Daftar Isi
BAB 1 PERTEMUAN DI TENGAH HUJAN
Hujan turun dengan deras, membasahi setiap sudut kota yang sudah mulai sepi. Suara rintik-rintik air terdengar merdu, seperti melodi yang tak pernah habis. Nara berjalan cepat menyusuri trotoar, berusaha menghindari genangan air yang semakin tinggi. Tangannya memegang tas kulitnya erat-erat, mencoba menghindari air hujan yang terus turun deras. Ini adalah musim hujan yang sangat deras, lebih lama dari biasanya. Setiap kali hujan turun, perasaan Nara seakan ikut tercebur, terbenam dalam kenangan yang sering datang tanpa diundang.
Tiba-tiba, tanpa peringatan, langkahnya terhenti. Hujan semakin lebat, dan Nara mendapati dirinya di tengah jalan, jauh dari tempat berteduh. Ia menoleh ke sekeliling, namun tak ada tempat yang terlihat bisa untuk bersembunyi dari hujan yang begitu deras. Dalam kebingungannya, ia melihat sebuah bangunan kafe kecil di ujung jalan, dengan jendela kaca yang menyilaukan oleh cahaya hangat di dalamnya. Tanpa berpikir panjang, Nara berlari menuju kafe itu, berharap bisa menemukan perlindungan dari hujan yang semakin memburuk.
Namun, saat hampir mencapai pintu kafe, sebuah tangan tiba-tiba menyambar lengannya. Nara terkejut, hampir saja terjatuh ke genangan air di bawah kakinya. Ia menoleh dan menemukan seorang pemuda berdiri di depannya, dengan wajah yang tampak sedikit panik.
“Hei, hati-hati! Kamu hampir jatuh,” kata pemuda itu dengan suara lembut namun tegas.
Nara terpana sejenak, tidak siap untuk melihat sosok asing yang tiba-tiba muncul begitu saja di hadapannya. Pemuda itu, yang mengenakan jaket biru tua dengan hoodie, memandang Nara dengan tatapan cemas. Di wajahnya tampak kekhawatiran yang membuat Nara merasa sedikit canggung.
“A—aku baik-baik saja,” jawab Nara terbata-bata, berusaha tersenyum meskipun sedikit gugup. “Terima kasih.”
Namun, sebelum Nara sempat melangkah pergi, pemuda itu kembali berbicara. “Kamu tidak bisa berjalan di bawah hujan seperti itu. Kafe ini penuh, tetapi ada tempat berteduh di sini,” katanya sambil mengarah ke sebuah pelataran kecil di sebelah kafe yang lebih terlindungi dari hujan.
Nara merasa ragu. “Aku tak ingin merepotkan…”
Pemuda itu tersenyum ringan, seakan memahami kekhawatiran Nara. “Tidak masalah. Aku juga terjebak di sini karena hujan.”
Akhirnya, Nara mengikuti pemuda itu ke bawah pelataran kecil yang terletak di samping kafe. Tempat itu cukup teduh, meskipun suara hujan yang turun begitu deras membuat atmosfer menjadi sedikit melankolis. Keduanya berdiri dalam keheningan, hanya suara air hujan yang berjatuhan di sekitar mereka.
Nara menyandarkan tasnya ke dinding, mengangkat pandangan untuk melihat pemuda yang baru saja menolongnya. Wajahnya terlihat ramah, dengan rambut cokelat yang sedikit basah, dan matanya yang hangat seolah penuh cerita. Ia mengenakan jaket biru yang menutupi tubuhnya, namun tidak bisa menutupi senyum yang ramah di wajahnya.
“Nama saya Rizky,” katanya dengan suara yang santai.
Nara sedikit terkejut mendengarnya, karena biasanya, orang-orang tidak langsung menyapa orang asing seperti ini. Tetapi, ada sesuatu dalam cara Rizky berbicara yang membuatnya merasa nyaman.
“Nara,” jawabnya pelan. “Terima kasih sudah… menolong saya.”
Rizky mengangguk. “Sama-sama, Nara. Hujan ini kadang bisa membuat semuanya terasa lebih rumit, ya?”
Nara terdiam sejenak, merenungkan kata-kata Rizky. “Iya, hujan selalu membuat saya merasa… kesepian,” jawabnya pelan, menyembunyikan kenyataan yang sebenarnya.
Rizky tidak langsung menjawab. Ia hanya mengangguk dan melempar pandangannya ke luar, ke jalan yang mulai terendam air. Suasana hening, namun Nara merasa tak canggung lagi. Ia merasa seperti ada ikatan tak terlihat yang menyatukan mereka di tengah hujan ini. Tetesan air hujan di atas atap pelataran itu seolah menciptakan melodi yang menenangkan, meskipun di dalam hati Nara, ada perasaan yang mengalir tanpa ia mengerti.
“Kenapa hujan bisa membuatmu merasa kesepian?” tanya Rizky, memecah keheningan.
Nara menunduk, merenung. “Mungkin karena hujan selalu mengingatkan saya pada masa lalu. Saat hujan turun, saya selalu merasa seperti kembali pada kenangan yang… menyakitkan.” Ia berhenti sejenak, merasakan dada yang sedikit sesak. “Tapi, mungkin itu hanya perasaan saya saja.”
Rizky menatapnya dengan mata yang penuh pengertian. “Kadang kita memang harus menerima bahwa kenangan tak bisa hilang begitu saja. Tapi, kita tidak bisa biarkan mereka menguasai kita, kan?”
Nara terkejut mendengar kata-kata Rizky. Ada sesuatu dalam ucapan itu yang menyentuh hati Nara. “Iya, kamu benar,” jawabnya pelan. “Tapi, sulit untuk tidak mengingatnya.”
Suasana antara mereka menjadi lebih tenang, seolah hujan yang turun turut meredakan ketegangan yang ada. Rizky menatapnya satu kali lagi sebelum akhirnya berkata, “Tidak masalah. Kadang kita hanya butuh seseorang untuk mendengarkan, dan hari ini, hujan telah membawa kita bersama, kan?”
