Kisah Cinta
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
Kisah Cinta
No Result
View All Result

SAAT HATI MELAWAN TAKDIR

FASA KEDJA by FASA KEDJA
April 7, 2025
in Cinta Terlarang
Reading Time: 17 mins read
SAAT HATI MELAWAN TAKDIR

 

Daftar Isi

  • Bab 1: Pertemuan yang Tak Terduga
  • Bab 2: Pesona yang Tak Bisa Dihindari
  • Bab 3: Rahasia yang Terkuak
  • Bab 4: Perasaan yang Sulit Dimatikan
  • Bab 5: Dosa atau Takdir
  • Bab 6: Desakan Keluarga dan Masyarakat
  • Bab 8: Pergi untuk Melupakan
  • Bab 9: Takdir Mempermainkan Kembali
  • Bab 10: Pilihan Terakhir

Bab 1: Pertemuan yang Tak Terduga

Langit sore di Jakarta tampak berwarna jingga keemasan saat Alya melangkah masuk ke dalam aula hotel mewah, tempat acara ulang tahun emas pernikahan kakek dan neneknya digelar. Ruangan itu dipenuhi dengan suara gelak tawa dan alunan musik klasik yang lembut. Para tamu, yang kebanyakan adalah keluarga besar dan kolega ayahnya, terlihat sibuk bercengkerama, sementara Alya hanya berdiri di sudut, mengamati semua yang terjadi dengan tatapan bosan.

Sebagai anak bungsu dari keluarga Hartadinata, Alya sudah terbiasa dengan acara keluarga yang penuh formalitas seperti ini. Namun, ada sesuatu yang membuatnya merasa gelisah malam ini. Seakan ada energi asing yang menggetarkan hatinya, sesuatu yang tak bisa ia jelaskan dengan kata-kata.

Ketika dia hendak mengambil segelas jus jeruk dari meja prasmanan, seseorang tanpa sengaja menabraknya dari belakang. Minuman di tangannya hampir tumpah jika pria itu tidak dengan sigap menangkap gelasnya.

“Maaf, aku tidak sengaja,” suara pria itu terdengar dalam dan hangat.

Alya mendongak, menatap pria di hadapannya. Dia cukup tinggi, dengan rambut hitam sedikit berantakan dan tatapan mata yang tajam namun penuh kelembutan. Ada sesuatu dalam sorot matanya yang membuat Alya terdiam sesaat, seolah ia mengenal pria ini dari suatu tempat, tapi ia tidak bisa mengingat di mana.

“Tidak apa-apa,” jawab Alya singkat, berusaha menguasai dirinya.

Pria itu tersenyum. “Aku Raka.”

Alya mengernyit. Nama itu asing di telinganya. Jika pria ini bagian dari keluarganya, seharusnya ia mengenalnya. Namun, mengingat keluarganya cukup besar, mungkin Raka adalah salah satu sepupu jauh yang belum pernah ia temui sebelumnya.

“Kamu bagian dari keluarga ini?” tanya Alya hati-hati.

Raka mengangguk. “Bisa dibilang begitu. Aku baru kembali ke Jakarta setelah bertahun-tahun tinggal di luar negeri.”

Alya mengangguk paham, tetapi entah mengapa rasa penasaran dalam dirinya terus bertambah. Ada sesuatu tentang Raka yang membuatnya merasa berbeda. Seakan ada koneksi tak terlihat yang menariknya lebih dekat.

Percakapan mereka terhenti ketika seorang wanita paruh baya mendekati mereka. “Raka, kamu sudah bertemu dengan Alya?” tanya wanita itu dengan ekspresi senang.

“Iya, Tante Rina,” jawab Raka sambil tersenyum.

Alya menoleh ke arah ibunya dengan kening berkerut. “Mama kenal dia?”

Ibunya tertawa kecil. “Tentu saja. Raka ini… putra dari Tante Siska.”

Alya terkejut. Nama itu bukan nama yang asing baginya. Tante Siska adalah istri pertama dari ayahnya. Artinya…

Alya merasakan jantungnya berdetak lebih cepat. Ia menoleh kembali ke Raka, yang juga tampak sedikit tegang.

“Kamu…” Alya hampir tidak bisa mengucapkannya. “Kamu saudara tiriku?”

Raka menatapnya dengan ekspresi sulit ditebak. “Ya, sepertinya begitu.”

Dunia Alya tiba-tiba terasa berputar. Sejak kecil, ia tahu bahwa ayahnya pernah menikah sebelumnya, tetapi ia tidak pernah menyangka bahwa pernikahan itu meninggalkan seorang anak. Dan sekarang, anak itu berdiri di hadapannya, seorang pria yang entah mengapa baru beberapa menit dikenalnya tetapi sudah membuat hatinya berdetak lebih cepat.

Alya menelan ludah, mencoba memahami apa yang sedang terjadi. Rasa hangat yang tadi muncul di hatinya tiba-tiba berubah menjadi kegelisahan yang tak tertahankan.

“Aku… perlu udara segar,” katanya lirih sebelum bergegas keluar dari aula, meninggalkan Raka yang masih menatapnya dengan ekspresi yang sulit diartikan.*

 

Bab 2: Pesona yang Tak Bisa Dihindari

Malam itu berlalu, tetapi pikiran Alya tetap dipenuhi oleh sosok Raka. Meskipun ia telah mencoba menghindari pria itu sepanjang acara, ada sesuatu dalam tatapan dan senyumannya yang terus menghantuinya. Ia tidak bisa memahami mengapa perasaannya begitu kuat terhadap seseorang yang baru saja ia temui—atau lebih tepatnya, seseorang yang ternyata adalah saudara tirinya.

Hari-hari berikutnya, Alya berusaha mengalihkan pikirannya dengan bekerja dan berkumpul bersama teman-temannya. Namun, takdir seolah tidak ingin memberinya kesempatan untuk melupakan Raka begitu saja.

