Kisah Cinta
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
Kisah Cinta
No Result
View All Result

SAAT RINDU MENJADI RACUN

SAAT RINDU MENJADI RACUN

SAME KADE by SAME KADE
March 27, 2025
in Dendam Cinta
Reading Time: 20 mins read
SAAT RINDU MENJADI RACUN

Daftar Isi

  • BAB 1 Perkenalan yang Menggetarkan
  • BAB 2 Awal yang Manis
  • BAB 3 Ketergantungan yang Tumbuh
  • BAB 4 Rindu yang Membebani
  • BAB 5 Jarak yang Tercipta
  • BAB 6 Rindu yang Menggerogoti
  • BAB 7 Cinta yang Terabaikan

BAB 1 Perkenalan yang Menggetarkan

Hari itu, Nara merasa tidak ada yang istimewa. Seperti biasa, ia berjalan menyusuri jalan setapak menuju kafe kecil yang biasa ia kunjungi setiap sore. Kafe itu bukan tempat yang ramai, melainkan tempat yang nyaman untuknya bersantai dengan secangkir kopi dan buku favorit. Tidak ada yang mengherankan bagi Nara dalam rutinitasnya, sampai hari itu datang.

Langit sore yang cerah, dengan angin sepoi-sepoi yang membawa aroma segar, memberi suasana tenang. Namun, langkah Nara yang ringan tiba-tiba terhenti di depan pintu kafe. Ada seseorang yang sedang duduk di meja dekat jendela. Pemuda itu tampak asing, dan yang lebih menarik perhatian Nara adalah cara dia menatap luar dengan tatapan kosong yang begitu dalam. Sesuatu di matanya membuat Nara merasa ada cerita yang belum terungkap.

Tanpa sadar, Nara memandangi pemuda itu lebih lama dari yang seharusnya. Dia mengenakan jaket hitam sederhana, dengan rambut yang sedikit berantakan, seolah baru saja bangun dari tidur panjang. Namun ada sesuatu yang magnetis dalam diri pemuda itu, sesuatu yang menarik Nara meskipun ia belum tahu siapa dia.

Karena terlalu lama terpaku, Nara tersadar dan buru-buru masuk ke dalam kafe. Ia berusaha menenangkan diri, menghilangkan perasaan aneh yang tiba-tiba muncul. Dengan langkah terburu-buru, ia menuju meja dekat jendela yang berada di sudut kafe. Biasanya, itu adalah tempat favoritnya untuk menulis, membaca, atau sekadar menikmati waktu sendirian.

Namun, hari itu sepertinya tidak akan berjalan biasa.

Nara baru saja menyandarkan tasnya di kursi ketika tiba-tiba terdengar suara dari arah pintu masuk. Tanpa melihat siapa yang datang, Nara sudah bisa merasakan atmosfer yang berbeda. Sesuatu yang aneh dan tak terjelaskan seperti menarik perhatiannya. Ia menoleh, dan dalam sekejap, matanya bertemu dengan mata pemuda yang tadi ia lihat di luar.

Pemuda itu tersenyum tipis. Senyum yang tak bisa dijelaskan—seperti sebuah teka-teki. Senyum yang seakan memberitahu Nara bahwa mereka pernah bertemu di dunia yang berbeda, atau mungkin dalam hidup yang berbeda.

Nara terkejut, merasa tidak tahu harus berbuat apa. Ia hanya bisa menatap pemuda itu untuk beberapa detik yang terasa lama. Suasana hening, meski ada beberapa pengunjung lain yang sedang menikmati waktu mereka. Namun, entah mengapa, hanya ada mereka berdua dalam ruang itu, seperti dunia di luar kafe itu tiba-tiba menjadi samar.

“Hai, aku Dika,” ujar pemuda itu dengan suara dalam yang lembut, memecah keheningan.

Nara membalas dengan senyuman kecil. “Nara,” jawabnya pelan, merasa kikuk.

Dika duduk di meja yang berada tidak jauh dari meja Nara. Mereka tidak berbicara banyak, hanya sesekali saling menatap, seolah berbicara tanpa kata. Beberapa kali Nara merasa seperti ingin bertanya lebih banyak tentang Dika, tetapi ada semacam ketegangan yang membuatnya ragu. Ia merasa seperti sedang berada di dunia yang tidak pernah ia kenal sebelumnya, dunia yang penuh ketegangan tak terucapkan.

Seiring berjalannya waktu, Nara merasa nyaman dengan kehadiran Dika meskipun ia tidak tahu apa yang sebenarnya membuatnya merasa begitu. Setiap kali Dika berbicara, Nara merasa seperti setiap kata yang keluar dari mulutnya membawa makna yang dalam, seolah ada banyak cerita yang tersembunyi di balik mata pemuda itu. Sesekali Dika tertawa, dan Nara mendapati dirinya ikut tersenyum, meskipun tidak sepenuhnya mengerti kenapa ia merasa begitu.

Hari itu berjalan lebih cepat dari yang Nara kira. Ketika Dika akhirnya berdiri untuk pergi, Nara merasa ada sedikit rasa kehilangan yang menggelayuti hatinya. Ia ingin lebih banyak mengenalnya, tetapi ia juga merasa terlalu canggung untuk mengajukan pertanyaan lebih lanjut.

“Aku senang bisa berbicara denganmu, Nara,” kata Dika, dengan senyum yang tak bisa dipahami.

“Senang juga. Semoga kita bisa ngobrol lagi lain waktu,” balas Nara, meskipun hatinya sudah dipenuhi rasa ingin tahu yang lebih besar.

Dika mengangguk, lalu melangkah keluar dari kafe, meninggalkan Nara dengan perasaan yang aneh. Seperti ada benang tak terlihat yang menghubungkan mereka, meski mereka baru saja bertemu. Perasaan itu begitu kuat dan mempengaruhi Nara lebih dari yang ia kira. Di luar sana, dunia terus berjalan, tetapi di dalam dirinya, ia merasakan sesuatu yang baru, sesuatu yang menggugah.

Nara menatap secangkir kopi yang setengah kosong di mejanya. Rasanya seperti waktu berhenti sejenak. Perasaan yang baru saja muncul itu terus menguasai pikirannya. Apakah itu hanya ketertarikan sesaat? Atau apakah itu sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang tak bisa ia jelaskan?

