Kisah Cinta
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
Kisah Cinta
No Result
View All Result

RINDU YANG MENYULUT AMARAH

SAME KADE by SAME KADE
May 14, 2025
in Dendam Cinta
Reading Time: 27 mins read
RINDU YANG MENYULUT AMARAH

Daftar Isi

  • Bab 1: Awal yang Manis
  • Bab 2: Pengkhianatan yang Menghancurkan
  • Bab 3: Kehancuran dan Keputusan
  • Bab 4: Awal Rencana Dendam
  • Bab 5: Bertemu Kembali
  • Bab 6: Pesona Berbalik
  • Bab 7: Kebenaran yang Terungkap
  • Bab 8: Perasaan yang Membingungkan
  • Bab 9: Titik Didih Konflik
  • Bab 10: Penebus dan Akhir yang Pilu

Bab 1: Awal yang Manis

Hidup bagi Nadia selalu sederhana. Ia tak pernah bermimpi besar, apalagi membayangkan dirinya akan berjumpa dengan sosok yang mampu mengubah segalanya. Pagi itu, seperti biasanya, Nadia berjalan menyusuri jalan kecil di desa tempat ia tinggal. Langit cerah, matahari bersinar lembut di antara daun-daun pohon mangga yang berjajar di pinggir jalan. Di tangan kirinya, ada tumpukan buku tebal yang akan ia bawa ke sekolah tempatnya bekerja sebagai guru sukarela.

Nadia memang bukan siapa-siapa. Ia hanyalah seorang gadis biasa, anak petani kecil yang sejak kecil sudah akrab dengan kerasnya hidup. Namun, ada sesuatu dalam dirinya yang selalu menarik perhatian orang-orang di sekitarnya: kehangatan senyumnya, tatapan matanya yang penuh semangat, dan kesederhanaannya yang tulus.

Namun, pagi itu berbeda. Langkah kakinya berhenti ketika ia melihat sebuah mobil hitam mewah berhenti di depan warung kecil di ujung jalan. Jarang sekali mobil seperti itu melintas di desanya. Dari dalam mobil, keluarlah seorang pria dengan setelan rapi, wajahnya tampak asing bagi Nadia. Dia tinggi, berkulit cerah, dengan rahang tegas yang membuatnya tampak seperti seseorang dari dunia yang sangat berbeda.

Pria itu tampak kebingungan, berdiri di depan mobil sambil melirik ke kanan dan kiri. Nadia hanya memperhatikan dari kejauhan, hingga akhirnya pria itu menoleh ke arahnya dan berjalan mendekat.

“Maaf, apakah kamu tahu di mana tempat ini?” tanya pria itu sambil menunjukkan sebuah alamat di layar ponselnya. Suaranya dalam, namun ada nada ramah di dalamnya.

Nadia memperhatikan layar ponsel itu sejenak. “Oh, itu di dekat balai desa. Tidak jauh dari sini, tapi jalannya agak sulit jika Anda tidak biasa ke sini,” jawab Nadia sopan.

“Bisakah kamu menunjukkan jalan?” pria itu bertanya lagi, kali ini dengan senyum kecil di wajahnya.

Nadia sempat ragu. Tapi, melihat wajah pria itu yang tampak benar-benar membutuhkan bantuan, ia akhirnya mengangguk. “Tentu, saya bisa menunjukkan. Tapi, lebih baik saya ikut naik mobil dan menunjuk arahnya langsung,” katanya sambil melirik sepatu pria itu yang jelas tidak cocok untuk berjalan di jalanan tanah berkerikil desa itu.

Mendengar itu, pria itu tersenyum lebar. “Baik, terima kasih banyak. Saya Arga, kebetulan baru pertama kali datang ke desa ini.”

Nadia mengangguk singkat. “Saya Nadia.”

Di perjalanan menuju balai desa, Nadia mulai tahu sedikit tentang pria itu. Arga, ternyata, adalah anak dari pemilik salah satu perusahaan besar yang sedang menjajaki kerja sama dengan pemerintah desa untuk sebuah proyek pembangunan irigasi. Pria itu tampak ramah, bahkan sesekali melontarkan candaan yang membuat Nadia tertawa kecil.

“Aku tidak menyangka desa ini begitu indah,” kata Arga, menatap pemandangan persawahan di kejauhan. “Di kota, aku hampir tidak pernah melihat pemandangan seperti ini.”

“Ya, di sini semuanya masih alami,” jawab Nadia. “Tapi, itu juga tantangan bagi kami. Infrastruktur yang terbatas membuat kami sering kesulitan, terutama saat musim hujan.”

Obrolan mereka terus berlanjut hingga akhirnya mereka sampai di tujuan. Namun, sebelum Arga turun dari mobil, ia menatap Nadia sejenak dan berkata, “Terima kasih sudah membantu. Jika tidak keberatan, mungkin aku akan sering bertanya padamu tentang desa ini.”

Nadia tersenyum kecil. “Tentu, selama saya bisa membantu.”

Itulah awal mula perkenalan mereka. Setelah hari itu, Arga sering terlihat di desa. Meski awalnya hanya urusan pekerjaan, ia perlahan mulai meluangkan waktu lebih banyak untuk mengenal kehidupan di desa. Setiap kali bertemu Nadia, ada percikan kecil yang mulai terasa di antara mereka. Arga sering datang ke sekolah tempat Nadia mengajar, membawa buku-buku baru untuk anak-anak di sana.

“Kenapa kamu mau repot-repot datang ke sini lagi?” tanya Nadia suatu hari ketika Arga tiba-tiba muncul di sekolah.

Arga tersenyum. “Entahlah. Mungkin aku hanya ingin melihat sen.*

Bab 2: Pengkhianatan yang Menghancurkan

Hubungan Nadia dan Arga terus berkembang. Kehadiran Arga menjadi penghiburan yang begitu berarti dalam hidup Nadia yang penuh kesederhanaan. Bagi Nadia, Arga seperti mimpi yang hadir di dunia nyatanya. Namun, entah mengapa, ada sesuatu di mata Arga yang kadang terasa ragu, seolah ada beban yang tidak ia ungkapkan.

Hari itu, Arga mengajak Nadia makan malam di sebuah restoran kecil di pinggiran kota, tempat yang sering mereka datangi bersama. Nadia datang dengan mengenakan gaun sederhana berwarna biru muda, yang membuat Arga tersenyum kagum saat melihatnya.

“Kamu cantik sekali malam ini,” ujar Arga dengan tatapan lembut.

Wajah Nadia memerah, seperti biasa. “Terima kasih. Tapi aku tahu gaun ini tidak sebanding dengan tempat-tempat mewah yang mungkin biasa kamu kunjungi.”

Arga tertawa kecil. “Kamu salah. Tempat itu tidak ada artinya kalau aku tidak bersama orang yang membuatku merasa tenang.”

Kalimat itu membuat hati Nadia kembali bergetar. Ia mencoba menyembunyikan kegugupannya, namun di dalam hatinya, ia semakin yakin bahwa Arga adalah orang yang selama ini ia tunggu.

Namun, makan malam itu terasa berbeda dari biasanya. Arga terlihat lebih diam, meski berusaha menutupi kegelisahannya dengan senyuman. Ketika Nadia bertanya, Arga hanya mengatakan bahwa ia sedang lelah karena pekerjaan. Nadia tidak memaksa, meski ada sesuatu dalam dirinya yang merasa khawatir.

Seminggu setelah itu, segalanya mulai berubah. Arga tiba-tiba menjadi sulit dihubungi. Pesan-pesan Nadia sering kali tidak dibalas, dan teleponnya hanya berakhir di suara operator. Ketika Nadia mencoba mendatangi rumah tempat Arga tinggal sementara di desa, penjaga rumah mengatakan bahwa Arga telah pergi ke kota untuk urusan penting.

Nadia mencoba berpikir positif. Mungkin Arga memang sibuk dengan pekerjaan, dan ia akan kembali ketika semuanya selesai. Tapi semakin lama, rasa gelisahnya semakin sulit ia abaikan.

Suatu hari, saat sedang berjalan pulang dari sekolah, Nadia mendengar pembicaraan warga desa yang membuat langkahnya terhenti.

“Kamu dengar? Katanya Arga, pemuda kaya itu, akan menikah bulan depan. Pasangannya gadis kota yang cantik dan kaya raya. Cocok sekali dengan dia.”

“Benar. Memang seperti itulah hidup orang-orang kaya. Mereka hanya menikah dengan orang yang setara.”

Jantung Nadia berdegup kencang. Ia merasa tubuhnya melemah, seolah kakinya tidak mampu lagi menahan berat badannya. “Tidak mungkin,” gumamnya pelan, mencoba menyangkal apa yang baru saja ia dengar.

