Kisah Cinta
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
Kisah Cinta
No Result
View All Result

ROMANSHA YANG BERAHKIR DUKA

ROMASHA BERAHKIR DUKA

SAME KADE by SAME KADE
April 15, 2025
in Dendam Cinta
Reading Time: 18 mins read
ROMANSHA YANG BERAHKIR DUKA

Daftar Isi

  • Bab 1 Pertemuan Tak Terduga
  • Bab 2 Luka yang Belum Sembuh
  • Bab 3 Awal dari Rencana Dendam
  • Bab 4 Permainan Dimulai
  • Bab 5 Menghidupkan Cinta yang Palsu
  • Bab 6 Kejatuhan Orang yang Dulu Menyakiti
  • Bab 7 Pengakuan dan Luka Baru

Bab 1 Pertemuan Tak Terduga

Hari itu langit tampak kelabu, seperti menggambarkan suasana hatiku yang sedang kacau. Aku berjalan dengan langkah terburu-buru, berusaha menghindari segala hal yang bisa membuatku teringat pada masa lalu. Setiap sudut kota ini menyimpan kenangan yang sulit kuhapus, kenangan tentang dia—dia yang pernah menjadi alasan aku merasakan cinta begitu dalam, dan juga sebab dari kebencianku yang mengakar.

Beberapa bulan terakhir, aku berusaha melupakan segala tentangnya. Namun, aku tahu bahwa melupakan itu lebih mudah diucapkan daripada dilakukan. Semua yang ada di sekelilingku selalu mengingatkan pada hari-hari indah yang kini hanya menjadi bayang-bayang.

Aku tiba di kafe kecil tempat biasa aku menghabiskan waktu sendiri. Kafe ini adalah tempat yang selalu menjadi pelarian ketika hatiku ingin menghindar dari kenyataan. Aku duduk di pojok ruangan, memesan secangkir kopi panas, dan menatap keluar jendela dengan pandangan kosong. Musik lembut yang mengalun di latar belakang menambah suasana melankolis yang semakin mengisi hatiku.

Namun, saat aku tengah tenggelam dalam pikiranku, pintu kafe terbuka dan seseorang masuk. Aku tidak terlalu peduli, karena sudah terbiasa dengan hiruk-pikuk orang-orang yang datang dan pergi. Tapi ada sesuatu yang berbeda kali ini. Seiring suara langkah kaki yang mendekat, aku merasa ada sesuatu yang tak beres, sesuatu yang membuat perasaan di dadaku mulai berdebar. Aku menoleh pelan.

Aku terkejut, hampir terjatuh dari kursiku. Itu dia. Pria yang selama ini kutinggalkan di dalam hatiku, yang kututupi dengan kebencian yang kupupuk selama berbulan-bulan. Dan sekarang, dia berdiri tepat di depan meja tempatku duduk.

“Vira?” Suaranya serak, hampir seperti tidak percaya dengan keberadaanku di sana. Mata kami bertemu, dan dalam sekejap, dunia seperti berhenti berputar. Semuanya terasa lambat. Aku bisa merasakan degup jantungku yang mulai mengacau, tetapi aku berusaha keras untuk tetap tenang.

Aku berusaha mengontrol napasku, menatapnya tanpa ekspresi. “Kamu… kenapa ada di sini?” Aku berusaha mengeluarkan kata-kata meski lidahku terasa kelu.

Dia tampak ragu sejenak, mungkin karena ekspresiku yang datar, atau mungkin karena aku memang sudah begitu jauh menghindar darinya. Namun, dia akhirnya menarik napas dalam-dalam, lalu duduk di kursi di seberang meja.

“Ini kebetulan,” jawabnya, meskipun ada ketegangan yang jelas terasa dalam suaranya. “Aku tidak menyangka bisa bertemu kamu di sini.”

Aku menatapnya dengan tajam. Rasanya, saat itu, aku ingin bangkit dan pergi meninggalkan kafe itu, melupakan segalanya. Tapi entah kenapa, tubuhku terasa kaku, seolah ada sesuatu yang mengikatku untuk tetap duduk di sana.

“Apa yang kamu inginkan, Arya?” Aku melontarkan pertanyaan dengan nada dingin, mencoba menutupi kepanikan yang mulai menguasai diriku.

Dia terdiam, matanya memandangku dengan penuh penyesalan, namun aku tahu, semua yang terjadi antara kami tidak akan pernah bisa diselesaikan hanya dengan kata-kata.

“Aku… hanya ingin bicara. Tentang semuanya,” jawabnya, nada suaranya lebih lembut, penuh kejujuran.

Aku mendengus kecil. “Tentang apa? Tidak ada yang perlu dibicarakan lagi. Semua sudah jelas, Arya. Kita sudah berakhir.”

“Vira, aku tahu aku telah membuat banyak kesalahan. Aku tahu aku tidak pantas minta maaf, tapi aku ingin kamu tahu kalau aku menyesal… menyesal karena telah menyakiti kamu,” ujarnya dengan suara bergetar, hampir tidak terdengar.

Aku bisa melihat penyesalan di matanya, tapi seberapa banyak penyesalan itu bisa mengubah apa yang sudah terjadi? Seberapa banyak penyesalan yang bisa menghapus luka yang dia buat?

“Arya,” aku mulai berbicara, berusaha menahan emosi yang hampir meledak. “Kamu tidak bisa datang ke sini setelah semua yang terjadi dan berharap semuanya akan baik-baik saja. Kamu pikir aku bisa melupakan semua yang kamu lakukan begitu saja?”

Dia menunduk, seolah merasa tak ada yang bisa dia katakan lagi untuk meyakinkanku. Aku bisa melihat keraguan di wajahnya, tetapi itu tidak mengubah apa pun. Aku sudah terlalu lama merasakan sakit, terlalu lama terbebani oleh kenangan tentang dia yang kini hanya membuatku marah.