Sejak saat itu, perasaan aneh itu terus menghantui Nara. Setiap kali ia melihat Dika atau memikirkan kembali percakapan mereka, hatinya berdegup lebih kencang. Ia tahu, ini bukan sekadar pertemuan biasa. Ada sesuatu yang lebih, sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.

Dan pada saat itu, di sebuah kafe kecil yang tak terlalu ramai, perjalanan Nara dan Dika dimulai. Sebuah perjalanan yang penuh dengan teka-teki, rindu, dan kemungkinan yang tak terduga.

Di luar, langit mulai gelap, tetapi di dalam hati Nara, sebuah cahaya baru mulai menyinari, membawa harapan dan rasa penasaran yang tak terbendung.*

BAB 2 Awal yang Manis

Nara tidak pernah membayangkan bahwa hidupnya akan berubah begitu cepat hanya karena pertemuan singkat di sebuah kafe kecil. Hari itu, seperti biasa, Nara datang ke kafe untuk menikmati secangkir kopi hangat dan buku yang selalu ia bawa ke mana pun. Rutinitas itu sudah menjadi bagian dari kesehariannya, sebuah cara untuk melupakan kerumitan dunia sejenak dan hanya terfokus pada diri sendiri.

Namun, pertemuan itu merubah semuanya. Seorang pemuda dengan wajah tampan dan senyuman yang menenangkan duduk di meja sebelahnya. Nara, yang saat itu sedang asyik membaca, tidak bisa menahan matanya yang berulang kali tertuju pada pemuda itu. Dika, demikian ia mengenalkan diri, tampaknya juga seorang pecinta kopi, terlihat sedang membaca buku yang sama.

“Apa yang kamu baca?” tanya Dika dengan suara rendah namun ramah, seolah sudah mengenal Nara sejak lama.

Nara tersentak, matanya bertemu dengan mata Dika, dan tanpa sadar senyum kecil terukir di wajahnya. Ia merasa aneh, namun nyaman. “Ini sebuah novel lama yang cukup menarik,” jawab Nara sambil menutup bukunya. Ia tidak terbiasa membuka percakapan dengan orang asing, tetapi ada sesuatu yang membuatnya ingin berbicara lebih banyak dengan Dika.

Dika tertawa ringan, “Sepertinya kita punya selera yang sama. Aku juga suka buku-buku klasik seperti itu.”

Percakapan mereka mengalir begitu saja. Tidak ada rasa canggung seperti yang biasanya muncul ketika dua orang asing mulai berbicara. Nara merasa seperti sudah mengenal Dika lebih lama, seolah mereka telah menjadi teman baik dalam waktu yang sangat singkat. Mereka berbicara tentang buku-buku favorit, musik, dan banyak hal lainnya yang ternyata mereka sukai bersama. Setiap detik yang berlalu membuat Nara merasa semakin nyaman berada di dekatnya.

Dika tidak hanya berbicara dengan penuh perhatian, tetapi juga dengan kehangatan yang membuat Nara merasa dihargai. Senyuman di wajahnya tidak pernah pudar, dan matanya memancarkan ketulusan yang membuat Nara merasa aman. Sejak saat itu, setiap kali Nara pergi ke kafe itu, Dika selalu ada di sana, entah kebetulan atau memang mereka mulai saling menunggu untuk bertemu.

Beberapa hari kemudian, Nara memutuskan untuk pergi ke kafe itu lagi, berharap bisa bertemu Dika. Dan benar saja, saat ia memasuki kafe, Dika sudah duduk di meja favorit mereka. Begitu melihat Nara, Dika menyapa dengan senyuman lebar.

“Hai, Nara. Apa kabar?” tanya Dika dengan suara lembut.

Nara tersenyum malu. “Aku baik, Dika. Kebetulan sekali kamu di sini lagi.”

Dika tertawa, “Aku memang sering datang ke sini. Tempat ini enak untuk bersantai, bukan?”

Nara mengangguk. “Iya, aku suka suasananya. Tenang dan nyaman.”

Seiring berjalannya waktu, mereka mulai lebih sering bertemu. Tidak hanya di kafe, tetapi juga di tempat-tempat lain yang mereka kunjungi bersama. Setiap pertemuan mereka semakin intens, dan tanpa mereka sadari, kedekatan itu perlahan-lahan berubah menjadi sesuatu yang lebih. Rasa nyaman dan bahagia yang muncul setiap kali bertemu Dika membuat Nara mulai merasakan sesuatu yang lebih dalam. Namun, ia berusaha untuk tidak terburu-buru. Cinta pertama selalu terasa manis, tetapi ia tidak ingin terlalu cepat jatuh dalam perasaan yang belum jelas arahnya.

Pada suatu malam, saat mereka duduk bersama di taman, suasana terasa begitu tenang. Angin berhembus lembut, dan suara riak air di kolam memecah keheningan. Dika menatap Nara dengan senyum khasnya yang membuat jantung Nara berdegup lebih cepat. Ada sesuatu yang berbeda dalam pandangannya malam itu.

“Nara, aku senang kita bertemu,” kata Dika, suaranya terdengar lebih dalam dari biasanya.

Nara menatapnya, terkejut dengan kata-katanya. “Aku juga senang. Rasanya seperti kita sudah lama kenal, ya?”

Dika tertawa pelan. “Mungkin karena kita memang sudah lama mengenal satu sama lain, meskipun baru bertemu. Kamu tahu, ada sesuatu dalam dirimu yang membuat aku merasa nyaman.”

Nara merasa pipinya memanas, tetapi ia berusaha tetap tenang. “Aku merasa begitu juga, Dika. Aku tidak pernah merasa sebahagia ini sebelumnya.”

Malam itu, mereka hanya duduk diam dalam keheningan yang penuh makna. Tanpa banyak kata-kata, kedekatan mereka semakin mendalam. Nara mulai merasa bahwa Dika lebih dari sekadar teman, tetapi ia belum bisa mengungkapkan perasaannya begitu saja. Ia tahu, cinta pertama itu indah, tetapi juga bisa sangat rumit.

Keesokan harinya, mereka melanjutkan rutinitas mereka, tetapi perasaan Nara mulai lebih jelas. Setiap kali melihat Dika, hatinya berdebar-debar, dan ia mulai merasakan ketertarikan yang lebih dalam. Ia tidak tahu apakah Dika merasakannya juga, tetapi yang pasti, setiap detik yang dihabiskan bersamanya terasa seperti momen yang tak ingin ia lupakan.

