Daftar Isi
Bab 1: Pertemuan yang Tak Terduga
Cerita dimulai dengan bagaimana Alya dan Raka bertemu secara tidak sengaja dalam sebuah acara internasional yang mempertemukan para profesional dari berbagai negara. Meski awalnya mereka hanya berbincang sejenak, keduanya merasa ada koneksi yang kuat, yang membawa mereka mulai berkomunikasi lebih intens. Melalui pesan singkat, mereka saling mengenal lebih dekat dan berbagi cerita tentang hidup masing-masing.
Pagi itu di sebuah kafe kecil di Jakarta, Alya duduk di meja sudut, memandangi secangkir kopi yang hampir dingin. Pikirannya melayang jauh, berkelana ke masalah pekerjaan yang menumpuk dan perasaan rindu yang semakin mengganggu. Terkadang, hidup terasa seperti sebuah kebetulan yang tak pernah diinginkan, sebuah alur yang begitu melawan kehendak dan harapan. Seperti saat ini, ketika ia terjebak dalam rutinitas sehari-hari yang mulai memenjarakan pikirannya.
Alya seorang desainer grafis yang telah cukup mapan dengan pekerjaannya. Ia tidak pernah mengira bahwa kehidupannya yang tenang dan stabil akan tiba-tiba berubah. Namun, entah mengapa, hari itu dia merasa ada sesuatu yang berbeda, seperti suatu tanda yang mengatakan bahwa hidupnya sedang menunggu sesuatu yang besar. Mungkin itu hanya perasaan biasa yang muncul karena kebosanan, pikirnya.
Tapi di luar kafe yang dihiasi tanaman hijau itu, suara langkah kaki yang tidak biasa mengalihkan perhatiannya. Ada seseorang yang berjalan melewati jendela besar kafe, seorang pria asing yang tidak ia kenal, namun ada sesuatu yang membuatnya tertarik. Pria itu tampak berbeda, dengan ransel besar yang menggantung di punggungnya, mengenakan jaket kulit yang sudah usang dan sepasang sepatu hitam yang tampak baru dipakai. Dalam sekejap, pandangan mereka bertemu.
Alya merasa ada sesuatu yang asing dalam tatapan itu, seolah dunia berhenti sejenak. Tatapan itu tidak terlalu lama, hanya beberapa detik, namun cukup membuat Alya terperangah. Rasa penasaran menggelayuti hatinya. Kenapa ia merasa seperti mengenal pria itu? Mungkin hanya perasaan aneh yang tidak bisa dijelaskan. Ia berusaha menepis pikiran itu dan kembali fokus pada pekerjaan yang ada di layar laptop.
Namun, beberapa menit kemudian, pintu kafe berbunyi dengan lembut, diikuti oleh langkah kaki yang mendekat. Alya mendongak, dan di depan mejanya berdiri pria yang tadi ia lihat dari luar. Ia sedikit terkejut, mengira pria itu hanya lewat begitu saja, namun kini dia berdiri tepat di hadapannya.
“Permisi, bisa duduk di sini?” Pria itu bertanya dengan nada ramah.
Alya menatapnya beberapa detik. Tidak tahu kenapa, dia merasa sedikit canggung. Namun, akhirnya ia mengangguk dan tersenyum, “Tentu saja. Silakan.”
Pria itu tersenyum balik, lalu duduk di kursi di sebelah meja Alya tanpa mengucapkan sepatah kata lagi. Hanya ada keheningan sejenak yang terasa agak aneh, meskipun keduanya tidak saling mengenal. Alya kembali menatap layar laptopnya, namun hatinya masih terasa gelisah. Apakah ini hanya kebetulan? Ataukah ada alasan lain mengapa pria itu memilih duduk di meja yang sama?
“Apakah tempat ini selalu ramai?” Pria itu bertanya lagi, mencoba memecah keheningan.
Alya mengerjapkan matanya. “Hmm, biasanya tidak sepadat ini sih, tapi mungkin karena jam makan siang,” jawabnya sambil tersenyum canggung.
“Ah, saya baru pindah ke Jakarta beberapa minggu lalu,” pria itu menjelaskan. “Saya sedang mencari tempat yang tenang untuk bekerja dan membaca. Sepertinya tempat ini cukup cocok.”
“Ada yang menarik dengan Jakarta?” Alya bertanya, mencoba melanjutkan percakapan. Biasanya, ia bukan tipe orang yang mudah membuka percakapan dengan orang asing. Namun, ada sesuatu dalam diri pria itu yang membuatnya merasa nyaman meskipun baru bertemu.
“Cukup ramai, tapi itu yang menarik. Saya rasa saya akan terbiasa,” jawab pria itu dengan sedikit senyum.
Alya mengangguk, merasa sedikit lebih nyaman. Ada sesuatu dalam cara pria itu berbicara yang mengingatkannya pada seseorang, namun ia tidak bisa mengingat siapa. Namun, rasa penasaran itu semakin mengusik pikirannya.
Setelah beberapa detik keheningan, pria itu melanjutkan, “Maaf, saya belum memperkenalkan diri. Nama saya Raka. Baru saja kembali dari luar negeri.”
Alya sedikit terkejut mendengar bahwa pria ini baru kembali dari luar negeri. “Oh, luar negeri? Pekerjaan?” tanyanya tanpa berpikir panjang.
Raka mengangguk. “Ya, saya bekerja di bidang insinyur. Beberapa tahun terakhir, saya banyak berpindah-pindah tempat. Tapi sekarang saya kembali untuk menetap di sini.”
“Alya,” jawabnya singkat, dengan sedikit gugup. Ia merasa sedikit aneh berbicara tentang dirinya sendiri pada orang asing, tetapi di sisi lain, ada kenyamanan yang tak terduga saat berbicara dengan Raka.
Setelah percakapan singkat itu, mereka mulai berbicara lebih santai. Alya merasa bahwa Raka adalah orang yang menyenangkan untuk diajak berbicara. Meskipun mereka baru saja bertemu, percakapan mereka terasa sangat alami. Mereka berbicara tentang banyak hal, mulai dari pekerjaan, kehidupan di luar negeri, hingga hal-hal sepele tentang Jakarta. Tidak ada yang terasa dipaksakan, semuanya mengalir begitu saja.
Saat percakapan mereka berlanjut, Alya merasakan sesuatu yang tidak biasa. Setiap kali Raka tertawa atau menyapa dengan hangat, hatinya seakan berdebar. Mungkin ini hanya karena perasaan canggung yang selalu muncul saat berbicara dengan orang baru, tapi entah mengapa, ia merasa ada ikatan yang mulai terjalin. Sesuatu yang menghubungkan mereka, meskipun ia tidak tahu apa itu.
Kafe itu semakin ramai dengan pelanggan lain yang datang, namun keduanya seolah berada dalam dunia mereka sendiri. Alya merasa waktu berlalu begitu cepat, dan seiring percakapan mereka yang semakin intens, ia semakin merasa dekat dengan Raka. Pria yang tadinya hanya seorang asing kini terasa begitu familiar.
Alya menatap jam tangan dan menyadari bahwa sudah hampir dua jam mereka mengobrol tanpa henti. Tentu saja, banyak hal yang ingin dibicarakan, namun ia merasa waktunya telah habis. Raka juga tampak siap untuk beranjak.
“Alya, saya rasa kita harus melanjutkan percakapan ini di lain waktu. Saya senang bisa berbicara denganmu,” kata Raka dengan senyum hangat.
Alya merasa sedikit kecewa mendengarnya. “Tentu. Ini menyenangkan,” jawabnya, meskipun ia merasa aneh dengan perasaan yang tiba-tiba muncul.
Raka meraih tasnya dan bersiap untuk pergi. Namun, sebelum beranjak, ia menambahkan, “Kalau kamu tidak keberatan, mungkin kita bisa bertemu lagi, di tempat ini, minggu depan. Saya senang bisa ngobrol denganmu lebih lama.”
Alya terdiam sejenak. Meskipun rasa ragu sempat muncul, ia akhirnya mengangguk, “Baiklah, mungkin kita bisa melanjutkan percakapan kita.”
Raka tersenyum penuh arti, sebelum meninggalkan kafe itu. Alya tetap duduk, merasa ada sesuatu yang mengganjal. Perasaan aneh itu kembali muncul, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa tertarik pada seseorang—seseorang yang bahkan baru saja ia temui.
Alya menatap keluar jendela, melihat langit yang mulai berubah warna. Ada senja yang perlahan datang, dan ia merasa seperti terjebak dalam momen yang penuh tanda tanya. Bagaimana mungkin pertemuan yang tak terduga ini bisa membuatnya merasa seolah dunia berputar dalam arah yang berbeda? Mungkin inilah awal dari sesuatu yang lebih besar, pikirnya. Mungkin ini adalah senja yang akan membuka jalan bagi cerita baru dalam hidupnya.
Alya duduk di meja sudut kafe, memandangi layar laptop yang menampilkan desain yang belum selesai. Suasana pagi di Jakarta, yang biasanya cukup sibuk, terasa lebih tenang hari itu. Kafe ini, meski tidak terlalu besar, selalu menjadi tempat yang nyaman untuk bekerja atau sekadar mencari ketenangan sejenak dari keramaian kota. Langit Jakarta yang mendung semakin membuatnya betah duduk di sana, meminum kopi, dan mencoba menyelesaikan pekerjaannya.
Tapi kali ini, ia merasa ada yang kurang. Semua terasa seperti rutinitas yang tak berujung. Pekerjaan yang terus menumpuk, rasa rindu yang terus membayangi, dan ketegangan dalam pikirannya yang seakan tak ada habisnya. Ia sering merasa seperti terjebak dalam sebuah lingkaran yang tak pernah berakhir.
Pikiran itu kembali mengganggu: apa sebenarnya yang sedang ia cari? Kenapa ia merasa seperti ada yang hilang, meskipun segala sesuatu berjalan dengan baik? Mungkin itu hanya efek dari terlalu banyak waktu yang dihabiskan sendiri, di tengah dunia yang sibuk dan berputar cepat. Sesekali, Alya menoleh ke luar jendela, melihat hiruk-pikuk Jakarta yang terus bergerak, sementara dirinya seakan terhenti di tempat.
Beberapa detik setelah itu, suara langkah kaki yang ringan membuatnya menoleh. Sebuah bayangan bergerak cepat melewati jendela besar kafe. Alya terkejut, matanya seolah terpaku pada sosok yang baru saja lewat—seorang pria muda yang tampaknya sedang terburu-buru. Pakaian kasualnya yang sederhana dengan jaket kulit yang sedikit lusuh dan ransel yang terpasang di bahu membuatnya tampak seperti sosok yang biasa-biasa saja. Namun, entah kenapa, Alya merasa ada sesuatu yang menarik dari pria itu. Mungkin hanya karena tatapan mereka yang saling bertemu sejenak, atau mungkin ada sesuatu yang lebih.
Dia tidak tahu kenapa, tapi hatinya sedikit berdebar. Seperti ada yang tidak biasa dari pertemuan singkat itu. “Ah, mungkin hanya perasaan biasa,” pikirnya, lalu kembali fokus pada pekerjaan.
Namun, beberapa detik kemudian, pintu kafe terbuka, dan pria itu masuk dengan langkah yang tenang. Ia melangkah ke arah meja yang hampir kosong di sudut ruangan. Tatapan mereka kembali bertemu, kali ini lebih lama. Pria itu tersenyum kecil, sedikit ragu, lalu bertanya, “Apakah tempat ini sedang ramai, ya?”