Suatu sore, saat Alya mengunjungi kafe favoritnya untuk menikmati secangkir kopi dan membaca buku, ia dikejutkan oleh suara familiar yang menyapa dari belakang.

“Alya?”

Alya mendongak, dan jantungnya berdegup lebih kencang saat mendapati Raka berdiri di sana dengan senyum yang membuatnya semakin gelisah.

“Kita bertemu lagi,” kata Raka sambil menarik kursi di hadapannya tanpa menunggu izin.

Alya menghela napas pelan. “Kamu ngikutin aku?”

Raka tertawa kecil. “Tidak juga. Aku sering datang ke kafe ini sejak kembali ke Jakarta. Kebetulan saja kita bertemu.”

Alya menatapnya ragu. “Kebetulan?”

Raka tersenyum, kali ini dengan ekspresi yang lebih dalam. “Atau mungkin ini takdir?”

Alya terdiam. Kata-kata itu membuatnya merasakan sesuatu yang aneh—seperti tarikan kuat yang sulit dihindari. Ia tahu perasaannya salah, tetapi semakin ia mencoba menolaknya, semakin hatinya tertarik ke arah yang seharusnya tidak boleh ia dekati.

Obrolan mereka terus berlanjut. Raka bercerita tentang kehidupannya di luar negeri, tentang bagaimana ia tumbuh dengan perasaan asing karena selalu merasa ada bagian dari dirinya yang hilang. Alya pun tak bisa mengelak, ia menikmati mendengar kisah Raka, semakin larut dalam pesona yang seharusnya ia hindari.

Hari-hari berikutnya, tanpa mereka sadari, mereka semakin sering bertemu. Alya merasa nyaman dengan Raka, dan setiap perbincangan membawa mereka lebih dekat. Namun, di dalam hatinya, ia terus berusaha melawan perasaan yang berkembang.

Di suatu malam, Raka mengajaknya berjalan-jalan di taman kota. Mereka duduk di bangku taman, menikmati angin malam yang sejuk. Saat itulah Raka menatap Alya dengan intens.

“Alya, aku tahu ini salah, tapi aku tidak bisa menahan diri,” ujar Raka lirih.

Alya menahan napas. Ia tahu apa yang akan dikatakan Raka, dan itu menakutkan sekaligus membuatnya berdebar. Hatinya ingin menolak, tetapi di dalam dirinya, ia tahu perasaan itu sudah terlalu dalam untuk diingkari.

Bab 3: Rahasia yang Terkuak

Alya berjalan mondar-mandir di dalam kamarnya, pikirannya penuh dengan kebingungan yang terus menghantuinya. Sejak malam itu, ketika Raka mengungkapkan perasaannya secara tersirat, hatinya semakin tidak tenang. Ia tahu betul bahwa hubungan mereka tidak seharusnya berkembang ke arah yang lebih dalam, tetapi semakin ia mencoba menjauh, semakin ia merasakan kehadiran Raka dalam hidupnya.

Pagi itu, Alya memutuskan untuk menghabiskan waktu di rumah. Namun, pikirannya tak kunjung lepas dari sosok Raka. Perasaan itu semakin rumit ketika ibunya tiba-tiba mengetuk pintu kamarnya.

“Alya, Mama bisa masuk?” suara lembut ibunya terdengar dari balik pintu.

Alya menghela napas pelan sebelum menjawab, “Masuk saja, Ma.”

Ibunya melangkah masuk dengan ekspresi lembut namun serius. Ia duduk di tepi tempat tidur Alya dan menatap putrinya dengan penuh perhatian.

“Kamu baik-baik saja? Mama perhatikan sejak acara keluarga kemarin, kamu terlihat gelisah.”

Alya menunduk, tangannya menggenggam selimut dengan erat. “Aku hanya… ada banyak hal di pikiranku, Ma.”

Ibunya tersenyum tipis. “Ini tentang Raka, bukan?”

Alya terkejut dan langsung menatap ibunya. “Ma… kok Mama bisa tahu?”

Ibunya menghela napas panjang sebelum berbicara. “Mama tahu semuanya, Nak. Mama tahu kamu kaget saat mengetahui siapa Raka sebenarnya. Dan Mama juga bisa melihat ada sesuatu yang berbeda di antara kalian.”

Alya merasa hatinya mencelos. Apakah ibunya menyadari perasaan yang ia sendiri coba sembunyikan? Ia tidak ingin menyakiti keluarganya, tetapi perasaannya terhadap Raka semakin sulit untuk diabaikan.

“Mama…” Alya ragu sejenak. “Aku tidak tahu harus bagaimana. Aku tahu dia saudara tiriku, tapi rasanya… aku tidak bisa menghindari perasaan ini.”

Ibunya menatapnya dengan tatapan penuh kasih sayang sebelum akhirnya berkata, “Ada sesuatu yang harus Mama ceritakan padamu.”

Jantung Alya berdegup lebih kencang. Ia melihat ibunya menarik napas dalam sebelum melanjutkan.

“Kamu pasti tahu bahwa ayahmu pernah menikah sebelum bertemu Mama,” kata ibunya pelan. “Tapi ada satu hal yang mungkin kamu belum tahu. Pernikahan itu… berakhir sebelum Raka lahir.”

Alya mengerutkan kening. “Maksud Mama?”

Ibunya menggenggam tangan Alya erat, seolah ingin menenangkan putrinya sebelum mengatakan sesuatu yang besar.

“Ayahmu dan Tante Siska berpisah sebelum Raka lahir. Artinya… secara hukum dan darah, kamu dan Raka sebenarnya bukan saudara tiri.”

Alya terdiam, tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Seakan dunia yang selama ini ia kenal tiba-tiba runtuh dan membentuk realitas baru yang sama sekali berbeda.

“Tapi… kenapa selama ini tidak ada yang pernah bilang?” suaranya terdengar serak.

