Kisah Cinta
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
Kisah Cinta
No Result
View All Result

RINDU YANG TAK TERUCAP

RINDU YANG TAK TERUCAP

SAME KADE by SAME KADE
February 23, 2025
in Cinta Jarak jauh
Reading Time: 27 mins read
RINDU YANG TAK TERUCAP

Daftar Isi

  • Bab 1: Awal Mula Perpisahan
  • BAB 2: Komunikasi yang Mulai Terganggu
  • BAB 3: Pesan yang Tertunda
  • BAB 4: Pertemuan Tak Terduga
  • BAB 5: Rindu yang Akhirnya Terucap
  • Bab 6: menata Kembali Hubungan
  • BAB 7: Cinta yang Terjaga

Bab 1: Awal Mula Perpisahan

Alya menatap layar ponselnya, masih kosong. Hari ini adalah hari yang berat, dan ia tahu itu. Reza, kekasihnya yang sudah menjalin hubungan dengannya selama hampir tiga tahun, akan pergi. Pergi jauh lebih jauh dari yang bisa ia bayangkan. Tawarkan pekerjaan yang didapatnya itu adalah kesempatan besar, dan Reza tidak bisa menolaknya. Tapi, di sisi lain, Alya merasa dunia ini seperti akan runtuh.

Saat pertama kali Reza memberi tahu berita itu, Alya tidak tahu harus merasa apa. Kebahagiaan karena melihat Reza mendapatkan kesempatan yang sangat bagus di luar negeri? Atau rasa takut yang mendalam akan kehilangan orang yang sangat ia cintai? Tentu, perasaan rindu pasti akan datang. Itu pasti. Tapi bagaimanapun, kesempatan itu tidak datang dua kali. Itulah yang Alya tahu.

“Kenapa harus sekarang?” pikirnya.

Setelah mendengar penjelasan panjang lebar tentang alasan dan manfaat pekerjaan baru Reza, Alya memilih untuk diam. Dia mencoba menelan perasaan cemas dan sedih yang bergejolak di dadanya. Tidak ada yang lebih sulit daripada memilih untuk mendukung seseorang yang sedang mengejar impian mereka, ketika di sisi lain, impian Alya hanya ingin tetap dekat dengan orang yang dicintainya. Namun, seiring berjalannya waktu, dia menyadari satu hal—ini adalah ujian pertama dalam hubungan mereka.

“Jarak bukan masalah besar, kan?” kata Reza malam itu, mencoba meyakinkan Alya. “Kita akan tetap berkomunikasi. Teknologi sudah sangat canggih sekarang, kita bisa video call kapan saja.”

Alya hanya mengangguk, meskipun hatinya merasa sedikit hancur. “Iya, aku percaya kamu, Reza.”

Reza
Reza duduk di bangku pesawat, memandangi kota Jakarta yang perlahan-lahan menjauh. Sebelum ia terbang, Alya sempat menangis, tetapi tidak menunjukkan betapa ia takut dan cemas. Reza tahu, Alya tidak akan pernah mengungkapkan semua perasaan yang sesungguhnya. Ia selalu kuat, selalu mencoba untuk menjadi pendukung terbaik dalam hidupnya, meskipun hatinya sendiri mungkin sedang remuk.

Keputusan untuk pergi ini sangat sulit. Reza bisa merasakan setiap detik ketegangan antara mereka sejak hari itu sejak ia mengungkapkan bahwa kesempatan ini datang begitu mendesak dan ia tidak bisa melewatkannya. Ia tahu hubungan mereka mungkin akan diuji, bahkan mungkin terancam retak. Tapi di sisi lain, ia merasa ini adalah langkah yang benar untuk dirinya. Masa depan kariernya akan lebih cerah, dan mungkin mereka bisa menemukan cara untuk melewati jarak yang memisahkan.

“Tapi, apa yang akan terjadi jika jarak ini terlalu besar untuk kita?” pikir Reza saat pesawat itu semakin tinggi. Sesaat, dia merasa rindu untuk bisa tetap berada di samping Alya, merasa tangannya menggenggam tangan Alya, merasakan kehangatannya. Perasaan itu datang begitu mendalam, tetapi Reza tahu keputusan ini adalah untuk kebaikan mereka berdua. Meski begitu, ia pun merasa takut. Takut bahwa kedekatan yang mereka miliki akan pudar seiring waktu.

Kisah Mereka Dimulai
Tiga tahun lalu, di sebuah kafe kecil dekat kampus, Alya pertama kali bertemu Reza. Saat itu, mereka berada di dalam lingkaran teman-teman yang sama, tetapi tak pernah benar-benar saling mengenal. Reza datang dari kota lain dan baru beberapa bulan menetap di Jakarta untuk melanjutkan studi S2-nya, sementara Alya adalah mahasiswi tingkat akhir yang sedang mengerjakan skripsi.

Pertemuan mereka diawali dengan obrolan ringan, yang ternyata membuka banyak hal. Alya terpesona dengan cara Reza berbicara tentang dunia dan impian-impian besar yang ia miliki. Di sisi lain, Reza merasa nyaman berada di dekat Alya yang ceria dan penuh semangat, meskipun kadang sedikit pendiam. Mereka berbicara tentang segala hal, mulai dari buku yang mereka baca, musik yang mereka dengarkan, hingga mimpi-mimpi tentang masa depan.

Lambat laun, perasaan mulai tumbuh di antara mereka. Cinta mereka berkembang seperti bunga yang perlahan terbuka. Mereka melakukan banyak hal bersama: pergi ke bioskop, makan malam, berjalan-jalan di taman kota. Setiap momen terasa indah dan sederhana, namun memiliki makna yang dalam. Tidak ada yang lebih penting selain saling berbagi kebahagiaan dan cinta.

Reza bahkan mulai mengenalkan Alya pada keluarga dan teman-temannya, dan mereka saling berbagi cerita tentang masa lalu, keinginan hidup, dan apa yang mereka harapkan dari masa depan. Alya merasa seperti menemukan pasangan yang tepat—seseorang yang mengerti dan mendukung segala aspirasinya. Begitu juga Reza, yang merasa tidak ada yang lebih baik dari kehadiran Alya di hidupnya.

Panggilan yang Mengubah Segalanya
Namun, saat Reza menerima tawaran pekerjaan di luar negeri, segalanya mulai berubah. Reza sudah menduga ini akan menjadi titik kritis dalam hubungan mereka. Sebuah tawaran besar datang ke hidupnya, kesempatan yang tidak bisa ia lewatkan. Namun di sisi lain, ia harus meninggalkan Alya, orang yang selama ini menjadi bagian terbesar dalam hidupnya.

“Sayang, kamu harus mengerti. Ini adalah kesempatan yang tak bisa datang dua kali. Aku tidak tahu kapan akan ada kesempatan seperti ini lagi,” kata Reza dengan suara serak, mencoba menjelaskan pada Alya malam itu. “Kamu tahu betapa aku mencintaimu, kan? Tapi aku juga harus meraih cita-citaku.”

Alya menundukkan kepala, menahan air mata yang hampir tumpah. Ia ingin mengatakan sesuatu, tetapi kata-kata itu terhalang. Ada banyak perasaan yang bercampur aduk, tapi tidak ada kata-kata yang bisa mewakili semuanya. Cinta itu indah, namun kadang, cinta harus dilepaskan agar seseorang bisa tumbuh lebih baik. Alya tahu itu, meskipun hatinya terasa berat.

“Reza, aku tahu ini penting. Aku juga ingin kamu bahagia. Aku hanya… takut,” jawab Alya, suara yang hampir tak terdengar. “Takut kalau jarak ini akan membuat kita jauh. Aku takut aku tidak bisa menjadi yang terbaik untukmu jika kita terpisah jauh.”

Reza menghela napas, meraih tangan Alya dengan lembut. “Kita akan tetap bersama, kamu dan aku. Jarak ini… tidak akan pernah memisahkan kita. Aku janji.”

Namun, meskipun janji itu terdengar meyakinkan, di dalam hati mereka berdua tahu bahwa ujian besar baru saja dimulai.

Keputusan yang Sulit
Setelah perbincangan itu, Alya tidak bisa tidur. Pikirannya terus dipenuhi oleh bayangan Reza yang meninggalkannya. Ia tahu bahwa ia harus mendukung keputusan Reza. Ini adalah kesempatan besar bagi Reza. Tapi, setiap kali ia berpikir tentang betapa jauh mereka akan terpisah, ia merasa ketakutan yang tak bisa dijelaskan.