Alya sedikit terkejut dengan pertanyaan yang tiba-tiba, namun ia cepat menyusun kata-kata. “Tidak, sih. Cuma beberapa orang,” jawabnya sambil tersenyum canggung. “Kenapa? Anda mencari tempat yang lebih tenang?”
Pria itu mengangguk, lalu melangkah menuju meja yang kosong di dekat meja Alya. “Mungkin saja. Saya baru beberapa hari di Jakarta,” katanya, lalu duduk. “Nama saya Raka,” tambahnya sambil melirik Alya.
Alya terdiam sejenak. “Raka…” nama itu terasa asing, tapi sepertinya ia pernah mendengar nama itu di suatu tempat. Entah di media sosial atau mungkin di berita, tapi ia merasa tidak ada alasan untuk bertanya lebih lanjut. Namun, perasaan aneh itu muncul lagi. Sesuatu tentang pria ini membuat Alya merasa nyaman meskipun mereka baru saja bertemu.
“Alya,” jawabnya akhirnya, dengan sedikit gugup. “Saya bekerja sebagai desainer grafis di sini,” sambungnya, mengalihkan perhatian dari rasa canggung yang ia rasakan.
“Desainer grafis? Wah, itu menarik. Jadi, kamu banyak bekerja di depan komputer, ya?” Raka bertanya, matanya sedikit berbinar, seolah tertarik dengan pekerjaan Alya.
Alya tersenyum, merasa sedikit lebih rileks. “Iya, kebanyakan sih. Pekerjaan saya lebih banyak menghabiskan waktu di rumah atau di kafe seperti ini. Bikin desain buat klien, kadang bikin logo atau ilustrasi.”
“Sounds like fun,” Raka menjawab sambil membuka tasnya dan mengeluarkan buku catatan. “Saya biasanya juga kerja dengan banyak data. Di luar negeri dulu saya kerja di bidang insinyur, tapi sekarang kembali ke Jakarta untuk menetap,” katanya, seraya mencatat sesuatu di buku catatannya.
Alya menatapnya dengan penasaran. “Di luar negeri? Cukup jauh juga, ya.” Ia sedikit terkejut mendengar bahwa Raka baru saja kembali setelah sekian lama.
Raka mengangguk pelan. “Iya, sudah beberapa tahun terakhir saya bekerja di sana. Tapi rasanya, Jakarta memberikan tantangan yang berbeda. Banyak hal baru yang harus saya pelajari di sini,” jawabnya.
Alya tertarik dengan apa yang dikatakan Raka, meskipun mereka baru saja bertemu. Ada sesuatu yang menarik dari pria ini—dari caranya berbicara, dari cara dia melihat dunia seakan-akan segala sesuatu punya ruang dan waktu untuk dipelajari. Raka bukan hanya sekadar seorang pria biasa yang baru pindah ke kota ini. Ada semacam kedalaman dalam dirinya yang membuat Alya merasa ingin tahu lebih banyak.
Percakapan mereka mengalir begitu saja. Dari membicarakan pekerjaan, keinginan Raka untuk menemukan tempat yang tepat di Jakarta, hingga topik ringan seperti hobi dan film favorit. Meskipun Alya tidak terbiasa berbicara panjang lebar dengan orang yang baru dikenalnya, ia merasa nyaman. Seiring berjalannya waktu, keheningan yang sempat menghinggapi mereka mulai menghilang.
Setelah beberapa saat, Raka tersenyum, lalu berkata, “Saya belum lama tinggal di Jakarta, dan sepertinya ini pertama kalinya saya berada di sini, di kafe ini. Tapi, sepertinya tempat ini cukup menyenangkan.”
Alya mengangguk, sedikit malu karena merasa kafe ini begitu biasa bagi dirinya, namun menganggapnya spesial karena tempat ini menjadi tempat ia menghabiskan waktu untuk mencari inspirasi. “Iya, saya suka di sini karena suasananya tenang,” jawabnya.
Perbincangan mereka semakin lama semakin hangat. Alya merasa suasana kafe semakin nyaman, dan seiring berjalannya waktu, Raka mulai menceritakan lebih banyak hal tentang kehidupannya di luar negeri. Meskipun banyak hal yang masih belum ia ceritakan, Alya merasa seperti menemukan teman yang bisa diajak bicara dengan nyaman.
Saat percakapan mereka mulai berlanjut lebih dalam, Alya tanpa sadar mulai merasa ada ikatan yang terjalin di antara mereka. Sebuah hubungan yang tidak tampak dari luar, tapi terasa begitu jelas di dalam hati. Ia bahkan mulai merasa sedikit cemas ketika Raka mengatakan bahwa ia harus pergi.
“Mungkin kita bisa bertemu lagi lain waktu,” kata Raka, seakan merasakan bahwa percakapan mereka baru saja dimulai dan tidak ingin berakhir begitu saja.
Alya terdiam beberapa saat, memikirkan kata-kata itu. Ia merasa ragu, namun di sisi lain, ia merasakan ada rasa penasaran yang tak tertahankan. “Mungkin kita bisa melanjutkan percakapan ini nanti, di tempat ini?” Alya menjawab, sedikit gugup.
Raka tersenyum, senyum yang menghangatkan hati. “Itu bisa jadi ide bagus,” ujarnya. “Senang bisa berbicara denganmu, Alya. Sampai bertemu lagi.”
Alya hanya mengangguk dan memberikan senyum kecil, menyaksikan Raka pergi dengan langkah santai. Perasaannya begitu campur aduk. Ada semacam kebingungan di hatinya, namun juga rasa senang yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata.
“Ini hanya pertemuan biasa,” pikir Alya, “Tapi kenapa rasanya berbeda?”
Saat ia melihat Raka berjalan keluar kafe, pandangannya teralih ke luar jendela. Senja mulai muncul, memberikan cahaya yang lembut pada langit Jakarta yang mendung. Alya tersenyum tipis. Mungkin, justru pertemuan yang tak terduga ini adalah awal dari sesuatu yang baru. Sesuatu yang tidak bisa ia prediksi, tapi rasanya begitu dekat dengan hatinya.*
Bab 2: Jarak yang Memisahkan
Setelah beberapa bulan menjalin hubungan jarak jauh, Raka akhirnya harus kembali ke luar negeri untuk pekerjaan. Mereka merasa kesulitan beradaptasi dengan jarak yang semakin memisahkan mereka. Meskipun teknologi memungkinkan mereka untuk terus berkomunikasi, ada banyak kesulitan yang harus mereka hadapi, seperti perbedaan zona waktu, jadwal yang sibuk, dan perasaan rindu yang semakin dalam.
Setelah pertemuan tak terduga di kafe itu, waktu seakan bergerak dengan cara yang aneh bagi Alya. Meskipun mereka hanya berbicara dalam waktu yang singkat, percakapan dengan Raka meninggalkan kesan yang mendalam. Setiap kali Alya mengenang pertemuan itu, ada perasaan hangat yang muncul di dadanya. Bahkan, ia mulai menyadari bahwa hidupnya yang biasa-biasa saja seakan tiba-tiba memiliki arah yang lebih jelas arah yang berhubungan dengan seorang pria yang baru saja ia kenal.
Setelah Raka pergi, mereka bersepakat untuk bertemu lagi di kafe yang sama minggu depan. Tapi, meskipun sudah ada janji itu, Alya merasa ada sedikit kekhawatiran yang mengganjal. “Apakah pertemuan ini hanya kebetulan semata?” pikirnya. “Atau apakah ada sesuatu yang lebih dari sekadar obrolan ringan di kafe?”
Kekhawatiran itu semakin menguat ketika minggu berikutnya datang, dan Raka tidak muncul di kafe seperti yang dijanjikan. Alya datang tepat waktu, berharap bisa melanjutkan percakapan mereka, namun waktu berlalu, dan Raka tak juga muncul. Ponselnya pun tetap diam. Tidak ada pesan, tidak ada telepon. Alya merasakan kegelisahan yang semakin besar. Sesekali ia menatap ponselnya, berharap akan ada pesan dari Raka yang menjelaskan alasan ketidakhadirannya.
Hari-hari berlalu, dan meskipun kesibukan pekerjaan menyibukkan Alya, perasaan itu tak bisa ia hindari. Apa yang sedang terjadi? Ia bertanya-tanya dalam hati, mencoba untuk mengabaikan rasa kecewa yang mulai menggerogoti. Apa sebenarnya yang Raka pikirkan? Apakah ia menganggap hubungan ini tidak berarti apa-apa?
Pikiran-pikiran itu mengganggu pikirannya selama beberapa hari. Kemudian, pada suatu pagi yang cerah, ponselnya berbunyi. Ada pesan dari Raka.
“Alya, maaf aku baru bisa menghubungi kamu. Beberapa hari terakhir ini aku sangat sibuk dengan pekerjaan dan sedikit kewalahan. Aku benar-benar ingin bertemu lagi. Mungkin kita bisa bertemu akhir pekan ini?”
Alya menatap pesan itu, merasa campur aduk. Sebuah rasa lega melingkupi dirinya, namun di sisi lain, ada juga rasa bingung. Kenapa dia baru menghubungiku sekarang? Pikirnya. Meskipun ada keraguan yang mengganggu, Alya memutuskan untuk membalas pesan itu dengan jawaban positif.
“Tidak masalah, Raka. Aku mengerti. Aku juga sibuk. Akhir pekan ini terdengar bagus. Sampai bertemu!”
Setelah membalas pesan itu, Alya merasa sedikit lebih tenang, meskipun ketidakpastian masih menghantui pikirannya. Ia ingin sekali bertemu dengan Raka, tapi di sisi lain, rasa ragu itu tidak bisa ia buang begitu saja. Hubungan mereka baru saja dimulai, dan meskipun percakapan mereka menyenangkan, ia tidak tahu apa yang sebenarnya ada dalam hati Raka.
Hari itu pun berlalu, dan mereka kembali bertemu di kafe yang sama, tempat yang kini terasa semakin penting bagi Alya. Ketika Raka datang, ada ekspresi penyesalan di wajahnya. “Maaf banget, aku nggak bisa hadir minggu lalu,” katanya dengan suara pelan. “Ada beberapa hal yang benar-benar aku harus selesaikan dan itu membuatku nggak bisa fokus pada hal lain.”
Alya tersenyum tipis, merasakan kelegaan karena akhirnya pertemuan ini bisa terjadi. “Aku mengerti. Kita semua pasti sibuk.” Namun, meskipun ia berkata seperti itu, ada sedikit ketegangan di dalam dirinya. Terkadang, perasaan ragu itu datang kembali—apakah Raka benar-benar serius dengan hubungan ini, atau hanya sekadar ingin mengisi waktu luangnya?
Mereka berbincang seperti biasanya, tetapi ada sesuatu yang berubah. Percakapan mereka kali ini terasa agak terhambat, dan Alya bisa merasakan bahwa Raka juga tampak berbeda. Ada jarak yang tidak hanya disebabkan oleh fisik, tetapi juga oleh kata-kata yang tidak diucapkan. Alya merasa cemas, tetapi ia berusaha untuk tetap tenang.
Beberapa minggu kemudian, setelah beberapa pertemuan singkat di kafe yang sama, hubungan mereka berdua mulai memasuki fase yang agak sulit. Raka masih sibuk dengan pekerjaan dan sering kali terlibat dalam perjalanan bisnis yang membuatnya harus berada di luar kota. Alya mulai merasa ada jarak yang semakin lebar antara mereka, meskipun mereka berusaha untuk tetap menjaga komunikasi melalui pesan teks atau panggilan telepon.
