Kisah Cinta
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
Kisah Cinta
No Result
View All Result

SAAT LUKA MENJADI CINTA

SAME KADE by SAME KADE
May 13, 2025
in Dendam Cinta
Reading Time: 28 mins read
SAAT LUKA MENJADI CINTA

Daftar Isi

  • Bab 1: Luka yang Terbuka
  • Bab 2: Pertemuan Tak Terduga
  • Bab 3: Rencana Balas Dendam
  • Bab 4: Awal Permainan
  • Bab 5: Leon dan Rahasia Tersembunyi
  • Bab 6: Raka yang Rapuh
  • Bab 7: Cinta di Antara Luka
  • Bab 8: Kebenaran Terungkap
  • Bab 9: Pilihan Hati
  • Bab 10: Saat Luka Menjadi Cinta

Bab 1: Luka yang Terbuka

Alya duduk di pojok sebuah kafe mewah di pusat kota, memandangi secangkir kopi latte yang mulai mendingin di depannya. Jemarinya bermain di permukaan cangkir, tetapi pikirannya melayang jauh ke masa lalu—ke hari itu. Hari ketika dunianya runtuh.

Ia masih ingat setiap detailnya seolah baru terjadi kemarin. Hari yang seharusnya menjadi salah satu momen paling indah dalam hidupnya berubah menjadi mimpi buruk. Saat itu, Alya baru saja pulang lebih awal dari perjalanan bisnis untuk memberikan kejutan kepada Raka, pria yang selama tiga tahun terakhir mengisi hari-harinya dengan cinta dan harapan. Ia membawa kotak kecil berisi sebuah dasi sutra, hadiah kecil yang ingin ia berikan sebagai simbol rasa syukur atas hubungan mereka yang terus berjalan harmonis.

Namun, kejutan itu justru berbalik menjadi tamparan keras bagi hatinya. Ketika ia membuka pintu apartemen Raka, yang ia temui bukan senyum hangat pria itu, melainkan pemandangan yang menghancurkan segalanya. Nadia, sahabatnya sejak SMA, sedang berada di sana bersama Raka—bukan sebagai tamu, tetapi dalam pelukan penuh gairah yang membuat darah Alya membeku.

“Alya… ini tidak seperti yang kamu pikirkan!” suara Raka terdengar panik ketika ia menyadari kehadiran Alya. Namun, kata-kata itu justru terdengar klise di telinga Alya. Matanya yang berkaca-kaca hanya mampu menatap keduanya dengan perasaan hancur yang tak terlukiskan. Nadia bahkan tidak mencoba mencari alasan. Sebaliknya, ia hanya menunduk, seolah tahu bahwa apa pun yang ia katakan hanya akan memperburuk keadaan.

Tanpa berkata apa-apa, Alya meninggalkan tempat itu. Suara Raka yang memanggil namanya terdengar samar di belakang, tetapi ia tidak peduli. Sejak saat itu, ia bersumpah tidak akan pernah membiarkan siapa pun menyakiti hatinya lagi.

Kembali ke masa kini, Alya menghela napas panjang, mencoba mengusir kenangan pahit itu. Namun, bekas luka yang ditinggalkan oleh pengkhianatan itu masih terasa, bahkan setelah lima tahun berlalu. Kini, ia adalah seorang wanita yang berbeda—kuat, mandiri, dan sukses. Ia telah menutup pintu bagi cinta, mengalihkan seluruh energinya pada karier. Sebagai seorang direktur kreatif di sebuah perusahaan fashion ternama, Alya telah membuktikan bahwa ia bisa bangkit tanpa harus bergantung pada siapa pun.

Namun, malam itu, ada sesuatu yang membuat perasaan lama kembali muncul. Ia baru saja menerima undangan untuk menghadiri acara penghargaan bisnis, di mana salah satu penerimanya adalah Raka. Alya tidak pernah mengira akan mendengar nama itu lagi, apalagi dalam konteks ini. Ternyata, Raka telah sukses membangun karier sebagai pengusaha muda, dan ia akan menerima penghargaan sebagai salah satu pelopor startup paling inovatif di negeri ini.

“Apa aku harus datang?” gumam Alya pada dirinya sendiri. Undangan itu terasa seperti sebuah ironi. Ia bisa saja menolak hadir, tetapi bagian dari dirinya ingin melihat bagaimana kehidupan pria itu sekarang. Apakah ia benar-benar bahagia setelah semua yang terjadi? Atau apakah karma telah mengambil alih hidupnya? Pikiran itu membuat Alya semakin gelisah.

Ia mencoba mengalihkan fokus dengan memeriksa ponselnya, tetapi pesan dari sahabatnya, Dinda, kembali membawa topik itu ke permukaan.

“Ly, kamu jadi datang ke acara itu, kan? Kudengar Raka juga akan hadir. Kamu nggak apa-apa?”

Alya tersenyum tipis membaca pesan itu. Dinda selalu menjadi orang yang peduli padanya sejak tragedi itu terjadi. Namun, meski Dinda selalu siap mendengarkan dan memberi dukungan, Alya tahu bahwa tidak ada yang benar-benar bisa memahami rasa sakit yang ia rasakan.

“Aku nggak tahu, Din. Masih mikir-mikir. Aku nggak yakin sanggup ketemu dia lagi.” Alya mengetik balasan, lalu meletakkan ponselnya.

Waktu terus berlalu, tetapi rasa sakit itu tetap ada, membekas dalam hatinya. Bagaimana mungkin ia bisa sepenuhnya melupakan seseorang yang pernah ia anggap sebagai cinta sejati? Raka adalah orang pertama yang membuatnya percaya pada cinta, dan ironisnya, juga orang yang menghancurkan kepercayaannya itu.

Ketika pelayan datang untuk menawarkan tambahan kopi, Alya menolak dengan sopan. Ia merasa cukup berada di kafe itu. Mengambil mantel dan tasnya, ia beranjak pergi, mencoba melangkah maju—seperti yang selalu ia lakukan selama lima tahun terakhir.

Namun, langkah itu terasa berat kali ini. Undangan itu seolah mengingatkannya bahwa ia tidak bisa selamanya melarikan diri dari masa lalunya. Mungkin, sudah saatnya ia menghadapi Raka. Tidak untuk membuka kembali luka lama, tetapi untuk membuktikan bahwa ia sudah tidak lagi menjadi Alya yang lemah dan mudah disakiti.

Saat keluar dari kafe, udara malam yang dingin menyapu wajahnya. Alya menatap ke arah lampu-lampu kota yang berkelap-kelip, mencoba menguatkan hati. Jika ia memutuskan untuk datang ke acara itu, ia akan memastikan satu hal—bahwa pertemuannya dengan Raka bukanlah tentang luka lama, melainkan tentang menunjukkan betapa ia telah berubah.

Malam itu, di dalam hatinya, Alya mengambil keputusan besar. Entah apa yang akan terjadi nanti, ia tahu satu hal dengan pasti: tidak ada lagi air mata untuk masa lalu. Luka itu mungkin masih terasa, tetapi ia tidak akan membiarkannya mendikte masa depannya lagi.*

Bab 2: Pertemuan Tak Terduga

Lampu kristal berkilauan memenuhi ballroom hotel mewah malam itu. Suasana formal namun elegan menyelimuti acara penghargaan bisnis yang dihadiri para pebisnis dan profesional sukses. Alya berdiri di sudut ruangan, mengenakan gaun hitam sederhana namun anggun yang memancarkan aura percaya diri. Rambutnya disanggul rapi, dan senyum tipis terukir di wajahnya saat ia menyesap segelas champagne. Namun, di balik ketenangan luar itu, jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya.

Ia telah mengambil keputusan besar untuk datang ke acara ini. Setelah berminggu-minggu berpikir, Alya memutuskan bahwa ia tidak akan membiarkan masa lalunya menjadi alasan untuk terus menghindar. Jika Raka ada di sini, ia akan menghadapi pria itu tanpa rasa takut. Tidak ada lagi Alya yang lemah dan rapuh.

“Alya! Akhirnya kamu datang juga,” suara familiar itu membuyarkan pikirannya.

Alya menoleh dan melihat Dinda, sahabatnya, melambaikan tangan sambil tersenyum lebar. Dinda mengenakan gaun biru muda yang memancarkan kepribadiannya yang ceria. Alya melangkah mendekat, mencoba menenangkan kegugupan yang ia rasakan.

“Tentu saja aku datang. Aku harus melihat langsung siapa yang mendapatkan penghargaan besar malam ini,” jawab Alya sambil tersenyum.

Dinda menyipitkan mata, jelas tidak percaya dengan alasan Alya. “Iya, atau mungkin kamu penasaran dengan seseorang?” goda Dinda pelan, sengaja menekankan kata terakhir.

Alya hanya mengangkat bahu tanpa menjawab. Namun, sebelum ia sempat membalas, pembawa acara mulai memanggil nama-nama penerima penghargaan. Setiap nama yang disebut diiringi dengan tepuk tangan meriah dari para hadirin. Alya mendengarkan dengan santai, hingga akhirnya sebuah nama yang ia kenal baik membuat tubuhnya menegang.

