Daftar Isi
BAB 1 SEPUCUK SURAT DARI MASA LALU
Dina duduk di ruang tamu rumah neneknya, tempat ia biasa menghabiskan libur akhir pekan. Matahari pagi menyusup dari celah jendela besar, menyoroti debu-debu halus yang melayang di udara. Di tangannya, ia memegang sebuah kotak kayu tua yang baru saja ditemukan di sudut lemari nenek. Kotak itu tampak usang, dengan ukiran bunga-bunga kecil di tutupnya yang warnanya sudah memudar.
“Ini kotak siapa, Nek?” tanya Dina sambil memutar kotak itu untuk melihat lebih jelas.
Nenek Dina, seorang wanita tua berambut putih dengan senyum lembut, mendekat. “Itu kotak milik ibumu. Dia sering menyimpan barang-barang penting di sana waktu masih muda.”
Dina membuka kotak itu dengan perlahan, seolah-olah benda itu adalah harta karun yang rapuh. Di dalamnya, ia menemukan beberapa benda kecil: foto-foto hitam-putih, bros yang tampaknya antik, dan di dasar kotak, sebuah amplop berwarna cokelat dengan tepian yang mulai lapuk.
Amplop itu tidak memiliki nama pengirim, hanya ada tulisan tangan halus di bagian depan: **Untuk Masa Depan yang Tak Pernah Kuduga.**
Dina menatap tulisan itu lama, mencoba membayangkan siapa yang menulisnya. Ada sesuatu tentang surat itu yang membuat hatinya berdebar. “Boleh aku buka ini, Nek?”
Neneknya tersenyum tipis, lalu mengangguk. “Tentu saja. Siapa tahu itu akan memberimu cerita.”
Dina membuka amplop itu dengan hati-hati dan menarik keluar selembar kertas berwarna krem. Tulisan tangan di atasnya sedikit memudar, tetapi masih cukup jelas untuk dibaca. Ia mulai membaca:
“Kepada kamu yang menemukan surat ini,
Jika kamu membaca ini, mungkin aku sudah tidak ada lagi di dekatmu. Mungkin waktu telah membawa kita ke arah yang berbeda, atau mungkin aku hanya menjadi bagian kecil dari ingatanmu. Tapi yang ingin kukatakan adalah: ada banyak hal yang tak pernah kuungkapkan, dan surat ini adalah caraku berbicara padamu, bahkan jika kita tak lagi bertemu.”*
Dina membaca setiap kata dengan napas yang tertahan. Surat itu terasa begitu personal, seolah-olah ditujukan kepadanya. Ia melanjutkan membaca, tenggelam dalam setiap baris:
*”Kamu tahu, pertemuan pertama kita di bawah pohon kenanga itu adalah momen yang mengubah hidupku. Aku tidak pernah mengira bahwa seseorang bisa begitu mudah membuatku merasa seperti di rumah. Senyummu adalah sesuatu yang tidak bisa kulupakan, bahkan ketika malam terasa panjang dan sepi.”*
Dina berhenti sejenak, mencoba mencerna kata-kata itu. Pohon kenanga? Ia memandang neneknya, yang kini duduk di sofa sambil menatapnya dengan tenang.
“Nek, siapa yang pernah bertemu ibu di bawah pohon kenanga?” tanya Dina penasaran.
Nenek tersenyum samar, tetapi tidak langsung menjawab. “Surat itu… mungkin milik seseorang yang punya tempat istimewa di hati ibumu dulu. Lanjutkan saja membacanya, Dina.”
Dina kembali memusatkan perhatian pada surat itu.
*”Waktu berjalan begitu cepat, dan kita tumbuh dengan cara yang berbeda. Aku ingin mengatakan apa yang kurasakan, tetapi aku terlalu takut akan jawabannya. Mungkin itulah alasan aku menulis surat ini—karena aku tak pernah punya cukup keberanian untuk mengatakannya secara langsung.”*
Dina merasakan ada sesuatu yang menggelitik hatinya, seperti jejak emosi yang hampir sama dengan yang ia rasakan ketika memikirkan seseorang dari masa lalunya sendiri. Surat ini, meskipun ditulis oleh orang lain, terasa begitu dekat dengan dirinya.
Ketika Dina selesai membaca surat itu, ia mendapati dirinya termenung. Surat itu tidak memiliki penutup nama, tidak ada petunjuk siapa yang menulisnya. Namun, perasaan yang terkandung dalam kata-kata itu begitu kuat dan nyata.
“Nek, siapa yang menulis surat ini?” Dina bertanya lagi, suaranya penuh dengan rasa ingin tahu.
Nenek menghela napas panjang, lalu berkata, “Ada seorang pemuda dulu yang sangat dekat dengan ibumu. Namanya Ardi. Mereka bertemu di sekolah, di bawah pohon kenanga yang ada di halaman sekolah itu. Ardi adalah seorang pemimpi, seperti ibumu. Tapi kehidupan memisahkan mereka sebelum mereka bisa benar-benar memahami perasaan masing-masing.”
Dina mengangguk pelan, membayangkan sosok Ardi dalam pikirannya. Surat itu adalah bukti bahwa cinta pertama ibunya tidak pernah benar-benar hilang, bahkan jika ia tidak pernah membicarakannya.
“Nek, apa Ardi masih ada?”
Nenek tersenyum kecil. “Entahlah, Dina. Tapi aku rasa, jika surat itu sudah sampai padamu, mungkin sudah waktunya untuk mencari tahu.”