“Karena ayahmu ingin menjaga hubungan baik dengan Tante Siska. Setelah perceraian mereka, ayahmu masih tetap membantu dan menganggap Raka sebagai bagian dari keluarga. Itu sebabnya kami tidak pernah membahasnya secara terbuka.”

Alya merasa dadanya sesak. Semua yang ia yakini tentang hubungannya dengan Raka kini berubah. Jika mereka bukan saudara, mengapa hatinya masih merasa bimbang? Mengapa ia tetap merasa bahwa perasaan ini salah?

“Mama tahu ini sulit bagimu,” lanjut ibunya. “Tapi yang perlu kamu pahami adalah, tidak ada yang bisa mengontrol perasaan seseorang. Mama hanya ingin kamu berhati-hati. Apa pun yang kamu pilih nanti, pikirkan baik-baik.”

Alya mengangguk pelan, masih mencoba mencerna semua yang baru saja ia dengar. Di satu sisi, ia merasa lega karena hubungan mereka tidak seharusnya menjadi tabu. Namun di sisi lain, ada beban besar yang masih menekan hatinya.

Setelah percakapan itu, Alya merasa ia harus berbicara dengan Raka. Ia butuh jawaban, butuh kejelasan. Tanpa berpikir panjang, ia mengambil ponselnya dan mengirim pesan kepada Raka.

_Aku butuh bicara denganmu. Bisa ketemu?_

Tak butuh waktu lama, Raka membalas.

_Aku juga ingin bicara denganmu. Ketemu di taman kota sore ini?_

Alya menarik napas panjang. Ini adalah saatnya. Ia harus menghadapi semuanya, tidak peduli bagaimana akhirnya nanti.

Ketika sore tiba, Alya duduk di bangku taman dengan perasaan berdebar. Tak lama, Raka datang dan duduk di sebelahnya. Tatapannya penuh dengan sesuatu yang sulit diartikan—campuran kegelisahan, harapan, dan sesuatu yang lain yang membuat Alya semakin cemas.

“Ada yang ingin aku katakan,” kata Alya, memulai lebih dulu.

“Aku juga,” sahut Raka cepat. “Tapi kamu duluan.”

Alya menelan ludah. “Mama bilang… kita sebenarnya bukan saudara tiri.”

Raka terdiam. Matanya menatap Alya dalam, seolah mencoba memastikan bahwa ia tidak salah dengar.

“Aku juga baru tahu,” lanjut Alya. “Dan aku… aku tidak tahu harus bagaimana dengan semua ini.”

Raka menghela napas panjang, lalu tersenyum tipis. “Aku juga merasa begitu. Sejak awal, aku merasa ada sesuatu yang berbeda di antara kita. Aku mencoba menahan diri, tapi semakin aku mencoba, semakin aku menyadari… perasaan ini nyata, Alya.”

Alya merasakan jantungnya berdetak lebih cepat. Ia ingin menyangkalnya, tetapi ia tahu, jauh di dalam hatinya, ia merasakan hal yang sama.

“Tapi, Raka… kalau kita memilih jalan ini, akan ada banyak konsekuensi,” ujar Alya dengan suara gemetar.

Raka mengangguk. “Aku tahu. Tapi aku ingin tahu satu hal.”

Alya menatapnya dengan perasaan campur aduk.

“Apakah kamu juga merasakan hal yang sama?” tanya Raka serius.

Alya terdiam. Ia ingin berbohong, mengatakan bahwa ia tidak merasakan apa-apa, tetapi ia tahu itu tidak akan adil—baik bagi dirinya sendiri maupun bagi Raka.

Akhirnya, dengan suara lirih, Alya menjawab, “Iya.”

Raka tersenyum kecil, tetapi ada kepedihan di balik matanya. “Kalau begitu, kita harus memutuskan. Apakah kita akan melawan perasaan ini, atau… membiarkan hati kita menentukan jalannya sendiri?”

Alya menatap ke kejauhan, menyadari bahwa keputusannya hari ini akan mengubah hidupnya selamanya.*

 

Bab 4: Perasaan yang Sulit Dimatikan

Malam itu, Alya tidak bisa tidur. Tatapan Raka, suara lembutnya, serta pertanyaan yang ia ajukan di taman kota terus terngiang di pikirannya.

_“Apakah kita akan melawan perasaan ini, atau membiarkan hati kita menentukan jalannya sendiri?”_

Alya berbalik di tempat tidurnya, menatap langit-langit kamar dengan napas berat. Logikanya berkata bahwa perasaan ini harus ia buang jauh-jauh. Tidak peduli apakah mereka saudara secara hukum atau tidak, kenyataannya tetap sama: hubungan mereka tidak akan diterima dengan mudah oleh keluarga. Namun, setiap kali ia mencoba mengubur perasaan itu, ia justru semakin terjebak di dalamnya.

Keesokan harinya, Alya memutuskan untuk pergi ke kantor lebih awal. Ia berharap kesibukan bisa mengalihkan pikirannya dari Raka. Namun, ternyata harapan itu sia-sia. Bahkan saat ia duduk di ruangannya, mengetik laporan, pikirannya masih melayang pada pria itu.

Suara ketukan di pintu membuatnya tersadar.

“Masuk,” ucapnya, sedikit tergesa.

Pintu terbuka, dan jantungnya langsung berdebar saat melihat siapa yang berdiri di sana. Raka.

“Kita harus bicara,” katanya pelan, tapi dengan nada tegas.

Alya menelan ludah. “Raka… ini kantor, kita nggak bisa—”

“Alya,” potong Raka, matanya tajam menatapnya. “Kita nggak bisa terus menghindari ini.”

Alya terdiam. Ia melirik ke luar, memastikan tidak ada yang memperhatikan mereka sebelum akhirnya bangkit dari kursinya.

“Baiklah,” katanya akhirnya. “Tapi bukan di sini.”