“Dan untuk kategori Startup Terinovatif Tahun Ini, penghargaan diberikan kepada Raka Pratama, pendiri TechnoVision!”

Ruangan dipenuhi suara tepuk tangan. Alya mencoba mempertahankan ekspresi datarnya, tetapi di dalam hati, ia tidak bisa mengabaikan rasa panas yang tiba-tiba menjalar di dadanya. Raka. Nama itu kembali menggema di pikirannya, membawa serta kenangan yang sudah ia coba kubur dalam-dalam.

Raka melangkah ke atas panggung dengan percaya diri, mengenakan setelan jas hitam yang membuatnya terlihat lebih dewasa dibandingkan terakhir kali Alya melihatnya. Ia tersenyum sambil menerima penghargaan, lalu memberikan pidato singkat tentang perjuangan dan visinya untuk masa depan teknologi. Alya mengamati setiap gerakannya dengan hati-hati. Tidak ada yang tersisa dari pria yang dulu ia kenal—setidaknya, itulah yang ia yakini.

Saat acara utama selesai, para hadirin mulai bergerak untuk menikmati jamuan makan malam. Alya mencoba menjaga jarak dari keramaian, tetapi Dinda, dengan sifatnya yang ceria dan usil, menariknya mendekati kelompok orang yang sedang mengobrol, tepat di dekat tempat Raka berdiri.

Dan saat itulah semuanya terjadi.

“Alya?” suara itu menghentikan langkahnya. Suara yang sudah lama tidak ia dengar, tetapi masih melekat di ingatannya.

Alya berbalik dengan perlahan, berusaha mengatur napasnya. Di depannya berdiri Raka, pria yang pernah menghancurkan hatinya, menatapnya dengan ekspresi penuh kejutan. Matanya sedikit membelalak, seolah tidak percaya bahwa ia melihat Alya di tempat ini.

“Raka,” jawab Alya singkat, tanpa senyum, tanpa emosi.

Sejenak, waktu terasa berhenti. Udara di antara mereka seolah berubah menjadi beban berat yang sulit dihirup. Wajah Raka menunjukkan keraguan, tetapi ada sesuatu yang tersirat dalam tatapannya—seperti rasa bersalah yang tak terucapkan. Alya mencoba membaca ekspresinya, tetapi ia tidak ingin terlihat peduli. Tidak lagi.

“Kamu terlihat… berbeda,” ujar Raka akhirnya, suaranya terdengar sedikit canggung. “Lebih dewasa, lebih… anggun.”

Alya mengangkat alis, lalu tersenyum tipis. “Waktu memang mengubah banyak hal, kan? Dan, aku rasa kamu juga berubah. Selamat atas penghargaanmu,” ucapnya dengan nada formal, seperti berbicara dengan kenalan biasa.

“Terima kasih,” jawab Raka sambil mengangguk. Namun, ia tidak bisa menyembunyikan sedikit kegugupan dalam suaranya. “Alya, aku… aku tidak pernah menyangka kita akan bertemu lagi. Ada banyak hal yang ingin aku bicarakan—”

“Saya rasa ini bukan tempat yang tepat, Raka,” potong Alya dengan nada tegas. Ia tidak ingin membuka luka lama di depan orang lain, terutama di acara formal seperti ini.

Namun, sebelum Raka sempat menjawab, Dinda datang dengan ekspresi terkejut, lalu menyadari situasi di antara mereka. “Oh, kalian saling kenal? Ini menarik,” katanya sambil melirik Alya dengan tatapan bertanya-tanya.

Alya hanya tersenyum kecil, berusaha menjaga sikap tenang. “Kami punya sedikit sejarah,” jawabnya singkat, tanpa penjelasan lebih lanjut.

Dinda terlihat ingin menggali lebih jauh, tetapi Alya segera beralih. “Kalau begitu, aku permisi dulu. Selamat menikmati malamnya,” katanya kepada Raka, lalu berjalan pergi tanpa memberi kesempatan untuk diskusi lebih lanjut.

Saat Alya melangkah meninggalkan ruangan, ia merasa berbagai emosi berkecamuk di dalam dirinya. Ada kemarahan, kesedihan, dan sesuatu yang lain—sesuatu yang tidak ingin ia akui. Pertemuan singkat itu membuatnya sadar bahwa luka lama itu belum sepenuhnya sembuh. Tetapi ia juga tahu, malam ini hanyalah awal dari sebuah perjalanan panjang.

Dan di luar ballroom, Alya memutuskan satu hal: jika Raka mencoba mendekat kembali ke dalam hidupnya, ia tidak akan membiarkan dirinya terluka lagi. Tidak kali ini.*

Bab 3: Rencana Balas Dendam

Malam itu, Alya berdiri di depan cermin di kamarnya. Tatapannya menajam, memandangi bayangan dirinya yang terlihat kuat di luar, tetapi rapuh di dalam. Pertemuan singkat dengan Raka di acara penghargaan tadi siang membuka kembali luka lama yang ia pikir sudah sepenuhnya sembuh. Luka itu kini tidak hanya terasa, tetapi membakar—bukan dengan kesedihan, melainkan dengan kemarahan.

“Dia terlihat bahagia. Hidupnya berjalan mulus, bahkan lebih baik daripada saat aku ada di sisinya,” gumam Alya pelan. “Sementara aku… aku harus menghabiskan bertahun-tahun mencoba menyatukan kepingan hatiku yang hancur.”

Alya menghela napas panjang. Ia tahu apa yang ingin ia lakukan. Sebuah ide mulai tumbuh di benaknya, ide yang sudah lama ia kubur jauh-jauh, tetapi kini terasa seperti pilihan yang masuk akal: membalas dendam. Bukan dengan cara kekerasan, tentu saja, tetapi dengan menunjukkan pada Raka bahwa ia tidak akan pernah bisa mempermainkan hatinya lagi. Ia ingin Raka merasakan rasa sakit yang sama seperti yang ia rasakan lima tahun lalu.

Keesokan harinya, Alya bertemu dengan sahabat barunya, Leon, di sebuah kafe kecil di dekat kantornya. Leon adalah rekan bisnis sekaligus teman yang selalu ada untuk mendukungnya. Dengan penampilan kasual namun berkarisma, Leon adalah pria yang cerdas, penuh perhatian, dan diam-diam menyimpan rasa kepada Alya. Namun, seperti biasanya, Alya terlalu fokus pada dirinya sendiri untuk menyadari hal itu.

“Ada sesuatu yang mengganggumu, Alya,” kata Leon sambil menyeruput kopinya. “Aku tahu kamu. Kamu tidak pernah terlihat seperti ini kecuali ada masalah besar.”

Alya terdiam sejenak, mempertimbangkan apakah ia harus menceritakan rencananya pada Leon. Ia tahu bahwa Leon adalah orang yang bisa ia percayai, tetapi ia juga sadar bahwa rencananya mungkin terdengar gila.

“Leon,” katanya akhirnya, suaranya terdengar serius. “Aku bertemu dengan seseorang kemarin. Seseorang dari masa laluku.”

Leon menatap Alya dengan penuh perhatian. “Siapa? Seseorang yang berarti bagimu?”

“Raka,” jawab Alya singkat. Ia bisa melihat perubahan kecil di ekspresi Leon—alasan yang tidak ia pahami, tetapi tidak ia hiraukan. “Dia ada di acara penghargaan kemarin. Dan melihatnya… entahlah, aku merasa seperti semua yang sudah aku bangun selama ini tiba-tiba goyah.”

Leon mengangguk pelan, mencoba memahami. “Jadi, apa yang akan kamu lakukan sekarang?”

Alya menarik napas panjang. “Aku ingin membalas dendam, Leon. Aku ingin dia merasakan apa yang aku rasakan. Dia menghancurkan hidupku dulu, dan sekarang dia hidup bahagia seolah tidak ada yang terjadi.”

Leon mengernyit. “Alya, kamu yakin ini keputusan yang tepat? Membalas dendam tidak selalu memberi kepuasan. Kadang, itu hanya memperburuk luka.”

Namun, Alya menggeleng. “Aku tidak peduli, Leon. Aku sudah memikirkannya. Aku tidak akan membiarkan dia terus merasa menang. Dia perlu tahu bahwa aku tidak lagi menjadi perempuan lemah yang bisa dia sakiti seenaknya.”

Leon terdiam, mempertimbangkan kata-kata Alya. Ia tidak sepenuhnya setuju dengan rencana itu, tetapi ia juga tahu bahwa Alya adalah wanita yang keras kepala. Ketika ia sudah memutuskan sesuatu, tidak ada yang bisa menghentikannya.

“Kalau begitu, apa rencanamu?” tanya Leon akhirnya.

“Aku akan mendekatinya,” jawab Alya, suaranya penuh keyakinan. “Aku akan berpura-pura memaafkannya, berpura-pura membuka hati kembali. Dan ketika dia mulai percaya bahwa dia bisa memiliki aku lagi, aku akan meninggalkannya. Aku akan membuat dia merasakan kehilangan yang sama seperti yang aku rasakan.”