Dina merasakan hatinya tergerak oleh kata-kata neneknya. Ia tidak tahu kenapa, tetapi ia merasa bahwa menemukan jejak Ardi adalah sesuatu yang harus ia lakukan. Mungkin ini bukan hanya tentang masa lalu ibunya, tetapi juga tentang memahami cinta pertama dan bagaimana ia membentuk kehidupan seseorang.
Saat Dina memandang kembali surat itu, ia tahu bahwa surat ini adalah awal dari perjalanan baru—perjalanan untuk menemukan kebenaran, bukan hanya tentang cinta pertama ibunya, tetapi mungkin juga tentang dirinya sendiri.
Di luar jendela, angin bertiup lembut, seolah membawa pesan dari masa lalu yang berbisik di telinganya, “Ini adalah kisah yang hanya bisa kamu temukan.”*
BAB 2 PERTEMUAN DI SUDUT SENJA
Dina mengayuh sepedanya perlahan menyusuri jalan kecil yang mengarah ke taman kota. Matahari mulai tenggelam di ufuk barat, mewarnai langit dengan gradasi jingga, merah, dan ungu. Hari itu terasa lebih sejuk setelah hujan yang turun di siang hari. Sepeda Dina bergerak melewati genangan air yang memantulkan langit senja seperti cermin, menciptakan pemandangan yang indah dan damai.
Taman itu adalah tempat favorit Dina sejak ia kecil. Di sana, ia bisa merasa bebas, menjauh dari keramaian kota dan segala beban pikirannya. Hari ini, ia memutuskan untuk mampir ke sudut taman, tempat pohon besar berdiri kokoh di dekat bangku kayu yang sering ia duduki. Sudut itu adalah tempat yang selalu membuatnya merasa tenang, seperti ia bisa berbicara pada pohon dan angin tanpa takut dihakimi.
Saat Dina tiba, ia melihat bangku kayu itu sudah diduduki seseorang. Seorang pria yang tampak asyik membaca buku, dengan wajah yang dinaungi topi anyaman berwarna cokelat. Dina memperlambat langkahnya, merasa sedikit ragu untuk mendekat. Ia tidak ingin mengganggu, tetapi sudut itu adalah tempat yang spesial baginya.
Pria itu, ternyata Rian, sedang membaca buku tebal dengan perhatian penuh. Dina tertegun. Rian adalah siswa baru di sekolahnya, seseorang yang terkenal ceria dan mudah bergaul. Ia tidak pernah menyangka bahwa seseorang seperti Rian, yang terlihat begitu ramai dan supel, bisa menikmati waktu sendirian di tempat seperti ini.
“Ah, maaf. Aku nggak bermaksud mengganggu,” kata Dina dengan nada sedikit gugup saat ia mendekat.
Rian mendongak, dan senyum kecil muncul di wajahnya. “Kamu nggak mengganggu. Ini tempat umum, kok. Kalau kamu mau duduk, silakan saja.”
Dina ragu-ragu sejenak, tetapi akhirnya duduk di ujung bangku, memberi jarak di antara mereka. Ia menatap ke arah langit, mencoba mengalihkan pikirannya dari rasa canggung yang mulai muncul.
“Kamu suka tempat ini?” tanya Rian tiba-tiba, memecah keheningan.
Dina mengangguk. “Iya, ini tempat favoritku. Dulu, aku sering ke sini setiap kali merasa butuh waktu sendiri.”
“Kenapa butuh waktu sendiri?” Rian menutup bukunya, menoleh ke arah Dina. Matanya penuh rasa ingin tahu, tetapi tidak memaksa.
Dina terdiam sejenak, mempertimbangkan apakah ia harus menjawab dengan jujur. “Kadang… aku merasa dunia ini terlalu ramai. Di sini, aku bisa mendengar pikiranku sendiri.”
Rian tersenyum, seolah memahami apa yang Dina rasakan. “Aku juga begitu. Makanya aku ke sini. Taman ini punya suasana yang berbeda, ya? Tenang, tapi nggak bikin kesepian.”
Percakapan mereka mulai mengalir lebih lancar. Dina mulai merasa nyaman berbicara dengan Rian, meskipun mereka sebelumnya hampir tidak pernah bicara di sekolah. Rian ternyata memiliki sisi yang berbeda dari apa yang Dina lihat selama ini. Ia bukan hanya sekadar siswa populer yang selalu dikelilingi teman, tetapi juga seseorang yang tahu bagaimana menghargai keheningan.
“Jadi, kamu suka baca buku?” Dina menunjuk buku yang ada di pangkuan Rian. Judulnya terlihat menarik, meskipun Dina tidak mengenal penulisnya.
“Ya, aku suka. Buku ini tentang perjalanan seseorang menemukan arti hidupnya. Kadang, aku merasa kita semua sebenarnya sedang menjalani perjalanan itu, meski dengan cara yang berbeda,” jawab Rian dengan nada santai.
Dina terkesan dengan jawaban Rian. Ia tidak menyangka bahwa seseorang yang tampak begitu percaya diri memiliki pandangan yang mendalam tentang hidup. Ia merasa ada banyak hal tentang Rian yang belum ia ketahui, dan itu membuatnya penasaran.
Sore itu, mereka berbicara lebih lama dari yang Dina bayangkan. Tentang buku, musik, dan hal-hal kecil yang mereka sukai. Dina tidak menyangka bahwa mereka memiliki banyak kesamaan, termasuk ketertarikan pada hujan dan senja.
Waktu berlalu begitu cepat. Matahari perlahan tenggelam sepenuhnya, dan langit berubah menjadi gelap. Dina melihat arlojinya, terkejut bahwa sudah hampir malam. Ia merasa berat untuk pergi, tetapi ia tahu ia harus pulang.