“Vira, aku… aku masih mencintaimu,” kata-katanya terdengar sangat lirih, seperti sebuah pengakuan yang sangat sulit baginya untuk diungkapkan.

Hatiku terhenti mendengarnya. Perasaan itu, cinta yang dulu aku rasakan untuknya, datang kembali seperti gelombang yang menerjang. Aku merasa perasaan itu datang begitu cepat, tapi aku tahu, aku tidak bisa lagi memberikan kesempatan. Tidak setelah semua yang dia lakukan.

“Arya…” aku mulai berbicara pelan, namun kata-kataku terhenti seiring dengan tatapan tajam yang menembus matanya. “Hatiku sudah mati untukmu.”

Dengan perasaan yang berat, aku berdiri dan meninggalkannya begitu saja. Langkahku berat, tetapi hatiku merasa lega, meski masih ada rasa sakit yang tak bisa hilang begitu saja. Pertemuan tak terduga ini mungkin membawa kembali kenangan yang dalam, tetapi aku tahu, ini adalah langkah yang tepat untuk akhirnya melepaskan masa lalu.

Bab 2 Luka yang Belum Sembuh

Langit sore tampak meredup seiring dengan tenggelamnya matahari di ufuk barat. Langit yang berwarna jingga perlahan berubah menjadi kelabu, seolah ikut merasakan kepedihan yang mengendap di hati Keysa. Di balkon kamarnya, ia berdiri memandangi cakrawala dengan mata yang kosong. Angin berembus lembut, mengelus rambut panjangnya yang tergerai, tetapi tak mampu menenangkan gelombang emosi yang berkecamuk dalam dadanya.

Enam tahun. Waktu yang cukup lama bagi seseorang untuk melupakan. Namun bagi Keysa, luka itu masih menganga, tak pernah benar-benar sembuh. Meski ia telah mencoba menjalani hidup seperti biasa, kenangan itu tetap melekat seperti bayangan yang selalu mengikutinya ke mana pun ia pergi. Nama itu, sosok itu, dan pengkhianatan itu, masih tertanam kuat dalam ingatannya.

Ia teringat hari itu—hari ketika segalanya hancur. Keysa menutup matanya, membiarkan pikirannya kembali ke masa lalu yang kelam itu.

“Key, aku harap kau bisa mengerti. Aku tidak pernah bermaksud menyakitimu.” Suara Revan terdengar lirih namun tegas. Sorot matanya yang dulu penuh kehangatan kini tampak dingin, tak lagi mencerminkan cinta yang pernah ia berikan untuk Keysa.

Keysa berdiri mematung, tangannya gemetar saat menggenggam kotak kecil berisi cincin yang seharusnya menjadi simbol cinta mereka. Namun yang ia dapatkan hari itu hanyalah luka dan kekecewaan.

“Mengerti?” suara Keysa bergetar, matanya yang jernih kini dipenuhi air mata. “Bagaimana aku bisa mengerti, Revan? Setelah semua yang kita lalui bersama, kau memilih meninggalkanku?”

Revan menundukkan kepala, tak sanggup menatap mata perempuan yang telah ia lukai. “Maaf… Keysa. Tapi aku harus memilih dia. Aku mencintainya.”

Seakan ada ribuan belati yang menusuk dadanya saat mendengar kata-kata itu. Keysa tak bisa lagi menahan tangisnya. Ia menatap lelaki yang dulu menjadi dunianya, yang kini dengan mudahnya membuangnya seperti tak berarti.

“Jadi, selama ini aku hanya pelarian bagimu?” tanyanya dengan suara parau.

Revan terdiam. Tak ada kata-kata yang keluar dari bibirnya, dan itu sudah cukup menjadi jawaban bagi Keysa. Hatinya hancur berkeping-keping. Ia berbalik pergi, meninggalkan Revan dengan air mata yang mengalir tanpa henti.

Keysa membuka matanya kembali, kembali ke realitas di mana ia masih berdiri di balkon rumahnya. Dadanya terasa sesak, seperti ada beban berat yang terus menghimpitnya. Ia menggigit bibir bawahnya, menahan air mata yang hampir jatuh.

Luka itu belum sembuh.

Tidak peduli berapa lama waktu telah berlalu, rasa sakit itu tetap ada. Sejak hari itu, Keysa menutup hatinya rapat-rapat. Ia tak lagi percaya pada cinta, tak lagi percaya pada janji-janji manis yang bisa dengan mudah diingkari. Ia memilih untuk membangun tembok yang tinggi, menghalangi siapa pun yang mencoba mendekat.

Tiba-tiba, ponselnya bergetar di meja. Dengan malas, Keysa mengambilnya dan melihat nama yang tertera di layar. Nadira.

“Halo?” suara Keysa terdengar lelah.

“Key! Kamu nggak lupa kalau kita ada janji malam ini, kan?” suara Nadira penuh semangat seperti biasa.

Keysa menghela napas panjang. Sejujurnya, ia lupa. Tapi ia juga tahu kalau Nadira tidak akan menerima alasan apa pun untuk membatalkan pertemuan mereka.

“Aku masih ingat,” jawab Keysa akhirnya. “Kita ketemu di tempat biasa, kan?”

“Ya! Jangan sampai telat, ya. Aku ada sesuatu yang ingin aku ceritakan ke kamu.”

Setelah menutup telepon, Keysa menatap bayangannya di cermin. Matanya masih menunjukkan sisa-sisa luka yang ia bawa sejak enam tahun lalu. Tetapi, ia tahu bahwa ia tidak bisa terus terjebak dalam masa lalu. Malam ini, setidaknya ia akan mencoba tersenyum, meskipun hatinya masih terasa kosong.

Dengan langkah berat, ia bersiap untuk pergi, tanpa menyadari bahwa malam itu akan menjadi awal dari sesuatu yang baru—sesuatu yang mungkin akan mengubah hidupnya selamanya.

