, berharap bisa melawan perasaan yang mulai menguasai hatiku.
“Raka, tolong,” suaraku hampir berbisik. “Kita tidak bisa seperti ini.”
Dia tidak langsung menjawab. Tapi aku bisa merasakan mobil melambat, lalu berhenti di depan apartemenku.
Aku menoleh padanya, dan saat itu, untuk pertama kalinya, aku melihat keinginan yang begitu nyata di matanya.
“Aku tahu,” katanya akhirnya. “Tapi itu tidak mengubah apa yang aku rasakan.”
Aku menelan ludah. Jantungku berdetak begitu cepat. Aku ingin segera keluar dari mobil, tapi tubuhku seolah terpaku di tempat.
“Aku harus pergi,” gumamku akhirnya.
Aku meraih gagang pintu, tapi sebelum aku sempat membukanya, tangannya tiba-tiba mencengkeram pergelangan tanganku dengan lembut.
Aku menoleh, dan saat itu, jarak di antara kami terasa begitu kecil, seolah hanya satu helaan napas saja bisa menyatukan kami sepenuhnya.
Aku bisa merasakan panas tubuhnya, bisa mencium aroma maskulinnya yang khas.
“Jangan begini,” suaraku hampir tak terdengar.
Dia menatapku dengan begitu dalam, seolah menelanjangiku dengan matanya. “Kalau aku meminta waktu lima detik saja untuk kita?”
Lima detik. Itu bukan waktu yang lama.
Tapi aku tahu, bahkan satu detik saja sudah cukup untuk membuat semuanya hancur.
Aku menarik napas dalam, lalu akhirnya menarik tanganku dari genggamannya. “Selamat malam, Raka.”
Aku keluar dari mobil dengan tergesa-gesa, menutup pintu dengan cepat sebelum aku kehilangan kendali atas diriku sendiri.
Saat aku melangkah masuk ke apartemen, aku menyadari satu hal:
Aku sudah berada di tepi jurang. Dan hanya tinggal menunggu waktu sebelum aku benar-benar jatuh.*
Bab 4: Dosa dalam Diam
Sejak malam itu, aku tidak bisa berhenti memikirkan Raka. Cara dia menatapku, suaranya yang nyaris berbisik, dan genggaman tangannya yang seolah enggan melepaskanku. Semua itu berputar di kepalaku seperti rekaman yang terus diputar ulang.
Aku tahu aku harus menjauh. Aku harus membatasi diri, menghindari pertemuan yang tidak perlu, dan berhenti memupuk perasaan yang seharusnya tidak pernah ada. Tapi, bagaimana bisa aku melupakan seseorang yang keberadaannya begitu dekat?
Seolah semesta sengaja mempermainkan perasaanku, Nadia semakin sering mengundangku ke rumahnya. Ia tampak begitu bahagia melihat aku dan Raka akrab. Ia tidak tahu bahwa di balik semua itu, ada sesuatu yang berbahaya sedang tumbuh di antara kami.
Namun, aku tetap datang.
Bukan karena aku ingin, tapi karena aku tidak ingin Nadia curiga.
### **Garis Tipis Antara Salah dan Benar**
Hari itu, Nadia mengundangku makan siang di rumahnya. Ia memasak menu favorit kami saat kecil, dan aku tidak bisa menolak.
Saat aku tiba, Nadia sedang di dapur, sementara Raka berada di ruang tamu, duduk di sofa sambil membaca sesuatu di ponselnya. Aku mencoba mengabaikannya, berjalan cepat menuju dapur.
Tapi sebelum aku bisa melewati ruang tamu, suara Raka menghentikanku.
“Kita perlu bicara.”
Aku berhenti di tengah langkahku. Punggungku menegang, tapi aku tidak berbalik.
“Aku tidak tahu apa yang harus kita bicarakan,” kataku, berusaha terdengar biasa saja.
Aku bisa merasakan dia bangkit dari sofa, mendekat ke arahku.
“Aku tahu kamu merasakan hal yang sama,” suaranya terdengar lebih dekat, membuat jantungku berdegup kencang.
Aku menarik napas dalam. “Raka, tolong. Jangan begini.”
“Aku mencoba,” katanya pelan. “Tapi semakin aku mencoba menjauh, semakin aku ingin mendekat.”
Aku menutup mata, berusaha mengumpulkan kekuatan untuk tetap pada pendirianku.
Saat itu, Nadia memanggil kami dari dapur. Aku langsung melangkah pergi, meninggalkan Raka tanpa menoleh sedikit pun.
Tapi hatiku bergemuruh.
Dan aku tahu, ini belum selesai.
### **Melewati Batas**
Setelah makan siang, Nadia meminta bantuanku memilih dekorasi untuk pesta ulang tahun keponakan kami yang akan datang.
“Aku harus keluar sebentar untuk mengambil barang pesanan,” katanya. “Kamu tunggu di sini sebentar, ya?”
Aku mengangguk tanpa berpikir panjang.
Tapi saat Nadia pergi dan meninggalkan aku hanya berdua dengan Raka, aku sadar aku telah membuat kesalahan besar.
Aku berpura-pura sibuk dengan ponselku, berharap Raka tidak mengatakan apa-apa. Tapi itu sia-sia.
“Kamu tahu ini tidak akan berhenti, kan?” katanya dengan suara rendah.
Aku mengangkat kepala, menatapnya dengan mata penuh peringatan. “Raka, aku mohon. Jangan buat ini semakin sulit.”
“Tapi ini sudah sulit,” balasnya.
Dia mendekat. Aku bisa melihat ketegangan di wajahnya, bisa merasakan betapa kuat keinginannya untuk mendekatiku.
Aku seharusnya bangkit dan pergi. Aku seharusnya menghentikan semua ini.
Tapi aku tidak bergerak.
Saat Raka mengulurkan tangannya, menyentuh jemariku dengan hati-hati, tubuhku membeku. Aku bisa merasakan sentuhannya, bisa merasakan kulitnya yang hangat di atas tanganku.
“Kita tidak seharusnya begini,” bisikku, tapi suaraku lemah.
