Daftar Isi
BAB 1: Awal Pertemuan yang Tak Terlupakan
Memperkenalkan tokoh utama (misalnya: Alya dan Rian), tempat mereka pertama kali bertemu (misalnya: di sebuah konser musik, kafe kecil, atau acara komunitas).
Alya adalah seorang wanita yang pendiam dan suka menulis, sementara Rian adalah sosok yang terbuka dan penuh semangat. Keduanya bertemu secara kebetulan, namun ada koneksi yang kuat di antara mereka, meskipun tidak langsung diungkapkan.
Mereka saling tertarik, tetapi karena berbagai alasan, mereka tidak bisa melanjutkan hubungan lebih jauh. Mereka berpisah tanpa ada janji atau harapan yang jelas, namun keduanya tetap merasakan ada sesuatu yang tertinggal. Alya mulai merasakan kerinduan, namun tidak tahu bagaimana menghadapinya.
Alya tidak pernah menyangka bahwa sebuah hari biasa akan mengubah hidupnya selamanya. Pagi itu dimulai dengan kesibukannya yang biasa—berangkat ke kampus dengan langkah yang sedikit malas, menyusuri jalan setapak yang sama setiap hari, melewati gedung-gedung tua yang sudah tak asing lagi di pandangannya. Udara pagi yang sejuk mengingatkan pada banyak kenangan lama, namun tak ada yang spesial. Hari itu seharusnya menjadi hari biasa, seperti hari-hari sebelumnya.
Namun, ketika ia melangkah masuk ke dalam aula kampus, suasana di dalam terasa sedikit berbeda. Ada lebih banyak mahasiswa dari biasanya, bahkan beberapa orang yang tampaknya baru pertama kali datang. Ternyata, hari itu adalah hari acara tahunan yang diadakan oleh komunitas musik kampus, sebuah konser kecil yang menampilkan band-band indie yang digemari banyak mahasiswa. Alya yang tidak begitu tertarik pada musik, hanya datang karena teman-temannya memintanya untuk bergabung.
Meskipun Alya bukan tipe orang yang suka keramaian, ada sesuatu yang menarik di dalam ruangan itu—sesuatu yang membuatnya merasa agak canggung, tetapi sekaligus terpesona. Lampu-lampu temaram dan musik yang mengalun lembut mengisi udara, memberi kesan hangat dan penuh energi. Ia berjalan perlahan menuju barisan belakang kursi, memilih tempat yang cukup jauh dari keramaian, agar bisa merasa nyaman. Alya lebih suka mengamati daripada berpartisipasi, dan hari itu ia hanya ingin menikmati malam dengan tenang, dengan secangkir kopi hangat di tangan.
Tanpa disadari, ia melangkah terlalu dekat dengan panggung tempat para musisi sedang mempersiapkan alat-alat mereka. Di sana, di tengah kerumunan yang bergerak, Alya merasakan sebuah sentuhan ringan di bahunya. Ia menoleh dengan cepat dan melihat seorang pria yang tampaknya juga baru saja bergabung di acara itu. Pria itu tersenyum lebar, menunjukkan ekspresi ramah yang membuat Alya sedikit terkejut.
“Maaf, aku tidak sengaja menghalangi jalanmu,” kata pria itu dengan suara lembut, namun penuh percaya diri.
Alya hanya bisa tersenyum malu, sedikit kikuk. “Tidak masalah,” jawabnya pelan, berusaha menghindari kontak mata terlalu lama.
Pria itu terlihat lebih tua dari kebanyakan mahasiswa lainnya. Matanya yang cokelat tua berkilau dalam cahaya panggung yang redup, seolah menyimpan berbagai cerita yang belum terungkap. Rambutnya sedikit berantakan, dan ia mengenakan jaket kulit yang memberi kesan santai namun tetap berkelas. Meskipun tidak mengenalnya, ada sesuatu tentang pria itu yang membuat Alya merasa penasaran.
“Nama aku Rian,” kata pria itu, masih dengan senyum yang tidak luntur. “Aku belum pernah melihatmu di sini sebelumnya. Kamu suka musik indie?”
Alya merasa sedikit terkejut, tetapi dia tidak bisa menahan rasa ingin tahunya. “Aku tidak terlalu sering datang ke acara seperti ini. Teman-temanku yang mengajak,” jawabnya, sedikit ragu.
Rian tertawa pelan. “Aku juga sama. Awalnya cuma iseng, tapi ternyata aku cukup menikmati. Jadi, kamu bukan penggemar berat musik indie?”
Alya menggelengkan kepala. “Bukan benar-benar penggemar. Tapi aku suka beberapa lagu. Musik bisa jadi teman yang baik saat kamu membutuhkan ketenangan.”
Rian tersenyum lagi, seolah bisa memahami apa yang Alya rasakan. “Itulah yang aku suka dari musik. Kadang, kamu tidak perlu mengerti semua liriknya. Cukup dengar, dan itu bisa membuatmu merasa lebih baik.”
Kata-kata Rian begitu mengalir, dan Alya merasa nyaman berbicara dengannya, meskipun baru pertama kali bertemu. Suasana di sekitar mereka terasa seperti menghilang, dan Alya merasa terhubung dengan pria ini lebih cepat daripada yang ia duga.
Konser itu dimulai dengan suasana yang meriah, tetapi Alya dan Rian tetap berada di sudut ruangan, berbicara tanpa terburu-buru. Percakapan mereka mengalir begitu saja, dari satu topik ke topik lainnya. Mereka berbicara tentang musik, tentang kuliah, dan akhirnya beralih ke hal-hal yang lebih pribadi. Alya menceritakan sedikit tentang dirinya, bagaimana ia lebih suka menghabiskan waktu sendirian, membaca buku, atau menulis di jurnalnya.
Rian, dengan gaya bicaranya yang ringan, menceritakan bagaimana ia sering merasa tidak nyaman berada di tengah keramaian, meskipun ia terbilang cukup ramah. “Kadang aku merasa lebih tenang ketika hanya berbicara dengan beberapa orang saja,” kata Rian dengan nada yang lebih serius.
Alya mengangguk, merasa ada kesamaan antara mereka. “Aku juga begitu. Meskipun aku suka bertemu orang baru, aku lebih suka berbicara dengan sedikit orang yang benar-benar bisa aku ajak ngobrol.”
Percakapan itu berlanjut dengan kesan yang semakin mendalam. Meskipun mereka baru saja bertemu, ada semacam ikatan yang terbentuk antara mereka. Alya merasa seolah-olah ia bisa berbicara tentang banyak hal dengan Rian, tanpa takut dihakimi atau disalahpahami. Rian, di sisi lain, merasa nyaman dengan kehadiran Alya. Ia menghargai ketenangan yang dimiliki gadis itu, sesuatu yang jarang ia temui dalam dunia yang sering kali sibuk dan bising.
Waktu berlalu tanpa mereka sadari. Mereka terlarut dalam percakapan, saling tertawa dan berbagi cerita. Tak terasa, konser selesai, dan orang-orang mulai meninggalkan tempat itu. Namun, Alya dan Rian tetap duduk di sana, enggan berpisah. Rian melihat jam tangannya dan tersenyum kecut.
“Sepertinya kita sudah hampir sendirian di sini,” katanya, berusaha mencairkan suasana.
Alya tersenyum, meski hatinya sedikit berat. “Ya, sepertinya begitu. Tapi aku senang bisa berbicara denganmu.”
Rian mengangguk, tampak tidak ingin pertemuan itu berakhir. “Aku juga. Aku tidak menyangka pertemuan pertama kita akan seperti ini. Mungkin kita bisa bertemu lagi nanti.”
Alya terdiam sejenak, memikirkan kata-kata Rian. Ia merasa ada sesuatu yang lebih dari sekadar percakapan biasa. Namun, ia tidak ingin terlalu cepat berharap. “Mungkin,” jawabnya dengan suara pelan, mencoba menyembunyikan perasaan yang mulai tumbuh.
Rian tersenyum, tetapi kali ini ada sedikit kesan kesedihan di matanya. “Aku akan menghubungimu kalau ada acara serupa lagi,” katanya dengan nada ringan.
Alya hanya mengangguk, meski hatinya berdebar-debar. Ia merasa aneh, seperti ada perasaan yang tumbuh begitu cepat, meskipun mereka baru saja bertemu. Namun, ia mencoba untuk menahan diri. Mungkin ini hanya perasaan sesaat, pikirnya.
Rian memberi salam perpisahan dengan senyuman, kemudian melangkah pergi. Alya tetap berdiri di tempatnya, memandangi pria itu yang perlahan menghilang di antara kerumunan. Sebuah perasaan yang sulit dijelaskan mengisi dadanya. Ada sesuatu yang berbeda tentang pria itu—sesuatu yang membuatnya ingin tahu lebih banyak.
Malam itu, Alya kembali ke kamarnya dengan pikiran yang penuh. Ia duduk di meja belajar, mencoba untuk kembali ke rutinitasnya, tetapi pikirannya terus kembali ke Rian. Senyumannya, cara bicaranya, cara ia mendengarkan semuanya terngiang dalam benaknya. Alya merasa aneh, merasa seperti ada sesuatu yang belum selesai, meskipun ia tahu mereka baru saja bertemu.
Beberapa hari berlalu, dan meskipun Alya berusaha untuk tidak terlalu memikirkan pertemuan itu, kenangan tentang Rian terus mengganggu pikirannya. Ia menyadari bahwa ia tidak pernah merasa seperti ini sebelumnya kerinduan yang tiba-tiba muncul tanpa alasan yang jelas.
Namun, ia tahu satu hal: pertemuan itu adalah awal dari sesuatu yang besar, sesuatu yang mungkin akan mengubah hidupnya. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, tetapi satu hal yang pasti—Rindu itu sudah mulai ada. Dan rasa rindu yang tak terukur itu akan terus mengisi ruang hatinya, meskipun ia berusaha untuk tidak memikirkannya.
Hari-hari setelah pertemuan itu berjalan dengan normal, atau setidaknya Alya berusaha untuk menjalani rutinitas seperti biasa. Ia kembali sibuk dengan kuliah, menghabiskan waktu di perpustakaan, dan mencoba untuk tetap fokus pada tugas-tugas yang menumpuk. Namun, di sela-sela kesibukan itu, pikirannya kembali berputar pada satu kejadian yang membuatnya merasa seperti ada sesuatu yang tak terungkap. Pertemuan dengan Rian adalah hal yang sederhana, tapi entah mengapa, begitu melekat dalam ingatannya.
Di kampus, teman-teman Alya mulai menyadari ada yang berbeda pada dirinya. Teman dekatnya, Sinta, yang selalu bisa membaca perasaan Alya, mulai bertanya-tanya.
“Alya, kamu kenapa sih? Kayaknya ada yang mengganggu pikiranmu akhir-akhir ini,” tanya Sinta suatu pagi, sambil duduk di samping Alya di meja makan saat mereka sarapan bersama di kafetaria kampus.
Alya hanya tersenyum, berusaha menyembunyikan rasa tidak nyaman yang mulai tumbuh di dadanya. “Aku nggak apa-apa, Sinta. Cuma capek aja,” jawabnya, meskipun hatinya tidak benar-benar merasa tenang.
Sinta menatapnya dengan penuh curiga. “Jangan bohong. Kalau ada yang nggak enak, cerita aja. Jangan dipendam sendiri,” kata Sinta dengan nada lembut, tetapi tegas.
Alya terdiam sejenak, merasakan kehangatan persahabatan yang tulus dari Sinta. Namun, ia tidak bisa mengungkapkan apa yang ada di hatinya. Ada perasaan aneh yang sulit dijelaskan, dan ia takut bahwa perasaan itu hanya ilusi—sesuatu yang muncul karena pertemuan singkat yang tidak memiliki arti lebih.
“Aku cuma… merasa sedikit bingung,” jawab Alya akhirnya, memilih kata-kata yang paling aman. “Seperti ada perasaan yang belum selesai.”
Sinta mengangguk dengan bijak. “Kadang perasaan itu datang tanpa alasan yang jelas, Alya. Tapi jangan terlalu dipikirkan. Kalau memang jodoh, ya pasti ada jalan untuk bertemu lagi.”
Alya tersenyum tipis, tapi dalam hatinya, ia tahu bahwa kata-kata Sinta tidak mudah untuk diterima begitu saja. Jodoh? Pertemuan mereka hanya sebuah kebetulan, bukan sesuatu yang bisa digolongkan sebagai takdir. Meskipun begitu, ada perasaan yang terus menggelitik, sesuatu yang memaksa hatinya untuk berharap.
BAB 2: Kepergian yang Membekas
Setelah pertemuan pertama, Rian harus pergi ke luar kota atau negara karena pekerjaan atau keluarga. Mereka tidak lagi berhubungan dalam waktu yang lama.
Rian dan Alya tidak saling menghubungi, namun perasaan rindu mulai tumbuh di hati mereka. Alya sering teringat pada pertemuan mereka, tetapi tidak tahu apakah Rian merasakan hal yang sama. Rian juga sering terbayang pada Alya, tetapi dia merasa canggung untuk menghubunginya kembali. Rindu yang terpendam semakin dalam, namun mereka saling diam.
Sejak pertemuan mereka yang tak terlupakan di konser kampus, kehidupan Alya dan Rian semakin dekat, meski tidak selalu mudah. Keduanya mulai merasa nyaman satu sama lain, tetapi perasaan itu masih dibalut dengan keraguan dan ketakutan akan sesuatu yang lebih dari sekadar persahabatan. Mereka sering bertemu, saling mengobrol, dan menikmati kebersamaan mereka. Namun, perasaan yang tumbuh perlahan itu membawa mereka pada sebuah ujian tak terduga: perpisahan.
Pagi itu, Alya terbangun dengan perasaan yang campur aduk. Langit di luar terlihat cerah, dan suara burung berkicau dari pepohonan di sekitar asrama kampus. Namun, ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Ia teringat percakapan malam sebelumnya, di mana Rian memberitahunya bahwa ia harus meninggalkan kampus untuk beberapa waktu karena urusan keluarga. Kepergiannya, meskipun sementara, tetap meninggalkan rasa hampa di dalam dirinya.
Alya menggulung selimut dan duduk di tepi tempat tidur, menatap layar ponselnya yang menunjukkan pesan dari Rian. Pesan itu sederhana, tetapi cukup membuatnya terdiam.
“Alya, aku harus pergi minggu depan. Aku tahu ini tiba-tiba, dan aku mohon maaf. Tapi aku janji akan kembali.”
Sederhana, tapi cukup menyakitkan. Alya tidak tahu kenapa perpisahan ini terasa begitu berat. Bukankah ini hanya sementara? Bukankah mereka bisa tetap berhubungan lewat pesan dan telepon? Tetapi kenapa ada perasaan kosong yang begitu dalam di hatinya?
Alya memikirkan hal itu sepanjang hari, mencoba untuk berfokus pada kuliah dan tugas yang menumpuk. Namun, setiap kali ia melirik layar ponselnya, hatinya terasa terikat pada Rian, pada kepergiannya, dan pada rasa khawatir yang tak bisa ia ungkapkan.
Hari-hari berlalu dengan cepat, dan hari keberangkatan Rian pun tiba. Di pagi yang sepi itu, Alya berencana untuk mengunjungi bandara, tempat Rian akan berangkat. Meskipun ia tidak tahu apakah itu keputusan yang tepat atau tidak, ia merasa harus ada di sana. Ada dorongan yang kuat untuk mendukungnya, meski perasaannya tercampur aduk.