Namun, meskipun perasaan itu tumbuh begitu cepat, Nara mencoba untuk menjaga jarak. Ia tahu bahwa cinta pertama sering kali datang dengan penuh gejolak dan kegembiraan, tetapi ia tidak ingin terburu-buru. Ia ingin merasakan setiap momen dengan Dika tanpa terbebani oleh ekspektasi. Baginya, hubungan ini adalah tentang menikmati kebersamaan mereka, tanpa harus terburu-buru menuju sesuatu yang lebih besar.

Saat itu, Nara tidak menyadari bahwa perasaan yang mulai tumbuh di hatinya akan membawa perubahan besar dalam hidupnya. Cinta pertama memang selalu terasa manis, tetapi kadang, manisnya itu bisa berubah menjadi pahit ketika rindu dan harapan tak selalu sejalan. Namun, untuk saat ini, Nara memilih untuk menikmati setiap detik yang mereka habiskan bersama, membiarkan perasaan itu tumbuh dengan sendirinya, seperti bunga yang mekar perlahan.*

BAB 3 Ketergantungan yang Tumbuh

Hari-hari Nara semakin berubah sejak kedekatannya dengan Dika berkembang pesat. Awalnya, hubungan mereka terasa ringan dan menyenangkan, seperti sebuah kisah cinta pertama yang sempurna. Tawa mereka yang bergaung di ruang kelas, pesan-pesan singkat yang mereka tukar sepanjang hari, dan kebersamaan mereka yang terjalin dengan alami. Namun, seiring berjalannya waktu, Nara mulai merasakan sesuatu yang berbeda dalam dirinya. Sesuatu yang lebih dalam, yang kini mulai meresap dan mengubah cara dia memandang Dika.

Nara menyadari bahwa ia mulai bergantung terlalu banyak pada perhatian Dika. Setiap pesan singkat darinya membuat hatinya berdebar, setiap pertemuan mereka menjadi momen yang tak bisa dihitung dengan jari. Terkadang, Nara merasa cemas jika Dika tidak segera membalas pesannya, atau jika ada jeda waktu yang lama antara pertemuan mereka. Perasaan cemas itu terus menghantui, dan meskipun ia mencoba untuk mengabaikannya, rasa ketergantungan itu semakin menguat.

Suatu malam, ketika Nara sedang belajar di kamarnya, ponselnya bergetar. Nama Dika muncul di layar, membuat jantungnya berdegup kencang. Nara dengan cepat membuka pesan itu, berharap ada kabar darinya yang akan membuat hatinya tenang. Namun, yang ia baca justru membuatnya merasakan kegelisahan.

“Sorry, aku lagi sibuk banget, nggak bisa ketemu hari ini.”

Meskipun kata-kata itu sederhana, bagi Nara, kalimat itu seperti sebuah beban yang tak tertahankan. Seperti ada kekosongan dalam dirinya yang tiba-tiba muncul. Rasa kecewa langsung menghampiri, dan ia merasa seolah-olah dunia kecil mereka mulai retak. Dika yang selalu hadir, yang selalu memberi perhatian penuh, kini sibuk dengan aktivitasnya. Ia merasa seperti dibuang, meskipun Dika tidak pernah mengatakannya secara langsung.

Nara mencoba menenangkan dirinya. *“Tidak masalah,”* pikirnya. *“Aku bisa mengerti kalau dia sibuk.”* Tetapi semakin lama, semakin sering ia merasa cemas dan tertekan setiap kali Dika tidak memberinya perhatian seperti dulu. Ia mencoba untuk beralasan, tetapi kenyataan bahwa ia bergantung pada Dika untuk merasa bahagia semakin sulit untuk dihindari.

Keesokan harinya, Nara menunggu pesan dari Dika. Setiap detik terasa panjang, dan ia mulai merasa aneh dengan ketergantungannya pada seorang pria. Dalam pikirannya, hanya Dika yang bisa membuatnya merasa lebih baik. Hanya Dika yang bisa mengubah suasana hatinya yang kacau. Ia tidak bisa mengalihkan pikirannya ke hal lain; setiap detik yang berlalu tanpa kabar darinya semakin membuat rasa tidak aman itu semakin membesar.

“Kenapa aku merasa seperti ini?” gumam Nara pada dirinya sendiri. Ia mencoba berpikir rasional. Seharusnya, ia tidak boleh bergantung pada seseorang untuk kebahagiaannya. Seharusnya, ia bisa merasakan kebahagiaan tanpa harus menunggu kabar dari orang lain. Tetapi kenyataannya, setiap kali Dika tidak ada, Nara merasa terjebak dalam kekosongan.

Rindu yang sebelumnya terasa manis kini berubah menjadi sebuah beban. Ketika Dika akhirnya mengirim pesan kembali setelah beberapa hari, Nara merasa seperti terbangun dari sebuah mimpi buruk. *“Aku kangen kamu,”* tulis Dika dalam pesan itu. Meskipun itu adalah kalimat yang sering diucapkan, kali ini Nara merasa tidak ada lagi kebahagiaan dalam kata-kata itu. Apa artinya kerinduan jika hanya datang setelah ketidakhadiran yang terlalu lama?

Nara tidak bisa lagi menyangkal kenyataan bahwa perasaannya terhadap Dika telah berubah menjadi ketergantungan. Sebuah ketergantungan yang melibatkan perasaan cemas, takut kehilangan, dan kekosongan saat mereka tidak bersama. Setiap kali Dika tidak ada, dunia Nara terasa hampa, seolah-olah ia kehilangan arah. Ia merasa terperangkap dalam ketidakpastian, menunggu kepastian dari Dika yang tidak pernah datang.

Hari-hari berikutnya, Nara semakin sering memikirkan hal ini. Ia tidak bisa lagi fokus pada pelajaran atau hal-hal lain yang biasanya ia nikmati. Segala sesuatunya terasa kurang lengkap tanpa Dika di sisinya. Ketika mereka bertemu, meskipun senyuman dan obrolan ringan mengisi suasana, Nara merasakan ketegangan di dalam dirinya. Ia merasa seperti ada sesuatu yang hilang, seolah-olah hubungan ini hanya dapat bertahan jika Dika terus memberinya perhatian yang tidak terbatas.