Nara hanya bisa tersenyum tipis. Ia merasa sedikit lega, meskipun hatinya masih dipenuhi dengan keraguan. Tetapi, entah mengapa, dalam kebersamaan yang sederhana ini, ia merasa sedikit lebih ringan. Mungkin, hujan tidak hanya mengingatkan pada kenangan yang pahit, tetapi juga pada kesempatan baru yang datang tanpa diduga.
Rizky meraih tas ranselnya dan menyandarkannya di samping Nara. “Kalau kamu tidak keberatan, mungkin kita bisa masuk ke dalam kafe itu setelah hujan reda. Atau… kamu bisa lanjutkan perjalananmu dulu. Aku tidak akan mengganggu.”
Nara menatapnya sejenak, merasakan ketulusan dalam kata-kata Rizky. “Aku rasa, kafe itu bisa menunggu. Terima kasih, Rizky.”
Dan begitu, keduanya duduk dalam kebersamaan yang aneh, namun menyenangkan. Hujan terus mengguyur, dan Nara mulai merasa bahwa mungkin, pertemuan ini bukan hanya kebetulan. Mungkin ini adalah awal dari sesuatu yang baru.*
BAB 2 TETESAN HUJAN YANG MEMBANGKIT KAN KENANGAN
Hujan itu datang dengan perlahan, mengguyur bumi dengan tetes-tetes air yang seakan menyanyikan lagu nostalgia. Nara berdiri di dekat jendela kamar, memandangi tetesan hujan yang jatuh menimpa kaca. Ada sesuatu yang berbeda dengan hujan hari itu. Suara gemericiknya mengingatkannya pada kenangan yang terkubur lama dalam benaknya. Kenangan tentang seseorang yang pernah hadir dan pergi begitu saja, meninggalkan luka yang tidak mudah disembuhkan.
Nara menyandarkan tubuhnya pada bingkai jendela, menatap hujan dengan tatapan kosong. Seolah hujan itu membawa kembali wajah-wajah yang pernah ada dalam hidupnya. Beberapa minggu setelah pertemuan tak sengaja dengan Rizky, perasaan Nara mulai gelisah. Ada sesuatu yang semakin mengganggu pikirannya, sesuatu yang tersembunyi dalam hatinya. Setiap kali hujan turun, kenangan itu datang kembali, menghantui, mengingatkannya pada masa lalu yang tak pernah benar-benar terlupakan.
Rizky, seorang pemuda ceria yang baru dikenal Nara, datang dalam hidupnya dengan cara yang tak terduga. Mereka pertama kali bertemu di sebuah kafe kecil di pinggir jalan. Hujan saat itu turun begitu deras, membuatnya terjebak di dalam kafe lebih lama dari yang direncanakan. Ketika Nara memutuskan untuk kembali pulang, ia melangkah keluar dengan terburu-buru, tanpa memperhatikan jalan yang licin. Saat itulah dia bertabrakan dengan Rizky. Mereka berdua hampir jatuh, namun Rizky dengan sigap menarik tangan Nara untuk menahannya.
“Maaf, aku tidak sengaja,” kata Rizky sambil tersenyum, matanya yang cerah seolah bisa menyinari malam yang gelap.
“A-aku yang minta maaf,” jawab Nara, sedikit malu karena kejadian itu. Ia tidak biasa bertemu orang baru, apalagi dalam situasi yang konyol seperti itu. Namun, Rizky justru membuatnya merasa nyaman.
Sejak pertemuan itu, mereka mulai sering bertemu. Nara mulai merasa ada ikatan emosional yang tumbuh di antara mereka. Setiap pertemuan dengan Rizky terasa seperti hadiah dari langit. Rizky yang selalu ceria, penuh semangat, dan selalu tahu bagaimana membuat Nara merasa lebih baik. Tanpa Nara sadari, hujan yang turun setiap kali mereka bertemu kini menjadi simbol dari perasaan yang mulai tumbuh dalam hatinya. Namun, meskipun kedekatan itu semakin kuat, ada bayangan masa lalu yang tak bisa dihindari.
Kenangan tentang **Aditya**, pria pertama yang pernah Nara cintai, kembali menghantui pikirannya. Aditya adalah cinta pertama Nara, seseorang yang begitu istimewa di matanya. Mereka bertemu saat masih di sekolah menengah, dan semuanya terasa sempurna. Namun, seperti halnya banyak kisah cinta pertama, hubungan itu berakhir dengan cara yang menyakitkan. Aditya, yang dulu tampak begitu tulus, tiba-tiba menjauh tanpa alasan yang jelas. Hujan pada waktu itu, yang menjadi saksi kebersamaan mereka, kini menjadi simbol dari segala perasaan terluka yang Nara simpan.
Tetesan hujan yang membasahi bumi mengingatkannya pada saat-saat Aditya dan dia berjalan bersama di bawah hujan. Dulu, hujan adalah hal yang indah bagi Nara. Hujan membuat mereka semakin dekat, seolah membentuk kenangan manis yang akan mereka bawa bersama selamanya. Namun, setelah Aditya pergi, hujan menjadi simbol kesedihan dan kehilangan. Setiap kali hujan turun, Nara merasa seolah dunia mengingatkannya pada luka yang belum sembuh.
“Apa yang sedang kau pikirkan?” Suara Rizky tiba-tiba mengalihkan perhatian Nara dari lamunannya.
Nara tersentak, dan menoleh. Rizky berdiri di ambang pintu, dengan senyuman yang hangat di wajahnya. Ia tak mengenakan jaket, hanya kaos sederhana yang basah oleh hujan. Mungkin ia baru saja tiba, atau mungkin sudah lama berdiri di sana, memandangi Nara yang terlalu tenggelam dalam pikirannya.
“Aku hanya… mengingat sesuatu,” jawab Nara, sedikit canggung. Ia berusaha untuk menyembunyikan rasa gelisah yang mulai menguasai hatinya.
“Kenangan lama?” tanya Rizky, melangkah masuk ke dalam ruangan, mendekat ke arah Nara.