Sesampainya di bandara, Alya segera mencari keberadaan Rian di antara kerumunan orang-orang yang sibuk. Beberapa orang sedang berpisah dengan keluarga dan teman-teman mereka, sementara yang lain tampak terburu-buru. Setelah beberapa menit mencari, akhirnya Alya melihat Rian, berdiri di dekat konter check-in, dengan tas punggung di bahunya dan ekspresi wajah yang penuh dengan kesedihan.
Ketika Rian melihat Alya, ia tersenyum lemah. “Alya, kamu datang?” katanya, seolah tidak percaya bahwa ia akan melihat gadis itu di sini.
Alya tersenyum kecut, mencoba menutupi kegugupannya. “Aku nggak bisa membiarkan kamu pergi tanpa mengucapkan selamat tinggal,” jawabnya dengan suara lembut. “Bagaimana kabarmu?”
Rian menghela napas panjang. “Aku baik-baik saja, hanya saja… rasanya nggak enak meninggalkan semua ini. Aku nggak tahu kenapa aku harus pergi, tapi ada hal-hal yang perlu aku selesaikan.”
Alya mengangguk, mencoba memahami meski hatinya dipenuhi rasa khawatir. “Aku ngerti, Rian. Kamu harus melakukan apa yang kamu rasa benar. Tapi aku berharap kita bisa tetap berhubungan.”
Rian menatap Alya dengan tatapan yang penuh makna. “Aku juga berharap begitu. Aku nggak ingin kita kehilangan kontak. Aku janji akan sering menghubungimu.”
Alya merasa hatinya berdebar-debar saat mendengar kata-kata itu. Namun, ada rasa takut yang menguasai pikirannya. “Jangan lupakan aku, Rian,” katanya pelan, seolah mengucapkan kata-kata yang sulit diungkapkan.
Rian tersenyum dan mengangguk. “Aku nggak akan lupakan kamu, Alya. Aku janji.”
Namun, meskipun ia mengatakan itu, Alya tahu bahwa perpisahan itu membawa banyak ketidakpastian. Ada banyak hal yang belum terungkap di antara mereka, dan perasaan yang terus tumbuh itu tetap berada dalam kabut ketidakjelasan.
Ketika pengumuman untuk penerbangan Rian terdengar di seluruh terminal, keduanya berdiri dalam diam. Alya merasa berat untuk melangkah pergi. Ia ingin berkata lebih banyak, tetapi kata-kata terasa begitu sulit untuk diucapkan.
“Jaga dirimu baik-baik, Rian,” ujar Alya akhirnya, dengan suara serak.
Rian tersenyum, lalu mendekatkan dirinya ke Alya, memberikan pelukan singkat yang terasa begitu penuh arti. “Kamu juga, Alya. Aku akan kembali. Tunggu aku.”
Ketika Rian akhirnya melangkah pergi menuju pintu keberangkatan, Alya tetap berdiri di tempatnya, menatapnya hingga hilang dari pandangannya. Hatinya terasa berat. Kepergian Rian meninggalkan ruang kosong di dalam dirinya, seolah-olah ada bagian dari dirinya yang ikut pergi bersamanya. Alya tahu bahwa perasaan ini lebih dari sekadar pertemuan biasa. Namun, ia juga merasa takut jika perasaan itu tidak akan pernah sama lagi setelah perpisahan ini.
Beberapa minggu berlalu sejak Rian pergi. Kehidupan Alya kembali pada rutinitasnya, namun ada kekosongan yang tak bisa ia hilangkan. Ia sering mendapati dirinya melamun, teringat pada percakapan mereka yang hangat dan tawa Rian yang selalu membuatnya merasa tenang. Meskipun mereka berjanji untuk tetap berhubungan, kenyataannya adalah, semakin banyak waktu berlalu, semakin sedikit kontak yang mereka lakukan.
Pesan-pesan singkat dan telepon yang jarang membuat Alya merasa semakin jauh dari Rian. Ia tidak tahu apakah itu karena jarak yang memisahkan mereka atau karena Rian memang sibuk dengan urusannya sendiri. Yang jelas, Alya merasa dirinya semakin terisolasi. Rindu itu semakin membebani pikirannya, dan ia mulai bertanya-tanya apakah perasaan yang ia miliki itu benar-benar terbalas.
Pada suatu sore yang cerah, Alya duduk di kafe kampus, menatap ponselnya yang sepi tanpa pesan dari Rian. Ia merasakan kesepian yang menggelayuti hatinya. Tidak ada yang bisa mengerti perasaan ini selain dirinya sendiri. Meskipun ia mencoba untuk mengalihkan perhatian dengan kegiatan lainnya, seperti berkumpul dengan teman-temannya, rasa sepi itu tetap menggelayuti.
“Alya,” sebuah suara memanggilnya, dan Alya menoleh untuk melihat Sinta duduk di hadapannya, dengan ekspresi yang penuh perhatian.
“Ada apa? Kamu kelihatan nggak enak,” tanya Sinta dengan penuh rasa ingin tahu.
Alya menghela napas, merasa lelah dengan perasaan yang terus membebani hatinya. “Aku merasa kehilangan, Sinta. Rian pergi begitu saja, dan kita nggak pernah benar-benar berbicara lagi. Aku nggak tahu kenapa, tapi semakin lama, semakin terasa seperti ada yang hilang.”
Sinta menatapnya dengan prihatin, lalu meletakkan tangannya di atas tangan Alya. “Kamu masih berharap banyak pada dia, ya?” tanya Sinta dengan lembut.
Alya mengangguk pelan. “Aku nggak tahu, Sinta. Aku ingin percaya bahwa dia akan kembali, tetapi entah kenapa aku merasa ragu. Semua ini terasa seperti impian yang akan berakhir begitu saja.”
Sinta menghela napas panjang, kemudian berbicara dengan serius. “Alya, terkadang kita harus menerima kenyataan bahwa tidak semua pertemuan bisa berlanjut. Mungkin ini adalah waktu untukmu untuk fokus pada dirimu sendiri dan melepaskan perasaan itu.”
Alya merasa tersentak dengan kata-kata Sinta, tetapi dalam hatinya, ia tahu bahwa temannya itu benar. Ia harus berhenti menunggu hal yang tak pasti dan mulai melangkah maju. Namun, kepergian Rian masih terus membekas di dalam hatinya. Meskipun ia mencoba untuk melepaskan perasaan itu, kenangan akan Rian tetap ada terpatri dalam setiap sudut hatinya.
Meskipun Alya berusaha untuk melupakan, kenangan tentang Rian tetap hidup. Setiap tempat yang ia kunjungi, setiap sudut kampus yang ia lewati, selalu ada ingatan tentang pria itu. Alya mulai memahami bahwa melepaskan bukan berarti melupakan, dan meskipun Rian tidak ada di dekatnya, perasaan itu tetap membekas.
Terkadang, Alya merasa bahwa perasaan itu akan hilang seiring waktu, namun kenyataannya, just
Pagi itu, Alya terbangun dengan perasaan yang campur aduk. Langit di luar terlihat cerah, dan suara burung berkicau dari pepohonan di sekitar asrama kampus. Namun, ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Ia teringat percakapan malam sebelumnya, di mana Rian memberitahunya bahwa ia harus meninggalkan kampus untuk beberapa waktu karena urusan keluarga. Kepergiannya, meskipun sementara, tetap meninggalkan rasa hampa di dalam dirinya.
Alya menggulung selimut dan duduk di tepi tempat tidur, menatap layar ponselnya yang menunjukkan pesan dari Rian. Pesan itu sederhana, tetapi cukup membuatnya terdiam.
“Alya, aku harus pergi minggu depan. Aku tahu ini tiba-tiba, dan aku mohon maaf. Tapi aku janji akan kembali.”
Sederhana, tapi cukup menyakitkan. Alya tidak tahu kenapa perpisahan ini terasa begitu berat. Bukankah ini hanya sementara? Bukankah mereka bisa tetap berhubungan lewat pesan dan telepon? Tetapi kenapa ada perasaan kosong yang begitu dalam di hatinya?
Alya memikirkan hal itu sepanjang hari, mencoba untuk berfokus pada kuliah dan tugas yang menumpuk. Namun, setiap kali ia melirik layar ponselnya, hatinya terasa terikat pada Rian, pada kepergiannya, dan pada rasa khawatir yang tak bisa ia ungkapkan.
Hari-hari berlalu dengan cepat, dan hari keberangkatan Rian pun tiba. Di pagi yang sepi itu, Alya berencana untuk mengunjungi bandara, tempat Rian akan berangkat. Meskipun ia tidak tahu apakah itu keputusan yang tepat atau tidak, ia merasa harus ada di sana. Ada dorongan yang kuat untuk mendukungnya, meski perasaannya tercampur aduk.
Sesampainya di bandara, Alya segera mencari keberadaan Rian di antara kerumunan orang-orang yang sibuk. Beberapa orang sedang berpisah dengan keluarga dan teman-teman mereka, sementara yang lain tampak terburu-buru. Setelah beberapa menit mencari, akhirnya Alya melihat Rian, berdiri di dekat konter check-in, dengan tas punggung di bahunya dan ekspresi wajah yang penuh dengan kesedihan.
Ketika Rian melihat Alya, ia tersenyum lemah. “Alya, kamu datang?” katanya, seolah tidak percaya bahwa ia akan melihat gadis itu di sini.
Alya tersenyum kecut, mencoba menutupi kegugupannya. “Aku nggak bisa membiarkan kamu pergi tanpa mengucapkan selamat tinggal,” jawabnya dengan suara lembut. “Bagaimana kabarmu?”
Rian menghela napas panjang. “Aku baik-baik saja, hanya saja… rasanya nggak enak meninggalkan semua ini. Aku nggak tahu kenapa aku harus pergi, tapi ada hal-hal yang perlu aku selesaikan.”
Alya mengangguk, mencoba memahami meski hatinya dipenuhi rasa khawatir. “Aku ngerti, Rian. Kamu harus melakukan apa yang kamu rasa benar. Tapi aku berharap kita bisa tetap berhubungan.”
Rian menatap Alya dengan tatapan yang penuh makna. “Aku juga berharap begitu. Aku nggak ingin kita kehilangan kontak. Aku janji akan sering menghubungimu.”
Alya merasa hatinya berdebar-debar saat mendengar kata-kata itu. Namun, ada rasa takut yang menguasai pikirannya. “Jangan lupakan aku, Rian,” katanya pelan, seolah mengucapkan kata-kata yang sulit diungkapkan.
Rian tersenyum dan mengangguk. “Aku nggak akan lupakan kamu, Alya. Aku janji.”
Namun, meskipun ia mengatakan itu, Alya tahu bahwa perpisahan itu membawa banyak ketidakpastian. Ada banyak hal yang belum terungkap di antara mereka, dan perasaan yang terus tumbuh itu tetap berada dalam kabut ketidakjelasan.
Ketika pengumuman untuk penerbangan Rian terdengar di seluruh terminal, keduanya berdiri dalam diam. Alya merasa berat untuk melangkah pergi. Ia ingin berkata lebih banyak, tetapi kata-kata terasa begitu sulit untuk diucapkan.
“Jaga dirimu baik-baik, Rian,” ujar Alya akhirnya, dengan suara serak.
Rian tersenyum, lalu mendekatkan dirinya ke Alya, memberikan pelukan singkat yang terasa begitu penuh arti. “Kamu juga, Alya. Aku akan kembali. Tunggu aku.”
Ketika Rian akhirnya melangkah pergi menuju pintu keberangkatan, Alya tetap berdiri di tempatnya, menatapnya hingga hilang dari pandangannya. Hatinya terasa berat. Kepergian Rian meninggalkan ruang kosong di dalam dirinya, seolah-olah ada bagian dari dirinya yang ikut pergi bersamanya. Alya tahu bahwa perasaan ini lebih dari sekadar pertemuan biasa. Namun, ia juga merasa takut jika perasaan itu tidak akan pernah sama lagi setelah perpisahan ini.
Beberapa minggu berlalu sejak Rian pergi. Kehidupan Alya kembali pada rutinitasnya, namun ada kekosongan yang tak bisa ia hilangkan. Ia sering mendapati dirinya melamun, teringat pada percakapan mereka yang hangat dan tawa Rian yang selalu membuatnya merasa tenang. Meskipun mereka berjanji untuk tetap berhubungan, kenyataannya adalah, semakin banyak waktu berlalu, semakin sedikit kontak yang mereka lakukan.
Pesan-pesan singkat dan telepon yang jarang membuat Alya merasa semakin jauh dari Rian. Ia tidak tahu apakah itu karena jarak yang memisahkan mereka atau karena Rian memang sibuk dengan urusannya sendiri. Yang jelas, Alya merasa dirinya semakin terisolasi. Rindu itu semakin membebani pikirannya, dan ia mulai bertanya-tanya apakah perasaan yang ia miliki itu benar-benar terbalas.
Pada suatu sore yang cerah, Alya duduk di kafe kampus, menatap ponselnya yang sepi tanpa pesan dari Rian. Ia merasakan kesepian yang menggelayuti hatinya. Tidak ada yang bisa mengerti perasaan ini selain dirinya sendiri. Meskipun ia mencoba untuk mengalihkan perhatian dengan kegiatan lainnya, seperti berkumpul dengan teman-temannya, rasa sepi itu tetap menggelayuti.
“Alya,” sebuah suara memanggilnya, dan Alya menoleh untuk melihat Sinta duduk di hadapannya, dengan ekspresi yang penuh perhatian.
“Ada apa? Kamu kelihatan nggak enak,” tanya Sinta dengan penuh rasa ingin tahu.
Alya menghela napas, merasa lelah dengan perasaan yang terus membebani hatinya. “Aku merasa kehilangan, Sinta. Rian pergi begitu saja, dan kita nggak pernah benar-benar berbicara lagi. Aku nggak tahu kenapa, tapi semakin lama, semakin terasa seperti ada yang hilang.”
Sinta menatapnya dengan prihatin, lalu meletakkan tangannya di atas tangan Alya. “Kamu masih berharap banyak pada dia, ya?” tanya Sinta dengan lembut.
Alya mengangguk pelan. “Aku nggak tahu, Sinta. Aku ingin percaya bahwa dia akan kembali, tetapi entah kenapa aku merasa ragu. Semua ini terasa seperti impian yang akan berakhir begitu saja.”
Sinta menghela napas panjang, kemudian berbicara dengan serius. “Alya, terkadang kita harus menerima kenyataan bahwa tidak semua pertemuan bisa berlanjut. Mungkin ini adalah waktu untukmu untuk fokus pada dirimu sendiri dan melepaskan perasaan itu.”
Alya merasa tersentak dengan kata-kata Sinta, tetapi dalam hatinya, ia tahu bahwa temannya itu benar. Ia harus berhenti menunggu hal yang tak pasti dan mulai melangkah maju. Namun, kepergian Rian masih terus membekas di dalam hatinya. Meskipun ia mencoba untuk melepaskan perasaan itu, kenangan akan Rian tetap ada—terpatri dalam setiap sudut hatinya.