Mereka akhirnya bertemu di sebuah kafe kecil di pusat kota, tempat yang cukup sepi untuk bicara tanpa gangguan. Alya menatap Raka dengan perasaan campur aduk. Bagaimana pria ini bisa begitu tenang, sementara ia merasa hatinya seperti dihantam badai?

“Apa yang mau kamu bicarakan?” tanya Alya, mencoba terdengar setenang mungkin.

Raka menghela napas sebelum menjawab, “Aku ingin tahu kejelasan perasaanmu.”

Alya mengepalkan tangannya di bawah meja. “Raka, aku sudah bilang… perasaan ini salah.”

“Kalau memang salah, kenapa kamu masih di sini sekarang?” balas Raka cepat.

Alya terdiam. Ia ingin menyangkalnya, tetapi tidak bisa. Ia bisa saja memilih untuk tidak datang, untuk tidak menanggapi pesan Raka, tetapi nyatanya ia tetap ada di sini. Ia tetap ingin mendengar suara Raka, melihat matanya, merasakan kehadirannya.

“Ini sulit,” Alya akhirnya berkata, suaranya hampir berbisik. “Aku takut, Raka. Takut menyakiti keluarga kita. Takut akan apa yang orang lain pikirkan.”

Raka menatapnya dalam-dalam. “Alya, aku juga takut. Tapi lebih dari itu, aku takut kehilanganmu.”

Kata-kata itu menusuk hati Alya seperti belati. Ia merasakan matanya mulai panas, tetapi ia menahan air matanya agar tidak jatuh. Ia tidak bisa menangis di sini. Tidak sekarang.

Raka meraih tangannya di atas meja, menggenggamnya dengan erat. “Aku nggak minta kita langsung mengambil keputusan sekarang. Aku cuma ingin kamu jujur pada dirimu sendiri.”

Alya menatap jemari mereka yang saling bertaut, lalu menatap wajah Raka yang penuh harap. Ia tahu bahwa perasaannya tidak akan mudah mati hanya dengan menyangkalnya. Tetapi, apakah ia benar-benar berani mengambil risiko ini?

“Aku butuh waktu,” katanya akhirnya.

Raka tersenyum tipis. “Aku akan menunggu.”

—

Hari-hari berlalu, tetapi tidak ada yang berubah. Alya tetap berusaha melawan perasaannya, sementara Raka tetap hadir di sekitarnya, memberi ruang namun tidak pernah benar-benar menjauh. Setiap kali Alya berpikir ia sudah bisa melupakan perasaan itu, sesuatu selalu menariknya kembali.

Sampai akhirnya, di suatu malam, Alya menerima undangan makan malam keluarga. Seperti biasa, acara itu penuh dengan percakapan hangat dan tawa, tetapi Alya tidak bisa sepenuhnya menikmati suasana. Raka ada di sana, duduk di seberangnya, dan setiap kali mata mereka bertemu, Alya merasa dunianya kembali bergetar.

Di tengah acara, ibunya tiba-tiba berbisik padanya. “Alya, setelah makan malam, Mama mau bicara sebentar.”

Alya mengangguk, meskipun hatinya bertanya-tanya ada apa.

Setelah semua orang selesai makan dan mulai berbincang satu sama lain, ibunya mengajaknya ke ruang tamu. Wajah ibunya tampak serius, membuat Alya semakin gelisah.

“Mama bisa lihat ada yang berbeda antara kamu dan Raka,” ujar ibunya tanpa basa-basi.

Alya membeku. “Maksud Mama?”

Ibunya menatapnya dengan tajam, tetapi tetap penuh kasih. “Kamu menyukainya, kan?”

Alya merasa napasnya tercekat. Ia ingin menyangkalnya, tetapi ia tahu ibunya cukup mengenalnya untuk mengetahui kebenaran.

“Mama…” Alya menunduk, suaranya bergetar. “Aku nggak tahu harus bagaimana.”

Ibunya terdiam sejenak sebelum berkata, “Alya, perasaan memang tidak bisa dikendalikan begitu saja. Tapi kamu harus siap menghadapi konsekuensinya.”

Alya mengangkat wajahnya, menatap ibunya dengan mata berkaca-kaca. “Jadi… Mama melarang?”

Ibunya tersenyum tipis, lalu menggeleng. “Mama nggak bisa menentukan jalan hidupmu. Tapi Mama ingin kamu tahu bahwa jalan yang kamu pilih mungkin tidak akan mudah.”

Alya menghela napas panjang. Ia tahu betul maksud ibunya. Hubungan ini, jika ia memilih untuk membiarkannya tumbuh, akan penuh dengan rintangan. Tapi jika ia memilih untuk mengakhirinya, apakah ia benar-benar bisa hidup dengan hati yang kosong?

Ketika Alya kembali ke ruang makan, matanya langsung tertuju pada Raka yang sedang berbicara dengan sepupunya. Namun, seakan bisa merasakan tatapannya, Raka menoleh dan menatapnya dengan intens.

Saat itu, Alya tahu.

Perasaan ini tidak akan bisa ia matikan begitu saja.*

 

Bab 5: Dosa atau Takdir

Alya duduk di balkon kamarnya, menatap langit malam yang dipenuhi bintang. Angin sepoi-sepoi mengusap wajahnya, tetapi hatinya tetap terasa berat. Sejak percakapan dengan ibunya beberapa hari lalu, pikirannya tidak pernah berhenti bertanya—apakah perasaannya terhadap Raka adalah sebuah dosa atau justru takdir yang tak bisa ia hindari?

Ponselnya bergetar di atas meja. Sebuah pesan masuk dari Raka.

_“Bisa ketemu sebentar? Aku tunggu di taman dekat rumah.”_

Alya menggigit bibirnya. Ia tahu seharusnya ia menghindari pertemuan ini, tapi dorongan dalam hatinya terlalu kuat. Dengan langkah ragu, ia mengambil jaketnya dan keluar dari rumah tanpa suara.

