Daftar Isi
Bab 1 Terpisah oleh Waktu dan Jarak
Pagi itu, aku duduk di depan laptop di kafe kecil dekat kampus, memandangi layar yang masih menampilkan halaman kosong. Pekerjaan yang harus kutulis sudah menumpuk, tetapi ide-ide itu terasa buntu. Sudah berhari-hari aku merasa seolah ada sesuatu yang menghalangi pikiranku untuk fokus—sesuatu yang tidak bisa aku jelaskan dengan kata-kata. Aku menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri, tapi tidak berhasil. Rasanya ada yang hilang, meskipun aku tidak tahu apa itu.
Ponselku bergetar di meja. Aku menoleh dan melihat pesan dari teman dekatku, Nia. Dia selalu tahu kapan aku butuh sedikit hiburan atau distraksi dari pekerjaan. Tertulis di layar ponsel: “Gimana, sudah nemu ide buat tugasnya? Aku baru aja nemu akun Instagram yang lucu banget, deh! Coba lihat deh!”
Aku tertawa kecil. Nia memang tahu cara membuatku tersenyum, meskipun dalam keadaan tertekan sekalipun. Tapi hari ini, meskipun aku ingin membalas pesannya dengan sesuatu yang ceria, pikiranku tetap melayang jauh. Aku menekan tombol balas, tetapi sebelum aku sempat mengetik, ada notifikasi lain yang masuk.
Itu adalah pesan di aplikasi yang sudah lama tidak kumanfaatkan: Kisah Cinta ID. Sebuah situs yang awalnya aku buat untuk berbagi cerita tentang percakapan romantis, kisah-kisah inspiratif, dan segala hal yang berhubungan dengan cinta. Awalnya, aku hanya mengisi waktu luang dengan menulis dan membaca cerita dari orang lain. Tapi kali ini, ada satu pesan yang menarik perhatianku.
“Halo, aku Ari. Aku baca cerita kamu di sini. Terlihat menarik. Bisa kita ngobrol?”
Aku terdiam beberapa saat. Tidak pernah terpikirkan sebelumnya untuk berbicara dengan seseorang yang aku kenal hanya lewat tulisan. Tidak ada yang spesial dalam cerita yang kutulis, hanya sedikit pengalaman pribadi tentang bagaimana cinta itu datang dan pergi. Aku mengernyitkan dahi, merasa agak canggung, tapi rasa penasaran mengalahkan keraguanku. Akhirnya, aku membalas pesannya.
“Hai, aku Lila. Terima kasih sudah baca ceritaku. Apa yang menarik menurutmu?”
Sekitar sepuluh menit kemudian, pesan dari Ari datang lagi. Kali ini lebih panjang, lebih personal.
“Aku suka tulisan kamu. Bisa dibilang, itu cukup mengena buat aku. Aku juga sering merasa rindu, dan kadang, hubungan yang jauh itu benar-benar membuat kita belajar banyak hal, ya? Aku merasa tulisanmu itu seperti cermin buat aku, karena aku juga lagi menjalani hubungan yang jauh.”
Aku terkejut. Mungkin dia hanya seseorang yang kebetulan membaca tulisanku, tetapi kata-katanya terasa seperti mengarah ke sesuatu yang lebih dalam. Dalam percakapan singkat itu, kami mulai berbicara tentang pengalaman pribadi. Ari mengungkapkan tentang hubungannya yang terpisah jarak jauh, dan aku merasa ada koneksi yang kuat antara apa yang dia alami dengan apa yang aku rasakan.
Seiring berjalannya waktu, percakapan kami semakin intens. Ari adalah orang yang tidak terbiasa berbicara panjang lebar, tetapi entah kenapa, dia merasa nyaman bercerita kepadaku. Begitu juga denganku. Kami berbicara tentang banyak hal tentang pekerjaan, tentang apa yang kami impikan, tentang dunia yang tampaknya tak akan pernah menyatu karena jarak yang memisahkan kami. Meskipun kami baru mengenal satu sama lain, ada kenyamanan yang tidak bisa aku jelaskan dengan kata-kata.
Ari tinggal di Jakarta, sementara aku di Bandung. Dua kota besar yang seakan memisahkan kami dalam ribuan kilometer, namun percakapan kami selalu berjalan tanpa hambatan. Setiap hari, kami saling berbagi cerita, meskipun terkadang hanya melalui pesan singkat atau video call yang seringkali hanya berlangsung beberapa menit. Tapi itulah yang membuat hubungan kami terasa lebih berharga. Setiap detik yang kami habiskan untuk saling mendengarkan dan memahami terasa begitu berarti.
Suatu malam, saat aku sedang duduk di balkon apartemen, menikmati angin malam yang dingin, aku mendapat pesan dari Ari.
“Lila, kamu pernah merasa kalau hidup ini seperti berjalan sangat lambat? Kadang aku merasa waktu bergerak lebih cepat saat kita jauh dari orang yang kita sayangi, dan ketika kita sudah bersama mereka, kita ingin waktu itu berhenti. Aku nggak tahu kalau kamu merasakannya juga, tapi rasanya aku ingin lebih banyak waktu bersama kamu.”
Aku terdiam. Tidak tahu kenapa, tetapi kata-katanya itu terasa begitu dalam. Aku membalas pesan itu dengan hati-hati.
“Aku ngerti apa yang kamu rasain. Rasanya waktu itu seperti kita hidup di dua dunia yang berbeda. Kita selalu berharap ada lebih banyak waktu untuk berbagi kebahagiaan, tapi kenyataannya, waktu selalu terbatas. Dan kadang, kita merasa terburu-buru untuk membuat momen itu lebih lama, karena kita tahu kita nggak akan selalu punya kesempatan seperti ini.”
