Daftar Isi
Bab 1: Jejak Pertama
Langit sore di kota kecil itu berwarna jingga keemasan, seolah-olah mentari enggan beranjak dari singgasananya. Di jalan setapak yang membelah ladang bunga matahari, seorang perempuan muda bernama Nadira melangkah pelan. Langkahnya terhenti di tepi sebuah bangku kayu tua yang terlihat hampir tenggelam oleh rerumputan liar.
Bangku itu, baginya, adalah saksi bisu dari sebuah kenangan yang telah lama terkubur. Lima tahun lalu, di tempat ini, ia pernah duduk bersama seseorang yang mengajarinya bagaimana rasanya rindu yang murni, sederhana, namun menyesakkan.
Bayangan lelaki itu kembali menghampiri benaknya. Arya, dengan senyuman hangat dan tatapan mata yang selalu membuat Nadira merasa istimewa. Mereka bertemu di musim panas, saat Arya datang ke kota kecil itu sebagai mahasiswa seni yang mencari inspirasi untuk proyek lukisannya. Nadira, yang saat itu bekerja di sebuah toko buku kecil, tak sengaja bertemu dengannya ketika Arya tersesat mencari tempat penginapan.
“Kamu tahu di mana penginapan Bu Mira?” tanyanya waktu itu, dengan membawa peta lusuh di tangan.
Nadira, yang sedang menata rak buku di luar toko, tertawa kecil melihat kebingungannya. “Penginapan Bu Mira di ujung jalan ini, sekitar dua blok ke arah timur. Tapi kalau boleh saran, peta kamu itu sepertinya sudah saatnya pensiun.”
Arya tersenyum malu sambil melipat peta lusuhnya. “Terima kasih. Aku Arya, mahasiswa seni. Baru pertama kali ke sini.”
Sejak hari itu, Arya dan Nadira sering bertemu. Mereka berbicara tentang banyak hal — dari buku-buku yang Nadira suka, hingga lukisan-lukisan yang Arya kagumi. Nadira yang awalnya pendiam mulai menemukan kebahagiaan dalam perbincangan mereka. Sementara Arya, dengan pembawaannya yang santai, merasa kota kecil itu menjadi rumah kedua baginya.
Hingga pada suatu senja di bangku kayu itu, Arya memutuskan untuk menggambarkan Nadira dalam sketsanya. “Aku ingin menangkap bagaimana kamu melihat dunia,” katanya, sambil mengarahkan pensilnya ke kanvas kecil.
Nadira tertawa gugup. “Aku nggak yakin wajahku menarik untuk digambar.”
“Bukan soal menarik atau nggaknya. Ini soal rasa. Dan kamu, Nadira, membawa rasa itu di matamu,” balas Arya.
Hari itu adalah awal dari perasaan yang tak terucap di antara mereka. Namun, seperti semua musim panas, kebersamaan mereka juga memiliki batas waktu. Arya harus kembali ke kota untuk menyelesaikan studinya. Pada malam terakhir sebelum keberangkatan Arya, mereka bertemu sekali lagi di bangku yang sama.
“Aku nggak tahu kapan bisa kembali ke sini,” ujar Arya dengan nada berat. “Tapi aku janji, aku akan selalu ingat tempat ini. Dan kamu.”
Nadira hanya tersenyum tipis, menahan air mata yang hampir jatuh. Ia ingin mengatakan banyak hal, tapi hanya satu kalimat yang berhasil keluar dari bibirnya: “Hati-hati di jalan, Arya.”
Setelah malam itu, Nadira kembali pada rutinitasnya. Toko buku kecil, ladang bunga matahari, dan bangku kayu tua. Tapi semuanya terasa berbeda tanpa Arya. Surat-surat yang dikirim Arya pada awalnya menjadi penghibur hatinya. Namun, seiring waktu, surat itu mulai jarang datang, hingga akhirnya berhenti sama sekali.
Kini, lima tahun kemudian, Nadira kembali ke tempat itu. Angin berhembus lembut, membawa harum bunga matahari yang hampir mekar sempurna. Tangannya menyentuh permukaan bangku kayu yang mulai lapuk. “Apa kabar kamu sekarang, Arya?” gumamnya pelan.
Tanpa disadari, seseorang mendekat dari belakang. Suara langkahnya lembut, hampir tak terdengar di atas rerumputan. “Aku baik, Nadira.”