“Tapi kita sudah terlanjur,” jawabnya.
Aku tahu aku bisa menarik tanganku kapan saja. Aku tahu aku bisa pergi. Tapi aku tidak melakukannya.
Aku membiarkan jemari kami tetap bertaut.
Dan saat itulah aku sadar, aku sudah melewati batas.
### **Dosa dalam Diam**
Hari-hari berikutnya terasa begitu berbeda. Ada sesuatu yang berubah antara aku dan Raka.
Kami tidak membicarakannya, tapi kami tahu.
Kami semakin sering saling menatap lebih lama dari seharusnya. Kadang, saat Nadia tidak melihat, jemari kami bersentuhan secara “tidak sengaja”.
Kami tidak berkata apa-apa, tapi kami berdua tahu bahwa kami sedang menari di tepian jurang yang bisa runtuh kapan saja.
Suatu hari, aku menerima pesan dari Raka.
**Raka:** *Bisa ketemu? Aku ingin bicara.*
Aku menggigit bibir. Aku tahu ini berbahaya. Aku tahu aku seharusnya menolak.
Tapi jariku bergerak sendiri, mengetik balasan.
**Aku:** *Di mana?*
Beberapa jam kemudian, aku berdiri di sebuah kafe di sudut kota. Aku tidak tahu kenapa aku setuju untuk datang.
Ketika Raka tiba, aku menundukkan kepala, berusaha menyembunyikan kegelisahanku.
“Tadi aku hampir tidak datang,” kataku tanpa melihatnya.
“Tapi kamu tetap datang,” balasnya.
Aku mendongak dan menatapnya. “Kenapa kamu memanggilku ke sini?”
Dia menarik napas, menatapku dengan ekspresi yang sulit diartikan. “Aku tidak bisa terus berpura-pura tidak merasakan ini.”
Jantungku berdetak lebih cepat. “Kita tidak bisa seperti ini, Raka.”
“Tapi kita sudah seperti ini,” katanya. “Kamu bisa menyangkalnya sekuat mungkin, tapi kamu tidak bisa membohongi hatimu sendiri.”
Aku terdiam.
Aku ingin menyangkalnya. Aku ingin mengatakan bahwa aku bisa mengakhirinya kapan saja. Tapi aku tahu itu bohong.
Karena aku sudah jatuh terlalu dalam.
Dan yang lebih buruk, aku tidak ingin keluar.*
Bab 4: Dosa dalam Diam
Sejak malam itu, aku tidak bisa berhenti memikirkan Raka. Cara dia menatapku, suaranya yang nyaris berbisik, dan genggaman tangannya yang seolah enggan melepaskanku. Semua itu berputar di kepalaku seperti rekaman yang terus diputar ulang.
Aku tahu aku harus menjauh. Aku harus membatasi diri, menghindari pertemuan yang tidak perlu, dan berhenti memupuk perasaan yang seharusnya tidak pernah ada. Tapi, bagaimana bisa aku melupakan seseorang yang keberadaannya begitu dekat?
Seolah semesta sengaja mempermainkan perasaanku, Nadia semakin sering mengundangku ke rumahnya. Ia tampak begitu bahagia melihat aku dan Raka akrab. Ia tidak tahu bahwa di balik semua itu, ada sesuatu yang berbahaya sedang tumbuh di antara kami.
Namun, aku tetap datang.
Bukan karena aku ingin, tapi karena aku tidak ingin Nadia curiga.
### **Garis Tipis Antara Salah dan Benar**
Hari itu, Nadia mengundangku makan siang di rumahnya. Ia memasak menu favorit kami saat kecil, dan aku tidak bisa menolak.
Saat aku tiba, Nadia sedang di dapur, sementara Raka berada di ruang tamu, duduk di sofa sambil membaca sesuatu di ponselnya. Aku mencoba mengabaikannya, berjalan cepat menuju dapur.
Tapi sebelum aku bisa melewati ruang tamu, suara Raka menghentikanku.
“Kita perlu bicara.”
Aku berhenti di tengah langkahku. Punggungku menegang, tapi aku tidak berbalik.
“Aku tidak tahu apa yang harus kita bicarakan,” kataku, berusaha terdengar biasa saja.
Aku bisa merasakan dia bangkit dari sofa, mendekat ke arahku.
“Aku tahu kamu merasakan hal yang sama,” suaranya terdengar lebih dekat, membuat jantungku berdegup kencang.
Aku menarik napas dalam. “Raka, tolong. Jangan begini.”
“Aku mencoba,” katanya pelan. “Tapi semakin aku mencoba menjauh, semakin aku ingin mendekat.”
Aku menutup mata, berusaha mengumpulkan kekuatan untuk tetap pada pendirianku.
Saat itu, Nadia memanggil kami dari dapur. Aku langsung melangkah pergi, meninggalkan Raka tanpa menoleh sedikit pun.
Tapi hatiku bergemuruh.
Dan aku tahu, ini belum selesai.
### **Melewati Batas**
Setelah makan siang, Nadia meminta bantuanku memilih dekorasi untuk pesta ulang tahun keponakan kami yang akan datang.
“Aku harus keluar sebentar untuk mengambil barang pesanan,” katanya. “Kamu tunggu di sini sebentar, ya?”
Aku mengangguk tanpa berpikir panjang.
Tapi saat Nadia pergi dan meninggalkan aku hanya berdua dengan Raka, aku sadar aku telah membuat kesalahan besar.
Aku berpura-pura sibuk dengan ponselku, berharap Raka tidak mengatakan apa-apa. Tapi itu sia-sia.
“Kamu tahu ini tidak akan berhenti, kan?” katanya dengan suara rendah.
Aku mengangkat kepala, menatapnya dengan mata penuh peringatan. “Raka, aku mohon. Jangan buat ini semakin sulit.”
“Tapi ini sudah sulit,” balasnya.
Dia mendekat. Aku bisa melihat ketegangan di wajahnya, bisa merasakan betapa kuat keinginannya untuk mendekatiku.