Leon mengangguk perlahan, meskipun ada kekhawatiran dalam tatapannya. “Kalau itu yang kamu inginkan, aku akan mendukungmu. Tapi Alya, hati-hati. Jangan sampai kamu melukai dirimu sendiri dalam proses ini.”

Alya tersenyum kecil, merasa lega bahwa Leon ada di sisinya. “Terima kasih, Leon. Aku tahu aku bisa mengandalkanmu.”

Hari-hari berikutnya, Alya mulai menyusun langkah. Ia memanfaatkan jaringan profesionalnya untuk mencari tahu lebih banyak tentang kehidupan Raka sekarang—di mana ia tinggal, siapa orang-orang yang dekat dengannya, dan apa kelemahannya. Ia bahkan mulai mengikuti acara-acara bisnis yang kemungkinan besar dihadiri oleh Raka, mencari kesempatan untuk bertemu dengannya lagi.

Namun, tidak semuanya berjalan sesuai rencana. Pada salah satu acara yang ia hadiri, Alya tanpa sengaja bertemu Raka lebih awal dari yang ia duga. Pria itu tampak terkejut tetapi senang melihatnya.

“Alya,” sapa Raka dengan senyum yang tampak tulus. “Aku tidak menyangka kita akan bertemu lagi. Aku benar-benar ingin bicara denganmu tentang… tentang masa lalu kita.”

Alya menahan napas, tetapi ia segera memasang senyum yang ia harap terlihat alami. “Aku rasa sudah tidak ada yang perlu dibicarakan, Raka. Masa lalu sudah berlalu, bukan?”

“Benar,” kata Raka dengan sedikit canggung. “Tapi aku merasa aku berhutang penjelasan. Aku ingin memperbaiki segalanya.”

Dalam hati, Alya mencatat kata-kata itu. Raka masih merasa bersalah. Itu adalah titik lemah yang bisa ia gunakan. Dengan nada ramah tetapi sedikit dingin, Alya menjawab, “Kita lihat saja nanti, Raka. Kalau memang ada yang perlu diperbaiki, aku yakin waktu yang akan menunjukkan jalannya.”

Saat Alya berjalan pergi meninggalkan Raka, ia merasakan campuran perasaan yang aneh. Di satu sisi, ia merasa puas bahwa ia memiliki kendali atas situasi ini. Namun, di sisi lain, ada sesuatu yang mengganggunya—sesuatu yang tidak bisa ia jelaskan. Apakah ia benar-benar siap untuk memainkan permainan ini? Ataukah ia hanya membuka luka lama yang belum sepenuhnya sembuh?

Bagaimanapun juga, Alya tahu bahwa ia sudah memulai perjalanan ini. Dan tidak ada jalan untuk kembali. Rencana balas dendamnya telah dimulai.*

Bab 4: Awal Permainan

Alya melangkah memasuki ruang rapat mewah yang dipenuhi oleh para eksekutif perusahaan ternama. Aroma kopi segar bercampur wangi kayu dari meja besar di tengah ruangan membuat suasana terasa formal namun nyaman. Hari itu adalah pertemuan gabungan antara klien dan mitra bisnis, termasuk perusahaan Raka, TechnoVision. Alya telah menyusun strategi agar pertemuan ini menjadi langkah awal dari rencana besar balas dendamnya.

Saat ia memasuki ruangan, semua mata tertuju padanya. Penampilannya selalu menjadi sorotan—gaun formal dengan potongan modern, rambut yang disanggul rapi, dan tatapan tajam penuh percaya diri. Namun, perhatian yang ia cari adalah perhatian dari satu orang, Raka. Dan benar saja, pria itu sedang duduk di salah satu kursi, matanya langsung membeku saat melihat Alya masuk.

“Selamat pagi, semuanya,” sapa Alya dengan senyum profesional. “Senang sekali bisa bertemu dengan rekan-rekan luar biasa di sini. Saya Alya Pramesti, direktur kreatif dari Infinity Vogue, dan saya berharap kita bisa bekerja sama untuk menciptakan sesuatu yang besar.”

Raka tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Jelas sekali ia tidak menyangka Alya akan terlibat dalam proyek ini. Pria itu mencoba menyesuaikan diri, memasang senyum ramah seperti biasa, tetapi Alya tahu ia pasti merasa tidak nyaman. Itu adalah langkah pertama yang berhasil.

Selama presentasi berlangsung, Alya memimpin dengan percaya diri, menjelaskan strategi pemasaran yang telah ia susun dengan timnya. Ia sesekali melirik ke arah Raka, memastikan bahwa pria itu memperhatikan. Dan benar saja, Raka tampak terpaku, bukan hanya karena presentasinya yang brilian, tetapi juga karena sosok Alya yang tak lagi seperti perempuan yang dulu ia kenal.

Setelah rapat selesai, para peserta mulai bergerak menuju meja prasmanan di luar ruangan untuk menikmati makan siang ringan. Alya sengaja memperlambat langkahnya, membiarkan Raka mendekatinya lebih dulu.

“Alya,” sapa Raka akhirnya. Suaranya terdengar sedikit ragu, tetapi tetap hangat. “Aku tidak tahu kamu akan terlibat dalam proyek ini.”

Alya menoleh dengan senyum kecil yang terkontrol. “Kejutan, ya? Dunia ini memang kecil,” jawabnya santai.

“Aku senang kita bisa bertemu lagi,” lanjut Raka. “Aku benar-benar ingin bicara lebih banyak denganmu, tentang… ya, tentang apa yang terjadi dulu.”

Alya berpura-pura berpikir, lalu mengangguk pelan. “Mungkin kita memang perlu bicara. Tapi aku rasa sekarang bukan waktunya, Raka. Kita di sini untuk urusan profesional, bukan personal.”

Nada dingin namun sopan itu membuat Raka terdiam sejenak. Ia terlihat seperti ingin mengatakan sesuatu lagi, tetapi memilih untuk mengangguk. “Kamu benar. Tapi aku harap kita bisa menemukan waktu untuk bicara. Aku benar-benar ingin memperbaiki semuanya.”

Alya tersenyum tipis, meskipun dalam hatinya ia mencatat kalimat itu sebagai titik kelemahan Raka. “Kita lihat nanti,” balasnya singkat sebelum melangkah pergi, meninggalkan Raka yang masih berdiri di tempatnya.

Saat makan siang berlangsung, Alya memastikan untuk tetap profesional, berinteraksi dengan klien lain dan berbicara tentang proyek. Namun, ia juga tidak lupa mengawasi Raka dari kejauhan. Pria itu terlihat beberapa kali melirik ke arahnya, tetapi tidak berani mendekat lagi. Alya tahu bahwa dia mulai penasaran, mulai tergelitik oleh sikap dinginnya. Itu adalah bagian dari permainannya.

Malam harinya, di rumah, Alya merebahkan dirinya di sofa sambil memandangi langit-langit. Permainan baru saja dimulai, dan ia merasa puas dengan hasil hari itu. Raka telah mengambil langkah pertama untuk mendekat kembali, dan Alya akan memanfaatkan setiap kesempatan yang ada.

Ponselnya bergetar, menampilkan pesan dari Dinda.

“Jadi, gimana tadi? Kamu ketemu dia lagi, kan?”

Alya tersenyum kecil sebelum membalas.

“Ya, aku ketemu dia. Dia terlihat terkejut, bahkan mungkin merasa canggung. Itu bagus. Semuanya berjalan sesuai rencana.”

Tidak lama kemudian, pesan balasan dari Dinda masuk.

“Hati-hati, Alya. Jangan sampai rencana ini malah menyakitimu. Kadang kita pikir kita sudah kuat, tapi luka lama itu bisa datang lagi tanpa permisi.”

Alya terdiam sejenak membaca pesan itu. Dinda memang selalu bisa membaca pikirannya, bahkan ketika ia sendiri mencoba menyangkal. Tapi Alya menepis keraguan itu. Ia sudah terlalu jauh untuk mundur sekarang.

“Aku tahu apa yang aku lakukan, Din. Kali ini, aku yang akan menang.”

Keesokan harinya, Alya kembali ke kantor dengan semangat baru. Ia memeriksa email dan menemukan undangan makan malam dari salah satu mitra proyek, yang kebetulan juga dihadiri oleh Raka. Undangan itu adalah kesempatan emas bagi Alya untuk melanjutkan permainannya.

Saat malam tiba, Alya mengenakan gaun merah yang memancarkan aura percaya diri sekaligus menggoda. Rambutnya dibiarkan tergerai, menambah kesan anggun namun berani. Ketika ia tiba di restoran mewah tempat acara berlangsung, ia langsung menarik perhatian semua orang, termasuk Raka.

Raka berdiri dari kursinya, sedikit gugup tetapi tetap memasang senyum. “Alya, kamu datang.”

“Tentu saja,” jawab Alya dengan nada ramah. “Aku tidak ingin melewatkan kesempatan untuk menjalin relasi yang lebih baik dengan mitra bisnis.”