Namun, meskipun mereka mencoba berbicara melalui layar ponsel, rasanya jauh lebih sulit untuk merasa dekat. “Aku merasa seperti kita mulai terpisah oleh jarak yang lebih jauh,” Alya pernah mengungkapkan pada Raka dalam sebuah pesan panjang.
Raka membalas dengan cepat, “Aku merasa hal yang sama, Alya. Tapi, kamu tahu kan, aku sedang berusaha menyesuaikan diri dengan segala perubahan ini. Aku ingin tetap berkomunikasi, tetapi terkadang aku benar-benar kelelahan setelah perjalanan panjang.”
Meskipun Raka menjelaskan situasinya, Alya merasa kesepian. Ia mulai merasakan betapa beratnya hubungan yang terpisah oleh jarak fisik. Seperti sebuah garis yang memisahkan mereka, meskipun mereka berdua saling berusaha mempertahankan hubungan ini.
Suatu malam yang hujan, ketika Alya sedang duduk di sofa rumahnya, ia mendapat pesan singkat dari Raka yang membuatnya berpikir lebih dalam tentang hubungan ini.
“Alya, aku rasa aku butuh waktu untuk berpikir tentang segala sesuatu. Aku merasa kita semakin terpisah, dan aku nggak ingin membuatmu merasa kecewa.”
Alya terdiam beberapa saat, membaca pesan itu berulang kali. Apa maksudnya? Ia bertanya-tanya, merasa cemas dengan kata-kata Raka yang agak ambigu. Namun, meskipun ada kekhawatiran yang datang, Alya memilih untuk tidak langsung merespons. Ia butuh waktu untuk merenung dan memikirkan bagaimana perasaan sebenarnya.
Hari berikutnya, mereka mengobrol melalui telepon, dan kali ini percakapan mereka lebih serius. Raka menjelaskan bahwa pekerjaannya yang semakin menuntut telah membuatnya merasa tertekan dan jauh dari kehidupannya yang dulu. “Aku tidak tahu apakah aku bisa memberikan waktu yang cukup untuk hubungan kita, Alya,” ujarnya dengan suara berat. “Aku tidak ingin membuatmu merasa seolah-olah aku mengabaikanmu, tapi aku benar-benar butuh waktu.”
Alya merasakan perasaan yang begitu campur aduk. Ada rasa sakit yang datang bersama kata-kata Raka, tetapi di sisi lain, ia tahu bahwa pekerjaan Raka benar-benar menguras tenaga dan pikirannya. “Aku mengerti,” kata Alya pelan, meskipun hatinya terasa berat. “Aku juga merasa jarak ini semakin membuat kita terpisah. Tapi aku ingin kamu tahu bahwa aku tidak akan pergi kemana-mana. Aku tetap akan ada untukmu, Raka.”
Raka diam sejenak, lalu menjawab dengan suara lembut, “Terima kasih, Alya. Aku benar-benar menghargai itu.”
Percakapan itu mengakhiri malam mereka, dan Alya merasa hatinya semakin terbuka. Meskipun hubungan mereka terpisah oleh jarak dan waktu, ada rasa saling pengertian yang tumbuh. “Aku tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan,” pikir Alya, “Tapi aku tahu, aku ingin mencoba mempertahankan ini.”
Alya duduk di meja kerjanya yang rapi. Layar laptop di depannya hanya menampilkan desain kosong yang menunggu sentuhan kreativitas. Tetapi, hari itu, pikirannya tidak dapat sepenuhnya fokus pada pekerjaan. Pikiran itu selalu kembali kepada Raka, pertemuan mereka yang tak terduga beberapa minggu lalu, dan kata-kata yang ditulisnya di layar ponsel: “Aku ingin tetap berkomunikasi, tetapi terkadang aku benar-benar kelelahan setelah perjalanan panjang.”
Alya sering merenung tentang pesan itu. Bagaimana rasanya, sebenarnya, ketika jarak memisahkan hubungan yang baru dimulai? Ia merasa terombang-ambing antara perasaan rindu yang mendalam dan keraguan yang mulai muncul. Terkadang ia merasa seperti hanya menjadi bagian kecil dari hidup Raka, sesuatu yang terpinggirkan oleh pekerjaan dan kewajiban yang tak kunjung berakhir.
Setiap percakapan mereka terasa semakin jarang, dan meskipun mereka berusaha menjaga komunikasi melalui pesan teks, panggilan telepon, dan obrolan singkat, ada sesuatu yang terasa berubah. Rasa dekat yang mereka miliki selama pertemuan pertama itu kini terasa semakin pudar. Alya mulai merasakan bagaimana beratnya menjalani hubungan jarak jauh, terlebih saat ia merasa bahwa Raka tidak sepenuhnya hadir dalam percakapan mereka.
Pada suatu pagi yang cerah, ponsel Alya berbunyi. Sebuah pesan baru dari Raka.
“Alya, aku minta maaf. Aku tahu aku sudah lama tidak menghubungimu. Beberapa hari terakhir ini benar-benar sibuk, banyak proyek yang harus aku kerjakan. Aku harap kamu tidak marah.”
Alya menatap pesan itu lama. Sejujurnya, ia merasa kecewa, tetapi tidak ingin menunjukkan itu pada Raka. Apakah ini hanya alasan? pertanyaan itu menggelayuti pikirannya. Namun, setelah beberapa detik, ia memutuskan untuk membalas.
“Tidak masalah, Raka. Aku mengerti kok. Aku juga banyak pekerjaan belakangan ini. Semoga kamu bisa menyelesaikan semuanya dengan baik.”
Mereka saling membalas pesan singkat, mencoba untuk menghidupkan percakapan yang sudah mulai kehilangan momentum. Setelah beberapa kali membalas pesan, Raka akhirnya mengajaknya untuk bertemu akhir pekan itu di kafe yang mereka kunjungi pertama kali. Alya merasa lega, tetapi sekaligus cemas. Ia tidak tahu mengapa, tetapi ada semacam ketakutan dalam dirinya. Apakah mereka masih bisa terhubung seperti dulu? Apakah pertemuan ini hanya sebuah rutinitas yang akan semakin menjauhkan mereka?
Hari pertemuan itu akhirnya datang.
Alya tiba lebih awal di kafe, seperti biasanya. Kali ini, ia memilih meja yang terletak sedikit lebih jauh dari jendela, dengan harapan bisa mendapatkan sedikit ketenangan. Meski Jakarta tidak pernah benar-benar sepi, kafe ini selalu memberinya rasa damai yang ia butuhkan untuk mengatur pikirannya. Tetapi hari ini, ketenangan itu tidak sepenuhnya mengisi hatinya.
Setelah beberapa saat menunggu, pintu kafe terbuka dan Raka masuk. Senyumnya yang biasa muncul di wajahnya saat pertama kali melihatnya, namun ada sesuatu yang berbeda. Seperti ada kecemasan yang tidak bisa disembunyikan, meskipun ia berusaha terlihat santai. Ia berjalan menuju meja yang sudah disiapkan Alya, dan mereka saling memberi senyum.
“Maaf kalau aku terlambat,” katanya dengan nada agak menyesal.
Alya hanya mengangguk dan berkata, “Tidak masalah. Aku baru saja tiba.”
Mereka duduk dan menghabiskan beberapa saat untuk saling memandang. Kedua belah pihak tampaknya merasa canggung, seakan-akan pertemuan ini adalah yang pertama setelah sekian lama. Alya merasa seperti ada sesuatu yang tak terucapkan di antara mereka, dan ia bisa merasakannya dalam setiap kalimat yang diucapkan Raka.
Percakapan mereka dimulai dengan topik ringan—tentang cuaca, tentang pekerjaan masing-masing, dan hal-hal kecil yang mereka lakukan sehari-hari. Namun, Alya bisa merasakan betapa setiap kalimat terasa seperti upaya untuk mengisi kekosongan yang ada di antara mereka.
“Raka, apakah menurutmu kita bisa terus seperti ini?” tanya Alya akhirnya, dengan suara pelan, hampir berbisik. Ia merasa kata-katanya tiba-tiba muncul begitu saja, tanpa bisa ditahan lagi. Apakah jarak ini akan membuat kita semakin jauh?
Raka terdiam sejenak, wajahnya yang biasanya cerah kini terlihat sedikit ragu. “Aku tidak tahu, Alya,” jawabnya pelan. “Sejujurnya, aku merasa hubungan kita ini seperti… terhambat oleh banyak hal. Banyaknya perjalanan, pekerjaan, dan aku merasa seperti jarak ini semakin membuat kita terpisah.”
Alya merasakan perasaan cemas itu muncul lagi. Apakah dia merasa lelah dengan hubungan ini? Pikirannya mulai berputar, dan ia merasa seolah ada dinding yang terbentuk antara mereka. “Tapi, bukankah kita sudah sepakat untuk mencoba menjaga hubungan ini?” tanyanya, mencoba mempertahankan harapan yang masih ada.
Raka menghela napas panjang. “Aku ingin mencoba, Alya. Aku benar-benar ingin mencoba. Tapi aku tidak bisa menjanjikan banyak hal.” Matanya menatap lurus ke mata Alya, namun ada kejujuran yang tersirat dalam kata-katanya. Aku sedang berjuang dengan banyak hal, seakan Raka ingin berkata begitu, tetapi ia tidak mampu mengungkapkannya dengan jelas.
Alya terdiam, merasakan kata-kata itu menusuk hatinya. Ia tahu bahwa Raka sedang berjuang dengan pekerjaannya, dengan kehidupannya yang sibuk, tetapi ia juga merasa seperti ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar alasan pekerjaan. Apakah Raka benar-benar merasa hal yang sama? Atau akulah yang terlalu berharap lebih?
“Raka,” Alya mulai, suaranya sedikit gemetar, “Aku tahu kita jarang bertemu, dan aku mengerti kalau pekerjaanmu sangat penting. Tapi aku merasa seperti… kita sedang berada di jalur yang berbeda.” Ia menunduk, merasa kesulitan untuk melanjutkan kalimatnya.
Raka menghela napas lagi, lalu meraih tangan Alya. “Aku juga merasa itu, Alya. Aku benar-benar ingin bisa memberikan waktu yang lebih banyak untuk kita, untuk kamu. Tapi, terkadang aku merasa seperti tidak punya cukup waktu. Mungkin, kita bisa memikirkan cara lain untuk menjaga hubungan ini. Mungkin kita bisa lebih sering berbicara, meski hanya lewat telepon.”
Alya menatap tangan Raka yang memegang tangannya, merasakan kehangatan yang begitu nyata. Ia masih peduli, pikirnya. Namun, meskipun Raka berusaha untuk tetap positif, Alya tidak bisa menutupi perasaan yang semakin menggerogoti dirinya. Jarak ini begitu nyata. Tidak hanya secara fisik, tetapi juga secara emosional.
Beberapa hari setelah pertemuan itu, jarak antara mereka semakin terasa. Raka kembali terjebak dalam rutinitas pekerjaannya yang tidak ada habisnya, dan Alya merasa semakin terasing. Setiap kali mereka berbicara lewat pesan atau telepon, percakapan itu terasa semakin dingin. Ada rasa seperti kebiasaan yang terjalin, tetapi tidak ada lagi kedalaman yang sama seperti sebelumnya.