Nadira terkejut dan berbalik. Di hadapannya berdiri Arya, dengan senyuman yang tak banyak berubah. Hanya saja, ada garis-garis halus di wajahnya yang menunjukkan waktu telah berjalan.
“Arya?” Nadira hampir tak percaya.
Arya mengangguk. “Maaf, aku baru kembali. Aku nggak pernah lupa janji itu, meskipun terlalu lama bagiku untuk menepatinya.”*
Bab 2: Surat yang Tertunda
Sinar matahari pagi menyusup melalui celah-celah jendela toko buku, menciptakan pola cahaya yang bergerak lembut di lantai kayu. Nadira, yang sedang sibuk menata buku-buku baru, tak bisa mengalihkan pikirannya dari pertemuan kemarin sore. Kehadiran Arya yang tiba-tiba setelah lima tahun membuat hatinya bergemuruh, campuran antara bahagia, terkejut, dan kebingungan.
Arya. Nama itu kini kembali hadir, mengisi ruang-ruang kosong di pikirannya yang selama ini ia coba abaikan. Bagaimana mungkin seseorang yang ia kira telah hilang dari hidupnya begitu saja muncul tanpa peringatan?
Pikiran Nadira terhenti ketika lonceng kecil di atas pintu toko berbunyi. Seorang pelanggan masuk, seorang pria tua yang sudah sering datang ke toko itu untuk mencari buku-buku sejarah. Nadira menyambutnya dengan senyum hangat dan membantu mencarikan buku yang diinginkan. Namun, bahkan di tengah pekerjaannya, bayangan Arya tetap hadir seperti bayang-bayang yang tak mau pergi.
Setelah toko sepi, Nadira duduk di belakang meja kasir. Ia mengambil secarik kertas dan pena, mencoba menuangkan perasaannya dalam tulisan. Menulis adalah cara Nadira menenangkan pikirannya, sebuah kebiasaan yang ia pelajari dari ibunya sejak kecil. Namun kali ini, kata-kata terasa sulit keluar.
“Kenapa kamu kembali, Arya?” gumamnya pelan.
Sementara itu, Arya berdiri di depan penginapan Bu Mira, tempat yang dulu menjadi rumah sementaranya. Bangunan tua itu masih terlihat sama, dengan tembok bercat putih yang mulai mengelupas dan taman kecil yang dipenuhi bunga-bunga liar. Arya menatap bangku di sudut taman, tempat ia sering duduk menggambar. Kenangan masa lalu kembali berputar di benaknya, membawa senyum tipis ke wajahnya.
“Arya, kamu masih di sini?” suara Bu Mira memecah lamunannya. Wanita paruh baya itu muncul dari dalam rumah, membawa nampan berisi secangkir teh hangat. “Masuk dulu, Nak. Jangan berdiri di luar saja.”
Arya mengikuti Bu Mira masuk ke ruang tamu yang sederhana namun hangat. Dindingnya dipenuhi foto-foto keluarga dan beberapa lukisan kecil yang pernah Arya hadiahkan. Mereka duduk di sofa tua, dan Bu Mira memandang Arya dengan tatapan penuh rasa ingin tahu.
“Jadi, akhirnya kamu kembali,” kata Bu Mira, menyeruput tehnya. “Apa yang membawamu ke sini lagi setelah sekian lama?”
Arya tersenyum kecil. “Ada sesuatu yang belum selesai, Bu. Atau lebih tepatnya, seseorang.”
Bu Mira mengangguk pelan. “Nadira?”
Arya tak menjawab, tapi senyumnya sudah cukup menjadi jawaban. Ia tahu Bu Mira selalu mengamati hubungan mereka sejak awal. Wanita itu bahkan pernah menasihatinya untuk tidak menyia-nyiakan kesempatan. Namun, waktu dan keadaan membuat Arya harus meninggalkan semuanya.
“Aku ingin menebus waktu yang hilang, Bu. Tapi aku nggak tahu apakah dia masih mau menerimaku setelah semua yang terjadi,” ujar Arya, suaranya penuh keraguan.
Bu Mira menepuk pundaknya lembut. “Nadira itu gadis yang baik. Kalau kamu punya niat tulus, aku yakin dia akan mengerti. Tapi kamu harus jujur, Arya. Jelaskan semuanya padanya.”
Arya mengangguk, meski rasa gugup mulai menyerangnya. Ia tahu Bu Mira benar. Jika ia ingin memperbaiki semuanya, ia harus memulai dengan kejujuran.