Nara mulai merasa bingung dengan perasaannya. Apakah ini cinta atau hanya ketergantungan emosional? Apakah perasaan cemas dan gelisah yang ia rasakan merupakan tanda dari hubungan yang sehat, atau justru pertanda bahwa ada sesuatu yang tidak benar dalam dirinya? Ia tidak tahu jawabannya, tetapi yang jelas, ketergantungan itu sudah mulai menguasainya. Ia takut kehilangan Dika, meskipun pada saat yang sama, ia merasa tertekan oleh kehadirannya yang terlalu dominan.

Suatu malam, Nara memutuskan untuk berbicara dengan sahabatnya, Rina, tentang apa yang ia rasakan. Rina yang selalu menjadi pendengar setia, mendengarkan dengan penuh perhatian. Setelah Nara selesai bercerita, Rina menatapnya dengan mata yang penuh keprihatinan.

“Nara,” kata Rina lembut, “cinta itu seharusnya membuatmu merasa bebas, bukan terjebak dalam ketakutan dan kecemasan. Kalau kamu merasa seperti ini, mungkin kamu perlu lebih fokus pada dirimu sendiri dulu. Jangan sampai hubungan ini menjadi beban yang justru menghancurkanmu.”

Kata-kata Rina menyentuh hati Nara. Ia tahu bahwa ada kebenaran dalam apa yang dikatakan sahabatnya. Nara merasa seperti baru menyadari bahwa ia terlalu lama menyembunyikan ketergantungannya dalam diam. Cinta seharusnya bukan tentang ketakutan kehilangan, melainkan tentang kebersamaan yang saling memberi ruang dan tumbuh bersama.

Namun, meskipun Nara mencoba untuk memahami perasaannya, ia masih merasa bingung dan terjebak dalam ketergantungan itu. Setiap kali Dika mengabaikannya, ia merasa semakin terperangkap dalam kecemasannya. Namun, ia juga tahu bahwa jika ia tidak segera menghadapinya, ketergantungan ini akan terus merusak dirinya dan hubungan mereka.

Ketergantungan itu bukanlah cinta yang sejati, dan Nara harus belajar untuk melepaskan diri dari perasaan itu, meskipun sangat sulit. Sebuah perjalanan panjang menanti Nara untuk memahami arti sebenarnya dari cinta pertama yang sehat dan saling mendukung.*

BAB 4 Rindu yang Membebani

Hari itu, Nara duduk di balkon rumahnya, memandangi langit yang mulai gelap. Suara angin yang berhembus lembut tak mampu meredakan gelisah yang terus menghantui pikirannya. Jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam, tetapi ponselnya masih sunyi. Sejak pagi, ia sudah mengirimkan beberapa pesan kepada Dika, berharap ada kabar darinya. Namun hingga malam ini, tidak ada satu pun pesan balasan yang datang.

Nara memutar-mutar cincin di jarinya, mengingat kembali saat-saat indah mereka bersama. Saat Dika masih berada di kota yang sama, mereka sering menghabiskan waktu bersama. Mereka selalu saling mengirim pesan, berbicara sepanjang malam, dan merencanakan pertemuan yang membuat hati mereka selalu berbunga. Tapi kini, setelah Dika pergi ke luar kota untuk pekerjaan, semuanya berubah. Komunikasi mereka mulai renggang, dan meskipun mereka berusaha menjaga jarak, Nara merasa perasaan rindu itu semakin kuat menggerogoti dirinya.

Beberapa waktu lalu, ketika Dika mengabarkan bahwa ia akan bekerja di luar kota selama beberapa bulan, Nara merasa cemas, namun ia berusaha meyakinkan diri bahwa mereka bisa melewati jarak ini. Namun, seiring berjalannya waktu, kenyataan ternyata lebih pahit daripada yang ia bayangkan. Rindu yang awalnya terasa manis, kini menjadi racun yang membebani.

Setiap kali Nara melihat pesan-pesan dari teman-temannya yang menunjukkan kebahagiaan dalam hubungan mereka, hatinya semakin perih. Semua teman Nara sepertinya selalu punya waktu untuk bersama pasangan mereka, sementara ia hanya bisa menunggu kabar dari Dika yang semakin jarang datang. Apa yang terjadi dengan mereka? Apakah Dika sudah tidak peduli lagi? Apakah ia merasa lelah dengan hubungan ini? Semua pertanyaan itu terus berputar di kepala Nara, tetapi tidak ada jawaban yang datang.

Ponselnya bergetar, dan Nara segera menatap layar. Itu adalah pesan dari Dika.

“Maaf, tadi sibuk banget. Aku baru sempat balas sekarang.”

Nara merasakan sedikit kelegaan. Setidaknya Dika masih mengingatnya, meskipun kata-kata itu terasa seakan tidak cukup untuk meredakan kekhawatirannya. Sejenak, ia terdiam, membaca pesan itu berulang kali sebelum akhirnya membalas.

“Aku mengerti kok. Tapi kenapa sekarang kamu jarang balas pesan? Aku jadi merasa kesepian.”

Setelah beberapa menit, Dika membalas dengan pesan singkat.

“Aku juga kangen, Nia. Tapi aku memang sibuk banget belakangan ini. Aku nggak mau kamu merasa kesepian.”

Meski kata-kata Dika menyentuh hati Nara, namun rasa kecewa tak bisa disembunyikan. Kenapa ia merasa seperti ini? Apakah Dika benar-benar memahami betapa beratnya perasaan rindu yang ia rasakan? Ataukah semua itu hanya terlihat sepele bagi Dika? Nara menghela napas panjang dan mencoba mengalihkan pikirannya.

Namun, rindu yang ia rasakan tidak bisa hilang begitu saja. Setiap kali Dika mengirim pesan singkat, Nara merasa sedikit tenang, tetapi hanya untuk sementara. Setiap pertemuan dengan teman-temannya yang penuh kebahagiaan semakin membuat hatinya teriris. Rindu yang terpendam semakin hari semakin menekan dadanya. Ia merasa seperti terjebak dalam sebuah ruang sempit yang tak bisa keluar.

Malam itu, Nara terbangun dari tidurnya yang gelisah. Pikirannya kembali tertuju pada Dika. Ia merindukan suaranya, senyumnya, bahkan caranya yang selalu tahu bagaimana membuatnya merasa aman. Tetapi kini, semuanya terasa begitu jauh. Dika yang dulu selalu ada untuknya, kini seperti menjadi sosok yang asing. Ia takut hubungan mereka semakin terkikis oleh jarak yang semakin melebar.

