Daftar Isi
Bab 1: Pertemuan yang Tak Terlupakan
Hari itu, cuaca di kampus terasa sedikit berbeda. Langit biru cerah dengan awan tipis yang berarak perlahan. Suasana di sekitar kampus yang biasanya sibuk dan ramai, terasa lebih tenang. Aria, seorang mahasiswa baru di Fakultas Sastra, berjalan pelan menyusuri trotoar yang dipenuhi mahasiswa lainnya. Ia memandang jam tangannya yang menunjukkan pukul 10:15 pagi. Masih ada waktu beberapa menit sebelum kelas pertama dimulai. Meskipun hari itu hari yang cerah, hati Aria terasa gelisah. Sebagai mahasiswa baru yang pendiam dan tidak begitu mudah bergaul, ia merasa sedikit terasing di antara keramaian kampus yang baru ia kenal.
Ia berhenti sejenak di depan kafe kampus, mencari-cari tempat duduk yang kosong. Matanya tertuju pada sekelompok mahasiswa yang tengah duduk dan tertawa bersama, membahas hal-hal yang tampaknya sangat menyenangkan. Aria merasa seolah-olah dia tidak termasuk dalam dunia itu, dan ia segera beralih ke meja lain yang lebih sepi. Ia duduk di sudut dekat jendela, memandangi dunia di luar dengan kosong.
Tiba-tiba, seseorang duduk di hadapannya, mengalihkan pandangannya. Aria mengangkat wajahnya dan terkejut melihat seorang gadis dengan senyum lebar yang langsung menghadapnya. Gadis itu mengenakan jaket denim biru muda dan celana panjang hitam. Rambutnya panjang, tergerai dengan bebas, dan wajahnya dipenuhi dengan ekspresi ceria. Aria yang biasanya lebih memilih menyendiri merasa sedikit terkejut dengan kehadiran gadis itu.
“Hai, kamu Aria, kan?” tanya gadis itu dengan nada suara yang ceria, seolah sudah lama mengenalnya.
Aria hanya terdiam, bingung. “Iya,” jawabnya singkat, tidak tahu harus berkata apa lagi.
“Aku Diva,” lanjut gadis itu dengan antusias. “Kamu baru di sini, kan? Aku lihat kamu duduk sendirian, jadi aku pikir mungkin kita bisa ngobrol sedikit. Kamu nggak apa-apa, kan?”
Aria merasa sedikit canggung. Ia bukan tipe orang yang mudah bergaul, apalagi dengan orang yang baru dikenalnya. Namun, ada sesuatu dalam sikap Diva yang membuat Aria merasa tidak keberatan untuk berbicara lebih banyak. Diva duduk dengan santai di kursi depan Aria, seperti sudah sangat akrab dengannya.
“Eh, iya… Aku baru di sini. Baru mulai kuliah,” Aria akhirnya memulai percakapan dengan suara pelan, berusaha tidak terdengar gugup.
Diva tersenyum lebar. “Wah, seru dong! Aku udah lama di sini, jadi kalau kamu butuh bantuan apa-apa, jangan ragu untuk tanya, ya! Aku bisa bantu kok. Aku kenal banyak orang di sini, jadi bisa kenalin kamu juga,” ujarnya dengan semangat, seolah-olah itu adalah tugas penting baginya untuk membuat Aria merasa nyaman.
Aria merasa agak terkejut dengan perhatian yang diberikan Diva. Biasanya, ia lebih terbiasa duduk sendirian, tenggelam dalam dunia buku-bukunya, dan menghindari keramaian. Tapi Diva berbeda. Gadis itu tidak hanya ramah, tetapi juga penuh semangat dan punya kemampuan untuk menarik orang ke dalam dunianya.
Seiring berjalannya percakapan, Aria mulai merasa sedikit lebih rileks. Diva mulai bercerita tentang pengalaman kuliahnya, tentang mata kuliah yang sedang diambil, hingga kegiatan-kegiatan seru yang ada di kampus. Aria merasa sedikit terbuka, meskipun hatinya tetap merasa ada dinding yang belum bisa ia lepas begitu saja.
Di tengah pembicaraan mereka, Diva tiba-tiba menoleh ke arah meja lainnya dan tertawa kecil. “Eh, lihat deh, mereka itu teman-teman kuliahku. Tapi lebih sering duduk bareng di kafe sini,” kata Diva sambil menunjuk kelompok mahasiswa yang duduk tak jauh dari meja mereka.