Setelah aku mengirimkan pesan itu, aku menatap layar ponselku dengan perasaan campur aduk. Tidak pernah aku bayangkan bisa merasa begitu terhubung dengan seseorang yang terpisah ribuan kilometer dariku. Tidak ada kehadiran fisik, hanya suara dan kata-kata yang menjembatani jarak ini. Namun, justru karena itulah, hubungan kami terasa begitu intens. Setiap pesan, setiap obrolan yang kami lakukan, membangun ikatan yang lebih kuat.
Semakin sering kami berbicara, semakin aku merasa nyaman dan yakin bahwa ada sesuatu yang lebih dari sekadar percakapan biasa. Ari bukan hanya teman biasa bagiku. Entah sejak kapan, perasaan itu mulai berkembang, meskipun aku belum sepenuhnya siap untuk mengakuinya. Aku takut jika aku terlalu terbawa perasaan, jika jarak ini terlalu jauh untuk dijangkau, dan jika akhirnya aku hanya akan terluka.
Namun, setiap kali aku mendengar suaranya, setiap kali kami berbicara, aku merasakan ada harapan yang tumbuh di dalam hatiku. Harapan akan sebuah hubungan yang tidak terhalang oleh waktu dan jarak. Mungkin ini masih terlalu awal, terlalu cepat, untuk menyebutnya cinta. Tapi ada perasaan yang terus berkembang perasaan yang tidak bisa lagi aku abaikan.
Hari demi hari, percakapan kami semakin intens. Kami mulai berbicara tentang masa depan, tentang bagaimana rasanya jika suatu hari nanti kami bisa bertemu, meskipun kenyataannya itu terasa begitu jauh. Kami sudah berbicara tentang segala hal: tentang impian, ketakutan, rindu, dan harapan. Semua itu terasa seperti sebuah jalinan yang tak terpisahkan, meskipun kami belum pernah bertemu secara langsung.
Tapi entah kenapa, aku merasa nyaman dengan semua ini. Mungkin, inilah yang disebut takdir—dua jiwa yang terhubung meskipun terpisah oleh waktu dan jarak.*
Bab 2 Jembatan Digital
Hari itu, ketika layar ponselku menampilkan notifikasi dari Ari, jantungku langsung berdegup kencang. Pesan suara yang baru saja dikirimkan oleh dia seolah sudah lama aku nantikan. Tiga bulan sejak terakhir kali kami bertemu secara langsung, segala yang berhubungan dengan Ari terasa lebih berharga. Terlebih sekarang, ketika jarak antara kami semakin jauh, aku merasa semakin bergantung pada setiap pesan, video call, atau bahkan suara kecil yang keluar dari ponselku.
Aku membuka pesan suara itu dengan hati-hati, berharap suara Ari bisa sedikit menenangkan kegelisahanku. “Hei, kamu lagi ngapain?” suara Ari terdengar ceria, meskipun aku tahu dia pasti sedang sibuk dengan pekerjaannya di Jakarta.
Aku tertawa kecil mendengar suaranya yang begitu akrab, seolah dia ada di sini, di sampingku. Aku membalasnya dengan cepat, “Aku lagi nungguin video call dari kamu nih. Kapan-kapan aja ya, nanti kita ngobrol.” Dengan cepat aku mengetikkan pesan itu, meski aku tahu ini bukan cara terbaik untuk mengungkapkan perasaanku.
Saat hubungan kami dimulai, kami berdua berjanji akan menjaga komunikasi meski terpisah jarak yang begitu jauh aku di Bandung, dia di Jakarta. Kami tak pernah berbicara tentang seberapa lama jarak ini akan bertahan, atau kapan kami akan bertemu lagi. Tapi aku tahu, setiap kali aku mendengar suaranya, ada kehangatan yang mengalir begitu saja, menghapuskan keraguan yang mulai datang setiap kali aku merenung.
Setelah beberapa menit menunggu, notifikasi video call muncul. “Ari sedang menelepon,” tulis ponselku dengan huruf besar. Aku langsung tersenyum, meskipun ada sedikit rasa cemas di dada.
“Hei, sayang!” suaranya terdengar ceria, meskipun aku bisa melihat dia sedang duduk di ruang kerjanya yang penuh tumpukan kertas. Hanya ada sedikit cahaya dari layar komputer yang menyinari wajahnya, namun itu sudah cukup untuk membuatku merasa nyaman. “Kamu terlihat cantik banget di sini, kenapa aku malah terlihat kayak zombie?” canda Ari, dan aku tertawa mendengar leluconnya.
Kami berbicara selama satu jam lebih, tentang pekerjaan, tentang teman-teman yang kami temui, tentang makanan yang kami coba, dan bahkan tentang rencana-rencana masa depan yang selalu terasa terlalu jauh. Setiap kali percakapan kami berakhir, aku merasa seperti kehilangan bagian dari diriku. Seperti ada kekosongan yang tidak bisa diisi hanya dengan kata-kata.
“Tunggu,” kata Ari tiba-tiba. “Aku kirim sesuatu ya.” Tanpa menunggu jawabanku, dia meletakkan teleponnya di atas meja, dan aku mendengar suara-suara seperti dia sedang mencari sesuatu. Beberapa detik kemudian, dia kembali dengan sebuah kotak kecil. “Aku beliin kamu ini, cuma buat ngasih tahu kalau aku lagi mikirin kamu.”