Percakapan mereka malam itu penuh dengan basa-basi, tetapi Alya bisa merasakan bahwa Raka berusaha mencari celah untuk mendekatinya lagi. Ia menggunakan setiap kesempatan untuk menonjolkan keberhasilannya, membangun kesan bahwa ia adalah pria yang layak. Namun, Alya tidak mudah terpengaruh. Ia tetap menjaga sikap profesional, sambil sesekali memberikan senyuman kecil yang membuat Raka semakin penasaran.

Ketika malam berakhir, Alya tahu satu hal: Raka sudah masuk ke dalam permainannya. Pria itu mulai merasakan tarikan yang halus namun pasti, dan Alya akan memastikan bahwa ia tetap memegang kendali. Langkah pertama telah berhasil, dan permainan ini baru saja dimulai.*

Bab 5: Leon dan Rahasia Tersembunyi

Pagi itu, Alya sedang sibuk memeriksa laporan pemasaran di ruang kerjanya ketika pintu diketuk. Tanpa menunggu jawaban, Leon masuk dengan membawa dua cangkir kopi di tangannya, seperti biasanya.

“Selamat pagi, wanita sibuk,” sapa Leon dengan senyum lebar.

Alya mendongak dan tersenyum tipis. “Selamat pagi juga, pria yang terlalu santai. Aku sedang tenggelam dalam laporan ini, jadi kopi itu datang di waktu yang tepat.”

Leon meletakkan salah satu cangkir di meja Alya dan duduk di kursi seberangnya. Ia mengamati Alya sejenak, terlihat ragu untuk mengatakan sesuatu.

“Kamu baik-baik saja, Alya?” tanyanya akhirnya. “Kamu kelihatan… sibuk, tapi tidak sepenuhnya fokus.”

Alya mendesah. Ia tahu Leon terlalu mengenalnya untuk bisa menyembunyikan sesuatu. “Aku baik-baik saja, Leon. Hanya banyak hal yang harus kupikirkan. Proyek baru ini cukup menantang.”

Leon menyandarkan tubuhnya ke kursi, menatap Alya dengan ekspresi penuh perhatian. “Atau ini soal Raka?”

Nama itu membuat Alya terdiam. Ia menatap Leon, mencoba membaca ekspresi pria itu. Leon selalu mendukungnya, tetapi akhir-akhir ini, Alya merasa ada sesuatu yang berbeda. Seolah Leon tahu lebih banyak daripada yang ia katakan.

“Aku tidak bisa bohong padamu,” kata Alya akhirnya. “Ya, ini soal Raka. Aku sedang menjalankan rencanaku, Leon. Semua berjalan lancar sejauh ini, tapi… entahlah, kadang aku merasa seperti ada sesuatu yang tidak aku lihat.”

Leon mengangguk pelan. Ia mengangkat cangkir kopinya, menyeruput isinya sebelum berbicara lagi. “Alya, aku tahu kamu wanita yang kuat. Tapi aku juga tahu rencana ini bisa berbahaya, bukan hanya untuk Raka, tapi juga untukmu. Apa kamu yakin ini yang benar-benar kamu inginkan?”

Alya menghela napas panjang. “Aku sudah bilang, Leon. Ini bukan hanya soal ingin. Aku butuh ini. Aku perlu menunjukkan pada Raka bahwa aku bukan perempuan lemah yang bisa dia tinggalkan begitu saja.”

Leon terdiam, terlihat seperti ingin mengatakan sesuatu tetapi menahannya. Alya memperhatikan ekspresi itu, merasa ada yang janggal.

“Ada apa, Leon?” tanya Alya, mencoba menembus kebisuan sahabatnya.

Leon mengalihkan pandangannya sejenak sebelum kembali menatap Alya. “Alya, aku tidak ingin kamu terluka. Dan aku juga tidak yakin Raka adalah satu-satunya masalah di sini.”

Kening Alya berkerut. “Apa maksudmu?”

Leon menghela napas dalam, lalu mencondongkan tubuhnya ke depan, menatap Alya dengan serius. “Ada sesuatu yang harus kamu tahu. Tentang Raka… dan tentang aku.”

Ucapan itu membuat jantung Alya berdegup lebih cepat. “Leon, jangan membuatku tegang. Kalau ada yang harus aku tahu, katakan saja.”

Leon mengangguk, terlihat gugup. “Alya, aku tahu kamu membenci Raka karena dia meninggalkanmu tanpa alasan. Tapi, apa kamu pernah bertanya-tanya kenapa dia melakukannya? Kenapa seseorang yang begitu mencintaimu tiba-tiba pergi?”

Pertanyaan itu membuat Alya terdiam. Ia pernah bertanya-tanya tentang itu bertahun-tahun lalu, tetapi rasa sakit yang ia rasakan lebih besar daripada keinginannya untuk mencari jawaban.

“Dia pengecut, Leon,” jawab Alya dingin. “Dia tidak cukup berani untuk menghadapi masalah di antara kami.”

Leon menggeleng pelan. “Tidak, Alya. Itu tidak sepenuhnya benar. Raka meninggalkanmu karena… aku yang memintanya.”

Dunia Alya terasa berhenti sejenak. Ia memandang Leon dengan tatapan tidak percaya. “Apa maksudmu, Leon? Kamu yang memintanya? Apa kamu bercanda?”

Leon menggeleng lagi, kali ini dengan ekspresi penuh penyesalan. “Dengar aku, Alya. Waktu itu, aku tahu Raka sedang menghadapi banyak tekanan—keluarganya, usahanya yang hampir bangkrut, semuanya. Tapi aku juga tahu bahwa kamu sedang dalam masa terberatmu. Kamu kehilangan pekerjaan, kehilangan kepercayaan diri, dan aku takut Raka tidak bisa mendukungmu seperti yang kamu butuhkan. Jadi, aku bicara padanya. Aku bilang, jika dia benar-benar mencintaimu, dia harus pergi. Karena aku pikir itu lebih baik untukmu.”

Kata-kata Leon membuat darah Alya mendidih. Ia berdiri dari kursinya, menatap Leon dengan kemarahan yang sulit ia kendalikan. “Jadi, semua ini karena kamu? Kamu yang membuat dia pergi? Dan kamu tidak pernah berpikir untuk memberitahuku sebelumnya?”

“Alya, aku tidak bermaksud menyakitimu,” kata Leon, suaranya terdengar memohon. “Aku hanya ingin yang terbaik untukmu. Dan aku berpikir bahwa tanpa dia, kamu akan menemukan cara untuk bangkit sendiri. Aku tidak tahu itu akan menyakitimu sedalam ini.”

Alya menatap Leon dengan tatapan penuh kekecewaan. “Kamu tidak tahu? Leon, kamu menghancurkan sesuatu yang mungkin bisa diperbaiki. Kamu mengambil keputusan untuk hidupku tanpa bertanya padaku.”

Leon terdiam, tidak bisa membantah. Ia tahu apa yang ia lakukan salah, tetapi ia tidak pernah menyangka bahwa kebenaran itu akan terungkap seperti ini.

Alya mengambil tasnya dan berjalan keluar dari ruangannya. Sebelum meninggalkan ruangan, ia berhenti sejenak di depan pintu, lalu menoleh. “Leon, aku tidak tahu apa yang lebih menyakitkan—pengkhianatan Raka, atau pengkhianatanmu.”

Pintu tertutup dengan suara keras, meninggalkan Leon sendirian di dalam ruangan. Pria itu menunduk, merasakan berat dari keputusannya di masa lalu. Sementara itu, Alya berjalan dengan langkah cepat keluar dari gedung, mencoba mengatur napasnya yang memburu.

Pikirannya kacau. Apa yang baru saja ia dengar mengubah segalanya. Rencana balas dendamnya tidak lagi terasa sejelas sebelumnya. Ia merasa seperti kehilangan arah, tetapi satu hal yang ia tahu pasti: ia tidak bisa mempercayai siapa pun sekarang, bahkan Leon.

Namun, di balik rasa sakit itu, Alya juga merasakan sesuatu yang lain—keinginan untuk mengetahui kebenaran yang sebenarnya. Jika Leon memiliki rahasia, mungkin Raka juga memiliki rahasianya sendiri. Dan Alya bersumpah, ia akan mencari tahu semuanya, tidak peduli apa pun risikonya.*

Bab 6: Raka yang Rapuh

Hari itu, Alya berdiri di tepi jendela ruangannya, menatap kota yang sibuk dengan pikiran yang tidak kalah kacau. Pikirannya kembali terpusat pada apa yang baru saja ia ketahui dari Leon. Kenyataan bahwa Raka meninggalkannya atas permintaan sahabatnya sendiri membuat luka lama yang sudah ia kubur kembali menganga. Namun, satu pertanyaan terus menghantui pikirannya: apa alasan Raka mau mengikuti permintaan Leon? Apakah benar karena cinta, ataukah ada alasan lain yang belum ia pahami?