Bab 3 Awal dari Rencana Dendam

Malam merangkak perlahan, membawa serta kesunyian yang menguasai ruang kamar Adira. Ia duduk di depan cermin, menatap pantulan dirinya yang begitu asing. Mata itu—mata yang dulu dipenuhi harapan—kini hanya menyisakan kehampaan. Luka masa lalu yang menganga dalam hatinya perlahan berubah menjadi bara dendam yang siap ia sulut kapan saja.

Adira masih mengingat dengan jelas bagaimana dirinya ditinggalkan dalam kehancuran. Janji yang diukir dengan manis berubah menjadi racun yang membunuhnya perlahan. Cinta yang pernah ia berikan sepenuhnya kini telah mati, terkubur dalam pengkhianatan yang keji. Dan kini, yang tersisa hanyalah satu tujuan: membuat Arya merasakan sakit yang sama.

“Kau pikir aku akan diam dan menerima semua ini begitu saja?” gumamnya lirih, jemarinya meremas secarik foto lama yang menampilkan dirinya dan Arya, tersenyum bahagia di masa lalu. Foto itu ia buang ke dalam api lilin di meja riasnya, membiarkannya terbakar perlahan hingga hanya menyisakan abu.

Adira mengambil ponselnya, membuka daftar kontak, dan menekan sebuah nomor yang telah lama ingin ia hubungi. Nada tunggu terdengar sebentar sebelum suara seseorang menyapanya di ujung sana.

“Adira? Lama sekali kau tidak menghubungiku.”

“Aku ingin bertemu, Reza. Ada sesuatu yang harus kita bicarakan.”

Sejenak keheningan menyelimuti sebelum akhirnya Reza menghela napas. “Baiklah, di tempat biasa?”

“Ya.”

Setelah panggilan berakhir, Adira segera bersiap. Ia mengenakan pakaian berwarna hitam, seakan melambangkan niat kelam yang tengah membara di hatinya. Malam itu, ia akan memulai langkah pertamanya untuk menuntut balas.

Kafe tempat pertemuan mereka berada di sudut kota, tempat yang jarang dikunjungi orang pada malam hari. Reza sudah menunggunya di salah satu meja di pojok ruangan, menyeruput kopinya dengan santai. Mata tajamnya menatap Adira ketika perempuan itu duduk di depannya.

“Aku tahu wajah itu,” ujar Reza sambil tersenyum miring. “Itu adalah wajah seseorang yang telah memutuskan sesuatu yang besar.”

Adira hanya tersenyum tipis. “Aku ingin membalasnya, Reza. Aku ingin Arya merasakan sakit yang lebih besar dari apa yang pernah ia lakukan padaku.”

Reza mengangguk, seakan sudah menduga keinginan itu sejak lama. “Kau tahu, Adira, membalas dendam bukan perkara mudah. Kau harus siap dengan segala kemungkinan yang akan terjadi.”

“Aku sudah siap,” jawab Adira mantap. “Tidak ada yang bisa menghentikanku kali ini.”

Reza mengamati Adira dalam-dalam sebelum akhirnya bersandar di kursinya. “Baiklah. Apa rencanamu?”

Adira menghela napas sejenak sebelum mulai menjelaskan. “Aku ingin membuatnya jatuh, Reza. Aku ingin dia kehilangan segalanya—kepercayaan, cinta, dan harga dirinya. Aku ingin dia merasakan bagaimana rasanya dihancurkan oleh seseorang yang kau percayai.”

Reza mengangkat alisnya, terkesan dengan tekad yang terpancar dari mata Adira. “Jadi, kau ingin mendekatinya lagi?”

Adira mengangguk. “Aku akan masuk ke dalam hidupnya lagi, membangun kepercayaannya, dan ketika saatnya tiba, aku akan menghancurkan semuanya.”

Reza tertawa kecil, mengangkat cangkir kopinya seakan memberi penghormatan kepada tekad Adira. “Sebuah rencana yang menarik. Tapi hati-hati, Adira. Dendam bisa jadi senjata yang tajam—bisa melukai orang lain, tapi juga bisa melukai dirimu sendiri.”

Adira menatap lurus ke mata Reza. “Hatiku sudah mati, Reza. Tidak ada yang bisa melukai sesuatu yang sudah tidak hidup.”

Reza menghela napas panjang sebelum akhirnya tersenyum. “Kalau begitu, mari kita mulai permainan ini.”

Malam itu, dalam kegelapan yang pekat, sebuah rencana baru telah lahir. Sebuah rencana yang akan mengubah segalanya.

Bab 4 Permainan Dimulai

Angin malam berhembus pelan, membelai wajah Nayla yang berdiri di balkon apartemennya. Dari ketinggian lantai dua puluh, ia bisa melihat gemerlap kota yang tidak pernah tidur. Tapi matanya tidak memandang keindahan itu. Ia terjebak dalam pusaran pikirannya sendiri. Malam ini, permainan yang ia rancang selama bertahun-tahun akan dimulai.

Telepon genggamnya bergetar. Nama yang terpampang di layar membuat sudut bibirnya terangkat. Dengan nada santai, ia menjawab, “Halo, Adrian. Apa kabar?”

Di ujung sana, suara lelaki itu terdengar hangat seperti dulu, seolah tidak pernah terjadi apa-apa di antara mereka. “Nayla, sudah lama kita tidak bertemu. Aku merindukanmu.”

Nayla terkekeh pelan. “Merindukanku? Lucu sekali. Bukankah kau sudah punya seseorang yang menggantikan aku?”

Adrian terdiam sejenak sebelum menjawab, “Itu sudah berlalu. Aku ingin menebus kesalahanku, Nayla. Aku ingin memperbaiki semuanya.”

Hati Nayla mencemooh kata-kata itu. Ia sudah belajar bahwa kata-kata manis dari seorang pengkhianat tak lebih dari racun yang membius. Tapi ia tidak akan menolaknya. Tidak sekarang. “Baiklah, kita bisa bertemu besok. Ada tempat yang ingin kutunjukkan padamu.”