Aku membuka video call itu lebih besar, menatapnya penuh penasaran. Dengan penuh antusias, Ari membuka kotak itu, dan di dalamnya ada sebuah gantungan kunci kecil berbentuk hati. “Aku tahu kamu suka warna biru, jadi aku beli yang ini. Semoga bisa jadi pengingat buat kita.”
Aku menatap layar dengan mata berkaca-kaca, terharu meskipun aku tahu itu hanya sebuah benda kecil. “Ari, terima kasih… Kamu tahu, ini hal paling manis yang pernah seseorang lakukan untukku,” kataku pelan, mencoba menahan air mata yang hampir jatuh.
Ari tertawa, mengusap wajahnya yang sedikit lelah. “Kamu nggak perlu bilang terima kasih, kok. Kamu tahu aku juga berharap bisa ngasih lebih dari itu. Tapi… ini yang bisa aku lakuin sekarang.”
Di sana, dalam keheningan video call itu, aku merasakan betapa besar perbedaan antara hidup di dunia nyata dan dunia maya. Di satu sisi, kami bisa berbicara setiap saat, berbagi cerita, bahkan memberi kejutan-kejutan kecil. Tetapi, di sisi lain, setiap kata dan tawa yang kami bagi terasa tidak lengkap. Tidak ada pelukan nyata, tidak ada sentuhan yang bisa menghapus kerinduan yang menggebu.
Setiap kali kami berbicara, aku sering merasa seperti berada di dua dunia yang berbeda. Teknologi telah memberikan kami jembatan untuk tetap terhubung, tetapi aku tahu jembatan itu tak akan pernah bisa menggantikan sentuhan fisik, kehadiran nyata, dan rasa aman yang datang ketika kita bersama langsung. Kapan aku bisa merasakan itu lagi? Aku terus bertanya-tanya.
“Ari, kamu yakin bisa bertahan dengan jarak jauh kayak gini? Maksudnya, aku takut lama-lama kita akan capek, kan?” tanyaku dengan hati-hati, mencoba membuka percakapan yang kadang aku hindari.
Dia terdiam sejenak, wajahnya terlihat berpikir. “Aku nggak tahu, sih. Tapi, satu hal yang pasti, aku nggak mau kehilangan kamu. Aku yakin kita bisa, kalau kita terus berusaha. Kamu yakin juga kan?”
Aku mengangguk, meskipun aku masih merasakan keraguan di dalam hati. “Aku ingin, Ari. Tapi kadang aku merasa seperti kita sedang berjalan di tempat, nggak ada perkembangan.”
“Jangan khawatir,” kata Ari dengan penuh keyakinan. “Kita mungkin jauh, tapi hati kita tetap dekat. Jadi, kalaupun kita sedang terpisah ribuan kilometer, kita masih bisa berbagi semua yang ada di hati. Itu yang paling penting.”
Aku tersenyum, meskipun hatiku terasa berat. “Iya, kamu benar. Cinta kita nggak akan kalah dengan jarak.”
Setelah beberapa menit, kami mengakhiri percakapan itu, tetapi perasaan hangat masih ada di dalam dadaku. Jembatan digital ini mungkin belum cukup untuk menghapus semua kerinduan, tetapi setidaknya, selama kami tetap berusaha, kami bisa melewati semua rintangan yang ada, sedikit demi sedikit.
Mungkin, cinta sejati memang tidak mengenal jarak hanya waktu yang perlu dibuktikan.*
Bab 3 Ujian Rindu
Hari-hari di Jakarta terasa semakin sibuk bagi Ari, dan aku semakin banyak menghabiskan waktu sendiri di Bandung. Ketika hubungan jarak jauh menjadi kenyataan yang kami hadapi setiap hari, aku mulai merasa ada sesuatu yang semakin menggerogoti hatiku. Rindu. Rindu yang datang begitu intens, melanda tanpa pemberitahuan, membuatku kehilangan konsentrasi dan lebih banyak menghabiskan waktu memikirkan bagaimana rasanya jika dia ada di sini, di sampingku.
Aku menatap layar ponselku, melihat foto-foto kami yang tersimpan rapat di galeri. Sebuah foto kami di kafe yang pernah kami kunjungi, senyum Ari yang ceria, dan tawa kami yang begitu alami saat itu. Rasanya seperti baru kemarin kami saling berbicara langsung, saling berpegangan tangan, merasa seolah dunia berhenti hanya untuk kami. Tapi kenyataannya, sekarang aku hanya bisa melihatnya lewat layar.
Pesan-pesan kami mulai terasa berbeda. Tak seperti dulu, percakapan yang mengalir lancar kini sering terhenti di tengah jalan. Terkadang, ada jeda panjang antara balasan pesan satu sama lain, dan kadang aku merasa semakin cemas. Apa dia sedang sibuk? Atau, apakah kami sudah mulai terasingkan oleh jarak ini?
“Aku rindu kamu…” Pesan singkat itu aku kirimkan malam itu, tanpa berharap banyak. Hanya ingin dia tahu apa yang aku rasakan. Tapi, beberapa menit kemudian, aku belum mendapatkan balasan. Satu menit, dua menit, tiga menit, dan detik-detik yang terasa menggerogoti perasaanku. Jangan-jangan dia tidak merasa hal yang sama? Atau dia sudah mulai melupakan aku, atau bahkan lebih buruk, ada seseorang yang lebih dekat dengannya?