Nara mengangguk pelan. “Ya, kenangan yang datang setiap kali hujan turun.”
Rizky tersenyum kecil, lalu duduk di samping Nara, mengikuti arah pandangannya yang masih terfokus pada hujan di luar. “Terkadang, hujan memang punya cara tersendiri untuk membawa kita kembali ke masa lalu,” kata Rizky dengan suara lembut. “Tapi, bukan berarti kita harus terus terjebak di dalamnya.”
Nara menatap Rizky, merasa sedikit terkejut dengan kata-katanya. Seolah-olah, Rizky bisa membaca apa yang ada dalam pikirannya. Ia mengalihkan pandangannya, menatap hujan yang semakin deras. “Mungkin kamu benar. Tapi, bagaimana aku bisa melupakan semuanya? Aditya… dia… meninggalkanku begitu saja.”
Rizky tidak langsung menjawab. Ia hanya duduk diam, memberi ruang bagi Nara untuk melanjutkan.
“Aku takut, Rizky. Aku takut jika aku mulai membuka hati lagi, aku akan terluka seperti dulu,” lanjut Nara dengan suara pelan. “Aku tidak ingin mengalami itu lagi.”
Rizky menatap Nara dengan penuh perhatian. “Aku mengerti, Nara. Tapi, kamu tidak perlu melupakan semuanya. Kenangan itu akan selalu ada, tapi bukan berarti kamu harus membiarkan kenangan itu mengendalikan hidupmu.”
Hujan terus turun, tetapi untuk pertama kalinya, Nara merasa sedikit lebih tenang. Suara hujan di luar terasa lebih menenangkan sekarang, seolah hujan itu membawa pesan yang tidak terucapkan. Rizky, dengan sikapnya yang penuh pengertian, telah memberinya sedikit keberanian untuk melangkah maju.
“Terima kasih, Rizky,” kata Nara pelan, dan senyum kecil muncul di wajahnya.
“Jangan khawatir, Nara. Aku akan ada di sini, menemanimu,” jawab Rizky, matanya penuh harapan.
Hujan yang turun bukan lagi hanya pengingat akan kenangan masa lalu, tetapi juga menjadi simbol dari kemungkinan baru yang mungkin bisa mereka mulai bersama. Di tengah tetesan hujan, Nara merasakan sebuah kehangatan yang perlahan mengalir ke dalam hatinya. Mungkin, cinta pertama bukan hanya tentang melupakan, tetapi tentang menerima dan memberi kesempatan untuk mulai kembali.*
BAB 3 CINTA YANG TUMBUH DALAM DIAM
Setiap hari, hujan menjadi teman setia bagi Nara. Setiap tetesnya mengingatkan pada pertemuan pertama dengan Rizky, di tengah hujan yang deras itu. Suara hujan yang jatuh di atap rumahnya sering membuatnya terhanyut dalam kenangan, tetapi tidak ada kata-kata antara mereka. Cinta yang tumbuh di hati Nara tidak pernah diungkapkan. Bahkan Rizky tidak tahu apa yang dirasakannya, karena Nara memilih diam.
Di sekolah, Nara sering melihat Rizky di kejauhan. Meskipun mereka tidak selalu berbicara, namun perasaan Nara tak pernah bisa dipadamkan. Rizky selalu ada dalam pikirannya. Nara tahu betul betapa cerianya Rizky, bagaimana ia selalu bisa membuat teman-temannya tertawa. Rizky adalah sosok yang mudah didekati, penuh semangat, dan tidak pernah terlihat murung. Nara sering melihatnya berbicara dengan teman-temannya, berlarian ke sana kemari dengan senyum yang tidak pernah lepas dari wajahnya. Namun di balik semua keceriaan itu, Nara bisa merasakan ada sisi lain dari Rizky yang tidak ia ketahui.
Hari itu, saat pulang sekolah, hujan turun dengan derasnya. Nara berjalan cepat, berusaha mencari tempat berteduh. Ketika ia hampir sampai di halte, tiba-tiba sebuah payung besar terbuka di hadapannya. Nara terkejut dan menoleh, dan melihat Rizky tersenyum padanya.
“Ayo, masuk! Kalau tetap di luar kamu akan basah kuyup!” kata Rizky sambil menggenggam gagang payung dan sedikit mendorong Nara agar lebih dekat.
Nara hanya tersenyum canggung, merasa tidak biasa berada dalam situasi seperti itu. Sejak pertemuan pertama mereka, mereka memang tidak pernah bertemu dalam kondisi yang terlalu pribadi. Kali ini, hujan membuat mereka saling terikat dalam keheningan yang penuh makna.
“Terima kasih,” Nara akhirnya berkata, meskipun hatinya berdegup kencang.
Rizky tersenyum lebih lebar. “Tidak masalah. Kalau kamu mau, kita bisa berjalan bersama. Aku juga sedang menunggu hujan reda.”
Mereka berjalan berdampingan, hujan masih turun dengan deras. Namun, di tengah hujan yang mengguyur, keduanya terdiam. Tidak ada percakapan yang tercipta. Hanya langkah kaki yang bersatu dengan suara hujan.
Nara merasa aneh, tapi juga nyaman dengan kehadiran Rizky di sampingnya. Ada semacam kehangatan yang terpancar dari sosok Rizky, meski tidak ada kata-kata yang diucapkan. Setiap kali Nara meliriknya, Rizky sedang tersenyum, seperti biasa. Namun, senyum itu membawa kedamaian yang sulit Nara jelaskan.
Sesampainya di rumah, Nara melangkah masuk ke dalam rumah dengan hati yang tidak menentu. Apakah perasaannya ini hanya sebuah perasaan sementara? Hujan yang sering datang dan pergi, begitu juga perasaan yang tumbuh dalam hatinya. Tetapi, ia memilih untuk diam. Dia tidak ingin terburu-buru mengungkapkan perasaannya kepada Rizky. Ia merasa terlalu canggung untuk melakukan itu, apalagi jika perasaannya tidak berbalas.
