Kisah Cinta
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
Kisah Cinta
No Result
View All Result

SAAT CINTA TERBALAS LUKA

SAAT CINTA TERBALAS LUKA

SAME KADE by SAME KADE
January 28, 2025
in Dendam Cinta
Reading Time: 18 mins read
SAAT CINTA TERBALAS LUKA

Daftar Isi

  • Bab 1 Cinta yang Tertunda
  • Bab 2  Ketika Cinta Menjadi Dendam
  • Bab 3  Cinta dan Dendam Bersatu
  • Bab 4 Cinta dan Luka yang Saling Menyembuhkan
  • Bab 5 Cinta yang Terlahir Kembali

Bab 1 Cinta yang Tertunda

Rana duduk di balkon apartemennya, menikmati angin sejuk sore yang berhembus lembut. Langit senja yang perlahan memudar dari biru ke jingga memberi ketenangan, meskipun jejak-jejak hujan yang baru saja turun masih tampak di jalanan. Pandangannya jauh melayang ke cakrawala, tetapi pikirannya jauh melampaui itu. Seiring dengan langit yang berubah warna, hatinya pun terus bergolak, kembali mengenang masa lalu yang tak kunjung terlupakan.

Zain. Nama itu seakan terpatri kuat dalam pikirannya, meskipun sudah bertahun-tahun berlalu. Lelaki yang dulu menjadi pusat dari segala kebahagiaan dan impiannya. Zain, yang pernah berjanji akan selalu ada untuknya. Zain, yang dulu mengisi hari-harinya dengan tawa, kata-kata manis, dan harapan akan masa depan yang cerah. Namun, semuanya hancur seiring dengan keputusan Zain untuk menikahi wanita lain tanpa memberi penjelasan atau permintaan maaf.

Rana menghela napas panjang, mencoba mengusir bayangan Zain yang terus menghantui pikirannya. Waktu seakan tak mampu menyembuhkan luka di hatinya. Meskipun hari-hari terus berlalu dan dunia terus berputar, rasa sakit itu tetap ada. Setiap kali melihat pasangan yang tampak bahagia, atau mendengar cerita tentang cinta yang indah, ada sesuatu yang mengiris hatinya. Bukan hanya karena Zain telah memilih wanita lain, tetapi juga karena ia merasa ditinggalkan tanpa alasan yang jelas. Seperti sebuah janji yang tak pernah ditepati, sebuah hubungan yang tiba-tiba berakhir tanpa penjelasan.

Namun, meskipun perasaan itu bergejolak, ada bagian dari dirinya yang masih bertanya-tanya. Apa sebenarnya yang terjadi dengan Zain? Mengapa lelaki yang begitu ia cintai bisa dengan mudahnya meninggalkan hubungan yang telah mereka bangun selama bertahun-tahun? Ada begitu banyak pertanyaan yang belum terjawab, dan rasa penasaran itu tak kunjung hilang. Apakah ini memang akhir dari segalanya, ataukah masih ada sesuatu yang tertunda?

Memutuskan untuk tidak lagi terlarut dalam kenangan, Rana mulai merancang hidup baru. Ia fokus pada kariernya sebagai seorang desainer interior, sebuah dunia yang penuh warna dan kreativitas. Dunia yang memberinya pelarian dari kenyataan yang kadang terlalu sulit untuk dihadapi. Meski begitu, ada kalanya luka itu kembali muncul. Terutama ketika ia kembali ke tempat-tempat yang dulu sering ia kunjungi bersama Zain. Di kafe kecil tempat mereka pertama kali bertemu, di taman yang dulu menjadi tempat mereka berbicara tentang impian dan masa depan, atau bahkan di sepanjang jalan yang mereka lalui bersama saat pulang dari bioskop. Kenangan-kenangan itu kembali menghantui dirinya, seolah mengingatkan bahwa rasa sakit itu belum sepenuhnya hilang.

Suatu sore, ketika Rana tengah duduk di balkon apartemennya menikmati pemandangan, ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk. Dengan enggan, ia membuka layar dan melihat nama yang muncul di sana: Zain. Nama yang sudah begitu lama tidak ia dengar. Selama ini, Rana memilih untuk menghindari segala bentuk komunikasi dengan Zain. Ia mengganti nomor teleponnya, memblokir akun-akun media sosialnya, bahkan menghindari teman-teman yang mungkin akan menghubungkannya dengan pria itu. Namun kali ini, Zain mengirim pesan langsung ke nomor pribadinya. Sebuah pesan singkat yang cukup membuat jantungnya berdebar.

“Rana, maaf menghubungimu setelah sekian lama. Bisa kita bertemu? Ada hal yang ingin aku jelaskan.”

Rana merasakan kekosongan di dadanya. Rasanya seperti ada kerikil kecil yang mengganjal tenggorokannya. Apa yang sebenarnya ingin Zain jelaskan? Mengapa dia baru menghubunginya sekarang? Setelah sekian lama, kenapa Zain merasa perlu untuk berbicara dengan Rana?

Perasaan campur aduk melanda dirinya. Ada kebingungan, rasa sakit, dan juga rasa ingin tahu yang tak terbendung. Mengapa Zain baru menghubunginya setelah begitu lama? Apa yang ingin dia jelaskan? Kenapa sekarang, setelah begitu banyak waktu berlalu? Pertanyaan-pertanyaan itu muncul begitu cepat, hampir seperti kilat yang menyambar tanpa peringatan.

Setelah beberapa saat merenung, Rana akhirnya mengetikkan balasan.

“Mengapa sekarang, Zain? Apa yang ingin kamu jelaskan?”

Beberapa detik kemudian, pesan itu dibalas. Zain menjawab dengan cepat, seakan sudah menunggu balasan Rana sejak lama.