“Sudah malam, aku harus pulang,” kata Dina sambil berdiri dari bangku.
Rian ikut berdiri, tersenyum ramah. “Aku juga. Senang bisa ngobrol denganmu, Dina. Mungkin kita bisa mengobrol lagi di lain waktu?”
Dina merasa jantungnya berdebar, tetapi ia berusaha tetap tenang. “Iya, tentu. Sampai jumpa, Rian.”
Rian melambaikan tangan saat Dina melangkah pergi, kembali ke sepedanya. Di perjalanan pulang, Dina merasa aneh. Ia tidak pernah merasa begitu nyaman berbicara dengan seseorang sebelumnya. Ada sesuatu tentang Rian yang membuatnya merasa tenang, tetapi juga membuat hatinya berdebar.
Saat ia tiba di rumah, Dina menyadari satu hal—pertemuan di sudut senja itu bukan sekadar kebetulan. Ada sesuatu yang istimewa dalam percakapan mereka, sesuatu yang membuat Dina ingin mengenal Rian lebih jauh. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, tetapi ia tahu bahwa hari itu adalah awal dari sesuatu yang baru dalam hidupnya.
Di sudut senja itu, sebuah kisah kecil mulai tumbuh—kisah yang mungkin akan menjadi awal dari sesuatu yang lebih besar, lebih indah, dan hanya milik mereka.*
BAB 3 NAMAMU DALAM LEMBAR PUISI
Hening menyelimuti ruangan perpustakaan kecil itu. Dina duduk di sudut yang sudah menjadi tempat favoritnya sejak lama, ditemani sebuah buku catatan yang penuh dengan tulisan tangannya. Buku itu adalah tempat ia mencurahkan segala isi hati, sebuah tempat di mana ia merasa bebas menjadi dirinya sendiri. Hari itu, pena di tangannya bergerak lambat, seolah-olah setiap kata yang tertulis membutuhkan persetujuan dari hatinya.
Namamu adalah bait pertama dari puisiku, Rian, batin Dina sambil menatap buku catatannya.
Perasaan yang ia miliki untuk Rian telah menjadi rahasia kecil yang ia sembunyikan rapi. Sejak pertemuan pertama mereka di perpustakaan ini beberapa minggu yang lalu, Dina merasa ada sesuatu yang berbeda. Ia tak pernah merasa seperti ini sebelumnya—perasaan hangat yang muncul setiap kali melihat senyuman Rian, atau detak jantung yang berdegup lebih cepat saat suara Rian terdengar.
Namun, Dina memilih untuk menyimpannya dalam diam. Bukannya ia tak ingin mengungkapkan apa yang ia rasakan, tetapi ia tahu bahwa cinta pertama sering kali membawa keraguan dan ketakutan. Jadi, ia menyalurkan semua perasaannya melalui puisi-puisi yang ia tulis dalam catatannya. Setiap bait adalah ungkapan perasaannya yang tak pernah bisa ia ucapkan secara langsung.
Sore itu, saat Dina sedang asyik menulis, suara langkah kaki yang ia kenal baik terdengar mendekat. Ia tak perlu menoleh untuk tahu siapa yang datang—Rian, dengan senyuman khasnya, berdiri di hadapannya.
“Dina, boleh aku duduk di sini?” tanya Rian sambil menunjuk kursi di depannya.
Dina mengangguk, mencoba menyembunyikan kegugupan yang tiba-tiba menyerangnya. “Tentu, silakan.”
Rian meletakkan tasnya di kursi dan duduk dengan santai. “Kamu sering banget kelihatan di sini, ya. Aku jadi penasaran, apa yang kamu tulis di buku itu?” tanyanya sambil melirik buku catatan Dina.
Dina reflex menutup bukunya, wajahnya memerah. “Ah, ini cuma catatan biasa aja. Nggak ada yang penting.”
Rian tersenyum, tetapi tidak memaksa. “Aku suka orang yang suka menulis. Menurutku, mereka punya cara unik untuk melihat dunia. Kalau aku sendiri, jujur aja, aku lebih suka membaca daripada menulis.”
Mendengar itu, Dina merasa sedikit lega. Obrolan kecil itu membuat suasana menjadi lebih santai. Mereka mulai berbicara tentang buku-buku favorit mereka, saling bertukar pendapat tentang cerita yang pernah mereka baca. Tanpa sadar, waktu berlalu begitu cepat, dan percakapan mereka mengalir dengan begitu alami.
Namun, di tengah-tengah percakapan itu, Rian mengatakan sesuatu yang membuat Dina terkejut.
“Kamu tahu, Dina, ada sesuatu tentang kamu yang membuat aku penasaran,” kata Rian sambil menatap Dina dengan serius.
Dina hampir menjatuhkan penanya. “Penasaran? Maksudnya?”
Rian tersenyum kecil. “Aku nggak tahu gimana caranya bilang ini tanpa terdengar aneh, tapi… aku merasa kamu punya cara pandang yang berbeda tentang banyak hal. Aku suka dengar cara kamu berbicara tentang buku atau apa pun yang kamu sukai. Rasanya ada kedalaman di sana, dan itu menarik.”
Kata-kata Rian membuat Dina bingung antara merasa tersanjung atau semakin gugup. Ia hanya bisa tersenyum tipis dan berkata, “Aku cuma menulis dan membaca untuk diri sendiri. Itu cara aku mengungkapkan apa yang aku rasakan.”
“Kalau begitu, kapan-kapan, aku ingin baca tulisanmu,” balas Rian.