Malam itu, Nadira duduk di bangku kayu tua di ladang bunga matahari. Di tangannya, ia memegang amplop cokelat yang sudah lama ia simpan di dalam kotak kenangan. Surat terakhir dari Arya yang ia terima lima tahun lalu. Surat yang tak pernah ia baca karena terlalu sakit untuk membuka lembaran terakhir dari cerita mereka.
Namun, malam ini, Nadira merasa perlu tahu. Dengan tangan gemetar, ia membuka amplop itu dan mulai membaca.
“Nadira,
Aku tahu mungkin sulit bagimu untuk mengerti mengapa aku harus pergi tanpa banyak penjelasan. Percayalah, ini bukan keputusan yang mudah bagiku. Ada banyak hal yang harus aku selesaikan di kotaku, hal-hal yang tak bisa aku abaikan begitu saja. Namun, selama aku di sana, aku selalu memikirkanmu.
Kamu adalah alasan aku merasa hidup di kota kecil ini. Senyummu, tawa kecilmu, dan cara kamu melihat dunia telah mengubahku. Aku tak pernah merasa seperti ini sebelumnya.
Aku ingin kamu tahu bahwa aku berjanji akan kembali. Aku tak tahu kapan, tapi aku akan kembali, Nadira. Tolong, tunggu aku.Arya”
Air mata Nadira mengalir tanpa ia sadari. Surat itu menyimpan begitu banyak rasa yang selama ini ia pendam. Ia merasa marah karena Arya pergi, namun di saat yang sama, ia juga merasakan cinta yang tulus dalam kata-katanya.
“Kenapa aku harus menunggu begitu lama untuk membaca ini?” gumamnya, menatap langit malam yang dipenuhi bintang.
Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar mendekat. Nadira menoleh dan melihat Arya berjalan perlahan ke arahnya. Pria itu berdiri beberapa meter darinya, tampak ragu untuk mendekat lebih jauh.
“Nadira,” panggilnya pelan.
“Kenapa kamu datang sekarang, Arya?” Nadira bertanya, suaranya bergetar. “Setelah semua waktu yang berlalu, kenapa baru sekarang?”
Arya mendekat dan duduk di bangku di sebelahnya. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab. “Karena aku akhirnya menyadari betapa berharganya kamu bagiku. Aku butuh waktu untuk memahami itu, dan aku menyesal karena membuatmu menunggu terlalu lama.”
Nadira tak menjawab. Ia hanya menatap Arya, mencari kejujuran di matanya. “Apa kamu tahu betapa sulitnya menunggu tanpa kepastian?”
Arya menunduk. “Aku tahu, dan aku minta maaf. Aku tahu maaf saja nggak cukup, tapi aku ingin memperbaiki semuanya. Aku ingin kamu tahu bahwa aku kembali karena aku ingin kita memulai lagi, kalau kamu mau.”
Hening menyelimuti mereka. Angin malam berhembus lembut, membawa aroma bunga matahari yang khas. Nadira menatap surat di tangannya, lalu kembali menatap Arya.
“Aku nggak tahu, Arya. Aku butuh waktu untuk berpikir,” ujar Nadira akhirnya.
Arya mengangguk. “Aku mengerti. Aku akan menunggu, Nadira. Selama apapun itu.”
Malam itu, mereka duduk bersama dalam diam, membiarkan waktu yang berbicara. Rindu yang pernah terabaikan kini menemukan jalannya kembali, meski belum sepenuhnya terjawab.. Semua rasa yang ia pendam selama lima tahun mengalir keluar.*
Bab 3: Jembatan Masa Lalu
Pagi itu, mentari memancarkan kehangatan lembut yang menyelimuti kota kecil. Di balik jendela toko buku, Nadira memandang jalanan yang mulai ramai. Hatinya terasa berat sejak pertemuan semalam dengan Arya. Rasa yang selama ini ia pendam, kini bercampur aduk menjadi kebingungan.
Ketukan di pintu toko mengembalikan Nadira ke dunia nyata. Ketika ia membuka pintu, seorang kurir berdiri di sana dengan membawa sebuah bingkisan. “Untuk Nadira,” kata kurir itu sambil menyerahkan paket kecil.
Nadira mengangguk dan mengucapkan terima kasih. Ia memeriksa bingkisan itu dengan hati-hati. Tak ada nama pengirim, hanya tulisan sederhana di sudut amplop: *Untuk masa-masa yang tak terlupakan.* Dengan rasa ingin tahu, Nadira membuka bungkusnya. Di dalamnya terdapat sebuah buku sketsa tua yang terlihat akrab di matanya.