“Apa yang terjadi dengan kita?” Alya sering bertanya pada dirinya sendiri. Ia merasa tidak bisa mengubah kenyataan bahwa Raka semakin sibuk, sementara ia juga merasa semakin kesepian. Mereka masih saling mengirim pesan, tetapi rasanya sudah tidak ada kehangatan di dalamnya.
Pada suatu malam yang penuh dengan hujan, Alya duduk di depan layar ponselnya, membaca pesan yang dikirimkan Raka. Meskipun ia sudah berusaha untuk memahami situasinya, hatinya tetap merasa berat. Jarak ini bukan hanya soal waktu dan tempat. Jarak ini ada dalam perasaan kita, pikirnya, merasakan betapa hubungan ini semakin terancam.
Ia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Apakah hubungan ini akan bertahan, atau justru semakin terpisah oleh waktu dan jarak yang tak pernah bisa dijembatani? Hanya waktu yang akan menjawabnya, pikirnya, namun ia tahu bahwa setiap detik yang berlalu semakin membuat mereka terpisah lebih jauh.*
Bab 3: Cinta yang Teruji
Keduanya menghadapi ujian yang lebih berat. Alya merasa cemas dan mulai meragukan apakah hubungan jarak jauh ini bisa bertahan. Raka juga merasa tertekan dengan beban pekerjaannya dan merasa sulit untuk memberi perhatian penuh pada Alya. Keduanya sering bertengkar karena perbedaan persepsi dan ketidakpahaman akan perasaan masing-masing. Namun, mereka terus berusaha untuk tetap berkomunikasi dan saling memberi dukungan.
Waktu bergerak begitu cepat, dan semakin lama, Alya semakin merasa bahwa dia mulai kehilangan pijakannya dalam hubungan ini. Perasaan cemas dan ragu mulai menguasai dirinya. Setiap kali Raka menghubunginya melalui pesan atau telepon, meskipun dia tahu itu menunjukkan bahwa Raka masih peduli, Alya merasa ada sebuah jarak yang semakin lebar antara mereka. Apakah ini yang dimaksud dengan cinta yang teruji?
Selama beberapa bulan terakhir, hubungan mereka sudah benar-benar diuji. Waktu dan jarak telah menjadi musuh utama yang membatasi kebersamaan mereka. Di awal hubungan, segala sesuatu terasa begitu mudah dan menyenangkan. Mereka berbicara setiap hari, bertemu di kafe favorit mereka, berbagi cerita, dan merencanakan masa depan bersama. Namun, semua itu berubah ketika pekerjaan Raka mulai semakin menyita waktunya, dan perjalanan bisnis yang hampir tidak ada habisnya membuatnya terjebak dalam kesibukan yang tak terhindarkan.
Alya berusaha untuk memahami dan mendukung Raka, tetapi kadang, hatinya merasa hampa. Setiap kali Raka mengatakan bahwa dia sangat sibuk dan membutuhkan waktu untuk dirinya sendiri, Alya merasa semakin terpinggirkan. Apakah dia masih menjadi prioritas dalam hidup Raka? Ataukah pekerjaan dan kesibukannya telah menggeser segala hal yang pernah mereka bangun bersama?
Alya memejamkan matanya sejenak, mencoba mengusir perasaan tidak pasti yang semakin menghantuinya. Mungkin aku terlalu berharap, pikirnya. Mungkin aku tidak bisa terus-menerus menuntut perhatian darinya. Tetapi, di sisi lain, ia juga merasa sangat kesepian. Tidak ada lagi percakapan panjang tentang hal-hal sepele seperti dulu. Tidak ada lagi tawa yang mengisi malam-malam mereka. Hanya ada pesan singkat yang hampir selalu diakhiri dengan permintaan maaf karena kesibukan yang tak pernah berhenti.
Hari itu, Raka menghubunginya lewat telepon. Alya menunggu beberapa detik sebelum mengangkat, merasa sedikit cemas meskipun dia tahu Raka tidak pernah berniat menyakiti hatinya. Tetapi, rasa cemas itu tetap ada, seperti sebuah bayangan gelap yang terus mengintai.
“Hai,” suara Raka terdengar dari ujung telepon, sedikit terengah-engah. “Alya, maaf kalau aku baru bisa menelepon sekarang. Aku baru saja selesai meeting yang panjang banget.”
Alya tersenyum meskipun hatinya terasa berat. “Tidak apa-apa, Raka. Aku paham kok. Kamu pasti lelah.”
“Tapi aku merasa bersalah,” Raka melanjutkan. “Aku tahu kita sudah jarang sekali berbicara belakangan ini. Aku tidak ingin hubungan ini jadi renggang hanya karena kesibukanku.”
Alya terdiam sejenak, meresapi kata-kata itu. “Aku hanya merasa… kita semakin terpisah,” akhirnya dia berkata dengan suara pelan. “Aku tahu kamu sibuk, aku tahu kamu berusaha untuk menyeimbangkan semuanya, tapi aku merasa seperti kita semakin jauh.”
Raka terdiam di seberang sana, dan Alya bisa merasakan kekosongan dalam jawaban yang tertunda itu. “Aku tahu, Alya. Aku benar-benar ingin berada di sana untuk kamu. Tapi aku merasa terjebak dengan apa yang ada di sekitarku. Aku berusaha keras, tapi kadang-kadang aku merasa… bingung.”
Alya mendengus pelan. Bingung? Apa yang bingung? Apakah perasaan ini hanya aku yang merasakannya?
“Tapi aku tidak ingin kamu merasa seperti itu,” lanjut Raka, suaranya kini lebih lembut. “Aku berjanji aku akan berusaha lebih keras. Mungkin kita bisa merencanakan waktu untuk bertemu lagi, tanpa ada gangguan.”
Alya merasa ada kehangatan dalam kata-kata Raka, namun pada saat yang sama, rasa kecewa itu kembali hadir. Berusaha lebih keras, tapi bagaimana kalau kesibukanmu terus-menerus menghalangi kita untuk bersama?
Beberapa minggu kemudian, meskipun mereka berusaha berbicara lebih sering, Alya merasa semakin terisolasi. Raka masih melakukan perjalanan bisnis yang hampir setiap minggu membawanya keluar kota. Mereka mulai jarang bertemu, dan ketika akhirnya ada kesempatan untuk bertemu, perasaan canggung muncul di antara mereka. Mereka mencoba untuk saling berbicara dan berbagi cerita, tetapi percakapan mereka tidak lagi sesantai dulu. Tidak ada lagi tawa yang mengisi setiap percakapan mereka. Yang ada hanyalah kata-kata kosong yang mencoba mengisi kekosongan hati masing-masing.
Alya merasa terjebak dalam lingkaran ketidakpastian. Dia merasa seperti tidak tahu lagi apa yang sebenarnya ia inginkan. Apakah aku ingin terus berjuang untuk ini, atau sebaiknya aku melepaskannya dan mengakhiri semua rasa sakit ini?
Di saat seperti itulah, dia menerima pesan dari Raka yang membuatnya merasa semakin bingung.
“Alya, aku rasa kita perlu bicara tentang hubungan ini. Aku merasa semakin banyak hal yang tidak bisa kita kontrol. Aku tidak ingin ada yang terluka, dan aku rasa aku harus jujur tentang perasaanku. Aku tidak ingin kamu merasa terabaikan.”
Membaca pesan itu, Alya merasa hatinya terluka. Apakah ini akhir dari semuanya? Dia bertanya-tanya, mencoba memahami apa maksud dari pesan tersebut. Apakah Raka merasa bahwa hubungan mereka tidak lagi berjalan dengan baik? Apakah dia akan melepaskan Alya karena merasa tidak bisa memenuhi ekspektasi dalam hubungan ini?
Dengan tangan yang gemetar, Alya membalas pesan itu. “Raka, aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan kita. Aku merasa kita sudah semakin jauh. Aku ingin berjuang, tapi aku juga merasa lelah.”
Pesan itu mengirimkan gelombang emosi yang campur aduk dalam diri Alya. Dia berharap Raka bisa memberikan jawaban yang pasti, namun yang dia dapatkan justru kebingungannya semakin bertambah.
Malam itu, mereka akhirnya berbicara melalui telepon lagi. Raka terdengar lebih tenang kali ini, meskipun Alya bisa mendengar sedikit keraguan dalam suaranya.
“Alya, aku tidak bisa mengabaikan perasaan kita. Aku tidak ingin hubungan ini berakhir begitu saja tanpa kita mencoba lebih keras,” kata Raka dengan suara yang lebih dalam dan serius dari biasanya. “Tapi aku juga tahu bahwa jika kita terus seperti ini, kita akan saling menyakiti.”
Alya menelan ludah, merasa ada perasaan yang menghangat di dadanya. “Aku juga tidak ingin hubungan ini berakhir,” jawabnya pelan. “Tapi aku juga tahu bahwa kita tidak bisa terus begini selamanya. Kita harus mencari cara untuk mempertahankan ini, atau kita harus membuat keputusan yang sulit.”
Raka terdiam. Hening sesaat meliputi percakapan mereka. Suasana itu semakin terasa berat, seolah-olah setiap kata yang keluar hanya semakin menambah ketegangan di antara mereka. Apakah ini akhirnya? Alya bertanya dalam hati, namun dia tidak bisa mengungkapkan rasa takutnya itu.
“Alya,” suara Raka terdengar lebih lembut setelah beberapa saat. “Aku tahu aku telah banyak mengabaikanmu. Tapi, aku ingin kamu tahu, bahwa meskipun jarak dan waktu memisahkan kita, perasaan ini masih tetap ada. Aku ingin berjuang, meskipun aku tahu itu tidak akan mudah.”
“Raka…” Alya berkata dengan suara pelan. “Aku juga ingin berjuang. Aku ingin mencoba. Tapi aku juga tidak tahu apakah kita masih punya waktu untuk itu.”
Waktu berlalu, dan meskipun mereka berdua berusaha keras untuk menjaga komunikasi, hubungan mereka tetap teruji dengan semakin banyaknya tantangan. Cinta mereka diuji oleh jarak, oleh pekerjaan, oleh kelelahan yang semakin menggerogoti semangat mereka untuk tetap berjuang. Namun, di antara segala ketidakpastian itu, ada satu hal yang tetap jelas mereka tidak ingin menyerah begitu saja. Cinta ini layak untuk dipertahankan, meskipun penuh dengan cobaan.
Alya dan Raka tahu bahwa mereka masih memiliki banyak hal yang harus diperjuangkan. Tetapi apakah cinta mereka akan cukup kuat untuk bertahan? Hanya waktu yang bisa menjawabnya.
Setiap kali Raka menghubungi Alya, ada perasaan campur aduk yang menguasai dirinya. Ia ingin merasa senang mendengar suara Raka, namun semakin sering mereka berbicara, semakin ia merasa seperti ada sesuatu yang hilang dari dalam diri mereka. Mungkin itu adalah kehadiran, atau sentuhan—sesuatu yang tak bisa digantikan dengan kata-kata di telepon.
Alya memandangi ponselnya, menunggu pesan yang mungkin datang dari Raka. Tetapi ketika pesan itu akhirnya tiba, hatinya terasa lebih berat dari biasanya. “Alya, aku minta maaf jika aku membuatmu merasa terlupakan. Aku hanya merasa sangat sibuk belakangan ini, dan aku tahu aku tidak ada untukmu.”