Dina hanya mengangguk pelan, meskipun dalam hatinya ia tahu ia tak akan pernah punya cukup keberanian untuk memperlihatkan puisi-puisinya kepada Rian—terutama yang ia tulis tentang Rian.
Setelah percakapan itu, Rian pamit untuk pergi. Dina menatap punggungnya yang semakin menjauh, sementara hatinya terasa penuh dengan perasaan yang sulit ia jelaskan. Ia tahu bahwa Rian telah menjadi bagian dari dunianya, dan setiap kata yang ia tulis kini terasa lebih bermakna.
Saat malam tiba, Dina kembali membuka catatan kecilnya. Kali ini, ia menuliskan sesuatu yang berbeda, seolah-olah percakapan mereka sore tadi memberikan inspirasi baru.Namamu kini ada di setiap bait puisi yang kutulis.
Setiap hurufnya mengalir seperti aliran sungai, lembut dan tenang.
Aku tidak tahu apakah kamu akan pernah membacanya, tapi aku tahu ini caraku mencintaimu—dalam diam, dalam kata, dalam rahasia yang hanya aku yang tahu.
Dina menutup catatannya dan tersenyum kecil. Ia tahu bahwa perasaannya tidak bisa disangkal lagi. Namun, untuk saat ini, ia memilih untuk menikmatinya dalam diam, seperti puisi yang indah namun tak pernah diucapkan.
Di luar jendela, bulan bersinar terang, seolah-olah ikut menyaksikan perjalanan cinta pertama Dina yang penuh dengan harapan, kebingungan, dan keindahan yang hanya bisa dirasakan oleh hati. Ia tahu bahwa kisah ini masih panjang, dan setiap langkahnya adalah bagian dari perjalanan yang tak terlupakan.*
BAB 4 PERTEMANAN YANG BERUBAH
Matahari sore itu terasa lebih hangat daripada biasanya. Dina duduk di bawah pohon besar di halaman belakang sekolah, tempat favoritnya untuk menghabiskan waktu sambil membaca buku. Namun, kali ini, bukunya terbuka tanpa satu pun halaman yang terbalik. Pikirannya melayang jauh, memutar kembali percakapan singkatnya dengan Rian tadi pagi.
Dina tidak tahu kapan tepatnya perasaan ini mulai muncul. Hubungan mereka yang selama ini terasa ringan dan penuh canda tawa mulai berubah menjadi sesuatu yang lebih kompleks. Tatapan Rian, senyumnya, bahkan cara dia menyebut namanya, semua itu terasa berbeda di hati Dina sekarang.
Sejak pertemuan pertama mereka beberapa bulan lalu, Rian selalu menjadi seseorang yang membuat dunia Dina terasa lebih berwarna. Awalnya, ia hanya menganggap Rian sebagai teman baru yang menyenangkan. Rian, dengan selera humornya yang segar dan ceritanya yang tak pernah habis, membuat Dina merasa nyaman, sesuatu yang jarang ia temukan pada orang lain. Tapi kini, ada rasa yang lebih dalam—sesuatu yang Dina tidak tahu apakah ia harus menyambut atau justru hindari.
Sore itu, Rian muncul seperti biasanya, dengan langkah santai dan senyuman lebar di wajahnya. Ia membawa dua cup es teh, salah satunya ia sodorkan kepada Dina.
“Aku tahu kamu pasti lupa makan siang lagi, jadi ini buatmu,” katanya ringan, duduk di sebelah Dina tanpa menunggu undangan.
Dina tersenyum tipis. “Terima kasih, Rian. Kamu memang selalu tahu apa yang aku butuhkan.”
Rian tertawa kecil. “Tentu saja. Kita kan teman baik.”
Kata-kata itu seolah menjadi pisau yang menyayat hati Dina perlahan. “Teman baik.” Dina mengulang kata-kata itu dalam pikirannya. Itu adalah kebenaran yang indah sekaligus menyakitkan.
“Eh, kamu kenapa? Kok melamun?” tanya Rian sambil menatapnya dengan alis terangkat.
Dina menggeleng cepat, mencoba menghapus pikiran-pikiran yang memenuhi kepalanya. “Nggak apa-apa. Aku cuma lagi mikir soal tugas sekolah.”
“Oh, aku kira kamu lagi mikirin aku,” canda Rian dengan nada menggoda.
Dina terkesiap, wajahnya memerah. “Hah? Enggak kok!” Ia menjawab terlalu cepat, dan itu membuat Rian tertawa keras.
“Tenang aja, aku cuma bercanda,” kata Rian, tetapi tatapan matanya terasa lebih lembut daripada biasanya.
Mereka menghabiskan sore itu dengan obrolan ringan seperti biasa, tapi ada sesuatu yang berbeda dalam suasana di antara mereka. Setiap tawa Rian terasa lebih bermakna bagi Dina, dan setiap gerakan Dina tak luput dari perhatian Rian.
Malam itu, Dina duduk di kamarnya, menatap layar ponsel. Jarinya melayang di atas tombol “kirim” setelah menulis pesan singkat untuk Rian.
_”Rian, aku harus bilang sesuatu. Aku nggak tahu apakah ini akan mengubah segalanya, tapi aku rasa aku harus jujur.”_
Namun, ia menghapus pesan itu sebelum sempat terkirim. Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan hatinya. “Kalau aku bilang, semuanya mungkin berubah,” gumamnya pada diri sendiri.