Tengah malam itu, Alya duduk di tepi ranjangnya, menatap foto-foto mereka yang terjejer di meja. Setiap gambar membawa kenangan indah, namun juga perasaan kesepian yang mulai menyusup ke dalam hatinya.

“Apakah aku bisa bertahan tanpa Reza?” pikirnya. “Apakah cinta kita cukup kuat untuk mengatasi jarak ini?”

Alya tahu bahwa jarak akan menguji segalanya. Bahkan, lebih dari itu, ia tahu bahwa hubungan mereka akan diuji oleh waktu dan perasaan yang terpendam. Ia hanya berharap, bahwa meskipun mereka terpisah oleh ruang, hati mereka tetap saling terhubung, saling merindukan meski tidak mengucapkannya.

Hari keberangkatan Reza akhirnya tiba. Alya berdiri di bandara, di tengah keramaian, mencoba menahan air mata. Reza memeluknya erat, seolah ingin memberikan kekuatan. Mereka berdua tidak mengatakan banyak kata-kata. Hanya pelukan dan tatapan mata yang saling berbicara. Cinta yang tak terucapkan begitulah rasanya.

“Jaga dirimu baik-baik,” bisik Reza di telinga Alya, seolah ini adalah janji terakhir yang harus mereka pegang. “Aku akan kembali untukmu. Suatu hari nanti.”

Alya mengangguk pelan, mencoba menahan perasaan yang mulai tumpah. “Aku akan menunggumu, Reza.”

Pesawat itu mulai mengudara, meninggalkan tanah air. Alya menatap ke arah pesawat yang semakin kecil di kejauhan, sambil berdoa agar perasaan ini perasaan rindu yang tak terucapkan bisa bertahan lama.*

BAB 2: Komunikasi yang Mulai Terganggu

Kehidupan Baru Reza: Reza mulai sibuk dengan pekerjaannya. Tunjukkan bagaimana pekerjaan dan perbedaan zona waktu memengaruhi frekuensi komunikasi mereka.Rasa Kesepian Alya: Alya merasakan kesendirian yang mendalam meskipun di sekelilingnya banyak teman. Dia merasa ada jarak emosional meskipun mereka masih saling berkirim pesan.
Keterbatasan Komunikasi: Tunjukkan bagaimana Alya mulai merasakan kekosongan ketika Reza mulai tidak terlalu sering membalas pesan atau telepon.
Rindu yang Tak Terucapkan: Alya menahan perasaan rindunya, takut jika mengungkapkan rasa rindu malah membuat Reza merasa terbebani.

Alya
Hari pertama setelah Reza berangkat terasa seperti mimpi yang aneh. Alya tidak tahu harus merasa apa. Semua rasanya terbalik. Ia sudah berusaha sekuat mungkin untuk tetap tenang dan mendukung keputusan Reza, namun kenyataan bahwa hubungan mereka kini akan diuji oleh jarak begitu menghantui hatinya.

Pagi itu, setelah mengantarkan Reza ke bandara, Alya kembali ke apartemennya dengan langkah pelan. Setiap sudut ruangannya terasa sepi, dan ketika ia membuka jendela, angin sejuk menyentuh wajahnya, tapi itu tidak menghilangkan rasa kosong di dalam hati.

“Dia sudah pergi,” pikir Alya, dan perasaan itu seperti sebuah kenyataan yang tidak bisa ia hindari.

Beberapa jam setelah kepulangan Reza, ponselnya berdering. Itu adalah pesan dari Reza.

Reza: “Aku sudah sampai di tempat. Sedikit lelah, tapi semuanya baik-baik saja. Aku rindu kamu.”

Alya tersenyum tipis, membaca pesan itu berulang kali. Tapi, seiring berjalannya waktu, dia merasakan kegelisahan. Kenapa pesan itu begitu singkat? Kenapa hanya “rindu” yang terucap, tidak ada lagi kehangatan seperti biasanya? Mungkin Reza terlalu lelah setelah perjalanan panjang, mungkin juga karena perbedaan waktu yang menyulitkan mereka untuk berbicara lebih banyak. Alya mencoba untuk tidak berpikir terlalu banyak.

Namun, kenyataan semakin terasa keras. Reza mulai sibuk dengan pekerjaannya di luar negeri. Mereka berbicara di aplikasi pesan singkat, sesekali video call, tapi semua terasa berbeda. Tidak ada lagi percakapan panjang seperti dulu, saat mereka bisa menghabiskan waktu berjam-jam di telepon, berbicara tentang segala hal.

Hari pertama berlalu, begitu juga dengan hari kedua, ketiga, dan seterusnya. Pesan-pesan dari Reza semakin jarang. Beberapa kali Alya mencoba untuk menghubungi Reza, namun sering kali ia hanya menerima balasan singkat, atau terkadang tidak dibalas sama sekali.

Reza: “Maaf, sibuk banget hari ini. Nanti aku telepon ya, sayang.”

Tapi telepon yang dijanjikan itu tidak datang. Alya merasa terabaikan. Ia tahu Reza sedang beradaptasi dengan kehidupan barunya, tetapi perasaan kesepian yang mulai melanda membuatnya cemas. Mengapa Reza tidak pernah menghubunginya lebih dulu? Mengapa ia harus selalu menunggu? Alya berusaha menahan rasa cemas itu, tapi semakin hari perasaan itu semakin tumbuh.

Reza
Di sisi lain, Reza juga merasakan hal yang sama. Walaupun ia tidak bisa mengungkapkan betapa ia merindukan Alya, kesibukannya membuat segalanya semakin sulit. Pekerjaan baru yang menuntutnya untuk beradaptasi dengan lingkungan yang berbeda, serta perbedaan waktu yang jauh, membuatnya sering kali tidak bisa memberikan perhatian penuh pada Alya.

Setiap kali ia membuka pesan dari Alya, ia merasa terjebak antara kewajibannya untuk menjaga komunikasi dengan orang yang ia cintai dan tugas yang menunggu di depan mata. Meskipun ia berusaha keras untuk tetap berada dalam kehidupan Alya, kesibukannya membuatnya sering kali harus mengabaikan pesan atau panggilan telepon.

“Kenapa aku merasa seperti ini?” tanya Reza pada dirinya sendiri saat duduk di meja kantornya, melihat layar ponsel yang penuh dengan pesan dari Alya. Beberapa pesan belum dibaca, beberapa sudah dibaca tapi belum dibalas. Ia merasa seperti ada yang hilang, tapi ia juga merasa bahwa ia tidak punya cukup waktu untuk bisa memberi lebih banyak perhatian.

Alya: “Aku rindu kamu, Reza. Kenapa kita jarang bicara sekarang?”

Reza menghela napas panjang dan menatap pesan itu. Ada rasa bersalah yang menyergap dirinya. Ia tidak ingin mengecewakan Alya, tetapi ia juga tidak bisa menahan semua tanggung jawab yang datang dengan pekerjaan barunya. “Aku harus menyelesaikan ini dulu,” pikirnya, dan ia pun memilih untuk membalas pesan itu dengan singkat.

Reza: “Maaf ya, sayang. Aku sibuk banget. Kita bicara nanti malam, ya?”

Tapi malam itu, telepon yang dijanjikan tidak pernah datang. Reza terlalu lelah, terlalu terfokus pada pekerjaannya. Ketika ia terbaring di tempat tidur, ia merasa gelisah, tetapi ia tidak tahu bagaimana cara mengatasi perasaan itu

Alya
Hari-hari berikutnya berlalu dengan lambat. Alya mulai merasa bahwa ada sesuatu yang salah. Ia tidak tahu bagaimana cara mengungkapkan perasaannya yang semakin berat. Setiap kali ia melihat layar ponselnya, harapannya terbang begitu saja ketika pesan dari Reza tidak datang. Ia merasa seperti hidupnya kini kosong, meskipun ia tahu Reza selalu ada di pikirannya.

Suatu malam, ketika Alya duduk di depan komputernya, menyelesaikan tugas kuliah yang tidak ada habisnya, ia memutuskan untuk mengirim pesan kepada Reza. Ia tidak ingin tampak terlalu cemas, tapi perasaan ini terlalu sulit untuk ditahan.

Alya: “Reza, apakah kita masih baik-baik saja? Aku merasa kita semakin jauh, aku tidak tahu kenapa, tapi aku merasa kesepian.”

Tunggu. Alya menunggu pesan balasan dari Reza. Waktu berlalu begitu cepat. Sejam, dua jam, tiga jam, dan akhirnya pesan itu datang.