Aria mengikuti arah pandangan Diva. Salah satu dari mereka, seorang pria dengan rambut hitam pendek, sedang berbicara dengan teman di sekitarnya. Aria merasa asing dengan dunia seperti itu—dunia yang penuh canda tawa dan interaksi tanpa beban. Itu bukan dunia yang ia kenal, dan meskipun ia ingin sekali bisa lebih terbuka, ia merasa terlalu canggung untuk bergabung.
Diva tampaknya menyadari kegugupan Aria. “Nggak usah khawatir. Kita kan baru kenal. Semua butuh waktu untuk beradaptasi,” ujarnya dengan lembut, mencoba menenangkan Aria yang tampak sedikit cemas. “Tapi kalau kamu butuh teman, aku ada kok. Gak apa-apa kalau kita nggak langsung jadi sahabat, yang penting kita mulai ngobrol dulu.”
Aria hanya mengangguk perlahan, merasa sedikit lega. Meskipun masih ada perasaan canggung, ada rasa hangat yang mulai muncul di dalam hatinya. Entah kenapa, ia merasa seperti Diva adalah seseorang yang bisa ia percayai, meskipun mereka baru saja bertemu.
Percakapan mereka berlanjut dengan lancar, dan tak terasa, waktu berjalan begitu cepat. Aria merasa senang bisa berbicara dengan Diva, meskipun ia tidak tahu pasti apa yang membuatnya merasa seperti ini. Diva dengan semangat menceritakan berbagai kegiatan di kampus yang dapat diikuti oleh mahasiswa baru, dan Aria merasa sedikit lebih terhubung dengan dunia kampus yang sebelumnya terasa sangat asing baginya.
Ketika akhirnya mereka berpisah, Diva tersenyum dan berkata, “Nanti kalau kamu butuh teman ngobrol, cari aku ya. Aku biasanya di sini kalau nggak ada kelas.” Aria hanya bisa mengangguk, masih terkejut dengan perhatian yang diberikan Diva kepadanya.
Setelah pertemuan itu, Aria merasa hatinya sedikit lebih ringan. Meskipun dia masih merasa asing di dunia kampus, dia tahu bahwa di luar sana, ada seseorang yang mungkin bisa membuat segalanya terasa lebih mudah. Diva, dengan senyum dan keceriaannya, telah meninggalkan kesan yang tak terhapuskan dalam hati Aria. Mungkin, kata-kata Diva tadi benar. Semua butuh waktu. Dan mungkin, inilah awal dari sesuatu yang lebih besar, meskipun Aria belum bisa mengungkapkan perasaannya saat itu juga.*
Bab 2: Teman atau Lebih?
Hari-hari berlalu dengan cepat setelah pertemuan pertama yang tak terlupakan itu. Aria merasa sedikit lebih nyaman di kampus. Diva, dengan segala keceriaannya, telah menjadi teman pertama yang membuat dunia baru ini terasa lebih mudah untuk dijalani. Setiap kali Aria merasa cemas atau kesepian, Diva akan muncul, entah di kafe kampus atau di sela-sela waktu istirahat, dan menawarkan kehangatan yang tak pernah diminta. Rasanya, seperti ada ikatan yang mulai terjalin antara mereka, meskipun Aria tidak tahu pasti apakah itu hanya sekadar pertemanan atau ada sesuatu yang lebih.
Hari ini, Aria duduk di bangku taman kampus, membaca buku tebal yang baru ia beli untuk tugas kuliahnya. Ia mencoba berkonsentrasi pada materi, namun pikirannya tak bisa berhenti melayang pada Diva. Bagaimana bisa seseorang yang baru ia kenal beberapa minggu lalu bisa begitu mudah menjadi bagian dari hidupnya? Aria menyandarkan punggungnya ke kursi, menatap awan yang perlahan bergerak. Apakah perasaannya hanya kebingungan biasa, atau ada sesuatu yang lebih dalam yang mulai tumbuh?
Seperti biasa, Diva muncul dengan senyum lebar, memecah kekosongan pikirannya. “Hei, Aria! Lagi sibuk ya?” tanyanya sambil duduk di sebelah Aria, meletakkan tas ranselnya di lantai. Aria tersenyum tipis, merasa sedikit lega mendengar suara Diva.
“Aku cuma baca buku,” jawab Aria, sedikit kikuk. Ia tidak tahu bagaimana mengungkapkan apa yang ada dalam pikirannya. “Kamu sendiri, ada kelas?”