Namun, keraguannya terjawab dua hari kemudian. Saat ia berjalan melewati balai desa, ia melihat Arga keluar dari sebuah mobil bersama seorang wanita. Wanita itu mengenakan pakaian mewah dan tampak sangat anggun. Mereka tertawa bersama, dan Arga terlihat begitu akrab dengan wanita itu.

Nadia hanya bisa berdiri diam di tempatnya, menatap pemandangan itu dengan perasaan hancur. Ia ingin memanggil Arga, ingin meminta penjelasan, tapi suaranya seakan tercekat di tenggorokannya. Arga akhirnya melihat Nadia, namun ia hanya memberikan senyuman tipis sebelum kembali melanjutkan obrolannya dengan wanita itu.

Malam itu, Nadia tidak bisa tidur. Pikirannya dipenuhi pertanyaan-pertanyaan yang tak terjawab. Mengapa Arga tidak memberitahunya? Mengapa ia harus mengetahui ini dari orang lain? Apakah selama ini perasaan Arga padanya hanyalah sebuah permainan?

Keesokan harinya, Nadia memutuskan untuk menemui Arga. Ia tidak peduli apakah itu akan menyakitinya atau tidak, ia butuh penjelasan. Dengan hati yang berdebar, ia mendatangi rumah tempat Arga tinggal.

Ketika Arga membuka pintu, ia tampak terkejut melihat Nadia berdiri di depannya. Namun, sebelum Arga sempat berkata apa-apa, Nadia langsung menatapnya dengan mata penuh amarah dan air mata yang mulai menggenang.

“Kenapa?” tanya Nadia, suaranya bergetar. “Kenapa kamu tidak memberitahuku bahwa kamu akan menikah?”

Arga menghela napas panjang, wajahnya terlihat penuh rasa bersalah. “Nadia, aku bisa menjelaskan.”

“Jelaskan apa? Bahwa selama ini kamu hanya mempermainkanku? Bahwa semua perhatian dan kata-kata manismu tidak ada artinya?” Air mata Nadia mulai mengalir, tapi ia tidak peduli.

“Tidak, Nadia. Itu semua tidak benar. Aku tidak pernah mempermainkanmu,” ujar Arga, suaranya pelan. “Aku benar-benar mencintaimu. Tapi… aku tidak punya pilihan.”

Nadia tertawa pahit. “Tidak punya pilihan? Apa maksudmu?”

Arga terdiam sejenak, lalu akhirnya ia berkata, “Aku dijodohkan, Nadia. Keluargaku membutuhkan aliansi dengan keluarga Kirana untuk menyelamatkan bisnis kami. Aku tidak bisa melawan keputusan mereka. Aku mencoba, tapi… aku tidak bisa mengubah apa pun.”

Penjelasan itu hanya membuat luka di hati Nadia semakin dalam. Ia merasa dikhianati, tidak hanya oleh Arga, tapi juga oleh perasaan yang selama ini ia percayai.

“Jadi, aku hanyalah sebuah pelarian bagimu?” tanya Nadia, suaranya penuh kepahitan.

Arga menggeleng. “Tidak, Nadia. Kamu adalah segalanya bagiku. Tapi dunia kita berbeda. Aku tidak bisa… membawamu ke dalam dunia yang penuh dengan tuntutan dan kepalsuan ini.”

Tanpa berkata apa-apa lagi, Nadia berbalik dan pergi. Arga tidak mengejarnya, dan itu semakin membuktikan bahwa ia memang tidak pernah serius memperjuangkan Nadia.

Di jalan pulang, air mata Nadia terus mengalir. Hatinya hancur berkeping-keping, tidak hanya karena kehilangan Arga, tapi juga karena menyadari bahwa cinta sejati tidak selalu cukup untuk melawan kenyataan.*

Bab 3: Kehancuran dan Keputusan

Setelah kepergiannya dari rumah Arga malam itu, Nadia merasa seluruh hidupnya berubah. Hatinya, yang sebelumnya penuh harapan dan cinta, kini hanya menyisakan kehampaan. Perasaan dikhianati dan ditinggalkan oleh orang yang ia percaya sepenuhnya menjadi luka yang terus menggerogoti dirinya.

Hari-hari setelahnya, Nadia seperti kehilangan arah. Ia tetap pergi mengajar di sekolah, tetapi senyumnya tidak lagi sehangat biasanya. Anak-anak, yang selalu menjadi sumber kebahagiaan baginya, kini hanya membuatnya merasa semakin lemah. Bahkan, teman-teman sejawatnya mulai menyadari perubahan pada Nadia.

“Apakah kamu baik-baik saja, Nadia?” tanya Bu Mira, salah satu guru di sekolah itu, saat mereka sedang beristirahat.

Nadia mencoba tersenyum, tapi matanya yang sembab tidak bisa berbohong. “Aku baik-baik saja, Bu,” jawabnya pelan, meskipun suaranya terdengar goyah.

Namun, kebenaran tidak bisa ia sembunyikan dari dirinya sendiri. Setiap malam, Nadia duduk sendirian di kamarnya, menatap kosong ke arah jendela. Kenangan tentang Arga terus berputar di pikirannya—senyumnya, perhatian kecilnya, dan semua kata-kata manis yang dulu ia anggap tulus.

Dia bertanya-tanya, bagaimana mungkin seseorang yang begitu dekat dengannya bisa berubah menjadi orang yang asing dalam waktu sekejap? Bagaimana mungkin cinta yang pernah terasa begitu nyata berubah menjadi mimpi buruk yang menghancurkan?

Di tengah kehancurannya, datang pukulan baru yang membuat Nadia semakin jatuh. Ibunya, yang selama ini menjadi satu-satunya keluarga dan pendukung terbesarnya, jatuh sakit. Kondisi ibunya semakin buruk, dan Nadia harus mengorbankan waktu, tenaga, dan tabungan kecilnya untuk merawat sang ibu.

“Maafkan ibu, Nadia,” kata ibunya dengan suara lemah saat mereka duduk di ranjang kecil di rumah mereka. “Ibu tidak bisa memberimu kehidupan yang lebih baik.”

Mendengar itu, air mata Nadia jatuh tanpa bisa ia tahan. “Jangan berkata begitu, Bu. Ibu adalah alasan aku bisa bertahan sampai sekarang. Aku akan melakukan apa pun untuk membuat ibu sembuh.”

Namun, meskipun Nadia berusaha sekuat tenaga, kondisi ibunya tidak kunjung membaik. Hari itu tiba lebih cepat dari yang ia bayangkan. Sang ibu menghembuskan napas terakhirnya di pangkuan Nadia, meninggalkan gadis itu sendirian di dunia ini.

Kehilangan ibunya membuat Nadia merasa benar-benar hancur. Seluruh dunia seakan runtuh, meninggalkan dirinya terjebak dalam kegelapan tanpa jalan keluar. Ia tidak lagi memiliki siapa pun untuk bersandar, tidak ada lagi yang memeluknya ketika ia merasa lelah atau mendengarkan ceritanya saat ia merasa tertekan.

Setelah pemakaman ibunya, Nadia mengunci diri di rumah selama berhari-hari. Ia bahkan berhenti mengajar, sesuatu yang sebelumnya tidak pernah ia pikirkan. Buku-buku yang dulu ia cintai kini dibiarkan berdebu di sudut ruangan, dan rumah kecil itu terasa lebih sunyi dari sebelumnya.

Dalam kesendiriannya, Nadia mulai merenungkan hidupnya. Apa yang salah? Mengapa semuanya begitu sulit baginya? Apa yang sebenarnya ia peroleh dari semua kebaikan dan cinta yang ia berikan kepada orang-orang di sekitarnya?

Di saat itulah, perasaan baru muncul di dalam dirinya—amarah. Amarah terhadap kehidupan, terhadap dunia yang begitu tidak adil padanya, dan terutama terhadap Arga. Nadia merasa bahwa semua ini adalah akibat dari pengkhianatan Arga. Jika saja Arga tidak pernah datang ke hidupnya, mungkin ia tidak akan merasa seburuk ini.

“Kenapa dia begitu mudah melanjutkan hidupnya sementara aku terjebak di sini, dalam kehancuran?” Nadia berbisik pada dirinya sendiri di tengah malam yang sepi.

Amarah itu perlahan tumbuh menjadi tekad. Nadia menyadari bahwa ia tidak bisa terus-terusan hidup dalam kesedihan. Ia harus bangkit, bukan untuk orang lain, tetapi untuk dirinya sendiri. Ia harus membuktikan bahwa dirinya tidak selemah yang dunia pikirkan.

Suatu pagi, setelah berbulan-bulan tenggelam dalam kesedihan, Nadia berdiri di depan cermin kecil di kamarnya. Wajahnya terlihat lelah, dengan lingkaran hitam di bawah matanya. Tapi kali ini, ada sesuatu yang berbeda di matanya—api semangat yang mulai menyala kembali.

“Aku akan bangkit,” katanya pada dirinya sendiri. “Aku akan membuat dia tahu bahwa aku lebih kuat daripada yang dia kira.”