Aku seharusnya bangkit dan pergi. Aku seharusnya menghentikan semua ini.
Tapi aku tidak bergerak.
Saat Raka mengulurkan tangannya, menyentuh jemariku dengan hati-hati, tubuhku membeku. Aku bisa merasakan sentuhannya, bisa merasakan kulitnya yang hangat di atas tanganku.
“Kita tidak seharusnya begini,” bisikku, tapi suaraku lemah.
“Tapi kita sudah terlanjur,” jawabnya.
Aku tahu aku bisa menarik tanganku kapan saja. Aku tahu aku bisa pergi. Tapi aku tidak melakukannya.
Aku membiarkan jemari kami tetap bertaut.
Dan saat itulah aku sadar, aku sudah melewati batas.
### **Dosa dalam Diam**
Hari-hari berikutnya terasa begitu berbeda. Ada sesuatu yang berubah antara aku dan Raka.
Kami tidak membicarakannya, tapi kami tahu.
Kami semakin sering saling menatap lebih lama dari seharusnya. Kadang, saat Nadia tidak melihat, jemari kami bersentuhan secara “tidak sengaja”.
Kami tidak berkata apa-apa, tapi kami berdua tahu bahwa kami sedang menari di tepian jurang yang bisa runtuh kapan saja.
Suatu hari, aku menerima pesan dari Raka.
**Raka:** *Bisa ketemu? Aku ingin bicara.*
Aku menggigit bibir. Aku tahu ini berbahaya. Aku tahu aku seharusnya menolak.
Tapi jariku bergerak sendiri, mengetik balasan.
**Aku:** *Di mana?*
Beberapa jam kemudian, aku berdiri di sebuah kafe di sudut kota. Aku tidak tahu kenapa aku setuju untuk datang.
Ketika Raka tiba, aku menundukkan kepala, berusaha menyembunyikan kegelisahanku.
“Tadi aku hampir tidak datang,” kataku tanpa melihatnya.
“Tapi kamu tetap datang,” balasnya.
Aku mendongak dan menatapnya. “Kenapa kamu memanggilku ke sini?”
Dia menarik napas, menatapku dengan ekspresi yang sulit diartikan. “Aku tidak bisa terus berpura-pura tidak merasakan ini.”
Jantungku berdetak lebih cepat. “Kita tidak bisa seperti ini, Raka.”
“Tapi kita sudah seperti ini,” katanya. “Kamu bisa menyangkalnya sekuat mungkin, tapi kamu tidak bisa membohongi hatimu sendiri.”
Aku terdiam.
Aku ingin menyangkalnya. Aku ingin mengatakan bahwa aku bisa mengakhirinya kapan saja. Tapi aku tahu itu bohong.
Karena aku sudah jatuh terlalu dalam.
Dan yang lebih buruk, aku tidak ingin keluar.*
Bab 6: Terjebak dalam Permainan Perasaan
Aku pikir setelah ciuman terlarang itu, aku bisa menarik diri dan kembali ke jalanku yang benar. Aku pikir aku bisa menganggapnya sebagai kesalahan sesaat, sesuatu yang hanya terjadi karena godaan sesaat.
Tapi aku salah.
Setiap kali aku melihat Raka, ingatan tentang sentuhan dan ciuman itu kembali menghantuiku. Aku tidak bisa berhenti memikirkannya.
Yang lebih buruk lagi, aku tahu dia merasakan hal yang sama.
Sejak hari itu, ada sesuatu yang berbeda di antara kami. Kami tidak berbicara tentang apa yang telah terjadi, tapi tatapan kami berbicara lebih banyak dari yang bisa diungkapkan kata-kata. Ada ketegangan yang menggantung di udara setiap kali kami berdua berada dalam satu ruangan.
Dan aku tidak bisa lagi menghindari fakta bahwa aku telah terjebak dalam permainan perasaan yang semakin berbahaya.
### **Godaan yang Terus Menghantui**
Beberapa hari setelah kejadian itu, aku mencoba menjauh. Aku menolak undangan makan malam dari Nadia dengan alasan pekerjaan. Aku tidak membalas pesan-pesan Raka yang biasanya hanya berisi hal-hal sepele tapi terasa penuh makna.
Aku berpikir bahwa dengan menjauh, perasaan ini akan mereda.
Tapi aku salah lagi.
Saat aku sedang duduk di kafe favoritku, menyesap kopi dan mencoba fokus pada laptopku, sebuah suara familiar mengusik ketenanganku.
“Melarikan diri tidak akan mengubah apa pun.”
Aku mendongak, dan di sana Raka berdiri, mengenakan kemeja biru yang lengan panjangnya digulung hingga siku. Ia terlihat begitu santai, seolah tidak ada yang salah.
Padahal semuanya salah.
Aku menutup laptopku dan bersiap untuk pergi, tapi sebelum aku sempat berdiri, ia sudah duduk di depanku.
“Jangan pergi,” katanya pelan. “Aku cuma mau bicara.”
Aku menghela napas. “Bicara soal apa? Bahwa kita sudah melakukan kesalahan? Bahwa kita seharusnya berhenti sebelum ini semakin jauh?”
Raka menatapku dalam. “Kamu benar,” katanya. “Tapi aku tidak bisa berhenti.”
Aku menggigit bibir bawahku, berusaha menahan gejolak dalam dadaku. “Kita harus.”
“Apa kamu benar-benar ingin berhenti?” tanyanya. “Apa kamu bisa melupakan semuanya begitu saja?”
Aku terdiam. Aku ingin berkata bahwa aku bisa, bahwa aku cukup kuat untuk menarik diri sebelum semuanya hancur.
Tapi aku tahu itu bohong.
“Aku tidak tahu,” bisikku akhirnya.
Raka menghela napas dan meraih tanganku di atas meja. Aku seharusnya menariknya, tapi aku tidak bisa.
“Aku tidak ingin menyakitimu,” katanya. “Tapi aku juga tidak bisa mengabaikan ini.”
Aku menutup mata, mencoba mengumpulkan keberanian untuk melakukan hal yang benar.