Dalam upayanya mencari jawaban, Alya memutuskan untuk bertemu Raka di luar konteks pekerjaan. Ia tahu, jika ia ingin membuka sisi lain dari pria itu, ia harus memainkan peran sebagai seseorang yang peduli, bukan seseorang yang penuh dendam. Meski hatinya masih terbakar oleh kemarahan, Alya memutuskan untuk menenangkan diri.

Pesan singkat ia kirimkan ke nomor Raka, mengajaknya bertemu untuk minum kopi di sebuah kafe kecil yang terkenal dengan suasananya yang tenang. Tidak butuh waktu lama bagi Raka untuk membalas.

“Aku akan datang. Terima kasih sudah memberiku kesempatan.”

Sore itu, Alya menunggu di salah satu sudut kafe. Ia mengenakan blus putih sederhana, dengan rambut yang diikat rapi. Penampilannya jauh lebih kasual dibandingkan pertemuan-pertemuan sebelumnya. Ia ingin menciptakan kesan santai, seolah pertemuan ini hanya sekadar reuni tanpa maksud tersembunyi.

Raka tiba beberapa menit kemudian. Penampilannya tampak berbeda dari yang Alya ingat. Ia terlihat lebih lelah, dengan lingkaran gelap di bawah matanya dan langkah yang kurang bertenaga. Bukan sosok pria yang dulu selalu tampil percaya diri dan penuh energi.

“Alya,” sapa Raka dengan senyum tipis. “Terima kasih sudah mengajakku bertemu.”

Alya mengangguk dan memberi isyarat agar Raka duduk di depannya. “Aku pikir kita perlu bicara, Raka. Ada banyak hal yang belum selesai di antara kita.”

Raka menghela napas panjang. Ia memandang Alya dengan tatapan yang penuh penyesalan. “Kamu benar. Aku sudah menunggu kesempatan ini sejak lama, tapi aku tidak pernah punya keberanian untuk memulainya.”

“Apa yang sebenarnya terjadi, Raka?” tanya Alya tanpa basa-basi. “Kenapa kamu pergi begitu saja lima tahun lalu? Kalau kamu benar-benar mencintaiku seperti yang kamu katakan dulu, kenapa kamu meninggalkanku?”

Raka terdiam sejenak. Ia menunduk, memainkan cangkir kopi di tangannya, sebelum akhirnya menjawab. “Alya, aku tahu apa yang aku lakukan waktu itu adalah kesalahan terbesar dalam hidupku. Tapi… aku punya alasan.”

“Alasan apa?” desak Alya.

Raka mengangkat tatapannya, menatap mata Alya dengan penuh rasa bersalah. “Waktu itu, aku berada di titik terendah dalam hidupku. Perusahaanku hampir bangkrut, keluargaku sedang menghadapi masalah besar, dan aku merasa seperti aku tidak bisa memberikan apa yang kamu butuhkan. Aku merasa tidak cukup baik untukmu.”

Alya terdiam mendengar pengakuan itu. Bagian dari dirinya ingin mempercayai Raka, tetapi bagian lain masih merasa terluka. “Jadi kamu pikir pergi tanpa penjelasan adalah solusi terbaik?”

“Tidak,” jawab Raka pelan. “Aku tahu itu salah, Alya. Tapi ada hal lain yang membuatku pergi. Leon… dia datang padaku. Dia bilang bahwa kamu sedang berjuang, dan aku hanya akan menjadi beban untukmu. Dia bilang kalau aku benar-benar mencintaimu, aku harus pergi dan memberimu ruang untuk menemukan dirimu sendiri.”

Nama Leon membuat jantung Alya berdegup kencang. Jadi, apa yang dikatakan Leon memang benar. Tapi ada sesuatu dalam suara Raka yang membuat Alya merasa ada lebih banyak hal yang belum ia ungkapkan.

“Aku tidak percaya kamu hanya meninggalkan aku karena Leon berkata begitu,” kata Alya, suaranya mulai meninggi. “Kamu adalah pria yang selalu percaya pada keputusanmu sendiri. Jadi kenapa kamu mengikuti saran orang lain begitu saja?”

Raka terdiam lagi, kali ini lebih lama. Akhirnya, ia berkata dengan suara pelan, hampir seperti bisikan. “Karena aku takut, Alya. Aku takut kehilanganmu, tapi aku lebih takut jika kamu akan membenciku karena aku tidak bisa menjadi pria yang kamu butuhkan.”

Pengakuan itu membuat Alya terpaku. Ia tidak pernah membayangkan bahwa di balik kepergian Raka yang begitu menyakitkan, ada ketakutan dan keraguan yang begitu mendalam.

“Aku tidak butuh kamu menjadi sempurna, Raka,” kata Alya akhirnya, suaranya melembut. “Aku hanya butuh kamu ada. Tapi kamu memilih pergi, dan itu menghancurkan aku.”

Raka menundukkan kepalanya, tidak bisa membalas kata-kata Alya. Ia terlihat begitu rapuh, jauh berbeda dari pria yang pernah Alya kenal.

“Alya,” kata Raka akhirnya, suaranya bergetar. “Aku tahu aku tidak bisa mengubah apa yang sudah terjadi. Tapi aku ingin kamu tahu bahwa aku menyesal. Setiap hari selama lima tahun terakhir, aku menyesal telah meninggalkanmu. Aku tidak meminta maaf karena berharap kita bisa kembali bersama. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku benar-benar menyesal.”

Kata-kata itu membuat hati Alya terasa berat. Ia ingin tetap marah, ingin tetap membenci pria ini, tetapi ia tidak bisa mengabaikan rasa sakit yang jelas terlihat di mata Raka.

Setelah beberapa saat hening, Alya akhirnya berkata, “Aku tidak tahu apakah aku bisa memaafkanmu, Raka. Tapi aku akan mencoba mengerti.”

Raka mengangguk, meskipun air mata hampir menetes di sudut matanya. “Itu lebih dari cukup untukku, Alya. Terima kasih.”

Saat pertemuan itu selesai, Alya berjalan keluar dari kafe dengan perasaan campur aduk. Ia merasa langkahnya goyah, seperti tanah yang ia pijak tidak lagi stabil. Ia mulai mempertanyakan rencana balas dendamnya. Bagaimana mungkin ia bisa menyakiti seseorang yang sudah begitu rapuh? Tapi di sisi lain, luka di hatinya masih belum sepenuhnya sembuh.

Alya tahu, perjalanannya belum selesai. Dan kebenaran yang ia cari mungkin lebih rumit dari yang ia bayangkan.*

Bab 7: Cinta di Antara Luka

Malam itu, Alya berdiri di balkon apartemennya, menatap gemerlap lampu kota yang seakan berlomba menerangi kegelapan. Angin malam yang sejuk menyapu wajahnya, tetapi tidak mampu menenangkan kekacauan di dalam hatinya. Pertemuannya dengan Raka sore tadi terus berputar dalam pikirannya. Pengakuan Raka tentang alasan kepergiannya membuat Alya merasa tersesat di antara rasa benci dan iba.

Di satu sisi, ia ingin tetap memegang kendali atas rencananya—membuat Raka merasakan rasa sakit yang sama seperti yang ia alami lima tahun lalu. Tapi di sisi lain, melihat Raka yang rapuh, penuh penyesalan, dan jauh berbeda dari sosok pria yang ia kenal dulu, perlahan-lahan meluruhkan tembok yang telah ia bangun di sekeliling hatinya.

Belum lama ia termenung, ponselnya bergetar di atas meja kecil di samping pintu balkon. Nama yang tertera di layar membuat hatinya berdebar—Raka. Untuk sesaat, Alya ragu. Namun, dorongan untuk mendengar suaranya membuat ia menggeser ikon hijau di layar.

“Halo,” sapa Alya singkat, mencoba terdengar netral.

“Alya,” suara Raka terdengar pelan, sedikit gemetar, “Aku tahu ini mungkin terlalu cepat, tapi… aku ingin bicara lagi. Ada banyak hal yang belum sempat aku katakan tadi.”

Alya menghela napas panjang. “Raka, aku tidak tahu apakah aku siap untuk pembicaraan seperti ini lagi. Aku butuh waktu untuk mencerna semuanya.”

“Aku mengerti,” balas Raka dengan nada penuh kesabaran. “Aku tidak akan memaksamu. Tapi, kalau kamu siap, aku ingin mengajakmu makan malam. Tidak ada tekanan, tidak ada agenda tersembunyi. Aku hanya ingin kita bicara sebagai dua orang yang pernah saling mencintai.”

Kata-kata terakhir itu membuat Alya terdiam. Ia tahu menghindar tidak akan menyelesaikan apa pun. Bagian dari dirinya ingin tahu lebih banyak, ingin memahami apa yang sebenarnya terjadi di antara mereka.

“Baiklah,” jawab Alya akhirnya. “Kapan?”

“Besok malam, di tempat yang kamu pilih,” kata Raka dengan nada penuh harap.

Alya menyebutkan sebuah restoran kecil di sudut kota, tempat yang jauh dari keramaian dan penuh dengan suasana tenang. Setelah itu, mereka mengakhiri percakapan tanpa banyak kata.