Nadia memutuskan untuk pergi dari desanya. Ia menjual rumah kecilnya dan menggunakan uang itu untuk pindah ke kota. Kota adalah tempat yang asing baginya, tetapi ia tahu bahwa di sanalah ia bisa memulai segalanya dari awal.

Langkah pertama Nadia adalah mencari pekerjaan. Dengan pendidikan yang ia miliki, ia berhasil mendapatkan pekerjaan sebagai asisten di sebuah perusahaan kecil. Meski pekerjaannya berat dan gajinya tidak seberapa, Nadia bekerja keras, bahkan lebih keras dari siapa pun di tempat itu.

Ia tidak peduli dengan rasa lelah atau waktu yang harus ia korbankan. Dalam pikirannya, hanya ada satu tujuan: untuk menjadi seseorang yang cukup kuat, cukup berharga, dan cukup besar untuk menunjukkan pada Arga—dan dunia—bahwa ia tidak lagi menjadi gadis yang lemah dan mudah dilukai.

Setiap malam, setelah pulang kerja, Nadia belajar. Ia membaca buku-buku tentang bisnis, keuangan, dan pengembangan diri. Ia tahu bahwa jika ia ingin berhasil, ia harus melengkapi dirinya dengan pengetahuan dan keterampilan.

Bulan demi bulan berlalu, dan Nadia mulai melihat hasil dari kerja kerasnya. Ia dipromosikan di tempat kerjanya, mendapat pengakuan dari atasan, dan bahkan mulai menjalin relasi dengan orang-orang penting di dunia bisnis.

Namun, di balik semua pencapaian itu, ada satu hal yang tetap membara di dalam dirinya: dendam. Nadia tahu bahwa kebangkitannya bukan hanya tentang membangun hidupnya kembali, tetapi juga tentang menunjukkan pada Arga bahwa ia telah kehilangan sesuatu yang tak ternilai.

“Aku akan kembali,” bisiknya dalam hati suatu malam. “Dan kali ini, aku yang akan memegang kendali.”

Dengan hati yang dipenuhi tekad dan dendam, Nadia memulai langkah barunya. Ia tahu bahwa jalannya masih panjang, tetapi ia tidak akan berhenti sampai ia mencapai apa yang ia inginkan—pembalasan atas semua luka yang pernah ia rasakan.*

Bab 4: Awal Rencana Dendam

Dua tahun telah berlalu sejak Nadia meninggalkan desanya. Dalam kurun waktu itu, ia telah berubah menjadi sosok yang sama sekali berbeda. Nadia bukan lagi gadis sederhana yang mudah terpuruk. Kini, ia adalah seorang wanita mandiri, penuh ambisi, dan sangat berbahaya bagi siapa pun yang pernah melukainya.

Hidup di kota telah mengajarkan Nadia banyak hal—tentang kekuatan, tentang bertahan, dan tentang bagaimana dunia bekerja. Pekerjaannya sebagai manajer di sebuah perusahaan investasi kecil kini memberinya akses ke orang-orang penting, proyek besar, dan yang paling penting: kekuasaan. Ia belajar bahwa dunia tidak selalu memihak orang yang baik, melainkan orang yang cerdas dan tahu bagaimana memainkan permainan.

Namun, di balik kesuksesan yang perlahan ia raih, hati Nadia masih diselimuti oleh satu tujuan yang belum ia lupakan: Arga. Setiap malam, saat duduk di apartemen kecilnya yang nyaman, ia akan mengingat wajah pria itu—senyumnya yang memikat, kata-katanya yang manis, dan pengkhianatan yang menghancurkan segalanya. Ia tahu, hanya ada satu cara untuk benar-benar melupakan rasa sakit itu: ia harus membuat Arga merasakan apa yang pernah ia rasakan.

“Dia harus tahu bagaimana rasanya kehilangan segalanya,” Nadia berbisik pada dirinya sendiri, matanya memandang kosong ke luar jendela, menatap lampu kota yang berkelap-kelip.

Rencana itu mulai terbentuk di pikirannya ketika ia tanpa sengaja melihat nama Arga di sebuah artikel bisnis online. Artikel itu memuat berita tentang perusahaan keluarga Arga yang sedang mengalami kesulitan finansial. Proyek besar mereka, yang dulu melibatkan desa Nadia, ternyata gagal menghasilkan keuntungan. Utang menumpuk, dan reputasi perusahaan mulai menurun.

Nadia tersenyum kecil saat membaca artikel itu. “Jadi, dunia memang tidak selalu berpihak padamu, ya, Arga?” pikirnya.

Ia memutuskan untuk menyelidiki lebih jauh. Dengan bantuan koneksi yang ia bangun selama bekerja, Nadia mendapatkan informasi detail tentang kondisi perusahaan keluarga Arga. Ia mengetahui bahwa perusahaan itu sedang mencari investor besar untuk menyelamatkan bisnis mereka. Tanpa suntikan dana, perusahaan itu akan bangkrut dalam hitungan bulan.

Bagi Nadia, ini adalah peluang emas. Ia tahu bahwa dengan posisi dan koneksi yang ia miliki sekarang, ia bisa masuk ke lingkaran bisnis Arga. Tapi ia tidak ingin terburu-buru. Ia ingin memastikan bahwa setiap langkahnya diperhitungkan dengan sempurna, agar dendamnya benar-benar terasa di akhir permainan.

Langkah pertama dalam rencananya adalah membuat dirinya terlihat seperti sosok yang tak bisa diabaikan. Nadia mulai menghadiri berbagai acara bisnis dan pertemuan penting, memastikan bahwa ia bertemu dengan orang-orang yang memiliki hubungan dengan Arga. Ia tidak langsung menyebut nama Arga, tetapi perlahan-lahan, ia mulai menyelipkan pertanyaan tentang perusahaan keluarganya di percakapan.

“Perusahaan mereka sedang dalam masalah besar,” kata salah satu kolega Nadia saat menghadiri gala amal. “Tapi aku dengar mereka masih punya aset yang cukup besar. Jika ada investor yang cukup cerdas, itu bisa menjadi peluang besar.”

Nadia hanya tersenyum mendengar itu. Ia tahu, ia tidak akan menjadi investor biasa. Ia akan menjadi seseorang yang mengambil alih segalanya—termasuk kehidupan Arga.

Setelah beberapa bulan membangun koneksi dan memperluas pengaruhnya, Nadia akhirnya berhasil mendapatkan undangan ke sebuah acara networking eksklusif di mana Arga akan hadir. Ia mempersiapkan dirinya dengan sempurna untuk malam itu. Dengan gaun hitam elegan dan riasan yang membuatnya tampak seperti wanita yang berkelas dan tak tergoyahkan, Nadia melangkah masuk ke dalam ruangan dengan penuh percaya diri.

Dan di sanalah ia melihatnya. Arga.

Pria itu masih tampak seperti yang ia ingat, meskipun ada garis-garis lelah di wajahnya yang menunjukkan bahwa hidupnya tidak lagi semudah dulu. Arga berdiri di tengah-tengah kerumunan, berbicara dengan seorang pria yang tampaknya adalah calon investor.

Nadia merasa detak jantungnya meningkat, tetapi ia menenangkan dirinya. Ia tidak boleh terbawa emosi. Ia telah mempersiapkan ini selama dua tahun, dan ia tidak akan membiarkan amarahnya mengaburkan pikirannya.

Ia menunggu saat yang tepat sebelum akhirnya mendekat. Ketika Arga berbalik, mata mereka bertemu. Untuk sesaat, waktu seakan berhenti.

“Nadia?” Arga tampak terkejut, bahkan sedikit bingung.

Nadia tersenyum tipis, senyum yang tidak bisa ditebak apakah itu senyum ramah atau penuh maksud. “Sudah lama, Arga. Aku tidak menyangka akan bertemu denganmu di sini.”

Arga mencoba memulihkan keterkejutannya. “Kamu… bagaimana kabarmu? Kamu terlihat… berbeda.”

“Berbeda?” Nadia mengangkat alisnya. “Mungkin karena aku tidak lagi gadis desa yang kamu kenal dulu.”

Arga tertawa kecil, meskipun ada ketegangan di matanya. “Kamu memang terlihat luar biasa. Apa yang membawamu ke acara ini?”

“Oh, aku hanya seorang profesional kecil yang sedang mencari peluang besar,” jawab Nadia santai. “Dan sepertinya, ini tempat yang tepat untuk itu.”

Percakapan mereka tidak berlangsung lama malam itu, tetapi cukup bagi Nadia untuk tahu bahwa rencananya mulai berjalan. Ia melihat bagaimana Arga memandangnya—campuran antara rasa kagum, rasa bersalah, dan sesuatu yang tidak bisa Nadia definisikan.