Reza: “Alya, aku minta maaf. Aku sibuk banget belakangan ini. Aku janji aku akan lebih banyak meluangkan waktu untuk kita.”

Alya membaca pesan itu berulang kali, tetapi perasaan kosong di hatinya tidak hilang. Ia tahu Reza berusaha, tetapi kenyataan bahwa mereka semakin jauh secara emosional membuatnya merasa terluka.

“Kenapa tidak pernah ada kata-kata manis lagi seperti dulu? Kenapa semuanya terasa begitu kering dan jauh?” pikir Alya.

Reza
Reza merasa seperti terjebak dalam dunia yang asing. Semua orang di sekitarnya terlihat sibuk dengan pekerjaan mereka, sementara ia merasa dirinya semakin jauh dari Alya. Meskipun ia tahu bahwa ia harus terus bekerja keras untuk meraih tujuannya, ia juga merasa ada sesuatu yang hilang dari hubungan mereka.

Setiap kali ia memikirkan Alya, ada rasa bersalah yang datang. “Kenapa aku tidak bisa mengatur waktu dengan lebih baik?” tanya Reza pada dirinya sendiri. Ia mencoba mengalihkan perhatiannya pada pekerjaannya, tapi hatinya terus terhubung dengan Alya.

Suatu malam, setelah selesai dengan tugas-tugasnya, Reza duduk di depan ponselnya, memandangi layar yang menampilkan pesan dari Alya.

Alya: “Aku merasa kita semakin jauh, Reza. Aku rindu kamu, tapi aku tidak tahu bagaimana kita bisa melewati ini.”

Reza menarik napas panjang dan menulis balasan.

Reza: “Alya, aku juga rindu. Aku minta maaf, aku tidak tahu harus bagaimana. Aku akan berusaha lebih baik.”

Namun, meskipun ia menulis kata-kata itu, ia tahu bahwa itu tidak akan cukup. Jarak ini mulai meruntuhkan apa yang mereka bangun bersama. Reza merasa tidak bisa lagi menyeimbangkan antara pekerjaan dan hubungan. Setiap kali ia merasa lelah, ia merasa seperti mengabaikan Alya. Dan setiap kali ia melihat pesan atau panggilan tak terjawab dari Alya, ia merasa semakin bersalah.

Alya
Alya terbangun di tengah malam, matanya masih setengah tertutup. Ia melihat layar ponselnya yang menunjukkan beberapa pesan dari Reza. Namun, kali ini ia merasa seperti sudah kehilangan harapan. Tangan Alya gemetar saat membaca pesan-pesan itu, pesan-pesan yang seharusnya membuatnya merasa lebih baik, namun malah semakin menambah ketidakpastian.

Reza: “Aku benar-benar minta maaf, Alya. Aku akan berusaha lebih baik.”

Setiap kali pesan itu datang, Alya merasa seperti ada yang hilang, sesuatu yang tidak bisa ia raih. Setiap kata terasa kosong, meskipun ia tahu Reza tidak bermaksud seperti itu. Tetapi perasaan kesepian semakin membelenggu dirinya. Ia tahu ia harus kuat, tetapi terkadang, ia merasa seperti tidak ada lagi yang bisa ia lakukan untuk menyelamatkan hubungan ini.

BAB 3: Pesan yang Tertunda

Perasaan Alya yang Terpendam: Alya mencoba menulis pesan kepada Reza, namun selalu terhenti sebelum dikirim. Dia takut kata-katanya akan membuat Reza merasa tertekan.
Pikiran Reza yang Kembali Terfokus pada Karier: Di sisi Reza, dia juga merasa bersalah karena tidak bisa menghabiskan lebih banyak waktu untuk Alya, namun kariernya yang semakin menuntut perhatian membuatnya tidak bisa memberi lebih banyak perhatian.
Malam Tanpa Tidur: Alya menghabiskan malam-malamnya dengan memikirkan Reza. Ada banyak kata-kata yang ingin dia ucapkan, tetapi ragu untuk mengirimkan pesan panjang yang bisa memperburuk keadaan.
Momen Puncak: Alya akhirnya memutuskan untuk menulis pesan panjang yang berisi rindu dan perasaannya yang selama ini tidak terucap. Namun, ketika akan mengirimnya, ia ragu dan pesan itu pun tetap tidak terkirim.

Hari-hari berlalu dengan cepat, namun hati Alya terasa begitu berat. Setiap kali ia memeriksa ponselnya, ada perasaan harap yang terpendam, menunggu pesan yang datang dari Reza. Tapi, seringkali, pesan yang ia harapkan tidak pernah muncul. Setiap kali ia mengirim pesan, selalu ada jarak waktu yang panjang sebelum Reza membalas, atau terkadang tidak ada balasan sama sekali.

Hari ini, seperti biasa, Alya sedang duduk di ruang tamunya, menatap layar ponsel dengan tangan yang terlipat di dada. Ada pesan yang sudah beberapa jam tertunda, dan hatinya semakin tercekik oleh ketidakpastian.

Pesan dari Alya: “Reza, sudah lama sekali kita tidak bicara. Aku rindu kamu. Aku ingin tahu apa yang terjadi denganmu di sana. Tolong balas, ya?”

Alya menunggu, beberapa menit pertama terasa biasa saja. Lalu, lima menit, sepuluh menit… tiga puluh menit. Tidak ada balasan. Setiap detik yang berlalu terasa semakin lama. Beberapa kali Alya membuka aplikasi pesan, hanya untuk menatap layar kosong dan menunggu pesan yang tidak datang.

“Apa dia benar-benar sibuk, atau dia sudah tidak peduli lagi?” pikir Alya, menekan perasaan yang mulai menyesakkan dada.

Tak lama kemudian, ia mencoba menenangkan dirinya dengan mengingat kembali masa-masa indah bersama Reza. Percakapan panjang di telepon malam hari, video call yang penuh canda tawa, dan rencana-rencana masa depan yang mereka buat bersama. Tetapi seiring waktu, semua itu terasa semakin jauh. Entah di mana, ada jarak yang mulai merenggangkan mereka.

Setengah jam kemudian, ponselnya bergetar. Alya segera meraih ponselnya dengan harapan tinggi, namun begitu melihat nama Reza muncul, hatinya sedikit mendesah kecewa. Pesan itu datang, namun tidak sesuai harapannya.

Pesan dari Reza: “Maaf, Alya. Aku sangat sibuk belakangan ini. Pekerjaanku banyak, dan aku tidak punya banyak waktu untuk chatting. Semoga kamu mengerti. Aku rindu juga, tapi aku sedang mencoba menyesuaikan diri di sini. Aku janji akan menghubungimu segera.”

Alya menatap pesan itu lama sekali. Ada perasaan campur aduk yang melanda dirinya. Di satu sisi, ia tahu Reza tidak bermaksud untuk menjauhkan diri. Tetapi di sisi lain, kata-kata yang singkat dan terkesan terburu-buru itu semakin menyakitkan.

“Aku rindu juga…”

Alya merasa kata-kata itu terlalu kosong. Seperti ada jarak yang tidak bisa diungkapkan dengan sekadar kata-kata. Dan untuk kesekian kalinya, ia bertanya pada dirinya sendiri, “Apakah kita masih bisa bertahan?”

Setelah membaca pesan itu, Alya tidak langsung membalas. Ia merasa terlalu lelah dengan komunikasi yang terputus-putus seperti ini. Apa gunanya terus berusaha jika semuanya terasa tidak ada perubahan? Ia mencoba untuk berfokus pada tugas-tugas kuliah yang masih menunggu, namun pikirannya selalu kembali pada Reza.

Beberapa jam kemudian…

Alya duduk di meja belajarnya, mencoba untuk berkonsentrasi pada skripsi yang sudah menumpuk. Namun pikiran tentang Reza, tentang pesan yang tertunda, membuatnya sulit untuk fokus. Lagi-lagi, ia membuka aplikasi pesan, dan kali ini, ia menulis sesuatu dengan hati yang sedikit terbuka.

Pesan dari Alya: “Reza, aku tahu kamu sibuk, dan aku mencoba untuk mengerti. Tapi aku juga merasa semakin jauh darimu. Setiap kali aku menunggu pesanmu, aku merasa seperti bagian dari diriku hilang. Aku hanya ingin tahu, apakah kita masih bisa saling merasakan, meskipun kita terpisah jauh. Tolong, beri aku waktu untuk merasa lebih tenang.”*

Alya menatap pesan itu untuk beberapa saat, ragu apakah ia sudah terlalu terbuka atau tidak. Akhirnya, setelah beberapa kali membaca ulang, ia memutuskan untuk mengirimkannya. Segera setelah itu, ia meletakkan ponselnya dan kembali mencoba fokus pada skripsi.