Sementara itu, di rumahnya, Rian juga tampak gelisah. Ia merebahkan diri di tempat tidur, memandangi langit-langit kamarnya. Entah kenapa, belakangan ini ia merasa Dina mulai menempati tempat yang berbeda dalam hidupnya. Ia tahu bahwa Dina adalah teman yang sangat berarti baginya, tetapi ada perasaan yang tak terdefinisikan setiap kali mereka bersama.
Keesokan harinya, Dina dan Rian kembali bertemu seperti biasa. Kali ini, mereka memutuskan untuk makan siang bersama di kantin. Namun, suasana di antara mereka terasa sedikit kaku.
“Dina,” kata Rian tiba-tiba, memecah keheningan di antara mereka.
Dina menoleh, menatapnya dengan alis terangkat. “Iya?”
“Aku mau tanya sesuatu,” lanjut Rian, suaranya terdengar lebih serius. “Menurut kamu, apa yang akan terjadi kalau kita… kalau kita nggak cuma jadi teman?”
Dina terkejut mendengar pertanyaan itu. Ia menatap Rian, mencoba mencari petunjuk dari ekspresi wajahnya. Namun, Rian hanya menunduk, mengaduk-aduk minumannya dengan sedotan.
“Kenapa tiba-tiba tanya itu?” Dina balik bertanya, mencoba mengulur waktu untuk menyembunyikan kegugupannya.
Rian menghela napas, lalu mendongak menatap Dina. “Aku nggak tahu. Aku cuma… akhir-akhir ini aku merasa semuanya berubah. Aku nggak tahu ini apa, tapi aku ngerasa kamu lebih dari sekadar teman buat aku.”
Dina terdiam. Kata-kata Rian membuat jantungnya berdebar kencang. Ia ingin menjawab, tapi lidahnya terasa kelu.
“Dina, aku ngerti kalau kamu mungkin nggak ngerasa hal yang sama,” lanjut Rian dengan suara yang lebih pelan. “Tapi aku cuma pengen jujur. Aku nggak mau kita pura-pura biasa aja kalau sebenarnya ada sesuatu di antara kita.”
Dina akhirnya mengumpulkan keberaniannya untuk berbicara. “Rian, aku juga merasa semuanya berubah. Aku nggak tahu kapan ini dimulai, tapi aku juga ngerasa ada sesuatu di antara kita.”
Mereka saling menatap dalam keheningan. Untuk pertama kalinya, mereka berbagi perasaan yang selama ini mereka pendam.
“Sekarang apa?” tanya Rian akhirnya.
Dina tersenyum kecil. “Aku nggak tahu. Tapi aku rasa kita bisa pelan-pelan mencari tahu bersama.”
Percakapan itu menjadi awal dari perubahan besar dalam hubungan mereka. Pertemanan mereka yang selama ini nyaman dan aman telah berubah menjadi sesuatu yang lebih. Meski mereka tahu bahwa perjalanan ini mungkin tidak mudah, mereka merasa yakin bahwa bersama-sama, mereka bisa menghadapi apa pun yang akan datang.
Langit sore itu menjadi saksi, ketika pertemanan yang mereka miliki mulai berubah menjadi cinta pertama yang tak terlupakan.*
BAB 5 HUJAN DAN PENGAKUAN YANG TERTAHAN
Langit sore tampak kelabu, seolah bersiap menumpahkan hujan yang telah lama tertahan. Dina berjalan perlahan di trotoar dengan payung lipat di tangan, menuju taman kecil yang menjadi tempat favoritnya untuk merenung. Angin dingin menyapu wajahnya, membawa aroma khas tanah basah yang ia kenal begitu baik. Hari ini berbeda. Ada sesuatu di dadanya yang mengganjal, sesuatu yang ingin ia lepaskan namun tak pernah tahu bagaimana caranya.
Rian akan datang. Dina tahu itu karena dialah yang meminta mereka bertemu di sini. Namun, entah kenapa ada perasaan gugup yang menguasai hatinya, membuat langkahnya terasa berat. Sejak mereka semakin dekat, banyak hal berubah dalam hidupnya. Kehadiran Rian seperti membawa warna baru, sebuah kebahagiaan yang tak pernah ia duga sebelumnya. Namun, perasaan yang ia pendam selama ini juga semakin sulit disembunyikan.
Dina sampai di taman, duduk di bangku kayu di bawah pohon besar yang sudah berusia puluhan tahun. Taman itu sepi, hanya suara angin dan sesekali kicauan burung yang terdengar. Ia membuka payungnya, bersiap menghadapi hujan yang mulai turun rintik-rintik. Waktu terasa berjalan lambat. Dina menggenggam erat payungnya, berusaha menenangkan debaran jantung yang tak terkendali.
Tak lama kemudian, langkah-langkah berat terdengar di belakangnya. Dina menoleh dan mendapati Rian berjalan mendekat dengan senyum khasnya. Rambutnya sedikit berantakan, dan jaket hitam yang dikenakannya terlihat basah terkena rintik hujan. Namun, senyumnya tidak memudar, seperti selalu membawa kehangatan yang ia butuhkan.
“Hujan lagi,” ucap Rian sambil tertawa kecil. “Sepertinya hujan suka sekali menemani kita, ya?”
Dina tersenyum tipis. “Mungkin hujan tahu kita butuh waktu untuk bicara.”
Rian duduk di samping Dina, menyandarkan tubuhnya pada sandaran bangku kayu yang mulai basah. Ia memandang Dina sejenak, lalu berkata dengan nada lembut, “Kamu kelihatan gelisah. Ada sesuatu yang ingin kamu bicarakan?”