“Aku minta maaf, Rana. Aku tak pernah punya keberanian untuk menjelaskan semuanya dulu. Aku tahu aku telah membuatmu terluka, dan aku tak ingin itu menjadi kenangan terakhir kita. Aku ingin bertemu untuk berbicara.”

Rana menatap pesan itu, hatinya berdebar-debar. Ada sesuatu dalam kata-kata Zain yang membuatnya ragu. Mengapa kali ini terasa berbeda? Ataukah ini hanya cara Zain untuk menenangkan hati yang terluka? Mungkinkah ini hanya alasan yang ia buat untuk memulihkan sesuatu yang tak akan pernah bisa kembali seperti semula?

Namun, bagian dari dirinya yang masih menyimpan rasa cinta, meskipun itu sudah hampir terlupakan, mengalahkan rasionalitasnya. Perlahan, Rana mengetikkan jawabannya, meskipun hatinya terasa berat. Ia tahu ini akan membawa kembali semua kenangan yang telah lama ia coba sembunyikan.

“Baik, kita bisa bertemu. Tapi aku tidak tahu apa yang akan terjadi setelahnya.”

Pagi berikutnya, dengan perasaan campur aduk, Rana berjalan menuju kafe yang menjadi tempat pertama kali ia bertemu Zain. Kafe itu tidak banyak berubah, hanya sedikit lebih ramai dengan pengunjung yang lebih muda. Namun, bagi Rana, kafe ini menyimpan banyak kenangan. Kenangan indah tentang Zain yang pertama kali memanggil namanya dengan senyum hangat, kenangan tentang obrolan mereka yang tak pernah berujung, dan tawa mereka yang seakan tak ada habisnya.

Di meja sudut, Zain sudah duduk menunggu. Wajahnya masih sama, namun ada sesuatu yang berbeda. Zain terlihat lebih dewasa, lebih serius, namun matanya masih menyimpan rasa sesal yang mendalam. Melihatnya, Rana merasakan kembali getaran yang pernah ada di antara mereka. Getaran yang dulu membuatnya merasa bahagia, namun kini hanya membawa rasa sakit yang lebih dalam.

Rana duduk di hadapannya. Beberapa detik berlalu tanpa ada kata-kata yang keluar. Hanya ada keheningan, yang semakin menambah ketegangan di antara mereka. Hanya suara denting sendok pada gelas yang terdengar mengganggu ketenangan itu.

“Rana, aku…” Zain memulai kalimatnya dengan suara serak, seakan menahan perasaan yang sudah lama terpendam. “Aku tak tahu harus mulai dari mana. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa keputusan yang aku ambil dulu bukan karena aku tidak mencintaimu. Aku melakukan itu karena… karena aku terjebak.”

Rana menatapnya, berusaha menyembunyikan perasaan yang kembali menggelora di dalam hati. “Terjebak?” Suaranya bergetar, namun ia berusaha untuk tetap tenang. “Terjebak dengan apa, Zain? Kenapa kamu tidak memberitahuku? Kenapa harus meninggalkanku begitu saja tanpa penjelasan?”

Zain menundukkan kepala, menghela napas panjang. “Aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya. Aku takut kehilangan segalanya, dan itu membuatku mengambil keputusan yang salah.”

Rana merasakan hatinya kembali teriris. Meskipun ia sudah mendengar penjelasan Zain, rasanya itu tidak cukup untuk menghapus rasa sakit yang selama ini ia simpan. Semua pertanyaan yang selama ini mengganggunya akhirnya mendapatkan sedikit jawaban, tetapi justru membuat luka lama itu kembali terbuka. Ia merasa hancur, karena meskipun ada penjelasan, itu tidak bisa mengembalikan apa yang telah hilang.*

Bab 2  Ketika Cinta Menjadi Dendam

Rana mengangkat cangkir kopi di depannya, menatap Zain yang duduk di seberang meja dengan ekspresi yang sulit dibaca. Sejak pertemuan mereka tadi, dia merasa seperti berada dalam sebuah labirin emosional yang tak bisa ia keluar darinya. Penjelasan Zain tentang masa lalu mereka mulai mengungkapkan kebenaran yang selama ini mengganggu pikirannya. Namun, anehnya, penjelasan itu tidak membuat hatinya merasa lega. Sebaliknya, ada sesuatu yang tumbuh di dalam dirinya—sesuatu yang lebih gelap. Sebuah perasaan yang sudah lama terkubur, kini muncul kembali.

Dendam.

Rana tidak menginginkannya, tetapi ia tidak bisa menahan perasaan itu. Perasaan bahwa ia telah dibuang begitu saja tanpa alasan yang jelas. Perasaan bahwa ia telah memberikan segalanya untuk cinta yang ternyata hanya menjadi permainan. Zain memang meminta maaf, tetapi apakah itu cukup untuk menyembuhkan luka yang begitu dalam? Apa yang bisa dia lakukan untuk menghapus kenangan bahwa ia adalah wanita yang ditinggalkan di saat paling genting? Apa yang bisa dia lakukan untuk merasakan keadilan atas pengkhianatan yang telah ia alami?

Rana menatap Zain yang tampak kebingungan, menunggu reaksinya. Tapi, di dalam dirinya, ada satu suara yang semakin keras berteriak: Zain tidak layak mendapatkan maafku.

“Jadi, itu alasanmu?” kata Rana akhirnya, suaranya lebih dingin dari yang ia inginkan. “Karena kamu takut kehilangan segalanya, kamu memilih untuk mengorbankanku? Menikah dengan wanita lain tanpa penjelasan, tanpa memberi tahu aku apa yang sebenarnya terjadi?”