Ia membolak-balik halaman buku itu, dan air mata tak tertahankan jatuh ketika ia melihat sketsa-sketsa yang pernah digambar Arya. Ada sketsa dirinya sedang membaca di toko buku, ada juga gambar ladang bunga matahari dengan bangku kayu tua di tengahnya. Semuanya mengingatkan Nadira pada kenangan indah yang pernah mereka bagi. Pada halaman terakhir, terdapat tulisan tangan Arya:
*”Untuk Nadira, yang selalu menjadi inspirasiku. Aku berharap buku ini bisa menceritakan hal-hal yang sulit aku ungkapkan dengan kata-kata.”*
Sementara itu, Arya duduk di tepi danau kecil di pinggiran kota, tempat yang dulu sering ia datangi untuk melukis. Di hadapannya, kanvas kosong menunggu untuk diisi. Namun, pikirannya terus melayang pada Nadira. Ia bertanya-tanya apakah buku sketsa itu akan menyampaikan maksud hatinya.
Lima tahun bukan waktu yang singkat. Banyak yang telah berubah, termasuk dirinya. Ketika ia meninggalkan kota kecil ini, ia membawa segudang impian untuk menjadi pelukis yang diakui. Namun, kenyataan sering kali tak sesuai harapan. Kesibukan mengejar karier membuat Arya kehilangan arah, hingga ia sadar bahwa apa yang ia cari bukanlah ketenaran, melainkan kedamaian yang pernah ia rasakan bersama Nadira.
Arya mengambil pensilnya dan mulai menggambar. Ia menggambarkan wajah Nadira dengan ekspresi lembut yang selalu ia ingat. Setiap goresan pensil seolah membawa Arya lebih dekat pada kenangan mereka. Ketika lukisan itu selesai, Arya memutuskan bahwa ia harus menemui Nadira lagi.
Hari sudah menjelang sore ketika Nadira akhirnya memutuskan untuk pergi ke ladang bunga matahari. Ia membawa buku sketsa itu bersamanya, berharap bisa menemukan jawaban atas kebingungannya. Saat ia tiba di bangku kayu tua itu, ia terkejut melihat Arya sudah duduk di sana, seolah-olah menunggunya.
“Kamu datang,” kata Arya, berdiri dan tersenyum.
Nadira mengangguk pelan. “Buku ini… kenapa kamu memberikannya padaku?” tanyanya, mengangkat buku sketsa itu.
Arya menghela napas, lalu menjawab, “Karena aku ingin kamu tahu betapa berharganya kenangan kita bagiku. Aku tahu aku sudah membuat banyak kesalahan, dan aku ingin memperbaikinya, Nadira.”
Nadira menatap Arya dengan mata yang penuh pertanyaan. “Kenapa butuh waktu lima tahun untuk kamu kembali? Apa yang sebenarnya terjadi, Arya?”
Arya duduk kembali di bangku, mengundang Nadira untuk duduk di sebelahnya. Setelah beberapa saat hening, ia mulai bercerita. “Ketika aku meninggalkan kota ini, aku terlalu sibuk mengejar mimpi. Aku berpikir bahwa aku harus mencapai sesuatu sebelum aku bisa kembali kepadamu. Tapi di tengah perjalanan itu, aku kehilangan diriku sendiri. Aku terlalu fokus pada apa yang ada di depan, hingga lupa melihat ke belakang, di mana kamu berada.”
Nadira mendengarkan dengan seksama, merasakan kejujuran dalam suara Arya. “Aku mengerti bahwa kamu punya mimpi, Arya. Tapi kenapa kamu berhenti menghubungiku? Apa kamu tahu bagaimana rasanya menunggu tanpa tahu kapan semuanya akan berakhir?”
Arya menunduk, menahan rasa bersalah yang begitu besar. “Aku takut, Nadira. Aku takut kamu akan membenciku karena terlalu lama pergi. Aku takut kamu sudah melupakanku. Dan semakin lama aku menunda, semakin besar ketakutanku.”
Nadira menghela napas panjang. Hatinya masih diliputi rasa sakit, tapi juga ada harapan yang perlahan muncul. “Arya, aku tidak bisa menyangkal bahwa aku marah dan kecewa. Tapi di balik semua itu, aku juga merindukanmu.”