Setelah acara itu, Nadia mulai semakin dekat dengan lingkaran bisnis Arga. Ia memastikan bahwa namanya disebut di setiap pertemuan penting, setiap proyek besar. Ia ingin memastikan bahwa Arga tidak bisa mengabaikannya.

Namun, Nadia tidak terburu-buru. Ia tahu bahwa untuk benar-benar menghancurkan seseorang, ia harus menunggu saat yang tepat. Dan saat itu akan datang, cepat atau lambat.

Sambil menatap dirinya di cermin malam itu, Nadia berbisik pada dirinya sendiri, “Ini baru permulaan. Aku akan membuatnya tahu apa artinya kehilangan segalanya.*

Bab 5: Bertemu Kembali

Suara musik klasik yang lembut memenuhi ruangan megah itu. Lampu-lampu kristal bergemerlap di langit-langit, menciptakan suasana yang mewah dan elegan. Nadia melangkah masuk ke dalam ballroom dengan percaya diri, mengenakan gaun satin merah yang memeluk tubuhnya dengan sempurna. Tatapannya tegas, penuh dengan tujuan.

Ini adalah acara gala amal yang dihadiri oleh para pebisnis papan atas. Nadia telah memastikan kehadirannya di sini melalui koneksi barunya, terutama karena ia tahu satu hal: Arga akan berada di sana.

Selama beberapa bulan terakhir, Nadia telah memainkan perannya dengan hati-hati. Ia membangun reputasinya sebagai sosok muda berbakat di dunia bisnis, membuat namanya mulai dikenal di kalangan pengusaha besar. Semua itu bukan tanpa alasan. Ia sedang menyiapkan panggung besar untuk konfrontasinya dengan Arga.

Dan malam ini, panggung itu akhirnya siap.

Nadia melangkah dengan anggun, melintasi kerumunan orang yang berbincang sambil memegang gelas anggur di tangan mereka. Ia tersenyum pada beberapa wajah yang dikenalnya, memberi salam singkat sebelum melanjutkan langkahnya. Di sudut ruangan, matanya menangkap sosok yang selama ini menjadi alasan dari semua usahanya: Arga.

Pria itu berdiri dengan seorang wanita muda di sisinya—wanita yang tampak anggun dengan gaun biru muda, rambutnya terurai sempurna. Mereka berbincang dengan beberapa tamu, tetapi raut wajah Arga terlihat serius, bahkan sedikit tegang. Nadia memperhatikan setiap gerakan Arga dari kejauhan, memperhatikan bagaimana pria itu sesekali melirik ke sekeliling, seolah mencari sesuatu.

Nadia tahu, dirinya adalah seseorang yang tidak akan dilewatkan pandangannya malam ini. Dan ia benar. Saat ia melangkah lebih dekat, mata Arga akhirnya menemukannya.

Pandangan mereka bertemu. Untuk sesaat, ruangan terasa hening bagi mereka berdua. Tatapan Arga penuh keterkejutan, seolah-olah ia tidak percaya bahwa Nadia benar-benar ada di depannya.

Nadia tersenyum tipis. Itu bukan senyuman ramah atau penuh kasih seperti dulu. Senyuman itu dingin, penuh arti yang hanya ia sendiri yang tahu.

Arga tampak mengucapkan sesuatu kepada wanita di sisinya, lalu dengan cepat berjalan ke arah Nadia. Saat pria itu semakin dekat, Nadia tetap berdiri tegak, menjaga ekspresi wajahnya tetap tenang meskipun hatinya berdegup lebih cepat dari biasanya.

“Nadia?” suara Arga terdengar ragu ketika ia akhirnya berdiri di depannya. “Apa… apa yang kamu lakukan di sini?”

Nadia mengangkat alis, menatapnya dengan penuh percaya diri. “Apakah itu cara menyapa seorang teman lama, Arga? Aku tidak menyangka kamu akan terkejut seperti ini.”

Arga mengusap tengkuknya, kebiasaan lama yang masih diingat Nadia setiap kali pria itu merasa gugup. “Aku hanya tidak menyangka akan bertemu denganmu di acara seperti ini. Maksudku, apa kamu…?”

“Apa aku cocok berada di sini?” potong Nadia dengan nada santai namun menusuk. “Sepertinya kamu lupa, Arga. Aku bukan lagi gadis desa yang kamu tinggalkan dulu.”

Wajah Arga berubah, jelas terlihat bahwa kata-kata Nadia membuatnya tidak nyaman. “Bukan itu maksudku. Aku hanya… aku senang melihatmu lagi. Kamu terlihat luar biasa.”

“Terima kasih,” jawab Nadia singkat, sambil menyesap anggur dari gelasnya. “Aku juga senang melihatmu. Ternyata kamu masih sama, meskipun perusahaan keluargamu sepertinya sedang tidak baik-baik saja.”

Kalimat itu menghantam Arga seperti tamparan halus. Ia menatap Nadia dengan mata yang dipenuhi rasa bersalah. “Kamu tahu?”

“Tentu saja,” kata Nadia sambil tersenyum manis, meskipun ada nada tajam di balik kata-katanya. “Dunia ini kecil, Arga. Terutama untuk orang-orang seperti kita yang bermain di dunia bisnis.”

Arga menghela napas panjang, mencoba menguasai dirinya. “Nadia, aku tahu aku punya banyak kesalahan padamu. Aku tahu aku menyakitimu. Tapi aku tidak pernah berhenti memikirkanmu. Aku benar-benar—”

“Kamu benar-benar apa?” potong Nadia, kali ini dengan nada yang lebih tajam. “Benar-benar mencintaiku? Atau benar-benar menghancurkan aku?”

Arga terdiam. Tatapannya menunjukkan betapa ia ingin menjelaskan, tetapi kata-kata seakan tertahan di tenggorokannya.

Nadia melangkah lebih dekat, menatap langsung ke matanya. “Kamu tahu, Arga, aku tidak lagi peduli dengan alasanmu. Apa yang sudah terjadi tidak bisa diubah. Tapi aku hanya ingin kamu tahu satu hal: aku bukan lagi gadis yang dulu menangis karena kehilanganmu. Aku sudah berubah.”

Arga membuka mulutnya, tetapi sebelum ia sempat bicara, seorang pria paruh baya mendekati mereka. “Tuan Arga,” katanya dengan nada sopan, “kami harus berbicara tentang presentasi Anda.”

Arga tampak ragu, ingin melanjutkan percakapannya dengan Nadia. Namun, akhirnya ia hanya berkata, “Kita akan bicara lagi nanti, Nadia.”

Nadia tidak menjawab. Ia hanya tersenyum, membiarkan Arga pergi bersama pria itu. Namun, saat Arga menjauh, Nadia menatapnya dengan sorot mata yang berbeda—mata yang penuh dengan rencana.

Malam itu, Nadia memastikan dirinya tetap terlihat, berbincang dengan tamu-tamu penting, dan meninggalkan kesan yang kuat di setiap percakapan. Ia ingin Arga menyadari bahwa dirinya bukan hanya sekadar masa lalu yang bisa diabaikan. Ia adalah seseorang yang kini berdiri setara, bahkan mungkin lebih tinggi dari pria itu.

Ketika acara selesai, Nadia berdiri di balkon, menikmati udara malam sambil memandang kota yang bersinar. Di dalam hatinya, ia tahu bahwa pertemuan ini hanyalah awal. Ia telah memasuki dunia Arga lagi, dan kali ini, ia yang memegang kendali permainan.

“Ini baru permulaan, Arga,” Nadia berbisik pelan pada dirinya sendiri. “Kali ini, kamu yang akan merasakan apa artinya kehilangan.*

Bab 6: Pesona Berbalik

Sejak pertemuan pertama mereka di gala amal, kehidupan Arga tidak lagi tenang. Tatapan dingin Nadia dan senyuman penuh arti dari wanita yang dulu ia tinggalkan terus menghantui pikirannya. Setiap kali ia memejamkan mata, bayangan Nadia hadir, mengingatkannya pada apa yang pernah ia sia-siakan.

Namun, Arga juga menyadari sesuatu yang membuatnya semakin resah: Nadia bukan lagi gadis desa yang lembut dan sederhana. Wanita itu sekarang memancarkan aura kekuatan dan kepercayaan diri yang begitu memikat. Ia tidak hanya cantik, tetapi juga penuh karisma, hingga sulit bagi siapa pun untuk mengabaikannya.

Sementara itu, Nadia menjalankan rencananya dengan hati-hati. Ia tahu bahwa Arga sedang goyah, dan inilah saat yang tepat untuk menariknya lebih jauh ke dalam perangkapnya. Ia mulai muncul di berbagai acara yang melibatkan Arga, seolah-olah semuanya kebetulan. Setiap kali mereka bertemu, Nadia memastikan bahwa kehadirannya meninggalkan jejak—senyuman, tatapan mata, atau sekadar kata-kata yang cukup untuk membuat Arga terus memikirkannya.