Zain terdiam sejenak, wajahnya tampak penuh penyesalan. “Aku tahu itu terdengar seperti alasan yang buruk, dan aku tak bisa menyalahkanmu jika kamu tak bisa memaafkanku. Aku… aku seharusnya lebih jujur. Aku seharusnya memberitahumu, meskipun itu sulit.”

“Tapi kamu tidak melakukannya,” jawab Rana dengan tajam. “Kamu tidak melakukannya, Zain. Dan itulah yang membuatku sulit untuk mempercayaimu lagi.”

Suasana di antara mereka menjadi canggung. Hujan mulai turun di luar, membuat suasana semakin muram. Zain menatapnya, matanya penuh penyesalan. Tetapi meskipun ia tahu apa yang ia lakukan salah, ia tidak tahu apa lagi yang bisa ia lakukan untuk menebus kesalahan itu.

Rana memutuskan untuk mengalihkan pandangannya dari Zain. Ia merasa seperti terjebak dalam perasaan yang tak bisa ia kendalikan. Setiap kata yang diucapkan Zain, seolah-olah memicu kenangan pahit yang telah lama ia kubur dalam-dalam. Sesuatu yang lebih gelap mulai tumbuh dalam dirinya. Suatu perasaan yang tidak ia kenali—suatu kebutuhan untuk membuat Zain merasakan rasa sakit yang sama seperti yang ia rasakan.

Dia menyadari itu. Dan meskipun ia ingin menolaknya, perasaan itu semakin kuat.

Rana menunduk, mencoba meredam kebingungannya. Dia tahu Zain sudah menikah. Dia tahu bahwa hubungan mereka tidak bisa kembali seperti semula. Namun, apakah ia bisa mengabaikan luka yang begitu mendalam dalam dirinya? Apakah ia bisa benar-benar memaafkan seseorang yang telah membuatnya merasakan kehilangan yang begitu dalam?

Rana mengingat kembali segala hal yang telah ia lakukan untuk melupakan Zain setelah perpisahan itu. Ia pindah ke kota lain, mengubah nomor telepon, bahkan menghindari semua kenalan yang bisa membawanya kembali pada Zain. Tetapi perasaan itu, rasa sakit itu, tetap menghantuinya. Tidak ada yang bisa menggantikan posisi Zain dalam hidupnya. Bahkan ketika ia mulai menjalin hubungan baru, ia selalu merasa ada yang hilang. Tidak ada yang bisa membuatnya merasa utuh.

Dan kini, Zain datang kembali, dengan penyesalan di wajahnya, dengan permintaan maaf yang terdengar tulus. Namun, entah mengapa, itu tidak membuatnya merasa lebih baik. Sebaliknya, itu membuat hatinya semakin dipenuhi oleh kebencian yang tak terungkapkan.

Dia ingin membalas. Dia ingin Zain merasakan bagaimana rasanya dibuang begitu saja. Tetapi bagaimana cara membalaskan dendam ini? Tidak dengan kata-kata, bukan dengan amarah yang meledak-ledak. Tidak, ia tidak akan memberi Zain kepuasan itu. Ia ingin membuat Zain merasakannya dalam cara yang lebih halus, yang lebih mempengaruhi jiwanya.

Tiba-tiba, sebuah ide melintas dalam pikiran Rana. Sebuah ide yang membuat hatinya berdegup kencang. Ia tidak akan memaafkan Zain. Ia tidak akan memberinya kesempatan untuk kembali masuk ke dalam hidupnya. Tetapi, ia bisa membuat Zain merasa kehilangan, merasa cemas, merasa seperti dia pernah merasa. Ia bisa membalas dendam dengan cara yang tidak terduga.

“Zain,” Rana memulai, suaranya kini jauh lebih tenang. “Aku pikir aku mengerti sekarang. Aku mengerti kenapa kamu melakukannya. Tapi aku juga mengerti satu hal lagi.”

Zain menatapnya penuh perhatian. “Apa itu?”

“Aku tidak bisa lagi mempercayaimu, Zain,” jawab Rana dengan suara yang tegas. “Dan aku tidak akan memaafkanmu. Kamu sudah merusak segalanya, dan sekarang giliranmu untuk merasakan apa yang aku rasakan.”

Zain terlihat terkejut. “Rana… aku tahu aku salah, dan aku benar-benar ingin memperbaikinya. Aku ingin kamu kembali dalam hidupku.”

“Jangan pernah bicara tentang itu lagi, Zain.” Rana berdiri, menyandarkan tubuhnya pada meja, dan menatap pria itu dengan mata yang penuh tekad. “Aku akan membuatmu merasa apa yang aku rasakan, dan aku tidak akan berhenti sampai kamu mengerti apa yang telah kamu buat padaku.”

Zain terbata-bata, tetapi tidak bisa berkata-kata. Rana tahu bahwa kata-katanya adalah ancaman yang tak bisa diabaikan. Dia bisa merasakan perubahan dalam dirinya, dan meskipun itu menakutkan, ia merasa seolah-olah itulah satu-satunya cara untuk menyembuhkan luka hatinya.

Rana berjalan keluar dari kafe, meninggalkan Zain yang terdiam, dan untuk pertama kalinya dalam bertahun-tahun, ia merasa hatinya lebih ringan. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, tetapi satu hal yang pasti: ia akan mendapatkan balasannya. Zain akan merasakan apa yang telah ia buat padanya.