Tak lama kemudian, notifikasi masuk. “Aku juga kangen banget, tapi lagi ada kerjaan yang nggak selesai-selesai. Maaf banget.”
Aku menarik napas lega, meskipun ada sedikit rasa kecewa. Aku tahu dia sibuk, tetapi kadang aku berharap dia bisa lebih meluangkan waktunya untukku. Begitu besar kerinduanku, tapi kadang rasanya aku hanya seperti angin yang lewat—tidak begitu penting.
Namun, saat membaca pesannya, aku merasa sedikit lebih tenang. Seperti sebuah pengingat bahwa dia masih ada di sana, meskipun tak selalu bisa berada di sini secara fisik. Aku membalas pesan itu dengan kalimat yang lebih ringan, “Oke, jangan terlalu capek ya. Aku ngerti kok.”
Namun, semakin hari aku semakin merasakan adanya jarak yang lebih dalam daripada sekadar fisik. Rindu itu bukan hanya soal ingin bertemu, tetapi juga tentang kebersamaan yang kini semakin sulit untuk kami rasakan. Aku memulai rutinitas baru: bangun pagi, bekerja, berkeliling kota dengan teman-teman, tetapi malam datang dengan rasa hampa yang semakin menguat. Meskipun aku sibuk, setiap detik seolah menanti sesuatu yang hilang.
Ada satu malam ketika aku membuka media sosial dan melihat Ari meng-upload foto bersama seorang wanita yang belum pernah aku lihat sebelumnya. Wanita itu tampaknya sedang berdiri di sampingnya dengan senyum lebar. Mereka terlihat nyaman, bahkan terlalu nyaman. Ada sebuah perasaan aneh yang menyeruak di dada, membuatku merasakan cemas yang tak terkendali.
Aku menatap foto itu lebih lama. Rasanya dunia tiba-tiba terasa sempit. Apa yang aku khawatirkan benar? Apakah dia sudah melupakan aku? Atau ini hanya perasaanku saja yang terlalu overthinking?
“Siapa dia?” Aku mengetikkan pesan ke Ari dengan jari yang sedikit gemetar. Aku tahu ini mungkin terdengar seperti kecemburuan yang tidak perlu, tapi entah kenapa aku tidak bisa menahan rasa itu.
Beberapa menit kemudian, balasan darinya muncul di layar. “Oh, dia teman kerja, cuma lagi makan bareng setelah meeting.” Ari menjelaskan dengan cepat, seolah tahu bahwa aku mungkin merasa cemas.
Namun, meskipun aku tahu itu hanya teman kerja, aku tidak bisa mengusir perasaan cemas yang terus mengganggu. Rindu bukan hanya tentang fisik, tapi juga tentang kepercayaan. Setiap saat aku merasa cemas, semakin berat rasanya untuk percaya sepenuhnya pada kata-kata itu. Mungkinkah jarak ini membuat kami semakin rentan? Atau aku hanya terlalu rapuh?
Aku merenung lama, duduk di sudut kamar yang gelap, memikirkan bagaimana jarak ini telah menguji banyak hal dalam hubungan kami. Kami berbicara tentang kesetiaan, tentang harapan dan impian bersama, namun setiap malam kerinduan ini tetap saja datang dengan bentuk yang lebih kuat. Kami mungkin tidak mengatakannya dengan kata-kata, tapi kami berdua tahu: LDR adalah ujian yang lebih sulit daripada yang pernah kami bayangkan.
Pada suatu malam, setelah beberapa hari penuh kesibukan, Ari menghubungiku dengan suara yang sedikit lelah. “Kamu masih di Bandung, kan?” tanyanya dengan lembut, seolah merasakan sesuatu yang sedang menggangu pikiranku.
“Iya,” jawabku dengan suara pelan. “Tapi, Ari, aku merasa…” aku berhenti sejenak, menimbang kata-kata yang tepat. “Aku merasa kita semakin jauh. Aku… aku nggak tahu kenapa. Seperti ada yang hilang, gitu.”
Ada hening yang panjang di ujung sana, sebelum akhirnya Ari berbicara dengan suara yang serius. “Aku paham. Aku juga merasa itu. Tapi, kita nggak bisa menyerah, kan? Kita sudah terlalu banyak melewati ini bersama untuk berhenti sekarang.”
Suara Ari kali ini lebih dalam, lebih tulus. Dan meskipun hatiku masih terasa berat, aku tahu kami masih punya sesuatu yang lebih kuat dari sekadar rindu: komitmen untuk tetap bertahan.
Kami berdua tahu bahwa jarak ini tidak akan pernah mudah. Setiap malam yang kami lewati, setiap pesan yang terlambat dibalas, setiap momen kebersamaan yang hanya bisa kami rasakan lewat layar ponsel yang memisahkan.
“Kita pasti bisa, kan?” Aku bertanya, meskipun aku tahu jawabannya sudah ada di dalam hati kami.
“Pasti bisa.”
Dan meskipun kami tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, kami berdua tahu bahwa setiap rindu yang kami rasakan hanyalah bukti dari cinta yang semakin tumbuh, meskipun jarak yang memisahkan kami semakin jauh.*
Bab 4 Cinta yang Tertunda
Pagi itu, seperti biasa, aku duduk di meja makan, memandangi secangkir kopi yang semakin mendingin. Rasanya hampir setiap pagi seperti ini—sendirian. Pekerjaan yang menumpuk membuatku jarang keluar rumah, dan sejak hubungan kami menjadi lebih serius, waktu terasa semakin cepat berlalu. Terkadang, aku merasa kehilangan diri sendiri dalam rutinitas. Pagi menjadi hari yang penuh dengan harapan yang terpendam, harapan untuk bisa berjumpa dengan Ari lagi.