Dia membaca pesan itu beberapa kali. Rasa kecewa menyelinap dalam pikirannya. Bagaimana jika itu benar? Bagaimana jika memang Raka tidak lagi memiliki waktu untuknya? Ketika mereka pertama kali bertemu, setiap percakapan mereka terasa begitu hidup. Tidak ada yang lebih menyenangkan selain mendengar suara Raka setelah hari yang panjang. Namun kini, setiap kali mereka berbicara, ada rasa sepi yang tak terhindarkan. Tidak ada lagi tawa ringan seperti dulu. Tidak ada lagi obrolan tentang mimpi dan harapan yang pernah mereka bagi.
Namun, Alya tahu, ini bukan hanya salah Raka. Dia juga merasa jarak antara mereka semakin jauh, bukan hanya secara fisik, tetapi juga emosional. Dia tahu Raka berusaha, tetapi terkadang usaha itu tidak cukup. Apakah dia terlalu banyak berharap? Sejauh mana keduanya bisa bertahan jika setiap langkah yang mereka ambil terasa semakin menjauh?
Pertemuan yang Terabaikan
Minggu demi minggu berlalu, dan rencana mereka untuk bertemu semakin sulit untuk dijalankan. Setiap kali Alya mengusulkan untuk bertemu, Raka selalu memiliki alasan—perjalanan dinas, pekerjaan yang mendesak, atau tugas yang harus diselesaikan. Pada awalnya, Alya berusaha sabar, mencoba mengerti betapa sibuknya Raka. Namun semakin lama, dia merasa bahwa pertemuan-pertemuan itu mulai menjadi impian yang sulit terwujud. Di dalam hatinya, dia mulai meragukan apakah Raka benar-benar berusaha ataukah dia hanya terjebak dalam rutinitas yang tak kunjung usai.
Alya merasa sendiri, terperangkap dalam kesibukan yang sama, tetapi tanpa ada kehadiran Raka di sampingnya. Setiap kali dia mendengar nama Raka, hatinya terasa penuh dengan perasaan campur aduk. Ada rasa cinta yang masih bertahan, namun semakin lama semakin tergantikan dengan perasaan frustasi dan kesepian. Apakah hubungan ini bisa bertahan dalam kondisi seperti ini? tanyanya dalam hati, hampir setiap malam.
Pada suatu malam yang terasa begitu sunyi, Alya memutuskan untuk menelepon Raka, berharap bisa mendengar suaranya untuk mengusir rasa kesepian yang mulai menguasainya.
“Alya?” Suara Raka terdengar sedikit terkejut, namun terdengar ramah. “Apa kabar? Maaf, aku baru saja selesai dengan beberapa tugas yang menumpuk.”
Alya memaksakan senyum meskipun tidak ada yang bisa ia sembunyikan dari dirinya sendiri. “Aku baik-baik saja. Aku cuma ingin mendengar suaramu. Sudah lama kita tidak bicara.”
Ada keheningan sesaat di antara mereka. Raka kemudian melanjutkan, “Aku minta maaf kalau aku tidak bisa banyak menghubungimu belakangan ini. Pekerjaan benar-benar menyita waktu.”
Alya menundukkan kepalanya, merasakan ada kepedihan yang menyusup dalam setiap kata yang diucapkan Raka. “Aku tahu,” jawabnya pelan. “Aku cuma… merasa sedikit terabaikan.”
Mendengar itu, Raka tampak terkejut. “Tidak, Alya. Aku tidak pernah bermaksud begitu. Aku hanya… aku benar-benar merasa tertekan dengan pekerjaanku. Aku ingin waktu untuk kita, tetapi kadang-kadang aku merasa terjebak.”
Alya menghela napas, berusaha untuk tetap tenang meskipun hatinya terasa semakin sesak. “Aku mengerti, Raka. Tapi kadang aku merasa seperti kita sudah berada di dua dunia yang berbeda. Aku ingin kita bisa berbicara lebih sering, bertemu lebih sering. Aku ingin merasakan bahwa aku masih ada di hidupmu.”
Raka terdiam sejenak, seakan mencoba memproses kata-kata Alya. “Aku tidak ingin kehilangan kamu, Alya,” katanya dengan nada yang lebih dalam, menunjukkan kekhawatiran yang baru muncul dalam dirinya. “Aku akan berusaha lebih baik. Aku janji.”
Alya mendengar janji itu, dan untuk sesaat, dia merasa lega. Namun, ada keraguan yang semakin membanjiri hatinya. Apakah janji-janji ini cukup? Akankah Raka benar-benar bisa memenuhi harapan itu, atau hanya sekadar kata-kata yang diucapkan untuk menenangkan hati Alya sementara waktu?
Kesulitan yang Tidak Terucapkan
Setelah percakapan itu, Alya merasa ada sebuah ketenangan yang datang, namun itu hanya sementara. Tentu saja, Raka berusaha untuk lebih sering menghubunginya, dan mereka mencoba untuk lebih terbuka satu sama lain. Tetapi, semakin mereka berbicara, semakin terasa ada kesenjangan yang sulit dijembatani. Kehidupan mereka telah berubah begitu banyak sejak pertemuan pertama mereka. Apa yang dulu sederhana dan menyenangkan kini terasa berat dan penuh tekanan.
Pekerjaan Raka semakin menguras tenaganya. Ia merasa tidak ada lagi ruang untuk dirinya sendiri, apalagi untuk orang lain. Alya mencoba untuk tidak mengeluh, berusaha menyesuaikan diri dengan situasi yang ada, tetapi semakin lama, perasaan kesepian itu semakin memburuk. Rindu yang begitu mendalam hanya semakin membuatnya merasa terabaikan.
Pada suatu hari, saat mereka sedang berbicara melalui telepon, Alya merasa bahwa ada sesuatu yang tidak biasa. Suara Raka terdengar lebih lelah dari biasanya. Tidak ada semangat yang menggebu seperti dulu. Alya tahu, bahwa meskipun Raka berusaha untuk menghindari topik ini, hubungan mereka sedang berada di ujung tanduk.
“Alya…” Raka memulai, suaranya terdengar berat. “Aku merasa kita sedang menghadapi banyak hal. Aku merasa seperti ada yang hilang, dan aku takut kita tidak bisa kembali ke apa yang kita punya sebelumnya.”
Alya merasa dadanya sesak mendengar kalimat itu. Apa artinya ini? Apakah Raka sudah mulai menyerah? Ataukah ia hanya merasa frustasi dengan jarak yang tak pernah bisa mereka rapatkan?
“Apa yang kamu maksud?” Alya bertanya, mencoba menenangkan dirinya sendiri meskipun hatinya berdebar begitu kencang.
“Aku tidak tahu, Alya. Aku ingin kita bisa lebih banyak waktu bersama, tetapi aku juga tahu ini tidak mudah. Aku takut aku tidak bisa memberi kamu apa yang kamu butuhkan,” jawab Raka, suaranya semakin rendah.
Alya menutup mata sejenak, berusaha menahan air mata yang mulai menggenang. “Aku tidak ingin membuatmu merasa terbebani, Raka. Aku hanya ingin kita bisa bertahan, kita bisa mengatasi semua ini bersama.”
“Jangan khawatir. Aku akan selalu berusaha, Alya. Aku tidak akan menyerah begitu saja, meskipun kadang rasanya sangat sulit.”
Namun, meskipun kata-kata itu terdengar meyakinkan, Alya merasakan ada jarak yang semakin lebar di antara mereka. Apakah mereka bisa kembali ke titik itu? Apakah mereka bisa menemukan jalan keluar dari kesulitan ini?
Keputusan yang Tak Terucapkan
Hari demi hari berlalu, dan meskipun mereka berdua berusaha keras untuk menjaga hubungan ini, perasaan Alya semakin terombang-ambing. Di satu sisi, dia merasa bahwa dia masih mencintai Raka dan ingin bertahan, namun di sisi lain, dia merasa bahwa hubungan ini semakin menguras energi dan perasaan. Apakah cinta itu cukup kuat untuk mengatasi segala rintangan? Apakah mereka bisa menemukan cara untuk tetap bersama, meskipun tantangan yang mereka hadapi begitu besar?
Alya tahu, di dalam hatinya, dia tidak bisa terus hidup dalam ketidakpastian. Cinta itu memang teruji, tapi sampai kapan mereka harus terus bertahan tanpa kepastian? Keputusan besar menanti mereka, tetapi mereka harus membuatnya sebelum jarak ini semakin membesarkan keraguan yang ada.
Alya menatap ke luar jendela, melihat hujan yang turun perlahan. Dia tahu, apapun yang terjadi nanti, hubungan ini akan selalu menjadi bagian dari hidupnya. Namun, apakah ia cukup kuat untuk menerima kenyataan, apapun bentuknya?.*
Bab 4: Penantian yang Tak Tergantikan
Alya mulai menulis lebih banyak puisi dan cerita, meluapkan perasaannya yang tak terungkapkan dalam kata-kata. Ia merasa seperti terjebak dalam sebuah penantian yang panjang. Raka merasakan hal yang sama, tetapi ia tidak tahu bagaimana cara untuk membuat Alya merasa lebih dekat. Dalam bab ini, mereka mulai belajar untuk menghargai jarak yang ada dan memahami bahwa meskipun fisik mereka terpisah, cinta mereka tetap hidup.
Alya duduk di depan jendela kamar tidurnya, matanya terpaku pada langit senja yang semakin gelap. Dedaunan bergoyang perlahan, tertiup angin malam yang sejuk, namun hatinya terasa jauh dari tenang. Pikirannya terus berputar pada Raka—lelaki yang kini terpisah darinya oleh ribuan kilometer. Kepergiannya beberapa bulan lalu untuk mengejar karier di luar negeri memaksa mereka berdua untuk menjalani hubungan jarak jauh yang tak pernah mudah.
Terkadang, Alya merasa bahwa waktu menjadi musuh terbesarnya. Hari-hari terasa membosankan, seperti menunggu sebuah janji yang tak kunjung tiba. Dia tahu Raka berusaha, namun apa yang bisa dia lakukan selain menunggu? Hanya menunggu pesan, menunggu telepon, dan menunggu kabar bahwa Raka akhirnya akan pulang. Namun, seiring berjalannya waktu, penantian itu menjadi semakin berat.
“Apa yang salah dengan aku?” Alya bergumam, sedikit terkejut dengan pertanyaan yang tiba-tiba muncul dalam benaknya. Kenapa penantian ini terasa seberat ini?
Alya tidak bisa membohongi dirinya sendiri. Dia merasa semakin terasing, terkurung dalam dunia yang seakan terus berputar tanpa arah. Kehadiran Raka yang dulu selalu menyemangatinya kini hanya bisa dirasakan lewat pesan-pesan singkat yang tiba di ponselnya. Setiap kali mereka berbicara melalui telepon, meskipun Raka berusaha untuk berbagi cerita dan mendengar ceritanya, ada perasaan hampa yang menyelinap. Mereka sudah berubah. Begitu banyak hal yang terjadi, dan begitu banyak jarak yang memisahkan mereka, baik secara fisik maupun emosional.
Namun, Alya tahu, meskipun semuanya terasa berat, dia tidak bisa melepaskan Raka begitu saja. Cinta ini terlalu besar untuk diabaikan. Meskipun jarak itu tidak bisa dipungkiri, perasaan yang mereka miliki satu sama lain tidak bisa digantikan oleh apapun.
Penantian yang Tak Pernah Terungkap
Alya sudah terbiasa dengan kehidupan tanpa kehadiran Raka, tetapi itu tidak berarti dia tidak merasakannya. Setiap pagi ketika dia membuka mata, dia berharap ada pesan dari Raka, meskipun dia tahu itu mungkin tidak akan datang. Kadang, Alya merasa seolah-olah dia sedang menghabiskan hidupnya untuk menunggu hal yang tak pasti. Apakah dia akan terus hidup dalam penantian ini selamanya?