Meskipun Alya berusaha untuk melupakan, kenangan tentang Rian tetap hidup. Setiap tempat yang ia kunjungi, setiap sudut kampus yang ia lewati, selalu ada ingatan tentang pria itu. Alya mulai memahami bahwa melepaskan bukan berarti melupakan, dan meskipun Rian tidak ada di dekatnya, perasaan itu tetap membekas.
Terkadang, Alya merasa bahwa perasaan itu akan hilang seiring waktu, namun kenyataannya, just
Tiga minggu setelah pertemuan pertama itu, Alya sedang duduk di taman kampus, membaca buku di bawah pohon rindang. Suasana sekitar cukup tenang, jauh dari hiruk-pikuk keramaian. Sinar matahari yang lembut menyinari halaman buku yang sedang dibacanya. Namun, setiap kali ia mengangkat pandangannya, ada perasaan tidak tenang yang mengganggunya. Alya tidak tahu kenapa, tetapi ia merasa seperti sedang menunggu sesuatu.
Tiba-tiba, tanpa diduga, suara yang begitu familiar menyapanya. “Alya?”
Ia menoleh dengan cepat dan melihat Rian berdiri tidak jauh darinya, tersenyum dengan senyum khasnya yang membuat hati Alya berdebar.
“Apa kabar?” tanya Rian, suara lembut namun penuh kehangatan. Ia mengenakan kaos kasual dan celana jeans, tampak santai namun tetap menarik perhatian.
Alya merasa sedikit kaget, tetapi di saat yang sama, hatinya terasa hangat. “Rian… Kamu?” tanya Alya dengan suara pelan, berusaha mengendalikan gejolak yang mulai muncul di dalam dirinya.
Rian tertawa kecil. “Iya, aku. Maaf kalau aku tiba-tiba muncul. Aku lihat kamu sedang baca, jadi aku cuma ingin menyapa.”
Alya mengangguk, merasa sedikit canggung. “Aku nggak nyangka kita ketemu lagi di sini,” katanya, mencoba bersikap normal meskipun perasaan cemas menggelayuti pikirannya.
Rian duduk di bangku sebelah Alya tanpa diminta. “Aku juga nggak nyangka bakal ketemu kamu lagi. Tapi jujur, aku senang bisa ngobrol lagi,” ujar Rian sambil menatap Alya dengan senyum yang tampak tulus.
Alya hanya mengangguk, sedikit terkejut dengan ketulusan dalam suara Rian. “Aku juga senang. Ini… seperti sebuah kebetulan, ya?”
Rian tersenyum lebih lebar. “Kebetulan yang menyenankan, bukan?” jawabnya sambil melirik Alya dengan mata yang bersinar penuh arti.
Alya tertawa kecil, mencoba menghilangkan kecanggungan di antara mereka. “Iya, kebetulan yang menyenankan,” jawabnya, meskipun hatinya sedikit berdetak lebih cepat. Ada sesuatu di dalam dirinya yang mulai menggeliat—perasaan yang belum pernah ia alami sebelumnya.
Mereka berbicara lebih banyak lagi, membahas hal-hal sederhana, dari kuliah hingga hobi masing-masing. Rian dengan penuh antusias bercerita tentang proyek musik yang sedang ia kerjakan, sementara Alya mengungkapkan minatnya pada buku-buku fiksi dan puisi. Mereka saling mendengarkan, seolah waktu berhenti sejenak di antara mereka.
Alya merasa sangat nyaman berada di dekat Rian. Ada rasa tenang yang tidak bisa ia jelaskan. Meskipun mereka baru saja bertemu beberapa kali, percakapan mereka terasa sangat alami, seperti dua orang yang sudah lama saling mengenal. Keakraban itu semakin mendalam, namun di sisi lain, ada rasa ragu yang datang begitu saja. Ragu apakah perasaan ini bisa diterima ataukah hanya akan menjadi sebuah kenangan indah yang tak terulang lagi.
Perlahan, hubungan mereka mulai terjalin lebih intens. Rian menghubungi Alya sesekali, mengajaknya ke beberapa acara yang diadakan oleh komunitas musik kampus. Meskipun Alya merasa sedikit terkejut dengan kedekatan yang semakin terjalin, ia juga tidak bisa menahan diri untuk tidak merasakan kebahagiaan kecil dalam setiap percakapan dan pertemuan mereka. Di sisi lain, ia selalu merasa cemas, seolah ada sesuatu yang menghalangi mereka untuk melangkah lebih jauh.
“Kenapa sih kamu terlihat canggung setiap kali aku mengajak kamu bertemu?” tanya Rian pada suatu malam, ketika mereka sedang duduk di sebuah kafe kecil setelah acara musik kampus.
Alya terdiam sejenak, merenung. “Aku… nggak tahu,” jawabnya dengan suara lembut. “Kadang aku merasa seperti perasaan ini terlalu cepat tumbuh, dan aku takut kalau nanti ada yang berubah.”
Rian menatap Alya dengan tatapan lembut, mencoba memahami apa yang dirasakannya. “Aku juga merasa seperti itu,” katanya akhirnya. “Aku rasa kita berdua sama-sama merasa ada yang mengganjal, tapi mungkin kita belum siap untuk menghadapinya.”
Alya mengangguk pelan, merasakan kedekatan yang semakin nyata di antara mereka, namun juga ketegangan yang tak terucapkan. “Aku nggak tahu apakah aku siap untuk… lebih dari ini,” tambah Alya dengan suara pelan, hampir tak terdengar.
Rian tersenyum, namun kali ini senyum itu tidak sepenuhnya cerah. “Aku juga nggak tahu. Tapi satu hal yang aku tahu—perasaan ini tidak akan hilang begitu saja, Alya.”
Kata-kata Rian menghentakkan hati Alya, membuatnya terdiam lebih lama. Perasaan yang sebelumnya hanya ia pendam kini mulai terungkap, meskipun mereka berdua takut untuk benar-benar menghadapinya.
Perasaan itu terus berlanjut, semakin dalam dan semakin kuat. Alya mulai menyadari bahwa ia tidak bisa lagi mengabaikan perasaan yang tumbuh di hatinya untuk Rian. Namun, ada keraguan yang terus mengganggunya. Apakah ia benar-benar siap untuk menghadapi semua ini? Bagaimana jika perasaan ini tidak terbalas? Apa yang harus dilakukan?
Rian juga merasakan hal yang sama. Ketakutan akan penolakan dan rasa tidak siap untuk melangkah lebih jauh membuatnya ragu. Namun, semakin sering mereka bertemu, semakin jelas bahwa kerinduan mereka semakin besar.
Pada akhirnya, keduanya tahu satu hal: perasaan yang mereka rasakan sudah tidak bisa dibendung lagi. Mereka harus membuat keputusan—apakah akan terus berada dalam ketidakpastian ini atau mulai membuka hati untuk satu sama lain.
Namun, keputusan itu bukanlah hal yang mudah. Waktu akan memberitahu apakah mereka bisa bersama atau justru akan berpisah dengan kenangan manis yang tak pernah terungkap sepenuhnya.
Waktu berlalu dan mereka berdua menjalani hidup masing-masing. Alya mulai terlibat dalam hubungan lain, sementara Rian sibuk dengan karirnya.
Meskipun berada dalam hubungan yang baru atau berfokus pada pekerjaan, mereka berdua sering memikirkan satu sama lain. Kerinduan itu terus bertambah meskipun mereka mencoba untuk menutupinya. Alya merasa cemas jika perasaannya kepada Rian hanya satu sisi, dan Rian juga merasa bingung jika harus mengungkapkan perasaannya setelah waktu yang lama berlalu. Keduanya merasakan adanya kekosongan dalam hidup mereka yang tidak bisa diisi oleh orang lain, meskipun mereka berusaha berpindah.
Setelah pertemuan yang penuh emosi itu, kehidupan Alya terasa semakin pelik. Setiap harinya dipenuhi dengan kegiatan yang tak bisa sepenuhnya mengalihkan pikirannya dari Rian. Dia tahu bahwa perasaan yang tumbuh antara mereka tak bisa begitu saja dilupakan, meskipun jarak dan waktu telah membuat semuanya semakin kabur. Namun, meski ada banyak hal yang membuatnya ragu, ada satu hal yang tidak bisa diingkari: perasaan rindu yang tak terucapkan.
Rindu itu datang di saat-saat yang paling tidak terduga. Ketika Alya sedang duduk di kafe favorit mereka, menatap secangkir kopi yang mulai dingin, atau ketika ia melangkah di trotoar kampus yang sepi. Bahkan, dalam setiap percakapan dengan teman-temannya, tanpa sadar pikirannya melayang kepada Rian. Ada kalanya ia merasa seakan-akan Rian masih di sana, di sampingnya, meskipun kenyataannya tidak.
“Alya, kamu kenapa?” tanya Sinta suatu sore, ketika mereka sedang duduk bersama di bangku taman. Sinta memperhatikan Alya yang terlihat melamun, matanya kosong menatap jauh ke depan. “Kamu nggak seperti biasanya. Apa yang kamu pikirkan?”
Alya menoleh ke arah Sinta, mencoba tersenyum. “Nggak apa-apa,” jawabnya pelan, meski hatinya penuh dengan perasaan yang sulit dijelaskan. “Cuma sedikit capek aja.”
Sinta menatapnya dengan tajam, seolah bisa membaca apa yang sedang dipikirkan Alya. “Capek? Sepertinya kamu nggak cuma capek fisik, Alya. Apa ada yang mengganggu pikiranmu?”
Alya menghela napas, meletakkan secangkir kopinya di meja. Ia tahu bahwa Sinta bisa melihat lewat sikapnya yang tidak biasa. Namun, entah mengapa, ia merasa tidak siap untuk mengungkapkan apa yang sebenarnya terjadi. Kepergian Rian, perasaan yang belum bisa ia pahami, dan kerinduan yang tak terucapkan—semua itu berkumpul dalam hatinya, menjadikannya sebuah beban yang berat untuk dibagikan.
“Aku hanya… kangen. Kangen sama Rian,” ujar Alya akhirnya, dengan suara yang hampir tidak terdengar.
Sinta terdiam sejenak, mencoba mencerna kata-kata Alya. “Kangen? Tapi kan kamu tahu dia punya alasan untuk pergi, Alya. Kenapa nggak coba bicara sama dia? Kalau kamu merasa begini, kenapa nggak coba ungkapkan?”
Alya menunduk, jari-jarinya bermain dengan ujung gelas. “Aku nggak tahu, Sinta. Aku nggak mau terlalu berharap. Apa kalau aku bilang aku kangen, dia akan merasa terbebani? Mungkin ini hanya perasaan sementara yang nanti juga akan hilang. Aku nggak mau dia merasa aku tergantung padanya.”
Sinta memandang Alya dengan ekspresi yang penuh pemahaman. “Alya, nggak ada salahnya untuk mengungkapkan perasaanmu. Terkadang, kita hanya perlu mengatakan apa yang kita rasakan. Jangan takut untuk menunjukkan apa yang ada di hati kamu. Kamu nggak akan tahu kalau nggak dicoba.”
Namun, meskipun Sinta mengatakan itu, Alya tetap merasa ragu. Ia tahu bahwa kata-kata seperti itu memang mudah diucapkan, tapi sulit dilakukan. Mengungkapkan perasaan berarti membuka diri pada kemungkinan-kemungkinan yang tidak diinginkan. Mungkin Rian merasa sama, mungkin tidak. Mungkin ia akan kembali dan mereka akan melanjutkan apa yang sempat tertunda, atau mungkin Rian akan merasa bingung dan mundur lebih jauh. Tidak ada yang tahu.
Seminggu berlalu tanpa kabar berarti dari Rian. Meskipun mereka sempat berjanji untuk tetap berhubungan, kenyataan jauh lebih sulit dari yang diharapkan. Pesan-pesan singkat yang mereka kirimkan lebih sering berupa basa-basi, bertanya tentang keadaan masing-masing, tetapi tidak pernah membahas perasaan mereka yang sebenarnya. Alya merasa semakin terasing. Meskipun ia berusaha untuk tetap kuat dan tidak terlalu mengharapkan banyak, rasa rindu itu semakin hari semakin kuat.
Suatu malam, ketika Alya sedang duduk di kamarnya, ia memutuskan untuk membuka galeri foto di ponselnya. Foto-foto lama mereka yang diambil saat masih bersama, saat masih berbicara dan tertawa, tiba-tiba muncul di layar. Alya menatapnya dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Ada senyum Rian yang menghangatkan, ada kebersamaan yang begitu nyata dalam setiap foto, seolah-olah waktu tidak pernah berjalan.
Dengan hati yang berat, Alya membuka salah satu foto yang diambil saat mereka sedang berada di taman kampus, duduk di bangku yang sama. Rian tersenyum lebar, wajahnya penuh semangat, sementara Alya tertawa kecil di sampingnya. Foto itu mengingatkan Alya pada hari-hari ketika segala sesuatunya terasa begitu mudah, ketika mereka bisa saling berbicara tanpa takut mengungkapkan apapun.
“Apa yang sedang kamu lakukan?” tanya Rian saat itu, sambil melihat Alya yang sibuk memotret mereka berdua. “Kenapa kamu selalu mengabadikan momen seperti ini? Kenapa nggak cukup dengan kenangan yang ada di kepala aja?”
Alya tersenyum saat mendengar pertanyaan itu. “Kadang, kenangan itu bisa hilang seiring waktu. Tapi foto ini… akan tetap ada. Biar suatu saat nanti kita bisa melihatnya lagi dan mengingat betapa bahagianya kita waktu itu.”
“Apa kamu yakin? Aku nggak tahu kenapa, tapi aku merasa kadang-kadang kenangan malah bisa membuat kita terjebak di masa lalu.”
“Kenangan bukan untuk membuat kita terjebak, Rian. Kenangan adalah cara kita untuk mengenang siapa kita, siapa yang pernah ada dalam hidup kita. Dan mungkin, nanti ketika kita melihatnya, kita akan tersenyum karena tahu bahwa pernah ada seseorang yang membuat kita merasa bahagia.”
Rian terdiam, seolah merenung. “Mungkin kamu benar, Alya.”
Sekarang, ketika Alya memandang foto itu lagi, perasaan yang sama datang kembali. Ia merasa bahagia dan sedih pada saat yang bersamaan. Kenangan-kenangan itu terlalu indah untuk dilupakan, tetapi juga terlalu menyakitkan untuk dipertahankan. Rindu itu datang dengan cara yang tak terduga, dan meskipun ia mencoba untuk menguburnya, perasaan itu tetap hidup dalam hatinya.
Alya menatap foto itu satu detik lagi, lalu menekan tombol hapus dengan perlahan. Bukan karena ia ingin melupakan, tetapi karena ia tahu bahwa terkadang, melepaskan adalah langkah terbaik. Kenangan akan selalu ada, di dalam hati, di dalam pikirannya. Tetapi saat ini, ia harus melanjutkan hidupnya.
Hari demi hari berlalu, dan meskipun Alya berusaha untuk tidak terlalu mengharapkan kabar dari Rian, hatinya tetap merasa kosong. Ia tidak bisa menghindari perasaan rindu yang terus menghantuinya. Di sela-sela aktivitas kuliahnya, saat berkumpul dengan teman-temannya, saat membaca buku atau menulis di jurnal, ada sesuatu yang hilang.