—

Keesokan harinya, Alya tiba di restoran lebih awal. Ia memilih meja di sudut, di dekat jendela besar yang memperlihatkan pemandangan jalanan yang dipenuhi lampu. Restoran itu tidak ramai, hanya ada beberapa pasangan dan keluarga kecil yang duduk di meja lain.

Tidak lama kemudian, Raka muncul. Ia mengenakan kemeja putih sederhana dengan jaket hitam. Wajahnya terlihat lebih tenang dibandingkan kemarin, tetapi Alya masih bisa melihat bayangan kegelisahan di matanya.

“Terima kasih sudah datang,” kata Raka saat ia duduk di seberang Alya.

Alya hanya mengangguk. Ia tidak tahu harus berkata apa, jadi ia memilih untuk menunggu Raka memulai pembicaraan.

“Pertama-tama,” Raka membuka, “Aku ingin bilang bahwa aku sangat menghargai kesempatan ini. Aku tahu aku tidak pantas untuk mendapatkannya setelah semua yang aku lakukan.”

“Raka,” potong Alya, suaranya tegas, “Kalau kamu ingin aku di sini, aku butuh kejujuran. Aku tidak ingin basa-basi atau alasan yang setengah hati.”

Raka menatapnya sejenak, lalu mengangguk. “Baik. Aku akan jujur. Selama lima tahun terakhir, aku hidup dalam bayangan kesalahan yang aku buat. Aku mencoba membangun kembali hidupku, tapi aku tidak pernah bisa benar-benar melupakanmu, Alya. Kamu adalah orang terbaik yang pernah hadir dalam hidupku, dan aku menghancurkan segalanya dengan tanganku sendiri.”

Alya menahan napas. Kata-kata Raka begitu langsung, seperti anak panah yang menembus benteng hatinya. Namun, ia tidak ingin terbuai begitu saja.

“Kamu tahu,” kata Alya dengan nada datar, “Aku menghabiskan bertahun-tahun mencoba mencari tahu apa salahku. Aku bertanya-tanya apa yang kurang dari diriku sampai kamu memutuskan untuk pergi. Tapi sekarang aku tahu, itu bukan salahku. Itu adalah pilihanmu.”

Raka menunduk, menahan rasa bersalah yang semakin menghantamnya. “Kamu benar, Alya. Itu adalah pilihanku. Pilihan yang salah. Tapi aku juga tidak bisa mengabaikan fakta bahwa aku merasa tidak cukup baik untukmu. Aku merasa kamu layak mendapatkan seseorang yang lebih kuat, lebih stabil, dan lebih bisa mendukungmu.”

Alya menghela napas panjang. “Tapi kamu tidak pernah memberiku kesempatan untuk memutuskan apa yang aku inginkan, Raka. Kamu mengambil keputusan itu untukku.”

Hening sejenak di antara mereka, hanya suara pelayan yang berlalu-lalang dan gemerincing piring yang terdengar.

“Alya,” Raka akhirnya berkata, suaranya hampir seperti bisikan, “Aku tidak pernah berhenti mencintaimu.”

Kata-kata itu membuat hati Alya bergetar. Ia merasa seperti dihantam ombak besar, tidak tahu harus melangkah ke mana. Cinta yang pernah ia kubur jauh di dasar hatinya tiba-tiba muncul kembali, berbaur dengan luka dan rasa sakit yang masih tersisa.

“Aku tidak tahu apakah aku bisa mencintaimu lagi, Raka,” kata Alya jujur. “Terlalu banyak yang terjadi, terlalu banyak luka yang belum sembuh.”

“Aku tidak meminta kamu untuk mencintaiku lagi,” jawab Raka, tatapannya tulus. “Aku hanya ingin memperbaiki apa yang sudah aku rusak. Kalau itu berarti aku harus menerima bahwa kita tidak bisa bersama lagi, aku akan menerimanya. Tapi aku ingin kamu tahu bahwa aku di sini, siap melakukan apa saja untuk menebus kesalahanku.”

Alya menatap Raka dalam-dalam, mencoba mencari kejujuran di balik kata-katanya. Dan untuk pertama kalinya, ia melihat sesuatu yang berbeda—bukan pria yang meninggalkannya, tetapi pria yang benar-benar ingin berubah.

“Mungkin,” kata Alya pelan, “Kita bisa mencoba memperbaiki semuanya. Bukan sebagai pasangan, tapi sebagai dua orang yang pernah saling mencintai dan ingin berdamai dengan masa lalu.”

Senyum kecil muncul di wajah Raka. “Itu lebih dari cukup untukku, Alya.”

Malam itu, mereka berbicara lebih lama. Tidak semua luka hilang, tidak semua pertanyaan terjawab, tetapi itu adalah langkah pertama menuju sesuatu yang baru. Di antara luka-luka yang masih ada, mereka mulai menemukan sedikit kedamaian.*

Bab 8: Kebenaran Terungkap

Alya duduk di ruang kerjanya, menatap layar laptop yang menampilkan laporan keuangan perusahaan. Namun, pikirannya melayang jauh, tidak mampu fokus pada apa yang ada di depannya. Pertemuan makan malam dengan Raka beberapa malam lalu telah mengguncang dunianya. Ia masih belum sepenuhnya percaya pada Raka, tetapi pria itu telah membuka sisi lain dirinya yang selama ini tidak pernah Alya bayangkan—sisi yang rapuh dan penuh penyesalan.

Namun, ada sesuatu yang mengganggu pikirannya, sesuatu yang tidak bisa ia abaikan begitu saja. Raka telah mengaku bahwa kepergiannya lima tahun lalu dipengaruhi oleh Leon, tetapi Alya merasa masih ada yang belum terungkap. Leon dan Raka sama-sama menyimpan rahasia, dan Alya tidak bisa melanjutkan hidup tanpa mengetahui kebenaran yang sesungguhnya.

Hari itu, Alya memutuskan untuk menghadapi Leon. Ia mengundangnya untuk bertemu di apartemennya setelah jam kerja, memastikan bahwa pembicaraan mereka tidak akan terganggu. Leon, seperti biasa, datang dengan senyum santainya, membawa sekantong makanan ringan favorit Alya.

“Kamu kelihatan serius,” kata Leon saat ia duduk di sofa, meletakkan kantong makanan di atas meja. “Ada apa, Alya?”

Alya menatap Leon dengan tajam, tidak ingin membuang waktu dengan basa-basi. “Leon, aku ingin kamu jujur padaku. Tidak ada lagi setengah kebenaran atau alasan yang dibuat-buat. Aku butuh tahu segalanya tentang apa yang terjadi lima tahun lalu. Kenapa kamu meminta Raka untuk pergi?”

Wajah Leon berubah, senyumnya menghilang. Ia terdiam sejenak, seolah mencoba menyusun kata-kata. “Aku sudah menjelaskan, Alya. Waktu itu aku pikir dia tidak cukup baik untukmu. Aku pikir kamu butuh ruang untuk menemukan dirimu sendiri.”

“Itu tidak cukup, Leon,” potong Alya dengan nada tegas. “Raka sudah memberitahuku bahwa dia pergi karena merasa tidak cukup baik untukku. Tapi aku tahu ada sesuatu yang lebih dari itu. Aku tahu kamu menyembunyikan sesuatu dariku.”

Leon menundukkan kepala, tampak gelisah. Ia meremas kedua tangannya, seolah sedang berjuang melawan sesuatu di dalam dirinya. Setelah beberapa saat, ia mengangkat wajahnya dan menatap Alya dengan mata penuh penyesalan.

“Kamu benar,” kata Leon akhirnya. “Ada sesuatu yang belum aku katakan padamu. Sesuatu yang selama ini aku coba sembunyikan karena aku pikir itu akan melindungimu.”

Alya menahan napas, jantungnya berdebar kencang. “Apa itu, Leon? Katakan padaku.”

Leon menghela napas panjang sebelum mulai berbicara. “Waktu itu, aku tidak hanya meminta Raka untuk pergi karena dia sedang berada di titik terendah dalam hidupnya. Aku meminta dia pergi karena aku takut kehilanganmu, Alya.”

Kata-kata itu membuat Alya terpaku. Ia menatap Leon dengan mata yang melebar, tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. “Apa maksudmu, Leon?”

Leon menundukkan pandangannya lagi, suaranya melembut saat ia melanjutkan. “Aku mencintaimu, Alya. Aku sudah mencintaimu sejak lama, jauh sebelum kamu bersama Raka. Tapi aku tahu, aku tidak punya keberanian untuk mengatakannya. Dan ketika kamu bersama Raka, aku merasa aku akan kehilanganmu selamanya.”

Alya merasa seperti dunia di sekitarnya berhenti. Ia tidak pernah menyangka bahwa Leon, sahabat yang selalu ada di sisinya, menyimpan perasaan seperti itu. “Jadi, kamu memanipulasi situasi untuk membuat Raka pergi? Karena kamu mencintaiku?”