Keesokan harinya, Adrian datang ke restoran yang telah Nayla pilih. Tempat itu bukan sekadar tempat makan, tapi saksi bisu dari segala kepedihan yang pernah ia alami. Di sudut ruangan itulah, dua tahun lalu, ia melihat sendiri Adrian mencium wanita lain dengan penuh gairah. Sejak hari itu, Nayla bersumpah akan membuatnya merasakan sakit yang sama.

“Kau tampak cantik seperti biasa,” kata Adrian ketika Nayla datang dengan gaun hitam elegan yang membalut tubuhnya sempurna. Matanya menyapu wajah wanita itu dengan penuh kekaguman.

Nayla tersenyum kecil, lalu duduk di depannya. “Dan kau masih seperti dulu, Adrian. Selalu tahu cara berbicara yang membuat wanita merasa istimewa.”

Pelayan datang, membawa daftar menu. Nayla memesan wine, sesuatu yang tidak pernah ia minum sebelumnya di hadapan Adrian. Ia ingin melihat reaksinya. Dan benar saja, lelaki itu mengernyit heran. “Kau minum alkohol sekarang? Dulu kau bilang tidak suka.”

Nayla tersenyum misterius. “Banyak hal berubah dalam dua tahun terakhir.”

Obrolan berlanjut dengan Adrian menceritakan hidupnya, bagaimana ia merasa hampa setelah kehilangan Nayla. Tapi setiap kata yang keluar dari mulutnya seperti duri bagi Nayla. Semua kebohongan itu tak akan bisa menghapus kenyataan bahwa ia telah menghancurkan hidupnya.

Saat itulah Nayla mengambil langkah pertama dalam permainan ini. “Adrian, aku ingin tahu sesuatu. Jika waktu bisa diputar kembali, apakah kau akan tetap memilihku?”

Mata Adrian melembut. “Tentu saja. Aku menyesali semuanya. Aku ingin kau kembali.”

Nayla menatapnya dalam-dalam, seolah membaca kebohongan yang tersembunyi di balik matanya. Ia tersenyum tipis dan berkata, “Kalau begitu, buat aku percaya.”

Adrian terlihat sedikit bingung. “Maksudmu?”

“Buktikan kalau kau benar-benar ingin memperbaiki semuanya,” jawab Nayla dengan nada yang terdengar seperti tantangan. “Aku tidak mudah percaya lagi, Adrian. Jadi tunjukkan padaku bahwa kau pantas mendapatkan kesempatan kedua.”

Dan di situlah semuanya dimulai. Permainan yang Nayla ciptakan dengan hati yang penuh luka. Ia ingin Adrian merasakan ketidakpastian, merasakan harapan, lalu dihancurkan dengan cara yang sama seperti yang pernah dialaminya.

Adrian berpikir bahwa ini adalah kesempatan untuk kembali mendapatkan cinta Nayla. Tapi Nayla tahu lebih baik. Ini bukan tentang cinta. Ini tentang balas dendam yang telah ia rancang dengan cermat selama bertahun-tahun.

Dalam permainan ini, hanya ada satu pemenang. Dan itu bukan Adrian.

Bab 5 Menghidupkan Cinta yang Palsu

Hawa dingin menelusup di antara celah jendela kamar ketika Nayla berdiri di depan cermin, menatap refleksi dirinya yang tampak begitu asing. Gaun satin berwarna merah anggur yang melekat di tubuhnya seolah menjadi simbol dari permainan yang kini harus ia jalani. Hatinya terhimpit dalam rasa sesak, tapi bibirnya tetap melengkungkan senyum yang tak lebih dari sekadar topeng.

Pernikahannya dengan Revan bukanlah takdir yang ia harapkan. Itu adalah sebuah jebakan yang ia ciptakan sendiri, bagian dari rencana balas dendam yang telah ia susun bertahun-tahun. Namun, siapa sangka bahwa kini ia harus memainkan peran sebagai seorang istri yang penuh kasih sayang? Bukan karena ia menginginkannya, tetapi karena Revan mulai mencurigai sesuatu.

“Nay, kamu siap?” suara berat Revan terdengar dari balik pintu.

Nayla menarik napas panjang sebelum berbalik dan membuka pintu. Di hadapannya, Revan berdiri dengan setelan jas yang membuatnya terlihat semakin berwibawa. Sorot matanya penuh dengan keteduhan, seakan benar-benar mencintai wanita yang kini menjadi istrinya. Nayla menelan kepahitan di tenggorokannya.

“Ya, aku siap,” jawabnya dengan suara selembut mungkin.

Mereka berjalan berdampingan ke ruang makan, tempat di mana orang tua mereka sudah menunggu. Malam ini adalah makan malam keluarga, sebuah tradisi yang baru pertama kali ia jalani setelah resmi menjadi istri Revan. Dia harus meyakinkan semua orang bahwa pernikahan ini adalah tentang cinta, bukan tentang kepalsuan yang ia ciptakan.

Sepanjang makan malam, Nayla memainkan perannya dengan sempurna. Ia tersenyum, tertawa pada lelucon ringan yang dilontarkan Revan, bahkan sesekali menyentuh tangannya dengan penuh kelembutan. Tidak ada satu pun yang mencurigai bahwa hatinya penuh dengan dendam.

Namun, di balik semua sandiwara itu, ada satu hal yang mulai mengganggunya—tatapan Revan yang terasa semakin dalam. Seolah pria itu sedang mencoba menembus lapisan kebohongan yang telah ia bangun. Nayla tahu bahwa Revan bukan pria bodoh. Ia seorang pengusaha cerdas yang tidak mudah dibohongi. Jika Nayla lengah sedikit saja, rencananya bisa berantakan.

Saat makan malam usai, Revan mengajak Nayla ke taman belakang rumah mereka. Cahaya bulan menerangi wajah mereka, memberikan suasana yang begitu romantis. Nayla merasa jantungnya berdetak lebih cepat ketika Revan menggenggam tangannya.

“Aku ingin bertanya sesuatu,” kata Revan dengan suara yang lebih lembut dari biasanya.