Cinta memang bisa terbalas dengan luka, tetapi kini, Luka akan terbalas dengan dendam memperoleh keadilan atas pengkhianatan yang ia alami.*

Bab 3  Cinta dan Dendam Bersatu

Hujan masih turun deras saat Rana melangkah keluar dari kafe, meninggalkan Zain yang terdiam dalam kebingungannya. Langkahnya terasa ringan, namun hatinya begitu berat. Ada campuran perasaan yang sulit dijelaskan—antara dendam yang baru saja tumbuh dalam dirinya dan rasa kehilangan yang tak kunjung hilang. Ia tahu satu hal pasti: ia tak ingin kembali ke dalam pelukan Zain, namun ia juga tak bisa melepaskan bayangannya begitu saja.

Langit kelabu memantulkan keadaan batinnya yang kacau. Di luar, dunia terus bergerak dengan ritme yang tak terpengaruh oleh perasaannya. Namun, di dalam dirinya, ada dua kekuatan besar yang saling beradu—cinta yang lama terkubur dan dendam yang baru tumbuh.

Sejak pertemuan itu, Zain terus mengirim pesan. Setiap kali Rana membaca pesan-pesannya, ia merasa semakin terperangkap dalam jaring yang tak pernah ia inginkan. Zain meminta pertemuan lagi, meminta kesempatan untuk menjelaskan lebih banyak. Namun setiap kali ia merasa cemas dan ragu, suara di dalam dirinya yang lebih gelap semakin kuat.

“Jangan beri kesempatan itu lagi. Jangan biarkan dia masuk lagi,” suara itu berbisik dalam hatinya. “Dia sudah cukup melukaimu. Sekarang, biarkan dia merasakan apa yang kamu rasakan.”

Rana mencoba mengalihkan pikirannya dengan fokus pada pekerjaannya. Ia menghabiskan beberapa hari penuh di proyek desain interior yang sudah lama ditunggu. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, perasaan itu terus mengusik. Setiap kali ia melihat pesan dari Zain, setiap kali ia memikirkan masa lalu mereka, ada sebuah dorongan yang sulit ia lawan. Sesuatu yang menariknya kembali ke Zain, tetapi ada juga yang mendorongnya menjauh.

Pada suatu malam, saat ia duduk sendirian di apartemennya, teleponnya berdering. Nama Zain muncul di layar ponsel, dan perasaan aneh menyelimuti hatinya. Meskipun sudah bertekad untuk tidak membalasnya lagi, ia merasa seakan telepon itu memanggilnya dengan cara yang tak terduga.

Dengan hati berdebar, Rana menjawab.

“Rana,” suara Zain terdengar serak, penuh rasa sesal. “Aku tahu aku tak pantas untuk memintamu memberikan kesempatan, tapi aku benar-benar ingin kamu tahu bahwa aku tidak pernah melupakanmu. Aku tidak bisa hidup dengan rasa bersalah ini. Aku ingin kita bisa berbicara lebih banyak, dengan jujur.”

Suara Zain yang penuh penyesalan itu hampir membuat hatinya luluh. Namun, ia segera mengingatkan dirinya sendiri bahwa ini bukanlah saatnya untuk menjadi lemah. Zain sudah cukup membuatnya merasa terbuang. Dan kali ini, ia tidak akan membiarkan dirinya jatuh lagi dalam pelukan pengkhianatan itu.

“Tapi aku tidak ingin bertemu lagi, Zain,” jawab Rana, suara tegas meski ada gemuruh perasaan di dalamnya. “Kamu sudah cukup membuatku merasa hancur. Aku sudah menutup bab itu.”

“Aku tahu aku salah, Rana,” Zain mendesak, suaranya terdengar semakin cemas. “Aku ingin memperbaiki semuanya, untuk kamu. Aku tidak bisa hidup dengan bayanganmu yang selalu ada dalam pikiranku.”

Rana terdiam sejenak. Bagaimana mungkin Zain bisa mengatakan semua itu setelah bertahun-tahun? Apa yang dia harapkan sekarang? Apa yang bisa dia berikan setelah semua yang telah terjadi? Dalam hatinya, ada suara yang mengatakan, “Jangan percayakan hatimu lagi padanya. Jangan beri dia kesempatan untuk merusakmu sekali lagi.”

Tetapi, ada juga suara lain yang mengingatkan, “Kamu ingin balas dendam, bukan? Jangan sia-siakan kesempatan ini.”

Suara itu semakin keras, semakin menggoda. Sesuatu dalam dirinya yang gelap, yang berani, mulai tumbuh. Mungkin inilah saat yang tepat untuk memberikan Zain rasa sakit yang dia tak akan pernah lupakan.

“Zain,” Rana berkata pelan, mencoba menenangkan diri. “Aku akan memberi kesempatan satu kali lagi. Tapi bukan untuk kita. Aku ingin bertemu, tapi hanya untuk bicara. Aku sudah cukup lama memendam semuanya, dan sekarang aku ingin kamu tahu apa yang aku rasakan.”

Zain terdiam sejenak, sebelum akhirnya mengiyakan. “Aku akan datang, kapan saja kamu siap. Terima kasih, Rana.”

Rana menutup telepon dengan perasaan yang tidak bisa ia gambarkan. Dendam itu, yang semula terasa seperti benih kecil dalam dirinya, kini terasa seperti api yang siap membakar segalanya. Ia tahu ini bukan tentang cinta lagi. Ini tentang keadilan. Dan kali ini, Zain akan merasakan apa yang dia rasakan dulu—betapa sakitnya menjadi orang yang dikhianati.

Beberapa hari kemudian, mereka bertemu lagi di kafe yang sama. Zain datang lebih cepat dari yang dijanjikan, dan kali ini, ia tampak lebih serius. Tidak ada senyuman manis yang biasa ia tunjukkan. Wajah Zain dipenuhi penyesalan, seolah ia tahu bahwa pertemuan ini mungkin akan menjadi yang terakhir.