Ketika sampai di taman, Raka sudah duduk di salah satu bangku, menatap kosong ke kejauhan. Saat ia melihat Alya datang, senyum kecil terukir di wajahnya, tetapi matanya menyiratkan kegelisahan.

“Kamu datang,” ucapnya pelan.

Alya mengangguk, lalu duduk di sampingnya. “Ada apa?”

Raka menghela napas panjang sebelum menjawab, “Aku nggak bisa terus seperti ini, Alya. Aku nggak bisa pura-pura biasa aja saat kita berusaha saling menjauh.”

Alya merasakan dadanya sesak. Ia tahu ia pun merasakan hal yang sama. Setiap upaya untuk menjauh hanya membuat hatinya semakin hancur.

“Aku juga nggak tahu harus bagaimana, Raka,” kata Alya dengan suara lirih. “Aku takut… kalau kita lanjut, kita akan menyakiti banyak orang.”

Raka menatapnya dalam. “Tapi kalau kita mengabaikan perasaan ini, kita justru menyakiti diri sendiri.”

Alya menutup matanya sejenak, mencoba menenangkan hatinya yang bergejolak. Semua ini terasa seperti dilema yang tidak memiliki jawaban yang benar.

“Alya,” suara Raka terdengar begitu serius. “Kalau aku bilang aku siap menghadapi semuanya… kamu mau ikut bersamaku?”

Alya terkejut. Ia menatap Raka, mencoba mencari kepastian di matanya. “Maksudmu?”

“Aku mau bicara dengan keluarga. Aku mau jujur tentang perasaan kita.”

Alya tercekat. “Kamu gila, Raka. Itu akan menghancurkan semuanya.”

“Atau justru ini akan menyelamatkan kita dari ketidakpastian,” balas Raka cepat. “Aku lebih baik disakiti karena kebenaran daripada hidup dalam kebohongan.”

Alya merasakan air matanya menggenang. “Tapi bagaimana kalau mereka tidak menerima kita?”

Raka tersenyum pahit. “Kalau ini memang dosa, maka biarkan waktu yang menjawabnya. Tapi kalau ini takdir… maka kita akan menemukan jalan.”

Alya tak mampu berkata-kata. Ia tahu ini bukan keputusan yang bisa diambil dengan mudah. Namun, untuk pertama kalinya, ia merasa ada harapan—sekalipun penuh dengan ketidakpastian.*

Bab 6: Desakan Keluarga dan Masyarakat

Hari-hari setelah pertemuan di taman itu terasa semakin berat bagi Alya. Ia tahu keputusan harus diambil, tetapi ia juga sadar bahwa bukan hanya hatinya yang dipertaruhkan. Keluarganya, masyarakat sekitar, dan norma yang mengikat mereka semua menjadi tembok besar yang sulit ditembus.

Puncaknya terjadi saat ibunya mengundangnya untuk berbicara lebih serius.

“Alya, Mama sudah melihat banyak hal yang terjadi belakangan ini,” kata ibunya dengan suara lembut namun tegas. “Apa yang sebenarnya terjadi antara kamu dan Raka?”

Alya menggigit bibirnya, berusaha mencari jawaban yang tidak akan menyakiti siapa pun. Namun, sebelum ia sempat berkata apa pun, ibunya sudah melanjutkan.

“Kamu tahu ini tidak akan mudah, kan?”

Alya menunduk. “Aku tahu, Ma…”

Ibunya menghela napas panjang. “Kamu dan Raka memang bukan saudara sedarah, tapi sejak kecil kalian sudah dianggap sebagai keluarga. Orang-orang tidak akan menerimanya dengan mudah.”

Alya meremas jemarinya di pangkuan. Ia tahu ibunya benar. Gosip sudah mulai berembus di sekitar mereka. Tatapan penuh tanya dari para tetangga, bisikan yang tertangkap samar-samar ketika ia lewat—semuanya semakin membuatnya terhimpit.

“Keluarga besar juga mulai bertanya-tanya, Alya,” lanjut ibunya. “Mereka ingin tahu apakah ada yang perlu diluruskan.”

Alya merasa seperti ada beban yang menghimpit dadanya. Ini bukan hanya tentang dirinya dan Raka. Ini tentang nama baik keluarga.

“Jadi Mama melarang?” tanya Alya pelan, suaranya hampir bergetar.

Ibunya menatapnya dalam-dalam. “Mama tidak bisa melarang perasaan seseorang, Alya. Tapi Mama ingin kamu berpikir dengan kepala dingin. Jangan sampai kamu mengambil keputusan yang akan membuatmu menyesal di kemudian hari.”

Alya menunduk, hatinya semakin berkecamuk.

—

Sementara itu, Raka menghadapi tekanan yang tidak kalah besar. Pamannya, yang juga ayah angkatnya, mengajaknya bicara setelah mendengar kabar yang mulai menyebar di lingkungan mereka.

“Raka, ada yang perlu kita bicarakan,” ujar pamannya dengan nada serius.

Raka mengangguk. “Saya tahu ini tentang Alya.”

Pamannya menarik napas dalam. “Kamu anak yang baik, Raka. Kami sudah menganggapmu bagian dari keluarga. Tapi hubungan seperti ini… kamu tahu bagaimana masyarakat akan bereaksi.”

“Saya tahu, Om,” jawab Raka mantap. “Tapi saya juga tidak bisa berpura-pura kalau perasaan ini tidak ada.”

Pamannya menggeleng pelan. “Kamu sudah berpikir jauh ke depan? Tentang bagaimana reaksi keluarga besar? Tentang bagaimana orang-orang akan memandang kalian?”

Raka menatap mata ayah angkatnya. “Saya siap menghadapi semuanya, Om. Yang saya butuhkan hanya satu: restu dari keluarga.”