“Kita tidak bisa terus begini,” kataku akhirnya. “Ini tidak adil untuk Nadia. Tidak adil untuk kita.”
Raka terdiam sejenak, lalu mengangguk. “Aku mengerti.”
Aku menarik napas lega, berpikir bahwa mungkin akhirnya dia akan menyerah.
Tapi kemudian dia berkata, “Tapi bisakah kita berhenti jika kita masih menginginkannya?”
Dan sekali lagi, aku tidak tahu jawabannya.
### **Menyerah pada Perasaan**
Hari-hari berlalu, dan aku semakin terseret dalam permainan ini.
Setiap kali aku melihat Raka, ada tarikan yang begitu kuat di antara kami. Aku tahu ini salah, tapi aku tidak bisa menghentikan diriku sendiri.
Dan akhirnya, pada suatu malam yang dingin, aku menyerah.
Nadia sedang keluar kota untuk urusan kerja, dan aku tahu Raka sendirian di rumah. Aku tidak tahu kenapa aku datang. Aku tidak tahu kenapa aku berdiri di depan pintunya, mengetuk dengan tangan gemetar.
Tapi yang aku tahu, begitu pintu terbuka dan aku melihat Raka berdiri di sana dengan ekspresi terkejut, aku tahu aku tidak akan bisa berbalik lagi.
Tanpa banyak bicara, ia menarikku masuk, menutup pintu di belakangku, dan dalam sekejap, aku sudah berada dalam pelukannya.
Bibirnya menemukan bibirku, lebih dalam dan lebih mendesak dari sebelumnya.
Aku seharusnya merasa bersalah. Aku seharusnya mendorongnya pergi.
Tapi yang aku lakukan justru sebaliknya.
Aku membalasnya dengan penuh gairah, membiarkan perasaan yang selama ini kupendam mengalir tanpa penghalang.
Malam itu, aku tahu bahwa aku telah melangkah terlalu jauh.
Dan tidak ada jalan kembali.
### **Harga dari Sebuah Rahasia**
Ketika pagi menjelang, aku terbangun dengan perasaan campur aduk. Aku menoleh dan melihat Raka masih tertidur di sampingku, wajahnya terlihat begitu damai.
Aku seharusnya merasa bahagia. Aku seharusnya merasa puas.
Tapi yang aku rasakan justru ketakutan.
Aku telah melanggar batas yang seharusnya tidak pernah kulewati. Aku telah mengkhianati Nadia, satu-satunya orang yang selalu mencintaiku tanpa syarat.
Aku menelan ludah dan duduk di tepi tempat tidur, menatap kosong ke lantai.
Raka menggeliat dan membuka matanya. “Kamu sudah bangun?” tanyanya dengan suara serak.
Aku tidak menjawab. Aku hanya menatapnya, dan untuk pertama kalinya, aku melihat sesuatu dalam matanya yang tidak pernah kulihat sebelumnya.
Penyesalan.
“Kita sudah terlalu jauh,” kataku pelan.
Raka duduk dan meraih tanganku. “Aku tidak menyesalinya.”
Aku ingin mempercayainya. Aku ingin berpikir bahwa mungkin, entah bagaimana, semuanya akan baik-baik saja.
Tapi aku tahu, itu mustahil.
Aku berdiri, meraih pakaianku, dan mulai mengenakannya.
“Aku harus pergi,” kataku tanpa menatapnya.
Raka bangkit dan berdiri di belakangku. “Apa kamu akan kembali?”
Aku tidak menjawab. Aku tidak tahu jawabannya.
Yang aku tahu, setelah malam ini, tidak ada yang akan sama lagi.
Dan aku tidak yakin apakah aku siap menghadapi akibatnya.*
Bab 7: Rahasia yang Mulai Retak
Setelah malam itu, aku tahu aku telah melangkah terlalu jauh. Tidak ada lagi alasan untuk menyangkal, tidak ada lagi tempat untuk bersembunyi. Aku telah jatuh dalam dosa yang tak bisa kutebus, dan yang lebih buruk, aku tidak bisa berhenti.
Aku mencoba untuk bertindak seolah semuanya baik-baik saja, seolah yang terjadi di antara aku dan Raka hanyalah kesalahan sesaat yang bisa dihapus begitu saja. Tapi kenyataannya, aku semakin terjerat.
Raka masih mengirimiku pesan setiap hari, masih mencariku dengan tatapan yang berbicara lebih banyak daripada kata-kata. Dan aku? Aku masih selalu merespons, meskipun aku tahu ini seharusnya tidak terjadi.
Tapi kemudian, sesuatu yang tidak kuduga mulai terjadi—sesuatu yang membuatku sadar bahwa tidak ada rahasia yang bisa bertahan selamanya.
### **Tatapan Curiga Nadia**
Hari itu, Nadia mengajakku makan siang di sebuah restoran dekat kantornya. Aku sedikit terkejut dengan undangannya, tapi aku tidak menolak.
Aku tiba lebih dulu dan menunggu di meja yang sudah dipesan. Saat Nadia datang, aku bisa langsung merasakan ada sesuatu yang berbeda darinya.
Biasanya, Nadia adalah orang yang ceria dan penuh semangat. Tapi kali ini, ada sesuatu di matanya yang membuatku gelisah.
“Kamu kelihatan capek,” katanya setelah memesan makanan.
Aku tersenyum kecil, mencoba terlihat santai. “Akhir-akhir ini kerjaan lagi banyak.”
Nadia mengangguk pelan. Tapi kemudian, dia menatapku tajam. “Kamu dan Raka… baik-baik saja, kan?”
Jantungku hampir berhenti berdetak.
“Apa maksudmu?” tanyaku, berusaha terdengar tenang.
“Aku nggak tahu,” katanya, mengaduk minumannya dengan pelan. “Aku cuma merasa… kalian jadi agak aneh akhir-akhir ini.”
Aku tertawa kecil, mencoba menghilangkan ketegangan. “Aneh gimana?”
Nadia menghela napas. “Kamu jarang main ke rumah akhir-akhir ini. Dan kalau pun datang, rasanya kamu dan Raka jadi lebih diam. Seperti ada sesuatu yang kalian sembunyikan.”