Namun, tidak ada jawaban yang datang. Waktu berlalu, dan Alya merasa semakin terpuruk. Setiap detik yang berlalu, setiap pesan yang tertunda, membuat perasaannya semakin ragu. Apakah ia harus bertahan lebih lama? Ataukah semua ini hanya sebuah kebiasaan yang harus ia lepaskan?

Beberapa hari kemudian, saat Alya sedang menunggu di kampus untuk pertemuan dengan dosen pembimbing, ponselnya berbunyi. Itu adalah pesan dari Reza. Alya segera membuka pesan itu dengan harapan yang kecil, tapi ketika ia membacanya, hati kecilnya merasa kecewa.

Pesan dari Reza: “Alya, maaf, aku belum bisa menghubungimu. Aku sedang ada di luar kota untuk beberapa hari. Aku janji setelah ini aku akan kembali menghubungimu. Terima kasih sudah sabar menunggu.”

Tentu saja, Alya tahu bahwa Reza sedang berusaha. Tetapi setiap kali dia mendengar kata “janji”, hatinya selalu bertanya-tanya. Seberapa banyak lagi janji yang harus mereka berikan satu sama lain? Apakah kata-kata itu akan selalu cukup untuk menenangkan hatinya yang sudah merasa terluka?

Reza, di sisi lain, merasa terjepit oleh pesan-pesan Alya yang terus datang. Setiap kali ia melihat pesan baru dari Alya, ada perasaan bersalah yang muncul. Ia tahu Alya merindukannya, tetapi pekerjaannya yang menuntutnya untuk sering bepergian dan beradaptasi dengan kehidupan baru membuatnya sering kali tidak bisa fokus pada hubungan mereka.

Reza sudah berniat untuk menghubungi Alya lebih sering, tetapi setiap kali ia membuka ponselnya, ia selalu merasa terlalu lelah untuk berbicara panjang lebar. Ia mencoba menghibur dirinya dengan berpikir bahwa ini hanya sementara. Nanti, ketika ia lebih stabil di tempat barunya, semua akan kembali seperti semula.

Namun, ketika ia melihat pesan-pesan dari Alya, perasaan cemas semakin menggumpal di dadanya. Ia merasa takut kalau segala yang telah mereka bangun akan hancur.

“Kenapa semuanya jadi begitu rumit?” tanya Reza pada dirinya sendiri sambil menatap pesan terakhir dari Alya.

Ia menyadari bahwa meskipun ia mengirimkan pesan-pesan singkat, ia tidak bisa sepenuhnya mengabaikan perasaan Alya. Tetapi, seiring dengan kesibukannya, semakin sulit baginya untuk menemukan waktu untuk memberikan perhatian yang cukup.

“Alya, aku harus melakukan sesuatu,” bisik Reza, saat ia menatap ponselnya yang kosong.

Reza akhirnya memutuskan untuk menulis balasan yang lebih panjang dan penuh perhatian, berusaha untuk meyakinkan Alya bahwa ia masih mencintainya meskipun jarak memisahkan mereka.

Pesan dari Reza: “Aku benar-benar minta maaf. Aku tahu aku telah membuatmu merasa jauh, dan itu salahku. Aku sedang berusaha, dan aku janji akan lebih sering menghubungimu. Kamu adalah segalanya bagiku, Alya, dan aku tidak ingin kehilanganmu. Aku akan berusaha untuk lebih baik. Aku rindu.”

Namun, meskipun Reza mengirimkan pesan itu dengan tulus, ada perasaan takut yang menggelayuti dirinya. Apakah kata-kata itu akan cukup untuk membuat Alya merasa lebih baik? Ataukah ini sudah terlambat?*

BAB 4: Pertemuan Tak Terduga

Kesempatan Bertemu: Reza mendapat kesempatan pulang untuk beberapa hari. Alya merasa cemas karena terlalu banyak perasaan yang tidak diungkapkan. Mereka berdua merencanakan pertemuan, tetapi ketegangan dan keraguan sudah mulai menguasai keduanya.
Rindu yang Meledak: Setelah sekian lama tidak bertemu, perasaan rindu mereka semakin kuat. Alya merasa takut jika mereka tidak bisa kembali seperti dulu, dan Reza merasa cemas tentang bagaimana hubungan mereka akan berjalan setelah pertemuan ini.
Komunikasi yang Tertunda: Ketika bertemu, mereka berdua kesulitan untuk mengungkapkan apa yang selama ini mereka rasakan. Ada banyak ketegangan yang tidak terucap.

Alya menatap layar ponselnya, menunggu dengan harapan yang samar-samar. Pesan dari Reza masih belum datang. Semakin banyak waktu yang terlewat, semakin terasa jarak di antara mereka. Tidak ada lagi percakapan manis atau rencana-rencana kecil yang dulu mereka buat. Semuanya berubah sejak ia dan Reza memutuskan untuk menjalani hubungan jarak jauh ini.

Pagi itu, Alya bangun dengan perasaan tak menentu. Dia merasa seperti sudah terjebak dalam rutinitas yang monoton: kuliah, mengerjakan tugas, menunggu pesan dari Reza, dan kemudian merasa kecewa ketika tak ada yang datang.

Sudah beberapa kali, Alya mencoba menghubungi Reza melalui pesan suara atau video call, tapi sering kali hanya mendapat balasan singkat atau bahkan tak dibalas sama sekali. Ia merasa seperti terjebak dalam kesepian yang tak terlihat.

Namun, pada pagi yang berbeda itu, sesuatu yang tidak terduga terjadi. Ketika Alya sedang menyusuri lorong kampus untuk menuju kelas, matanya menangkap sosok yang sangat dikenalnya Reza.

Jantung Alya berdetak lebih cepat. Pikirannya seolah terhenti sejenak. “Apa mungkin itu dia?”

Reza berdiri di ujung lorong, mengenakan jaket hitam dan kacamata hitam, tampak sibuk dengan ponselnya. Alya hanya berdiri terpaku, tak bisa bergerak. Reza, yang tampaknya tidak menyadari keberadaan Alya, mengangkat kepalanya dan akhirnya melihat sosoknya.

Mata mereka bertemu, dan dalam detik itu, dunia seakan berhenti berputar. Alya merasa sesuatu yang aneh melintas di dalam hatinya rasa rindu yang mendalam bercampur dengan kekhawatiran. Reza berjalan mendekat, dan dalam sekejap, mereka sudah saling berhadapan.

“Reza?” Alya akhirnya berhasil berkata dengan suara gemetar.

“Alya… Kamu di sini?” Reza tampak terkejut, bahkan agak bingung.

“Kamu… di sini?”** Alya mengulang kalimatnya, suaranya mulai tersekat di tenggorokan.

Reza tersenyum canggung, mencoba mengumpulkan kata-kata. “Aku… aku tidak tahu harus bilang apa. Aku cuma”

Namun, sebelum ia bisa melanjutkan, Alya sudah melangkah maju dan memeluknya erat, seakan takut kehadirannya hanya bayangan. Reza terkejut, namun tidak membalas pelukan itu secepat yang diinginkan Alya. Ada kebingungannya, tapi ada juga perasaan lega yang menyelinap dalam dadanya.

“Aku rindu banget, Reza. Kenapa kamu tidak bilang kalau kamu akan datang ke sini?” Alya berbicara dengan nada sedikit marah, tapi ada isak yang sulit ia tahan.

“Aku… aku tidak tahu harus bagaimana, Alya. Aku hanya ingin melihatmu,”jawab Reza pelan, membalas pelukan itu dengan lembut.

Reza sebenarnya sudah tahu bahwa kepergiannya meninggalkan luka pada Alya. Selama beberapa minggu terakhir, ia merasa kesal dengan dirinya sendiri. Ia terlalu sibuk dengan pekerjaan, dan semakin hari semakin sulit baginya untuk menjaga komunikasi dengan Alya seperti dulu.

Namun, tidak pernah ada niat dalam hatinya untuk menjauh. Pekerjaan yang menumpuk membuatnya merasa terjepit. Ia merasa seperti tidak cukup memberi pada hubungan ini. Bahkan, dalam perjalanan kembali ke Indonesia kali ini, ia merasa ada yang harus ia lakukan untuk memperbaiki semuanya.

Ia tahu ia harus berbicara dengan Alya, harus mengungkapkan apa yang sebenarnya terjadi dalam pikirannya. Tetapi ketika ia tiba di kampus dan melihat Alya berdiri di depan pintu kelas, tiba-tiba kata-kata itu menghilang begitu saja.