Hari-hari di kota terasa semakin sunyi tanpa kehadiran Raka. Beberapa kali, Alya mencoba mengalihkan perhatiannya dengan pekerjaan, keluar dengan teman-temannya, atau menyibukkan diri dengan berbagai kegiatan. Namun, tidak ada satu pun yang mampu mengisi kekosongan itu. Kehadiran Raka—yang dulu selalu ada—sekarang hanya bisa dirasakan dalam kenangan, dalam pesan-pesan yang kadang terlambat datang, atau dalam suara telepon yang kini semakin jarang terdengar.
Suatu hari, Alya duduk di kafe tempat pertama kali mereka bertemu. Cangkir kopi di depannya masih setengah penuh, dan suara musik yang lembut mengalun di latar belakang tidak mampu mengalihkan pikirannya. Dia memandangi ponselnya, menunggu pesan yang entah kapan akan datang.
Hanya ada kesunyian.
Alya tidak tahu berapa lama lagi dia bisa bertahan dalam ketidakpastian ini. Dia ingin bicara lebih banyak, berbagi lebih banyak dengan Raka, tetapi semakin lama, semakin terasa ada tembok yang semakin tinggi di antara mereka. Apa yang terjadi pada kita, Raka? pikirnya dalam hati, mencoba untuk tidak larut dalam kesedihan yang semakin menguasainya.
Tiba-tiba, ponselnya bergetar. Sebuah pesan dari Raka.
“Alya, aku minta maaf kalau aku jarang menghubungimu belakangan ini. Pekerjaanku semakin padat, dan aku benar-benar merasa kehabisan tenaga. Aku ingin kita tetap kuat, tetap bertahan, tapi aku juga takut kalau kita semakin jauh. Aku tidak ingin itu terjadi, tapi aku tidak tahu bagaimana caranya.”
Pesan itu seperti pisau yang menusuk dalam-dalam ke jantungnya. Alya bisa merasakan kesedihan dalam kata-kata itu, namun di sisi lain, ada rasa kesepian yang semakin dalam. Kenapa perasaan ini selalu muncul? Kenapa kita tidak bisa menemukan cara untuk menghadapinya bersama?
Alya menghela napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya. Aku tidak bisa terus menerus seperti ini, pikirnya. Aku tidak bisa menunggu sesuatu yang tidak pasti.
Namun, di saat yang sama, perasaan itu—perasaan rindu dan cinta yang mendalam—terus mengikatnya. Bagaimana mungkin aku bisa melepaskanmu, Raka? tanyanya dalam hati.
Mencari Jalan Tengah
Alya memutuskan untuk menulis balasan untuk Raka. Dia merasa perlu untuk mengungkapkan perasaannya dengan jujur, meskipun itu tidak mudah. Ia tahu, ini adalah kesempatan terakhir untuk benar-benar membicarakan perasaan mereka yang selama ini terpendam.
“Raka, aku tahu kamu sibuk dan aku mencoba untuk mengerti. Tapi aku juga merasa semakin kesepian. Setiap kali kita berbicara, aku merasa seperti ada yang hilang. Aku rindu, aku sangat rindu padamu. Aku ingin kita bertemu lagi, aku ingin kita kembali seperti dulu. Tapi aku juga tidak bisa terus bertahan dalam penantian yang tidak jelas.”
Setelah menulis pesan itu, Alya menatap layar ponselnya untuk beberapa saat. Apakah ini keputusan yang benar? Ia bertanya pada dirinya sendiri. Namun, Alya merasa ini adalah langkah yang harus diambil. Tidak ada lagi ruang untuk kata-kata yang mengambang. Mereka harus jujur satu sama lain, tidak peduli betapa sulitnya itu.
Beberapa menit kemudian, Raka membalas pesannya.
“Aku mengerti, Alya. Aku benar-benar mengerti bagaimana perasaanmu. Aku juga merasa tertekan dengan situasi ini. Tapi aku ingin kamu tahu, aku tetap mencintaimu, dan aku ingin kita mencari jalan keluar bersama. Aku tidak ingin membuatmu merasa seperti ini.”
Mendengar kata-kata itu, Alya merasa ada sedikit kelegaan. Setidaknya, Raka tidak mengabaikannya begitu saja. Namun, ia juga tahu bahwa kata-kata itu saja tidak cukup. Tindakan adalah yang paling penting sekarang.
Penantian yang Terus Berlanjut
Beberapa minggu setelah percakapan itu, Raka kembali mengirimkan pesan-pesan yang menunjukkan bahwa ia berusaha untuk meluangkan lebih banyak waktu untuk Alya. Namun, jarak dan kesibukan masih tetap menjadi tantangan yang tidak bisa mereka hindari. Meskipun ada upaya untuk bertemu, setiap kali ada rencana untuk bertemu, selalu ada hal lain yang menggagalkannya. Kadang-kadang, Raka terpaksa membatalkan pertemuan karena urusan pekerjaan yang mendesak, atau karena perjalanan dinas yang tak terhindarkan.
Alya merasa semakin terperangkap dalam perasaan yang tak terungkapkan. Setiap kali mereka berbicara, ada rasa harapan yang muncul, namun setelah itu, rasa kecewa datang menyusul. Apakah aku cukup kuat untuk menunggu?
Suatu malam, saat mereka berbicara lewat video call, Alya melihat mata Raka yang tampak lelah. Wajahnya lebih kurus dari biasanya, dan senyumannya terlihat dipaksakan. Alya tahu, di balik semua itu, ada rasa frustasi yang mendalam. Mereka berdua sudah saling berjuang, tetapi ada batas yang sulit untuk mereka lewati.
“Alya, aku ingin kita tetap bersama. Aku tahu ini sulit, tapi aku berjanji akan melakukan yang terbaik,” kata Raka dengan suara pelan, matanya menatap layar ponsel dengan penuh kesungguhan.
Alya hanya mengangguk, meskipun hatinya terasa semakin berat. “Aku tahu, Raka. Aku juga ingin kita tetap bersama. Tapi aku merasa kita mulai kehilangan arah.”
Suasana hening sejenak. Hanya ada suara detak jantung mereka yang terdengar. Apakah mereka masih bisa bertahan?
Penantian selalu menjadi sebuah dilema bagi mereka yang mencintai. Alya tahu itu. Tetapi kadang, meskipun penantian itu terasa begitu menguras, ia merasa seperti ada sesuatu yang tak bisa tergantikan dalam dirinya. Cinta yang dimiliki dengan Raka tak pernah sekadar satu sisi; itu adalah dua hati yang saling menyatu dalam jarak yang begitu jauh, namun kedekatan yang mereka rasakan tetap kuat, meski tidak tampak secara fisik.
Setiap malam sebelum tidur, Alya tak pernah lupa untuk mengirim pesan singkat kepada Raka. Meskipun hanya “Selamat malam, semoga kamu baik-baik saja,” kalimat itu menjadi semacam kebiasaan yang membuatnya merasa bahwa ia masih ada dalam hidup Raka, meskipun ratusan kilometer memisahkan mereka. Kadang kala, Raka membalas dengan cepat, menyatakan bahwa ia sangat merindukannya. Tetapi ada kalanya, balasan itu datang terlambat, dan Alya hanya bisa menghela napas panjang sambil memandang layar ponselnya yang hampa.
Hari-hari berlalu begitu saja, namun perasaan Alya tetap sama. Rindu yang menggebu, berharap bisa bersama Raka, berharap bisa merasakan kehadirannya di sampingnya. Namun semakin lama, penantian itu semakin terasa menyiksa. Apakah rasa rindu ini akan berujung pada kelelahan? Apakah ia masih sanggup menunggu sesuatu yang tidak pasti?
Sebuah Pertemuan yang Semakin Tak Terjangkau
Ketika mereka pertama kali memulai hubungan ini, segala sesuatu terasa begitu indah. Raka dan Alya berbicara hampir setiap hari, bertemu hampir setiap minggu. Mereka selalu punya waktu untuk satu sama lain. Meskipun tidak sempurna, hubungan itu terasa begitu hidup dan penuh warna. Namun, setelah Raka pindah untuk bekerja di luar negeri, segala sesuatu berubah. Semua yang dulu mudah kini menjadi hal yang jauh lebih sulit.
Ada saat-saat ketika Raka akan berbicara dengan penuh semangat tentang proyek-proyeknya, tentang pekerjaan yang mengurasnya, dan Alya mencoba untuk mendengarkan dengan penuh perhatian, meskipun hatinya seringkali merasa kosong. Ia tahu bahwa Raka berusaha keras untuk membuat hubungan ini tetap berjalan. Tetapi meskipun usaha itu ada, ada kalanya Alya merasa seperti terdampar di dunia yang sunyi, menunggu sesuatu yang tidak pernah datang dengan tepat waktu.
Mereka sudah beberapa kali merencanakan untuk bertemu, tetapi selalu ada alasan yang menghalanginya. Mungkin Raka sedang terjebak dalam urusan pekerjaan yang mendesak, atau ia harus menghadiri pertemuan penting yang tak bisa ditinggalkan. Setiap kali itu terjadi, hati Alya merasa lebih berat. Dia berusaha untuk memahami, berusaha untuk tidak egois. Namun seiring berjalannya waktu, semakin banyak malam-malam yang dilewati tanpa bisa berbicara langsung dengan Raka.
“Kenapa kita tidak bisa seperti dulu?” Alya bertanya pada dirinya sendiri suatu malam, ketika dia menatap langit yang penuh bintang, merindukan kebersamaan yang kini terasa jauh. “Kenapa semuanya harus berubah?”
Alya mulai merasa seperti dirinya hanyalah bagian dari cerita yang tidak lagi menjadi pusat perhatian. Apakah ia hanya menunggu bayangan, ataukah hubungan ini benar-benar memiliki masa depan?
Penantian yang Menyesakkan
Alya menghabiskan banyak waktu berpikir tentang masa depan mereka. Setiap kali ia teringat pada senyum Raka yang hangat, atau pada percakapan-percakapan ringan yang mereka lakukan di kafe favorit mereka, hatinya terasa lebih berat. Mereka berbicara tentang impian mereka, tentang masa depan yang ingin mereka bangun bersama, tetapi semakin banyak waktu berlalu, semakin terasa bahwa masa depan itu semakin kabur.
Pekerjaan Raka tidak bisa disalahkan. Alya tahu bahwa pekerjaan adalah bagian besar dari hidupnya. Tetapi saat ini, pekerjaan itu juga menjadi penghalang terbesar dalam hubungan mereka. Ada saat-saat ketika Raka terlihat sangat lelah, hampir kehilangan semangat untuk berbicara panjang lebar. Alya merasa seperti menjadi beban baginya, dan itu membuat hatinya semakin tertekan.
“Alya, aku merasa sangat tertekan akhir-akhir ini. Ada banyak yang harus aku selesaikan, dan aku takut aku tidak bisa memberikan waktu yang cukup untuk kamu.” Raka pernah berkata begitu dalam salah satu percakapan panjang mereka.
Alya, dengan lembut, mencoba memberi pengertian. “Aku tahu, Raka. Aku mengerti kok, pekerjaanmu memang berat. Tapi aku juga butuh kehadiranmu. Kadang aku merasa kita semakin jauh. Aku hanya ingin kita tetap dekat, tetap berbicara seperti dulu.”