Aku menelan ludah.
“Jangan konyol,” kataku, berpura-pura tersenyum. “Mungkin aku cuma lagi sibuk.”
Nadia menatapku lama, seolah mencoba membaca pikiranku. Aku menahan napas, takut dia bisa melihat kebenaran di mataku.
Tapi akhirnya, dia mengangguk. “Mungkin aku cuma terlalu berpikir berlebihan.”
Aku tersenyum lagi, meski dalam hati aku tahu bahwa aku tidak bisa terus menutupi semuanya.
### **Pesan yang Salah Tempat**
Malam itu, aku menerima pesan dari Raka.
**Raka:** *Aku ingin melihatmu.*
Aku menggigit bibir, menatap layar ponsel dengan hati yang berdebar.
Aku tahu aku seharusnya mengabaikannya. Aku tahu aku seharusnya menjauh.
Tapi jari-jariku bergerak sendiri, membalas pesannya.
**Aku:** *Di mana?*
Aku mengira semuanya baik-baik saja sampai beberapa menit kemudian, ponselku berdering.
Nadia.
Darahku seakan berhenti mengalir. Dengan tangan gemetar, aku mengangkat telepon itu.
“Halo?”
“Kamu baru saja mengirim pesan ke aku,” kata Nadia dengan suara datar.
Jantungku mencelos.
Aku buru-buru membuka pesan di ponselku—dan saat itu juga, aku merasa dunia di sekitarku runtuh.
Pesan yang seharusnya kukirim ke Raka… ternyata terkirim ke Nadia.
Tangan dan kakiku langsung lemas. Aku mencoba berpikir cepat. “Pesan apa?” tanyaku pura-pura bingung.
“Tadi kamu nanya ‘Di mana?’ Maksudnya apa?”
Otakku bekerja keras mencari alasan. “Oh… aku tadi mau nanya kamu lagi di mana, soalnya kepikiran ngajak ketemuan.”
Aku berharap nadaku terdengar santai, tapi aku bisa merasakan kecurigaan dalam suara Nadia.
“Serius?” tanyanya.
Aku tertawa kecil. “Iya. Kamu pikir aku lagi ngomong sama siapa?”
Nadia terdiam sejenak. Lalu, dia tertawa. “Hahaha, aku sempat mikir yang aneh-aneh. Maaf ya!”
Aku ikut tertawa, meskipun hatiku hampir copot.
“Tapi kamu tahu nggak,” lanjut Nadia, suaranya lebih ringan. “Aku sempat berpikir kamu lagi ngomong sama cowok.”
Aku menahan napas. “Apa maksudmu?”
“Entahlah. Mungkin aku terlalu banyak nonton drama. Tapi kalau aku nggak tahu kamu sebaik ini, aku pasti bakal curiga kalau kamu punya hubungan rahasia.”
Aku terdiam.
Aku ingin menertawakannya, mengatakan bahwa itu hal yang konyol. Tapi suaraku seperti tersangkut di tenggorokan.
“Eh, aku cuma bercanda,” kata Nadia lagi. “Udah ah, aku mau tidur. Good night!”
Aku buru-buru menjawab, “Good night.”
Tapi setelah panggilan itu berakhir, aku duduk diam dalam kegelapan, menyadari sesuatu yang membuatku ketakutan.
Rahasiaku mulai retak.
Dan aku tidak tahu berapa lama lagi aku bisa menyembunyikannya.
### **Ketakutan yang Menghantui**
Setelah kejadian itu, aku menjadi lebih waspada. Aku lebih berhati-hati saat mengirim pesan, lebih menjaga ekspresi saat bertemu Nadia.
Tapi aku tidak bisa menghilangkan perasaan bahwa Nadia mulai curiga.
Dan ketakutanku semakin menjadi ketika suatu hari, Raka meneleponku dengan suara panik.
“Nadia membaca pesanku.”
Aku langsung merasakan jantungku berdegup kencang. “Pesan yang mana?”
“Aku nggak tahu pasti, tapi dia tadi tiba-tiba bertanya apakah aku menyembunyikan sesuatu darinya.”
Aku langsung berdiri dari tempat tidur. “Raka, kalau dia tahu—”
“Aku tahu,” potongnya. “Aku akan bicara padanya. Aku akan membuat alasan.”
Aku menelan ludah, mencoba menenangkan diri. “Kita harus lebih hati-hati.”
Raka terdiam. “Kamu menyesal?”
Aku tidak menjawab.
Aku tidak tahu jawabannya.
Yang aku tahu, permainan berbahaya yang kami mainkan mulai berantakan.
Dan aku takut, saat semuanya terungkap, aku akan kehilangan segalanya.*
Bab 8: Ketahuan?
Aku merasa seperti seorang pesakitan yang sedang menunggu vonis. Setiap kali aku berada di dekat Nadia, aku merasa seperti seseorang yang membawa bom waktu di tangannya—siap meledak kapan saja.
Aku tidak tahu apakah itu hanya perasaanku atau memang Nadia benar-benar mulai curiga. Tatapan matanya semakin tajam setiap kali menatapku, dan ada sesuatu dalam nada bicaranya yang terasa berbeda.
Aku mencoba bersikap normal, tapi tetap saja, aku tidak bisa menghilangkan kecemasan yang terus menghantuiku.
Sampai akhirnya, sebuah kejadian membuatku sadar bahwa semuanya benar-benar berada di ambang kehancuran.
### **Panggilan Telepon yang Mengguncang**
Hari itu, aku sedang duduk di kantor, mencoba fokus pada pekerjaanku, ketika ponselku bergetar.
**Nadia.**
Aku langsung merasa panik. Kenapa dia menelepon? Apa dia sudah tahu sesuatu?
Dengan tangan gemetar, aku mengangkat telepon itu.
“Halo?”
“Kamu sibuk?” suara Nadia terdengar datar, tidak seperti biasanya.
Aku menelan ludah. “Nggak terlalu. Ada apa?”