Pamannya terdiam sejenak sebelum akhirnya berkata, “Restu itu tidak akan mudah kamu dapatkan, Raka. Dan mungkin, kamu harus memilih—cinta atau keluarga.”

Raka merasakan hatinya mencelos. Ia tahu sejak awal bahwa perjalanan ini tidak akan mudah. Namun, mendengar langsung bahwa ia mungkin harus memilih salah satunya tetap saja membuat dadanya sesak.

—

Hari-hari berikutnya menjadi lebih sulit bagi Alya dan Raka. Keluarga terus mendesak, masyarakat semakin gencar berbisik, dan mereka berdua harus menghadapi pertanyaan yang tidak mudah dijawab.

Malam itu, Alya kembali duduk di balkon kamarnya, seperti yang sering ia lakukan akhir-akhir ini. Namun kali ini, ada air mata yang jatuh membasahi pipinya.

Ketika ponselnya bergetar, ia melihat nama Raka di layar.

“Alya…” suara Raka terdengar serak. “Aku nggak mau menyerah.”

Alya terisak. “Aku juga nggak, Raka. Tapi bagaimana kalau dunia memang tidak menginginkan kita bersama?”

Sejenak hening, sebelum akhirnya Raka menjawab dengan suara mantap, “Kalau begitu, biarkan kita yang melawan dunia.”*

 

**Bab 7: Perlawanan Hati**

Alya berjalan sendirian di sepanjang trotoar kota, membiarkan angin malam membelai wajahnya yang dipenuhi kebingungan. Hatinya bertarung antara menyerah pada tekanan atau tetap mempertahankan perasaannya terhadap Raka. Sejak percakapan dengan ibunya dan bisikan masyarakat yang semakin menjadi, kepalanya terasa penuh.

Di satu sisi, ia mencintai Raka lebih dari yang bisa ia akui. Tapi di sisi lain, ia tidak bisa menutup mata terhadap kenyataan bahwa hubungan ini mungkin akan lebih banyak membawa luka daripada bahagia. Apakah cinta sebanding dengan harga yang harus mereka bayar?

Saat ia berjalan tanpa tujuan, sebuah pesan masuk ke ponselnya. Dari Raka.

_“Alya, aku ingin bicara. Bisa kita ketemu?”_

Alya menatap layar ponselnya, ragu untuk membalas. Namun, sebelum ia sempat berpikir lebih jauh, jari-jarinya sudah mengetik, _“Di mana?”_

—

Mereka bertemu di tempat yang sama seperti sebelumnya—taman kecil dekat rumah mereka. Suasananya hening, hanya terdengar suara jangkrik dan gemerisik angin di pepohonan. Raka sudah menunggu di bangku taman, wajahnya terlihat letih, tetapi sorot matanya tetap tegas saat melihat Alya datang.

“Kamu baik-baik aja?” tanya Raka pelan.

Alya mengangguk lemah. “Aku nggak tahu, Raka. Aku nggak tahu apa yang harus aku lakukan.”

Raka menarik napas dalam sebelum berkata, “Aku juga. Tapi satu hal yang aku yakin, aku nggak bisa membiarkan perasaan ini mati hanya karena tekanan dari orang lain.”

Alya menatapnya, matanya berkaca-kaca. “Tapi kita harus realistis. Keluarga, masyarakat… semua menentang kita.”

“Jadi kamu mau menyerah?” tanya Raka dengan nada yang lebih tajam dari yang ia maksudkan.

Alya terdiam. Ia tidak mau menyerah, tapi ia juga tidak ingin melawan arus yang terlalu besar. “Aku cuma takut, Raka. Takut kalau kita akhirnya lebih banyak terluka daripada bahagia.”

Raka mendekat, menatapnya dengan intens. “Aku juga takut, Alya. Tapi aku lebih takut hidup tanpa kamu.”

Alya merasakan air matanya jatuh. Raka menyeka pipinya dengan lembut, jemarinya hangat di kulitnya. “Aku tahu ini nggak mudah, tapi aku ingin kita berjuang. Aku ingin kita melawan hati kita sendiri yang terus menanamkan rasa takut.”

Alya menggigit bibirnya, hatinya terasa semakin kacau. Ia ingin percaya pada Raka, ingin percaya bahwa mereka bisa menghadapi ini bersama. Tapi bagaimana jika kenyataan berkata lain? Bagaimana jika dunia memang tidak mengizinkan mereka bersatu?

Seolah membaca pikirannya, Raka menggenggam tangannya erat. “Alya, kalau kamu mau, kita bisa pergi dari sini. Meninggalkan semua tekanan ini dan memulai sesuatu yang baru.”

Alya menatap Raka dengan mata terbelalak. “Pergi?”

Raka mengangguk. “Aku nggak bilang kita harus lari dari masalah. Tapi mungkin, kalau kita jauh dari mereka, kita bisa berpikir lebih jernih. Tanpa desakan, tanpa tekanan.”

Alya terdiam lama. Ia tidak pernah membayangkan harus meninggalkan keluarganya, kotanya, semua yang ia kenal. Tapi jika itu satu-satunya cara untuk mempertahankan cinta ini… apakah ia berani?

Hatinya berperang hebat, bertarung antara cinta dan ketakutan. Perlawanan ini bukan hanya tentang dunia luar, tetapi juga tentang dirinya sendiri.

“Berikan aku waktu, Raka,” bisiknya akhirnya.

Raka tersenyum tipis. “Aku akan menunggu, Alya. Berapa lama pun itu.”*

 

Bab 8: Pergi untuk Melupakan

Alya menatap koper di hadapannya dengan perasaan campur aduk. Keputusan ini bukan hal yang mudah, tetapi ia tahu ia harus melakukannya. Ia harus pergi, menjauh dari semua yang membuat hatinya bergejolak. Menjauh dari Raka, dari keluarganya, dari segala desakan yang membuatnya terjebak dalam kebimbangan.

Ibunya masuk ke dalam kamar, menatapnya dengan lembut. “Kamu yakin dengan keputusan ini, Alya?”