Leon mengangguk pelan, ekspresi wajahnya penuh rasa bersalah. “Aku tahu itu salah, Alya. Aku tahu aku tidak seharusnya mencampuri hubungan kalian. Tapi saat itu, aku hanya berpikir bahwa aku sedang melindungimu. Aku tidak bisa melihat kamu terluka karena dia. Aku pikir dengan membuat dia pergi, kamu akan melupakan dia dan melihatku sebagai seseorang yang selalu ada untukmu.”

Alya terdiam, mencoba mencerna pengakuan itu. Rasanya seperti dikhianati untuk kedua kalinya. Ia selalu menganggap Leon sebagai sahabat terbaiknya, seseorang yang bisa ia percayai sepenuhnya. Tetapi sekarang, ia merasa hubungan mereka dibangun di atas kebohongan.

“Leon,” kata Alya akhirnya, suaranya bergetar, “Apa kamu sadar apa yang sudah kamu lakukan padaku? Kamu tidak hanya menghancurkan hubungan aku dengan Raka, tapi juga menghancurkan kepercayaan aku padamu. Aku mengandalkanmu, aku percaya padamu, tapi ternyata kamu menyembunyikan sesuatu yang begitu besar dariku.”

“Alya, aku tidak bermaksud menyakitimu,” kata Leon memohon. “Aku hanya ingin yang terbaik untukmu. Tapi aku sadar, aku melakukan kesalahan besar. Aku sudah menyesalinya sejak hari pertama.”

Alya menggelengkan kepala, air mata mulai mengalir di pipinya. “Kamu tidak punya hak untuk memutuskan apa yang terbaik untukku, Leon. Itu adalah hidupku, itu adalah pilihanku. Dan kamu merampas itu dariku.”

Leon mencoba mendekat, tetapi Alya mengangkat tangannya, menghentikannya. “Aku butuh waktu, Leon. Aku tidak tahu apakah aku bisa memaafkanmu. Tapi untuk sekarang, aku butuh kamu pergi.”

Leon terdiam, terlihat hancur. Namun, ia tahu bahwa Alya tidak akan mendengarkan apa pun yang ia katakan saat ini. Dengan enggan, ia berdiri dan berjalan menuju pintu. Sebelum pergi, ia berbalik dan berkata dengan suara pelan, “Aku minta maaf, Alya. Dari lubuk hatiku yang terdalam, aku minta maaf.”

Setelah Leon pergi, Alya duduk di sofa, merasa lelah secara emosional. Kebenaran yang terungkap malam itu membuatnya merasa kehilangan dua orang sekaligus—Raka dan Leon. Ia tidak tahu apakah ia bisa memperbaiki hubungan dengan salah satu dari mereka.

Namun, satu hal yang pasti, Alya tahu ia tidak bisa terus hidup dalam bayang-bayang masa lalu. Ia harus menemukan cara untuk berdamai dengan semua luka ini, meskipun itu berarti harus melangkah sendirian.*

Bab 9: Pilihan Hati

Alya duduk termenung di sebuah taman kecil di dekat kantornya. Pagi itu, ia sengaja datang lebih awal untuk mencari ketenangan di antara rimbun pepohonan dan kicauan burung. Namun, pikirannya tetap penuh gejolak. Kebenaran yang terungkap dari mulut Leon beberapa malam lalu terus menghantuinya. Cinta yang ia pikir hanya berupa persahabatan ternyata lebih dalam dari itu, dan keputusan Leon untuk memanipulasi hubungannya dengan Raka membuat Alya merasa dikhianati.

Di sisi lain, ada Raka. Pria itu telah membuka diri, mengungkapkan rasa penyesalannya, bahkan mengaku bahwa ia masih mencintai Alya. Namun, luka yang ditinggalkan oleh kepergian Raka lima tahun lalu belum sepenuhnya sembuh. Alya terjebak di antara dua pria yang sama-sama mencintainya, tetapi masing-masing telah menyakitinya dengan cara mereka sendiri.

Ponselnya bergetar di dalam tas, mengalihkan perhatiannya. Sebuah pesan dari Raka muncul di layar:

“Alya, aku tahu kamu butuh waktu. Tapi aku ingin kamu tahu bahwa aku di sini, menunggumu, apa pun keputusanmu.”

Alya membaca pesan itu berkali-kali, mencoba mencari makna di balik kata-kata sederhana itu. Raka benar-benar berubah, itu jelas. Tetapi apakah perubahan itu cukup untuk memperbaiki hubungan mereka yang sudah hancur?

Sebelum ia sempat merenung lebih jauh, teleponnya berdering. Kali ini, nama Leon muncul di layar. Untuk sesaat, Alya ragu apakah ia harus mengangkatnya atau tidak. Namun, rasa penasaran mengalahkan keraguannya.

“Halo,” sapanya dengan nada datar.

“Alya,” suara Leon terdengar lembut, penuh harap. “Aku tahu kamu mungkin masih marah padaku. Aku tidak akan memaksamu untuk memaafkanku, tapi aku ingin bertemu. Aku ingin menjelaskan semuanya, dengan cara yang lebih baik.”

“Leon, aku tidak tahu apakah aku siap untuk bertemu lagi,” jawab Alya jujur. “Aku masih berusaha memahami semuanya.”

“Aku mengerti,” balas Leon. “Tapi tolong, beri aku satu kesempatan lagi. Aku akan ada di kafe biasa kita jam tujuh malam. Kalau kamu datang, aku akan menunggumu. Kalau tidak, aku akan pergi dan tidak akan mengganggumu lagi.”

Alya menghela napas panjang. Leon benar-benar terdengar tulus, tetapi apakah itu cukup untuk menghapus rasa sakit dan pengkhianatan yang ia rasakan?

—

Hari itu berlalu dengan lambat. Alya merasa seperti berada di tengah pusaran emosi yang tidak pernah berakhir. Ketika malam tiba, ia memutuskan untuk pergi ke kafe tempat Leon menunggunya. Ia tidak tahu apa yang akan ia katakan, tetapi ia tahu bahwa menghindari masalah hanya akan membuat semuanya semakin rumit.

Saat Alya tiba, Leon sudah ada di sana, duduk di sudut ruangan dengan ekspresi cemas di wajahnya. Ketika ia melihat Alya masuk, Leon segera berdiri, tetapi Alya hanya memberi isyarat agar ia tetap duduk.

“Aku tidak tahu kenapa aku datang,” kata Alya saat ia duduk di depannya. “Tapi aku di sini. Jadi, katakan apa yang ingin kamu katakan.”

Leon menatap Alya dengan mata penuh penyesalan. “Alya, aku sudah mengatakan segalanya padamu, tapi aku merasa aku belum bisa menunjukkan betapa menyesalnya aku. Aku tahu aku telah menghancurkan kepercayaanmu, dan itu adalah kesalahan terbesar dalam hidupku. Tapi aku ingin kamu tahu bahwa aku mencintaimu dengan cara yang mungkin salah, tetapi tulus. Aku tidak berharap kamu akan membalas perasaanku. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku selalu ada untukmu.”

Kata-kata Leon membuat hati Alya terasa berat. Ia tahu Leon tulus, tetapi itu tidak menghapus rasa sakit yang ia sebabkan.

“Leon,” kata Alya akhirnya, “Aku menghargai kejujuranmu. Tapi aku tidak tahu apakah aku bisa memaafkan apa yang sudah kamu lakukan. Kamu mengambil sesuatu dariku yang tidak bisa aku dapatkan kembali. Dan meskipun kamu melakukan itu karena kamu mencintaiku, itu tidak membuatnya benar.”

Leon menunduk, tidak bisa membalas kata-kata Alya. Ia tahu bahwa ia telah melukai wanita yang ia cintai, dan tidak ada kata-kata yang bisa mengubah fakta itu.

—

Ketika Alya pulang malam itu, ia merasa lebih lelah daripada sebelumnya. Ia merasa telah mengakhiri sesuatu dengan Leon, tetapi hatinya masih belum sepenuhnya tenang. Di dalam hatinya, ia tahu bahwa ia masih harus menghadapi satu hal lagi—Raka.

Keesokan harinya, Alya menghubungi Raka dan mengajaknya bertemu di tempat mereka pernah berbagi kenangan indah, sebuah taman kecil yang penuh dengan bunga mawar. Raka tiba lebih dulu, menunggu di bangku yang dikelilingi oleh bunga-bunga bermekaran. Ketika Alya datang, ia berdiri, wajahnya menunjukkan campuran kecemasan dan harapan.

“Alya,” sapanya pelan, “Terima kasih sudah mau bertemu lagi.”

Alya duduk di sampingnya, membiarkan hening sejenak sebelum akhirnya berkata, “Raka, aku sudah memikirkan semuanya. Tentang kita, tentang apa yang terjadi lima tahun lalu, dan tentang apa yang terjadi sekarang.”

Raka menatapnya, tidak ingin menyela. Ia tahu Alya membutuhkan waktu untuk menyelesaikan kata-katanya.