Alya merasa seolah-olah ada bagian dari dirinya yang terpisah. Ia ingin berbicara tentang perasaan ini, tetapi tidak ada yang bisa ia percayai sepenuhnya selain dirinya sendiri. Rian, yang dulu selalu ada untuk mendengarkan, kini terasa begitu jauh. Ada jarak yang begitu besar di antara mereka, dan semakin lama, jarak itu semakin terasa nyata.
Suatu sore yang cerah, ketika Alya sedang duduk di taman, ia menerima pesan dari Rian. Hatinya berdebar-debar, tetapi ia mencoba untuk tetap tenang saat membuka pesan itu.
“Alya, aku sudah kembali ke kampus. Aku ingin bertemu denganmu. Ada yang perlu aku bicarakan.”
Alya terdiam. Rasa rindu yang selama ini ia pendam seolah meledak begitu saja. Namun, meskipun ada kebahagiaan dalam dirinya, ada juga rasa khawatir yang menggelayuti. Apa yang akan Rian katakan? Apakah ini adalah pertemuan yang akan membawa mereka kembali bersama, atau justru akan semakin menjauhkan mereka?
Tanpa berpikir panjang, Alya membalas pesan itu. “Aku ingin bertemu juga, Rian. Kapan kamu bisa?”
Alya menunggu di kafe tempat mereka biasa bertemu. Setiap detik terasa seperti berjam-jam. Hatinya berdebar-debar, merasa cemas dan berharap. Ketika Rian muncul di pintu kafe, Alya melihatnya dengan hati yang penuh harap dan keraguan. Rian tersenyum, tetapi senyum itu terlihat lebih banyak menyimpan kesedihan daripada kebahagiaan.
“Rian,” Alya memulai,
Setelah pertemuan emosional mereka yang mengguncang hati, Alya mencoba untuk melanjutkan hidupnya, meskipun ia tahu betapa sulitnya untuk memisahkan dirinya dari perasaan yang terus membekas. Kepergian Rian membuatnya terperangkap dalam perasaan yang tak terucapkan. Setiap detik terasa seperti mengusung beban, dan perasaan itu semakin berat untuk dibawa sendirian. Meskipun kehidupan di sekitar Alya tetap berjalan—teman-temannya, kuliahnya, kegiatan kampus—rindu itu terus mengendap di setiap sudut hatinya.
Alya sering kali duduk di bangku taman kampus, sendirian, menatap jauh ke depan, mencoba mengusir bayang-bayang masa lalu yang seakan menghantui setiap langkahnya. Ada kalanya ia merasa terjebak dalam kenangan-kenangan indah yang begitu sulit untuk dilepaskan. Kenangan itu datang begitu hidup, seakan menghidupkan kembali setiap percakapan, setiap tawa, setiap momen yang mereka bagikan bersama.
“Alya, kamu kenapa?” tanya Sinta suatu hari, saat mereka sedang makan siang di kantin kampus. Sinta menatap sahabatnya yang kelihatannya tidak sepenuhnya hadir, matanya tampak kosong meskipun bibirnya tersenyum. “Kamu nggak seperti biasanya. Ada apa? Apa kamu lagi mikirin sesuatu?”
Alya mengalihkan pandangannya ke teman dekatnya itu dan hanya tersenyum kecil. “Nggak, kok. Aku cuma… agak capek aja.” Jawabnya sambil mengaduk-aduk makanannya dengan sendok. Meski mencoba tersenyum, perasaan kosong yang melingkupi hatinya tidak bisa disembunyikan.
“Tapi kamu nggak kayak biasanya. Biasanya kamu semangat banget, tapi sekarang kamu lebih banyak diem dan terdiam sendiri,” Sinta melanjutkan dengan nada khawatir.
Alya tidak bisa menahan perasaan yang sudah lama mengendap. Beberapa minggu terakhir ini, bayangan Rian begitu sering muncul dalam benaknya. “Aku cuma… kangen. Kangen banget sama Rian,” katanya dengan suara pelan, seolah takut kalau kata-katanya akan melukai hati Sinta.
Sinta terdiam sejenak. “Kangen?” tanyanya, menatap Alya dengan penuh pengertian. “Tapi kan kamu tahu Rian sudah punya alasan untuk pergi. Kamu harus bisa memahami itu, Alya. Apa kamu sudah bicara sama dia tentang perasaanmu?”
Alya menggigit bibirnya. Sinta benar, memang. Kepergian Rian bukan tanpa alasan. Rian pergi untuk mengejar impian dan menyelesaikan banyak hal yang tak bisa ditunda. Mereka berdua tahu itu, tetapi rasanya, kepergian itu meninggalkan ruang kosong yang tak bisa diisi oleh siapapun.
“Aku nggak tahu, Sin. Aku takut kalau aku ungkapkan semua ini, malah jadi beban buat dia. Aku nggak mau dia merasa terikat dengan aku, nggak mau dia merasa bersalah.” Alya menjelaskan dengan hati yang berat.
Sinta menatapnya lama, lalu menghela napas. “Kamu nggak akan tahu apa yang dia rasakan kalau nggak mengungkapkan, Alya. Mungkin dia juga merasakan hal yang sama. Jangan biarkan perasaan ini mengikatmu, kamu harus bicara dengan dia. Kalau memang ada rasa, ya ungkapkan saja.”
Alya menatap Sinta dengan pandangan kosong. Ungkapkan perasaan? Itu terdengar mudah diucapkan, tetapi jauh lebih sulit dilakukan. Rindu itu bukan sekadar perasaan yang bisa diungkapkan begitu saja. Ini adalah perasaan yang telah tumbuh dan berkembang dengan sangat dalam, begitu intim dan rapuh, sehingga kadang terasa terlalu besar untuk diucapkan.
Setiap malam, sebelum tidur, Alya tidak bisa menghindari pikiran tentang Rian. Setiap kenangan bersamanya seakan berputar-putar dalam pikirannya. Tertawa bersama, berbicara tentang masa depan, berbagi cerita dan mimpi—semuanya terasa begitu hidup, bahkan lebih nyata daripada kenyataan itu sendiri. Rian yang dulu ada di dekatnya kini hanya menjadi bayangan, seseorang yang begitu dekat, tetapi juga begitu jauh.
Pada suatu malam yang hening, Alya membuka album foto di ponselnya, mencari-cari momen yang bisa membuatnya merasa sedikit lebih dekat dengan Rian. Salah satu foto yang ia temukan adalah foto mereka berdua di suatu taman kampus. Rian tersenyum lebar, matanya memancarkan kebahagiaan yang tak bisa disembunyikan, sedangkan Alya, meskipun tersenyum, tampak sedikit malu karena Rian sedang mengarahkannya untuk berpose.
Di bawah foto itu, ada komentar singkat dari Rian, yang membuat perasaan Alya semakin dalam: “Kenangan ini nggak akan pernah hilang. Terima kasih sudah menjadi bagian dari hari-hariku, Alya.”
Alya terdiam lama menatap kata-kata itu. Apa artinya semua ini? Kenapa Rian harus pergi begitu saja, jika ia merasa bahwa kenangan itu tidak akan pernah hilang? Kenapa mereka harus terpisah jika ada perasaan yang begitu kuat antara mereka?
Alya menggigit bibirnya, menahan air mata yang hampir tumpah. Bagaimana mungkin sebuah kenangan bisa mengisi ruang yang begitu besar dalam hatinya? Seakan, meskipun sudah berusaha untuk melanjutkan hidup, kenangan-kenangan itu tetap saja menjadi bagian yang tidak bisa terlepas. Mereka terperangkap dalam waktu yang berlalu, sementara perasaan itu tetap bertahan, meskipun tak bisa lagi diungkapkan.
Suatu sore, di luar gedung kampus yang sibuk, Alya duduk sendirian di bangku taman, menunggu teman-temannya selesai dengan kelas mereka. Tiba-tiba, ponselnya bergetar. Sebuah pesan baru muncul di layar. Nama pengirimnya membuat jantung Alya berdebar-debar—Rian.
“Alya, aku ingin bertemu denganmu. Ada yang perlu aku bicarakan. Aku harap kamu nggak keberatan.”
Alya terdiam membaca pesan itu. Ada banyak perasaan yang datang begitu saja. Ada kebahagiaan karena akhirnya Rian menghubunginya setelah sekian lama, tetapi ada juga kecemasan. Apa yang akan dibicarakan? Mengapa tiba-tiba dia ingin bertemu? Apakah ini berarti perasaan mereka yang tertunda akan menemukan titik terang?
Tanpa berpikir panjang, Alya segera membalas, “Aku ingin bertemu juga. Kapan kamu bisa?”
Rian membalasnya dengan cepat, “Aku akan ke kafe yang biasa kita datangi. Sekitar jam empat sore nanti, apakah kamu bisa?”
Alya mengangguk pelan meskipun tidak ada yang melihatnya. Setiap detik terasa semakin panjang, dan semakin mendekati waktu yang telah disepakati, perasaan Alya semakin bergejolak. Apa yang harus ia katakan? Apakah perasaan yang ia rasakan akan tersampaikan begitu saja? Atau justru, pertemuan ini akan membawa mereka lebih jauh dari sebelumnya?
Alya bergegas pergi ke kafe itu, berjalan cepat seolah-olah ingin mengejar waktu yang terbuang. Ketika ia tiba di sana, Rian sudah duduk di meja pojok, terlihat sedikit canggung. Wajahnya yang dulu begitu cerah kini tampak penuh dengan kerut kekhawatiran.
“Rian,” Alya memulai, mencoba untuk mengatasi detak jantungnya yang semakin cepat. “Kamu… apa yang ingin kamu bicarakan?”
Rian mengangkat wajahnya dan tersenyum lemah. “Alya, aku… aku nggak tahu harus mulai dari mana. Sejujurnya, aku merasa bersalah karena tidak memberi kabar, karena tidak memberikan penjelasan lebih lanjut. Aku merasa aku telah membuatmu bingung, dan itu bukan yang aku inginkan.”
Alya menunduk, berusaha mengendalikan perasaannya. “Aku… aku juga merasa bingung. Rian, kenapa kamu nggak pernah memberitahuku lebih banyak? Aku… aku kangen. Aku nggak tahu apakah aku bisa terus begini, menunggu tanpa tahu apa yang kamu rasakan.”
Rian menatapnya dengan mata yang penuh penyesalan. “Alya, aku juga kangen. Aku juga merasa kehilangan. Tapi aku takut, aku takut untuk berharap lebih, takut kalau aku nggak bisa memenuhi harapanmu.”
Alya menatapnya dalam-dalam, berusaha mencari kejujuran dalam setiap kata yang keluar dari mulut Rian. “Jadi, apa yang sebenarnya kamu inginkan, Rian? Apa yang kamu rasa selama ini?”
Rian menghela napas panjang. “Aku merasa kita berdua terjebak dalam perasaan ini. Aku tidak tahu apakah kita siap untuk melanjutkan, tapi aku juga tidak bisa menahan diri. Aku kangen padamu, Alya. Tapi aku takut kalau kita hanya terjebak dalam kenangan.
BAB 4: Kembali Bertemu
Setelah bertahun-tahun terpisah, takdir membawa mereka untuk bertemu kembali, mungkin dalam sebuah acara atau reuni yang tak terduga.
Perasaan lama yang terkubur dalam hati mereka kembali muncul begitu mereka saling melihat. Namun, keduanya ragu untuk berbicara atau mengungkapkan perasaan mereka, karena takut terlambat. Rian melihat perubahan pada Alya yang semakin dewasa, sementara Alya merasa cemas jika pertemuan ini hanya akan membuat hatinya semakin terluka. Keduanya merasakan perasaan yang sama, tetapi tidak tahu bagaimana menghadapinya.
Waktu berjalan begitu cepat, tetapi bagi Alya, setiap detik terasa penuh dengan ketegangan yang mengusik batinnya. Setiap hari, ia merasakan perasaan yang lebih mendalam daripada sebelumnya—rindu yang tak terucapkan, kenangan yang seakan hidup kembali, dan kebingungan yang semakin mengganggu pikirannya. Meskipun ia berusaha untuk tidak terlalu mengharapkan, kabar dari Rian itu—pesan yang datang setelah berbulan-bulan hening—membuatnya tidak bisa menghindari perasaan yang menggebu-gebu.
Alya duduk di bangku taman kampus, menunggu dengan sabar meskipun hatinya tak pernah benar-benar tenang. Hawa sore yang sejuk ini terasa berbeda, lebih penuh makna, karena dalam waktu kurang dari satu jam, ia akan bertemu dengan Rian lagi—pria yang pernah menjadi pusat dunia kecilnya. Pertemuan ini adalah sesuatu yang telah ia tunggu-tunggu, meskipun ia tahu tidak ada jaminan bahwa semua akan berjalan mulus seperti dulu.
Langit sore berwarna oranye keemasan, dan suara langkah kaki di sekitar kampus semakin ramai. Alya melirik ke sekelilingnya, tetapi tidak melihat sosok yang ia tunggu-tunggu. Dia tahu Rian mungkin sedang dalam perjalanan, tetapi entah mengapa waktu terasa berjalan lambat sekali. Setiap detik terasa seperti menunggu hujan yang tak kunjung turun.
Alya menatap ponselnya sejenak, memastikan bahwa ia belum melewatkan pesan atau panggilan dari Rian. Tidak ada yang baru. Tidak ada yang mengganggu ketenangan, kecuali perasaan rindu yang semakin menggebu.
Dari kejauhan, Alya melihat seorang lelaki dengan langkah pelan, mengenakan jaket hitam dan celana jeans biru, berjalan menuju kafe tempat mereka biasa bertemu. Tak bisa dipungkiri, sosok itu adalah Rian. Seiring dengan setiap langkahnya yang semakin dekat, detak jantung Alya semakin cepat, nyaris tak terkendali.
Rian berhenti tepat di depan Alya. Mereka saling memandang untuk beberapa detik. Ada keheningan yang menyelimuti keduanya, seolah waktu berhenti hanya untuk memberi ruang pada momen yang penuh dengan perasaan yang tak terucapkan. Wajah Rian tampak sedikit lebih matang, tetapi senyum yang ia berikan masih sama—senyum yang mengingatkan Alya pada segala kebahagiaan yang pernah mereka rasakan bersama.
“Alya…” Suara Rian terdengar berat, seperti ada banyak hal yang ingin ia ungkapkan, tetapi terhambat oleh keraguan.
Alya hanya tersenyum kecil, meskipun hatinya berdebar. “Rian, akhirnya. Aku nggak tahu apakah aku masih bisa menganggap ini kenyataan,” katanya pelan.
Rian mengangguk perlahan. “Aku tahu. Aku merasa seperti ini juga, Alya. Banyak hal yang ingin aku bicarakan denganmu. Tapi aku tidak tahu bagaimana harus memulainya.”
“Apa yang ingin kamu katakan?” tanya Alya, dengan suara yang bergetar sedikit. Ia bisa merasakan ketegangan dalam dirinya, namun juga ada rasa lega karena akhirnya mereka bisa bertemu setelah sekian lama. Rindu yang selama ini mengendap perlahan mulai terasa nyata, mengalir di dalam dirinya, memenuhi ruang yang sempat kosong.
“Aku hanya ingin jujur sama kamu,” jawab Rian, matanya menatap jauh ke depan. “Aku… aku nggak bisa berhenti memikirkan kita. Aku tahu kita berdua harus jalan di jalan yang berbeda, dan aku pergi karena aku ingin mengejar sesuatu yang lebih besar. Tapi aku merasa ada bagian dari diriku yang masih terikat pada kamu, Alya.”