Kata-kata itu membuat Arya tersentak. Ia memandang Nadira dengan tatapan penuh harap. “Jadi, apa artinya ini? Apa aku masih punya kesempatan untuk memperbaiki semuanya?”
Nadira terdiam sejenak, mencoba merangkai kata-kata yang tepat. “Aku nggak tahu, Arya. Aku butuh waktu untuk memutuskan apakah aku bisa mempercayaimu lagi. Tapi kalau kamu benar-benar ingin memperbaiki semuanya, tunjukkan padaku bahwa kamu serius.”
Arya mengangguk, menerima tantangan itu. “Aku akan melakukannya, Nadira. Apa pun yang dibutuhkan, aku akan melakukannya.”
Matahari mulai terbenam, memberikan warna jingga keemasan yang indah di langit. Mereka duduk di sana dalam diam, menikmati momen itu bersama. Meski masih ada jarak di antara mereka, pertemuan ini adalah langkah awal untuk membangun kembali jembatan yang telah runtuh.
Di hati Nadira, sebuah perasaan baru mulai tumbuh. Ia tahu bahwa perjalanan ini tidak akan mudah, tapi ia juga tahu bahwa ia ingin mencoba. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia merasa ada harapan untuk mengubah rindu yang menyakitkan menjadi sesuatu yang indah.
Arya, di sisi lain, merasa beban di hatinya mulai berkurang. Ia tahu bahwa perjalanannya untuk mendapatkan kembali kepercayaan Nadira baru saja dimulai. Namun, ia bertekad untuk tidak menyia-nyiakan kesempatan ini.
Sore itu, ladang bunga matahari menjadi saksi awal dari perjalanan baru mereka. Sebuah perjalanan yang penuh dengan tantangan, tetapi juga penuh dengan harapan. Karena bagi mereka, rindu bukan lagi sekadar kenangan, melainkan sebuah kesempatan untuk menciptakan cerita yang lebih indah di masa depan.
saja. Tanpa banyak kata, mereka saling mendekat dan berpelukan. Bangku kayu tua itu kembali menjadi saksi, kali ini untuk sebuah pertemuan yang tak pernah terbayangkan sebelumnya.Sore itu, langit seolah merestui pertemuan mereka dengan warna jingga yang lebih indah dari biasanya. Jejak pertama rindu yang tak terlupakan kembali terjalin, membawa harapan baru di antara dua hati yang pernah dipisahkan waktu.*
Bab 4: Lukisan yang Tak Selesai
Malam tiba di kota kecil itu dengan tenang. Langit dihiasi bintang-bintang yang berkilauan, seolah merestui perjalanan Nadira dan Arya. Namun, di hati Nadira, berbagai pertanyaan masih bergelayut. Ia tak bisa mengabaikan fakta bahwa meskipun Arya kembali, rasa ragu masih menghantuinya.
Nadira duduk di teras rumahnya, memegang secangkir teh hangat. Pikiran tentang apa yang Arya katakan siang tadi masih terngiang di benaknya. Arya telah berjanji untuk memperbaiki semuanya, tapi apakah janji itu cukup untuk menyembuhkan luka yang tertinggal?
Ketukan lembut di pintu pagar membuat Nadira tersentak dari lamunannya. Ketika ia membuka pintu, Arya berdiri di sana, membawa sebuah kanvas besar yang terbungkus kain.
“Aku tahu ini mendadak,” kata Arya dengan nada ragu. “Tapi aku ingin menunjukkan sesuatu padamu.”
Nadira memandang Arya dengan tatapan ingin tahu, lalu mengangguk pelan. Arya masuk ke teras dan meletakkan kanvas itu di atas meja kecil. Dengan hati-hati, ia membuka kain yang menutupi kanvas tersebut.
“Ini lukisan yang belum selesai aku kerjakan lima tahun lalu,” kata Arya. “Aku melukisnya ketika aku pertama kali menyadari betapa pentingnya kamu bagiku.”
Nadira menatap lukisan itu dengan mata yang membelalak. Di sana tergambar dirinya, duduk di bangku kayu tua di ladang bunga matahari. Wajahnya dipenuhi senyuman, dan matanya memancarkan kebahagiaan. Meski beberapa bagian lukisan itu masih berupa sketsa, Nadira dapat merasakan emosi yang tertuang dalam setiap goresan.
“Kenapa kamu membawanya sekarang?” tanya Nadira dengan suara bergetar.