Diva mengangguk sambil menyandarkan tubuhnya ke kursi. “Iya, tapi cuma sebentar. Aku bosen banget deh kalau nggak ada temen buat ngobrol.” Diva tertawa ringan, lalu menatap Aria dengan penuh perhatian. “Tapi kamu pasti nggak bosen, kan? Soalnya aku lihat kamu kalau lagi di kelas fokus banget.”
Aria mengangguk perlahan, merasa sedikit terhanyut dalam percakapan yang mengalir begitu natural. “Iya, aku suka banget baca buku. Itu salah satu cara aku supaya nggak merasa canggung,” jawab Aria, mencoba untuk menjelaskan lebih banyak, meskipun ia merasa agak terbuka, sesuatu yang jarang ia lakukan.
“Serius, aku lihat kamu tuh kayak orang yang punya dunia sendiri. Tapi… kadang aku ngerasa kamu juga pengen ada yang ngajak ngobrol, kan?” Diva tersenyum, seolah-olah sudah mengetahui apa yang ada dalam benak Aria. “Aku ngerti kok, rasanya nggak enak jadi orang yang baru di sini. Tapi, kamu tahu, aku senang banget kalau kita bisa jadi teman.”
Aria menatap Diva, merasa ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar kata-kata itu. Sesuatu yang tak bisa ia jelaskan dengan mudah. “Teman,” pikirnya dalam hati, “apakah itu hanya kata yang biasa digunakan untuk menggambarkan hubungan kita?”
Hari-hari mereka berjalan lancar, dan meskipun Aria merasa semakin dekat dengan Diva, ia tidak bisa mengabaikan perasaan aneh yang mulai muncul dalam hatinya. Perasaan itu bukan sekadar pertemanan, namun sesuatu yang lebih sulit untuk diungkapkan. Setiap kali Diva tersenyum padanya, Aria merasa jantungnya berdebar lebih cepat. Setiap kali Diva bercerita tentang hal-hal lucu di kampus, Aria merasa hangat menyelimuti dadanya. Namun, apakah itu hanya perasaan biasa? Atau ada sesuatu yang lebih besar?
Pada suatu sore, mereka duduk di bangku yang sama di taman kampus. Angin sore berhembus pelan, membuat dedaunan bergoyang. Diva sedang bercerita tentang kegiatan organisasi yang diikutinya, sementara Aria hanya mendengarkan dengan seksama, tetapi pikirannya melayang ke arah yang berbeda.
“Aku suka deh kalau bisa ngobrol sama kamu, Aria,” kata Diva dengan senyum lembut. “Kamu tuh orang yang enak diajak ngobrol, nggak pernah bikin suasana jadi canggung.”
Aria menunduk, merasa sedikit gugup. “Terima kasih,” jawabnya pelan, matanya menghindar dari tatapan Diva.
Tiba-tiba, Diva menyentuh lengan Aria dengan lembut, membuat Aria terkejut dan melihatnya dengan tatapan bingung. “Kamu kok nggak nyadar sih? Aku merasa kita bisa jadi teman yang lebih dekat lagi, lho,” kata Diva, suaranya tenang, namun ada sesuatu yang berbeda dalam cara dia berbicara.
Aria merasa jantungnya berdebar hebat. “Teman yang lebih dekat?” tanyanya, berusaha mengatur napas. Ia mencoba berpikir jernih, tetapi kata-kata Diva seolah membingungkan dirinya. “Maksud kamu apa?”
Diva tersenyum, tampak lebih serius dari biasanya. “Aku tahu kita baru kenal, Aria, tapi kadang aku merasa seperti ada sesuatu yang lebih dari sekadar pertemanan ini. Kamu juga merasa begitu, kan?” Diva menatapnya dengan tatapan yang penuh arti.
Aria terdiam. Apa yang dimaksud Diva? Apakah ini perasaan yang sama yang mulai tumbuh dalam hatinya? Rasa hangat yang muncul setiap kali mereka bersama? Mungkin ini bukan sekadar pertemanan, mungkin ada perasaan yang lebih dari itu, tapi Aria tidak tahu bagaimana harus menanggapinya.
“Aku nggak tahu, Diva,” jawab Aria, matanya memandang ke arah lain. “Aku belum yakin.”
Diva hanya tersenyum lembut, seolah mengerti kebingungannya. “Gak apa-apa,” katanya dengan suara penuh pengertian. “Aku cuma ingin kamu tahu bahwa apapun itu, kita bisa tetap jadi teman. Aku cuma ingin kamu nyaman di sini.”