Nayla menelan ludah. “Apa?”

“Kenapa rasanya kamu berbeda?”

Jantung Nayla hampir berhenti. “Berbeda bagaimana?”

Revan menatapnya dalam-dalam. “Kamu selalu terlihat begitu sempurna di hadapan orang lain, tapi ketika kita hanya berdua seperti ini… rasanya ada sesuatu yang kamu sembunyikan.”

Nayla berusaha keras menenangkan dirinya. Ia harus tetap bermain dalam peran ini.

“Aku hanya butuh waktu, Revan,” jawabnya pelan. “Aku belum terbiasa dengan kehidupan pernikahan. Semuanya terasa begitu cepat.”

Revan mengangguk, meskipun tatapan matanya menunjukkan bahwa ia belum sepenuhnya percaya. Pria itu kemudian menarik tubuh Nayla ke dalam pelukannya.

“Aku ingin kita benar-benar menjadi suami istri, Nay. Aku ingin kamu membuka hatimu untukku.”

Kata-kata itu membuat dada Nayla terasa sesak. Ini bukan bagian dari rencananya. Ia hanya ingin Revan merasakan sakit seperti yang pernah ia rasakan. Ia ingin pria itu jatuh, hanya untuk kemudian ia hancurkan. Tetapi, mengapa hatinya mulai bergetar?

Malam itu, ketika mereka kembali ke kamar, Nayla duduk di tepi ranjang sementara Revan berdiri di dekat jendela. Sejenak, hanya keheningan yang menyelimuti mereka.

“Apa yang sebenarnya ada di dalam hatimu, Nay?”

Pertanyaan itu mengguncang dinding pertahanan Nayla. Ia tidak bisa membiarkan dirinya terjebak dalam permainan ini. Ia harus tetap fokus pada tujuan awalnya. Dengan langkah ringan, ia mendekati Revan, lalu meletakkan tangannya di dada pria itu.

“Aku hanya butuh waktu, Revan.”

Malam itu, mereka tidur berdampingan. Bagi Revan, mungkin ini adalah awal dari kebersamaan mereka sebagai pasangan suami istri yang sesungguhnya. Namun, bagi Nayla, ini hanyalah langkah berikutnya dalam permainan panjang yang ia jalani. Hanya saja, permainan ini mulai terasa berbeda. Ada sesuatu dalam dirinya yang perlahan berubah, sesuatu yang membuatnya takut.

Akankah ia benar-benar berhasil membalas dendam, atau justru tenggelam dalam kebohongan yang ia ciptakan sendiri?

Bab 6 Kejatuhan Orang yang Dulu Menyakiti

Sinar matahari pagi menerobos melalui celah-celah tirai kamar hotel mewah yang dulunya selalu menjadi tempat peristirahatan nyaman bagi Reza. Kini, cahaya itu terasa menyilaukan, seperti mengolok-olok kehancurannya yang sedang terjadi. Dulu, ia berdiri di puncak kejayaan, dihormati banyak orang, dan memiliki segalanya. Namun, tak ada yang pernah menyangka bahwa Reza, pria yang pernah melukai hati Alana dengan begitu kejam, kini berada di ambang kehancuran.

Ponselnya terus bergetar di meja nakas. Notifikasi demi notifikasi munculemail pembatalan kerja sama, pesan-pesan dari para investor yang menarik dana mereka, hingga pemberitahuan bank tentang saldo rekeningnya yang semakin menipis. Reza memijit pelipisnya, mencoba memahami bagaimana semuanya bisa berubah begitu cepat. Perusahaan yang ia bangun dengan ambisi besar kini berada di ambang kebangkrutan. Ia telah kehilangan segalanyaharta, kepercayaan, dan yang paling ia benci akui, dirinya sendiri.

Alana menatap layar televisi di apartemennya dengan ekspresi datar. Berita tentang kejatuhan Reza kini menjadi perbincangan hangat di berbagai media. Video yang memperlihatkan salah satu proyek besar perusahaannya terbukti melakukan kecurangan telah menjadi viral. Kredibilitasnya sebagai pebisnis ternama hancur dalam semalam.

Namun, Alana tidak merasa puas. Dulu, ia mungkin akan mengharapkan momen ini dengan penuh kebencian, menganggapnya sebagai karma yang pantas diterima oleh pria yang telah mengkhianatinya. Tapi sekarang, ada kehampaan yang tidak bisa ia jelaskan. Perasaan marah yang bertahun-tahun ia pendam kini terasa hambar.

Ponsel Alana berbunyi. Sebuah pesan dari sahabatnya, Dita, masuk.

*“Sudah lihat berita? Reza akhirnya jatuh juga. Aku ingat betul bagaimana dia menghancurkan hidupmu dulu. Apa kau senang sekarang?”*

Alana mengetik balasan, namun jari-jarinya berhenti di atas layar. Apakah ia benar-benar senang? Ia tidak tahu. Yang jelas, ada perasaan aneh yang menyusup ke dalam hatinya. Bukan rasa puas, melainkan iba.

Tanpa sadar, pikirannya kembali ke masa lalu.

Dua tahun lalu, Reza adalah segalanya baginya. Pria itu memasuki hidupnya seperti badai yang membawa kebahagiaan sekaligus kehancuran. Alana mencintainya dengan segenap hati, percaya bahwa pria itu adalah takdirnya. Namun, kepercayaannya hancur saat ia mendapati Reza berselingkuh dengan sekretarisnya sendiri. Tak hanya itu, Reza bahkan menghina perasaannya, menyebut cintanya sebagai beban dan mengusirnya dari hidupnya dengan cara yang begitu kejam.

Saat itu, dunia Alana runtuh. Hatinya hancur berkeping-keping, dan ia berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak pernah lagi membiarkan pria itu menyakitinya. Namun, siapa yang menyangka bahwa dunia berputar begitu cepat? Kini, pria yang pernah berdiri tinggi itu justru jatuh ke jurang kehancuran.