Tiga bulan telah berlalu sejak terakhir kali kami bertemu. Tiga bulan yang penuh dengan video call, pesan teks, dan suara Ari yang selalu menghangatkan hatiku. Namun, semakin lama aku merasa semakin terhimpit oleh rasa rindu yang semakin dalam. Kami berdua tahu bahwa hubungan kami ini bukan hubungan yang mudah. Ari di Jakarta, aku di Bandung. Kami sudah berbicara tentang masa depan kami, tetapi kenyataannya, masa depan itu seolah semakin jauh dari jangkauan.
Aku mengusap layar ponselku dan membuka pesan dari Ari. Tulisannya begitu biasa, seperti tidak ada yang istimewa. “Gimana hari kamu?” Cukup singkat, namun ada kehangatan yang selalu muncul dari setiap pesan yang dia kirim. Tapi kali ini, aku merasakannya lebih berat. Seperti ada jarak yang lebih jauh dari sekadar kilometer antara kami.
Aku mulai mengetik balasan, tetapi tiba-tiba aku merasa cemas. “Aku baik-baik aja. Cuma… ngerasa kalau kita semakin jauh, ya?” Kalimat itu keluar begitu saja, tanpa perencanaan, tanpa perasaan berlebihan. Aku hanya ingin dia tahu apa yang ada dalam pikiranku.
Pesan itu terkirim, dan aku menunggu dengan cemas. Beberapa menit berlalu, tidak ada balasan. Pikiran negatif mulai menghantui. Mungkin dia sibuk, atau lebih buruk lagi—mungkin dia tidak merasakan hal yang sama. Aku meremas teleponku dengan kuat, menunggu balasan yang entah kapan akan datang.
Tak lama, balasan datang juga. “Aku ngerti kok, sayang. Aku juga ngerasain hal yang sama. Tapi kamu tahu kan, aku masih harus fokus sama pekerjaan ini. Jadi… kita harus sabar.”
Sabar. Kata itu terus terngiang di telingaku. Sejak awal, Ari selalu mengingatkan kami untuk sabar, untuk bertahan. Tapi apakah sabar ini masih punya batas? Kadang, aku merasa seperti terperangkap dalam waktu yang tak kunjung bergerak, dalam sebuah hubungan yang terikat oleh janji dan rencana yang tertunda.
“Sabarlah,” kata Ari beberapa minggu yang lalu ketika kami berbicara tentang rencana pertemuan. “Aku ingin memastikan semuanya sudah siap sebelum kita bisa benar-benar mulai hidup bersama. Aku nggak mau kita terburu-buru. Semua ini akan lebih indah kalau kita sabar.”
Aku tahu dia benar. Tapi mengapa rasanya semakin sulit untuk terus menunggu? Setiap kali aku melihat teman-teman lainnya yang bisa berdua, yang bisa merayakan ulang tahun bersama, atau sekadar berjalan berpegangan tangan di mall, aku merasa semakin jauh dari dunia mereka. Rindu ini semakin menjadi-jadi, dan dengan setiap hari yang berlalu, aku mulai merasa semakin terasing.
Aku duduk di sofa, memeluk bantal dengan erat. Tiba-tiba, layar ponselku kembali menyala. Ari mengirimkan pesan suara.
“Aku nggak pernah nyangka bakal jauh kayak gini. Dulu, waktu kita pertama kali ketemu, aku nggak kepikiran soal jarak. Aku pikir, cinta bisa mengalahkan apapun. Tapi kenapa sekarang rasanya beda? Kenapa setiap hari kita seperti berjuang lebih keras?”
Aku mendengarkan pesan itu berkali-kali. Suara Ari yang lembut itu mengingatkanku pada semua janji yang kami buat: bahwa cinta ini akan bertahan, apapun yang terjadi. Namun, ada perasaan yang mulai merayap rasa takut bahwa kami akan kehabisan tenaga sebelum akhirnya bisa bersatu. Kadang aku bertanya-tanya, apakah kami hanya membuang waktu dengan menunggu hal yang tak pasti?
Aku membalas pesan suara itu dengan hati-hati. “Aku juga ngerasa gitu, Ari. Tapi aku nggak mau kita nyerah, aku nggak mau kita putus asa.” Aku menatap langit yang mulai gelap di luar jendela. “Kita cuma butuh waktu. Suatu hari nanti kita pasti bisa bertemu.”
Ari langsung membalas lewat pesan teks. “Kamu selalu bisa bikin aku merasa lebih baik, meskipun aku tahu kita sedang melalui hal yang berat ini. Aku percaya sama kita, kamu tahu itu kan?”
Aku tersenyum. Meskipun dalam hatiku ada keraguan yang tak bisa aku hilangkan, kata-katanya selalu memberi sedikit harapan. Kami masih percaya satu sama lain, itu yang paling penting. Tapi bagaimana jika waktu yang kami tunggu tidak memberikan apa yang kami harapkan? Bagaimana jika kehidupan masing-masing membawa kami ke arah yang berbeda?
Namun, ketika kami berbicara tentang masa depan, tentang bagaimana kami akan mengatur kehidupan kami setelah ini, aku tahu ada kekuatan dalam setiap kata yang kami ucapkan. Kami berbicara tentang pertemuan yang tertunda, tentang impian untuk tinggal bersama di kota yang sama. Kami berbicara tentang rencana yang seharusnya sudah terjadi jauh lebih cepat, tetapi tertunda karena pekerjaan, kewajiban, dan kehidupan yang terus berubah.