Reza menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri sebelum akhirnya berkata, “Alya, maafkan aku. Aku terlalu sibuk dan tidak memberi waktu untuk kita.”

Alya hanya bisa mengangguk, menahan air mata yang hampir jatuh. “Aku mengerti, Reza. Tapi aku juga merasa sangat kesepian. Aku merindukanmu, dan kita sudah terlalu lama terpisah. Apa yang sebenarnya kamu inginkan dari kita?”

Reza terdiam, matanya menghindari tatapan Alya. Ia tahu Alya butuh kejelasan. Ia ingin memberi kepastian, tetapi kadang-kadang ia sendiri merasa bingung. Apa yang dia lakukan sekarang? Apakah ia bisa mempertahankan hubungan ini? Ataukah ia sudah terlalu jauh dari Alya, terjebak dalam rutinitas baru yang tidak bisa lagi ia tinggalkan?

Setelah beberapa jam berbincang dengan Reza, Alya mulai merasa bahwa jawaban yang ia cari selama ini tidak akan datang dengan mudah. Meski Reza di hadapannya sekarang, namun perasaan yang sudah terlalu lama tertahan masih terasa begitu berat.

“Reza, kenapa kita harus begini?” Alya bertanya dengan suara yang hampir putus asa. “Kenapa aku merasa seolah kita semakin jauh, padahal kita hanya terpisah jarak?”

Reza menatap Alya dalam-dalam. “Aku juga merasa seperti itu, Alya. Aku rindu kamu. Tapi aku terlalu terfokus pada pekerjaanku, dan aku merasa semuanya jadi rumit.”

Alya menghela napas panjang. “Aku mengerti, Reza. Aku tahu kamu sibuk, dan aku tahu ini bukan salahmu sepenuhnya. Tapi aku juga butuh kamu. Tidak hanya sekedar pesan singkat atau janji-janji kosong. Aku ingin ada lebih dari itu.”

Reza menatapnya dengan mata penuh penyesalan. “Aku tidak ingin kehilanganmu, Alya. Aku janji aku akan lebih baik. Aku akan berusaha lebih banyak memberi perhatian pada kita.”

Namun, meskipun kata-kata itu keluar begitu tulus dari Reza, Alya masih merasa ada jarak yang sulit dijembatani. Terkadang, kata-kata tidak cukup untuk menyembuhkan luka. Terkadang, perasaan yang terpendam sudah terlalu dalam untuk diungkapkan dengan hanya beberapa kalimat.

Malam itu, Alya dan Reza berjalan bersama menyusuri trotoar kota, menikmati momen kebersamaan yang sudah lama tidak mereka rasakan. Mereka berbicara tentang banyak hal tentang masa depan mereka, tentang impian mereka, dan tentang segala hal yang mereka lewatkan selama terpisah.

Namun, meskipun malam itu terasa indah, Alya tahu bahwa perasaan mereka masih belum sepenuhnya sembuh. Jarak itu masih ada, meskipun mereka ada di samping satu sama lain. Alya tahu bahwa mereka harus menghadapi kenyataan bahwa hubungan ini tidak akan pernah mudah, dan ada banyak hal yang harus mereka perbaiki.

Reza meraih tangan Alya, menggenggamnya erat. “Aku berjanji, Alya. Aku akan berusaha lebih keras. Aku ingin kita tetap bersama.”

Alya memandang Reza dengan mata yang penuh harapan, meskipun hatinya masih penuh keraguan. “Aku ingin kita tetap bersama juga, Reza. Tapi aku tidak tahu apakah kita akan bisa melewati semua ini.”

Reza menatapnya dalam-dalam, lalu dengan lembut berkata, “Kita akan coba, Alya. Kita akan coba bersama-sama.”*

BAB 5: Rindu yang Akhirnya Terucap

Kejujuran yang Ditemukan: Dalam momen yang penuh emosi, Alya akhirnya mengungkapkan betapa dia merindukan Reza dan bagaimana dia merasa terabaikan meski selalu ada di hatinya.
Reza Mengungkapkan Perasaannya: Reza juga menyadari bahwa dia tidak pernah menyampaikan betapa dia juga merindukan Alya dan merasa kesulitan untuk menyeimbangkan antara pekerjaan dan hubungan jarak jauh.Penyelesaian Konflik: Mereka berdua berbicara dengan lebih jujur, saling mengungkapkan kekhawatiran mereka tentang masa depan hubungan ini. Namun, mereka memutuskan untuk tidak menyerah dan berusaha lebih terbuka dalam komunikasi.

Alya duduk di sudut kafe yang sepi, ditemani dengan secangkir kopi yang sudah lama dingin. Pikirannya melayang pada Reza, pada pertemuan mereka beberapa minggu lalu yang sempat menyentuh hati Alya namun juga meninggalkan begitu banyak kebingungannya. Meski mereka sempat berbicara dan menghabiskan waktu bersama, Alya merasa ada banyak hal yang belum selesai. Reza mengucapkan janji-janji, tetapi kata-katanya masih terkesan kosong, dan meskipun ia berusaha memahami, hatinya masih merasa seperti ada yang hilang.

Alya meraih ponselnya yang tergeletak di meja. Ada beberapa pesan tak terbalas dari Reza pesan singkat yang datang kadang-kadang, tapi seakan tidak cukup untuk mengisi ruang kosong di hatinya.

Pesan dari Alya: “Reza, aku benar-benar merindukanmu. Kenapa kamu tidak pernah bisa meluangkan waktu untuk kita? Aku rasa kita sudah kehilangan sesuatu yang penting.”

Tangan Alya gemetar saat menekan tombol kirim, tetapi ia merasa tidak bisa lagi menahan perasaan ini lebih lama. Mungkin ini adalah kesempatan terakhir baginya untuk mengatakan apa yang sebenarnya ada dalam hatinya. Keinginan untuk mengungkapkan rindu yang sudah lama terpendam menguat di dalam dirinya. Tapi setelah pesan itu terkirim, Alya hanya bisa menunggu dengan cemas, berharap agar Reza membalasnya.

Namun, saat menunggu balasan itu, perasaan rindu yang terpendam semakin menghimpit dadanya. Mungkin, jika saja mereka tidak terpisah oleh jarak, semuanya akan lebih mudah. Tetapi kenyataan bahwa mereka berada di dua tempat yang jauh berbeda membuatnya merasa seperti terjebak dalam ruang hampa, seolah ada hal-hal yang tak bisa mereka capai.

Reza menatap ponselnya di ruang kantor yang sepi. Di layar, ada pesan dari Alya yang baru saja ia terima. Hatinya sedikit tergerak, tetapi perasaan bersalah yang selalu menghantuinya membuatnya ragu. Sejak kembali ke luar negeri, ia mencoba sekuat tenaga untuk mengatasi semua yang menimpanya, tapi pekerjaan yang menumpuk selalu menghalangi niatnya untuk memberi perhatian lebih pada hubungan ini.

Pesan dari Reza: “Alya, aku minta maaf kalau aku terlalu sibuk. Aku tahu kamu merindukanku, aku juga rindu kamu. Aku janji aku akan berusaha lebih baik.”

Reza tahu bahwa kata-kata ini tidak cukup. Bahkan, dalam hati kecilnya, ia merasa tidak yakin bisa memenuhi janji itu. Mengingat pekerjaan yang harus diselesaikan dan kehidupan baru yang sedang dijalani, ia merasa semakin sulit untuk menjaga komunikasi yang berarti dengan Alya.

Namun, meskipun ia merasa cemas, satu hal yang jelas di pikirannya adalah perasaan rindu yang sudah terpendam lama. Rindu itu hampir membuatnya merasa sesak. Ia merindukan tawa Alya, percakapan mereka yang tidak ada habisnya, dan semua kenangan yang mereka bagi bersama. Tetapi di sisi lain, Reza merasa takut jika ia tidak dapat lagi menjadi seseorang yang cukup untuk Alya. Apakah kata-katanya masih bisa dipercaya? Atau apakah sudah terlalu terlambat untuk memperbaiki semuanya?

Alya terbangun pagi itu dengan perasaan yang masih sama rindu yang tak kunjung usai. Beberapa minggu setelah pertemuan mereka, Alya mencoba untuk menjalani hari-harinya sebaik mungkin. Namun, ketika ia melihat pesan singkat atau mendengar lagu yang dulu sering mereka dengarkan bersama, perasaan itu kembali datang. Rindu, kesepian, dan keraguan yang mengisi hatinya.