Alya terdiam. Kata-kata Rian menyentuh hati, meskipun ia merasa bingung. Rasa yang dia rasakan selama ini, yang dipendam begitu dalam, akhirnya seperti dilepaskan begitu saja. Namun, ada rasa takut yang tiba-tiba muncul. Takut kalau perasaan itu justru membawa mereka kembali ke jalan yang salah. Takut kalau kenangan itu justru membuat mereka terjebak dalam masa lalu.
“Aku juga merasa sama, Rian,” akhirnya Alya mengungkapkan apa yang ada di hatinya. “Aku nggak bisa menyangkal kalau aku kangen sama kamu, kangen dengan semuanya yang pernah kita lewati. Tapi… aku takut. Aku takut kalau kita kembali dan hal itu nggak seperti yang kita harapkan.”
Rian mendekat sedikit, dan ada kekuatan dalam tatapannya yang membuat Alya merasa seakan dunia hanya ada mereka berdua. “Aku mengerti. Aku juga takut, Alya. Aku nggak mau mengulang kesalahan yang sama. Tapi aku ingin kamu tahu, aku nggak pernah melupakanmu. Aku nggak pernah berhenti peduli.”
Alya merasa ada yang mengganjal dalam kata-kata itu. Kenapa sekarang, setelah waktu begitu lama, mereka harus kembali bertemu untuk membicarakan ini? Kenapa sekarang, setelah segalanya terasa begitu jauh, mereka harus membuka kembali pintu yang pernah tertutup rapat? Rasa rindu itu datang begitu kuat, tetapi begitu pula keraguan yang melanda. Bagaimana mungkin mereka kembali ke titik yang sama setelah begitu banyak waktu berlalu?
“Apa yang sebenarnya kamu inginkan, Rian?” Tanya Alya, suaranya sedikit bergetar. “Apa kita bisa kembali seperti dulu, ataukah kita hanya akan menjadi kenangan bagi satu sama lain?”
Rian terdiam, seakan mencerna kata-kata Alya. Setelah beberapa detik yang penuh ketegangan, ia akhirnya berbicara lagi. “Aku nggak tahu, Alya. Aku nggak punya jawaban pasti. Tapi aku ingin mencoba lagi. Aku ingin melihat apakah kita masih bisa menemukan kebahagiaan bersama, meskipun kita berdua sudah berubah. Aku ingin kita memberi kesempatan pada diri kita untuk mengubah cerita kita menjadi lebih baik.”
Alya menatap Rian dalam-dalam, mencoba memahami maksud dari kata-katanya. Ada harapan yang terbersit, namun ada juga ketakutan. Rindu itu terus memanggil, namun logika dan pengalaman masa lalu berkata lain. Mereka sudah pernah merasa bahagia, tapi juga pernah terluka. Kembali bersama bukanlah hal yang mudah. Itu adalah keputusan besar yang tak bisa diambil begitu saja.
“Aku juga ingin memberi kesempatan, Rian,” jawab Alya akhirnya, meskipun kata-kata itu terasa berat. “Tapi kita harus memastikan bahwa ini adalah keputusan yang tepat, bukan hanya karena kita merindukan satu sama lain.”
Rian mengangguk setuju, matanya penuh tekad. “Aku tahu. Kita harus berhati-hati. Aku nggak ingin kita kembali ke tempat yang salah. Tapi aku ingin kita mencoba.”
Setelah pertemuan pertama mereka, Alya dan Rian mulai menjalani proses yang penuh dengan ketidakpastian. Mereka berdua sepakat untuk tidak terburu-buru dan memberi waktu untuk diri mereka sendiri. Perasaan itu ada, tetapi mereka juga tahu bahwa mereka tidak bisa terburu-buru melangkah tanpa pertimbangan yang matang.
Mereka mulai kembali berbicara seperti dulu, namun dengan lebih banyak hati-hati. Kadang, mereka duduk bersama di taman kampus, berbincang tentang hal-hal yang pernah mereka lewatkan, namun juga berbicara tentang perubahan yang terjadi dalam hidup mereka. Alya mendengar tentang perjalanan Rian yang penuh tantangan, tentang keputusan-keputusan sulit yang harus ia ambil, dan Rian mendengar tentang kehidupan Alya yang kini lebih mandiri dan lebih dewasa, meskipun perasaan yang sama masih ada.
Namun, ada satu hal yang terus menggantung di udara—apakah mereka benar-benar siap untuk melanjutkan hubungan ini, ataukah mereka hanya menginginkan kebersamaan itu karena rasa rindu yang belum terobati?
Suatu sore, ketika langit mulai gelap dan angin berhembus sepoi-sepoi, Rian mengajak Alya untuk berjalan-jalan di sekitar kampus. Mereka melewati jalur yang biasa mereka lewati bersama dulu. Segala kenangan itu kembali hadir, membuat mereka tersenyum dan tertawa kecil.
“Aku ingat banget, kita pernah berjalan di sini, kan?” kata Alya, memandang jalan setapak yang dihiasi dengan pohon-pohon rindang. “Waktu itu rasanya semuanya lebih mudah, lebih ringan.”
Rian tersenyum, meskipun ada sesuatu yang berbeda dalam matanya. “Ya, aku ingat. Tapi sekarang semuanya sudah berbeda. Kita sudah berubah, Alya. Kita nggak bisa kembali ke masa lalu.”
Alya berhenti sejenak, menatap Rian. “Aku tahu. Tapi, apakah kita bisa melangkah ke depan, bersama-sama, meskipun kita tahu bahwa banyak hal yang berubah?”
Rian memandang Alya, dan untuk beberapa detik mereka hanya saling menatap, seolah menunggu jawaban dari dunia. “Aku ingin mencoba, Alya
Hari-hari yang mereka jalani setelah pertemuan itu terasa berbeda—lebih intens, tetapi juga lebih hati-hati. Rian dan Alya mencoba untuk menjalani hubungan mereka tanpa terburu-buru, meskipun keduanya tahu bahwa rasa rindu yang sudah lama terpendam tidak bisa diabaikan begitu saja. Rindu itu hadir begitu kuat, tetapi di sisi lain, ada ketakutan yang menggelayuti hati mereka berdua. Bagaimana kalau ini hanya ilusi? Bagaimana kalau mereka hanya kembali bertemu karena perasaan yang belum tuntas, bukan karena keduanya siap untuk melanjutkan hubungan mereka ke tahap yang lebih serius?
Alya merasa setiap pertemuan dengan Rian penuh dengan perasaan yang campur aduk. Ada kebahagiaan, tetapi juga keraguan. Mereka mulai berbicara lebih sering, menghabiskan lebih banyak waktu bersama, namun selalu ada rasa takut yang mengintai. Rasa takut bahwa pertemuan ini tidak akan bertahan lama, atau lebih buruk lagi, bahwa mereka akan saling menyakiti lagi.
Pada suatu sore yang cerah, mereka duduk di sebuah kafe kecil di dekat kampus, tempat yang dulu sering mereka kunjungi bersama. Alya sedang menyeruput secangkir teh hangat, sementara Rian mengaduk kopi hitamnya dengan pelan. Mereka tidak banyak berbicara pada awalnya. Suasana di sekitar mereka ramai, tetapi keduanya merasa seolah hanya ada mereka berdua di ruangan itu.
“Rian, aku… aku kadang bingung,” Alya akhirnya memulai pembicaraan, suaranya pelan namun penuh makna. “Kenapa kita bisa berada di sini lagi? Kenapa kita bisa bertemu lagi setelah begitu lama? Rasanya, banyak hal yang sudah berubah. Kita sudah lama tidak saling berbicara, dan sekarang kita harus memulai lagi dari awal. Apa kamu yakin ini yang kita butuhkan?”
Rian meletakkan cangkir kopinya dan menatap Alya dengan tatapan serius. “Aku juga merasa bingung, Alya. Setiap kali aku melihatmu, rasanya aku ingin mengatakan banyak hal. Tapi aku juga takut, takut kita kembali ke titik yang sama, titik di mana kita dulu terluka. Aku nggak ingin itu terjadi lagi.”
Alya menggigit bibirnya, berusaha menahan perasaan yang menggelora. “Aku juga nggak ingin itu terjadi, Rian. Aku tahu kita berdua punya banyak kenangan indah, tapi juga banyak luka. Dan aku takut kalau kita hanya mencari kebahagiaan yang dulu, tanpa melihat apa yang kita butuhkan sekarang.”
Rian mengangguk perlahan. “Aku mengerti, Alya. Aku juga nggak ingin kita terjebak dalam kenangan. Aku ingin kita bisa melangkah maju, tapi kita harus jujur tentang apa yang kita rasakan dan apa yang kita butuhkan. Aku nggak mau kita hanya mengulang apa yang sudah lewat. Kita harus belajar dari itu.”
Alya terdiam, meresapi kata-kata Rian. Perasaan itu datang begitu kuat, tetapi dia tahu bahwa untuk bisa melangkah maju, mereka harus menyelesaikan perasaan-perasaan yang belum tuntas. Mereka harus memahami apakah mereka benar-benar ingin kembali bersama, ataukah mereka hanya mencari kenyamanan di masa lalu yang sudah berlalu.
“Kita perlu waktu, Rian,” kata Alya akhirnya. “Kita nggak bisa terburu-buru. Aku ingin memastikan bahwa kita benar-benar siap untuk melanjutkan ini. Kalau memang kita punya kesempatan kedua, kita harus memulainya dengan cara yang benar.”
Rian memandangnya dengan penuh pengertian. “Aku setuju. Aku nggak mau kita terburu-buru. Aku ingin kita punya kesempatan untuk benar-benar tahu apa yang kita inginkan, tanpa tekanan atau harapan yang tidak realistis.”
Mereka saling tersenyum, meskipun ada perasaan yang belum sepenuhnya lega. Tetapi setidaknya, mereka tahu bahwa mereka tidak sedang mencari jawaban cepat. Mereka ingin memberi kesempatan pada hubungan ini untuk tumbuh, meskipun dengan langkah yang hati-hati.
Seminggu setelah pertemuan mereka di kafe, hubungan Alya dan Rian mulai terasa sedikit lebih ringan, meskipun tetap penuh ketidakpastian. Mereka masih sering bertemu, tetapi mereka tidak lagi terburu-buru mengungkapkan perasaan atau harapan. Setiap pertemuan terasa seperti langkah kecil menuju pemahaman yang lebih dalam tentang diri mereka masing-masing.
Namun, ketidakpastian itu tetap ada, tidak bisa dihindari. Kadang-kadang, Alya merasa cemas jika mereka tidak bisa menemukan jalan yang benar. Mereka berdua sudah memiliki luka masa lalu yang tak mudah untuk disembuhkan, dan terkadang Alya merasa seperti terjebak dalam perasaan yang belum tuntas. Ada bagian dari dirinya yang ingin menyerah, tetapi ada juga bagian yang terus berharap. Bagaimana mungkin dia bisa mengabaikan rasa yang begitu kuat, yang telah tumbuh begitu lama?
Suatu sore, saat mereka berjalan-jalan di sekitar kampus, Alya tidak bisa menahan diri untuk bertanya lagi. “Rian, apakah kamu yakin kita bisa melewati semua ini? Apakah kita bisa melanjutkan hubungan ini setelah segala yang sudah terjadi?”
Rian berhenti sejenak dan menatapnya dengan serius. “Aku nggak tahu, Alya. Aku nggak bisa menjanjikan apapun. Tapi satu hal yang pasti, aku nggak ingin kehilangan kesempatan ini. Aku ingin berusaha, mencoba lagi.”
Alya menggigit bibirnya. “Tapi kita nggak bisa hanya mencoba karena kita merasa rindu, kan? Aku nggak ingin kita terjebak dalam perasaan yang sudah lama ada. Kita harus memastikan bahwa ini adalah keputusan yang tepat.”
“Alya…” Rian memandangnya dengan tatapan penuh pengertian. “Aku tahu ini nggak mudah. Aku tahu kita berdua sudah banyak berubah. Tapi aku nggak bisa mengabaikan apa yang aku rasakan. Aku ingin mencoba, karena aku percaya kita bisa lebih baik.”
Alya menunduk, mencoba menahan air matanya yang mulai menggenang. “Aku juga ingin mencoba, Rian. Tapi aku takut. Takut kita hanya mengulang kesalahan yang sama.”
Rian menarik nafas dalam-dalam, lalu meletakkan tangannya di bahu Alya. “Aku juga takut, Alya. Aku takut kita nggak akan bisa kembali seperti dulu. Tapi aku ingin kita memberi kesempatan, untuk melihat apakah kita bisa menemukan kebahagiaan yang baru. Mungkin kita sudah berubah, tapi itu nggak berarti kita nggak bisa bahagia bersama.”
Alya menatap Rian, dan dalam hatinya, ada perasaan yang bercampur aduk. Harapan dan ketakutan bersatu dalam dirinya. Apakah mereka benar-benar bisa bahagia bersama lagi, ataukah ini hanya harapan yang tak bisa tercapai?
Minggu-minggu berlalu, dan meskipun perasaan mereka terus bergulat, Alya dan Rian mulai menemukan ritme yang baru dalam hubungan mereka. Mereka tidak lagi terburu-buru, tidak lagi merasa harus menyelesaikan semuanya dengan cepat. Mereka mengambil langkah-langkah kecil, berbicara lebih banyak tentang apa yang mereka inginkan, dan lebih banyak mendengarkan satu sama lain.
Alya mulai menyadari bahwa meskipun ada banyak ketakutan dan keraguan dalam dirinya, ada juga ruang untuk harapan. Ada ruang untuk kebahagiaan yang sederhana, yang bisa mereka bangun bersama. Ia tidak bisa mengabaikan perasaan yang terus mengikatnya dengan Rian, dan meskipun perjalanan mereka tidak mudah, ia mulai percaya bahwa mereka bisa menemukan jalan menuju kebahagiaan yang baru.
Suatu hari, di akhir minggu, mereka duduk di taman kampus, menikmati angin sore yang sejuk. Rian tersenyum padanya, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Alya merasa sedikit lebih tenang.
“Alya,” kata Rian dengan lembut, “terima kasih sudah memberi aku kesempatan untuk kembali dalam hidupmu. Aku tahu kita nggak tahu apa yang akan terjadi ke depannya, tapi aku ingin kamu tahu bahwa aku ingin mencoba. Aku ingin kita melangkah bersama, dengan langkah yang perlahan tapi pasti.”
Alya menatapnya dan merasa hatinya sedikit lebih ringan. “Aku juga ingin mencoba, Rian. Meskipun kita nggak tahu apa yang akan terjadi, aku ingin kita berjalan bersama. Kita nggak perlu terburu-buru. Yang penting kita berjalan bersama, dan menikmati setiap langkah.”
Mereka berdua saling tersenyum, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Alya merasa ada harapan di depan mereka. Sebuah harapan baru untuk masa depan yang mereka bangun bersama. Langkah mereka mungkin masih kecil, tetapi itu adalah langkah yang tepat—langkah menuju pemahaman, dan langkah menuju kebahagiaan yang baru.
BAB 5: Menghadapi Kenyataan
Keduanya kembali berinteraksi lebih dekat, tetapi mereka harus menghadapi kenyataan bahwa mereka telah berubah seiring berjalannya waktu.