Rana duduk dengan tenang di seberangnya, menatap Zain dengan mata yang penuh kebencian, meskipun hatinya tak bisa menahan perasaan yang lebih dalam—perasaan yang sulit ia akui, yaitu sebuah kenyataan bahwa meskipun ia ingin membalas dendam, bagian dari dirinya tetap merindukan Zain.

“Rana,” Zain memulai, suara rendah. “Aku tak tahu apa yang harus aku katakan lagi. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku menyesal. Aku tidak pernah bermaksud melukaimu. Tapi aku tahu, kata-kata tak akan cukup untuk menebus semuanya.”

Rana mengangkat wajahnya, menatap Zain dengan mata yang penuh teka-teki. “Kamu benar. Kata-kata memang tidak akan pernah cukup untuk menghapus apa yang sudah terjadi. Tapi aku tidak datang kesini untuk mendengarkan penyesalanmu. Aku datang untuk memberitahumu sesuatu.”

Zain terdiam, menunggu.

“Aku tahu kamu menyesal,” lanjut Rana, suara tetap tenang. “Tapi itu tidak akan mengubah apa yang sudah kamu lakukan padaku. Aku tidak akan pernah bisa memaafkanmu. Kamu telah menghancurkan kepercayaan yang ada antara kita, Zain.”

Zain menundukkan kepala, tak mampu berkata apa-apa. “Aku tahu… aku tahu. Dan aku tak mengharapkan kamu memaafkanku. Tapi aku berharap kita bisa…”

“Berhenti berharap, Zain,” potong Rana dengan tajam. “Kamu sudah menghancurkanku. Aku hanya ingin kamu tahu, aku tidak datang untuk berdamai. Aku datang untuk mengingatkanmu apa yang telah kamu lakukan. Dan sekarang, giliranmu yang merasakannya.”

Zain terdiam, mata yang dulu penuh dengan cinta kini hanya dipenuhi penyesalan. Ia merasa seperti berada di ujung jurang, tanpa harapan.

Namun, yang membuat Zain merasa lebih sakit adalah kenyataan bahwa dalam suara Rana yang tenang, ada sesuatu yang lebih tajam dari pisau. Ada sesuatu yang lebih mengiris daripada sekadar kata-kata yang diucapkan. Dendam itu bukan hanya dalam bentuk kata-kata atau tindakan, tetapi dalam kenyataan bahwa Rana kini lebih kuat darinya dan lebih berbahaya.

Di saat itu, Rana tahu satu hal pasti: ia sudah tidak lagi menjadi perempuan yang lemah yang dulu. Dendam dan cinta kini telah bersatu dalam dirinya, membentuk kekuatan yang tak bisa dihentikan.

Zain akan belajar bahwa ada sesuatu yang lebih menakutkan daripada kehilangan cinta—yaitu kehilangan kesempatan untuk menebus kesalahan, yang sekarang sudah terlambat.*

Bab 4 Cinta dan Luka yang Saling Menyembuhkan

Rana berjalan keluar dari kafe, langkahnya terasa ringan, meskipun perasaannya masih tersisa kesedihan yang dalam. Zain telah pergi, meninggalkan kata-kata yang lebih berat daripada pertemuan itu sendiri. Tetapi kali ini, perasaan yang tumbuh di dalam dirinya tidak lagi hanya tentang dendam. Ia merasa sesuatu yang lain—sebuah benih harapan yang mulai tumbuh, meskipun ia berusaha menolaknya.

Setiap kata yang diucapkan Zain tadi—tentang penyesalan, tentang kesalahannya—terasa begitu tulus. Dan meskipun ia berusaha menutup hatinya, ada bagian dari dirinya yang tidak bisa begitu saja mengabaikan apa yang terjadi di masa lalu. Perasaan itu muncul, kembali, lebih lembut, namun tetap penuh keteguhan. Cinta—cinta yang dulu ada, yang hampir terlupakan—kembali merasuk dalam dirinya.

“Apa yang sebenarnya aku inginkan?” Rana bergumam pelan pada dirinya sendiri saat duduk di bangku taman dekat apartemennya. “Apakah aku siap untuk membuka hati ini lagi? Ataukah aku akan terus membiarkan luka ini menguasai diriku?”

Suasana sekitar tampak tenang, dengan pohon-pohon yang berayun pelan tertiup angin sore. Hujan yang deras beberapa hari lalu kini hanya meninggalkan langit yang cerah, membentuk pemandangan yang indah. Tiba-tiba, Rana merasa seolah-olah dunia di sekitarnya juga mengingatkannya untuk menyembuhkan, untuk merelakan, untuk melangkah maju. Tetapi luka yang ada di hatinya terlalu dalam untuk hanya diabaikan.

Zain adalah bagian besar dari hidupnya. Kenangan tentang mereka, tentang cinta mereka yang dulu begitu indah, tidak bisa lenyap begitu saja. Zain telah meninggalkan luka, tetapi luka itu juga menjadi bagian dari perjalanan hidupnya. Entah bagaimana, dalam keheningan itu, Rana mulai menyadari satu hal: untuk sembuh, ia harus merelakan—baik Zain maupun dirinya.

Keesokan harinya, saat matahari terbit dengan lembut, Rana merasa ada sesuatu yang berbeda dalam dirinya. Ia merasa lebih kuat, lebih tenang. Mungkin, ini saatnya untuk melepaskan dendam yang begitu lama ia simpan. Tapi bukan berarti ia akan melupakan apa yang telah terjadi. Ia hanya ingin melepaskan beban yang telah menguasai hatinya selama bertahun-tahun.