Alya sudah mulai mempertanyakan apakah hubungan ini masih bisa diselamatkan. Semakin lama ia semakin merasa terjebak dalam lingkaran yang tidak pernah bisa ia hentikan. Jika hanya satu pihak yang berusaha, apakah ini akan pernah berhasil?

Pagi itu, setelah menghabiskan waktu beberapa jam untuk berpikir, Alya memutuskan untuk berangkat ke tempat yang sering mereka kunjungi sebuah taman yang terletak tidak jauh dari rumahnya. Tempat itu penuh dengan kenangan indah yang selalu mengingatkannya pada hari-hari bahagia mereka bersama.

Di sana, ketika Alya duduk di bangku taman yang biasa mereka tempati, ponselnya berbunyi. Itu adalah pesan dari Reza.

Pesan dari Reza: “Alya, aku akan berada di kota untuk beberapa hari. Aku ingin bertemu denganmu. Aku rasa sudah saatnya kita berbicara dari hati ke hati.”

Alya membaca pesan itu beberapa kali, dan tiba-tiba seluruh tubuhnya terasa lemas. Harapan dan kekhawatiran datang bersamaan. Apa yang akan terjadi setelah ini? Apakah mereka akan benar-benar bisa mengungkapkan semua perasaan mereka yang tertunda? Bagaimana jika semuanya tetap sama, bahkan setelah pertemuan ini?

Setelah berhari-hari merenung, Reza tahu bahwa ia tidak bisa terus menghindar. Ia harus menghadapi kenyataan bahwa hubungan mereka sedang berada di titik kritis. Tidak ada lagi alasan untuk menunda. Rindu yang mengganggu pikirannya setiap malam sudah terlalu kuat untuk disembunyikan.

Saat mereka bertemu di sebuah kafe kecil yang nyaman, suasana terasa lebih hening dari biasanya. Ada perasaan canggung di antara mereka, seperti ada hal-hal yang tak terungkapkan yang masih menggantung di udara. Reza menatap Alya, matanya penuh dengan penyesalan.

“Alya,”kata Reza pelan, “aku minta maaf karena sudah membiarkan semua ini terjadi. Aku tahu aku membuatmu merasa terabaikan, dan itu bukanlah yang aku inginkan. Aku terlalu terfokus pada pekerjaan dan semuanya jadi kacau.”

Alya terdiam, tetapi matanya sudah mulai berkaca-kaca. “Aku mengerti, Reza. Aku tahu kamu sibuk, tapi aku juga merasa kita semakin jauh. Setiap kali aku menunggu pesan darimu, aku merasa seperti kamu sudah tidak ada di sana.”

Reza meraih tangan Alya dengan lembut, dan untuk pertama kalinya dalam beberapa bulan terakhir, ia merasa hatinya benar-benar terbuka.”Aku juga merasa seperti itu, Alya. Aku merindukanmu lebih dari yang bisa aku katakan. Aku takut kamu tidak akan memaafkanku, takut kalau aku sudah terlalu terlambat.”

Alya menarik napas dalam-dalam, mencoba menahan air matanya.”Aku juga takut, Reza. Tapi aku tidak ingin kita terus hidup dalam ketakutan ini. Aku rindu kamu, Reza. Rindu yang sudah terlalu lama terpendam.”

Reza menatap Alya dengan penuh perasaan, kemudian menariknya dalam pelukan yang hangat. “Alya, aku mencintaimu. Aku ingin kita memperbaiki semua ini. Aku tahu kita harus berjuang lebih keras, tapi aku yakin kita bisa melakukannya.”

Alya menangis dalam pelukan Reza, merasakan semua perasaan yang selama ini terkunci dalam hatinya. Akhirnya, setelah sekian lama menahan diri, rindu yang terpendam itu terucap juga. Rindu yang telah menjadi beban selama berbulan-bulan kini akhirnya bisa mereka bagikan.

Setelah pertemuan itu, ada rasa lega yang mengalir di antara mereka. Meskipun perjalanan mereka tidak akan mudah, Alya dan Reza tahu bahwa mereka telah menemukan titik balik yang sangat penting dalam hubungan mereka. Mereka sadar bahwa hubungan jarak jauh tidak hanya soal komunikasi, tetapi juga tentang saling memahami dan memberi ruang bagi perasaan masing-masing.

Malam itu, Alya merasa lebih ringan, seakan beban yang selama ini menekan dadanya akhirnya terangkat. Mereka tidak lagi hanya berjuang sendirian; mereka berdua berjuang bersama. Dan meskipun jalan mereka masih panjang dan penuh tantangan, Alya merasa bahwa selama mereka saling mencintai dan mau berusaha, tidak ada yang mustahil.

Reza juga merasa bahwa setelah pertemuan itu, ia tahu apa yang harus dilakukannya. Ia berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak membiarkan rindu itu mengendap lagi tanpa diungkapkan. Ia ingin menjadi lebih baik, lebih hadir dalam hidup Alya, meskipun jarak terus memisahkan mereka.(

Bab 6: menata Kembali Hubungan

Komitmen untuk Lebih Terbuka: Setelah pertemuan itu, Alya dan Reza berjanji untuk lebih sering berbicara dan tidak lagi menahan perasaan. Meskipun jarak tetap ada, mereka berkomitmen untuk menjaga hubungan mereka.
Perubahan dalam Diri Mereka: Alya belajar untuk lebih terbuka dalam mengungkapkan perasaannya, sementara Reza juga berusaha untuk memberikan perhatian lebih meskipun sibuk.
Kepercayaan yang Kembali Dibangun: Mereka berdua saling mendukung dalam menjalani hidup masing-masing, dengan keyakinan bahwa cinta mereka bisa bertahan meskipun terpisah oleh jarak.

Beberapa hari setelah pertemuan emosional dengan Reza, Alya masih merasakan getaran dalam hatinya. Ia tak bisa memungkiri bahwa perasaan rindu dan kehilangan yang sempat ia rasakan kini sedikit mereda, meski masih ada banyak keraguan yang menggelayuti pikirannya. Mereka telah mengungkapkan apa yang mereka rasakan, namun sekarang pertanyaannya adalah: bisa kah mereka benar-benar memperbaiki apa yang telah rusak?

Alya memutuskan untuk memberi ruang pada dirinya sendiri. Tidak ada gunanya berlarut-larut dalam kecemasan dan perasaan tidak pasti. Ia harus mulai fokus pada dirinya dulu pada apa yang ia butuhkan, bukan hanya pada apa yang Reza butuhkan. Meskipun ia mencintai Reza, ia tahu bahwa ia juga perlu menjaga dirinya sendiri agar hubungan mereka bisa berkembang dengan sehat.

Setelah berbulan-bulan terbiasa hidup dengan jarak dan keterasingan, Alya mulai merasakan keinginan untuk membangun kembali dunia kecilnya yang sempat hancur. Ia mulai menghabiskan waktu lebih banyak dengan teman-temannya, kembali ke hobi yang sudah lama terlupakan, dan fokus pada studinya. Namun, di balik setiap senyuman yang ia tunjukkan, ada keraguan yang masih bertanya-tanya apakah ini akan berhasil apakah mereka bisa benar-benar bersama lagi tanpa melupakan diri masing-masing di dalamnya.

Suatu sore, saat Alya sedang duduk di taman kampus, ponselnya berbunyi. Itu adalah pesan dari Reza.

Pesan dari Reza: “Alya, aku tahu kita sedang melalui masa-masa yang sulit, dan aku ingin kita melangkah maju dengan hati-hati. Aku ingin mengerti apa yang kamu butuhkan dari aku sekarang. Apa yang harus aku lakukan untuk membuatmu merasa lebih baik?”

Alya tersenyum samar membaca pesan itu. Mungkin, ini adalah langkah pertama yang benar. Reza tidak hanya berbicara soal dirinya, tetapi ia juga bertanya tentang apa yang Alya inginkan dan butuhkan. Itu adalah sesuatu yang jarang terjadi di masa lalu. Sebuah bukti bahwa Reza benar-benar berusaha.

Alya menulis balasan, “Aku perlu waktu, Reza. Aku butuh ruang untuk menyusun semuanya kembali. Aku juga ingin tahu apa yang kamu inginkan. Jika kita mau memperbaiki ini, kita harus mulai dengan langkah kecil.”

Ketika pesan itu terkirim, Alya merasa sedikit lega. Setidaknya mereka sekarang bisa berbicara dengan lebih terbuka, dan itu adalah awal yang baik. Namun, Alya masih merasa bahwa proses ini akan memakan waktu. Tidak ada yang bisa langsung kembali seperti semula.