Mereka mulai berkomunikasi lebih intens, tetapi ada banyak ketegangan yang muncul karena rindu yang terpendam begitu lama. Alya merasa sulit untuk mempercayai bahwa perasaan Rian tetap sama, sementara Rian merasa khawatir bahwa Alya sudah terlalu banyak terluka. Rindu yang sebelumnya hanya menjadi bayang-bayang, kini menjadi sebuah kenyataan yang penuh dengan ketakutan akan penolakan atau pengkhianatan.
Setelah berbulan-bulan menjalani hubungan yang penuh dengan keraguan dan harapan, Alya merasa bahwa ia mulai menemukan kedamaian dalam perasaannya. Ia dan Rian terus berjalan bersama, meskipun tidak dengan langkah yang sempurna. Setiap hari terasa seperti perjalanan kecil menuju pemahaman satu sama lain, meski ada kalanya mereka terjatuh dan saling melukai. Tetapi setelah melalui banyak perbincangan panjang dan malam-malam yang dipenuhi dengan tanya jawab, Alya mulai merasa bahwa mereka mungkin memiliki peluang untuk mengatasi masa lalu dan membangun masa depan.
Namun, kenyataan hidup tidak bisa diabaikan begitu saja. Ketika mereka berdua berusaha membangun kembali hubungan mereka, dunia di sekitar mereka seakan tidak memberikan ruang untuk kesempurnaan itu. Tuntutan hidup, pekerjaan, dan ambisi pribadi masing-masing menjadi hambatan yang tidak bisa mereka hindari. Rian yang kini semakin sibuk dengan pekerjaan barunya, serta Alya yang baru saja menerima tawaran pekerjaan impian di luar kota, mulai memisahkan mereka dalam cara yang tak terelakkan.
Pada suatu sore yang cerah, ketika matahari mulai meredup, Alya duduk sendirian di balkon apartemennya. Kota yang sibuk di bawahnya tampak seperti dunia yang terus bergerak tanpa henti, sementara ia merasa seperti terjebak dalam waktu yang berhenti sejenak. Ponselnya bergetar, tanda ada pesan baru. Itu adalah pesan dari Rian. Namun, ketika ia membuka pesan tersebut, ada sesuatu yang membuat perasaannya kembali cemas.
“Alya, kita perlu bicara. Ada hal penting yang harus aku sampaikan.”
Pesan singkat itu cukup untuk membuat jantungnya berdegup kencang. Sejak beberapa minggu terakhir, mereka sudah mulai saling menjaga jarak, tidak sengaja, tapi seolah-olah ada tembok yang terbentuk di antara mereka. Alya merasakan ketegangan itu dalam dirinya, meskipun mereka berdua tidak pernah benar-benar mengungkapkan perasaan mereka yang semakin rumit.
Dia segera membalas pesan itu.
“Apa yang terjadi? Kita bisa bicara sekarang?”
Beberapa detik kemudian, ponselnya kembali bergetar, kali ini dengan pesan suara dari Rian. Alya menahan napas sejenak sebelum memutar pesan itu.
“Alya, aku nggak tahu bagaimana harus memulainya. Tapi aku rasa aku mulai sadar kalau aku nggak bisa terus seperti ini. Kita berdua sudah berubah, dan ada hal-hal yang… nggak bisa aku hindari lagi. Kita harus jujur satu sama lain. Aku merasa kita mulai berjalan di jalan yang berbeda, dan aku nggak tahu apakah ini adalah jalan yang sama yang kita harapkan.”
Alya menggigit bibirnya, perasaan yang semula tenang kini berubah menjadi gelisah. Satu sisi dari dirinya ingin menjawab pesan itu, bertanya lebih lanjut, tetapi sisi lain merasa cemas untuk menerima kenyataan yang mungkin akan datang. Ia tahu bahwa perasaan yang mereka bangun dengan susah payah selama ini sangat rapuh. Perasaan cinta yang mereka miliki, seiring dengan kenangan indah, terasa tidak cukup kuat untuk menahan tekanan dunia yang semakin menjauhkan mereka.
Alya menatap jendela apartemennya, memikirkan banyak hal. Mungkin ini memang saat yang tepat untuk mereka menghadapi kenyataan. Apa pun itu, perasaan yang tidak pernah diungkapkan, keraguan yang tidak pernah diselesaikan, kini akan menemukan titik terang.
Alya memutuskan untuk menunggu sampai malam hari untuk bertemu dengan Rian. Mereka sepakat untuk bertemu di tempat yang biasa mereka kunjungi, sebuah kafe kecil di pinggiran kota. Saat ia tiba, Rian sudah menunggu di meja yang mereka pilih, tampak serius dan sedikit cemas. Alya tidak bisa menahan perasaan heran melihat bagaimana Rian duduk dengan tangan terlipat, menunggu dengan hati yang berat.
“Alya,” Rian menyapa pelan ketika ia duduk di hadapan Alya. “Aku tahu kita belum pernah membicarakan hal ini, tapi aku rasa ini saatnya.”
Alya mengangguk pelan. “Aku juga merasakannya, Rian. Ada sesuatu yang mengganjal, dan aku tahu kita harus jujur tentang apa yang kita rasakan. Tentang kita, tentang hubungan ini, tentang apa yang sebenarnya kita inginkan.”
Rian menarik napas panjang, matanya menunjukkan keraguan. “Aku nggak tahu harus mulai dari mana. Tapi yang jelas, aku merasa kita mulai berjalan ke arah yang berbeda. Kita sama-sama punya impian dan tujuan yang berbeda. Aku semakin sibuk dengan pekerjaan, dan aku merasa kita jarang punya waktu untuk satu sama lain. Kamu juga akan mulai bekerja di luar kota, kan?”
Alya menunduk, matanya menatap gelas teh di depannya. “Ya, aku mendapat tawaran kerja di luar kota. Itu adalah kesempatan yang besar, Rian. Tapi aku juga bingung. Aku nggak tahu bagaimana harus memprioritaskan semuanya.”
Rian menyentuh tangannya yang terletak di atas meja. “Aku paham. Aku juga merasa kalau kita nggak bisa terus berjalan seperti ini. Aku ingin mendukungmu, tetapi aku juga merasa semakin jauh darimu. Mungkin ini saatnya kita melihat kenyataan—mungkin kita nggak bisa tetap bersama seperti dulu.”
Alya terdiam sejenak, perasaannya semakin kacau. Kata-kata Rian terdengar seperti keputusan yang sudah final, meskipun hatinya menolak untuk menerima kenyataan itu. “Jadi, apa maksudmu? Apakah kita harus mengakhiri semuanya?”
Rian menggigit bibirnya, tidak tahu harus berkata apa lagi. “Aku nggak tahu, Alya. Aku nggak ingin menyakitimu, tapi aku juga nggak ingin kita terjebak dalam hubungan yang tidak lagi sehat. Kita berdua sudah banyak berubah, dan kita tidak bisa terus berpura-pura bahwa semuanya akan baik-baik saja.”
“Aku tahu,” Alya menjawab dengan suara berat. “Aku tahu kalau kita harus menghadapi kenyataan ini. Aku takut, Rian. Takut kalau kita harus berpisah setelah semua yang kita lewati bersama. Tapi aku juga sadar, kita nggak bisa terus menghindari masalah ini.”
Keheningan menguasai mereka sejenak, masing-masing tenggelam dalam pikiran dan perasaan yang berat. Alya merasakan air mata yang mulai menggenang di matanya, tetapi ia menahannya. Mereka sudah berusaha untuk menjaga hubungan ini tetap hidup, tetapi mungkin sekarang saatnya untuk melepaskannya.
Hari-hari berikutnya terasa begitu hampa bagi Alya. Meskipun keputusan untuk berpisah belum sepenuhnya diambil, kenyataan bahwa hubungan mereka berada di ambang kehancuran mulai menghantui pikirannya. Setiap kali ia memikirkan masa depan, ia merasa ada ketakutan yang datang bersama perasaan itu. Apakah ia benar-benar siap untuk kehilangan Rian setelah semuanya yang telah mereka lewati? Apakah ini keputusan yang benar?
Di sisi lain, Rian juga merasa bingung. Dia merasa kehilangan arah, tetapi juga tahu bahwa ia harus menerima kenyataan bahwa hubungan mereka telah berubah. Pekerjaannya yang semakin menyita perhatian dan jarak fisik yang mulai memisahkan mereka membuatnya merasa tertekan. Namun, di dalam hatinya, Rian masih mencintai Alya dan tidak ingin menyerah begitu saja.
Pada suatu malam, mereka bertemu kembali, kali ini tanpa kata-kata manis yang biasanya mereka bagi. Semua terasa lebih berat, lebih penuh dengan keheningan. Mereka duduk bersebelahan di sebuah bangku taman, menghadap ke langit malam yang dipenuhi bintang.
“Alya,” Rian mulai dengan suara pelan, “aku ingin kamu tahu bahwa aku masih peduli sama kamu. Tapi aku juga merasa kita harus membuat keputusan yang jujur. Aku nggak ingin kita terus hidup dalam kebingungan seperti ini. Kita harus memilih, entah bersama, atau berpisah dan memberi ruang untuk hidup kita masing-masing.”
Alya menunduk, suaranya hampir tak terdengar saat ia berbicara. “Aku juga peduli sama kamu, Rian. Tapi kadang aku merasa kita terlalu terbebani dengan masa lalu dan perasaan kita. Aku nggak tahu apakah kita bisa benar-benar bahagia lagi, atau kita hanya terjebak dalam kenangan yang sudah lama.”
Rian menggenggam tangannya dengan lembut. “Aku ingin kita bahagia, Alya. Meskipun itu berarti kita harus berpisah, aku ingin kita berdua menemukan kebahagiaan kita masing-masing.”
Setelah beberapa saat yang penuh ketegangan, Alya akhirnya berbicara dengan lebih tenang.
Hari-hari berlalu setelah percakapan penting itu, namun bagi Alya, setiap langkah terasa semakin berat. Meskipun ia dan Rian telah membicarakan kemungkinan berpisah, ada perasaan yang sangat sulit untuk diterima—perasaan bahwa mereka sudah terlalu jauh membawa hubungan ini, namun pada akhirnya harus menghadapinya dengan hati yang tidak siap. Di satu sisi, Alya merasa ada ruang yang masih bisa mereka perbaiki, tetapi di sisi lain, ia tahu bahwa kenyataan tidak bisa dihindari. Hidup mereka telah berubah.
Alya duduk di kursinya, memandang keluar jendela apartemen yang terletak di lantai lima, melihat lampu-lampu kota yang berkelap-kelip, menciptakan pola-pola indah yang tidak bisa ia sentuh. Selama beberapa minggu terakhir, pikiran tentang pekerjaan baru di luar kota dan perubahan dalam hubungan mereka terus menghantui pikirannya. Di satu sisi, tawaran pekerjaan itu adalah kesempatan yang ia impikan sejak lama—kesempatan untuk berkembang, untuk menjadi lebih baik. Namun, di sisi lain, ada Rian, yang meskipun masih ada di sana, semakin merasa seperti jarak yang memisahkan mereka semakin jauh.
Alya merasakan perasaan kehilangan yang mendalam. Ketika pertama kali mereka bertemu, segala sesuatu terasa begitu sempurna. Mereka berbagi impian, berbagi waktu bersama, dan seakan dunia milik mereka berdua. Namun, waktu telah mengubah segalanya. Mimpi itu kini terlihat seperti kenangan, sementara kenyataan yang mereka hadapi adalah kebisuan, jarak, dan pilihan sulit antara bertahan atau melepaskan.
Ponselnya bergetar.
Pesan dari Rian. “Alya, apakah kita bisa bicara malam ini? Ada hal yang perlu aku sampaikan.”
Alya tahu, ini adalah momen yang akan menentukan. Tidak ada lagi ruang untuk menghindar. Rian sudah memberi tahu bahwa mereka perlu membuat keputusan besar. Dengan hati yang berat, Alya membalas pesan itu.
“Aku sudah siap, Rian. Kita bicara malam ini.”
Malam itu, Alya dan Rian bertemu di sebuah kafe yang tenang. Tempat yang dulunya penuh dengan tawa dan cerita manis, kini terasa hampa. Keduanya duduk berhadapan, saling memandang, namun tidak tahu bagaimana memulai percakapan ini.
Alya merasakan ketegangan yang begitu dalam di udara. Ia tidak tahu apakah mereka akan saling melepaskan atau justru berusaha memperbaiki segalanya. Tapi satu hal yang pasti: percakapan ini akan menjadi titik balik dalam hubungan mereka.
Rian memulai, suaranya sedikit serak. “Alya, aku tahu kita sudah berusaha sekuat tenaga untuk menjaga hubungan ini. Tapi semakin lama, aku merasa kita hanya semakin terjebak dalam perasaan yang tidak bisa kita kontrol. Kita berdua punya kehidupan masing-masing sekarang, dan aku rasa kita harus menerima kenyataan bahwa kita sudah berubah.”
Alya menundukkan kepala, berusaha menahan air mata yang mulai menggenang. “Aku tahu, Rian. Aku tahu kita tidak bisa terus seperti ini. Kita semakin jarang berbicara, jarang menghabiskan waktu bersama. Dan pekerjaan kita masing-masing membuat semuanya semakin sulit. Tapi aku… aku nggak tahu apa yang harus kita lakukan sekarang.”
Rian menatapnya dengan penuh keprihatinan. “Alya, aku masih mencintaimu. Itu yang membuat semuanya lebih sulit. Tetapi aku juga sadar bahwa kita tidak bisa memaksakan hubungan ini jika tidak ada lagi ruang bagi kita untuk tumbuh bersama. Aku nggak ingin kita terus berjalan di tempat yang sama hanya karena perasaan lama. Kita berdua layak mendapatkan yang lebih baik.”
Alya merasakan seakan ada bagian dari dirinya yang hancur mendengar kata-kata Rian. Tentu saja, ia tahu apa yang sedang terjadi. Mereka berdua semakin menjauh, namun ia tidak pernah siap untuk menghadapinya secara langsung. Ia ingin berjuang, ingin berusaha untuk tetap bersama. Tetapi ada kenyataan yang tidak bisa dipungkiri, bahwa mungkin, cinta saja tidak cukup untuk mengatasi segalanya.
“Aku juga mencintaimu, Rian. Tapi… aku takut. Aku takut kalau kita melepaskan ini, aku akan kehilangan dirimu selamanya. Kita sudah melewati begitu banyak hal bersama, dan sekarang kita harus mengakhiri semuanya?”
Rian menggenggam tangannya dengan lembut. “Aku tidak ingin kita berpisah seperti ini, Alya. Tapi kita harus berhenti berjuang melawan kenyataan. Aku ingin kita punya kesempatan untuk tumbuh masing-masing, untuk mengejar impian kita, tanpa harus terbelenggu oleh hubungan ini.”
Keheningan menguasai mereka. Alya merasakan ada ribuan perasaan yang bergejolak dalam dirinya—rasa sakit, kebingungan, dan kesedihan. Tetapi di balik semuanya, ada juga rasa pengertian, bahwa ini mungkin memang yang terbaik untuk mereka. Hati Alya terasa berat, namun ia tahu bahwa tidak ada yang bisa ia lakukan untuk mengubah kenyataan ini.
“Aku… aku tidak tahu bagaimana melanjutkan hidup setelah ini,” kata Alya, suaranya hampir tak terdengar.