Hari-hari berlalu begitu cepat. Setiap kali hujan turun, perasaan Nara semakin dalam. Dia mulai merasakan betapa besar cinta yang tumbuh dalam diam ini, meski ia tidak tahu apakah Rizky merasakannya juga. Nara selalu berusaha menahan perasaan itu, berusaha tidak terlalu berharap lebih, karena dia tahu cinta pertama sering kali datang dengan banyak keraguan.
Namun, sesuatu yang aneh mulai terjadi. Nara merasa seperti ada yang berbeda dengan Rizky. Mungkin karena kesibukan sekolah, atau mungkin karena dia terlalu sering mendekati teman-temannya, tapi Rizky mulai jarang berinteraksi dengannya. Setiap kali mereka bertemu, ia hanya memberi senyum, tetapi tidak ada percakapan yang lebih dalam. Itu membuat hati Nara semakin berat.
Suatu sore, ketika hujan turun dengan deras, Nara duduk di bangku taman, menunggu hujan reda. Rizky tiba-tiba muncul dari kejauhan dengan payung besar yang ia bawa. Ia terlihat kebingungan saat melihat Nara duduk sendirian. Rizky mendekat dan duduk di sampingnya.
“Kamu di sini sendirian?” tanya Rizky.
Nara hanya mengangguk, tidak tahu bagaimana melanjutkan percakapan. Hatinya berdegup semakin kencang. Begitu dekat dengan Rizky, ia merasa ada banyak hal yang ingin ia katakan, namun kata-kata itu tetap saja terpendam.
Rizky melihat ke arah Nara dengan serius, seolah sedang mencari sesuatu dalam tatapan gadis itu. Nara merasakan ada ketegangan di udara, meskipun hujan membuat segalanya terasa lebih tenang. “Nara, kenapa kamu selalu terlihat cemas akhir-akhir ini? Ada yang salah?” tanya Rizky, dengan nada suara yang lembut.
Pertanyaan itu membuat Nara terdiam. Ia merasa seolah-olah hatinya dipenuhi dengan jawaban yang tidak bisa ia ungkapkan. Apakah Rizky benar-benar peduli padanya? Atau ini hanya perasaan yang ia buat-buat sendiri?
“Tidak ada apa-apa, Rizky. Aku hanya… Aku hanya merasa bingung,” jawab Nara pelan.
Rizky mengerutkan kening. “Bingung tentang apa?”
Nara menggigit bibirnya. “Tentang… tentang perasaan aku.”
Rizky terdiam, dan beberapa detik kemudian, ia menatap Nara dengan tatapan yang berbeda. “Tentang perasaan kamu padaku, maksudnya?”
Jantung Nara terasa berhenti sejenak. Kata-kata itu seolah datang begitu tiba-tiba, namun entah mengapa, ia merasa lega mendengarnya. Meski perasaan itu belum sepenuhnya ia ungkapkan, namun Rizky sudah tahu.
“Ya,” jawab Nara pelan, matanya menunduk.
Rizky tersenyum dan perlahan mengulurkan tangannya. “Aku juga merasakan hal yang sama, Nara. Hanya saja, aku takut kita akan merusak semuanya kalau kita terburu-buru.”
Nara terkejut. Senyum di wajahnya tiba-tiba merekah, dan meskipun hujan masih turun dengan deras, hatinya terasa hangat. “Jadi… kamu juga merasakannya?”
Rizky mengangguk. “Iya. Cinta pertama memang rumit, tapi aku tidak ingin menunggu lebih lama lagi.”
Akhirnya, dalam diam yang penuh makna, mereka saling mengerti. Cinta yang tumbuh dalam diam kini telah menemukan jalannya. Hujan yang selalu mengingatkan mereka pada kenangan yang tak terucapkan, kini menjadi saksi dari awal sebuah kisah cinta yang tak terduga.*
BAB 4 KETIKA HUJAN MENJADI SAKSI
Hujan turun dengan deras, menghentakkan kesunyian sore yang biasa saja menjadi penuh makna. Nara duduk di dekat jendela kamar, menatap tetesan air yang mengalir di kaca. Hujan adalah hal yang paling dikenalnya, sesuatu yang selalu datang dengan sendirinya, begitu sering ia temui, tetapi kali ini ada perasaan yang berbeda. Hujan seakan menjadi saksi bagi hatinya yang bergejolak.
Sudah beberapa hari sejak pertemuan terakhirnya dengan Rizky, dan meskipun mereka telah berbicara, ada sesuatu yang mengganjal di dalam dada Nara. Perasaan itu tak bisa ia jelaskan, tetapi setiap kali hujan turun, kenangan tentang Rizky dan momen kebersamaan mereka kembali hadir di benaknya. Ada kehangatan yang mengalir setiap kali mereka bersama, dan Nara mulai menyadari, perasaan itu lebih dari sekadar teman biasa.
Namun, Nara merasa bimbang. Dia terlalu banyak memikirkan masa lalu, cinta pertamanya yang berakhir pahit. Terkadang, dia merasa takut membuka hati lagi, apalagi setelah mengingat betapa menyakitkannya ditinggalkan begitu saja. Hujan yang selalu datang seakan mengingatkannya pada rasa sakit itu. Perasaan yang ingin ia lupakan, tetapi tak bisa. Hujan membuatnya lebih sensitif, lebih mudah teringat pada luka yang tak kunjung sembuh.
Sementara itu, Rizky juga merasa bingung. Hujan yang terus mengguyur kota hari itu menjadi latar belakang dari pikiran-pikirannya yang tak henti berputar. Dia tahu bahwa ada sesuatu yang berbeda dengan Nara. Sejak pertemuan pertama mereka, ada ketertarikan yang tumbuh, tetapi dia juga tahu bahwa Nara tidak mudah membuka hati. Mungkin, ini adalah waktunya untuk lebih jujur pada diri sendiri, meskipun dia tak tahu apakah Nara merasa hal yang sama.