Reza menatap layar ponselnya yang menampilkan panggilan tak terjawab dari berbagai pihak. Namun, tak satu pun dari mereka benar-benar peduli. Semua orang yang dulu menjilatnya, kini meninggalkannya. Reza merasakan kehampaan yang menyesakkan.

Pikirannya terus melayang pada satu nama—Alana. Entah mengapa, ia merasa bahwa perempuan itu mungkin satu-satunya yang bisa mengerti betapa menyakitkannya kejatuhan ini. Ia pernah menyakiti Alana dengan cara yang begitu keji, dan kini, takdir seakan mengembalikan rasa sakit itu kepadanya.

Dengan ragu, Reza membuka kontaknya dan mengetik pesan singkat:

*“Alana, bolehkah kita bertemu?”*

Tak ada balasan. Reza menunggu, namun layar ponselnya tetap kosong. Napasnya berat, seakan beban yang ia pikul semakin menekan dada. Ia tahu, ini bukan sekadar tentang perusahaannya yang bangkrut. Ini tentang dirinya yang telah kehilangan orang-orang yang benar-benar berharga dalam hidupnya.

Alana menatap layar ponselnya yang menunjukkan pesan dari Reza. Tangannya gemetar. Ia bisa saja mengabaikan pesan itu, membiarkannya menderita seperti dulu pria itu membiarkannya menangis tanpa henti. Namun, ada dorongan dalam hatinya yang mengatakan bahwa ia perlu melihatnya sekali lagi.

Malam itu, mereka bertemu di sebuah kafe kecil yang dulu sering mereka kunjungi. Reza tampak jauh berbeda dari yang Alana ingat. Wajahnya lebih pucat, sorot matanya penuh kelelahan. Bukan lagi pria arogan yang dulu selalu memandangnya dengan kesombongan.

“Aku tahu aku tak pantas meminta waktu darimu,” kata Reza pelan, suaranya terdengar lebih berat dari sebelumnya. “Tapi aku hanya ingin meminta maaf. Aku telah menyakitimu, dan aku menyesal.”

Alana menatapnya lama. Jika ini terjadi beberapa tahun lalu, mungkin ia akan merasa puas melihat pria itu menderita. Namun kini, yang ia rasakan hanyalah kelelahan.

“Apa kau meminta maaf karena benar-benar menyesal, atau karena kau sedang dalam kehancuran?” tanya Alana, suaranya datar.

Reza terdiam. Ia tidak bisa menjawab. Karena sejujurnya, ia pun tak tahu. Ia hanya tahu bahwa melihat Alana kembali memberinya perasaan yang belum pernah ia rasakan selama ini. Bukan hanya rasa bersalah, tapi juga kerinduan yang mendalam.

“Aku tak mengharapkan kau memaafkanku,” lanjut Reza. “Aku hanya ingin kau tahu bahwa aku menyadari kesalahanku. Dan aku ingin berubah.”

Alana menghela napas. Matanya menatap secangkir kopi di hadapannya, seperti mencari jawaban di dalam cairan hitam itu. Dendamnya sudah lama mati. Namun, itu tidak berarti ia bisa begitu saja menerima Reza kembali.

“Reza, kau benar, aku memang sudah memaafkanmu,” kata Alana akhirnya. “Tapi itu bukan berarti aku akan kembali padamu. Hatiku sudah mati untukmu.”

Reza menutup matanya sejenak. Kalimat itu menusuknya lebih dalam dari apa pun. Ia tahu ia telah terlambat. Namun, setidaknya, ia telah mengakui kesalahannya.

Alana berdiri, menyambar tasnya. Ia tak ingin berada di sana lebih lama lagi. Saat ia melangkah pergi, Reza hanya bisa menatap punggungnya yang menjauh. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia benar-benar merasakan kehilangan.

Dan kali ini, tak ada yang bisa ia lakukan untuk mengubahnya.

Bab 7 Pengakuan dan Luka Baru

Malam itu, angin berembus lembut, membawa aroma tanah basah setelah hujan reda. Di balkon kamarnya, Alina berdiri memandang langit yang gelap, dipenuhi bintang yang berkelip samar. Hatinya gelisah, pikirannya penuh dengan pertanyaan yang tak kunjung mendapat jawaban. Sejak pertemuannya kembali dengan Reza, perasaannya bagaikan badai yang tak kunjung reda. Dendam, cinta, luka, dan kerinduan bercampur aduk dalam hatinya.

Reza. Nama itu dulu membawa kebahagiaan, tetapi kini hanya menyisakan pahitnya kenangan yang ingin dikuburnya dalam-dalam. Namun, tak peduli seberapa keras ia mencoba melupakan, sosok itu terus menghantuinya. Dia bukan lagi pria yang dulu ia kenal. Ada sesuatu yang berbeda dari tatapan matanya, dari caranya berbicara, seolah ada rahasia besar yang ia sembunyikan.

Di sudut kota yang sama, Reza duduk di dalam mobilnya, menatap kosong ke depan. Jemarinya mengepal setir dengan kuat, seakan sedang menahan sesuatu yang ingin meledak. Pertemuannya kembali dengan Alina benar-benar mengguncangnya. Ia tidak menyangka akan melihat gadis itu lagi setelah bertahun-tahun berpisah dengan cara yang begitu menyakitkan.

Dulu, Reza mengira bahwa pergi adalah keputusan terbaik. Ia yakin dengan menjauh, Alina bisa hidup lebih baik. Namun, kini ia menyadari bahwa kepergiannya justru meninggalkan luka yang lebih dalam. Dan lebih buruk lagi, ia baru mengetahui kebenaran yang selama ini disembunyikan darinya.

“Alina,” gumamnya pelan, seakan nama itu adalah doa yang tak berani ia panjatkan dengan lantang.

Sebuah suara di ponselnya membuyarkan lamunannya. Dengan malas, ia meraih ponsel yang bergetar di dashboard.