Aria terdiam, merasa sedikit terharu. Diva benar, ia memang merasa nyaman di dekat Diva, meskipun hati Aria masih belum bisa sepenuhnya menerima perasaan yang rumit ini. Ia tidak tahu apakah ini perasaan cinta pertama, atau hanya sekadar perasaan yang muncul karena kedekatan yang terjalin secara alami.
Namun satu hal yang pasti, hubungan mereka kini berada pada titik yang belum bisa Aria definisikan. Teman atau lebih dari itu? Aria tidak tahu jawabannya, tapi satu yang jelas—perasaan ini semakin sulit untuk disangkal.*
Bab 3: Cinta yang Diam-diam
Waktu terus berjalan, dan perasaan Aria terhadap Diva semakin dalam. Setiap pertemuan dengan Diva, setiap senyum yang diberikan, membuatnya merasa lebih terhubung, lebih memahami bahwa ada sesuatu yang lebih dari sekadar persahabatan di antara mereka. Namun, Aria memilih untuk diam, menahan perasaan itu dalam hati. Ia tahu, perasaan seperti ini bisa rumit dan membingungkan, apalagi ketika ia tidak yakin apakah Diva merasakannya juga.
Aria merasa seolah-olah ada sesuatu yang tak terucapkan antara mereka, seperti sebuah rahasia yang bersemayam dalam setiap percakapan dan tatapan. Meski Diva selalu bersikap terbuka, Aria tidak ingin mengganggu kenyamanan yang telah terjalin. Ia takut jika ia mengungkapkan perasaannya, itu justru akan merusak hubungan mereka yang sudah begitu dekat. Cinta pertama selalu datang dengan begitu banyak ketakutan dan keraguan, dan Aria tidak merasa siap untuk menghadapi kemungkinan itu.
Hari-hari berlalu, dan setiap kali mereka bertemu, Aria merasa hatinya semakin berat. Ia menikmati kebersamaan mereka, namun hatinya juga penuh dengan kebingungannya. Diva sepertinya selalu hadir di saat yang tepat, dengan segala kelucuan dan keceriaannya, tetapi Aria mulai merasa ada jarak di antara mereka. Mungkin hanya dirinya yang merasa begitu, atau mungkin Diva memang tidak pernah melihatnya lebih dari seorang teman. Aria sering kali membayangkan bagaimana rasanya jika Diva tahu tentang perasaannya—tentang cinta yang diam-diam tumbuh dalam hati Aria. Ia takut jika Diva tidak akan merasakan hal yang sama.
Suatu sore, ketika matahari mulai tenggelam dan langit berubah menjadi warna oranye keemasan, Aria sedang duduk di bangku taman kampus, menikmati udara sore yang sejuk. Diva datang seperti biasa, membawa secangkir kopi hangat dari kedai dekat kampus. Diva duduk di sebelah Aria, tanpa banyak kata. Mereka sering menghabiskan waktu bersama tanpa perlu berbicara banyak, dan itulah yang Aria sukai. Momen-momen seperti ini memberikan rasa nyaman yang sulit diungkapkan.
“Hei,” Diva akhirnya memecah keheningan, suaranya lembut dan ceria seperti biasa. “Kamu lagi mikirin apa?”
Aria menoleh, sedikit terkejut mendengar suara Diva. “Oh, nggak apa-apa. Cuma pikirin tugas kuliah aja,” jawab Aria sambil tersenyum tipis. Ia berusaha terlihat santai, meskipun hatinya sedang berdebar-debar. Sejak pertemuan mereka sebelumnya, Aria semakin merasa kesulitan untuk menyembunyikan perasaannya.
Diva mengangguk, lalu menyeruput kopi hangatnya. “Aku ngerti kok, tugas kuliah pasti numpuk banget ya.” Diva menatap Aria dengan tatapan yang penuh perhatian. “Tapi kamu jangan terlalu stres ya. Kita bisa cari waktu buat santai juga.”
Aria tersenyum kecil, namun dalam hati ia merasakan kehangatan yang aneh. Diva selalu tahu cara membuatnya merasa lebih baik, bahkan dengan kata-kata yang sederhana. Rasanya seperti ada sesuatu yang sangat kuat, namun juga sangat rapuh di antara mereka. Suatu hubungan yang tak terucapkan, sebuah koneksi yang mungkin lebih dalam daripada sekadar pertemanan biasa.