Rian menatapnya dengan penuh kesedihan. “Kita tidak perlu tahu sekarang, Alya. Mungkin kita memang harus memberi waktu untuk diri kita sendiri. Tidak ada yang mudah dalam hidup ini, tapi terkadang kita harus memilih jalan yang paling benar untuk kita masing-masing.”
Alya menundukkan kepalanya, merasakan air mata yang tidak bisa lagi ia tahan. Setiap tetes air mata adalah ungkapan dari segala perasaan yang telah terkubur lama. Ia ingin berteriak, ingin memprotes kenyataan ini, tetapi ia tahu bahwa ini adalah jalan yang harus mereka ambil.
Setelah percakapan malam itu, Alya merasa dunia seakan berputar lebih lambat. Keputusan untuk berpisah sudah diambil, meskipun perasaannya masih bimbang. Bagaimana mungkin ia melepaskan seseorang yang telah menjadi bagian dari hidupnya begitu lama? Rian bukan hanya kekasihnya, tetapi juga teman baik, orang yang selalu ada di sampingnya. Dan sekarang, mereka harus menghadapi kenyataan bahwa mereka akan berjalan di jalur yang berbeda.
Hari-hari setelah percakapan itu terasa kosong. Mereka masih bertemu sesekali, tetapi percakapan mereka tidak lagi penuh dengan canda tawa. Semuanya terasa hampa, dan bahkan pertemuan singkat itu terasa seperti beban berat yang tidak bisa mereka lepaskan begitu saja.
Alya memutuskan untuk mulai menata ulang hidupnya. Pekerjaan barunya yang akan membawanya ke luar kota semakin dekat, dan ia tahu bahwa ini adalah kesempatan untuk melepaskan diri dari perasaan yang mengikatnya. Ini adalah saatnya untuk menjalani hidup tanpa bayang-bayang masa lalu, meskipun itu berarti ia harus meninggalkan Rian di belakang.
Sementara itu, Rian juga berusaha menjalani hidupnya dengan cara yang berbeda. Pekerjaan yang semakin menuntut, serta kesibukan yang mengelilinginya, menjadi pelarian dari perasaan yang kini ia coba simpan dalam-dalam. Namun, ada bagian dari dirinya yang merasa kehilangan. Perasaan itu tidak bisa dipungkiri, tetapi ia tahu bahwa ia harus memulai kembali, tanpa tergantung pada hubungan yang sudah tidak lagi bisa dipertahankan.
Beberapa bulan setelah percakapan itu, Alya telah mulai beradaptasi dengan hidup barunya di kota yang jauh dari rumah. Setiap hari ia disibukkan dengan pekerjaan baru, bertemu dengan orang-orang baru, dan menjalani rutinitas yang tidak mengenal masa lalu. Namun, meskipun ia mencoba untuk tidak berpikir tentang Rian, ada saat-saat tertentu ketika kenangan indah mereka bersama kembali menghampirinya.
Di suatu sore, saat ia sedang berjalan pulang dari kantor, ponselnya bergetar. Pesan dari Rian.
“Alya, aku harap kamu baik-baik saja di sana. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi ke depan, tetapi aku ingin kamu tahu bahwa aku selalu mendukungmu.”
Alya terdiam sejenak, membaca pesan itu dengan hati yang campur aduk. Setelah sekian lama, akhirnya mereka berdua sampai pada titik di mana mereka bisa saling menerima kenyataan, meskipun itu bukanlah hal yang mudah.
Alya membalas pesan itu dengan singkat, tetapi penuh makna.
“Aku baik-baik saja, Rian. Terima kasih sudah selalu mendukungku. Aku akan selalu menghargai kenangan kita bersama.”
Setelah mengirimkan pesan itu, Alya menatap langit sore yang penuh warna, merasakan kedamaian dalam dirinya yang baru. Ia tahu bahwa meskipun hubungan mereka telah berakhir, ia telah belajar banyak dari perjalanan
BAB 6: Terungkapnya Perasaan
Dalam sebuah momen emosional, baik di tempat yang penuh kenangan atau saat mereka berada dalam kesulitan bersama, perasaan yang terpendam selama bertahun-tahun akhirnya terungkap.
Dalam sebuah percakapan jujur, baik Alya maupun Rian mengungkapkan apa yang mereka rasakan. Rian akhirnya mengakui bahwa ia selalu merindukan Alya, tetapi takut untuk melangkah lebih jauh karena waktu yang telah terlewat. Alya juga mengungkapkan kerinduannya yang dalam, serta ketakutannya bahwa mereka tidak bisa lagi kembali ke masa lalu. Keduanya akhirnya menyadari bahwa meskipun banyak waktu yang terbuang, perasaan mereka tidak pernah hilang. Mereka memilih untuk mulai membuka hati mereka kembali satu sama lain.
Beberapa bulan setelah perpisahan mereka, hidup Alya dan Rian tampaknya bergerak maju meskipun dengan kecepatan yang berbeda. Alya, yang kini tinggal di kota baru dengan pekerjaan baru yang menuntut, merasakan kekosongan yang tak terisi. Meskipun ia berusaha sibuk dengan karir dan rutinitasnya, perasaan terhadap Rian tetap membayangi setiap langkahnya. Dia ingin melepaskan semuanya, namun kenyataannya, melepaskan Rian bukanlah hal yang semudah itu.
Alya sering kali terjaga hingga larut malam, memikirkan kenangan mereka bersama. Percakapan mereka yang tak terlupakan, tawa mereka yang mengisi ruang kosong, serta sentuhan tangan Rian yang dulu selalu memberi ketenangan. Namun, yang lebih menyakitkan adalah kenyataan bahwa mereka berdua terjebak dalam keadaan yang sulit—terlalu banyak hal yang belum mereka ungkapkan, terlalu banyak perasaan yang tak terucapkan.
Di sisi lain, Rian juga merasakan hal yang sama. Meskipun pekerjaannya semakin berkembang dan ia berusaha untuk fokus pada hidupnya yang baru, ada kekosongan dalam dirinya yang tak bisa diisi oleh apapun selain perasaan yang ia miliki untuk Alya. Ia selalu berusaha menahan perasaan itu, takut bahwa jika ia membuka hatinya lagi, ia akan kehilangan dirinya sendiri.
Hidup mereka sekarang sudah sangat berbeda. Alya dengan rutinitas barunya, teman-teman baru, dan kota yang penuh dengan kemungkinan baru. Rian dengan pekerjaannya yang semakin menuntut dan usaha untuk menjaga diri dari perasaan yang begitu kuat terhadap wanita yang masih mengisi hatinya. Mereka berdua tahu bahwa mereka harus terus maju, meskipun ada bagian dari diri mereka yang ingin kembali ke masa lalu, ke hubungan yang telah mereka tinggalkan.
Namun, kadang-kadang, perasaan itu tak bisa ditahan begitu saja.
Tiga bulan berlalu sejak percakapan terakhir mereka di kafe itu. Tidak ada kabar yang datang dari Rian maupun Alya. Meskipun mereka berdua menyimpan rasa ingin tahu tentang kehidupan masing-masing, keduanya sepakat untuk tidak menghubungi satu sama lain. Keputusan itu, meskipun menyakitkan, adalah cara mereka untuk memberi ruang pada diri mereka sendiri.
Namun, ketika satu pagi Alya membuka email dan menemukan pesan yang tidak ia duga, segalanya berubah. Di dalam email itu, ada undangan untuk sebuah acara reuni kecil dari teman-teman lama mereka. Teman-teman yang dulu selalu hadir dalam kehidupan mereka berdua—teman-teman yang tahu tentang hubungan mereka yang indah dan penuh warna.
Di bawah undangan itu, ada catatan singkat dari Rian:
“Alya, aku berharap kamu bisa datang. Aku tahu ini mungkin terasa aneh, tetapi aku pikir ini adalah kesempatan yang baik untuk bertemu kembali, untuk berbicara dan mengakhiri segala hal yang belum selesai antara kita.”
Alya menatap layar ponselnya, jantungnya berdegup kencang. Sejak percakapan terakhir mereka, ia sudah berusaha meyakinkan diri bahwa perasaan itu telah berlalu. Tapi, meskipun ia tahu bahwa pertemuan ini akan membawa banyak kenangan, ia merasa sulit untuk menahan diri. Ada bagian dari dirinya yang ingin mendengar suara Rian lagi, melihat tatapan matanya, dan merasakan kebersamaannya. Namun, ada juga rasa takut bahwa pertemuan itu akan membuka luka lama yang belum sepenuhnya sembuh.
Alya menatap undangan itu dalam diam, bertanya-tanya apakah ini adalah langkah yang benar. Di satu sisi, ia merasa bahwa ini adalah kesempatan untuk menyelesaikan perasaan yang belum terungkapkan, tetapi di sisi lain, ia khawatir pertemuan ini hanya akan membuat mereka semakin terluka.
Setelah berjuang dengan perasaannya, akhirnya Alya memutuskan untuk datang. Ia merasa bahwa ini adalah bagian dari proses untuk melepaskan semuanya—untuk memberi ruang bagi dirinya sendiri untuk lebih menerima kenyataan, dan untuk melihat apakah mereka bisa kembali berbicara sebagai dua orang dewasa yang sudah belajar dari masa lalu.
Hari pertemuan itu datang juga. Alya mengenakan pakaian yang sederhana namun elegan, berusaha untuk tampak percaya diri meskipun di dalam hatinya, kegelisahan menguasai. Ia tiba lebih awal, berharap bisa menenangkan diri sebelum bertemu dengan Rian. Namun, saat ia memasuki kafe yang telah dipilih untuk reuni itu, perasaan cemasnya semakin kuat. Ruangan itu terasa asing, meskipun ada beberapa teman lama yang tersenyum padanya.
Dan di sudut ruangan itu, duduklah Rian. Ketika mata mereka bertemu, ada rasa canggung yang langsung terasa, tetapi juga sebuah ketegangan yang tidak bisa disembunyikan. Rian tersenyum tipis, kemudian berdiri menyambut Alya dengan sebuah pelukan singkat yang terasa seperti kenyataan yang mulai perlahan diterima.
“Alya,” suara Rian terdengar serak, “Senang bisa melihatmu lagi.”
Alya hanya mengangguk, mencoba menenangkan diri. “Aku juga senang bisa bertemu denganmu, Rian. Sudah lama sekali.”
Beberapa detik berlalu, dan keduanya terdiam sejenak. Di sekitar mereka, teman-teman yang hadir tampak berbicara, tetapi semuanya tampak seperti latar belakang. Hanya ada mereka berdua, terjebak dalam ruang yang penuh kenangan dan perasaan yang sulit diungkapkan.
Alya menghela napas pelan. “Aku… aku tidak tahu apa yang harus kukatakan. Setelah kita berpisah, aku merasa seperti ada bagian dari diriku yang hilang. Tetapi aku juga tahu bahwa kita sudah memilih jalan kita masing-masing.”
Rian mengangguk perlahan, matanya tidak lepas dari Alya. “Aku tahu, Alya. Aku merasa begitu juga. Kita sudah berusaha, tetapi kenyataan tidak bisa dihindari. Namun, perasaan ini… perasaan yang aku miliki untukmu… itu tidak pernah hilang.”
Alya terdiam mendengar kata-kata Rian. Ia menunduk, mencoba menyembunyikan perasaan yang tiba-tiba muncul kembali. “Rian… kamu tidak tahu betapa sulitnya aku menerima kenyataan itu. Aku selalu berpikir, mungkin aku hanya harus melupakan semuanya. Tetapi tidak semudah itu, bukan?”
Rian tersenyum pahit. “Aku tahu. Aku tahu kita berdua harus belajar untuk melepaskan, tetapi kadang-kadang, perasaan itu tetap ada. Entah bagaimana, perasaan itu terus ada, meskipun kita sudah berusaha untuk mengabaikannya.”
Mereka saling menatap dalam keheningan. Alya merasa jantungnya berdegup kencang, dan sebuah dorongan untuk mengungkapkan perasaannya yang tertahan begitu lama muncul begitu saja.
“Aku masih mencintaimu, Rian,” kata Alya akhirnya, suara itu hampir terdengar putus asa. “Aku tidak bisa menyangkalnya. Tidak peduli seberapa jauh aku mencoba menghindari perasaan itu, aku masih mencintaimu.”
Rian terdiam sejenak, matanya terpejam seolah meresapi setiap kata yang baru saja keluar dari mulut Alya. Setelah beberapa saat, ia berbicara dengan lembut. “Aku juga, Alya. Aku juga masih mencintaimu. Tetapi aku takut, kita sudah terlambat. Kita sudah memilih jalan yang berbeda.”
Alya merasakan air mata yang hampir menetes di sudut matanya. “Kenapa kita harus memilih jalan itu, Rian? Kenapa kita tidak bisa kembali seperti dulu?”
Rian menggenggam tangan Alya, dan untuk sesaat, dunia mereka hanya terdiri dari keduanya. Tidak ada teman-teman, tidak ada perpisahan yang mengganggu, hanya dua hati yang mencoba memahami satu sama lain.
“Alya, aku ingin kita bahagia, apapun bentuk kebahagiaan itu,” kata Rian dengan suara yang penuh emosi. “Tapi kita harus jujur pada diri sendiri. Mungkin kita berdua harus belajar untuk mencintai diri kita sendiri sebelum kita bisa mencintai satu sama lain lagi.”
Waktu berlalu, dan pertemuan mereka malam itu membuka kembali luka lama. Namun, ada juga kesadaran yang datang, bahwa meskipun mereka masih mencintai satu sama lain, kenyataan hidup memaksa mereka untuk menerima bahwa cinta saja tidak cukup. Ada banyak hal yang perlu mereka pertimbangkan, banyak keputusan yang harus mereka ambil.
Alya dan Rian, meskipun masih saling mencintai, akhirnya memutuskan untuk memberi ruang pada diri mereka masing-masing. Mereka tahu bahwa meskipun cinta itu masih ada, ada perjalanan yang lebih panjang yang harus mereka tempuh sebelum bisa bersama lagi.
Tiga bulan sudah berlalu sejak percakapan terakhir mereka, sejak keputusan untuk berpisah yang terasa lebih seperti mengunci pintu yang tak bisa dibuka lagi. Setelah itu, hubungan mereka menjadi kabur, seperti lukisan yang pelan-pelan pudar. Alya dengan kehidupannya di kota baru, Rian dengan pekerjaannya yang semakin menuntut. Meski tidak ada komunikasi langsung, ada kesepian yang menghubungkan mereka, seperti dua benang yang terpisah namun masih berhubungan oleh suatu kekuatan tak tampak.
Namun, semuanya berubah saat sebuah undangan reuni tiba di inbox Alya. Sebuah acara yang mengumpulkan teman-teman lama, yang tak hanya mengenal mereka sebagai individu, tetapi juga sebagai pasangan yang sering kali menjadi pusat perhatian di setiap pertemuan. Di tengah keramaian kota baru yang mulai ia nikmati, perasaan tentang Rian kembali mengemuka, mengguncang segala tatanan yang ia bangun dengan susah payah.
Tiga bulan tanpa kabar darinya membuat Alya mulai berpikir bahwa perasaan itu perlahan memudar. Tetapi, saat melihat nama Rian di email undangan tersebut, hati Alya kembali berdebar. Sebuah dilema muncul. Akankah ia datang ke reuni itu, bertemu dengan orang-orang yang pernah menjadi bagian penting dalam hidupnya—termasuk Rian? Atau akankah ia menghindari kenyataan dan terus mengubur perasaan yang selama ini ia coba untuk lupakan?