Keesokan harinya, Nara berjalan ke kampus dengan perasaan berat. Selama beberapa minggu terakhir, ia merasa seperti ada yang hilang dalam hidupnya. Waktu yang semestinya menjadi milik mereka berdua, kini terasa sia-sia. Ia ingin berusaha mengerti Dika, tetapi perasaan rindu yang semakin menguasai dirinya mulai menggerogoti hati. Setiap kali mereka berbicara, ada perasaan kosong yang tak bisa dijelaskan. Entah itu karena jarak ataukah karena perasaan mereka yang mulai berubah.

Selama kuliah, Nara merasa tidak fokus. Pikiran tentang Dika terus menghantuinya. Ia merasa seolah-olah dirinya tidak cukup berarti bagi Dika. Rindu yang ia rasakan sekarang seolah-olah menggerogoti semua kebahagiaan yang dulu mereka nikmati bersama. Ia merasa seperti terjebak dalam hubungan yang semakin hari semakin terasa berat. Tapi ia juga tidak bisa membayangkan hidup tanpa Dika.

Ketika pulang ke rumah, Nara memutuskan untuk menghubungi Dika. Ia ingin berbicara lebih banyak, mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan mereka berdua. Tetapi sebelum sempat menekan tombol panggilan, ponselnya bergetar, dan sebuah pesan masuk.

“Nia, aku pikir kita butuh waktu untuk berpikir. Maaf, aku nggak bisa terus seperti ini. Aku rasa hubungan kita sedang diuji.”

Pesan itu seperti petir yang menyambar hati Nara. Rasa sakit dan bingung memenuhi dadanya. Apa yang dimaksud dengan “waktu untuk berpikir”? Apakah Dika merasa sama seperti dirinya? Rindu yang begitu besar, namun seakan tidak ada jalan untuk menyatukan perasaan mereka kembali. Akankah rindu ini terus menggerogoti mereka?

Nara tahu, kini ia harus menghadapi kenyataan bahwa rindu bukanlah sesuatu yang selalu indah. Rindu, yang awalnya membawa kedekatan dan kebahagiaan, kini menjadi beban yang tak tertahankan. Mungkin, dalam cinta pertama ini, Nara harus belajar bagaimana merelakan, meskipun itu bukanlah hal yang mudaH.*

BAB 5 Jarak yang Tercipta

Nara duduk di tepi jendela kamarnya, menatap hujan yang turun perlahan. Air hujan mengalir di kaca jendela, seolah menggambarkan perasaan hatinya yang tengah didera kerinduan yang mendalam. Sejak Dika pergi ke luar kota untuk bekerja, hidupnya seakan berhenti. Setiap sudut kamarnya terasa kosong, sepi tanpa tawa Dika yang dulu selalu mengisi hari-harinya. Mereka dulu selalu berbicara hampir setiap hari, berbagi cerita, dan merencanakan masa depan bersama. Namun kini, semuanya terasa begitu jauh.

Setiap kali pesan atau telepon dari Dika datang, Nara merasa ada sesuatu yang hilang. Tidak ada lagi kehangatan seperti dulu, percakapan yang mengalir dengan mudah. Sekarang, komunikasi mereka terasa canggung dan terbatas. Mereka mencoba menjaga hubungan dengan rutin saling menghubungi, namun meskipun sudah ada kata-kata yang diucapkan, ada jarak yang tak bisa diatasi. Waktu yang terbatas, kesibukan Dika, dan jarak yang memisahkan mereka membuat Nara merasa semakin terisolasi.

Hari-hari berlalu, dan Nara merasa semakin terbebani oleh perasaan rindu yang tak tertahankan. Ia berusaha menghibur dirinya dengan kegiatan sehari-hari, tetapi setiap kali ia melihat tempat-tempat yang pernah mereka kunjungi bersama, ingatan tentang Dika kembali menghantuinya. Bahkan saat ia berusaha berkonsentrasi pada tugas sekolah, pikirannya selalu kembali kepada Dika, tentang bagaimana kabarnya, apakah ia merindukannya juga, atau apakah ia sedang sibuk dengan pekerjaan baru yang menarik perhatiannya.

Di sisi lain, Dika juga merasakan kesulitan yang sama. Meskipun ia tidak mengungkapkannya secara langsung kepada Nara, ia tahu bahwa hubungan mereka mulai terasa berat. Setiap kali ia kembali ke tempat asalnya, ia merasa rindu, tetapi kenyataan bahwa jarak memisahkan mereka membuat perasaan itu sulit untuk dipahami. Pekerjaannya di luar kota semakin menyita waktu dan energinya. Ia mencoba untuk menghubungi Nara sesering mungkin, tetapi ia merasa kesulitan untuk menemukan waktu yang tepat, apalagi setelah hari-harinya dipenuhi dengan pekerjaan yang semakin menumpuk.

Namun, semakin lama Dika merasakan ada sesuatu yang hilang. Meski ia berusaha berkomunikasi dengan Nara melalui pesan atau panggilan video, ia merasa seperti ada yang tak terjangkau dalam hubungan mereka. Nara, yang dulunya selalu ceria dan penuh semangat, kini lebih sering diam. Ia tampak lebih cemas, lebih jarang tersenyum. Dika bisa merasakannya, meskipun mereka tidak berada dalam jarak yang jauh.

Suatu malam, saat Dika memutuskan untuk menelepon Nara setelah beberapa hari tidak berhubungan, ia merasa cemas. Waktu sudah larut malam, dan Nara sepertinya baru selesai dari tugas sekolahnya. Saat mereka mulai berbicara, suasana terasa aneh. Percakapan yang dulu mengalir begitu lancar kini terasa terhenti. Dika bertanya tentang hari-hari Nara, tetapi jawabannya terasa lebih singkat dari biasanya.

“Nara, kamu baik-baik saja?” tanya Dika pelan, mencoba menembus kesunyian.

Nara terdiam sejenak, tidak tahu bagaimana menjawab pertanyaan itu. Ia merasa bingung dengan perasaannya sendiri. “Aku… aku nggak tahu, Dika,” jawabnya pelan. “Semakin lama, aku merasa semakin jauh dari kamu. Semua ini terasa berbeda.”

Dika merasakan ketegangan di suara Nara. Ia merasa cemas, namun ia juga tidak tahu bagaimana mengatasi semua perasaan ini. “Aku tahu, Nara. Aku juga merasakannya. Waktu dan jarak ini membuat semuanya terasa berbeda, dan aku nggak tahu harus bagaimana.”