Hari-hari setelah itu, perasaan Aria semakin sulit untuk dipendam. Ia mencoba mencari alasan untuk tetap menjaga jarak, namun pada saat yang sama, ia merasa terikat dengan Diva. Setiap kali mereka bertemu, entah di ruang kelas, di taman kampus, atau bahkan hanya lewat pesan singkat, perasaan itu semakin menguat. Aria mulai menyadari bahwa ia tidak bisa terus berpura-pura tidak merasa apa-apa. Cinta pertama memang datang diam-diam, tanpa peringatan, dan tidak bisa dihentikan.
Suatu malam, setelah mereka menghabiskan waktu bersama di kafe kampus, Diva memutuskan untuk berjalan pulang bersama Aria. Mereka berdua berjalan perlahan, menikmati malam yang tenang. Langit sudah gelap, dan lampu jalan kampus memberikan cahaya lembut di sekitar mereka. Suasana itu terasa berbeda, lebih intim, meskipun mereka hanya berjalan berdua.
“Aria, aku mau tanya sesuatu,” kata Diva dengan suara yang sedikit lebih serius dari biasanya. Aria menoleh, merasa cemas. “Ada yang salah?” tanya Aria, mencoba mencari tahu apa yang ada dalam pikiran Diva.
Diva tersenyum, namun ada sesuatu dalam senyumnya yang membuat Aria merasa sedikit cemas. “Nggak ada kok,” jawab Diva cepat. “Aku cuma pengen tahu, apa kamu ngerasa kita udah cukup dekat?” Diva bertanya dengan sedikit keraguan dalam suaranya.
Aria terdiam, hatinya berdetak lebih cepat. Apakah Diva merasakan hal yang sama? Apakah pertanyaannya ini mengarah pada sesuatu yang lebih dari sekadar persahabatan? Namun, Aria tetap diam, takut untuk mengungkapkan perasaannya. Ia hanya mengangguk pelan, berusaha menyembunyikan perasaan yang sedang membuncah di dalam dadanya. “Iya, kita dekat kok,” jawabnya dengan suara yang sedikit gemetar.
Diva terlihat berpikir sejenak, lalu tiba-tiba berhenti berjalan dan menatap Aria. “Aku senang kita dekat,” katanya pelan, namun ada keraguan yang jelas di matanya. “Tapi kadang aku merasa seperti ada yang nggak bisa aku jelaskan. Aku tahu kita teman, tapi rasanya kayak ada yang lebih, kamu ngerti kan maksud aku?”
Aria tertegun, merasa seolah-olah dunia berhenti sejenak. Diva, teman yang selalu ada untuknya, ternyata juga merasakan hal yang sama. Ada sesuatu yang lebih, namun tidak ada kata yang bisa mengungkapkan semuanya. Aria merasa bingung, takut jika ia salah menafsirkan perasaan Diva. “Maksud kamu apa, Diva?” Aria bertanya, suaranya hampir seperti bisikan.
Diva hanya tersenyum, lalu melanjutkan langkahnya. “Aku nggak tahu. Mungkin cuma perasaan aja,” katanya dengan nada ringan, namun ada sedikit kegelisahan di dalamnya. “Lagian, kita kan cuma teman kan, Aria?”
Aria merasa kebingungan yang mendalam. Apakah ini hanya sebuah perasaan sementara? Ataukah mereka benar-benar memiliki sesuatu yang lebih, yang belum bisa mereka ungkapkan? Cinta yang diam-diam ini semakin membingungkan, namun satu hal yang pasti—Aria tidak bisa lagi menyembunyikan perasaannya. Ia merasa perasaan itu begitu kuat, begitu nyata, namun juga begitu rapuh, seperti sesuatu yang bisa pecah kapan saja jika mereka tidak hati-hati.
Dengan langkah yang berat, mereka terus berjalan di bawah cahaya lampu jalan kampus, tanpa kata-kata lagi. Tetapi bagi Aria, hatinya telah dipenuhi dengan kebingungannya. Cinta pertama, ternyata, bukanlah sesuatu yang mudah untuk dimengerti.*
Bab 4: Pengakuan yang Menyakitkan
Hari-hari setelah percakapan itu terasa lebih berat bagi Aria. Meskipun Diva tidak mengungkapkan apa pun lebih jauh tentang perasaannya, ada sesuatu yang terus menghantui pikiran Aria. Setiap kali mereka bertemu, ada ketegangan yang tidak bisa diabaikan, seolah-olah mereka sedang berusaha menghindari kenyataan yang tak terucapkan. Perasaan cinta pertama yang semula menyenangkan kini terasa semakin rumit. Aria merasa seperti sedang terperangkap dalam ketidakpastian, antara harapan dan ketakutan.