Suatu malam, saat menghadiri acara peluncuran sebuah proyek besar, Arga mendekati Nadia lebih dulu. Pria itu tampak gugup, tetapi matanya menunjukkan tekad yang kuat.

“Nadia,” katanya dengan nada lembut. “Bolehkah aku bicara denganmu sebentar?”

Nadia menatapnya, pura-pura ragu sebelum akhirnya mengangguk. “Tentu. Ada apa, Arga?”

Mereka berdua melangkah ke area yang lebih sepi, menjauh dari keramaian. Arga tampak kesulitan menemukan kata-kata yang tepat, sementara Nadia menunggu dengan sabar, menikmati bagaimana pria itu terlihat begitu gelisah di hadapannya.

“Aku… aku tahu aku sudah banyak berbuat salah,” kata Arga akhirnya, suaranya penuh penyesalan. “Aku tidak pernah berhenti menyesali apa yang aku lakukan padamu, Nadia. Kalau aku bisa mengulang waktu, aku tidak akan pernah melukaimu seperti itu.”

Nadia tersenyum kecil, tetapi senyum itu tidak sampai ke matanya. “Mengulang waktu? Sayangnya, kita tidak hidup di dunia yang seperti itu, Arga. Semua yang sudah terjadi tidak bisa diubah.”

“Aku tahu,” balas Arga cepat. “Tapi aku hanya ingin kamu tahu, aku benar-benar minta maaf. Tidak ada sehari pun aku tidak memikirkanmu, memikirkan apa yang aku hancurkan. Kamu berhak mendapatkan yang lebih baik.”

“Ya,” kata Nadia dengan nada datar. “Aku memang pantas mendapatkan yang lebih baik. Dan mungkin sekarang aku sudah menemukannya.”

Kalimat itu menghantam Arga seperti pukulan telak. Ia terdiam, matanya mencari jawaban di wajah Nadia, tetapi wanita itu tetap tenang, tidak menunjukkan emosi apa pun.

“Siapa dia?” tanya Arga akhirnya, suaranya sedikit bergetar.

Nadia hanya tersenyum lagi, kali ini dengan nada penuh teka-teki. “Kamu tidak perlu tahu, Arga. Yang jelas, dia tidak akan pernah melakukan apa yang kamu lakukan.”

Percakapan itu berakhir dengan Arga yang pergi lebih dulu, wajahnya terlihat bingung dan penuh kegelisahan. Nadia tahu bahwa ia berhasil membuat Arga merasa tidak nyaman, dan itu adalah bagian dari rencananya. Ia ingin Arga terus memikirkannya, terus bertanya-tanya, hingga pria itu tidak lagi bisa mengendalikan emosinya.

Namun, sesuatu yang tidak terduga mulai terjadi. Semakin sering mereka bertemu, semakin sulit bagi Nadia untuk mengabaikan pesona Arga. Meskipun ia telah bersumpah untuk tidak lagi terjebak oleh pria itu, ada saat-saat di mana tatapan mata Arga yang penuh penyesalan dan perhatian membuatnya merasa goyah.

Nadia benci mengakui hal itu. Ia benci bagaimana perasaan lamanya terhadap Arga perlahan muncul kembali, meskipun ia tahu itu adalah kelemahan. Setiap kali ia merasa goyah, Nadia akan mengingat kembali pengkhianatan Arga, mengingat betapa hancurnya ia saat ditinggalkan. Itu cukup untuk membuatnya tetap fokus pada tujuan utamanya.

Namun, Arga tidak menyerah. Pria itu terus mencari cara untuk mendekati Nadia, mencoba memperbaiki hubungan mereka, meskipun ia tahu itu mungkin sudah terlambat. Ia mulai muncul di tempat-tempat yang biasa dikunjungi Nadia, seolah-olah ingin menunjukkan bahwa dirinya serius.

Suatu hari, di sebuah kafe kecil tempat Nadia sering menghabiskan waktu untuk bekerja, Arga tiba-tiba muncul. Ia membawa dua cangkir kopi dan duduk di meja Nadia tanpa meminta izin.

“Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Nadia, mencoba terdengar acuh, meskipun ia merasa terganggu oleh kehadiran Arga.

“Aku hanya ingin menghabiskan waktu bersamamu,” jawab Arga sambil tersenyum kecil. “Dan aku membawa kopi favoritmu, latte hazelnut. Masih ingat, kan?”

Nadia mendelik padanya, tetapi di dalam hatinya, ia terkejut bahwa Arga masih ingat detail kecil seperti itu. Namun, ia tidak ingin menunjukkan kelemahannya.

“Aku tidak punya waktu untuk ini, Arga,” katanya dingin, kembali fokus pada laptopnya.

“Tidak apa-apa. Aku hanya akan duduk di sini,” balas Arga, tidak terpengaruh oleh sikap dingin Nadia.

Meskipun Nadia berusaha mengabaikan Arga, ia tidak bisa sepenuhnya menahan rasa gugupnya. Kehadiran pria itu terlalu kuat, terlalu familiar. Dan meskipun ia tahu ini adalah bagian dari permainannya, Nadia merasa bahwa ia mungkin telah membuka pintu yang seharusnya tetap tertutup.

Hari-hari berlalu, dan Arga semakin sering muncul di kehidupan Nadia, baik secara kebetulan maupun sengaja. Nadia, yang awalnya yakin bahwa ia memegang kendali, mulai merasakan sesuatu yang aneh. Apakah ini bagian dari rencananya, atau apakah ia mulai kehilangan arah?

Di tengah semua itu, Nadia tahu bahwa ia harus membuat keputusan besar. Apakah ia akan tetap menjalankan rencananya, atau apakah perasaan lama yang mulai muncul kembali akan menghancurkan semuanya?

Nadia menatap dirinya di cermin malam itu, mencoba membaca apa yang ada di dalam hatinya. Ia tidak bisa menyangkal bahwa Arga masih memiliki pengaruh yang besar dalam hidupnya. Tapi ia juga tahu bahwa ia tidak boleh membiarkan dirinya terjebak lagi.

“Dendam ini belum selesai,” Nadia berbisik pada dirinya sendiri. “Aku tidak akan kalah. Tidak kali ini.*

Bab 7: Kebenaran yang Terungkap

Malam itu, hujan mengguyur deras di luar jendela apartemen Nadia. Ia duduk di sofa ruang tamunya dengan secangkir teh yang mulai mendingin di atas meja. Matanya menatap layar laptop di depannya, tetapi pikirannya melayang jauh. Semua percakapan, tatapan, dan kehadiran Arga akhir-akhir ini membuat hatinya kacau.

Ia benci bagaimana pria itu masih bisa membuatnya merasa lemah. Ia benci bagaimana tatapan penuh penyesalan Arga seolah memburu setiap langkahnya. Tapi yang paling ia benci adalah fakta bahwa ia masih memikirkan pria itu.

Di saat pikirannya berkonflik, ponselnya berbunyi. Sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal. Nadia mengernyit, lalu membuka pesan itu.

“Jika kamu ingin tahu alasan sebenarnya mengapa Arga meninggalkanmu, temui aku di kafe M di Jalan Raya pukul 9 malam.”

Pesan itu singkat, tetapi cukup untuk membuat Nadia terpaku. Hatinya berdebar-debar, penuh dengan rasa penasaran bercampur curiga. Siapa yang mengirim pesan ini? Apa maksudnya dengan “alasan sebenarnya”? Nadia berpikir untuk mengabaikannya, tetapi sesuatu di dalam dirinya mendorongnya untuk pergi.

Pukul 8.45 malam, Nadia tiba di kafe yang disebutkan. Tempat itu hampir kosong karena hujan lebat di luar. Ia memesan kopi dan memilih duduk di meja yang paling dekat dengan jendela, menunggu.

Tak lama kemudian, seorang wanita masuk ke dalam kafe. Rambutnya panjang, rapi, dan ia mengenakan mantel hitam. Wanita itu melangkah langsung ke arah Nadia, seolah tahu persis siapa yang ia cari.

“Apakah kamu Nadia?” tanyanya dengan suara lembut tetapi tegas.

Nadia mengangguk, memperhatikan wanita itu dengan penuh waspada. “Kamu yang mengirim pesan?”

Wanita itu tersenyum tipis. “Benar. Namaku Karin. Aku yakin kamu tahu siapa aku.”

Nama itu membuat Nadia terkejut. Karin adalah wanita yang bersama Arga di gala amal beberapa waktu lalu. Wanita itu, menurut bisikan-bisikan di kalangan pebisnis, adalah tunangan Arga.

“Aku tidak punya banyak waktu, jadi aku akan langsung ke intinya,” kata Karin sambil duduk di depan Nadia. “Aku tahu kamu pernah memiliki hubungan dengan Arga. Dan aku juga tahu bahwa kamu mungkin masih menyimpan dendam padanya.”