Bagi Reza, perasaan setelah pertemuan itu masih sangat kuat. Meskipun mereka telah mengungkapkan rindu dan perasaan mereka, ia tahu bahwa hubungan mereka tidak bisa dipulihkan hanya dengan beberapa kata-kata. Ia harus berbuat lebih banyak, menunjukkan lebih banyak usaha.

Setiap hari setelah pertemuan itu, Reza mulai menata ulang prioritasnya. Pekerjaan dan tuntutan kehidupan profesionalnya memang masih besar, tetapi ia tidak ingin lagi menjadikan hal-hal itu sebagai alasan untuk tidak hadir dalam kehidupan Alya. Ia sadar, jika ia terus menerus memberi alasan bahwa “aku sibuk” atau “aku tidak punya waktu”, maka hubungan mereka tidak akan pernah berjalan lebih jauh.

Reza mulai merencanakan hal-hal kecil yang bisa ia lakukan untuk memperbaiki hubungan mereka. Ia mulai menulis pesan yang lebih panjang dan penuh perhatian, bukan sekadar pesan singkat yang terkesan terburu-buru. Ia mulai meluangkan waktu untuk menelepon Alya setiap malam, meskipun itu hanya untuk berbicara tentang hal-hal sepele. Ia ingin membuat Alya merasa bahwa ia selalu ada untuknya, meskipun jarak tetap memisahkan mereka.

Suatu malam, saat mereka berdua melakukan video call, Reza berbicara dengan serius.

“Alya,” kata Reza,”Aku tahu aku banyak salah dan terlambat menyadarinya. Aku terlalu fokus pada diriku sendiri dan pekerjaan, dan aku tidak pernah benar-benar mendengarkan kamu. Aku ingin memperbaikinya. Aku tahu ini bukan hanya tentang kata-kata, tapi aku siap untuk bekerja keras agar kita bisa melalui ini bersama.”

Alya menatapnya dengan mata penuh harapan, tetapi juga rasa hati yang campur aduk. “Aku percaya pada kamu, Reza, tapi aku juga perlu melihat bukti dari usaha kamu. Kata-kata saja tidak akan cukup.”

Reza mengangguk, meresapi kata-kata Alya. “Aku mengerti. Aku tidak akan hanya berbicara. Aku akan buktikan dengan tindakan.”

Setiap malam, Reza mulai meluangkan waktu lebih banyak untuk berbicara tentang perasaan mereka. Mereka membahas perasaan yang selama ini terpendam, apa yang mereka inginkan dari hubungan ini, dan bagaimana mereka bisa membangun masa depan yang lebih baik. Ada banyak pembicaraan yang terbuka dan jujur di antara mereka, yang selama ini tidak pernah mereka lakukan.

Mereka berdua memutuskan untuk menyusun rencana bersama. Untuk pertama kalinya, Alya dan Reza duduk bersama, berbicara tentang apa yang mereka inginkan dan bagaimana mereka bisa mengatasi tantangan yang datang dengan hubungan jarak jauh. Mereka tahu bahwa hubungan mereka tidak akan mudah, tetapi mereka juga tahu bahwa mereka bisa menghadapi semuanya selama mereka saling mendukung.

Alya memulai percakapan dengan mengungkapkan perasaannya. “Aku ingin kita fokus pada kualitas komunikasi kita, bukan hanya kuantitas. Tidak perlu sering-sering, tapi pastikan itu berarti. Aku ingin tahu bagaimana hari-harimu, apa yang kamu rasakan, dan apa yang kamu pikirkan.”

Reza mengangguk dengan serius, “Aku setuju. Aku terlalu banyak mengabaikan hal-hal kecil. Aku akan meluangkan waktu untuk mendengarkanmu lebih baik. Dan aku akan lebih terbuka tentang apa yang aku alami juga.”

Mereka berdua kemudian membicarakan bagaimana mereka akan mengatur waktu untuk bertemu. Mereka menyadari bahwa pertemuan fisik adalah bagian yang sangat penting, dan mereka mulai merencanakan liburan bersama, bahkan jika itu berarti harus menabung lebih banyak atau merencanakan jauh-jauh hari. Setiap rencana yang mereka buat, meskipun sepele, memberi mereka harapan dan kebahagiaan yang baru.

Alya menyadari bahwa meskipun ia merasa lebih tenang dengan usaha yang Reza tunjukkan, masih ada bagian dari dirinya yang merasa takut untuk benar-benar membuka diri lagi. Ia takut jika kepercayaannya lagi-lagi dikhianati. Untuk itu, ia mulai membangun kepercayaan diri terlebih dahulu, dengan memberikan waktu dan ruang untuk dirinya sendiri.

Alya memutuskan untuk lebih fokus pada hal-hal yang bisa ia kontrol pendidikannya, hobi, dan kehidupan sosialnya. Ia mulai kembali menjalani hidupnya seperti dulu, tetapi kali ini dengan kesadaran bahwa hubungan dengan Reza adalah bagian penting yang harus ia kelola dengan hati-hati. Ia tahu bahwa tidak ada jaminan dalam hidup, tetapi ia ingin mencoba mempercayai Reza lagi, dengan langkah-langkah kecil dan hati-hati.

Setelah beberapa minggu penuh dengan percakapan yang terbuka dan usaha yang lebih besar untuk saling memahami, Reza mulai merasakan perubahan. Ia merasa hubungan mereka mulai tumbuh kembali, meski dalam bentuk yang lebih matang. Ia mulai merasa yakin bahwa mereka bisa mengatasi semua rintangan, meskipun masih ada banyak tantangan yang akan datang.

Suatu malam, ketika mereka melakukan video call, Reza mengucapkan sesuatu yang sangat berarti bagi Alya.

“Aku tahu kita masih harus berjuang. Tetapi aku janji, Alya, aku akan selalu ada. Aku akan berusaha semaksimal mungkin untuk tidak mengecewakanmu lagi.”

Alya tersenyum, matanya berkaca-kaca. “Aku juga janji. Kita akan saling mendukung, apapun yang terjadi.*

BAB 7: Cinta yang Terjaga

Setelah beberapa bulan penuh dengan upaya yang keras dari kedua belah pihak, Alya merasa sedikit lebih tenang. Ia tahu bahwa hubungan mereka belum sepenuhnya sempurna, tapi sesuatu yang berharga mulai tumbuh di dalam dirinya kepercayaan. Sebuah kepercayaan yang sempat rapuh, kini perlahan kembali terbangun, meskipun ada ketakutan yang masih terkadang muncul dalam dirinya. Perasaan rindu itu masih ada, namun ada juga kenyamanan yang membuatnya merasa lebih aman.

Pada suatu malam, saat sedang duduk di balkon apartemennya, Alya berpikir kembali tentang perasaan yang dulu sempat ia rasakan kekosongan, kekecewaan, dan ketidakpastian. Tetapi kini, semua itu mulai digantikan oleh rasa syukur karena ia memutuskan untuk memberi kesempatan pada Reza dan pada hubungan mereka.

Alya menyadari bahwa hubungan ini bukanlah tentang sempurna atau tidaknya, tetapi lebih kepada bagaimana mereka bisa saling menerima, belajar, dan berkembang bersama. Setelah beberapa kali pertemuan dan percakapan panjang, Alya merasa semakin yakin bahwa mereka berdua ingin berada dalam hubungan yang sama dengan komitmen yang sama, meskipun jarak yang selalu menjadi penghalang terbesar.

“Aku percaya padamu, Reza,”bisiknya dalam hati, meskipun ia belum mengatakan itu secara langsung kepada Reza. Tapi ia tahu, itu adalah bagian dari perjalanan mereka.

Setiap hari, Alya mulai merasa lebih percaya diri untuk berbicara lebih terbuka kepada Reza tentang perasaan dan kekhawatirannya. Mereka berdua mulai lebih sering melakukan video call, berbicara tentang hal-hal yang lebih mendalam, dan saling berbagi cerita yang selama ini terkubur dalam rutinitas yang sibuk. Bahkan saat mereka tak bisa bertemu, percakapan mereka selalu mengalir begitu alami, seakan jarak tidak pernah ada.

Di sisi lain, Reza juga merasakan perubahan yang sama dalam dirinya. Setiap kali ia melihat Alya tersenyum melalui layar ponsel, atau mendengarnya tertawa dengan ceria, ia merasa bahwa semuanya layak diperjuangkan. Ia tahu, jika mereka ingin hubungan ini bertahan, ia harus memberi lebih dari sekadar kata-kata. Perbuatannya harus berbicara lebih keras.