Sementara itu, Diva sepertinya tidak menunjukkan perubahan sikap yang jelas. Mereka tetap bersahabat, berbicara tentang banyak hal, dari tugas kuliah hingga kehidupan sehari-hari, namun ada jarak yang tak terjangkau antara mereka. Aria merasa perasaan itu mulai menggerogoti dirinya. Setiap kali ia melihat Diva tertawa, berbicara dengan orang lain, atau bahkan hanya menyebutkan nama orang lain, hatinya terasa terkoyak. Ada perasaan cemburu yang ia coba sembunyikan, namun sulit untuk diatasi.
Pada suatu sore, ketika cuaca agak mendung dan angin berhembus cukup kencang, Aria merasa hatinya lebih gelisah dari biasanya. Diva menghubunginya lewat pesan singkat, mengajak untuk bertemu di kafe kampus, seperti yang sering mereka lakukan. Aria segera menyetujuinya, meskipun ada perasaan tidak menentu yang menyelimuti dirinya. Ketika ia berjalan menuju kafe, langkahnya terasa lebih berat dari biasanya.
Sesampainya di sana, Aria langsung melihat Diva sudah duduk di meja favorit mereka, di sudut yang agak tersembunyi dari keramaian. Diva memandang ke arah Aria dengan senyum yang biasa, namun ada sesuatu yang berbeda di matanya. Matanya tampak lebih serius, seolah-olah ada sesuatu yang ingin disampaikan. Aria mendekat dan duduk di hadapannya.
“Aria,” Diva memulai percakapan dengan nada yang sedikit lebih serius. “Aku butuh bicara dengan kamu. Ada hal yang harus aku katakan.” Aria merasa perasaan cemas mulai merayapi dirinya. Ada sesuatu yang berbeda dengan cara Diva berbicara hari ini. Diva biasanya ceria dan santai, tapi kali ini terdengar penuh beban.
Aria mencoba untuk tetap tenang. “Ada apa, Diva? Kamu kelihatan serius banget.” Aria berusaha mengalihkan ketegangan yang ada, meskipun hatinya mulai berdebar.
Diva menarik napas panjang, seolah-olah mencari kata-kata yang tepat. “Aku tahu selama ini kita sudah dekat. Tapi ada hal yang nggak bisa aku tahan lagi. Ini tentang perasaan aku terhadap kamu,” Diva mengungkapkan, matanya tidak bisa lepas dari tatapan Aria.
Aria terdiam. Jantungnya berdegup kencang, perasaan campur aduk antara takut, cemas, dan harap-harap cemas. Diva… perasaan apa? Bukankah selama ini mereka sudah berbicara tentang banyak hal tanpa mengungkit apa yang ada di hati? Aria merasa sesuatu yang berat menyelimuti dirinya.
“Apa maksudmu, Diva?” Aria bertanya dengan suara yang gemetar. Ia berusaha menjaga dirinya tetap tenang, meskipun dalam hatinya ada ketegangan yang luar biasa. Diva menunduk sejenak, seolah-olah mencoba mencari keberanian untuk melanjutkan kalimatnya.
“Aria,” Diva melanjutkan dengan suara pelan, “Aku… aku punya perasaan lebih dari sekadar teman terhadap kamu. Aku sudah mencoba menahan semuanya, tetapi semakin aku berusaha untuk menepisnya, semakin aku merasa semakin jatuh hati padamu. Aku tahu ini sulit, aku tahu kita sudah terlalu lama menjadi teman, tapi aku nggak bisa terus membohongi diri sendiri. Aku… aku suka kamu, Aria.”
Perasaan Aria langsung campur aduk. Mendengar pengakuan Diva begitu tiba-tiba membuatnya terperangah. Di satu sisi, ada rasa lega yang luar biasa. Diva, ternyata, merasakan hal yang sama. Namun, di sisi lain, ada juga rasa sakit yang tiba-tiba muncul, menyayat hatinya. Aria tidak bisa menghindari kenyataan bahwa perasaan itu datang terlalu terlambat, dan mungkin sudah terlalu rumit untuk diungkapkan sekarang.