Raka diam sejenak, seakan berpikir. “Aku tidak tahu bagaimana caranya, Alya. Tapi aku akan berusaha.”
Kata-kata itu seolah menenangkan Alya untuk sementara waktu. Namun, meskipun mereka berbicara dengan penuh keinginan untuk menjaga hubungan ini, ada bagian dari dirinya yang merasakan kesepian yang semakin mendalam. Penantian itu, meskipun penuh harapan, tetaplah sebuah beban yang perlahan-lahan menjadi lebih berat.
Setiap kali ia mencoba menyibukkan diri dengan aktivitas lain—bekerja, pergi bersama teman, atau bahkan berlibur ada rasa hampa yang terus mengikuti. Tidak ada yang bisa menggantikan kehadiran Raka. Tidak ada yang bisa mengisi kekosongan itu selain Raka sendiri. Penantian ini, yang awalnya terasa seperti sebuah tantangan kecil, kini menjadi sebuah ujian besar.
Cinta yang Diuji oleh Waktu
Waktu terus berlalu, dan hubungan mereka semakin diuji oleh jarak dan kesibukan masing-masing. Raka berusaha keras, tetapi pekerjaan dan kewajiban-kewajiban lainnya terus datang tanpa henti. Alya tahu betul bahwa Raka tidak mengabaikannya dengan sengaja, tetapi ada kalanya ia merasa seperti mereka semakin terjebak dalam rutinitas yang tidak ada habisnya.
Suatu hari, ketika mereka berbicara lewat video call, Raka terlihat berbeda. Ia tampak lebih kurus dan lesu, seakan beban hidupnya terlalu berat untuk dipikul sendirian.
“Alya,” katanya dengan suara yang sangat pelan. “Aku benar-benar merasa kalau aku sedang kehilangan diriku sendiri. Setiap hari, aku bangun dan merasa semakin jauh dari semua orang, terutama dari kamu. Aku merasa gagal.”
Alya menatap layar ponselnya, mencoba menangkap tiap kata yang keluar dari bibir Raka. “Jangan merasa seperti itu, Raka. Kamu tidak gagal. Aku tahu kamu berusaha.”
Namun di dalam hatinya, Alya merasa semakin cemas. Apakah Raka benar-benar bisa terus bertahan? Mereka sudah berusaha, tapi kadang, usaha saja tidak cukup. Ada kalanya cinta itu diuji oleh waktu, dan waktu ini terasa seperti musuh terbesar mereka.
“Raka, aku hanya ingin kamu tahu, aku di sini. Aku akan selalu menunggumu, meskipun terkadang rasanya sangat sulit,” Alya akhirnya berkata dengan suara yang lembut, namun penuh harap.
Raka hanya bisa mengangguk, matanya yang lelah mencerminkan perasaan yang sulit dijelaskan. “Aku juga ingin bertemu kamu, Alya. Aku merindukanmu, tapi aku merasa terperangkap.”
Alya tahu bahwa mereka berada pada titik yang sangat sulit, di mana penantian ini benar-benar menguji kedalaman cinta mereka. Apa yang akan terjadi jika mereka tidak bisa bertahan? Apakah mereka akan menemukan cara untuk tetap bersama? Ataukah penantian ini akan berakhir dengan kesedihan yang tak terucapkan?.*
Bab 5: Sampai Menemui Senja
Bab terakhir ini menggambarkan pertemuan mereka yang akhirnya terjadi setelah bertahun-tahun berjuang melawan jarak dan waktu. Setelah banyak pesan, panggilan video, dan penantian yang panjang, mereka akhirnya dapat berkumpul di sebuah tempat yang penuh dengan kenangan indah sebuah tempat di mana mereka pertama kali bertemu. Meskipun banyak yang telah berubah, cinta mereka tetap utuh. Bab ini menutup dengan simbol senja waktu yang selalu menjadi penanda akhir hari, tetapi juga awal dari sesuatu yang baru. Dalam pertemuan itu, mereka menyadari bahwa cinta mereka adalah sesuatu yang lebih kuat daripada sekadar jarak dan waktu.
Hari-hari yang Terus Berjalan
Alya menatap senja yang perlahan turun dari langit. Cahaya oranye-merah yang menghangatkan langit, seakan menjadi pelipur lara bagi pikirannya yang mulai letih. Waktu bergerak terus tanpa menunggu siapapun, dan perasaan yang berkecamuk dalam dada Alya semakin terasa. Sejak Raka pergi untuk melanjutkan kariernya di luar negeri, ia merasa seperti berada di tengah perjalanan panjang yang tak tahu kapan akan berakhir.
Alya sudah berusaha keras untuk tidak meratapi takdir yang memisahkan mereka. Ia mencoba untuk tetap kuat, meski terkadang senyap malam begitu berat untuk ditanggung seorang diri. Menunggu sesuatu yang tak pasti adalah hal tersulit yang pernah ia alami. Tetapi, seiring berjalannya waktu, ia mulai menyadari bahwa menunggu bukan berarti hanya pasif menanti. Menunggu, kadang, menjadi sebuah perjalanan yang penuh dengan pertumbuhan, penerimaan, dan penemuan baru.
Beberapa bulan terakhir, Alya mencoba untuk menjalani hidupnya tanpa terlalu bergantung pada komunikasi dengan Raka. Mereka masih berbicara sesekali, berbagi cerita melalui pesan atau panggilan video, tetapi jarak itu semakin terasa nyata. Bukan hanya fisik, tetapi juga emosional. Keputusan-keputusan hidup yang mereka buat semakin berjarak, dan terkadang, perasaan itu membekas lebih dalam daripada yang ia perkirakan.
“Alya, kamu tahu aku mencintaimu, kan?” suara Raka dalam sebuah percakapan di telepon beberapa hari yang lalu kembali terngiang di telinganya. Itu adalah kata-kata yang selalu Alya ingin mendengar, namun kali ini, sesuatu dalam suaranya membuat hati Alya meragu. Apakah itu cukup? Apakah kata-kata itu cukup untuk menjawab perasaan yang telah menumpuk begitu lama?
Melihat Kembali Langkah yang Terlewatkan
Alya merenung, mengenang perjalanan mereka bersama, mulai dari pertemuan pertama yang tak terduga itu, hingga mereka terjerat dalam kedalaman cinta yang akhirnya dipisahkan oleh jarak dan waktu. Apakah ada yang salah dengan kita? pikirnya, saat matahari mulai tenggelam di ufuk barat.
Waktu pertama kali bertemu dengan Raka, semuanya terasa begitu mudah. Mereka berbicara seolah-olah sudah lama saling kenal, berbagi cerita tentang impian dan harapan masing-masing. Tanpa sadar, mereka mulai membangun sebuah dunia kecil milik mereka berdua, tempat mereka merasa nyaman dan diterima. Namun, saat Raka harus pergi, dunia kecil itu hancur. Raka yang dulu selalu ada, kini hanya menjadi bayangan yang jarang bisa digenggam.
Namun, Alya berusaha untuk tidak terlalu larut dalam penyesalan. Apa yang bisa dia lakukan selain menjalani hari demi hari, menanti waktu yang lebih baik? Setiap kali ia merasa lelah dan hampir menyerah, ia teringat akan kenangan indah bersama Raka. Kenangan yang, meskipun jauh, tetap hidup di dalam hatinya.
Penantian ini, meskipun sangat berat, mengajarkannya satu hal penting: cinta bukan hanya tentang saling memiliki, tetapi juga tentang memberi ruang dan waktu untuk tumbuh.
Kesendirian yang Membentuk Diri
Malam itu, Alya duduk di kursinya sambil memandang langit yang semakin gelap. Hatinya terasa sepi, tapi kali ini, ada kedamaian yang datang perlahan-lahan. Ia mulai sadar bahwa penantian ini bukanlah sebuah hukuman. Cinta yang sejati tidak mengenal jarak, dan mungkin, waktu yang lama justru memberi kesempatan untuk mengenal diri sendiri lebih dalam.
Sejak beberapa bulan terakhir, Alya mulai fokus pada dirinya sendiri. Ia melanjutkan pekerjaannya, berinvestasi pada hobinya, dan menjalin hubungan yang lebih erat dengan teman-temannya. Sementara itu, Raka tetap sibuk dengan pekerjaannya, meskipun mereka masih berusaha menjaga komunikasi. Namun, tidak seperti dulu, perasaan rindu yang membara kini mulai digantikan dengan rasa penerimaan. Apakah itu berarti aku mulai melupakan Raka? Alya bertanya pada dirinya sendiri, namun jawabannya tidak semudah itu.
Alya tahu, bagaimanapun, ia masih mencintai Raka. Namun, perasaan itu kini tidak lagi menjadi satu-satunya alasan untuk hidupnya. Ia mulai belajar untuk mencintai dirinya sendiri, merawat dirinya sendiri, tanpa menunggu kehadiran orang lain.
“Selama ini, aku terlalu banyak mengorbankan diriku untuk orang lain,” kata Alya pada dirinya sendiri. “Sekarang saatnya aku belajar untuk lebih memperhatikan diriku. Mungkin ini yang disebut dengan mencintai diri sendiri.”
Alya tidak tahu seberapa lama ia akan menunggu Raka. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi dengan hubungan mereka di masa depan. Tetapi yang ia tahu, ia harus terus melangkah. Senja itu, untuk pertama kalinya, Alya merasa bahwa menunggu tidak selalu berarti diam. Menunggu juga bisa menjadi perjalanan yang membawa kedamaian. Hanya dengan begitu, ia bisa menemui senja yang lebih cerah di esok hari.
Pertemuan yang Tidak Diharapkan
Pada suatu hari, beberapa minggu setelah percakapan panjang dengan dirinya sendiri, Alya menerima sebuah pesan dari Raka. Kali ini, pesannya tidak hanya berisi kata-kata yang penuh penyesalan atau harapan kosong. Itu adalah sebuah permintaan untuk bertemu.
“Alya, aku tahu aku sudah banyak mengecewakanmu. Tapi aku ingin kita bertemu. Aku ingin berbicara tentang kita. Tentang masa depan kita. Apa kamu mau?”
Pesan itu mengguncang hati Alya. Tentu saja, ia masih mencintai Raka, tetapi apakah pertemuan ini bisa menyelesaikan segala ketidakpastian yang selama ini melingkupi hubungan mereka? Apakah pertemuan ini benar-benar akan mengubah segalanya, ataukah hanya akan menambah kerumitan yang sudah ada?
Alya memikirkan pesan itu dalam diam. Dia ingin mengatakan ya, ingin segera bertemu, tetapi ada ketakutan dalam dirinya. Bagaimana jika pertemuan itu hanya akan membuat semuanya semakin rumit? Apakah mereka benar-benar siap untuk menghadapi kenyataan setelah lama terpisah?
Namun, setelah berpikir panjang, Alya akhirnya memutuskan untuk bertemu dengan Raka. Tidak ada salahnya memberikan kesempatan, bukan? Lagipula, mereka sudah terpisah cukup lama. Pertemuan ini mungkin menjadi titik balik dalam hubungan mereka, atau mungkin juga titik terakhir dari sebuah cerita cinta yang terpisah oleh jarak.
Langkah Kecil Menuju Titik Temu
Alya berjalan menuju tempat pertemuan yang sudah disepakati dengan Raka. Hatinya berdebar kencang, namun kali ini bukan karena cemas atau takut. Ada sebuah perasaan yang lebih dalam—perasaan ingin tahu tentang apa yang akan terjadi selanjutnya.