Suasana hening sejenak. Kedua hati itu terjebak dalam kesunyian, masing-masing mencoba mencari jalan keluar dari kebingungan yang menghinggapi mereka. Rindu yang dulu menjadi pengikat kini justru menjadi jarak yang semakin lebar, membuat mereka merasa semakin terpisah.

“Rindu ini, Dika,” ujar Nara dengan suara yang hampir pecah. “Rindu ini semakin menggerogoti aku. Aku merasa seperti nggak ada di dunia yang sama dengan kamu lagi. Apa kamu merasakannya juga?”

Dika menggigit bibirnya, merasakan perasaan yang sama. “Aku merasakannya, Nara. Setiap hari, aku merasa semakin jauh darimu. Aku nggak ingin ini terjadi, tapi aku juga nggak tahu bagaimana cara mengatasi perasaan ini.”

Nara memejamkan mata, merasakan beban yang semakin berat di dadanya. Ia tahu bahwa mereka berdua sedang berjuang melawan sesuatu yang tidak bisa mereka atasi dengan mudah. Meskipun mereka saling mencintai, kenyataan bahwa jarak yang tercipta semakin besar membuat semuanya terasa tidak pasti.

Dika melanjutkan, suaranya lebih pelan dan penuh penyesalan. “Aku ingin semuanya bisa lebih mudah, Nara. Aku ingin kita bisa bersama lagi, tanpa ada jarak yang memisahkan kita. Tapi aku nggak tahu bagaimana caranya. Aku nggak ingin kehilangan kamu, tetapi aku juga nggak bisa menjanjikan sesuatu yang lebih.”

Nara terdiam lama. Rindu yang begitu dalam kini berubah menjadi kepedihan yang tak bisa ia sembunyikan. Meskipun ia ingin percaya bahwa hubungan mereka bisa bertahan, ia merasa ada ketidakpastian yang semakin sulit dihadapi. “Aku juga nggak tahu apa yang harus kita lakukan, Dika. Aku takut kalau semua ini semakin jauh, kita akan kehilangan satu sama lain.”

Percakapan itu berakhir dengan suara berat, keduanya tidak tahu apa yang harus dilakukan untuk mengubah situasi ini. Mereka hanya tahu bahwa jarak yang tercipta semakin sulit untuk dijembatani, dan setiap usaha untuk meraih kembali kehangatan yang dulu ada seolah sia-sia.

Nara menatap kembali hujan yang masih turun di luar. Ia tahu bahwa ia harus mencari cara untuk menghadapinya, untuk melepaskan sebagian dari rindu yang telah menggerogoti dirinya. Namun, ia juga tahu bahwa melepaskan Dika bukanlah hal yang mudah. Rindu ini adalah racun yang semakin menguasai hati mereka, dan mereka harus memilih untuk bertahan atau melepaskan semuanya agar tidak saling melukai lebih dalam.*

BAB 6 Rindu yang Menggerogoti

Hari-hari berlalu dengan lambat. Setiap pagi Nara terbangun dengan perasaan hampa. Rindu yang semula terasa seperti angin sepoi-sepoi kini berubah menjadi beban berat yang menggerogoti setiap sudut hatinya. Pagi-pagi, ia menatap ponselnya, berharap ada pesan atau telepon dari Dika, tetapi yang ia dapatkan hanyalah notifikasi dari aplikasi media sosial yang tak ada artinya.

Rindu itu bukan sekadar perasaan ingin bertemu. Bagi Nara, rindu adalah racun yang perlahan-lahan menyusup ke dalam dirinya. Setiap kali ia teringat Dika, perasaan itu menguasainya. Seakan-akan, ia tak bisa melangkah tanpa membawa rasa rindu yang begitu mendalam. Namun, meskipun ia merindukannya, Nara mulai merasa semakin jauh dari Dika. Mereka berkomunikasi, tetapi setiap percakapan terasa canggung dan tidak sehangat dulu. Pesan singkat yang dulunya membuat hatinya berbunga-bunga kini hanya memberikan rasa hampa yang semakin mendalam.

Pagi itu, Nara duduk di meja belajarnya, menatap halaman-halaman buku yang terbuka tanpa bisa fokus. Pikiran tentang Dika terus menghantui. Bagaimana kabarnya? Apakah ia merindukannya seperti Nara merindukannya? Ataukah ia sibuk dengan kehidupannya sendiri, dengan pekerjaan dan aktivitas yang tak ada habisnya? Di satu sisi, Nara ingin memaksa dirinya untuk berhenti memikirkan Dika, tetapi di sisi lain, ia merasa seperti ada yang hilang dari dirinya jika ia berhenti merindukannya.

Ia menghembuskan napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya. Tapi semakin ia mencoba mengalihkan perhatian, semakin kuat perasaan rindu itu menyusup. Rindu itu seolah-olah datang dengan cara yang tak terduga, menyerang kapan saja, tanpa pemberitahuan. Terkadang, itu muncul saat ia duduk sendiri di kafe, atau ketika ia mendengar lagu tertentu yang mengingatkannya pada Dika. Saat-saat seperti itu membuatnya merasa seolah-olah ia tenggelam dalam kenangan, dan semakin tenggelam, semakin sulit untuk menemukan jalan keluar.

Nara pun mulai merasa cemburu, sebuah perasaan yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya. Melihat Dika sibuk dengan pekerjaan dan kehidupan sosialnya yang terus berkembang, ia merasa ada sesuatu yang hilang dalam dirinya. Ia ingin Dika ada lebih banyak untuknya, ingin Dika merasakan betapa beratnya rindu yang ia tanggung, tetapi kenyataannya, Dika tampaknya lebih tenang dan tidak begitu terpengaruh oleh perasaan itu.

“Kenapa dia tidak merasakan hal yang sama?” gumam Nara pelan, sambil menatap layar ponselnya yang kosong.

Ia kemudian melihat kembali foto-foto mereka berdua di galeri ponselnya. Foto-foto yang dulu begitu penuh kebahagiaan, kini hanya menambah beban di hatinya. Seperti ada sesuatu yang hilang dari setiap gambar itu. Dulu, setiap kali mereka berdua bersama, dunia terasa begitu sempurna. Sekarang, kenangan-kenangan itu terasa seperti belati yang menusuk-nusuk hatinya.