Dina terdiam, hatinya seperti tenggelam dalam lautan keraguan. Ia ingin sekali mengatakan apa yang ia rasakan, tetapi ada ketakutan besar yang menghantui pikirannya—ketakutan akan penolakan, ketakutan akan kehilangan persahabatan mereka yang sudah begitu berharga. Tangannya menggenggam erat payung di pangkuannya, mencoba mencari keberanian yang belum juga ia temukan.
“Aku…” Dina memulai, tetapi suaranya tertahan. Ia memandang ke depan, menghindari tatapan Rian yang terlalu hangat dan terlalu jujur. “Aku hanya merasa ada banyak hal yang ingin aku katakan, tapi aku nggak tahu harus mulai dari mana.”
Rian menunggu dengan sabar, tidak memaksa Dina untuk berbicara lebih banyak. Ia tahu Dina butuh waktu, dan ia bersedia menunggu. Hujan semakin deras, menciptakan simfoni yang mengisi keheningan di antara mereka.
“Aku juga merasa begitu, Dina,” Rian akhirnya berkata, memecah kebisuan. “Ada banyak hal yang ingin aku ungkapkan, tapi aku selalu ragu. Aku takut kalau aku bilang sesuatu, itu malah merusak apa yang sudah kita miliki sekarang.”
Kata-kata Rian membuat Dina menoleh. Matanya bertemu dengan mata Rian, dan dalam tatapan itu, Dina merasakan sesuatu yang sulit dijelaskan—sebuah kehangatan, sebuah pengertian. Seolah-olah, tanpa kata-kata, mereka saling memahami apa yang sedang dirasakan satu sama lain.
“Kenapa kamu takut?” tanya Dina, suaranya hampir tak terdengar.
Rian menghela napas panjang. Ia mengalihkan pandangannya ke langit, membiarkan hujan membasahi wajahnya. “Karena aku nggak mau kehilangan kamu, Dina. Kamu tahu, aku nggak pernah merasa seperti ini sebelumnya. Kamu adalah orang yang membuat hari-hariku berbeda, yang membuat aku merasa ada sesuatu yang lebih dari sekadar rutinitas biasa. Tapi aku juga nggak tahu apakah perasaan ini sama dengan apa yang kamu rasakan.”
Dina tertegun. Kata-kata Rian begitu jujur, begitu tulus, dan tepat seperti apa yang ia rasakan. Namun, keberanian untuk menjawabnya masih terasa jauh. Ia ingin sekali berkata bahwa ia juga merasakan hal yang sama, bahwa Rian adalah seseorang yang mengisi ruang kosong di hatinya, seseorang yang ia pikirkan setiap hari. Tetapi lidahnya seperti kelu.
“Aku nggak tahu harus bilang apa, Rian,” Dina akhirnya berkata, suaranya bergetar. “Tapi aku juga takut. Takut kalau perasaan ini akan mengubah segalanya. Takut kalau apa yang kita punya sekarang nggak akan pernah sama lagi.”
Rian tersenyum tipis, meskipun ada keraguan di matanya. “Mungkin kita memang sama-sama terlalu takut, Dina. Tapi aku yakin, apa pun yang terjadi, aku nggak akan pernah menyesal sudah mengenal kamu. Aku ingin menjaga ini, apa pun bentuknya.”
Hujan semakin deras, memaksa mereka untuk bernaung di bawah payung yang Dina pegang. Dalam keheningan yang kembali tercipta, mereka saling merenung. Meskipun kata-kata mereka tertahan, meskipun perasaan mereka belum sepenuhnya terungkap, ada sesuatu yang menguatkan mereka—keyakinan bahwa hubungan ini adalah sesuatu yang berharga, sesuatu yang layak diperjuangkan.
Malam itu, Dina dan Rian pulang dengan perasaan yang bercampur. Kata-kata mereka mungkin belum sepenuhnya tersampaikan, tetapi hujan itu menjadi saksi bisu dari perasaan yang perlahan-lahan mulai menemukan jalannya. Dina tahu, cepat atau lambat, ia harus berani mengungkapkan segalanya. Dan ketika waktunya tiba, ia berharap akan ada keberanian yang lebih besar untuk menyatukan hati mereka yang selama ini saling mendekat dalam diam.*
BAB 6 PERPISAHAN TANPA KATA
Dina memandangi layar ponselnya untuk yang entah keberapa kali. Chat terakhir dari Rian masih terpampang di sana, singkat namun mengandung ribuan pertanyaan yang berputar di kepala Dina: *”Maaf, aku nggak bisa ketemu hari ini.”*
Hari itu seharusnya menjadi hari yang istimewa. Rian berjanji untuk bertemu di tempat biasa mereka, di bawah pohon besar di taman dekat rumah Dina. Namun, pesan singkat itu menghancurkan semua ekspektasi Dina. Ia duduk di tepi jendela, memandangi rintik hujan yang turun perlahan, dan merasakan kekosongan yang menyelinap masuk ke hatinya.
Sejak beberapa minggu terakhir, Rian terasa semakin jauh. Ia tidak lagi mengirim pesan sehangat dulu, dan waktu untuk bertemu semakin jarang. Dina mencoba untuk memahami—pekerjaan Rian semakin banyak, mungkin ia hanya lelah. Tapi kali ini, firasatnya mengatakan ada sesuatu yang berbeda.
Dina menunggu hingga malam tiba, berharap Rian akan menghubunginya kembali. Namun, ponselnya tetap sunyi. Malam itu, Dina tertidur dengan pikiran yang penuh keraguan dan ketakutan, bertanya-tanya apakah ia telah melakukan sesuatu yang salah.