Hari itu, Rizky memutuskan untuk menemui Nara. Dia tahu, jika ada waktu yang tepat untuk mengungkapkan perasaan yang sudah lama terpendam, itu adalah sekarang, di bawah hujan yang sama yang selalu mengingatkan mereka pada satu sama lain. Rizky mengemudikan mobilnya dengan hati yang berat. Meskipun hujan turun deras, dia merasa tak bisa lagi menunda-nunda perasaan ini. Dia harus berbicara dengan Nara, harus mengungkapkan semuanya.
Sesampainya di rumah Nara, Rizky melangkah menuju pintu depan. Hujan yang semakin deras membuatnya merasa seperti dunia berhenti sejenak. Di dalamnya, ada ketegangan yang hampir bisa dirasakan, seperti ada sesuatu yang belum terucapkan di antara mereka. Dia mengetuk pintu dengan hati yang penuh harapan.
Nara membuka pintu, dan suasana di antara mereka langsung terasa canggung. Hujan yang begitu keras di luar seakan menjadi latar yang pas untuk ketegangan yang ada di dalam hati mereka. “Kau datang di saat hujan,” kata Nara dengan senyum kecil, mencoba menenangkan dirinya.
“Aku rasa hujan ini memang datang untuk kita,” jawab Rizky dengan sedikit canggung, namun ada nada serius yang tak bisa dia sembunyikan.
Nara mengangguk dan memberi isyarat agar Rizky masuk. Mereka duduk di ruang tamu yang hangat, tetapi suasana hatinya jauh dari nyaman. Setiap tetes hujan yang jatuh di luar seakan menjadi penghenti sejenak bagi pikiran mereka, dan setiap ketukan jantung terasa begitu keras.
“Kenapa kau datang?” tanya Nara akhirnya, suara lembutnya hampir tenggelam oleh suara hujan.
Rizky menatapnya, matanya penuh keraguan. Dia merasa gugup, tetapi keinginannya untuk jujur jauh lebih besar. “Aku… Aku ingin kita berbicara, Nara. Tentang kita.”
Nara terdiam, matanya menunduk sejenak. “Tentang kita? Apa maksudmu?” tanyanya, suaranya bergetar.
“Sejak pertama kali kita bertemu, aku merasa ada sesuatu yang spesial di antara kita, Nara. Dan aku rasa kamu juga merasakannya. Tapi aku juga tahu, kamu sedang bingung. Aku tidak ingin menekanmu, tapi aku merasa kita sudah cukup lama saling diam,” ujar Rizky, berusaha mengungkapkan apa yang ada di hatinya.
Nara memejamkan mata, merasakan ketegangan yang semakin mencekam. Hujan yang semakin lebat seperti menyelimuti hatinya yang sedang ragu. “Aku tidak ingin lagi merasakan sakit, Rizky. Aku takut membuka hati,” jawab Nara pelan.
Rizky mendekat, mencoba memberi ruang agar Nara bisa lebih merasa nyaman. “Aku tidak ingin membuatmu terluka, Nara. Aku tahu kita semua punya masa lalu, dan itu tidak bisa kita lupakan begitu saja. Tapi aku ingin kamu tahu, aku tidak akan pergi. Aku ingin kita bisa menjalani ini bersama, perlahan-lahan.”
Nara terdiam, matanya mulai berkaca-kaca. “Tapi aku takut, Rizky. Aku takut akan mengecewakanmu atau lebih buruk lagi, aku takut kamu akan meninggalkanku, seperti yang dulu pernah terjadi.”
Hujan di luar semakin deras, tetapi di dalam rumah itu, keheningan terasa begitu dalam. Rizky meraih tangan Nara dengan lembut. “Aku tidak akan pergi, Nara. Aku di sini untuk kamu, dan aku ingin kita sama-sama membangun sesuatu yang baru. Jangan biarkan masa lalu menghalangi kita.”
Nara menatap mata Rizky, dan dalam diam, dia merasa ada ketulusan dalam kata-kata itu. Perlahan, rasa takutnya mulai memudar, digantikan oleh perasaan hangat yang mulai tumbuh. “Aku… aku ingin mencoba, Rizky. Aku ingin kita mencoba bersama.”
Hujan yang turun begitu deras di luar menjadi saksi bisu dari percakapan itu, percakapan yang mengubah segalanya. Di bawah hujan, mereka berdua menyadari bahwa terkadang, cinta membutuhkan keberanian untuk menghadapinya, meskipun ada ketakutan yang membayangi.*
BAB 5 PANGAKUAN YANG TERTUNDA
Hujan masih turun dengan deras, menambah kesedihan yang melingkupi hati Nara. Setiap tetesnya seolah menyentuh hatinya yang terasa berat. Sejak pertemuan terakhir mereka, Nara merasa ada jarak yang semakin lebar antara dirinya dan Rizky. Ia tahu, perasaan itu tidak hanya datang dari dirinya saja, tetapi juga dari Rizky. Ada kebingungan yang tak terucapkan, dan itu membuat Nara merasa cemas.
Nara melangkah keluar dari rumah, tanpa tujuan yang jelas. Ia merasa seperti terjebak dalam keraguan yang tak bisa dihindari. Ketika hujan turun, Nara selalu teringat pada pertemuan pertama mereka. Kala itu, hujan adalah awal dari segalanya, tetapi sekarang, hujan seolah menjadi penghalang yang memisahkan mereka. Setiap tetes hujan yang jatuh, mengingatkan Nara pada ketidakpastian yang sedang ia rasakan.
Ia berjalan menuju taman yang sering mereka kunjungi bersama. Dulu, tempat itu penuh dengan tawa dan kebahagiaan, namun kini hanya ada kesepian dan kegelisahan. Di bangku yang biasa mereka duduki, Nara duduk sendiri, menatap langit yang semakin gelap. Di dalam hatinya, ada kerinduan yang mendalam untuk berbicara dengan Rizky, untuk mengungkapkan apa yang selama ini ia simpan. Tetapi entah mengapa, setiap kali ia hendak melakukannya, kata-kata itu selalu terhenti di tenggorokannya.