“Aku bisa ketemu kamu sekarang?”
Jantungku berdegup lebih cepat. “Kenapa? Ada yang penting?”
Nadia terdiam sejenak sebelum menjawab, “Iya. Aku butuh bicara.”
Aku mencoba membaca nada suaranya, mencari tanda-tanda apakah dia sudah tahu sesuatu.
Tapi aku tidak bisa menebaknya.
“Oke,” jawabku akhirnya. “Di mana?”
“Di kafe dekat kantormu.”
Aku menutup telepon dengan napas berat. Kecemasan merayap dalam dadaku, membuatku sulit bernapas. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi, tapi aku harus bersiap menghadapi kemungkinan terburuk.
### **Konfrontasi di Kafe**
Ketika aku tiba di kafe, Nadia sudah duduk di sudut ruangan dengan secangkir kopi di depannya.
Aku melangkah dengan hati-hati, mencoba bersikap normal. “Hai,” sapaku, berusaha tersenyum.
Nadia mengangkat kepalanya dan menatapku. “Duduklah.”
Aku menelan ludah, lalu duduk di depannya.
Beberapa detik berlalu dalam keheningan. Aku bisa merasakan ketegangan yang menggantung di antara kami.
“Ada apa?” tanyaku, mencoba terdengar santai.
Nadia mengaduk kopinya pelan. “Aku mau tanya sesuatu, dan aku mau kamu jawab dengan jujur.”
Aku menggigit bibir bawahku. “Oke…”
Dia menghela napas sebelum akhirnya menatapku langsung. “Ada sesuatu yang terjadi antara kamu dan Raka, kan?”
Darahku langsung membeku.
Aku hampir menjatuhkan sendok yang sedang kupegang. Aku mencoba mencari cara untuk menenangkan diriku, tapi pertanyaannya datang begitu tiba-tiba sehingga aku tidak bisa menyembunyikan keterkejutanku.
“Apa maksudmu?” tanyaku, mencoba terdengar polos.
Nadia menyandarkan tubuhnya ke kursi. “Aku nggak bodoh, Ka. Aku bukan tipe istri yang nggak peka dengan apa yang terjadi di sekitarnya.”
Aku merasa tubuhku mulai gemetar.
“Aku nggak tahu apa yang sebenarnya terjadi di antara kalian,” lanjutnya. “Tapi aku bisa merasakan ada sesuatu yang kalian sembunyikan dariku.”
Aku menggeleng cepat. “Nadia, aku nggak tahu kenapa kamu berpikir seperti itu, tapi aku dan Raka—”
“Kamu yakin nggak ada yang perlu kamu ceritakan padaku?” potongnya.
Aku menelan ludah.
Aku bisa saja menyangkal. Aku bisa saja tetap berpura-pura tidak tahu apa-apa.
Tapi tatapan Nadia begitu tajam, seolah bisa melihat langsung ke dalam hatiku.
Aku merasa ingin menangis. Aku ingin berteriak bahwa aku menyesal, bahwa aku tidak pernah bermaksud mengkhianatinya.
Tapi aku tidak bisa.
“Ka?” panggilnya lagi.
Aku menarik napas dalam dan berusaha keras untuk tetap tenang. “Aku nggak tahu kenapa kamu tiba-tiba berpikir seperti ini, tapi aku bisa jamin, aku nggak melakukan sesuatu yang bisa menyakitimu.”
Nadia masih menatapku, seolah mencari kebohongan dalam kata-kataku.
Setelah beberapa saat yang terasa seperti selamanya, dia akhirnya menghela napas. “Aku harap kamu nggak bohong, Ka.”
Aku tidak bisa menjawab. Aku hanya tersenyum kecil dan berusaha menahan air mataku.
Karena aku tahu, aku memang sudah berbohong.
### **Peringatan dari Raka**
Setelah pertemuan itu, aku langsung menghubungi Raka.
Dia mengangkat telepon setelah nada dering ketiga. “Ka?”
“Nadia mulai curiga,” bisikku panik.
Raka terdiam sesaat. “Apa yang dia bilang?”
“Dia tanya apakah ada sesuatu yang terjadi di antara kita. Aku berhasil menyangkal, tapi aku nggak tahu sampai kapan dia akan percaya.”
Raka menghela napas berat. “Kita harus lebih berhati-hati.”
Aku memejamkan mata. “Raka… aku takut.”
Aku bisa mendengar nada serius dalam suaranya saat ia menjawab, “Aku juga.”
Kami terdiam beberapa saat, membiarkan ketakutan menguasai kami.
“Kamu yakin dia nggak punya bukti?” tanya Raka akhirnya.
“Aku nggak tahu. Tapi feeling-ku mengatakan kalau dia belum sepenuhnya percaya padaku.”
Raka mengumpat pelan. “Kita nggak bisa terus begini, Ka.”
Aku menelan ludah. “Apa maksudmu?”
“Aku nggak tahu,” katanya. “Tapi kalau dia sampai tahu yang sebenarnya… semuanya akan hancur.”
Aku merasakan gelombang ketakutan yang semakin besar.
Aku tahu Raka benar.
Aku tahu bahwa aku telah berjalan terlalu jauh di jalur yang salah.
Dan aku tahu bahwa semakin lama aku bertahan dalam kebohongan ini, semakin besar kemungkinan semuanya akan berantakan.
Tapi meskipun aku sadar akan bahaya yang mengintai, aku juga tahu satu hal yang lebih menakutkan.
Aku tidak bisa berhenti.
Aku tidak bisa melepaskan Raka.
Dan itulah yang paling kutakutkan.*
Bab 9: Batas Kesabaran Nadia
Sejak pertemuan di kafe itu, aku tidak bisa lagi mengabaikan firasat buruk yang terus menghantuiku.
Nadia semakin sering memperhatikanku dengan tatapan penuh selidik. Jika sebelumnya dia terlihat ragu-ragu, sekarang dia tampak lebih yakin bahwa ada sesuatu yang tidak beres.
Aku mencoba bersikap biasa saja, tapi setiap kali aku berada di dekatnya, ada perasaan bersalah yang begitu besar menekan dadaku.