“Ari,” kataku pelan, meskipun kami hanya berbicara lewat pesan. “Kadang aku merasa seperti kita hidup dalam kisah yang tidak pernah berakhir. Kita terus menunggu untuk bertemu, tetapi setiap kali kita hampir sampai, sesuatu menghalangi kita.”
“Aku tahu, sayang. Tapi aku percaya ini akan berakhir dengan indah. Kita mungkin harus menunggu, tapi setiap detik menunggu ini akan membuat kita lebih kuat. Kalau kita bisa melewati semua ini, kita bisa menghadapi apapun.”
Aku merasa sedikit lebih tenang mendengar kata-kata itu. Mungkin dia benar. Mungkin sabar memang jalan yang harus kami pilih, meski itu terasa berat. Setiap kali keraguan muncul, setiap kali rasa cemas datang, kami hanya perlu mengingat satu hal: kami masih memiliki satu sama lain. Kami masih berjuang bersama, meski rindu ini tertunda.
Aku menatap layar ponselku, tersenyum kecil. Kami tidak tahu kapan rencana itu akan terwujud, tetapi setidaknya, kami tahu bahwa pada akhirnya, cinta kami akan menemukan jalannya. Cinta yang tertunda memang berat, tetapi jika kami terus berusaha, kami akan bisa melewati ini. Karena cinta yang tertunda pun, suatu hari nanti, akan datang dengan cara yang paling indah.*
Bab 5 Tepi Harapan
Tengah malam, aku masih terjaga di tempat tidur, menatap langit yang gelap lewat jendela kamar. Pikiranku berlarian, berpindah dari satu pertanyaan ke pertanyaan lainnya, berputar dalam lingkaran yang seakan tak ada ujungnya. Apa yang terjadi jika ini semua tidak berjalan sesuai rencana? Apa yang akan terjadi jika kami berdua tidak pernah bertemu lagi? Apa yang akan terjadi pada hubungan ini, pada cinta kami yang terasa semakin jauh meskipun kami masih berusaha?
Aku melirik ponselku yang tergeletak di meja samping tempat tidur. Tidak ada pesan dari Ari sejak sore tadi. Biasanya, dia menghubungiku sebelum tidur, memberi kabar tentang hari-harinya, bertanya tentang hariku. Namun malam ini, entah kenapa, aku merasa seperti ada sesuatu yang kosong. Kami berbicara beberapa kali dalam seminggu, kadang lebih sering, kadang lebih jarang. Tapi malam ini, rasa sepi itu terasa lebih pekat. Aku tidak tahu apakah itu karena aku sudah mulai lelah dengan semua penantian ini, atau karena sesuatu yang tidak kuketahui sedang terjadi di luar sana, di dunia yang jauh dari aku.
Aku meraih ponselku dan membuka aplikasi pesan. Pesan dari Ari masih belum datang. Aku menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Mungkin dia sedang sibuk. Mungkin dia hanya lelah setelah bekerja seharian penuh. Tetapi entah mengapa, perasaan cemas ini tidak bisa aku hilangkan.
Ponselku bergetar, memecah keheningan malam. Sebuah pesan baru dari Ari. Hatiku berdebar-debar saat membuka pesan itu.
“Sayang, maaf ya hari ini nggak bisa banyak ngobrol. Aku lagi banyak banget kerjaan. Aku tahu kamu pasti kangen, dan aku juga begitu. Tapi aku janji besok aku akan telepon.”
Senyum kecil terukir di wajahku saat membaca pesannya. Aku tahu dia sedang berusaha, meskipun kadang aku merasa cemas dengan jarak ini. Rindu yang semakin dalam, dan waktu yang terasa semakin sempit. Seiring berjalannya waktu, aku merasa semakin dekat dengan rasa takut bahwa kami tidak akan pernah sampai pada tujuan yang sama.
Namun, di sisi lain, ada harapan yang tetap bertahan. Ada janji-janji yang selalu kami buat, meskipun jarak ini membuat segalanya terasa begitu lambat. Kami berbicara tentang masa depan, tentang bagaimana semuanya akan berjalan setelah kami bertemu, tetapi aku mulai merasakan ketegangan di dalam diriku. Semakin banyak hal yang kami rencanakan, semakin banyak pula rasa cemas yang muncul.
Aku kembali menatap ponselku. Terkadang, harapan terasa begitu rapuh. Hari demi hari berlalu, dan kami masih terjebak dalam rutinitas yang tidak memberi kepastian. Kami berdua sudah banyak berkorban, menunggu dengan sabar, namun semakin lama aku merasa semakin terperangkap dalam penantian yang tak berujung.
Keesokan harinya, seperti yang dijanjikan, Ari meneleponku. Suaranya terdengar lebih lelah dari biasanya, tetapi tetap hangat. “Aku kangen banget sama kamu,” katanya dengan nada suara yang lebih lembut dari biasanya.
Aku tersenyum mendengarnya, meskipun hatiku sedikit berat. “Aku juga kangen banget, Ari. Tapi… kenapa semuanya terasa semakin sulit?” Aku mencoba mengungkapkan perasaanku, meskipun kata-kata itu terasa sulit untuk diucapkan.
Ada keheningan sejenak di sisi lain, sebelum akhirnya Ari berbicara dengan pelan. “Aku ngerti apa yang kamu rasain. Kadang aku juga merasa gitu. Tapi kita nggak bisa menyerah, kan? Kita udah berjanji bakal bertahan.”