Hari demi hari, Nara mencoba berbicara lebih banyak dengan Dika, namun percakapan mereka semakin jarang. Pesan singkat yang dulunya bisa saling bertukar banyak cerita kini hanya berisi kabar yang singkat dan tidak berbobot. Tidak ada lagi tawa ringan di antara mereka, tidak ada lagi saling berbagi cerita seperti dulu. Nara tahu Dika sibuk, tapi ia juga merasa Dika mulai menjauh. Ia merasa seolah-olah tidak lagi menjadi bagian dari hidup Dika. Setiap kali Dika tidak membalas pesannya dalam waktu yang lama, hatinya dipenuhi dengan keraguan dan kecemasan. Apakah Dika masih peduli padanya? Atau apakah hubungan ini hanya menjadi kenangan yang perlahan-lahan memudar?

Suatu malam, saat hujan turun dengan deras, Nara duduk di jendela kamar, menatap hujan yang tak henti-hentinya mengguyur bumi. Ia merasa sesak, seperti ada sesuatu yang mengekangnya dari dalam. Ia ingin berbicara dengan Dika, tetapi entah kenapa ia merasa terlalu takut. Takut jika percakapan itu hanya akan membuatnya merasa lebih sakit lagi. Jadi, ia memutuskan untuk menulis sebuah pesan.

“Dika, aku rindu. Sangat rindu. Tapi aku juga merasa semakin jauh dari kamu. Aku nggak tahu harus bagaimana lagi. Setiap kali kita berbicara, aku merasa kita semakin kehilangan arah. Apa yang terjadi dengan kita, Dika? Apa aku hanya berlebihan?”

Setelah menulis pesan itu, Nara merasa sedikit lega. Setidaknya ia bisa mengungkapkan apa yang ia rasakan. Tapi saat ia menunggu balasan, perasaan ragu kembali datang. Apakah Dika akan mengerti? Apakah ia akan merasa hal yang sama? Atau, akankah Dika semakin menjauh?

Tak lama kemudian, pesan dari Dika masuk. Nara membuka pesan itu dengan hati berdebar. “Aku juga merindukan kamu, Nia. Tapi aku merasa ada banyak hal yang harus aku pikirkan. Aku nggak ingin kamu merasa terluka karena aku. Aku takut kalau aku terus-terusan seperti ini, aku akan membuat kamu merasa seperti terabaikan.”

Mendengar balasan itu, Nara merasa tertegun. Perasaan campur aduk muncul dalam dirinya. Sebagian besar hatinya senang mendengar bahwa Dika merindukannya, tetapi di sisi lain, ia merasa semakin terperangkap dalam ketidakpastian. Rindu yang awalnya terasa manis kini berubah menjadi sesuatu yang menyakitkan. Setiap kata dari Dika seperti duri yang menusuk, membuat perasaan Nara semakin sulit dipahami. Cinta itu ada, tetapi tidak cukup kuat untuk mengalahkan jarak yang tercipta di antara mereka. Rindu itu, yang semula memberi kebahagiaan, kini menjadi beban yang menggerogoti.

Nara menatap ponselnya untuk beberapa lama, berpikir apakah ia harus terus melanjutkan hubungan ini ataukah melepaskan Dika dan merelakan semua yang telah mereka lewati. Di dalam hatinya, ia tahu bahwa melepaskan mungkin adalah jalan terbaik. Namun, rindu yang menggerogoti membuatnya merasa begitu sulit untuk melepaskan. Karena rindu itu, cinta pertama yang ia rasakan begitu dalam, dan seolah-olah tak ada jalan keluar dari perasaan ini.

Nara menyadari bahwa cinta pertama memang tak pernah mudah, dan terkadang, rindu bisa menjadi racun yang perlahan-lahan membunuh kebahagiaan yang ada. Tetapi ia juga tahu bahwa ia harus memilih antara merasakan sakit yang terus-menerus atau mencoba untuk menyembuhkan dirinya sendiri.*

BAB 7 Cinta yang Terabaikan

Hari itu, cuaca terasa mendung dan angin bertiup kencang, seolah mencerminkan suasana hati Nara. Di bangku taman yang biasa mereka duduki bersama, Nara duduk seorang diri, memandangi langit yang kelabu. Sudah lebih dari seminggu sejak Dika kembali ke kota, tetapi segala sesuatunya tampaknya berbeda. Mereka tidak lagi merasakan kebahagiaan yang sama seperti dulu. Semua terasa jauh, bahkan ketika mereka duduk berdekatan.

Nara memandangi layar ponselnya yang sepi. Tidak ada pesan masuk dari Dika. Tidak ada telepon. Hanya kesepian yang menyelimuti hatinya. Dulu, sebelum Dika pergi untuk bekerja di luar kota, mereka selalu saling memberi kabar. Setiap pagi, Nara akan menerima pesan manis darinya yang selalu membuat hari-harinya terasa cerah. Tetapi kini, setelah Dika kembali, pesan-pesan itu menghilang begitu saja. Keterbatasan waktu dan komunikasi membuat Nara merasa semakin terabaikan.

Dika yang dulu selalu ada untuknya, yang selalu bisa membuat Nara merasa penting, kini tampak seperti bayangan yang semakin menjauh. Ada yang hilang dalam hubungan ini, dan Nara merasakannya dengan begitu dalam. Setiap kali mereka bertemu, Dika tampak sibuk dengan ponselnya, lebih banyak menghabiskan waktu untuk pekerjaan atau teman-temannya, sementara Nara hanya bisa menatapnya dengan rasa kesepian yang mencekam.

Nara memutuskan untuk menghubungi Dika. Dengan perasaan ragu, ia mengetik pesan singkat: *”Kapan kita bisa bicara? Aku merasa ada yang berbeda, Dika.”* Ia menunggu dengan hati yang berdebar-debar, berharap Dika segera membalas. Namun, waktu berlalu, dan pesan itu tetap tak terjawab.

“Kenapa kamu begitu jauh, Dika?” gumam Nara pada dirinya sendiri. Rindu yang dulu mengikat mereka kini berubah menjadi sebuah luka yang perih. Setiap kali mengingat Dika, hatinya terasa hancur, tapi ia juga tidak bisa berhenti mencintainya. Cinta yang seharusnya membawa kebahagiaan, kini malah membuatnya terperangkap dalam rasa sakit yang tak terucapkan.