Aku tahu aku harus berhenti. Aku tahu aku harus mengakhiri semua ini sebelum semuanya terlambat.
Tapi aku tidak bisa.
Aku dan Raka masih terus berkomunikasi secara diam-diam. Meskipun lebih berhati-hati, aku tahu bahwa semakin lama kami bermain dengan api, semakin besar kemungkinan semuanya terbakar.
Dan akhirnya, bom itu benar-benar meledak.
### **Rencana yang Berantakan**
Hari itu, aku dan Raka berencana untuk bertemu di sebuah hotel kecil di luar kota. Kami sudah lama tidak bertemu dengan leluasa, dan meskipun aku merasa bersalah, aku tetap pergi.
Aku mengatakan pada Nadia bahwa aku harus lembur di kantor, sebuah kebohongan yang semakin lama semakin sering aku ucapkan.
Saat tiba di hotel, Raka sudah menungguku di dalam kamar. Begitu aku masuk, dia langsung menarikku ke dalam pelukannya.
“Kita gila,” bisikku, meskipun aku membalas pelukannya dengan erat.
“Kalau ini gila, aku nggak mau waras,” balasnya dengan suara rendah.
Aku menatap matanya, mencoba mencari jawaban. “Sampai kapan kita begini?”
Raka tidak menjawab. Dia hanya menatapku dengan ekspresi penuh konflik.
Tapi sebelum dia sempat mengatakan apa pun, sesuatu terjadi.
Ponselku bergetar.
Aku mengambilnya dengan gugup dan melihat nama di layar.
**Nadia.**
Aku merasakan jantungku hampir berhenti berdetak.
“Ada apa?” tanya Raka, melihat wajahku yang tiba-tiba pucat.
“Nadia menelepon,” bisikku panik.
Raka langsung tegang. “Jangan diangkat.”
Tapi aku tahu jika aku tidak menjawab, itu hanya akan membuatnya semakin curiga.
Dengan tangan gemetar, aku menekan tombol hijau dan mencoba bersuara setenang mungkin.
“Halo?”
“Ka, kamu di mana?”
Aku menelan ludah. “Aku… di kantor. Kenapa?”
Nadia terdiam sejenak sebelum berkata, “Aku di depan kantormu sekarang.”
Aku langsung merasa dunia di sekitarku runtuh.
“Apa?”
“Aku di sini, Ka. Dan aku nggak lihat mobilmu di parkiran.”
Dadaku terasa sesak. Aku mencoba berpikir cepat. “Aku… aku keluar sebentar, ada kerjaan di luar.”
“Lembur tapi nggak di kantor?” suaranya terdengar semakin dingin.
“Nadia, aku bisa jelasin—”
“Aku kasih kamu waktu satu jam untuk balik ke sini. Kalau nggak, aku akan cari tahu sendiri kamu ada di mana.”
Setelah mengatakan itu, dia langsung menutup telepon.
Aku menatap layar ponsel dengan napas terengah-engah, lalu menoleh ke arah Raka yang juga terlihat tegang.
“Kita harus pergi dari sini,” kataku cepat.
Tanpa menunggu lebih lama, kami segera membereskan barang-barang kami dan meninggalkan hotel itu dengan jantung berdebar.
### **Pertemuan yang Tak Terhindarkan**
Satu jam kemudian, aku tiba di depan kantorku dengan dada yang masih sesak oleh kecemasan.
Nadia berdiri di sana, bersedekap dengan ekspresi yang sulit dibaca.
Aku keluar dari mobil dan berjalan mendekatinya. “Nadia…”
“Jelaskan,” potongnya, suaranya tajam seperti pisau.
Aku mencoba mencari alasan, tapi aku tahu tidak ada kebohongan yang bisa menyelamatkanku kali ini.
“Nadia, aku minta maaf,” kataku dengan suara lirih.
Ekspresinya berubah. Aku bisa melihat matanya mulai berkaca-kaca. “Jadi benar?”
Aku menundukkan kepala, merasa terlalu malu untuk melihat wajahnya.
“Aku tahu ada sesuatu yang kamu sembunyikan,” katanya pelan, tapi nadanya penuh kekecewaan. “Aku hanya berharap aku salah.”
Aku meremas jemariku, merasa tidak bisa bernapas. “Aku… aku nggak tahu harus bilang apa.”
“Aku cuma mau dengar satu hal darimu, Ka.” Dia menatapku lurus-lurus. “Sejak kapan?”
Aku menggigit bibir. “Beberapa bulan lalu.”
Nadia terkekeh, tapi itu bukan tawa bahagia. Itu tawa penuh luka. “Beberapa bulan lalu?” ulangnya. “Jadi selama ini, aku hidup dalam kebohongan?”
Aku ingin menyentuh tangannya, ingin meminta maaf, tapi aku tahu aku tidak punya hak untuk itu.
“Aku nggak pernah bermaksud menyakitimu,” kataku pelan.
“Tapi kamu tetap melakukannya,” balasnya cepat.
Aku tidak bisa membantah.
Nadia menghela napas berat, lalu menatapku dengan mata yang penuh luka. “Aku ingin tahu satu hal lagi, Ka.”
Aku menahan napas.
“Kamu mencintainya?”
Aku terdiam lama. Aku ingin mengatakan tidak, ingin mengatakan bahwa ini hanya sebuah kesalahan.
Tapi aku tidak bisa berbohong lagi.
Akhirnya, dengan suara yang nyaris tak terdengar, aku berkata, “Ya.”
Saat itu juga, aku melihat sesuatu dalam diri Nadia hancur.
Dia mengangguk pelan, lalu membalikkan badan.
“Nadia, tunggu—” aku mencoba menahannya, tapi dia mengangkat tangannya, memberi isyarat agar aku tidak bicara lagi.
“Jangan hubungi aku lagi, Ka,” katanya tanpa menoleh. “Aku butuh waktu untuk berpikir.”
Kemudian, dia pergi.