“Aku tidak tahu apakah aku bisa melupakan luka yang kamu tinggalkan,” kata Alya, suaranya gemetar. “Tapi aku juga tahu bahwa aku tidak bisa terus hidup dengan membiarkan masa lalu mengendalikan aku.”

“Alya,” kata Raka dengan suara penuh emosi, “Aku tidak meminta kamu untuk melupakan semuanya. Aku hanya ingin kesempatan untuk memperbaiki semuanya, untuk menunjukkan bahwa aku benar-benar berubah.”

Alya mengangguk pelan, air mata mulai mengalir di pipinya. “Aku akan mencoba, Raka. Tapi ini bukan tentang kamu saja. Aku juga harus belajar memaafkan diriku sendiri.”

Raka menggenggam tangan Alya dengan lembut, memberikan rasa tenang yang selama ini hilang dari hidupnya. Malam itu, di antara bunga-bunga mawar yang bermekaran, Alya membuat pilihan hati. Tidak untuk kembali ke masa lalu, tetapi untuk melangkah maju, dengan hati yang lebih kuat dan lebih berani.*

Bab 10: Saat Luka Menjadi Cinta

Matahari mulai terbenam di balik gedung-gedung tinggi, memancarkan warna jingga yang indah di langit. Alya duduk di sebuah bangku kayu di taman kecil yang tak jauh dari tempat tinggalnya. Udara sore itu begitu sejuk, angin lembut membelai wajahnya. Ia menatap sekeliling, melihat anak-anak bermain dengan riang, pasangan-pasangan yang saling berbagi tawa, dan orang-orang yang berlalu lalang dengan cerita hidup masing-masing.

Namun, Alya masih terjebak dalam pikirannya sendiri. Luka-luka yang selama ini membekas di hatinya tidak sepenuhnya hilang, tetapi ia merasa ada sesuatu yang berubah. Ada keberanian baru untuk berdamai dengan rasa sakit dan membiarkan cinta masuk kembali ke dalam hidupnya.

Terdengar langkah kaki mendekat. Alya menoleh dan melihat Raka berjalan perlahan ke arahnya. Pria itu mengenakan kemeja biru muda dan celana kasual, dengan senyum kecil yang tampak canggung namun tulus.

“Alya,” sapa Raka pelan saat ia berdiri di depannya. “Kamu sudah menungguku lama?”

Alya menggeleng. “Tidak, aku baru saja tiba.”

Raka duduk di sampingnya, menyisakan sedikit jarak. Ia menatap ke depan, melihat pemandangan yang sama dengan Alya, tetapi pikirannya penuh dengan apa yang ingin ia katakan. Setelah beberapa saat, ia akhirnya membuka suara.

“Alya, aku tahu aku sudah banyak bicara akhir-akhir ini. Tapi aku merasa belum cukup menunjukkan apa yang aku rasakan. Jadi, aku ingin mencoba sesuatu yang berbeda hari ini.”

Alya menoleh, bingung. “Apa maksudmu, Raka?”

Raka menarik napas dalam-dalam, lalu mengeluarkan sebuah buku kecil dari tasnya. Buku itu tampak usang, dengan beberapa halaman yang mulai menguning di tepinya. “Ini,” katanya, menyerahkan buku itu kepada Alya, “adalah buku yang aku tulis selama lima tahun terakhir. Aku tidak pernah punya keberanian untuk menunjukkannya pada siapa pun, tapi aku ingin kamu membacanya.”

Alya menerima buku itu dengan ragu. Ia membuka halaman pertama dan membaca tulisan tangan Raka yang rapi: “Untuk Alya, wanita yang mengajarkanku tentang cinta, meski aku pernah menyia-nyiakannya.”

Hatinya langsung tersentuh. Ia melanjutkan membuka beberapa halaman, membaca potongan-potongan kalimat yang ditulis oleh Raka. Buku itu penuh dengan kisah tentang perasaan, penyesalan, dan harapan Raka selama bertahun-tahun. Ada halaman yang berisi puisi, ada juga catatan harian yang mengungkapkan betapa ia merindukan Alya setiap harinya.

“Kenapa kamu menulis ini?” tanya Alya, suaranya bergetar.

Raka tersenyum tipis. “Karena aku tidak punya keberanian untuk mengungkapkan semuanya secara langsung. Menulis adalah caraku untuk tetap merasa terhubung denganmu, meskipun aku tahu aku tidak pantas untukmu.”

Alya menutup buku itu perlahan, mencoba mengendalikan emosi yang membanjiri dirinya. Ia menatap Raka, melihat pria itu dengan cara yang baru—bukan hanya sebagai seseorang yang pernah menyakitinya, tetapi juga sebagai seseorang yang berjuang untuk memperbaiki kesalahan.

“Raka,” kata Alya akhirnya, “aku tidak akan berbohong. Apa yang kamu lakukan dulu meninggalkan luka yang dalam di hatiku. Aku butuh waktu yang sangat lama untuk bangkit kembali. Tapi setelah semua yang terjadi, aku juga sadar bahwa aku tidak ingin terus hidup dalam bayang-bayang masa lalu.”

Raka menatapnya penuh harap. “Apa maksudmu, Alya?”

Alya menghela napas panjang sebelum melanjutkan. “Aku ingin memberi kita kesempatan. Bukan untuk kembali ke masa lalu, tapi untuk memulai sesuatu yang baru. Aku tidak tahu apakah aku bisa sepenuhnya melupakan luka itu, tapi aku ingin mencoba. Aku ingin melihat apakah cinta yang dulu kita miliki bisa tumbuh kembali, meskipun di atas bekas luka.”

Wajah Raka langsung berubah. Senyum besar menghiasi wajahnya, matanya tampak bersinar dengan kebahagiaan yang tidak bisa ia sembunyikan. “Alya, aku tidak bisa mengungkapkan betapa bersyukurnya aku mendengar itu. Aku tahu perjalanan ini tidak akan mudah, tapi aku berjanji akan melakukan apa pun untuk membuatmu bahagia.”

Alya tersenyum tipis. “Aku tidak butuh janji, Raka. Aku hanya butuh kamu menjadi jujur, apa adanya. Itu cukup bagiku.”

Raka mengangguk, menyentuh tangan Alya dengan lembut. Mereka duduk dalam keheningan, menikmati momen itu tanpa perlu banyak kata. Hati mereka mungkin belum sepenuhnya sembuh, tetapi mereka tahu bahwa cinta yang mereka miliki sekarang berbeda. Itu adalah cinta yang tumbuh dari luka, cinta yang lebih dewasa dan penuh pemahaman.

—

Beberapa bulan berlalu, dan Alya serta Raka mulai membangun hubungan mereka kembali, langkah demi langkah. Mereka tidak terburu-buru, tetapi justru menikmati setiap momen kecil yang mereka lalui bersama. Mereka belajar untuk saling menerima, termasuk kekurangan dan kesalahan masa lalu masing-masing.

Pada suatu sore, mereka kembali ke taman yang sama, kali ini dengan membawa secangkir kopi masing-masing. Alya menatap Raka dan tersenyum. “Aku tidak pernah berpikir kita akan sampai di titik ini.”

Raka tertawa kecil. “Aku juga. Tapi aku bersyukur kita tidak menyerah.”

Alya mengangguk, merasa hatinya jauh lebih ringan. Luka-luka di hatinya memang tidak sepenuhnya hilang, tetapi kini luka-luka itu menjadi bagian dari perjalanan hidupnya—sebuah pengingat bahwa cinta sejati tidak selalu sempurna, tetapi bisa tumbuh di tengah kekacauan dan kesalahan.

Dan di sore itu, di bawah langit yang mulai memerah, Alya menyadari bahwa luka yang dulu ia pikir akan menghancurkannya telah membawanya kembali pada cinta—cinta yang lebih kuat, lebih tulus, dan lebih indah daripada sebelumnya.***

———the and———

Source: SYAHIBAL
Tags: # Cinta Sejati#Kesempatan Kedua#Romansadendam cintaluka hati
Previous Post

AKU TUNGGU KAMU KEMBALI

Next Post

RINDU YANG MENYULUT AMARAH

Related Posts

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

May 17, 2025
KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

May 16, 2025
KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

May 15, 2025
RINDU YANG MENYULUT AMARAH

RINDU YANG MENYULUT AMARAH

May 14, 2025
JANJI YANG MANIS DI BALIK PENGKHIANATAN

JANJI YANG MANIS DI BALIK PENGKHIANATAN

May 12, 2025
CINTA YG TAK TERBALAS

CINTA YG TAK TERBALAS

May 11, 2025
Next Post
RINDU YANG MENYULUT AMARAH

RINDU YANG MENYULUT AMARAH

KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

Top Stories

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

May 17, 2025
KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

May 16, 2025
KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

May 15, 2025

Tentang Kisah Cinta

Kami menyajikan kumpulan novel dan cerpen cinta yang menggambarkan berbagai sisi cinta, dari yang manis hingga yang pahit, dari yang bahagia hingga yang menyayat hati

Connect on Social

© 2024 Kisahcinta.id

No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta

© 2024 Kisahcinta.id