Tiba-tiba, ponsel Nara berdering. Itu adalah pesan dari Rizky.
*”Nara, aku ingin berbicara denganmu. Bisakah kita bertemu?”*
Jantung Nara berdegup lebih cepat. Pesan itu datang begitu tiba-tiba, seolah membawa harapan baru. Dengan sedikit kebingungan, Nara membalas, “Dimana?”
*”Di taman, dekat tempat kita sering duduk. Aku ingin menjelaskan sesuatu.”*
Nara merasa ada yang aneh. Rizky ingin berbicara? Apa ini artinya? Apakah dia akan mengungkapkan sesuatu yang selama ini tertahan? Dengan sedikit keraguan, Nara memutuskan untuk pergi ke tempat itu. Hujan masih turun, namun ia tidak peduli. Hati Nara sudah penuh dengan pertanyaan yang tak terjawab.
Sesampainya di taman, ia melihat Rizky sudah duduk di bangku yang sama, menunggu. Wajahnya tampak lelah, namun ada sesuatu dalam sorot matanya yang membuat Nara merasa cemas. Rizky melihatnya dan tersenyum tipis, namun senyum itu terasa dipaksakan.
“Nara,” ujar Rizky perlahan, “Aku tahu kita sudah lama tidak berbicara dengan serius. Aku tidak tahu harus mulai dari mana, tapi aku merasa ini penting.”
Nara menatap Rizky dengan penuh perhatian. “Apa yang kamu rasakan, Rizky? Aku merasa kita semakin jauh, dan aku tidak tahu apa yang sedang terjadi.”
Rizky menunduk, mengatur kata-kata yang akan diucapkannya. “Aku… Aku tidak tahu bagaimana mengungkapkan ini. Sejak pertama kali kita bertemu, aku merasa ada sesuatu yang istimewa. Tapi aku juga takut, Nara. Takut jika perasaan ini salah, takut jika aku salah menilai segalanya.”
Nara merasa hatinya berdegup lebih kencang. “Kamu takut… dengan apa?”
Rizky mengangkat wajahnya dan menatap Nara dengan mata yang penuh kebingungan. “Aku takut jika aku mengungkapkan perasaan ini, aku akan kehilanganmu. Aku takut kita tidak bisa bersama, aku takut jika perasaan ini tidak sesuai dengan harapanmu. Aku terlalu banyak berpikir tentang masa depan, tentang apakah kita siap untuk menghadapi semuanya. Aku bingung dengan apa yang harus kulakukan.”
Setetes air mata jatuh dari mata Nara. Perasaan yang selama ini ia simpan, akhirnya bisa terungkap. Namun, ada rasa sakit yang muncul, bukan karena kata-kata Rizky, tetapi karena kenyataan bahwa perasaan mereka tidak pernah benar-benar dijelaskan.
“Nara, aku suka padamu,” lanjut Rizky dengan suara serak. “Aku sangat suka padamu, tapi aku tidak tahu bagaimana cara mengatakannya tanpa membuat semuanya menjadi rumit. Aku khawatir aku akan mengecewakanmu.”
Nara menarik napas panjang. “Aku juga suka padamu, Rizky. Tapi aku takut. Aku takut jika kita mulai sesuatu dan tidak bisa menghadapinya. Aku takut jika ini hanya perasaan sementara, atau jika nanti ada sesuatu yang menghalangi kita.”
Rizky terdiam, lalu menggenggam tangan Nara dengan lembut. “Aku mengerti, Nara. Aku tahu kita berdua sama-sama ragu. Tetapi aku ingin kita coba, walaupun itu sulit. Aku ingin kita berjuang bersama.”
Air mata Nara semakin jatuh, namun kali ini bukan karena kesedihan, melainkan karena rasa lega yang datang setelah begitu lama menahan perasaan. “Aku ingin mencoba, Rizky. Aku ingin kita bisa bersama, walaupun aku tahu itu tidak akan mudah.”
Keduanya terdiam sejenak, hanya mendengarkan suara hujan yang semakin deras. Hujan, yang dulu menjadi saksi dari pertemuan pertama mereka, kini menjadi saksi bisu dari pengakuan yang tertunda. Dalam keheningan itu, mereka saling memandang, dan meskipun tidak ada kata-kata lagi yang terucap, mereka tahu bahwa hubungan ini akan menjadi sesuatu yang lebih dari sekadar perasaan yang datang dan pergi.
Ketika hujan akhirnya mulai mereda, Rizky tersenyum lembut, dan Nara membalas senyum itu dengan rasa harapan yang baru. Mereka tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, tetapi saat itu, mereka tahu bahwa cinta pertama mereka tidak akan terhenti hanya karena keraguan dan ketakutan.*
Bab 6 Hujan Menyapa Perasaan
Pagi itu, hujan turun dengan derasnya, menutupi langit dengan awan kelabu yang tebal. Nara berdiri di depan jendela kamarnya, memandang tetesan air yang mengalir di kaca. Hujan selalu mengingatkannya pada segala sesuatu—kenangan yang tak bisa dilupakan, harapan yang belum terwujud, dan perasaan yang sulit diungkapkan. Ia merasa terjebak dalam kebingungannya sendiri, di antara perasaan cinta yang tumbuh untuk Rizky dan rasa takut yang menggerogoti hatinya.
“Kenapa hujan selalu datang saat aku merasa bingung?” gumamnya pada diri sendiri, merasa terhanyut dalam kesendirian.
Rizky, yang beberapa minggu terakhir selalu muncul dalam hidupnya dengan cara yang tak terduga, juga terlibat dalam perasaan yang membingungkan. Mungkin ini adalah cinta pertama yang sederhana, namun begitu rumit. Setiap kali mereka bertemu, hatinya terasa hangat, tetapi di sisi lain, ada ketakutan yang menghalangi Nara untuk membuka diri sepenuhnya.
Teringat beberapa hari yang lalu, saat Rizky mendekatinya di tengah hujan, dengan wajah yang penuh keinginan untuk berbicara, namun Nara merasa dia tidak siap. Ada sesuatu yang tak terucapkan di antara mereka, sebuah ruang kosong yang membuat perasaan mereka tidak pernah benar-benar sampai ke titik yang jelas.