Nadia menatap Karin dengan tajam. “Apa yang kamu inginkan?”

“Bukan apa yang aku inginkan,” balas Karin dengan nada tenang. “Ini tentang apa yang perlu kamu ketahui. Tentang alasan mengapa Arga meninggalkanmu dua tahun lalu.”

Nadia mengepalkan tangannya di bawah meja. Hatinya bergejolak mendengar kata-kata itu. “Kalau kamu ingin membela Arga, sebaiknya kamu tidak buang waktu.”

“Aku tidak membelanya,” jawab Karin, menatap langsung ke mata Nadia. “Aku hanya ingin kamu tahu fakta yang sebenarnya. Mungkin setelah ini, kamu bisa memutuskan sendiri apa yang akan kamu lakukan.”

Karin menarik napas panjang sebelum melanjutkan. “Dua tahun lalu, saat proyek di desamu dimulai, Arga sebenarnya sudah memutuskan untuk bertahan bersamamu. Ia tidak ingin meninggalkanmu. Tapi ayahnya, pemilik perusahaan saat itu, memaksa Arga untuk memutuskan hubungan kalian. Menurut ayahnya, hubungan kalian bisa merusak reputasi keluarga dan perusahaan.”

Nadia merasakan jantungnya berdetak lebih cepat. Kata-kata Karin seperti pisau tajam yang mengiris ingatannya.

“Arga mencoba melawan,” lanjut Karin. “Tapi ayahnya mengancam akan membatalkan proyek di desa itu dan menghancurkan keluargamu secara finansial. Arga akhirnya menyerah, karena ia berpikir itu adalah cara terbaik untuk melindungimu. Tapi aku yakin kamu tahu, keputusan itu menghancurkannya juga.”

Kata-kata itu menggema di kepala Nadia. Ia mencoba mencerna apa yang baru saja didengar, tetapi rasanya terlalu banyak untuk dipahami sekaligus.

“Dan kamu?” tanya Nadia akhirnya, suaranya bergetar. “Apa peranmu dalam semua ini?”

Karin tersenyum pahit. “Aku adalah bagian dari rencana ayahnya. Pernikahan kami sudah direncanakan sejak lama untuk memperkuat aliansi bisnis. Tapi aku tidak pernah mencintainya, dan aku tahu dia juga tidak pernah mencintaiku.”

Nadia terdiam, hatinya terasa kacau balau. Jika semua yang dikatakan Karin benar, maka seluruh kebenciannya selama ini mungkin salah diarahkan.

“Aku memberitahumu ini bukan untuk membuatmu merasa simpati pada Arga,” lanjut Karin. “Aku hanya ingin kamu tahu apa yang sebenarnya terjadi, agar kamu bisa membuat keputusan dengan pikiran yang jernih. Arga mungkin membuat kesalahan, tetapi tidak semuanya adalah salahnya.”

Setelah mengatakan itu, Karin bangkit dari kursinya. “Aku harap kamu bisa menemukan kedamaianmu, Nadia. Karena aku tahu, Arga masih mencintaimu.”

Karin pergi, meninggalkan Nadia yang masih terdiam di tempatnya. Hujan di luar semakin deras, seolah mencerminkan kekacauan di dalam hatinya.

Dalam perjalanan pulang, pikiran Nadia penuh dengan bayangan masa lalu. Jika apa yang Karin katakan benar, berarti selama ini Arga mencoba melindunginya dengan cara yang salah. Tetapi apakah itu cukup untuk menghapus semua luka yang ia rasakan?

Malam itu, Nadia tidak bisa tidur. Ia duduk di tepi tempat tidurnya, memandangi ponselnya. Jemarinya ragu-ragu sebelum akhirnya mengetik sebuah pesan singkat.

“Kita perlu bicara. Besok sore, di tempat biasa.”

Ia mengirim pesan itu kepada Arga, tanpa tahu apa yang sebenarnya ingin ia katakan. Tetapi satu hal yang pasti: kebenaran ini telah membuka luka lama yang ia pikir sudah sembuh, dan Nadia tahu bahwa ia tidak bisa mengabaikannya lagi.*

Bab 8: Perasaan yang Membingungkan

Langit sore di kafe kecil tempat mereka sering bertemu dulu terasa membawa nostalgia bagi Nadia. Ia duduk di meja pojok, tempat yang sama ketika Arga dulu sering menemani hari-harinya. Hawa hangat matahari yang memancar melalui jendela terasa aneh di tengah kekacauan hatinya.

Ia masih ingat pesan yang ia kirim malam sebelumnya kepada Arga. Pesan yang ia tulis dengan tangan gemetar, dipenuhi oleh rasa penasaran, amarah, dan… sesuatu yang tidak bisa ia definisikan.

Perasaan itu membingungkannya. Setelah semua yang ia rencanakan selama ini, setelah membangun dinding kebencian yang begitu kokoh terhadap pria itu, mengapa hatinya mulai goyah?

Tidak butuh waktu lama hingga Arga tiba. Pria itu masuk ke kafe dengan langkah tergesa-gesa, seolah takut Nadia akan pergi jika ia terlambat. Matanya langsung menemukan sosok wanita itu, duduk dengan ekspresi datar, meskipun ada badai besar yang tersembunyi di balik wajah tenangnya.

“Nadia,” sapa Arga sambil duduk di depannya. Ia tampak ragu, tetapi matanya penuh harap.

Nadia mengangguk kecil, lalu menatapnya tanpa berkata apa-apa. Dalam keheningan itu, Arga menarik napas panjang, mencoba memecahkan kebekuan.

“Kamu bilang kita perlu bicara,” kata Arga, memulai. “Ada apa?”

Nadia memutar cangkir kopinya perlahan, menatap cairan hitam itu seolah mencari jawaban di sana. Setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya, ia akhirnya membuka mulut.

“Aku bertemu Karin,” katanya singkat.

Mendengar nama itu, wajah Arga langsung berubah. Ia tampak terkejut, bahkan sedikit cemas. “Karin? Apa yang dia katakan padamu?”

Nadia mendongak, menatap mata Arga dengan tajam. “Dia memberitahuku semuanya. Tentang ayahmu, tentang ancaman yang dia buat, tentang alasan kamu meninggalkanku dua tahun lalu.”

Arga terdiam. Ia menunduk, seolah mencari kekuatan dari lantai di bawahnya. “Jadi, sekarang kamu tahu,” gumamnya pelan.

“Ya,” balas Nadia dingin. “Sekarang aku tahu. Tapi itu tidak membuat semuanya lebih baik, Arga.”

Arga mengangkat wajahnya, matanya penuh dengan rasa bersalah. “Aku tidak pernah ingin meninggalkanmu, Nadia. Kamu harus percaya itu. Aku…” Ia berhenti sejenak, suaranya bergetar. “Aku hanya ingin melindungimu.”

“MELINDUNGIKU?” Nadia hampir tertawa sinis. Ia meletakkan cangkir kopinya dengan kasar di atas meja, menimbulkan suara nyaring yang menarik perhatian beberapa pengunjung. “Kamu pikir meninggalkan aku tanpa penjelasan adalah bentuk perlindungan? Kamu pikir menghancurkan hidupku waktu itu adalah caramu menjaga aku?”

Arga terdiam, tidak bisa membalas kata-kata itu. Wajahnya tampak penuh dengan rasa bersalah, tetapi Nadia tidak memberinya kesempatan untuk bicara.

“Aku menderita, Arga. Aku tidak hanya kehilanganmu, tapi juga kehilangan diriku sendiri. Aku merasa tidak cukup baik, tidak layak dicintai, dan semua itu karena kamu. Karena keputusan yang kamu buat tanpa memikirkan perasaanku!”

Arga menggenggam tangan Nadia di atas meja, membuat wanita itu terkejut. “Aku tahu aku salah, Nadia,” katanya dengan suara lirih tetapi penuh emosi. “Aku tidak akan pernah bisa mengubah apa yang sudah terjadi, tetapi aku benar-benar ingin memperbaikinya. Aku ingin kamu tahu bahwa aku masih mencintaimu.”

Nadia menarik tangannya dengan cepat, seolah sentuhan Arga adalah bara api yang membakar kulitnya. “Jangan bicara soal cinta, Arga. Jangan berani-beraninya mengungkit perasaan itu setelah semua yang kamu lakukan.”

Namun, meskipun ia berkata demikian, hatinya tidak bisa sepenuhnya menolak kata-kata Arga. Bagaimanapun juga, ia tahu bahwa ada bagian dari dirinya yang masih mencintai pria ini, meskipun ia berusaha keras untuk menyangkalnya.

Keheningan melingkupi mereka. Arga menunduk lagi, sementara Nadia mencoba mengendalikan emosinya. Ia merasa seperti terseret di antara dua arus yang saling bertentangan. Di satu sisi, ia ingin membenci Arga sepenuhnya. Di sisi lain, ada keinginan yang ia sendiri tidak mengerti—keinginan untuk percaya lagi, untuk memaafkan, meskipun hatinya masih terluka.