Arya menghela napas panjang. “Karena aku ingin menyelesaikannya. Dan aku ingin melakukannya dengan kamu di sisiku. Aku ingin menunjukkan bahwa aku serius untuk memperbaiki semuanya, bukan hanya dengan kata-kata, tapi dengan tindakan.”
Nadira terdiam, matanya masih terpaku pada lukisan itu. Kenangan-kenangan lama kembali menyeruak, mengingatkannya pada momen-momen indah yang mereka bagi. Tapi di balik itu semua, ada rasa takut yang sulit ia abaikan.
“Arya, aku menghargai usahamu,” kata Nadira akhirnya. “Tapi ini bukan soal menyelesaikan lukisan atau mengingat kenangan lama. Ini tentang bagaimana kita bisa melangkah maju tanpa terus terjebak di masa lalu.”
Arya mengangguk pelan, memahami maksud Nadira. “Aku mengerti. Tapi aku percaya, untuk melangkah maju, kita harus berdamai dengan masa lalu. Dan ini adalah caraku untuk melakukannya.”
Malam itu, mereka menghabiskan waktu berbicara di teras. Arya menceritakan perjuangannya selama lima tahun terakhir, tentang bagaimana ia kehilangan arah dan akhirnya menyadari bahwa kebahagiaan sejatinya ada di kota kecil ini, bersama Nadira. Sementara itu, Nadira membuka hatinya sedikit demi sedikit, menceritakan rasa sakit dan rindu yang ia rasakan selama kepergian Arya.
Hari-hari berikutnya, Arya mulai sering datang ke ladang bunga matahari. Ia membawa lukisannya dan menyelesaikannya perlahan. Nadira yang awalnya hanya memandang dari kejauhan, akhirnya ikut terlibat. Ia membantu Arya memilih warna, memberikan saran, dan bahkan mencoba melukis di sudut kecil kanvas.
“Aku nggak pernah melukis sebelumnya,” kata Nadira sambil tertawa kecil ketika mencoba menggoreskan kuas. “Tapi ini menyenangkan.”
Arya tersenyum, merasa senang melihat Nadira kembali tersenyum seperti dulu. “Kamu punya bakat alami. Mungkin aku harus merekrutmu sebagai asistennya,” gurau Arya.
Perlahan tapi pasti, hubungan mereka mulai membaik. Meski masih ada rasa canggung di antara mereka, kebersamaan yang terjalin membuat Nadira mulai merasa nyaman lagi. Namun, di sisi lain, ia juga takut untuk terlalu berharap. Ia tahu bahwa rasa sakit masa lalu bisa kembali kapan saja
Suatu sore, ketika mereka sedang duduk di bangku kayu tua, Arya mengeluarkan sebuah amplop dari tasnya. “Aku ingin menunjukkan sesuatu,” katanya sambil menyerahkan amplop itu pada Nadira.
Nadira membuka amplop itu dengan hati-hati. Di dalamnya terdapat foto-foto dari pameran seni yang pernah diadakan Arya. Salah satu foto menunjukkan lukisan dirinya yang pernah Arya buat lima tahun lalu. Lukisan itu dipajang di galeri dengan keterangan: *”Inspirasi Sejati”.*
“Aku selalu ingat kamu, Nadira,” kata Arya dengan suara lirih. “Bahkan ketika aku jauh, kamu tetap menjadi inspirasiku. Tapi aku juga sadar bahwa inspirasi saja tidak cukup. Aku harus ada di sini untukmu.”
Nadira menatap foto itu dengan perasaan campur aduk. Ia merasa tersentuh, tapi juga bingung. “Arya, aku menghargai apa yang kamu lakukan. Tapi aku butuh waktu untuk benar-benar percaya bahwa kamu tidak akan pergi lagi.”
Arya mengangguk, memahami keraguan Nadira. “Aku tidak akan memaksamu untuk percaya padaku sekarang. Aku akan menunjukkan dengan tindakan, bukan hanya kata-kata.”
Hari-hari berlalu, dan akhirnya lukisan itu selesai. Arya membawa Nadira ke ladang bunga matahari untuk melihat hasil akhirnya. Di bawah sinar matahari sore, lukisan itu terlihat begitu hidup. Nadira yang digambarkan di kanvas itu tampak memancarkan kebahagiaan sejati, seolah-olah merepresentasikan harapan baru bagi mereka berdua.
“Ini untukmu,” kata Arya sambil menyerahkan lukisan itu pada Nadira. “Aku ingin kamu memilikinya, sebagai pengingat bahwa aku akan selalu ada di sini untukmu.”