Ponselnya berdering, mengganggu keheningan yang telah mulai mengisi ruang pikirannya. Nama Zain kembali muncul di layar.

Rana menatap layar ponselnya sejenak. Ia merasa bingung, tetapi kemudian mengambil keputusan untuk menjawabnya.

“Rana,” suara Zain terdengar di ujung telepon, penuh keraguan dan ketulusan. “Aku… aku ingin berbicara lebih lanjut denganmu. Tentang kita. Aku tahu kamu mungkin tidak ingin mendengarnya lagi, tapi aku tidak bisa hidup dengan perasaan ini. Aku ingin meminta maaf dengan segenap hati.”

Rana terdiam sejenak. Ia tahu bahwa Zain benar-benar menyesal, tetapi apakah itu cukup? Apakah permintaan maaf ini bisa menyembuhkan luka yang telah begitu dalam? Bagaimana jika ia membuka hati kembali, hanya untuk terluka lagi?

“Aku tahu kamu merasa tidak ada yang bisa memperbaiki ini,” Zain melanjutkan, seakan membaca pikirannya. “Tapi aku ingin berusaha. Aku ingin mendengarkanmu, Rana. Aku ingin membuat semuanya benar, jika kamu memberi kesempatan padaku.”

Rana memejamkan matanya sejenak, mencoba mencari jawaban yang paling jujur dalam dirinya. Zain adalah pria yang pernah ia cintai dengan sepenuh hati, tetapi juga pria yang telah menghancurkan hatinya. Namun, di sisi lain, ada sesuatu dalam dirinya yang ingin memberi kesempatan untuk pemulihan. Mungkin, meskipun cinta mereka dulu berakhir dengan luka, ada jalan untuk menyembuhkannya.

“Aku tidak tahu, Zain,” jawab Rana pelan. “Aku tidak tahu apakah aku siap untuk membuka hatiku lagi. Terlalu banyak yang telah terjadi. Tetapi aku juga tidak ingin terus hidup dalam kebencian.”

Di sisi telepon, Zain terdiam. Kemudian, suara pelan yang penuh harap terdengar. “Aku mengerti, Rana. Aku tidak akan memaksamu untuk melupakan semuanya. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku menyesal, dan aku ingin berusaha, meskipun aku tahu itu tidak mudah.”

Setelah beberapa detik yang terasa panjang, Rana akhirnya menghela napas. “Baiklah. Kita bisa bertemu lagi. Tapi bukan untuk kembali seperti dulu. Kita hanya akan bicara. Aku perlu waktu untuk memahami semuanya.”

Zain mengangguk, meskipun Rana tahu ia tidak bisa melihatnya. “Terima kasih, Rana. Aku tidak akan mengecewakanmu lagi.”

Hari-hari berlalu dengan langkah yang lebih tenang. Rana mulai membuka dirinya kembali, meskipun dengan hati-hati. Ia sibuk dengan pekerjaannya, merancang desain untuk beberapa klien baru yang datang. Tapi ada sesuatu yang mengganggunya—perasaan yang begitu kuat setiap kali ia mengingat Zain, meskipun ia mencoba untuk menutupinya.

Pada suatu sore, mereka akhirnya bertemu lagi, kali ini di tempat yang lebih sederhana, sebuah taman yang tenang. Hanya ada suara angin dan riuh dedaunan yang bergerak. Zain duduk di bangku di hadapannya, wajahnya terlihat lebih tenang, tetapi juga penuh dengan penyesalan. Matanya menatap Rana dengan harapan yang tak terucapkan.

“Rana,” Zain memulai dengan suara lembut, “aku tahu kita tidak bisa kembali seperti dulu. Aku tahu aku tidak layak untuk memintamu membuka hatimu lagi. Tapi aku ingin berterima kasih. Karena kamu memberi kesempatan ini untuk kita bicara.”

Rana menatapnya, memikirkan setiap kata yang akan ia ucapkan. Ia merasa luka itu tidak akan pernah benar-benar hilang, tetapi ia juga tahu bahwa untuk melangkah maju, ia perlu melepaskan rasa sakit itu. Luka yang ia rasakan kini adalah bagian dari dirinya, dan mungkin, hanya mungkin, ia bisa belajar untuk menerima dan tumbuh darinya.

“Aku tidak tahu apa yang akan terjadi setelah ini, Zain,” kata Rana dengan suara yang lebih tenang. “Tapi aku rasa aku mulai bisa memaafkanmu. Mungkin bukan untukmu, tapi untuk diriku sendiri. Aku tidak ingin hidup dengan kebencian lagi.”

Zain terdiam, matanya tampak berkaca-kaca. “Aku… aku tidak tahu apa yang bisa aku katakan untuk itu. Aku hanya bisa mengatakan terima kasih. Kamu telah memberi aku harapan, sesuatu yang aku tidak tahu akan pernah ada lagi setelah aku melukaimu.”

Rana tersenyum kecil, meskipun masih ada rasa sakit yang menggerogoti hatinya. “Kita semua membuat kesalahan, Zain. Tapi hidup harus terus berjalan. Aku tidak tahu apakah kita bisa kembali bersama, tetapi aku tahu satu hal—kita bisa menjadi lebih baik. Untuk dirimu, dan untuk diriku.”

Zain mengangguk pelan, lalu terdiam sejenak. “Aku ingin kita bisa mulai dari awal, meskipun itu mungkin tidak mudah.”

Rana mengangguk, dan meskipun hatinya masih penuh dengan kebingungan, ada rasa damai yang mulai mengalir dalam dirinya. Ia tahu bahwa untuk sembuh, ia harus melepaskan perasaan yang mengikatnya pada masa lalu. Mungkin cinta mereka tidak akan pernah kembali seperti dulu, tetapi mungkin ada kemungkinan untuk keduanya tumbuh menjadi pribadi yang lebih baik, meskipun bukan bersama lagi.