Alya mengangguk pelan. “Aku butuh waktu, Ma. Aku nggak bisa terus-menerus dihantui perasaan ini.”

Ibunya mendekat dan mengusap rambutnya dengan penuh kasih sayang. “Mama mengerti. Kadang, menjauh memang jadi satu-satunya cara untuk menemukan jawaban.”

Alya tersenyum kecil, meskipun hatinya terasa berat. Pergi bukan berarti ia tidak mencintai Raka, tapi ia tahu ia harus memberi ruang bagi dirinya sendiri untuk berpikir jernih.

—

Bandara pagi itu terasa dingin meskipun cuaca cukup cerah. Alya duduk di ruang tunggu, menatap layar ponselnya. Belum ada pesan dari Raka sejak ia memutuskan untuk pergi. Mungkin Raka marah, mungkin kecewa, atau mungkin… ini memang yang terbaik.

Tiba-tiba, ponselnya bergetar. Sebuah pesan dari Raka.

_“Jadi ini jalan yang kamu pilih?”_

Alya menatap pesan itu lama sebelum akhirnya membalas, _“Aku butuh waktu, Raka.”_

Tidak ada balasan. Hanya ada keheningan yang semakin menusuk perasaannya. Sesaat kemudian, pengumuman penerbangan terdengar, menyuruhnya untuk segera naik ke pesawat.

Dengan langkah berat, Alya bangkit dan berjalan menuju gerbang keberangkatan. Ia menoleh sekali lagi ke belakang, berharap melihat sosok Raka di antara kerumunan. Namun, ia tidak ada di sana.

Alya menarik napas dalam dan melangkah maju. Mungkin, ini memang yang terbaik. Mungkin, dengan pergi, ia bisa melupakan perasaan yang begitu menyakitkan ini.*

Atau… mungkinkah justru sebaliknya?

Bab 9: Takdir Mempermainkan Kembali

Dua tahun telah berlalu sejak Alya meninggalkan kota kelahirannya. Ia kini tinggal di Jakarta, menjalani hidup yang baru, mencoba mengubur semua kenangan tentang Raka. Namun, sekeras apa pun ia berusaha, bayangan lelaki itu tetap muncul dalam benaknya.

Pagi itu, Alya duduk di sebuah kafe kecil dekat kantornya, menikmati secangkir kopi sambil menatap lalu lintas yang sibuk. Ia sudah merasa lebih baik, atau setidaknya, ia mencoba meyakinkan dirinya begitu. Hidupnya berjalan normal, pekerjaannya stabil, dan hatinya perlahan mulai menerima kenyataan bahwa mungkin Raka hanyalah bagian dari masa lalu yang tidak akan kembali.

Namun, takdir selalu punya cara untuk mempermainkan hati manusia.

Saat ia hendak beranjak pergi, langkahnya tiba-tiba terhenti. Di seberang jalan, berdiri seorang pria yang sangat dikenalnya. Raka.

Alya membeku. Napasnya tercekat saat melihat sosok yang dulu ia cintai lebih dari siapa pun. Raka tampak sedikit berbeda—lebih dewasa, lebih tenang, tetapi sorot matanya tetap sama. Mata yang dulu selalu membuat Alya merasa aman, dan kini, mata yang sama membuat hatinya kembali bergetar.

Raka juga melihatnya. Untuk beberapa detik, dunia seakan berhenti berputar. Keduanya saling menatap, seolah tidak percaya bahwa mereka bertemu kembali setelah sekian lama.

Alya ingin pergi. Ia ingin menghindari perasaan yang mulai kembali menguasainya. Tapi kakinya terasa berat, seakan enggan membawanya menjauh dari sosok yang selama ini ia coba lupakan.

Raka yang pertama kali bergerak. Ia menyeberang jalan dengan cepat, langkahnya penuh keyakinan. Alya panik, tetapi ia tak punya pilihan selain berdiri di tempatnya.

“Hai…” suara Raka terdengar begitu akrab, seolah waktu tidak pernah memisahkan mereka.

Alya mencoba tersenyum, meskipun hatinya berantakan. “Hai…”

Sejenak mereka hanya berdiri di sana, tanpa tahu harus berkata apa. Terlalu banyak hal yang belum terselesaikan, terlalu banyak luka yang belum sembuh sepenuhnya.

“Kamu tinggal di sini sekarang?” tanya Raka akhirnya.

Alya mengangguk pelan. “Sudah hampir dua tahun.”

Raka tersenyum tipis. “Aku juga. Baru beberapa bulan.”

Alya menelan ludah. Takdir benar-benar mempermainkannya. Ia pergi untuk melupakan, tetapi justru dipertemukan kembali dalam keadaan yang tak terduga.

“Kamu… baik-baik saja?” tanya Alya, meskipun ia takut mendengar jawabannya.

Raka menghela napas panjang. “Seharusnya aku bertanya itu padamu.”

Alya tersenyum samar, lalu mengalihkan pandangannya. “Aku baik.”

“Tapi kamu masih kelihatan seperti Alya yang dulu,” kata Raka lirih. “Yang selalu menyembunyikan sesuatu di balik senyumnya.”

Alya merasakan dadanya sesak. Ia tidak tahu harus berkata apa. Apakah ia harus mengakui bahwa selama ini ia tidak pernah benar-benar melupakan Raka? Ataukah ia harus tetap berpura-pura bahwa semuanya sudah berlalu?

“Kita harus bicara,” kata Raka akhirnya, suaranya penuh ketegasan.

Alya tahu ia bisa menolak, bisa pergi dan melanjutkan hidupnya seperti sebelumnya. Tapi jauh di dalam hatinya, ia juga tahu bahwa ada hal yang belum selesai di antara mereka.

Mungkin, takdir memang belum selesai mempermainkan mereka.