Aku mengangguk meskipun dia tidak bisa melihatnya. Tentu saja, aku tidak ingin menyerah. Kami berdua sudah berjanji untuk menjaga cinta ini, untuk tetap percaya satu sama lain. Tetapi, di dalam hati, aku merasakan sesuatu yang berbeda sesuatu yang mulai mengaburkan harapan yang selama ini kami pegang teguh.
“Ari, apa kamu yakin? Maksudku, kita sudah berjuang begitu keras untuk tetap bersama meskipun jarak ini. Tapi, apakah kita benar-benar akan bisa melewati semua ini? Kalau kita terus begini, bagaimana kita tahu jika ini benar-benar yang kita inginkan?” suaraku bergetar sedikit, bahkan aku sendiri merasa terkejut dengan pertanyaanku yang tiba-tiba itu.
Ari terdiam sejenak, dan aku bisa mendengar hembusan napasnya di ujung telepon. “Aku nggak tahu, sayang. Aku nggak bisa janji semuanya akan mudah. Tapi satu hal yang pasti aku nggak mau kehilangan kamu. Kamu adalah bagian dari hidupku yang nggak bisa aku lepaskan begitu saja.”
Tapi, meskipun kata-kata itu terdengar meyakinkan, aku tahu ada sesuatu yang belum terucap. Sesuatu yang menghalangi kami untuk benar-benar bebas, untuk benar-benar merasa aman. Kami berdua terjebak dalam ketidakpastian, dalam waktu yang seakan tak pernah bisa cukup. Aku merasa seperti berdiri di tepi jurang harapan, berharap angin akan membawa kami ke arah yang benar, tetapi takut jika angin itu malah membawa kami semakin jauh.
“Aku takut, Ari.” Kataku akhirnya, tanpa bisa menahan perasaan itu lagi. “Aku takut kalau kita terus menunda ini, kita malah kehilangan kesempatan. Kita sudah menunggu begitu lama, tapi kita tidak tahu kapan itu akan berakhir.”
Ada keheningan lagi, kali ini lebih lama. Suara Ari terdengar lebih dalam, lebih serius. “Aku tahu, aku juga takut. Tapi kita nggak bisa hidup dalam ketakutan, kan? Kalau kita terus ragu, kita akan kehilangan apa yang kita miliki sekarang.”
Aku menarik napas panjang. “Kamu benar. Kita nggak bisa hidup dalam ketakutan. Tapi kadang, aku merasa kita berjalan di tempat. Seperti nggak ada perkembangan.”
Ari kembali berkata dengan penuh keyakinan, “Kita hanya perlu terus percaya. Kita sudah melewati banyak hal bersama, dan kita akan terus bertahan. Terkadang, cinta memang butuh waktu. Tapi aku yakin, kalau kita terus berjuang, kita pasti akan sampai ke tempat yang kita impikan.”
Aku menatap keluar jendela, melihat langit yang perlahan mulai cerah. Tepi harapan itu memang terasa rapuh, seperti garis tipis yang bisa saja terputus dalam sekejap. Namun, kata-kata Ari mengingatkanku bahwa harapan ini adalah satu-satunya yang masih kami punya. Meskipun kami berada di ujung penantian, meskipun kami tidak tahu kapan semuanya akan berakhir, kami masih memiliki satu sama lain. Dan itu, bagi kami, sudah cukup untuk terus bertahan.
Aku mengakhiri percakapan itu dengan senyuman kecil. “Aku percaya kita bisa, Ari. Aku akan terus menunggu.”*
Bab 6 Akhir yang Indah
Pagi itu, udara terasa lebih segar dari biasanya. Aku duduk di balkon kamar, menatap langit biru yang terbentang luas di atas kota Bandung. Awan putih bergerak perlahan, dan angin yang menyentuh kulit terasa lebih lembut dari biasanya. Mungkin, aku hanya merasakannya seperti itu karena hari ini adalah hari yang sangat berbeda. Hari yang sudah lama aku tunggu-tunggu, hari di mana aku bisa melupakan segala kecemasan dan penantian, dan hanya fokus pada satu hal: Ari.
Aku menatap ponselku, menunggu pesan darinya. Sudah hampir satu bulan sejak kami terakhir berbicara tentang pertemuan ini. Kami sudah mempersiapkan semuanya, tetapi rasanya waktu berjalan begitu lambat. Setiap kali aku melihat tanggal di kalender, aku merasa seperti aku sudah menunggu terlalu lama. Namun, hari ini hari yang penuh dengan harapan akhirnya tiba.
Pesan masuk. Aku melihat nama Ari di layar, dan jantungku berdegup kencang. “Aku udah sampai di Jakarta, sayang. Aku bakal segera ke Bandung. Hari ini kita akan bertemu.”
Aku tersenyum lebar, bahkan tanpa sadar aku tertawa kecil. Rasanya seperti mimpi yang menjadi kenyataan. Setelah berbulan-bulan hanya berhubungan lewat layar ponsel, kini aku akan benar-benar melihatnya. Memeluknya. Merasakan kehadirannya di sampingku. Tidak ada lagi jarak yang memisahkan kami, tidak ada lagi penantian yang terasa seperti beban. Semuanya akan menjadi nyata.
Aku berdiri, hampir melompat kegirangan. Tubuhku terasa ringan seolah-olah terangkat ke udara. Tidak ada kata yang cukup untuk menggambarkan betapa bahagianya aku saat itu. Akhirnya, setelah sekian lama, kami akan bertemu, dan segala rindu yang selama ini terpendam akan terobati.