Dalam keheningan itu, mereka duduk bersama, bukan sebagai pasangan yang penuh janji, tetapi sebagai dua orang yang saling memahami luka masing-masing. Mungkin cinta yang lama sudah terhapus, tetapi luka mereka—luka yang pernah saling menghancurkan—sekarang mulai saling menyembuhkan.

Perlahan-lahan, Rana menyadari bahwa cinta dan luka adalah dua hal yang saling berhubungan. Tanpa luka, cinta tidak akan pernah mengajarkan kita untuk tumbuh. Dan tanpa cinta, luka itu akan tetap terasa kosong. Mereka berdua, Zain dan dirinya, mungkin tidak akan kembali bersama. Tetapi mereka bisa saling melepaskan, menyembuhkan diri, dan mungkin suatu saat nanti, mengenang masa lalu dengan lebih bijaksana, dengan cinta yang berbeda—cinta yang lebih matang.*

Bab 5 Cinta yang Terlahir Kembali

Pagi itu, Rana bangun dengan perasaan yang lebih ringan dari sebelumnya. Beberapa hari setelah pertemuan terakhirnya dengan Zain di taman, hidupnya terasa sedikit lebih tenang. Ia tak lagi terjebak dalam kebingungannya tentang masa lalu, meskipun kenangan itu masih menghantui pikiran dan hatinya. Namun, sesuatu dalam dirinya mulai berubah. Ada ruang kosong yang sebelumnya penuh dengan amarah dan kebencian, kini terisi dengan pemahaman yang lebih dalam.

Hari-hari berlalu, dan meskipun Rana terus sibuk dengan pekerjaannya, ia merasa ada sesuatu yang sedang berkembang dalam dirinya. Cinta. Bukan cinta yang lama, yang penuh dengan kesalahan dan luka, tetapi cinta yang baru. Cinta yang lebih kuat, lebih bijaksana, dan lebih menerima. Cinta yang terbentuk dari pengalaman, dari perasaan yang dipenuhi dengan ketulusan, bukan dari pengharapan yang hampa.

Pada suatu sore, setelah beberapa minggu dari pertemuan terakhir mereka, Zain menghubunginya lagi. Kali ini, tidak ada lagi penyesalan yang berlebihan, tidak ada lagi permintaan maaf yang melankolis. Hanya pesan singkat yang mengundang Rana untuk bertemu.

“Rana, aku ingin kamu tahu satu hal. Aku tidak ingin mengganggumu, tapi aku berharap kita bisa bertemu sekali lagi. Mungkin hanya untuk berbicara, atau mungkin hanya untuk melihat bagaimana kita bisa melanjutkan hidup masing-masing.”

Rana membaca pesan itu dengan hati yang penuh pertanyaan. Apa yang sebenarnya Zain inginkan sekarang? Apa yang berubah? Namun, kali ini, rasa penasaran lebih menguasainya daripada kebencian. Ia merasa tidak ada salahnya untuk bertemu. Setelah semua yang terjadi, ia merasa tidak ada lagi yang perlu disembunyikan antara mereka. Ini bukan tentang kembali bersama, bukan juga tentang menuntut sesuatu dari masa lalu, tetapi tentang memberi ruang bagi satu sama lain untuk berkembang.

Setelah beberapa saat ragu, Rana membalas pesan itu.

“Aku setuju. Tapi kali ini, kita bicara tanpa harapan apa-apa, Zain. Aku hanya ingin memastikan kita berdua sudah benar-benar siap untuk melangkah ke depan.”

Zain segera merespon, dan mereka sepakat untuk bertemu di sebuah kafe kecil yang lebih tenang. Kafe itu bukan tempat yang istimewa, tetapi cukup nyaman untuk berbicara dengan bebas tanpa gangguan. Mereka sudah melalui banyak hal bersama, dan kini, pertemuan itu terasa seperti babak baru dalam hidup mereka.

Saat tiba di kafe, Rana melihat Zain sudah duduk di meja yang mereka pilih sebelumnya. Wajahnya tampak lebih tenang daripada dulu, dan meskipun masih ada sedikit kekhawatiran di matanya, ia terlihat jauh lebih dewasa. Rana berjalan mendekat, dan mereka saling bertatapan, tanpa kata-kata terlebih dahulu.

“Terima kasih sudah datang, Rana,” Zain berkata dengan suara lembut. “Aku tahu kita tidak bisa kembali ke masa lalu, dan aku tidak berharap kita bisa melupakan semuanya begitu saja. Tapi aku ingin mengatakan satu hal terlepas dari segala yang terjadi, aku merasa kita masih bisa menghargai apa yang telah kita lalui bersama.”

Rana duduk di hadapannya, mengatur napasnya. Perasaan yang tadinya terpendam kini mulai kembali mengalir dengan cara yang berbeda. Zain yang ada di depannya bukanlah pria yang dulu pria yang sempat menghancurkan hatinya. Zain yang sekarang adalah pria yang telah belajar dari kesalahannya, pria yang ingin memperbaiki apa yang bisa diperbaiki.

“Zain,” Rana memulai dengan tenang. “Aku tidak tahu apa yang akan terjadi setelah kita berbicara hari ini, tapi aku ingin kamu tahu bahwa aku sudah memaafkanmu. Mungkin bukan untuk kita kembali bersama, tapi untuk diri kita masing-masing.”