Aku berdiri di sana, menatap punggungnya yang semakin menjauh, sementara perasaan bersalah menyesakkan dadaku.
Aku ingin mengejarnya. Aku ingin menjelaskan.
Tapi aku tahu, tidak ada penjelasan yang bisa mengubah apa yang sudah terjadi.
Aku telah melewati batas.
Dan sekarang, aku hanya bisa menunggu, berharap bahwa aku belum sepenuhnya kehilangan sahabat terbaikku.*
Bab 10: Keputusan Terakhir
Sejak malam itu, Nadia menghilang dari hidupku. Tidak ada pesan, tidak ada panggilan, tidak ada konfrontasi lanjutan. Aku mencoba menghubunginya berkali-kali, tetapi setiap pesan yang kukirim hanya berakhir dengan tanda centang dua tanpa balasan.
Aku tahu aku telah menghancurkan kepercayaannya. Aku tahu bahwa hubungan kami tidak akan pernah sama lagi.
Tapi aku tidak siap kehilangan dia begitu saja.
Di sisi lain, Raka juga tampak gelisah. Ia khawatir dengan reaksi istrinya, takut bahwa Nadia akan mengambil langkah yang lebih jauh—mungkin bahkan menggugat cerai.
“Bagaimana kalau dia benar-benar meninggalkanku, Ka?” tanya Raka dalam panggilan telepon malam itu.
Aku menggigit bibir, merasakan kepedihan yang sama. “Aku nggak tahu, Rak… Aku juga takut kehilangan dia.”
“Aku nggak bisa membayangkan hidup tanpa Nadia,” katanya pelan.
Aku terdiam. Kata-katanya menusuk lebih dalam dari yang kukira.
Lalu bagaimana denganku?
Aku juga tidak bisa membayangkan hidup tanpa Raka, tapi aku juga tidak ingin kehilangan Nadia.
Aku berada di persimpangan yang mengerikan—memilih antara cinta dan persahabatan, antara kebahagiaan pribadi dan kehancuran orang lain.
Dan yang paling menyakitkan adalah, aku tahu bahwa apa pun pilihan yang kuambil, tidak ada yang akan keluar dari situasi ini tanpa terluka.
### **Konfrontasi Terakhir**
Dua hari kemudian, aku menerima pesan dari Nadia.
**”Temui aku di tempat biasa. Aku ingin bicara.”**
Jantungku berdebar keras. Aku tidak tahu apakah ini pertanda baik atau buruk. Tapi aku tidak punya pilihan lain. Aku harus datang.
Aku tiba di kafe itu lebih dulu, duduk di sudut ruangan dengan tangan yang gemetar. Ketika Nadia akhirnya datang, aku langsung bisa melihat bahwa dia sudah tidak lagi sama.
Ada sesuatu yang berubah dalam dirinya. Tatapannya dingin, tidak seperti biasanya.
Ia duduk di depanku, menatapku tanpa ekspresi.
“Aku sudah memikirkan semuanya,” katanya tanpa basa-basi.
Aku menelan ludah. “Dan?”
“Aku nggak bisa memaafkan kamu.”
Napas panjang keluar dari dadaku. Aku sudah menduganya, tapi mendengar kata-kata itu tetap saja menyakitkan.
“Nadia, aku—”
“Aku nggak butuh penjelasan, Ka,” potongnya. “Aku nggak peduli kenapa kamu melakukannya. Aku cuma tahu satu hal—kamu menghancurkan persahabatan kita.”
Aku menunduk, tidak sanggup menatapnya.
“Dan tentang Raka…” suaranya terdengar lebih lirih kali ini. “Aku masih belum tahu harus bagaimana. Aku masih mencintainya, tapi aku nggak tahu apakah aku bisa hidup dengan seseorang yang telah mengkhianatiku.”
Aku menggigit bibir, merasa perih atas luka yang telah kutorehkan.
“Ka…” panggilnya lagi. “Aku ingin kamu menjauh dari hidupku. Aku nggak bisa melihatmu lagi tanpa merasa sakit.”
Aku menahan napas. “Nadia, tolong…”
“Jangan minta aku untuk mengubah pikiranku,” katanya tegas. “Aku hanya ingin satu hal darimu—pergilah dari hidup kami. Jangan pernah hubungi aku lagi. Jangan pernah hubungi Raka lagi.”
Dadaku sesak. Air mata menggenang di mataku.
“Tapi aku mencintainya,” suaraku nyaris tak terdengar.
Nadia terkekeh sinis. “Dan aku istrinya. Kamu pikir aku peduli?”
Aku menggeleng, air mataku jatuh begitu saja. “Aku nggak pernah bermaksud menghancurkanmu…”
“Tapi kamu tetap melakukannya.”
Aku tidak bisa berkata apa-apa lagi.
Beberapa detik hening, hanya diisi dengan suara bising kafe di sekitar kami.
Akhirnya, Nadia bangkit berdiri. “Jangan pernah muncul di depanku lagi, Ka.”
Aku ingin menahannya, ingin mengatakan sesuatu yang bisa membuatnya berubah pikiran.
Tapi aku tahu, semua kata-kata sudah tidak ada artinya lagi.
Aku hanya bisa menatap punggungnya yang semakin menjauh.
Dan saat itu, aku sadar—aku benar-benar kehilangan Nadia.
### **Akhir dari Segalanya**
Setelah pertemuan itu, aku benar-benar menghilang dari kehidupan mereka. Aku berhenti menghubungi Raka, meskipun hatiku terasa kosong tanpanya.
Aku tidak tahu apa yang akhirnya diputuskan Nadia tentang pernikahannya, tapi aku tahu satu hal—aku bukan lagi bagian dari cerita mereka.
Aku telah menjadi bayangan kelam dalam hidup mereka.
Aku tidak tahu apakah aku akan bisa memaafkan diriku sendiri.
Tapi mungkin, ini adalah hukuman yang pantas aku terima.
Hukuman karena mencintai seseorang yang seharusnya tidak aku cintai.
Dan hukuman karena telah menghancurkan persahabatan yang paling berharga dalam hidupku.*
——the end—–