Aria memejamkan mata sejenak, berusaha mencerna kata-kata yang baru saja ia dengar. Hatinya terasa teriris. Selama ini, ia telah memendam perasaan yang sama, namun ia tak pernah berani mengungkapkannya. Kini, Diva mengungkapkan perasaannya dengan cara yang begitu jujur, namun itu justru membuat Aria merasa seolah-olah segala sesuatu sudah terlanjur terlambat.
“Kenapa sekarang, Diva?” tanya Aria dengan suara yang berat. “Kenapa baru sekarang kamu bilang kalau kamu punya perasaan itu?” Aria tidak bisa menyembunyikan kekecewaannya. Kenapa semuanya jadi begitu rumit? Kenapa perasaan ini muncul ketika sudah terlambat? Apa yang membuat Diva baru mengungkapkan semuanya sekarang, setelah sekian lama mereka bersama?
Diva menghela napas panjang. “Aku nggak tahu, Aria. Aku takut… takut kalau kamu nggak merasa hal yang sama. Aku nggak ingin merusak persahabatan kita, dan aku nggak ingin kamu merasa terbebani dengan perasaanku.” Diva menggigit bibirnya, jelas ada keraguan yang masih menghantuinya. “Tapi aku nggak bisa lagi menahan semuanya. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku suka kamu.”
Aria merasakan hatinya berat sekali. Apa yang harus ia katakan? Cinta pertama selalu penuh dengan ketakutan dan kebingungannya, dan sekarang Aria merasa terjebak di antara perasaan cinta dan kenyataan yang menyakitkan. Ia juga menyukai Diva, tetapi ada hal-hal yang lebih rumit dalam hubungan mereka. Aria tidak ingin menghancurkan persahabatan mereka, tetapi ia juga tidak ingin menolak perasaan yang telah tumbuh begitu dalam.
“Aku… aku juga suka kamu, Diva,” kata Aria akhirnya, suaranya serak dan hampir tak terdengar. “Tapi ini… kita sudah terlalu lama jadi teman. Rasanya kalau kita mengubah semuanya, kita bisa kehilangan satu sama lain.” Aria merasakan sakit di dadanya saat mengatakannya. Cinta pertama memang selalu datang dengan dilema yang menyakitkan.
Diva terdiam, kemudian perlahan menggenggam tangan Aria. “Aku ngerti, Aria. Aku nggak ingin kita kehilangan satu sama lain juga. Tapi kita nggak bisa terus hidup dengan perasaan yang nggak pernah diungkapkan, kan?” Diva memandang Aria dengan tatapan penuh harap. “Aku cuma ingin tahu, apakah kamu siap untuk mencoba, atau apakah kita harus tetap seperti ini?”
Aria merasakan perasaan yang campur aduk. Ia ingin mencoba, tetapi rasa takut dan cemas begitu besar. Pada akhirnya, ia tahu bahwa pengakuan itu adalah titik balik yang tidak bisa dihindari, dan mereka harus memilih untuk melangkah maju bersama atau tetap terjebak dalam ketidakpastian yang menyakitkan. Namun, satu hal yang pasti—perasaan itu telah terungkap, dan kini mereka harus menghadapi kenyataan yang tidak bisa lagi dihindari.*
Bab 5: Jarak yang Menjauhkan
Hari-hari setelah pengakuan itu berubah menjadi sesuatu yang tak terduga bagi Aria. Ia dan Diva tetap bertemu, berbicara, dan menghabiskan waktu bersama seperti biasa, tetapi ada sesuatu yang berbeda. Seolah-olah ada dinding tak kasatmata yang mulai tumbuh di antara mereka. Kata-kata yang dulu mengalir begitu mudah kini terasa canggung, dan setiap tatapan yang bertemu selalu diiringi dengan perasaan tak menentu.
Aria tahu bahwa perasaan mereka satu sama lain nyata, tetapi ketakutan akan kehilangan persahabatan mereka tetap menghantui. Cinta pertama seharusnya indah, tetapi mengapa rasanya kini begitu menyakitkan?
Di kampus, Aria dan Diva masih berjalan beriringan, namun tidak seperti dulu. Jika sebelumnya mereka selalu berbicara tanpa henti tentang apa pun—mulai dari tugas, film, makanan, hingga impian mereka—kini keheningan lebih sering menyelimuti. Sesekali Aria melirik ke arah Diva, berharap ada tanda bahwa semuanya masih baik-baik saja, tetapi yang ia lihat hanyalah senyum yang terasa dipaksakan.