Hari berikutnya, Dina memutuskan untuk mencari jawaban. Ia menuju ke rumah Rian tanpa memberi tahu terlebih dahulu. Sesampainya di sana, suasana terasa berbeda. Halaman rumah yang biasanya ramai kini terlihat sepi. Dina mengetuk pintu dengan gugup, namun tak ada jawaban. Ia mencoba menelepon Rian, tetapi panggilannya langsung masuk ke voicemail.
“Rian ke luar kota,” kata seorang tetangga ketika Dina bertanya. “Dia bilang ada urusan penting dan nggak tahu kapan balik.”
Penjelasan itu membuat hati Dina semakin hancur. Ia mencoba mengingat semua percakapan terakhir mereka, mencoba menemukan petunjuk apa pun tentang kepergian Rian. Namun, semuanya terasa seperti teka-teki yang tidak lengkap. Rian pergi tanpa memberi tahu, tanpa berpamitan, tanpa memberi kesempatan bagi Dina untuk bertanya apa yang sebenarnya terjadi.
Beberapa hari berlalu, dan Dina mulai menerima kenyataan bahwa Rian benar-benar pergi. Tapi kepergiannya menyisakan begitu banyak tanda tanya. Apakah ini akhir dari kisah mereka? Apakah Rian akan kembali? Dina merasa dirinya terjebak dalam ketiadaan—tidak benar-benar ditinggalkan, namun juga tidak lagi memiliki kejelasan tentang hubungan mereka.
Ia menghabiskan waktu dengan membaca buku-buku yang pernah mereka diskusikan bersama, mendengarkan lagu-lagu yang sering mereka putar di kafe favorit mereka. Namun, semua itu hanya membuat rindu semakin kuat.
“Kenapa dia pergi begitu saja?” Dina bergumam pada dirinya sendiri, air mata mengalir tanpa henti. Ia merasa marah, sedih, dan bingung sekaligus. Apakah Rian terlalu pengecut untuk berbicara jujur? Ataukah ia hanya ingin menghindari perpisahan yang menyakitkan?
Beberapa minggu kemudian, Dina menerima sebuah surat. Tidak ada nama pengirim, tetapi ia tahu itu dari Rian. Tulisan tangan yang sudah begitu familiar itu segera membangkitkan ribuan kenangan di benaknya. Dengan tangan gemetar, Dina membuka amplop dan mulai membaca.
*”Dina,
Maafkan aku karena pergi tanpa mengatakan apa-apa. Aku tahu ini salah, aku tahu aku meninggalkanmu dengan banyak pertanyaan, tapi aku benar-benar tidak tahu bagaimana cara menjelaskan semuanya.
Aku mendapatkan kesempatan yang sudah lama aku impikan—beasiswa untuk belajar ke luar negeri. Aku harus pergi secepat mungkin, dan aku takut kalau aku mengatakannya langsung, aku tidak akan sanggup meninggalkanmu. Aku takut melihat wajah sedihmu, takut melihatmu terluka karena keputusanku.
Aku nggak ingin membuatmu merasa seperti ini, Dina. Tapi aku juga nggak bisa mengabaikan kesempatan ini. Aku harap suatu hari nanti, kamu bisa memahami alasanku.
Aku nggak pernah ingin kehilanganmu, Dina. Tapi aku juga tahu bahwa jarak ini mungkin akan mengubah banyak hal di antara kita. Aku hanya bisa berharap bahwa apa pun yang terjadi, kita akan selalu menyimpan kenangan tentang apa yang kita miliki.*
Surat itu berakhir di situ, tanpa tanda tangan. Dina menutup matanya, membiarkan air mata yang sudah sejak tadi tertahan akhirnya jatuh. Ia merasa hatinya hancur, namun sekaligus mengerti alasan Rian.
Rian pergi bukan karena ia ingin meninggalkan Dina, tetapi karena ia mengejar mimpi yang lebih besar. Dina tahu bahwa mencintai seseorang tidak selalu berarti menahan mereka tetap di sisi kita, tetapi juga memberi mereka kebebasan untuk tumbuh.
Hari-hari berikutnya, Dina mulai menerima kenyataan ini dengan hati yang lebih lapang. Ia masih merindukan Rian, namun kini rindu itu tidak lagi disertai kemarahan atau kebingungan. Ia mulai menulis surat untuk dirinya sendiri, sebagai cara untuk menyampaikan apa yang tidak sempat ia katakan kepada Rian.
Di bawah jendela kamarnya, Dina berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia tidak akan membiarkan kepergian Rian menjadi akhir dari kebahagiaannya. Meskipun Rian mungkin tidak ada di sisinya untuk saat ini, cinta yang mereka miliki akan selalu menjadi bagian dari dirinya—kenangan indah yang akan terus hidup, bahkan jika perjalanan mereka harus berpisah.
Di akhir suratnya, Rian pernah menulis, *”Dina, kisah ini adalah milik kita, meskipun dunia mencoba memisahkan kita. Aku percaya suatu hari nanti, kita akan bertemu lagi, di bawah langit yang sama.”*
Dina mengamini dalam hati, dengan senyum kecil yang muncul di bibirnya. Meski perpisahan ini tanpa kata-kata, ia tahu bahwa cinta mereka tidak benar-benar berakhir. Cinta itu hanya menunggu waktu untuk kembali bertemu.*
BAB 7 JEJAK NAMAMU DI WAKTU DEWASA
Langit sore itu berwarna jingga keemasan, memantulkan keindahan yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Dina duduk di bangku taman, memandangi daun-daun yang berguguran diterpa angin. Di tangannya, ada sebuah buku harian tua dengan sampul yang sudah mulai pudar. Buku itu adalah saksi bisu perjalanan hidupnya, termasuk kisah yang pernah ia bagi dengan seseorang di masa lalu—Rian.