“Bagaimana?” Suara di seberang terdengar tegas.

“Aku menemukannya,” jawab Reza singkat.

“Dan? Apa dia masih membencimu?”

Reza terdiam sesaat. “Aku tidak tahu apakah itu kebencian atau rasa sakit yang belum sembuh. Tapi yang jelas, dia tidak ingin melihatku lagi.”

“Lalu, apa kau akan menyerah?”

Reza menghela napas panjang. “Tidak. Aku harus mengatakan yang sebenarnya.”

Keesokan harinya, Alina sedang menikmati secangkir kopi di kafe favoritnya ketika seorang pelayan mendekat, membawa sepucuk surat kecil.

“Ini dari pria di meja sudut sana, Mbak,” kata pelayan itu sambil menunjuk ke arah seseorang.

Dengan enggan, Alina mengalihkan pandangannya ke meja yang dimaksud. Dan saat matanya menangkap sosok yang duduk di sana, jantungnya berdebar lebih cepat. Reza. Lagi-lagi pria itu muncul di hadapannya.

Alina menatap surat itu dengan ragu, tetapi akhirnya ia mengambilnya dan membukanya perlahan.

_*Temui aku sebentar. Aku punya sesuatu yang harus kukatakan. Ini penting.*_

Alina menggigit bibirnya, hatinya berdebat dengan akal sehatnya. Ia bisa saja mengabaikan permintaan itu, tapi bagian terdalam hatinya ingin tahu apa yang akan dikatakan pria itu.

Dengan langkah berat, ia menuju meja tempat Reza duduk. Pria itu menatapnya dengan ekspresi yang sulit diartikan. Ada kerinduan di sana, ada penyesalan, tapi juga ada sesuatu yang lain—sesuatu yang lebih dalam.

“Apa lagi yang kau inginkan?” tanya Alina dingin.

Reza menatapnya dalam, lalu mengambil napas dalam-dalam. “Aku tidak akan memaksamu untuk memaafkanku. Aku tahu aku sudah menyakitimu, dan aku mungkin tidak akan pernah bisa memperbaiki semuanya. Tapi ada satu hal yang harus kau tahu.”

Alina melipat tangannya di dada, bersiap mendengar kebohongan lainnya.

“Aku tidak pernah meninggalkanmu karena aku ingin,” lanjut Reza. “Ada alasan di balik semua itu, dan aku berhutang penjelasan kepadamu.”

“Penjelasan?” Alina tersenyum sinis. “Setelah bertahun-tahun? Setelah semua yang kau lakukan? Aku tidak butuh alasan, Reza. Semua sudah terlambat.”

“Tidak, Alina. Kau harus tahu kebenarannya.” Reza menelan ludah sebelum melanjutkan. “Aku dipaksa pergi.”

Alina tertegun. Kata-kata itu menggema di kepalanya. “Apa maksudmu?”

“Keluargaku… Mereka mengancam akan menghancurkan keluargamu jika aku tetap bersamamu. Mereka tidak akan membiarkan kita bersama, Alina. Dan aku tidak punya pilihan lain selain menjauh, demi keselamatanmu.”

Hening. Dunia seolah berhenti berputar.

Alina ingin tertawa. Ia ingin marah. Tetapi yang bisa ia lakukan hanyalah menatap Reza dengan tatapan tak percaya.

“Kau berbohong,” katanya lirih. “Jika itu benar, kenapa kau tidak pernah mengatakan sesuatu? Kenapa kau hanya pergi tanpa perpisahan?”

“Karena aku takut,” Reza mengakui dengan suara bergetar. “Aku takut mereka akan benar-benar menyakitimu jika aku menentang mereka. Aku pikir dengan pergi, aku bisa melindungimu. Aku tidak tahu bahwa kepergianku justru menghancurkanmu.”

Air mata menggenang di mata Alina, tetapi ia menolaknya untuk jatuh. “Jadi, setelah semua ini, kau datang hanya untuk mengatakan itu? Untuk membangkitkan luka yang sudah mati?”

Reza terdiam. “Aku ingin kau tahu yang sebenarnya. Dan jika kau mau, aku ingin memperbaiki semuanya. Aku ingin kita punya kesempatan lagi.”

Alina menggeleng. “Hatiku sudah mati untukmu, Reza. Dan luka ini… tidak akan pernah sembuh.”

Reza menundukkan kepalanya. Ia tahu, seberapa pun ia mencoba, mungkin ia telah kehilangan Alina selamanya.

Namun, satu hal yang ia yakini—ia tidak akan menyerah begitu saja.

Di sudut kota yang sama, Reza duduk di dalam mobilnya, menatap kosong ke depan. Jemarinya mengepal setir dengan kuat, seakan sedang menahan sesuatu yang ingin meledak. Pertemuannya kembali dengan Alina benar-benar mengguncangnya. Ia tidak menyangka akan melihat gadis itu lagi setelah bertahun-tahun berpisah dengan cara yang begitu menyakitkan.

Dulu, Reza mengira bahwa pergi adalah keputusan terbaik. Ia yakin dengan menjauh, Alina bisa hidup lebih baik. Namun, kini ia menyadari bahwa kepergiannya justru meninggalkan luka yang lebih dalam. Dan lebih buruk lagi, ia baru mengetahui kebenaran yang selama ini disembunyikan darinya.

“Alina,” gumamnya pelan, seakan nama itu adalah doa yang tak berani ia panjatkan dengan lantang.

Sebuah suara di ponselnya membuyarkan lamunannya. Dengan malas, ia meraih ponsel yang bergetar di dashboard.

“Bagaimana?” Suara di seberang terdengar tegas.

“Aku menemukannya,” jawab Reza singkat.

“Dan? Apa dia masih membencimu?”

Reza terdiam sesaat. “Aku tidak tahu apakah itu kebencian atau rasa sakit yang belum sembuh. Tapi yang jelas, dia tidak ingin melihatku lagi.”

“Lalu, apa kau akan menyerah?”