Nadira menerima lukisan itu dengan hati yang berat. Ia tahu bahwa Arya telah berusaha keras untuk membuktikan kesungguhannya. Tapi ia juga tahu bahwa perjalanan mereka belum selesai. Masih ada banyak hal yang harus mereka lalui bersama.
“Terima kasih, Arya,” kata Nadira dengan suara pelan. “Aku menghargai semuanya. Dan aku ingin kita mencoba, pelan-pelan, untuk membangun kembali apa yang pernah hilang.”Arya tersenyum, merasa lega mendengar kata-kata itu. “Aku janji, aku nggak akan mengecewakanmu lagi, Nadira.”Sore itu, di bawah langit yang mulai berwarna jingga, mereka saling memandang dengan harapan baru. Ladang bunga matahari menjadi saksi bahwa cinta yang pernah pudar kini mulai kembali tumbuh. Dan meski perjalanan mereka masih panjang, mereka tahu bahwa selama mereka bersama, mereka bisa menghadapi apa pun yang ada di depan.*
Bab 5: Keputusan yang Berat
Matahari mulai menyelinap di balik cakrawala, menyisakan semburat jingga di langit senja. Ladang bunga matahari terlihat berkilauan di bawah cahaya yang memudar, menciptakan suasana damai. Namun, di hati Nadira, tidak ada kedamaian. Kata-kata Arya dari malam sebelumnya terus terngiang di kepalanya.
“Aku ingin tinggal di sini, Nadira. Tapi untuk itu, aku perlu menyelesaikan sesuatu di kota. Beri aku waktu,” ujar Arya dengan nada serius.
Nadira mengerti bahwa perjalanan Arya belum benar-benar selesai. Tapi ia juga tahu bahwa kepergian lagi bisa menjadi risiko besar bagi hubungan mereka yang baru mulai kembali terjalin. Sore itu, ia duduk di bangku kayu tua di ladang bunga matahari, mencoba mencari jawaban.
Di tengah lamunannya, suara langkah kaki mendekat. Nadira menoleh dan melihat Lina, sahabatnya, yang membawa dua cangkir kopi.
“Kupikir kamu mungkin butuh teman,” kata Lina sambil duduk di sebelah Nadira. “Arya bilang sesuatu yang membuatmu bingung, ya?”
Nadira mengangguk pelan. “Dia bilang ingin tinggal, tapi ada hal yang harus diselesaikannya di kota. Aku takut, Lina. Bagaimana kalau dia pergi lagi dan aku harus mengalami semuanya dari awal?”
Lina menatap sahabatnya dengan penuh pengertian. “Kadang, untuk memperbaiki sesuatu, kita harus mengambil risiko. Tapi aku juga tahu rasa takutmu itu wajar. Setelah semua yang kamu lalui, siapa pun akan merasa sama.”
Nadira menunduk, memainkan jemarinya yang dingin. “Aku ingin percaya padanya, Lina. Tapi bagaimana kalau kali ini aku salah?”
Lina meraih tangan Nadira, memberinya kehangatan. “Kepercayaan adalah keputusan, bukan perasaan. Jika kamu memilih untuk percaya, itu berarti kamu siap menghadapi apa pun yang terjadi nanti, baik atau buruk.”
Nadira menghela napas panjang. Kata-kata Lina terasa masuk akal, tetapi hati kecilnya tetap ragu. Ketika malam tiba, ia kembali ke rumahnya dengan pikiran yang masih kacau.
Keesokan harinya, Arya mengajak Nadira untuk bertemu di sebuah kafe kecil di pusat kota. Kafe itu adalah tempat yang dulu sering mereka kunjungi saat Arya masih tinggal di sana. Aroma kopi yang akrab dan suara denting cangkir membawa Nadira kembali ke masa lalu.
“Aku tahu ini tidak mudah untukmu,” kata Arya setelah pelayan mengantarkan pesanan mereka. “Tapi aku ingin kamu tahu bahwa keputusanku untuk pergi sementara bukan karena aku ingin meninggalkanmu. Aku hanya ingin memastikan bahwa ketika aku kembali, aku bisa memberikan yang terbaik untuk kita.”
Nadira menatap Arya dengan tatapan penuh emosi. “Tapi bagaimana kalau sesuatu terjadi di sana? Bagaimana kalau kamu berubah pikiran lagi?”
Arya menggenggam tangan Nadira di atas meja. “Aku tidak akan berubah pikiran. Lima tahun yang aku habiskan jauh darimu sudah cukup untuk membuatku sadar bahwa kamu adalah rumahku.”