Reza sadar bahwa pekerjaan dan kehidupannya yang penuh tekanan tidak akan pernah berhenti, tetapi ia berkomitmen untuk selalu meluangkan waktu untuk Alya. Ia mulai memprioritaskan waktu mereka berdua, bahkan ketika jadwalnya sangat padat. Reza mulai menyesuaikan rutinitasnya untuk bisa memberi perhatian lebih kepada Alya, berbicara dengannya setiap hari, dan merencanakan liburan bersama di masa depan mungkin mereka tak bisa bertemu setiap saat, tapi ia ingin agar setiap pertemuan terasa lebih berarti.

“Aku akan berusaha lebih keras untuk kita,” tekad Reza dalam hatinya, sambil menatap layar ponselnya yang menampilkan wajah Alya yang cantik meski hanya melalui video call. Ia merasa bahwa setiap detik yang mereka habiskan bersama, meski terpisah oleh jarak, sangat berharga. Cinta mereka sudah terbukti bisa bertahan, dan ia ingin melanjutkannya.

Sebelum tidur, Reza menulis pesan singkat untuk Alya: “Selalu ada tempat untuk kamu di hatiku. Aku sayang kamu.” Meskipun itu hanya pesan sederhana, tapi bagi Reza, itu adalah ungkapan komitmen yang mendalam.

Namun, meskipun mereka sudah merasa lebih dekat, ada satu hal yang masih menghantui mereka ketakutan. Ketakutan bahwa cinta mereka tidak akan bertahan selamanya. Alya sering kali merasa cemas akan hal ini. Bagaimana jika suatu saat Reza merasa lelah dengan hubungan jarak jauh ini? Bagaimana jika mereka menjadi dua orang yang saling merindukan, namun tidak bisa lagi merasa dekat?

Dalam salah satu percakapan mereka, Alya akhirnya mengungkapkan ketakutannya. “Aku takut, Reza. Aku takut kita akan semakin jauh. Aku takut kamu akan merasa lelah dengan semua ini.”

Reza menatapnya, sedikit terdiam sebelum akhirnya berkata dengan lembut, **”Aku juga merasa takut, Alya. Tapi yang lebih aku takutkan adalah jika kita tidak berusaha sama sekali. Kita harus menjaga ini, kita harus berkomitmen untuk terus berjuang.”

Alya terdiam, mencoba mencerna kata-kata Reza. Ia tahu bahwa ketakutan mereka adalah hal yang normal dalam hubungan jarak jauh. Jarak ini bukanlah penghalang yang mudah untuk dihadapi. Tetapi, jika mereka tidak saling menjaga dan berjuang bersama, maka tidak ada yang bisa mereka harapkan. Mereka berdua harus berkomitmen satu sama lain untuk menjaga cinta mereka tetap hidup.

“Aku janji, Reza. Aku akan berusaha untuk lebih percaya padamu, dan aku akan menjaga hati ini tetap terbuka untukmu,” ucap Alya dengan suara yang penuh keyakinan.

Membangun Kehidupan Bersama, Meskipun Terpisah
Setelah mengungkapkan ketakutan dan rasa cemas mereka, Alya dan Reza merasa lebih lega. Mereka tahu bahwa dalam hubungan, selalu ada momen-momen ketidakpastian, tetapi mereka berdua sepakat untuk tidak membiarkan ketakutan itu menguasai mereka. Mereka memilih untuk berfokus pada hal-hal yang positif, pada kenyataan bahwa meskipun terpisah, mereka masih memiliki banyak hal yang bisa mereka bagikan.

Hari-hari mereka semakin penuh dengan percakapan yang lebih mendalam, mulai dari impian masing-masing, rencana masa depan, hingga hal-hal kecil yang kadang dianggap sepele namun bagi mereka, itu sangat berarti. Mereka berbicara tentang tempat-tempat yang ingin mereka kunjungi bersama, makanan yang ingin mereka coba, dan masa depan yang ingin mereka bangun. Setiap percakapan itu semakin mempererat ikatan mereka.

Alya mulai merasa lebih tenang, karena ia tahu bahwa Reza benar-benar berusaha. Begitu juga dengan Reza, ia merasa lebih yakin karena Alya selalu ada untuk mendukungnya, meskipun jarak memisahkan mereka.

Setiap kali Reza memikirkan masa depan, ia merasa semakin yakin untuk membawa Alya ke dalamnya. Ia mulai merencanakan hal-hal yang lebih besar, seperti kapan mereka akan tinggal di kota yang sama, atau bagaimana mereka bisa saling mendukung dalam karier dan kehidupan pribadi masing-masing. Meskipun pertemuan mereka tidak bisa sering dilakukan, mereka tahu bahwa pertemuan-pertemuan itu akan semakin bermakna karena mereka berdua sudah siap untuk berkomitmen.

Reza menyadari bahwa untuk menjaga cinta ini, ia harus menjadi pribadi yang lebih baik. Ia harus lebih terbuka, lebih jujur, dan lebih menghargai waktu yang mereka miliki bersama. Ia merasa bahwa jika mereka terus menjaga komunikasi yang baik, saling mendukung dan mendengarkan, mereka akan bisa mengatasi setiap masalah yang datang.

“Aku ingin kita selalu bersama, Alya. Aku ingin kita saling menjaga, meskipun jarak tetap ada. Aku ingin kita membangun masa depan bersama.”

Alya merasa hatinya terisi dengan kebahagiaan yang tak terkatakan. Meskipun mereka belum bisa memastikan apa yang akan terjadi di masa depan, mereka tahu bahwa mereka akan selalu berusaha menjaga cinta ini.

Dengan komitmen yang semakin kuat, hubungan mereka mulai terasa lebih stabil. Mereka memutuskan untuk tidak membiarkan perasaan ragu menguasai mereka. Setiap kali perasaan itu muncul, mereka segera berbicara dan saling mengingatkan tentang betapa berharganya hubungan ini.

Mereka semakin sering merencanakan pertemuan fisik, meskipun itu hanya beberapa kali dalam setahun. Namun, setiap pertemuan itu penuh dengan kehangatan, kebahagiaan, dan rasa syukur yang mendalam. Mereka merasa bahwa meskipun tidak sering bertemu, setiap detik yang mereka habiskan bersama adalah saat-saat yang sangat berharga.

Alya dan Reza tahu, cinta mereka tidak akan selalu mudah. Namun, selama mereka berdua saling menjaga, komunikasi tetap terbuka, dan mereka berkomitmen satu sama lain, cinta mereka akan selalu terjaga meskipun jarak, waktu, dan tantangan terus datang.***

———–THE END————

 

Source: ASIFA HIDAYATI
Tags: #cintajarakjauh#CintaYangTerjaga#HubunganDiujiJarak#RinduTakTerlupakan#RomansaOnline
Previous Post

CINTA DI SUDUT PERPUSTAKAAN

Next Post

RINDU PADA DETIK PERTAMA BERTEMU

Related Posts

JIKA RINDU BISA TERBANG

JIKA RINDU BISA TERBANG

May 11, 2025
“MENJAGA CINTA DI ANTARA KILOMETER”

“MENJAGA CINTA DI ANTARA KILOMETER”

May 10, 2025
SELAMANYA MILIKMU: LANGIT YANG SAMA, CINTA YANG BERBEDA

SELAMANYA MILIKMU: LANGIT YANG SAMA, CINTA YANG BERBEDA

May 9, 2025
KISAH DI BALIK LAYAR

KISAH DI BALIK LAYAR

May 8, 2025
“JARAK MENGUJI, HATI BERTAHAN”

“JARAK MENGUJI, HATI BERTAHAN”

May 7, 2025
RINDU YANG TAK TERUCAP

RINDU YANG TAK TERUCAP

May 6, 2025
Next Post
RINDU PADA DETIK PERTAMA BERTEMU

RINDU PADA DETIK PERTAMA BERTEMU

CINTA DIUJUNG WAKTU

CINTA DIUJUNG WAKTU

PELUKAN RINDU DI KRETA SENJA

PELUKAN RINDU DI KRETA SENJA

Top Stories

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

May 17, 2025
KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

May 16, 2025
KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

May 15, 2025

Tentang Kisah Cinta

Kami menyajikan kumpulan novel dan cerpen cinta yang menggambarkan berbagai sisi cinta, dari yang manis hingga yang pahit, dari yang bahagia hingga yang menyayat hati

Connect on Social

© 2024 Kisahcinta.id

No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta

© 2024 Kisahcinta.id