Setelah beberapa saat, Arga akhirnya bicara lagi. “Aku tahu aku tidak pantas memintamu untuk memaafkanku. Tapi aku ingin kamu tahu satu hal, Nadia. Aku akan melakukan apa saja untuk menebus kesalahanku. Apa pun itu.”

Nadia menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. “Kamu tidak bisa menebus masa lalu, Arga. Tidak peduli seberapa keras kamu mencoba.”

“Tapi aku bisa mencoba memperbaiki masa depan,” jawab Arga dengan tegas.

Kalimat itu membuat Nadia terdiam. Ada ketulusan di mata pria itu, ketulusan yang sulit ia abaikan. Tetapi ia juga tahu bahwa kata-kata saja tidak cukup. Tidak setelah semua yang ia lalui.

“Aku butuh waktu,” kata Nadia akhirnya. “Aku tidak tahu apa yang aku rasakan sekarang, atau apa yang harus aku lakukan. Jadi, beri aku waktu.”

Arga mengangguk pelan, meskipun ada kesedihan di wajahnya. “Aku akan menunggu, Nadia. Berapa lama pun itu, aku akan menunggu.”

Mereka berpisah tanpa kata-kata lebih lanjut. Nadia berjalan pulang dengan hati yang masih bergejolak. Ia mencoba mencari kejelasan di antara perasaan yang membingungkan ini, tetapi tidak ada jawaban yang pasti.

Apakah ia harus memaafkan Arga? Apakah ia bisa membiarkan dirinya mencintai pria itu lagi? Atau apakah ia harus tetap pada rencananya untuk membalas dendam?

Hujan mulai turun saat ia tiba di apartemennya. Ia berdiri di depan jendela, memandang tetesan air yang mengalir di kaca, dan untuk pertama kalinya sejak memulai rencananya, ia merasa benar-benar bingung.*

Bab 9: Titik Didih Konflik

Malam itu, ruangan di aula pertemuan sebuah hotel megah dipenuhi dengan tamu undangan dari kalangan elit bisnis. Nadia melangkah masuk dengan gaun hitam yang anggun, rambutnya disanggul rapi, dan riasan sederhana yang menonjolkan kecantikannya. Ia tidak datang ke acara ini untuk sekadar bersosialisasi; ia datang untuk menyelesaikan apa yang telah ia mulai.

Di sudut ruangan, Nadia bisa melihat Arga berdiri bersama Karin dan beberapa kolega mereka. Pria itu mengenakan setelan abu-abu gelap, tampil seperti sosok sempurna seorang eksekutif sukses. Namun, Nadia bisa melihat bagaimana mata Arga terus mencari-cari sesuatu—atau seseorang. Ia tahu bahwa Arga sedang mencarinya.

Langkah Nadia tidak tergesa-gesa, tetapi penuh percaya diri. Setiap mata di ruangan seolah tertuju padanya, termasuk mata Arga. Ketika akhirnya pandangan mereka bertemu, Nadia memberikan senyuman tipis, senyuman yang penuh arti.

Arga segera meninggalkan kelompoknya dan berjalan mendekati Nadia. “Kamu datang,” katanya dengan nada lega.

“Tentu saja,” jawab Nadia, tetap tenang. “Acara sebesar ini, bagaimana aku bisa melewatkannya?”

Arga menatapnya, mencoba membaca ekspresi wajah Nadia, tetapi seperti biasa, wanita itu berhasil menyembunyikan pikirannya. “Aku senang kamu di sini,” katanya akhirnya.

Nadia hanya mengangguk tanpa menjawab. Ia kemudian melihat ke arah Karin, yang masih berdiri di sudut ruangan. Wanita itu tampak memperhatikan mereka, tetapi tidak mendekat.

“Sepertinya tunanganmu tidak terlalu senang melihat kita berbicara,” ujar Nadia dengan nada tajam.

Arga menghela napas, tampak tidak nyaman. “Karin bukan… aku tidak—”

“Jangan repot-repot menjelaskan,” potong Nadia, nadanya dingin. “Aku tidak peduli apa hubungan kalian sekarang. Aku hanya ingin kita menyelesaikan urusan kita.”

Arga terdiam, tetapi matanya menunjukkan bahwa ia merasa terluka oleh kata-kata itu. “Apa maksudmu, Nadia?”

Nadia tersenyum kecil, meskipun ada kepedihan yang tersembunyi di balik senyum itu. “Kamu tahu apa maksudku, Arga. Semua ini—pertemuan kita, percakapan kita, bahkan kehadiranku di sini malam ini—bukan kebetulan. Aku datang untuk memastikan kamu merasakan apa yang aku rasakan dulu. Kehilangan, kehancuran, dan rasa bersalah yang tidak pernah hilang.”

Arga menatapnya dengan kaget. “Kamu… kamu sengaja?”

“Tentu saja,” jawab Nadia tanpa ragu. “Kamu pikir aku muncul kembali dalam hidupmu begitu saja? Tidak, Arga. Aku merencanakan semuanya. Aku ingin kamu tahu bagaimana rasanya dikhianati dan ditinggalkan.”

“Kamu tidak perlu melakukan ini, Nadia,” kata Arga, suaranya penuh emosi. “Aku sudah cukup menderita sejak hari aku meninggalkanmu. Setiap hari aku dihantui oleh keputusan itu. Aku tahu aku salah, dan aku akan menyesal seumur hidupku.”

“Menyesal?” Nadia tertawa kecil, tetapi suaranya terdengar pahit. “Kamu pikir penyesalan cukup untuk memperbaiki semua luka yang kamu tinggalkan? Aku kehilangan segalanya, Arga. Aku kehilangan diriku sendiri. Penyesalanmu tidak akan pernah cukup.”

Suasana di antara mereka semakin memanas. Beberapa tamu mulai memperhatikan, meskipun mereka mencoba berpura-pura sibuk dengan percakapan masing-masing.

“Nadia, dengarkan aku,” kata Arga, mencoba meredakan emosi Nadia. “Aku tahu aku tidak bisa mengubah apa yang sudah terjadi. Tapi aku benar-benar ingin menebus semuanya. Aku mencintaimu, Nadia. Aku mencintaimu lebih dari apa pun di dunia ini.”

Kata-kata itu membuat Nadia terdiam sejenak. Ia bisa melihat ketulusan di mata Arga, tetapi ia tidak ingin mempercayainya. Tidak setelah semua yang ia lalui.

“Jangan bicara soal cinta, Arga,” katanya akhirnya, suaranya lebih pelan tetapi penuh dengan rasa sakit. “Cinta tidak ada artinya bagiku lagi.”

Tepat saat itu, Karin mendekat, wajahnya tampak tegang. “Apa yang terjadi di sini?” tanyanya, mencoba menjaga nada suaranya tetap tenang.

Nadia memutar tubuhnya, menghadap Karin. “Kamu seharusnya bertanya pada tunanganmu,” katanya dengan senyum dingin.

“Apa maksudmu?” tanya Karin, tatapannya bergantian antara Nadia dan Arga.

Sebelum Nadia sempat menjawab, Arga menyela. “Karin, ini antara aku dan Nadia. Tolong beri kami waktu.”

“Tidak, biarkan dia di sini,” kata Nadia dengan tegas. “Dia juga bagian dari semua ini, bukan?”

Karin tampak bingung, tetapi ia tidak pergi. Nadia melihat kesempatan itu dan melanjutkan.

“Kamu tahu, Karin,” kata Nadia dengan nada yang hampir sinis. “Arga bukan hanya pria yang meninggalkan aku. Dia juga pria yang memilih menjalani permainan keluarganya, menghancurkan hidupku untuk keuntungan mereka. Dan sekarang, dia ingin aku memaafkannya, seolah semua itu bisa hilang begitu saja.”

“Nadia, cukup,” kata Arga dengan nada memohon. “Aku tidak pernah ingin melukaimu.”

“Tapi kamu melakukannya!” seru Nadia, suaranya mulai bergetar. “Dan sekarang kamu ingin aku memaafkanmu? Mengabaikan semua rasa sakit yang aku rasakan selama dua tahun terakhir?”

Karin berdiri diam, tidak tahu harus berkata apa. Ia bisa melihat emosi yang meluap-luap dari Nadia, dan untuk pertama kalinya, ia melihat Arga benar-benar kalah dalam situasi ini.

Nadia mengambil napas panjang, mencoba mengendalikan dirinya. Ia memandang Arga dengan mata yang penuh air mata, meskipun ia berusaha menahannya. “Aku tidak tahu apakah aku bisa memaafkanmu, Arga. Tapi satu hal yang pasti, aku tidak akan membiarkan kamu melukai aku lagi.”