Nadira terdiam. Ia bisa melihat kesungguhan di mata Arya, tapi rasa takutnya masih mengintai. Setelah beberapa saat, ia akhirnya mengangguk pelan. “Baiklah. Aku akan mencoba mempercayaimu. Tapi aku butuh kepastian bahwa kamu benar-benar akan kembali.”
Arya tersenyum lega. “Aku janji, Nadira. Aku akan kembali. Dan kali ini, aku akan memastikan bahwa kita tidak akan terpisah lagi.”
Hari-hari berikutnya terasa seperti hitungan mundur. Nadira dan Arya menghabiskan waktu bersama sebanyak mungkin sebelum keberangkatan Arya. Mereka berjalan-jalan di sekitar kota kecil itu, mengunjungi tempat-tempat yang penuh kenangan. Di setiap momen, Arya berusaha meyakinkan Nadira bahwa ia tidak akan mengulangi kesalahan yang sama.
Pada malam terakhir sebelum keberangkatan Arya, mereka kembali ke ladang bunga matahari. Bangku kayu tua itu menjadi tempat mereka duduk berdua, berbicara tentang masa depan.
“Aku ingin kamu tetap melukis,” kata Nadira tiba-tiba. “Bukan hanya untukku, tapi untuk dirimu sendiri.”
Arya tersenyum. “Melukis adalah bagian dari hidupku. Dan kamu, Nadira, adalah inspirasiku yang terbesar. Aku akan terus melukis, dan setiap lukisan akan menjadi pengingat bahwa aku harus kembali padamu.”
Malam itu diakhiri dengan pelukan panjang dan kata-kata perpisahan yang berat. Ketika pagi tiba, Arya pergi meninggalkan kota kecil itu. Nadira berdiri di depan stasiun, menyaksikan kereta yang membawa Arya menjauh. Hatinya terasa kosong, tapi ia mencoba berpegang pada janji Arya.
Waktu berlalu perlahan tanpa kehadiran Arya. Nadira kembali pada rutinitasnya di toko buku kecil, tapi pikirannya sering melayang pada momen-momen bersama Arya. Surat dan pesan dari Arya menjadi penghibur di tengah kesepiannya. Dalam surat-surat itu, Arya menceritakan perjuangannya untuk menyelesaikan pekerjaannya di kota, sekaligus membagikan sketsa-sketsa baru yang ia buat.
Namun, meski komunikasi mereka berjalan lancar, ada saat-saat ketika Nadira merasa ragu. Bagaimana jika janji Arya hanya tinggal janji? Bagaimana jika ia harus menghadapi kekecewaan lagi?
Suatu hari, Nadira menemukan sebuah paket di depan pintu rumahnya. Di dalamnya terdapat lukisan baru dari Arya. Lukisan itu menggambarkan ladang bunga matahari dengan bangku kayu tua di tengahnya. Di sudut lukisan itu, tertulis sebuah catatan:
*”Ini adalah pengingat bahwa aku akan selalu kembali ke tempat ini. Dan ke kamu.”*
Air mata mengalir di pipi Nadira saat ia membaca catatan itu. Untuk pertama kalinya sejak kepergian Arya, ia merasa sedikit lega. Lukisan itu ia gantung di dinding ruang tamunya, sebagai pengingat akan janji Arya.
Bulan demi bulan berlalu, dan akhirnya, hari yang ditunggu-tunggu tiba. Arya mengirim pesan kepada Nadira, memberi tahu bahwa ia telah menyelesaikan semuanya dan siap kembali ke kota kecil mereka.
Ketika kereta tiba di stasiun, Nadira berdiri di sana, menunggu dengan hati yang berdebar. Ketika Arya keluar dari kereta, membawa tas di bahunya dan senyuman di wajahnya, Nadira merasa beban yang selama ini ia rasakan perlahan menghilang.
Arya berjalan mendekat, lalu berhenti tepat di depan Nadira. “Aku kembali, seperti yang aku janjikan,” katanya.
Nadira tersenyum, matanya basah oleh air mata kebahagiaan. “Selamat datang kembali, Arya.”
Mereka saling berpelukan di bawah langit senja, sementara kereta yang lain melaju pergi, membawa cerita lama yang akhirnya bisa mereka tinggalkan. Kini, yang tersisa hanyalah langkah baru untuk masa depan yang ingin mereka bangun bersama.***