Sudah sepuluh tahun berlalu sejak terakhir kali ia bertemu dengan Rian. Waktu telah membawa mereka ke arah yang berbeda. Dina sibuk dengan pekerjaannya sebagai seorang editor buku, sementara Rian, kabarnya, kini menjadi seorang arsitek yang sukses. Meski begitu, kenangan tentang Rian tidak pernah benar-benar hilang. Namanya tertulis di setiap sudut ingatan Dina, meskipun ia mencoba untuk mengabaikannya.
Hari itu, Dina memutuskan untuk membuka kembali buku harian yang lama tersembunyi di sudut lemari. Halaman-halaman penuh coretan masa remaja itu membawa Dina kembali ke masa ketika ia dan Rian pertama kali bertemu, saat-saat mereka tertawa bersama, dan juga saat-saat ketika mereka harus berpisah.
Namun, takdir sepertinya memiliki caranya sendiri untuk mempertemukan mereka kembali.
Dina terkejut ketika teleponnya berbunyi, menampilkan nama yang tak ia duga akan muncul di layar ponselnya. Itu adalah Rian. Ia ragu sejenak sebelum akhirnya menjawab panggilan itu.
“Dina? Apa kabar?” Suara Rian terdengar hangat, seperti tak ada waktu yang memisahkan mereka.
Dina merasa jantungnya berdebar. “Rian? Ini kejutan. Aku baik. Kamu sendiri bagaimana?”
“Aku baik juga. Aku dengar kamu sekarang tinggal di kota ini. Apa benar?” Rian bertanya dengan nada antusias.
“Iya, baru pindah beberapa bulan yang lalu,” jawab Dina.
Percakapan mereka mengalir begitu saja, seperti air yang menemukan jalannya kembali. Rian bercerita tentang perjalanannya selama bertahun-tahun, tentang proyek-proyek besar yang ia kerjakan, dan tentang bagaimana ia sering mengenang masa-masa mereka bersama. Dina mendengarkan dengan penuh perhatian, merasa bahwa jarak waktu yang selama ini memisahkan mereka perlahan menghilang.
Rian lalu mengundangnya untuk bertemu, dan Dina, meskipun ragu, akhirnya setuju. Ia penasaran dengan apa yang akan terjadi, dengan perasaan-perasaan yang dulu ia pendam namun tak pernah benar-benar hilang.
### ***Pertemuan yang Membawa Kenangan***
Di sebuah kafe kecil yang nyaman, mereka bertemu kembali. Rian terlihat lebih dewasa, dengan senyuman yang sama seperti dulu. Dina merasa canggung pada awalnya, tetapi Rian, dengan caranya yang santai, berhasil mencairkan suasana.
“Aku nggak percaya kita akhirnya bertemu lagi setelah semua tahun ini,” kata Rian sambil menyesap kopinya.
“Aku juga nggak percaya,” jawab Dina dengan senyuman kecil. “Kamu berubah, Rian. Tapi aku rasa, kamu tetap Rian yang aku kenal dulu.”
Rian tertawa. “Dan kamu tetap Dina yang selalu membuatku merasa nyaman.”
Percakapan mereka mengalir seperti air, membicarakan hal-hal kecil hingga memori besar yang pernah mereka bagi. Dina merasa seperti kembali ke masa lalu, namun dengan perspektif yang berbeda.
“Aku sering bertanya-tanya,” Rian memulai, suaranya lebih pelan. “Apakah kita bisa berbeda kalau waktu itu kita tidak terpisah?”
Dina terdiam. Pertanyaan itu adalah sesuatu yang juga pernah terlintas dalam pikirannya. “Mungkin, tapi aku rasa waktu punya cara sendiri untuk membawa kita ke tempat yang seharusnya,” jawabnya akhirnya.
Langkah Baru
Malam itu, Rian mengantar Dina pulang. Di depan pintu apartemennya, mereka berdiri berhadapan, seperti dua orang yang sedang mencoba memahami sesuatu yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata.
“Dina, aku tahu ini mungkin terdengar tiba-tiba,” kata Rian. “Tapi aku merasa, aku masih menyimpan perasaan itu. Perasaan yang dulu aku pikir sudah hilang.”
Dina terkejut. Ia tak menyangka Rian akan mengungkapkan sesuatu yang selama ini ia pendam. “Rian… aku juga merasakannya. Tapi aku takut. Apa kita benar-benar bisa memulai lagi setelah semua ini?”
“Kita nggak perlu terburu-buru,” kata Rian dengan nada lembut. “Tapi aku ingin mencoba. Aku ingin tahu apakah kita bisa menulis bab baru dari kisah kita.”
Dina tersenyum, merasa hatinya yang dulu penuh keraguan kini mulai tenang. Mungkin, ini adalah kesempatan yang diberikan oleh takdir. Kesempatan untuk melangkah maju tanpa melupakan jejak yang telah mereka tinggalkan di masa lalu.
“Aku juga ingin mencoba, Rian,” jawabnya akhirnya.
Dan malam itu, di bawah langit malam yang dipenuhi bintang, Dina dan Rian sepakat untuk memulai langkah baru. Mereka tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, tetapi satu hal yang pasti—jejak yang mereka tinggalkan di masa lalu kini menjadi pondasi untuk perjalanan mereka ke depan.
Jejak namanya, yang selama ini tak pernah benar-benar hilang dari hati Dina, kini kembali hadir, membawa harapan baru dan cinta yang lebih dewasa.***
————-THE END————