Hari itu, Nara memutuskan untuk keluar dari rutinitasnya. Ia tahu bahwa jika ia terus bersembunyi di balik ketakutannya, ia tidak akan pernah tahu apakah perasaan yang ia rasakan itu nyata. Ia mengenakan jaket tebal, menyambar payung dari meja dekat pintu, dan melangkah keluar dari rumah. Hujan tidak menghalanginya; justru, hujan seolah memberi kesempatan untuk merenung dan mungkin menemukan jawabannya.
Di luar rumah, udara terasa sejuk dan basah. Hujan mengalir di jalanan, menciptakan genangan kecil yang memantulkan cahaya dari lampu jalan. Nara berjalan pelan, melangkah melalui trotoar yang licin, sambil memikirkan segala sesuatu yang telah terjadi antara dirinya dan Rizky.
Setibanya di taman kota, ia menemukan Rizky sedang duduk di bangku, memandang hujan yang turun deras. Wajahnya tampak serius, namun ada sesuatu yang memancarkan kehangatan di matanya. Seolah-olah, ia sedang menunggu seseorang untuk berbicara.
Nara berjalan mendekat, menutup payungnya di samping bangku dan duduk. Rizky menoleh ke arahnya, seolah-olah sudah lama mengetahui kedatangannya.
“Alya, kamu datang juga,” ucap Rizky dengan senyum tipis, namun ada sedikit kegugupan di baliknya. “Aku pikir kamu akan memilih untuk tetap di rumah.”
“Aku merasa harus keluar,” jawab Nara perlahan, mencoba mengatur perasaan yang bergejolak dalam dadanya. “Aku rasa, kita perlu berbicara, Rizky.”
Rizky menatapnya dengan penuh perhatian. Ia tahu ada sesuatu yang berbeda dari Nara hari ini. Sesuatu yang lebih serius, lebih dalam. “Tentang apa?” tanyanya dengan lembut, mencoba membaca perasaan Nara tanpa terburu-buru.
“Aku merasa…,” Nara terdiam sejenak, mencari kata-kata yang tepat. “Aku merasa kita terus berputar di tempat yang sama. Aku tidak tahu apakah kita hanya berteman atau lebih dari itu. Aku tidak tahu apa yang kau rasakan.”
Rizky menghela napas panjang, lalu menatap hujan yang terus turun. “Aku juga merasa demikian,” katanya pelan. “Ada sesuatu yang membuatku bingung. Aku tertarik padamu, Nara, tapi aku tidak tahu bagaimana cara mengungkapkannya. Setiap kali aku ingin mengatakan sesuatu, aku merasa takut—takut kamu tidak merasakannya.”
Nara merasa hatinya berdegup cepat. Selama ini, ia sudah merasakan hal yang sama, tetapi selalu ada keraguan yang menghalangi dirinya untuk mengakui perasaan itu. Ia takut, entah karena rasa takut akan ditolak atau karena ia merasa terlalu cepat untuk jatuh cinta lagi setelah luka lama.
“Rizky, aku juga…” Nara menggigit bibirnya, merasa cemas. “Aku juga merasakannya. Tapi aku takut itu hanya perasaan sementara. Aku takut aku akan terluka lagi. Hujan ini mengingatkanku pada kenangan lama yang menyakitkan. Itu sebabnya aku selalu ragu.”
Rizky terdiam sejenak, memikirkan kata-kata Nara. Lalu ia menggenggam tangan Nara dengan lembut, membuat Nara terkejut. “Aku tahu, Nara. Aku tahu perasaanmu. Aku juga merasakan hal yang sama. Namun, aku ingin mencoba. Kita tidak bisa menghindari perasaan hanya karena takut akan kemungkinan yang buruk.”
Nara menatap tangan mereka yang saling menggenggam, dan untuk pertama kalinya, ia merasa sedikit lega. Hujan yang turun begitu deras seolah menghapus ketakutannya sedikit demi sedikit, memberi mereka kesempatan untuk mengungkapkan perasaan mereka tanpa rasa malu atau ketakutan.
“Apa yang kita lakukan sekarang?” tanya Nara, suaranya sedikit gemetar, namun ada harapan di dalamnya.
“Kita coba. Kita lihat ke depan. Jika hujan ini bisa mengingatkan kita pada perasaan kita yang sebenarnya, kenapa kita harus lari?” jawab Rizky dengan senyum yang lebih lebar, penuh keyakinan.
Mereka duduk di sana, berdua, di bawah hujan yang semakin deras. Hujan menjadi saksi dari pengakuan yang telah lama tertunda, dari perasaan yang akhirnya dapat diungkapkan. Nara merasakan ketenangan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Mungkin ini adalah awal dari sesuatu yang indah—sesuatu yang dimulai dengan sebuah percakapan yang sederhana, namun penuh makna.
Di tengah hujan, di bawah langit yang kelabu, mereka mulai merajut kisah baru. Kisah yang mungkin tak sempurna, tapi penuh dengan keberanian untuk menghadapi perasaan dan masa depan bersama.*
BAB 7 MENYUSUN LANGKAH BERSAMA
Hujan masih turun dengan lebat di luar sana, namun di dalam ruangan, hati Nara dan Rizky terasa lebih terang. Setelah semua kebingungan, keraguan, dan ketakutan yang mereka rasakan sebelumnya, kini ada sebuah ketenangan yang mengalir di antara mereka. Mereka akhirnya berada di titik yang mereka dambakan: saling mengerti, saling percaya, dan saling membuka hati.
“Aku rasa ini adalah saat yang tepat, Rizky,” ujar Nara dengan suara yang lembut, namun penuh keyakinan. Matanya menatap jauh ke luar jendela, melihat tetes-tetes hujan yang jatuh begitu tenang. Ada perasaan yang mengalir begitu dalam dalam dirinya. Hujan di luar sana seakan menjadi saksi dari perjalanan emosional yang baru mereka mulai bersama.