Reza menghela napas panjang. “Tidak. Aku harus mengatakan yang sebenarnya.”

Keesokan harinya, Alina sedang menikmati secangkir kopi di kafe favoritnya ketika seorang pelayan mendekat, membawa sepucuk surat kecil.

“Ini dari pria di meja sudut sana, Mbak,” kata pelayan itu sambil menunjuk ke arah seseorang.

Dengan enggan, Alina mengalihkan pandangannya ke meja yang dimaksud. Dan saat matanya menangkap sosok yang duduk di sana, jantungnya berdebar lebih cepat. Reza. Lagi-lagi pria itu muncul di hadapannya.

Alina menatap surat itu dengan ragu, tetapi akhirnya ia mengambilnya dan membukanya perlahan.

_*Temui aku sebentar. Aku punya sesuatu yang harus kukatakan. Ini penting.*_

Alina menggigit bibirnya, hatinya berdebat dengan akal sehatnya. Ia bisa saja mengabaikan permintaan itu, tapi bagian terdalam hatinya ingin tahu apa yang akan dikatakan pria itu.

Dengan langkah berat, ia menuju meja tempat Reza duduk. Pria itu menatapnya dengan ekspresi yang sulit diartikan. Ada kerinduan di sana, ada penyesalan, tapi juga ada sesuatu yang lain—sesuatu yang lebih dalam.

“Apa lagi yang kau inginkan?” tanya Alina dingin.

Reza menatapnya dalam, lalu mengambil napas dalam-dalam. “Aku tidak akan memaksamu untuk memaafkanku. Aku tahu aku sudah menyakitimu, dan aku mungkin tidak akan pernah bisa memperbaiki semuanya. Tapi ada satu hal yang harus kau tahu.”

Alina melipat tangannya di dada, bersiap mendengar kebohongan lainnya.

“Aku tidak pernah meninggalkanmu karena aku ingin,” lanjut Reza. “Ada alasan di balik semua itu, dan aku berhutang penjelasan kepadamu.”

“Penjelasan?” Alina tersenyum sinis. “Setelah bertahun-tahun? Setelah semua yang kau lakukan? Aku tidak butuh alasan, Reza. Semua sudah terlambat.”

“Tidak, Alina. Kau harus tahu kebenarannya.” Reza menelan ludah sebelum melanjutkan. “Aku dipaksa pergi.”

Alina tertegun. Kata-kata itu menggema di kepalanya. “Apa maksudmu?”

“Keluargaku… Mereka mengancam akan menghancurkan keluargamu jika aku tetap bersamamu. Mereka tidak akan membiarkan kita bersama, Alina. Dan aku tidak punya pilihan lain selain menjauh, demi keselamatanmu.”

Hening. Dunia seolah berhenti berputar.

Alina ingin tertawa. Ia ingin marah. Tetapi yang bisa ia lakukan hanyalah menatap Reza dengan tatapan tak percaya.

“Kau berbohong,” katanya lirih. “Jika itu benar, kenapa kau tidak pernah mengatakan sesuatu? Kenapa kau hanya pergi tanpa perpisahan?”

“Karena aku takut,” Reza mengakui dengan suara bergetar. “Aku takut mereka akan benar-benar menyakitimu jika aku menentang mereka. Aku pikir dengan pergi, aku bisa melindungimu. Aku tidak tahu bahwa kepergianku justru menghancurkanmu.”

Air mata menggenang di mata Alina, tetapi ia menolaknya untuk jatuh. “Jadi, setelah semua ini, kau datang hanya untuk mengatakan itu? Untuk membangkitkan luka yang sudah mati?”

Reza terdiam. “Aku ingin kau tahu yang sebenarnya. Dan jika kau mau, aku ingin memperbaiki semuanya. Aku ingin kita punya kesempatan lagi.”

Alina menggeleng. “Hatiku sudah mati untukmu, Reza. Dan luka ini… tidak akan pernah sembuh.”

Reza menundukkan kepalanya. Ia tahu, seberapa pun ia mencoba, mungkin ia telah kehilangan Alina selamanya.

Namun, satu hal yang ia yakini—ia tidak akan menyerah begitu saja.

Saat Alina beranjak pergi, langkahnya terasa berat. Meski hatinya mengatakan bahwa ia tak ingin kembali, ada bagian kecil dalam dirinya yang mempertanyakan apakah perasaan itu benar-benar telah mati. Apakah ia benar-benar tak bisa memaafkan?

Di luar kafe, angin malam kembali berembus. Menyapu debu luka yang belum sepenuhnya pudar.

 

 

 

Source: DELA SAYFA
Tags: #Romansa #DendamCinta #PertemuanKembali #PengakuanMasaLalu #LukaHati
Previous Post

rahasia diantara kita

Next Post

DILEMA CINTA SEGITIGA

Related Posts

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

May 17, 2025
KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

May 16, 2025
KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

May 15, 2025
RINDU YANG MENYULUT AMARAH

RINDU YANG MENYULUT AMARAH

May 14, 2025
SAAT LUKA MENJADI CINTA

SAAT LUKA MENJADI CINTA

May 13, 2025
JANJI YANG MANIS DI BALIK PENGKHIANATAN

JANJI YANG MANIS DI BALIK PENGKHIANATAN

May 12, 2025
Next Post
DILEMA CINTA SEGITIGA

DILEMA CINTA SEGITIGA

DI UJUNG SENYUMMU, CINTA PERTAMA

DI UJUNG SENYUMMU, CINTA PERTAMA

PENGORBANAN CINTA

PENGORBANAN CINTA

Top Stories

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

May 17, 2025
KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

May 16, 2025
KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

May 15, 2025

Tentang Kisah Cinta

Kami menyajikan kumpulan novel dan cerpen cinta yang menggambarkan berbagai sisi cinta, dari yang manis hingga yang pahit, dari yang bahagia hingga yang menyayat hati

Connect on Social

© 2024 Kisahcinta.id

No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta

© 2024 Kisahcinta.id