Setelah mengatakan itu, Nadia berbalik dan meninggalkan mereka berdua. Ia keluar dari aula dengan langkah cepat, meninggalkan Arga dan Karin yang berdiri dalam keheningan.

Di luar, hujan mulai turun. Nadia berdiri di bawah naungan gedung, menatap jalanan yang basah. Air matanya akhirnya mengalir, bercampur dengan tetesan hujan. Ia merasa lega, tetapi juga kosong.

Rencananya telah mencapai puncaknya, tetapi mengapa hatinya tetap terasa begitu hancur.*

Bab 10: Penebus dan Akhir yang Pilu

Hujan malam itu membasahi jalan-jalan kota, menciptakan genangan air yang memantulkan lampu-lampu jalan. Nadia berdiri di depan balkon apartemennya, memandangi hujan yang terus mengguyur. Kepalanya penuh dengan pikiran yang saling berbenturan.

Sudah dua hari sejak malam gala itu, dan sejak itu, Arga tidak menghubunginya. Ia mengira akan merasa lega setelah meluapkan emosinya kepada pria itu, tetapi nyatanya tidak. Ada kekosongan yang tidak bisa ia jelaskan, perasaan hampa yang terus menghantuinya.

Ponselnya tiba-tiba berbunyi, memecah keheningan. Ia meraih ponsel itu dan melihat nama yang muncul di layar. Nama yang membuat hatinya berdebar: Arga.

Nadia ragu-ragu sebelum menjawab. “Halo?”

Suara Arga terdengar di seberang, berat dan pelan. “Nadia, aku tahu aku adalah orang terakhir yang ingin kamu dengar, tapi aku mohon, temui aku. Ada sesuatu yang harus aku jelaskan, satu hal terakhir.”

“Apa lagi yang bisa kamu katakan, Arga?” jawab Nadia dengan suara lelah. “Aku sudah mendengar semuanya. Apa yang ingin kamu bicarakan sekarang tidak akan mengubah apa pun.”

“Tolong,” pinta Arga. Suaranya terdengar hampir putus asa. “Hanya satu kali ini. Jika setelah ini kamu masih membenciku, aku akan pergi dari hidupmu selamanya.”

Nadia terdiam. Ada sesuatu dalam nada suara Arga yang membuatnya merasa harus pergi. Setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya, ia akhirnya menghela napas dan berkata, “Di mana kita bertemu?”

—

Mereka bertemu di taman kota yang sepi, tempat yang dulu menjadi favorit mereka. Hujan sudah reda, tetapi udara masih terasa dingin. Nadia tiba lebih dulu, duduk di bangku kayu yang berada di bawah pohon besar. Tak lama kemudian, Arga muncul, mengenakan mantel hitam yang basah di ujungnya.

“Nadia,” panggilnya pelan saat ia mendekat.

Nadia tidak menoleh, hanya memandangi taman di depannya. “Apa yang ingin kamu katakan?”

Arga duduk di sampingnya, menjaga jarak, tetapi matanya tidak pernah lepas dari wajah wanita itu. “Aku tidak tahu harus mulai dari mana,” katanya dengan suara pelan. “Tapi aku ingin kamu tahu bahwa aku benar-benar menyesal atas semua yang aku lakukan padamu.”

“Aku sudah mendengar itu,” balas Nadia dingin.

“Tapi aku belum memberitahumu semuanya,” lanjut Arga. “Aku belum memberitahumu kenapa aku melakukan semua ini.”

Nadia akhirnya menoleh, menatapnya dengan alis terangkat. “Bukankah sudah jelas? Kamu ingin melindungi reputasi keluargamu. Kamu memilih keluargamu daripada aku. Itu saja.”

Arga menggeleng, matanya penuh dengan rasa sakit. “Bukan itu, Nadia. Aku tahu aku sudah menjelaskan sebagian, tapi ada satu hal yang tidak pernah aku katakan. Dan aku tidak bisa terus menyimpan ini lebih lama lagi.”

Nadia menatapnya tajam, tetapi tidak berkata apa-apa.

Arga menarik napas panjang, seperti mengumpulkan keberanian. “Waktu itu, ayahku mengancam akan menghancurkan keluargamu. Dia tahu tentang usaha kecil yang dikelola ibumu, tahu betapa pentingnya itu bagi keluargamu. Dia bilang jika aku tidak meninggalkanmu, dia akan memastikan keluargamu kehilangan segalanya.”

Nadia terdiam, mencoba mencerna kata-kata itu.

“Aku tidak bisa membiarkan itu terjadi, Nadia. Aku tahu bagaimana rasanya kehilangan segalanya. Aku tidak ingin kamu atau keluargamu merasakan hal yang sama. Jadi, aku menyerah. Aku pergi, meninggalkanmu, karena aku pikir itu yang terbaik.”

Suara Arga mulai bergetar. “Tapi aku salah, Nadia. Aku salah besar. Aku seharusnya bertarung untuk kita, seharusnya aku tidak menyerah begitu saja. Dan aku akan menyesalinya selama sisa hidupku.”

Nadia memalingkan wajah, air matanya mulai mengalir. “Jadi, kamu memutuskan untuk menjadi pahlawan? Mengorbankan kita demi sesuatu yang bahkan tidak pernah kamu bicarakan denganku?”

“Aku hanya ingin melindungimu,” balas Arga pelan.

“Tapi kamu malah menghancurkanku,” jawab Nadia, suaranya bergetar. “Kamu membuat keputusan tanpa memberiku pilihan. Kamu memutuskan apa yang terbaik untukku, tanpa mempertimbangkan apa yang sebenarnya aku inginkan.”

Arga menunduk, tidak bisa membantah.

Keheningan melingkupi mereka. Hanya suara angin malam yang terdengar di antara desah napas mereka yang berat.

“Aku tidak tahu, Arga,” kata Nadia akhirnya. “Aku tidak tahu apakah aku bisa memaafkanmu, meskipun aku ingin mencoba. Aku ingin membenci kamu selamanya, tapi hatiku tidak bisa.”

Arga mendongak, menatap Nadia dengan harapan kecil di matanya. “Kamu tidak harus memaafkanku sekarang. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku tidak akan pernah berhenti mencintaimu, apa pun yang terjadi.”

Nadia menatapnya, air mata mengalir di pipinya. “Dan aku benci bahwa aku masih mencintaimu.”

Kata-kata itu seperti belati di hati mereka berdua. Mereka duduk di sana, di bangku taman yang dingin, dengan semua emosi yang membanjiri mereka.

“Aku tidak tahu ke mana kita akan pergi dari sini,” kata Nadia dengan suara pelan. “Tapi aku tahu satu hal: aku butuh waktu. Aku butuh waktu untuk menemukan diriku lagi, sebelum aku bisa berpikir tentang kita.”

Arga mengangguk pelan. “Aku akan menunggu, Nadia. Tidak peduli berapa lama. Aku akan menunggu.”

Malam itu, mereka berpisah. Bukan sebagai musuh, tetapi juga bukan sebagai kekasih. Ada jarak di antara mereka yang tidak bisa dihilangkan begitu saja.

Di perjalanan pulang, Nadia menatap langit malam yang gelap, tanpa bintang. Hatinya terasa berat, tetapi ada secercah harapan kecil di sana. Ia tahu bahwa perjalanan ini belum berakhir, tetapi untuk saat ini, ia membutuhkan waktu untuk menyembuhkan dirinya sendiri.

Dan Arga? Ia hanya bisa berharap, meskipun ia tahu bahwa tidak ada jaminan bahwa mereka akan bersama lagi. Tapi ia siap menerima apa pun akhirnya, bahkan jika itu adalah akhir yang pilu. Karena bagi Arga, mencintai Nadia berarti membiarkannya memilih jalannya sendiri.*

———the and———

Source: SYAHIBAL
Tags: cinta dan dendamkisah romansa tragiskonflik hati dan keluargapengkhianatan dan penebusanperjuangan memaafkan
Previous Post

SAAT LUKA MENJADI CINTA

Next Post

KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

Related Posts

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

May 17, 2025
KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

May 16, 2025
KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

May 15, 2025
SAAT LUKA MENJADI CINTA

SAAT LUKA MENJADI CINTA

May 13, 2025
JANJI YANG MANIS DI BALIK PENGKHIANATAN

JANJI YANG MANIS DI BALIK PENGKHIANATAN

May 12, 2025
CINTA YG TAK TERBALAS

CINTA YG TAK TERBALAS

May 11, 2025
Next Post
KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

Top Stories

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

May 17, 2025
KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

May 16, 2025
KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

May 15, 2025

Tentang Kisah Cinta

Kami menyajikan kumpulan novel dan cerpen cinta yang menggambarkan berbagai sisi cinta, dari yang manis hingga yang pahit, dari yang bahagia hingga yang menyayat hati

Connect on Social

© 2024 Kisahcinta.id

No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta

© 2024 Kisahcinta.id