Dan mungkin, inilah saatnya bagi mereka untuk menghadapi kenyataan yang selama ini mereka hindari.*

 

Bab 10: Pilihan Terakhir

Alya duduk di bangku taman dengan tangan yang saling menggenggam erat di pangkuannya. Angin sore membelai wajahnya, membawa serta harumnya bunga yang bermekaran di sekitar taman kecil itu. Namun, pikirannya terlalu kalut untuk menikmati keindahan sekelilingnya.

Di hadapannya, Raka berdiri dengan ekspresi serius. Tatapan matanya penuh pertanyaan dan harapan, tetapi juga tersirat ketakutan. Takut akan jawaban yang mungkin diberikan Alya.

“Alya, aku nggak akan bertele-tele lagi,” kata Raka akhirnya. “Aku ingin kita berhenti bersembunyi. Aku ingin kita berjuang bersama, bukan terus-menerus melarikan diri.”

Alya menghela napas panjang, mencoba mengatur emosi yang sejak tadi berkecamuk di dadanya. “Raka… ini bukan hanya tentang kita berdua. Kita hidup di dunia yang nggak selalu berpihak pada cinta.”

“Aku tahu,” sahut Raka cepat. “Aku tahu kita nggak hidup dalam dongeng di mana semuanya akan berakhir bahagia tanpa hambatan. Tapi kalau kita nggak berani memperjuangkan apa yang kita rasakan, lalu untuk apa kita dipertemukan kembali?”

Alya menatap Raka dalam-dalam. Ada ketulusan di sana. Ada keberanian. Tapi apakah itu cukup?

“Aku sudah mencoba, Raka. Aku mencoba melupakan, mencoba menjalani hidup tanpa kamu. Tapi nyatanya, bahkan setelah dua tahun, aku masih di sini, berdiri di hadapanmu dengan hati yang sama,” Alya mengakui, suaranya bergetar. “Tapi aku juga tahu, mencintai kamu bukan hal yang mudah. Aku takut kalau kita memilih ini, kita akan lebih banyak terluka.”

Raka tersenyum kecil, lalu berlutut di hadapannya, menggenggam tangan Alya dengan erat. “Cinta itu memang nggak selalu mudah, Alya. Tapi bukan berarti kita harus menyerah hanya karena dunia menentang kita. Aku rela menanggung segalanya, asalkan aku tahu kamu juga bersedia berjuang bersamaku.”

Air mata Alya mengalir tanpa ia sadari. Ia benci betapa Raka selalu bisa menyentuh sisi terdalam hatinya, membuatnya ingin percaya meski ia tahu risikonya begitu besar.

“Tapi bagaimana dengan keluarga kita? Bagaimana dengan semua yang sudah menentang kita selama ini?”

Raka menarik napas dalam. “Kita akan hadapi bersama. Aku akan bicara dengan keluargaku, kamu juga bicara dengan keluargamu. Jika mereka tetap menolak… maka aku akan tetap memilih kamu.”

Alya tercengang. “Kamu yakin?”

“Lebih dari apa pun dalam hidupku,” Raka menjawab tanpa ragu.

Keheningan melingkupi mereka. Hanya suara angin yang berbisik di antara pepohonan. Alya menatap wajah pria yang selama ini mengisi hatinya, pria yang tidak pernah benar-benar bisa ia lupakan.

Alya tahu ini adalah saatnya memilih. Bertahan dengan ketakutannya atau melangkah maju bersama seseorang yang begitu ia cintai. Tidak ada jalan tengah lagi.

Dengan napas bergetar, Alya menggenggam tangan Raka lebih erat. “Aku nggak tahu apa yang akan terjadi nanti. Aku nggak tahu apakah kita akan benar-benar bisa melewati semua ini tanpa luka.”

Raka tersenyum lembut. “Aku juga nggak tahu, Alya. Tapi aku tahu satu hal.”

Alya menatapnya dengan penuh harap. “Apa?”

“Aku lebih memilih terluka bersamamu daripada harus hidup tanpamu.”

Saat itu, Alya tahu, pilihannya sudah jelas. Tidak ada lagi yang perlu ia ragukan.

Ia memilih Raka.

Apa pun yang terjadi setelah ini, mereka akan menghadapinya bersama.***

—–THE END—–

 

Source: YONGKI
Tags: cinta terlarangdelima cintaromansamengharukansaathatimelawantakdir
Previous Post

JAUH DIMATA ,DEKAT DIHATI

Next Post

PELUKAN DINGIN SANGPENGHIANAT

Related Posts

Cinta Berbahaya dengan Suami Tanteku

Cinta Berbahaya dengan Suami Tanteku

May 2, 2025
Iparku, Kekasih dalam Bayangan:

Iparku, Kekasih dalam Bayangan:

May 1, 2025
Milik Ayah dan Anaknya”

Milik Ayah dan Anaknya”

April 30, 2025
Saat Suami Sahabatku Menginginkanku

Saat Suami Sahabatku Menginginkanku

April 29, 2025
Menjadi Milik Suami Sahabatku

Menjadi Milik Suami Sahabatku

April 28, 2025
Terjerat Nafsu Sang Guru

Terjerat Nafsu Sang Guru

April 27, 2025
Next Post
PELUKAN DINGIN SANGPENGHIANAT

PELUKAN DINGIN SANGPENGHIANAT

CINTAKU SEJAUH NAFASKU

CINTAKU SEJAUH NAFASKU

JAERAK YANG MENGHAPUS KITA

JAERAK YANG MENGHAPUS KITA

Top Stories

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

May 17, 2025
KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

May 16, 2025
KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

May 15, 2025

Tentang Kisah Cinta

Kami menyajikan kumpulan novel dan cerpen cinta yang menggambarkan berbagai sisi cinta, dari yang manis hingga yang pahit, dari yang bahagia hingga yang menyayat hati

Connect on Social

© 2024 Kisahcinta.id

No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta

© 2024 Kisahcinta.id