Alya memutuskan untuk datang, meski dengan perasaan ragu dan cemas yang menggerogoti.
Hari yang dinanti tiba juga. Alya mengenakan gaun hitam sederhana yang sudah lama tidak ia pakai, merasa bahwa penampilannya harus menunjukkan keberanian meskipun di dalam hatinya, kegelisahan terus menyelimutinya. Ia tahu, pertemuan ini akan membawa banyak kenangan, yang sekaligus membuka luka-luka lama yang belum sembuh.
Kafe itu sudah ramai ketika Alya tiba. Suasana riuh, teman-teman lama berbicara dan tertawa, mengenang masa-masa ketika mereka semua masih bersama. Namun, bagi Alya, segala kegembiraan itu terasa kabur. Matanya melirik sekeliling, mencari satu sosok yang sudah lama ia rindukan, namun sekaligus ia tak tahu apakah siap untuk menghadapinya.
Alya berjalan ke meja yang sudah dipenuhi teman-teman lama. Semua orang menyapanya dengan hangat, tetapi Alya tahu, ada satu orang yang ia cari, satu sosok yang membuat dadanya sesak. Dan akhirnya, di sudut ruangan, Rian terlihat sedang berbicara dengan beberapa orang, tertawa lepas seperti dulu. Ketika mata mereka bertemu, ada jeda sejenak—keheningan yang hanya mereka berdua yang rasakan. Seakan dunia di sekitar mereka tiba-tiba terhenti, dan Alya merasa seperti waktu kembali ke masa-masa saat mereka masih bersama.
Rian berdiri, senyum tipis terukir di wajahnya. “Alya,” panggilnya, “Senang sekali kamu datang.”
Alya mengangguk pelan. “Aku juga senang bisa bertemu lagi.” Ia merasa canggung, meskipun kata-kata itu keluar dengan lancar. “Kamu terlihat baik-baik saja.”
Rian tersenyum, namun di balik senyumnya, Alya bisa melihat seberkas kesedihan yang tak bisa disembunyikan. “Aku… aku baik-baik saja,” jawab Rian dengan suara yang agak serak. “Bagaimana dengan kamu?”
Alya menghela napas dalam-dalam. “Aku… masih belajar untuk menyesuaikan diri. Semua terasa berbeda.” Dia tidak ingin mengungkapkan lebih banyak. Tidak ingin membuka luka yang sudah ia coba tutupi selama ini.
Mereka berdua hanya terdiam sejenak. Teman-teman mereka mulai berbicara lagi, tetapi keduanya seakan terjebak dalam dunia mereka sendiri. Saat-saat itu, tak bisa dipungkiri, perasaan yang dulu ada kembali muncul. Kenangan akan hubungan mereka, tawa mereka bersama, serta cinta yang sempat mereka miliki, terasa begitu hidup dalam sekejap.
Rian akhirnya memutuskan untuk memulai percakapan. “Alya, aku ingin berbicara denganmu. Mungkin ada hal-hal yang harus kita selesaikan, hal-hal yang tidak pernah kita bicarakan sebelumnya.”
Alya terdiam sejenak, menimbang kata-kata Rian. “Aku rasa kita sudah cukup berbicara, Rian. Semua sudah selesai, kan?”
Rian mengangguk perlahan. “Aku tahu, tetapi aku merasa seperti ada sesuatu yang belum selesai di antara kita. Aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya, tetapi aku merasa bahwa meskipun kita sudah berpisah, ada perasaan yang masih mengikat kita.”
Alya merasakan perasaan yang selama ini ia coba lupakan kembali muncul begitu saja. “Kamu benar, ada banyak hal yang belum selesai. Tetapi apakah kita bisa benar-benar mengubah apapun sekarang?”
Rian menatapnya dalam-dalam, lalu berkata dengan perlahan, “Aku ingin kita bisa mencoba untuk berbicara lebih terbuka, Alya. Aku masih mencintaimu, dan aku tidak bisa lagi berpura-pura bahwa perasaan itu hilang.”
Alya terdiam. Kata-kata itu begitu menohok, membuka kembali luka-luka yang selama ini ia sembunyikan. Ia menunduk, berusaha menahan air mata yang hampir saja jatuh.
“Aku juga masih mencintaimu, Rian,” jawabnya dengan suara pelan. “Tapi kita sudah berpisah. Kita sudah memilih jalan kita masing-masing.”
Rian menggenggam tangan Alya dengan lembut, meskipun ada rasa ragu yang tergambar di wajahnya. “Kadang-kadang, aku merasa seperti kita masih bisa menemukan jalan kembali. Tetapi aku tahu, kita tidak bisa memaksakan sesuatu yang sudah tidak bisa lagi kita kendalikan.”
Alya menatap Rian, mencoba memahami perasaan yang ada di balik kata-katanya. “Aku… aku ingin sekali bisa kembali seperti dulu. Tapi aku juga tahu, kita tidak bisa melupakan kenyataan. Kita sudah memilih untuk berpisah.”
Namun, ada bagian dari diri Alya yang merasa tidak siap untuk melepaskan itu. Ada bagian dari dirinya yang ingin berjuang, yang masih berharap bahwa mungkin, hanya mungkin, mereka bisa memperbaiki semuanya.
Malam itu, setelah reuni berakhir, Alya dan Rian berjalan keluar dari kafe, berdua. Meskipun banyak orang lain yang masih berkumpul, mereka berdua memilih untuk menjauh, memilih untuk menghadapi percakapan yang sudah lama tertunda.
“Kamu ingat saat kita pertama kali bertemu?” tanya Rian, memecah keheningan di antara mereka.
Alya tersenyum kecil, mengingat kembali kenangan itu. “Tentu saja. Kita bertemu di perpustakaan, bukan? Kamu dengan buku tebal yang selalu kamu bawa. Aku ingat, kamu hampir menabrakku.”
Rian tertawa, namun ada kesedihan yang terselip di suaranya. “Aku ingat itu. Aku juga ingat bagaimana kita sering berbicara hingga larut malam, berbagi cerita tentang masa depan, impian kita. Rasanya, tidak ada yang bisa menghalangi kita.”
Alya mengangguk pelan. “Aku juga ingat itu. Kita memiliki begitu banyak harapan, Rian. Tapi, terkadang, harapan itu tidak selalu cukup. Kita berubah, dan hidup membawa kita ke arah yang berbeda.”
Rian berhenti berjalan, dan Alya juga ikut berhenti di sampingnya. Mereka berdua berdiri di tengah malam yang sepi, hanya ada suara angin dan langkah kaki yang jauh di belakang mereka.
“Alya,” Rian mulai, suara itu lebih lembut dari sebelumnya, “Aku tidak bisa lagi berpura-pura bahwa aku tidak mencintaimu. Aku mencoba untuk melupakan semuanya, untuk menerima perpisahan kita. Tapi itu tidak mudah. Aku masih merasa ada yang hilang.”
Alya menatap Rian dengan mata yang penuh perasaan. “Aku juga merasakannya, Rian. Tetapi kita tidak bisa kembali. Mungkin ini jalan yang harus kita jalani, meskipun itu sangat sulit.”
Rian menghela napas panjang. “Aku tahu, Alya. Aku tahu kita tidak bisa kembali, tetapi aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku akan selalu ada untukmu, apapun yang terjadi. Aku ingin kamu bahagia, meskipun itu berarti kita harus berpisah.”
Alya merasakan air mata yang hampir jatuh, tetapi ia menahan diri. “Aku juga ingin kamu bahagia, Rian. Mungkin, ini adalah jalan yang harus kita tempuh, meskipun berat.”
Dengan kata-kata itu, mereka berdua saling berpandangan, dan tanpa ada kata-kata lagi, mereka tahu bahwa meskipun perasaan itu belum sepenuhnya.
Di bawah langit malam yang tenang, di kota yang mulai terasa asing bagi keduanya, Rian dan Alya berdiri dalam diam. Tidak ada kata-kata lagi yang mereka bisa ucapkan, hanya ada keheningan yang terasa begitu berat, namun penuh dengan pemahaman yang tak terucapkan. Alya merasa hatinya seperti dipenuhi banyak perasaan yang saling bertabrakan. Di satu sisi, ia ingin sekali memperbaiki segala hal yang rusak antara mereka; namun di sisi lain, ia tahu bahwa ada hal-hal yang tidak bisa diubah hanya dengan keinginan.
Mereka telah saling mencintai, tapi kehidupan telah membawa mereka ke tempat yang jauh berbeda. Mereka tahu bahwa perasaan itu tak bisa dipaksa untuk tetap ada dalam bentuk yang sama. Begitu banyak yang telah terjadi—waktu, jarak, dan perbedaan yang membuat mereka lebih dari sekadar dua orang yang pernah berbagi mimpi.
Rian mengalihkan pandangannya ke arah langit, lalu kembali melihat Alya. “Alya, aku tahu ini tidak mudah. Tetapi mungkin sudah saatnya bagi kita untuk memberi ruang pada diri kita masing-masing. Aku tahu kita saling mencintai, tapi kadang, cinta saja tidak cukup.”
Alya mengangguk pelan, berusaha menahan air mata yang hampir jatuh. “Aku tahu, Rian. Aku ingin sekali bisa kembali seperti dulu, tetapi aku juga tahu kita sudah berubah. Aku rasa, ini adalah akhir dari perjalanan kita bersama.”
Rian menatap Alya dengan tatapan penuh perasaan. “Aku akan selalu menghargai apa yang telah kita miliki. Aku akan selalu mengingatmu sebagai bagian penting dalam hidupku. Dan meskipun kita tidak bersama, aku berharap kita tetap bisa menjadi dua orang yang saling mendukung dalam perjalanan masing-masing.”
Alya tersenyum tipis, meskipun hatinya terasa begitu berat. “Aku juga berharap begitu, Rian. Kita sudah saling memberi banyak kenangan, dan aku akan selalu menghargai itu.”
Dengan kata-kata itu, mereka berdua berjalan menjauh, masing-masing membawa perasaan yang rumit dan kesedihan yang tak terucapkan. Namun, meskipun perasaan itu belum sepenuhnya bisa hilang, mereka tahu bahwa keputusan ini adalah yang terbaik—untuk mereka berdua.
Hari-hari setelah pertemuan itu berjalan seperti biasa. Alya kembali ke rutinitasnya di kota baru, sementara Rian fokus pada pekerjaan dan kehidupannya. Meskipun perasaan mereka masih ada, keduanya mulai belajar untuk menerima kenyataan bahwa cinta tidak selalu bisa menjadi jaminan untuk kebersamaan. Mereka telah berjuang, tetapi hidup membawa mereka ke arah yang berbeda.
Alya mulai merasa lebih tenang setelah pertemuan itu. Ia belajar untuk menerima bahwa meskipun ia masih mencintai Rian, ada banyak hal yang lebih penting yang harus ia perjuangkan. Ia berusaha fokus pada karirnya, berusaha untuk mengejar impian-impian yang sempat ia lupakan karena terlalu banyak berpikir tentang hubungan yang belum selesai. Di sisi lain, ia juga mencoba untuk lebih terbuka dengan perasaan-perasaan lain yang ada dalam dirinya. Rian bukan satu-satunya yang bisa membuatnya merasa hidup.
Rian, pada gilirannya, juga mulai belajar untuk menerima kenyataan. Ia memahami bahwa meskipun ia masih mencintai Alya, ada batasan-batasan yang harus dihormati. Cinta mereka mungkin tidak lagi bisa mengikat mereka, tetapi itu tidak berarti bahwa semuanya harus berakhir dengan amarah atau kebencian. Mereka berdua adalah bagian penting dalam perjalanan hidup satu sama lain, meskipun mereka kini berada di jalur yang berbeda.
Pada suatu malam yang sunyi, setelah beberapa waktu berlalu, Alya menerima sebuah pesan dari Rian. Isinya sederhana, hanya sebuah kalimat yang penuh dengan kedamaian:
“Aku harap kamu bahagia, Alya. Terima kasih telah menjadi bagian dari hidupku.”
Alya menatap pesan itu dalam diam. Ia tidak segera membalas, tetapi hatinya merasa lebih ringan. Perasaan yang selama ini terpendam, yang begitu berat dan sulit untuk diungkapkan, kini terasa sedikit lebih mudah untuk diterima. Ia tahu, meskipun perpisahan itu sulit, keduanya telah melakukan yang terbaik untuk diri mereka sendiri.
Waktu berlalu, dan perasaan yang pernah ada di antara Alya dan Rian mulai menjadi kenangan yang manis, meskipun sedikit terluka. Meskipun mereka tidak lagi bersama, mereka mulai memahami bahwa terkadang, hal terbaik yang bisa dilakukan adalah melepaskan. Mereka mulai menghargai kenangan yang mereka bagi, tetapi juga berfokus pada masa depan yang menunggu mereka di luar sana.
Alya akhirnya merasa lebih tenang, mampu menjalani hidupnya dengan penuh rasa syukur atas semua yang telah terjadi. Ia tahu bahwa cinta yang ia miliki untuk Rian akan selalu ada dalam dirinya, tetapi ia juga tahu bahwa hidup harus terus berjalan. Ia membuka hatinya untuk kemungkinan-kemungkinan baru, tetapi ia tidak melupakan pelajaran berharga yang ia dapatkan dari hubungan itu.
Rian juga melanjutkan hidupnya. Meskipun terkadang, ia merasa ada yang hilang, ia mulai menyadari bahwa ia harus menemukan kebahagiaannya sendiri. Ia tidak bisa terus bergantung pada kenangan masa lalu, dan ia mulai membuka diri untuk hal-hal baru. Dalam hatinya, ia selalu menghargai waktu yang ia habiskan bersama Alya, tetapi ia tahu bahwa hidup harus terus maju, bahkan jika itu berarti berjalan tanpa orang yang pernah sangat berarti bagi dirinya.
Cinta yang Mengubah Hidup
Perjalanan hidup sering kali membawa kita pada persimpangan yang sulit, dan dalam banyak kasus, kita harus membuat keputusan yang berat untuk menemukan kedamaian. Alya dan Rian telah melalui perjalanan yang penuh dengan liku-liku, dan meskipun mereka tidak lagi bersama, mereka telah belajar untuk menerima kenyataan. Cinta yang mereka miliki pernah kuat, tetapi kadang, meskipun cinta itu masih ada, ada alasan yang lebih besar yang memisahkan mereka.
Alya dan Rian, meskipun tidak bersama lagi, akhirnya menemukan kedamaian dalam diri mereka masing-masing. Mereka menyadari bahwa tidak ada jalan yang salah dalam perjalanan ini. Mereka telah belajar untuk menghargai kenangan, untuk menerima perasaan yang terpendam, dan untuk memahami bahwa kehidupan terus berjalan, dengan atau tanpa seseorang di samping kita.
Kehidupan mereka akan terus berlanjut, penuh dengan kemungkinan-kemungkinan baru, tetapi kenangan tentang cinta mereka akan selalu menjadi bagian dari cerita yang tak terlupakan. Mereka telah mengungkapkan perasaan mereka, dan meskipun mereka tidak bersama, keduanya telah menemukan kedamaian dalam diri mereka, dalam perjalanan mereka yang penuh makna.***