Saat ia sampai di kafe tempat mereka dulu sering bertemu, Alya melihat Raka sudah duduk di salah satu sudut, menatap layar ponselnya. Raka terlihat berbeda. Tidak hanya dari penampilannya yang lebih kurus, tetapi juga dari cara dia duduk, seakan ada beban berat yang menekannya.
“Alya…” suara Raka terdengar lirih saat ia melihatnya. Wajahnya dipenuhi dengan kerutan kekhawatiran, tetapi ada harapan di matanya. Alya tersenyum kecil.
“Raka, sudah lama tidak bertemu.” Alya duduk di depannya, dan untuk beberapa detik, mereka hanya terdiam, saling memandang.
“Maaafkan aku,” kata Raka akhirnya, suaranya begitu pelan. “Aku tahu aku sudah banyak mengecewakanmu. Aku ingin kita tetap bersama, tetapi aku juga merasa kesulitan dengan keadaan ini.”
Alya menghela napas. Ia tidak ingin membicarakan hal-hal yang sudah berlalu. Mereka sudah cukup lama terpisah untuk menyalahkan satu sama lain. Yang penting sekarang adalah mencari jalan keluar, apapun itu.
“Aku tidak menyalahkanmu, Raka,” kata Alya. “Aku hanya… aku hanya ingin kita bisa menemukan jalan kita masing-masing, dengan cara yang terbaik. Aku tahu ini sulit, tetapi aku juga harus mengerti bahwa kita berdua butuh ruang untuk tumbuh.”
Raka menatapnya dengan mata yang penuh emosi. “Apakah kamu sudah siap untuk melangkah ke depan, Alya?”
Alya terdiam sejenak. Apakah ia siap? Mungkin jawabannya belum sepenuhnya jelas, tetapi satu hal yang pasti ia sudah siap untuk menghadapi apapun yang datang, bahkan jika itu berarti harus melangkah sendiri. Karena kadang-kadang, untuk bisa bersama dengan seseorang, kita harus terlebih dahulu bisa berdiri tegak sendiri.
Dengan langkah perlahan, mereka berdua mulai berbicara tentang masa depan, tentang apa yang mereka inginkan, dan tentang bagaimana mereka bisa mengatasi perbedaan yang selama ini.
Langkah Kecil Menuju Titik Temu (lanjutan)
Alya dan Raka duduk berhadapan di kafe yang sudah menjadi tempat favorit mereka. Tempat yang penuh dengan kenangan lama, tawa, dan percakapan tanpa akhir tentang mimpi dan harapan. Kini, semuanya terasa berbeda. Seperti menonton film lama yang belum selesai, ada harapan dan penantian untuk melihat apa yang akan terjadi selanjutnya. Perasaan itu tak terungkapkan, tetapi bisa dirasakan dalam setiap lirikan mata yang saling bertemu.
Raka menghela napas, seolah-olah kata-kata yang hendak keluar darinya berat sekali. Ia memandang Alya, melihat perubahan yang terjadi pada dirinya. Alya yang dulu begitu ceria dan penuh dengan harapan kini terlihat lebih tenang, lebih matang, meskipun matanya masih menyimpan rasa rindu yang dalam.
“Alya, aku… aku ingin mengatakan banyak hal,” suara Raka terdengar pelan namun penuh dengan penyesalan. “Aku merasa selama ini terlalu fokus pada diriku sendiri. Semua yang kulakukan hanya untuk memenuhi harapanku tanpa benar-benar memikirkanmu. Aku tahu, ini bukanlah cara yang baik untuk mencintai seseorang.”
Alya menatap Raka dengan lembut. “Raka, kita semua pernah membuat kesalahan. Kita semua kadang berjuang dengan cara kita sendiri, dan terkadang, kita lupa bahwa perjalanan itu tak selalu mudah. Tapi itu bukan alasan untuk saling menyalahkan.”
Kata-kata itu mengalir dari hati Alya, sebuah pemahaman yang lahir setelah berbulan-bulan menanggung penantian. Meskipun hatinya pernah terasa patah dan kosong, ia kini mulai memahami bahwa cinta tidak harus sempurna. Cinta tidak selalu berarti saling memenuhi setiap kebutuhan, tetapi juga memberi ruang bagi satu sama lain untuk tumbuh, untuk berubah, dan untuk belajar.
“Bukan berarti aku tidak mencintaimu, Raka,” lanjut Alya, suaranya kini lebih tenang dan penuh keyakinan. “Aku hanya mulai mengerti bahwa cinta tidak hanya tentang bersama. Kadang, kita perlu memberi ruang, memberi waktu, untuk diri kita sendiri.”
Raka diam sejenak, mencoba memahami kata-kata Alya. Ia tahu bahwa hubungan mereka tidak bisa dipaksakan begitu saja menjadi seperti dulu. Ada banyak hal yang perlu diubah, banyak yang perlu dipertimbangkan. Waktu yang telah mereka habiskan terpisah kini terasa seperti jarak yang sangat jauh, tetapi juga memberi mereka kesempatan untuk melihat diri mereka dengan lebih jernih.
Alya melanjutkan, “Aku tidak akan menunggu selamanya, Raka. Aku tidak ingin hidup dengan penantian tanpa ujung. Tetapi aku juga tahu, aku masih mencintaimu. Jadi, apa yang akan kita lakukan dengan perasaan ini? Apakah kita akan terus berjuang bersama atau masing-masing melanjutkan hidup kita?”
Pertanyaan itu menggantung di udara, dan Raka tidak tahu bagaimana menjawabnya. Ia memandang Alya dengan hati yang berat, bingung apakah dia bisa memenuhi harapan Alya, atau apakah ia akan terus terjebak dalam ketidakpastian yang sudah lama menghinggapinya.
Perubahan yang Tak Terelakkan
Perasaan itu tak pernah bisa ditangguhkan begitu saja. Alya mulai merasakan bahwa penantian yang panjang ini telah mengubah dirinya. Dulu, ia selalu berpegang pada keyakinan bahwa cinta adalah segalanya. Tetapi kini, ia mulai menyadari bahwa hidup adalah lebih dari sekadar menunggu. Cinta bukan hanya tentang siapa yang ada di sampingmu, tetapi bagaimana kamu bisa mencintai diri sendiri terlebih dahulu.
Dengan setiap hari yang berlalu, Alya menjadi semakin dewasa. Ia belajar untuk mengenali apa yang ia inginkan dalam hidupnya dan apa yang penting. Ia mulai menemukan kebahagiaan dalam hal-hal sederhana: dalam menghabiskan waktu dengan teman-teman, dalam menulis, dalam mengejar impian yang selama ini tertunda. Ia tidak lagi merasa terjebak dalam rutinitas yang hanya berfokus pada seseorang yang jauh.
Raka memandangnya, melihat perubahan itu dengan rasa kagum dan sedikit cemas. “Aku lihat kamu berbeda sekarang, Alya. Kamu lebih kuat, lebih mandiri… seperti ada sesuatu dalam dirimu yang berkembang selama kita terpisah.”
Alya tersenyum tipis. “Aku rasa, selama kita terpisah, aku menemukan diriku sendiri. Aku belajar banyak tentang diriku, tentang apa yang aku inginkan, dan apa yang sebenarnya membuatku bahagia.”
Raka mengangguk perlahan. “Aku senang mendengarnya, Alya. Aku rasa, selama ini aku terlalu fokus pada pekerjaanku, pada segala hal yang tidak penting. Aku mulai sadar bahwa ada yang jauh lebih penting dalam hidupku—dan itu adalah kamu.”
Alya memandangnya, menilai kata-kata Raka. Ia bisa melihat penyesalan di mata Raka, tetapi juga ada harapan yang tak bisa disembunyikan. “Raka, aku tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Tapi yang aku tahu, kita sudah berubah. Kita sudah melalui banyak hal, dan aku rasa kita tidak bisa kembali ke titik yang sama seperti dulu.”
Kata-kata itu menyentuh hati Raka. Mereka sudah berubah, mereka sudah tumbuh. Hubungan mereka tidak bisa dipaksakan menjadi sesuatu yang sama seperti sebelumnya. Meskipun cinta itu masih ada, keduanya harus mencari cara baru untuk saling menyayangi, tanpa lagi terjebak dalam bayang-bayang masa lalu.
Menerima Ketidakpastian
Hari-hari terus berjalan, dan keduanya mulai beradaptasi dengan perubahan yang ada. Raka tetap berada di luar negeri, melanjutkan pekerjaannya, sementara Alya kembali fokus pada kehidupannya di kota asalnya. Namun kali ini, mereka tidak lagi merasa terpisah oleh jarak. Ada rasa kedewasaan yang mereka rasakan dalam cara mereka berkomunikasi. Mereka tidak lagi merasa cemas ketika tidak ada kabar dalam beberapa hari, karena mereka tahu, hidup mereka bukan hanya tentang satu sama lain, tetapi juga tentang diri mereka sendiri.
Alya tidak tahu bagaimana jalan hidup akan berlanjut. Mungkin mereka akan bertemu lagi suatu saat nanti, atau mungkin hubungan mereka akan berakhir di sini. Namun, satu hal yang ia tahu pasti adalah bahwa perjalanan ini mengajarkannya untuk menerima ketidakpastian dan untuk terus melangkah meskipun tidak tahu apa yang akan terjadi.
Suatu malam, saat senja mulai turun dan langit dihiasi oleh warna merah keemasan, Alya menatap ponselnya. Ada pesan dari Raka.
“Alya, aku tidak tahu apa yang akan terjadi nanti, tetapi aku ingin kamu tahu bahwa aku selalu mencintaimu. Aku tidak pernah berhenti mencintaimu, meskipun kita terpisah oleh jarak dan waktu.”
Alya membaca pesan itu dengan hati yang tenang. Ada rasa hangat di dadanya, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa yakin dengan dirinya sendiri. Cinta ini bukan hanya tentang bersama. Cinta adalah tentang memberi ruang, tentang mengizinkan perasaan untuk tumbuh dan berubah. Tidak ada lagi ketakutan akan kehilangan, karena Alya tahu bahwa apapun yang terjadi, ia akan baik-baik saja.
Alya membalas pesan itu dengan kalimat yang sederhana tetapi penuh makna: “Aku juga mencintaimu, Raka. Apa pun yang terjadi, kita akan selalu menemukan cara untuk melangkah maju, sampai menemui senja yang lebih cerah.”
Menemui Senja yang Baru
Penantian yang panjang dan penuh keraguan itu akhirnya sampai pada titik di mana Alya merasa tidak lagi takut untuk melangkah. Senja yang dulu terasa berat kini menjadi simbol dari perjalanan yang penuh dengan pembelajaran dan penerimaan. Ia tahu, suatu hari nanti, saat semuanya sudah cukup, mereka akan menemui titik terang.
Dengan penuh keyakinan, Alya menatap senja yang perlahan hilang di balik cakrawala. Ada rasa damai yang kini menyelimuti hatinya. Cinta, meskipun terpisah oleh waktu dan jarak, tidak akan pernah hilang. Cinta akan selalu menemukan jalannya, bahkan jika itu berarti harus melalui banyak perjalanan yang penuh dengan ketidakpastian.
Dan di sana, dalam kedamaian senja yang mulai redup, Alya tahu bahwa selama dia masih punya cinta, dia akan terus berjalan ke depan, sampai menemui senja yang baru, senja yang penuh harapan.***
————-THE END———–