Beberapa hari kemudian, Nara memutuskan untuk menemui Dika secara langsung. Ia tahu, jika terus membiarkan perasaan ini mengendap, ia akan semakin tenggelam dalam kesedihan yang tak berujung. Mereka berjanji untuk bertemu di sebuah kafe kecil yang sering mereka kunjungi. Tempat itu menyimpan banyak kenangan indah, tetapi kini, suasananya terasa asing. Nara sudah tiba lebih dulu, duduk di meja yang biasa mereka pilih, dan menunggu dengan penuh kecemasan.

Tidak lama kemudian, Dika datang. Ia terlihat kelelahan, dan mata mereka saling bertemu sejenak sebelum Dika duduk di hadapan Nara. Ada sesuatu yang berbeda dalam pandangan Dika, sesuatu yang membuat Nara semakin merasa asing.

“Hai,” ujar Dika dengan suara datar, berusaha tersenyum meskipun tampak jelas bahwa senyuman itu tidak tulus.

“Hai,” jawab Nara, mencoba untuk tetap tenang meskipun hatinya dipenuhi kekhawatiran. “Aku… aku ingin bicara, Dika. Aku merasa ada yang salah dalam hubungan kita.”

Dika terdiam sejenak, seolah berpikir keras sebelum akhirnya berbicara. “Aku tahu, Nara. Aku juga merasakannya. Tapi aku rasa, kita terlalu sibuk dengan hidup kita masing-masing. Aku terlalu fokus pada pekerjaanku, dan aku tahu itu menyakiti kamu.”

Nara menatap Dika dengan mata yang mulai berkaca-kaca. “Kamu sudah sangat jauh, Dika. Aku merasa seperti tidak lagi berarti untukmu. Dulu, kita selalu berbagi waktu bersama, tapi sekarang aku seperti tidak ada dalam hidupmu.”

Dika menunduk, seolah tidak mampu menghadapi tatapan Nara yang penuh dengan perasaan terluka. “Aku tidak bermaksud membuatmu merasa seperti itu, Nara. Aku benar-benar sibuk, dan aku rasa aku terlalu memikirkan pekerjaanku. Aku tahu aku sudah terabaikan, dan aku sangat menyesal.”

Nara menggigit bibirnya, berusaha menahan air mata yang hampir jatuh. “Dika, rindu yang kita rasakan dulu, yang selalu membuat kita bahagia, sekarang malah berubah menjadi beban. Aku merindukanmu, tapi setiap kali aku mencoba menghubungimu, aku hanya merasa semakin jauh darimu. Aku tidak tahu apakah aku masih bisa terus bertahan dengan perasaan seperti ini.”

Dika menatap Nara dengan penuh penyesalan. “Aku tidak ingin menyakitimu, Nara. Aku tahu aku sudah salah. Aku sudah terlalu sibuk dengan duniaku sendiri dan mengabaikan perasaanmu. Tapi… aku masih mencintaimu, meskipun aku tidak tahu bagaimana cara untuk memperbaiki semuanya.”

Nara menarik napas panjang, mencoba untuk menenangkan dirinya. “Aku juga masih mencintaimu, Dika. Tapi aku tidak tahu seberapa lama aku bisa terus menunggu tanpa mendapatkan perhatian darimu. Cinta seharusnya membuat kita bahagia, bukan membuat kita merasa kosong dan terabaikan.”

Suasana menjadi semakin berat, dan keduanya terdiam. Dika meraih tangan Nara, tetapi Nara menarik tangannya dengan lembut. “Aku butuh lebih dari sekadar kata-kata, Dika. Aku butuh perhatianmu, aku butuh kamu ada di sini, bukan hanya fisikmu, tetapi juga hatimu.”

Dika menundukkan kepala, merasakan beratnya kata-kata Nara. “Aku minta maaf, Nara. Aku benar-benar minta maaf.”

Setelah percakapan itu, Nara merasa sedikit lega karena akhirnya bisa mengungkapkan perasaannya yang selama ini terpendam. Namun, rasa sakit yang ia rasakan tidak segera hilang. Cinta yang ia harapkan akan menjadi pelipur lara kini terasa seperti beban. Dika masih berjuang dengan pekerjaannya, dan Nara merasa semakin terabaikan setiap harinya.

Mereka berdua tahu bahwa hubungan mereka membutuhkan waktu dan usaha untuk kembali seperti dulu. Namun, apakah mereka bisa mengembalikan kebahagiaan itu? Atau apakah cinta mereka akan tetap terabaikan, membiarkan rindu dan kesepian menjadi bagian dari cerita mereka yang tak terungkap?

Nara tahu satu hal pasti: ia harus membuat keputusan untuk dirinya sendiri. Cinta tidak selalu berarti saling memaksa, tetapi juga tentang memahami dan menghargai perasaan satu sama lain. Jika Dika tidak bisa memberikan perhatian yang ia butuhkan, mungkin sudah saatnya untuk melepaskan dan mencari kebahagiaan dalam dirinya sendiri.***

————–THE END————

 

Source: DELA SAYFA
Tags: #PerpisahanEmosional #PenyesalanDalamCinta #CintaYangKandas #PengorbananCinta #PerasaanYangTakTerungkap
Previous Post

WAKTU YANG MENGUJI CINTA KITA

Next Post

HATI YANG TAK BISA MEMAAFKAN

Related Posts

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

May 17, 2025
KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

May 16, 2025
KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

May 15, 2025
RINDU YANG MENYULUT AMARAH

RINDU YANG MENYULUT AMARAH

May 14, 2025
SAAT LUKA MENJADI CINTA

SAAT LUKA MENJADI CINTA

May 13, 2025
JANJI YANG MANIS DI BALIK PENGKHIANATAN

JANJI YANG MANIS DI BALIK PENGKHIANATAN

May 12, 2025
Next Post
HATI YANG TAK BISA MEMAAFKAN

HATI YANG TAK BISA MEMAAFKAN

BERJUTA RINDU HANYA SATU CINTA

BERJUTA RINDU HANYA SATU CINTA

JARAK MEMPERTEMUKAN HATI

JARAK MEMPERTEMUKAN HATI

Top Stories

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

May 17, 2025
KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

May 16, 2025
KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

May 15, 2025

Tentang Kisah Cinta

Kami menyajikan kumpulan novel dan cerpen cinta yang menggambarkan berbagai sisi cinta, dari yang manis hingga yang pahit, dari yang bahagia hingga yang menyayat hati

Connect on Social

© 2024 Kisahcinta.id

No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta

© 2024 Kisahcinta.id