Aku segera menyiapkan diri. Tidak perlu lagi memikirkan apa yang akan aku kenakan atau bagaimana penampilanku. Hari ini bukan tentang penampilan, tetapi tentang momen yang telah lama kami impikan. Saat aku berpakaian, setiap gerakan terasa lebih cepat, lebih bersemangat. Rasanya aku ingin segera berada di sana, menunggu dia di tempat yang telah kami sepakati.
Setelah beberapa jam, akhirnya aku sampai di stasiun Bandung. Kereta yang membawa Ari akan tiba sebentar lagi. Aku berdiri di peron, mataku berkeliling mencari-cari sosok yang aku rindukan begitu lama. Setiap orang yang lewat rasanya tampak asing, meskipun aku tahu, hanya ada satu wajah yang aku ingin temui di sini.
Saat itu, aku melihat kereta yang melambat menuju platform, dan hatiku mulai berdebar kencang. Kereta berhenti, pintu-pintunya terbuka, dan aku melihatnya. Ari. Dia mengenakan jaket biru, dengan tas punggung di bahunya, dan matanya mencari-cari. Lalu, pandangannya bertemu dengan mataku. Senyum lebar terukir di wajahnya, dan aku merasa seolah seluruh dunia berhenti sejenak. Tidak ada kata yang keluar dari bibirku, hanya air mata yang mulai menggenang di mataku. Ari berjalan cepat ke arahku, dan sebelum aku sempat mengucapkan apa-apa, dia sudah menarik tubuhku ke dalam pelukannya.
“Aku akhirnya sampai, sayang. Setelah semua waktu yang lama, aku di sini.” Suaranya terdengar penuh kehangatan, seolah menghapus semua keraguan yang pernah ada di antara kami. Semua penantian, semua kecemasan, seakan lenyap begitu saja.
Aku hanya bisa menangis, mengangguk pelan di dadanya. “Aku… aku nggak percaya akhirnya kita bisa bertemu. Aku rindu banget.”
Kami berpelukan lebih lama dari yang seharusnya, seakan dunia luar tidak ada. Rasanya seperti baru kemarin kami berbicara lewat ponsel, tapi sekarang, di sini, kami bisa merasakan detak jantung satu sama lain, merasakan kehadiran yang nyata. Semua kata-kata yang tak terucapkan selama ini akhirnya ditemukan dalam pelukan itu.
Setelah beberapa saat, Ari melepaskan pelukannya dan menatapku dengan lembut. “Aku nggak bisa berhenti tersenyum,” katanya dengan suara pelan, hampir seperti berbisik. “Ini lebih indah dari yang aku bayangkan.”
Aku tersenyum, wajahku terasa hangat, dan mataku mulai memerah. “Aku juga, Ari. Aku nggak tahu harus bilang apa. Kita benar-benar berhasil, kan?”
Ari mengangguk. “Kita memang berhasil, sayang. Semua rintangan, semua jarak, semua waktu yang kita tunggu-tunggu, semua itu membawa kita ke sini.”
Kami berjalan keluar dari stasiun bersama, tangan kami saling menggenggam erat, seolah tak ingin ada satu detik pun yang terlewat tanpa berada di samping satu sama lain. Langit sore itu cerah, dan suasana Bandung terasa begitu nyaman. Kami berbicara tentang segala hal tentang hari-hari yang kami lewati selama LDR, tentang pengalaman-pengalaman kecil yang terkadang terasa besar karena kami menjalani semuanya tanpa bisa saling melihat langsung.
Sesampainya di tempat penginapan yang sudah kami pesan sebelumnya, kami duduk bersama, menikmati malam yang tenang. Tidak ada lagi obrolan tentang kapan kami akan bertemu atau bagaimana kami harus berjuang untuk bisa bersama. Semua itu sudah terjawab di saat ini di saat di mana kami benar-benar berada di sini, berdua, bersama-sama.
“Aku nggak pernah membayangkan kalau akhir yang indah ini akan datang, tapi ternyata kita sampai juga ke sini,” kataku, mengingat semua penantian dan perjuangan yang sudah kami jalani.
Ari menggenggam tanganku lebih erat, matanya memandangku penuh cinta. “Kita sampai, dan ini baru awal, sayang. Semua yang kita lewati hanya bagian dari perjalanan kita. Aku nggak pernah berhenti berharap, dan sekarang, aku tahu, semua yang kita inginkan akan jadi kenyataan.”
Aku menatapnya, merasa damai untuk pertama kalinya setelah sekian lama. Di tengah semua keraguan dan ketidakpastian, aku akhirnya bisa merasakan bahwa apa yang kami miliki lebih dari sekadar harapan. Cinta ini nyata. Cinta ini telah membuktikan bahwa jarak bukan penghalang. Semua penantian yang terasa berat, akhirnya menghasilkan sesuatu yang jauh lebih indah dari yang pernah kami bayangkan.
“Aku siap menjalani sisa hidupku bersamamu, Ari,” kataku dengan penuh keyakinan.
Ari tersenyum, dan kami saling memandang satu sama lain. “Aku juga. Bersama, kita bisa melewati apa saja.”
Malam itu, kami duduk berdua, tangan kami saling menggenggam, menatap bintang-bintang yang ada di luar sana. Kami tahu, perjalanan kami baru dimulai. Tetapi yang pasti, kami tidak lagi sendiri. Kami sudah bersama, dan itu adalah akhir yang paling indah dari segala penantian kami.***
————-THE END————