Zain menatapnya, matanya berbinar. “Terima kasih, Rana. Aku tidak tahu harus berkata apa selain itu. Memaafkanmu adalah langkah pertama yang harus aku ambil, dan aku akan menghargainya. Aku tahu kita tidak bisa kembali seperti dulu, tapi mungkin kita bisa mulai melihat masa depan dengan cara yang berbeda.”

Rana merasakan sesuatu yang aneh di dalam dirinya. Sesuatu yang mulai menghangatkan hatinya yang telah lama beku. Tidak, ini bukan cinta yang lama. Ini bukan cinta yang penuh dengan luka dan kebohongan. Ini adalah sesuatu yang lebih tulus. Ini adalah rasa hormat, pengertian, dan penerimaan.

“Zain, aku sudah memaafkanmu, tapi aku harus mengakui satu hal: aku bukan lagi wanita yang dulu. Aku tidak bisa kembali ke masa lalu. Namun, aku ingin kita tetap bisa berteman. Aku ingin kita bisa saling menghormati dan mungkin, suatu saat nanti, bisa saling mendukung.”

Zain mengangguk, senyumnya mengembang. “Aku menghargai itu, Rana. Aku mengerti. Dan aku ingin kamu tahu bahwa meskipun aku berharap kita bisa kembali bersama, aku tidak akan pernah memaksa. Aku hanya ingin melihatmu bahagia, entah itu bersama aku atau dengan orang lain.”

Perlahan, Rana mulai merasakan bahwa dalam kata-kata Zain yang tulus, ada sesuatu yang lebih kuat dari perasaan cinta mereka yang dulu. Cinta yang ada sekarang adalah cinta yang tidak terikat pada pengharapan atau janji kosong. Cinta ini lahir dari pemahaman bahwa mereka berdua telah melalui banyak hal bersama, dan meskipun jalan mereka tidak akan sama, mereka bisa tetap saling menghormati.

Keduanya duduk diam untuk beberapa saat, hanya menikmati kehadiran satu sama lain. Tak ada lagi perasaan cemas atau kekhawatiran akan masa depan, hanya rasa syukur dan ketenangan yang mulai tumbuh di antara mereka.

“Bagaimana kalau kita tidak berpikir tentang masa depan terlalu jauh dulu?” Rana berkata, memecah keheningan. “Aku ingin menjalani hidupku tanpa beban, tanpa harus memikirkan apa yang bisa terjadi nanti. Aku ingin hidup ini menjadi sesuatu yang bebas, tanpa rasa takut atau penyesalan.”

Zain tersenyum mendengarnya. “Itulah yang aku inginkan untukmu, Rana. Kebebasan itu kebebasan untuk menemukan kebahagiaanmu sendiri.”

Rana merasa ada kehangatan yang mengalir dalam hatinya. Cinta yang dulu penuh dengan luka dan air mata kini berubah menjadi sesuatu yang lebih damai. Mungkin, cinta mereka tidak akan pernah kembali seperti semula, tetapi itu tidak mengurangi nilai apa yang telah mereka alami. Apa yang terlahir kini adalah sebuah penghargaan terhadap masa lalu, dan sebuah kesempatan untuk tumbuh sebagai pribadi yang lebih baik.

Di tengah perasaan yang beragam ini, Rana tahu satu hal cinta yang terlahir kembali bukanlah tentang menghidupkan kembali perasaan lama. Ini tentang membiarkan diri mereka masing-masing berkembang menjadi pribadi yang lebih kuat, lebih bijaksana, dan lebih siap untuk menjalani hidup dengan penuh cinta, tanpa rasa sakit atau penyesalan.

Ketika pertemuan itu berakhir, mereka berdua tahu bahwa meskipun hubungan mereka tidak akan pernah kembali seperti dulu, ada sesuatu yang lebih penting yang mereka temukan sebuah pengertian dan penghargaan yang lebih dalam terhadap diri mereka sendiri dan satu sama lain. Cinta yang baru ini adalah sebuah awal yang baru bukan hanya untuk mereka berdua, tetapi untuk hidup mereka yang penuh dengan kemungkinan.

Saat Rana melangkah pergi, ia merasa lebih ringan. Ia tahu bahwa meskipun cinta lama tidak bisa kembali, cinta yang baru cinta yang lebih matang dan lebih bijaksana—telah terlahir di dalam hatinya. Dan dengan cinta itu, ia bisa berjalan menuju masa depan yang lebih cerah.***

 

Source: ASIFA HIDAYATI
Tags: #cintadandendam#cintayangterlahirkembali#cintayangtertunda#lukadancinta#penyembuhandiri
Previous Post

CINTA YANG MENUNGGU DI UJUNG WAKTU

Next Post

CINTA TAK TERBALAS

Related Posts

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

May 17, 2025
KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

May 16, 2025
KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

May 15, 2025
RINDU YANG MENYULUT AMARAH

RINDU YANG MENYULUT AMARAH

May 14, 2025
SAAT LUKA MENJADI CINTA

SAAT LUKA MENJADI CINTA

May 13, 2025
JANJI YANG MANIS DI BALIK PENGKHIANATAN

JANJI YANG MANIS DI BALIK PENGKHIANATAN

May 12, 2025
Next Post
CINTA TAK TERBALAS

CINTA TAK TERBALAS

CINTA DI UJUNG DUNIA

PELANGI SETELAH AIR MATA

PELANGI SETELAH AIR MATA

Top Stories

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

May 17, 2025
KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

May 16, 2025
KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

May 15, 2025

Tentang Kisah Cinta

Kami menyajikan kumpulan novel dan cerpen cinta yang menggambarkan berbagai sisi cinta, dari yang manis hingga yang pahit, dari yang bahagia hingga yang menyayat hati

Connect on Social

© 2024 Kisahcinta.id

No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta

© 2024 Kisahcinta.id