Rizky duduk di samping Nara, mengangguk pelan. “Kamu benar, Lya. Aku tidak ingin lagi ada keraguan antara kita. Kita sudah melalui banyak hal bersama, dan aku tahu kita bisa melewati semuanya jika kita tetap bersama.”
Nara menghela napas panjang, matanya masih tertuju pada hujan yang turun dengan perlahan. “Aku pernah takut untuk mencintai, Rizky. Takut jika pada akhirnya aku akan terluka lagi, seperti yang pernah terjadi di masa lalu.” Suaranya sedikit bergetar, namun ia berusaha untuk tetap tegar. “Tapi kamu membuatku merasa berbeda. Kamu membuatku percaya lagi pada cinta.”
Rizky mengulurkan tangannya dan menggenggam tangan Nara dengan lembut. “Aku tahu kamu sudah melewati banyak hal, dan aku ingin ada di sini untukmu. Aku tidak akan membuatmu merasa sendiri lagi, Lya. Kita bisa saling mendukung, bersama-sama.”
Nara menoleh, memandang wajah Rizky dengan penuh perhatian. Ada kehangatan yang terpancar dari mata Rizky, dan seketika itu juga, rasa takut yang selama ini menghantui Nara mulai menghilang. Ia merasa aman, merasa bahwa dirinya tidak perlu lagi menyembunyikan perasaannya atau mengkhawatirkan masa depan yang tidak pasti.
“Aku ingin berjalan bersamamu, Rizky,” kata Nara dengan mantap. “Aku tidak ingin lagi ragu, atau merasa terjebak dalam masa lalu. Aku ingin membuka lembaran baru, bersama kamu.”
Rizky tersenyum dengan tulus, senyum yang menyiratkan kebahagiaan yang mendalam. “Aku juga, Lya. Aku ingin kita membangun masa depan yang lebih baik bersama. Aku tahu, hubungan kita tidak akan selalu mudah, tapi aku percaya kita bisa melewatinya selama kita saling mendukung.”
Nara merasa jantungnya berdebar lebih kencang. Setiap kata yang keluar dari mulut Rizky seperti sebuah janji yang tak terucapkan, janji untuk bersama, untuk berjuang bersama. Ia merasa hatinya menghangat, merasa bahwa hujan yang terus mengguyur dunia luar itu hanya menjadi latar belakang dari kisah cinta mereka yang semakin kuat.
Mereka berdua duduk diam dalam keheningan, menikmati kebersamaan mereka. Hujan di luar semakin deras, namun di dalam ruangan itu, semuanya terasa begitu damai. Ada sesuatu yang berbeda, sesuatu yang lebih dalam dari sekadar perasaan cinta yang biasa. Mereka tahu bahwa hubungan mereka telah melewati banyak ujian, dan meskipun perjalanan mereka baru dimulai, mereka sudah siap untuk melangkah lebih jauh.
“Aku tahu ini mungkin terdengar cepat, tapi aku ingin kita mulai merencanakan masa depan kita,” kata Rizky, suaranya terdengar serius namun penuh semangat. “Aku ingin kita saling membantu mewujudkan impian masing-masing. Aku ingin selalu ada untukmu, Lya, dan aku ingin kamu tahu bahwa aku tidak akan pernah meninggalkanmu.”
Nara menatap Rizky dengan penuh kebingungan, namun di hati kecilnya, ia merasakan sesuatu yang kuat, suatu perasaan yang menguatkan dirinya untuk mengambil langkah selanjutnya. “Apa maksudmu?” tanyanya perlahan, ingin memastikan apa yang Rizky maksudkan.
“Aku ingin kita berdua memiliki tujuan bersama, Lya,” jawab Rizky, menggenggam tangan Nara lebih erat. “Aku ingin kita merencanakan masa depan kita. Entah itu dalam hal karier, tempat tinggal, atau mungkin sebuah keluarga suatu hari nanti. Aku tidak ingin hanya bertahan hidup, aku ingin kita hidup bersama dengan tujuan yang jelas.”
Nara tersenyum, merasa terharu dengan kata-kata Rizky. Ia tahu bahwa impian mereka mungkin tidak akan mudah terwujud, tetapi mereka sudah memiliki satu sama lain, dan itu sudah cukup untuk membuat mereka kuat. “Aku juga ingin itu, Rizky. Aku ingin kita bersama, apapun yang terjadi.”
Mereka saling memandang, dengan tatapan penuh harapan. Tidak ada lagi keraguan, tidak ada lagi ketakutan yang menghalangi langkah mereka. Mereka tahu bahwa perjalanan mereka masih panjang, namun dengan komitmen dan cinta yang mereka miliki, mereka siap untuk menghadapinya bersama.
“Jika hujan ini bisa menjadi saksi dari perasaan kita, maka aku ingin selalu mengingatnya,” kata Nara, suaranya penuh makna. “Hujan yang pertama kali membawa kita bersama, dan hujan ini akan selalu mengingatkan kita akan langkah pertama kita bersama.”
Rizky tersenyum dan mengangguk. “Hujan ini akan selalu mengingatkan kita bahwa cinta, meskipun penuh rintangan, bisa tumbuh dan berkembang jika kita saling percaya.”
Dengan tangan yang saling menggenggam erat, Nara dan Rizky tahu bahwa mereka telah memulai babak baru dalam hidup mereka. Mereka bukan lagi dua individu yang berjalan sendiri-sendiri, tetapi dua hati yang siap saling berbagi, saling melengkapi, dan saling mendukung. Masa depan mungkin masih penuh ketidakpastian, namun satu hal yang pasti—mereka akan selalu ada untuk satu sama lain.
Mereka berdua menatap hujan yang masih turun di luar, dan untuk pertama kalinya, Nara merasa bahwa hujan itu tidak lagi menjadi hal yang menakutkan. Sebaliknya, hujan itu menjadi simbol dari perjalanan cinta mereka yang indah—sesuatu yang mereka akan kenang selamanya.***
————THE END———-