Mereka berdua sama-sama takut mengucapkan sesuatu yang bisa semakin merenggangkan hubungan mereka.
Suatu sore, mereka duduk di taman kampus, tempat biasa mereka menghabiskan waktu sepulang kuliah. Angin sepoi-sepoi bertiup lembut, mengusap wajah mereka yang tampak tenggelam dalam pikirannya masing-masing.
“Aku merasa kita mulai berubah,” ujar Diva pelan, akhirnya memecah keheningan.
Aria menoleh, menatap gadis itu dengan hati-hati. “Berubah bagaimana?”
Diva menghela napas panjang, matanya menerawang ke kejauhan. “Sejak aku bilang perasaanku ke kamu… semuanya jadi nggak sama lagi.”
Aria menggigit bibirnya. Ia tahu bahwa ini akan terjadi, tetapi mendengar Diva mengatakannya langsung membuat dadanya terasa sesak.
“Aku juga ngerasain hal yang sama,” kata Aria akhirnya. “Aku nggak pernah mau kehilangan kamu, Diva. Tapi setelah semuanya terungkap, aku takut kita nggak bisa balik seperti dulu lagi.”
Diva tersenyum tipis, tetapi ada kesedihan yang jelas di matanya. “Itu juga yang aku takutkan.”
Keheningan kembali menyelimuti mereka. Aria ingin mengatakan sesuatu yang bisa memperbaiki semuanya, tetapi ia tidak tahu harus mulai dari mana. Ia ingin Diva tahu bahwa ia juga menyayanginya, tetapi ia tidak yakin apakah mereka bisa melewati batas antara persahabatan dan cinta tanpa kehilangan satu sama lain.
Beberapa hari setelah percakapan itu, keadaan semakin memburuk. Aria mulai menyadari bahwa Diva perlahan-lahan mulai menjaga jarak. Diva tidak lagi menghubunginya sesering dulu. Jika biasanya Diva akan selalu mengirim pesan, entah itu sekadar menanyakan tugas atau hanya berbagi cerita tentang hal-hal kecil yang ia temui, kini ponsel Aria terasa lebih sepi dari biasanya.
Di kampus, Diva lebih banyak menghabiskan waktu dengan teman-teman lain. Ia tidak benar-benar menghindari Aria, tetapi jelas ada jarak yang mulai terbentuk. Aria mencoba untuk mengabaikan perasaan tidak nyaman yang tumbuh di hatinya, tetapi semakin ia berusaha, semakin ia merasa kehilangan sesuatu yang berharga.
Hingga suatu hari, ketika hujan turun deras, Aria melihat Diva berjalan bersama seorang laki-laki yang cukup ia kenal—Rian, salah satu teman sekelas mereka. Mereka terlihat berbicara dengan akrab, bahkan tertawa bersama di bawah payung yang sama.
Aria berdiri di depan perpustakaan, menatap mereka dari kejauhan dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Ia ingin percaya bahwa itu hanyalah kebetulan, bahwa Diva hanya berbicara dengan teman biasa, tetapi entah mengapa hatinya merasa lebih sakit dari yang ia duga.
Malamnya, Aria memberanikan diri untuk mengirim pesan pada Diva.
Aria: Kamu sibuk?
Diva butuh beberapa menit sebelum akhirnya membalas.
Diva: Enggak, kenapa?
Aria menghela napas sebelum mengetik pesan berikutnya.
Aria: Aku cuma merasa kita semakin jauh belakangan ini. Apa aku melakukan sesuatu yang salah?
Pesan itu dikirim, dan Aria menunggu. Beberapa menit berlalu tanpa jawaban. Kemudian, Diva akhirnya membalas.
Diva: Nggak ada yang salah, Aria. Aku cuma butuh waktu buat diri aku sendiri.
Jawaban itu tidak cukup untuk membuat Aria tenang. Ada begitu banyak hal yang ingin ia tanyakan, tetapi ia tidak ingin memaksa.
Aria: Waktu buat apa?
Kali ini, balasan dari Diva datang lebih cepat.
Diva: Buat memahami semuanya. Tentang perasaan aku, tentang kita… Aku takut kalau aku terlalu dekat sama kamu, aku bakal lebih sakit kalau suatu saat kita nggak bisa bersama. Jadi aku pikir… mungkin lebih baik kalau kita kasih jarak dulu.
Aria menatap layar ponselnya dengan perasaan hancur. Ia tahu bahwa jarak ini sudah terbentuk sejak lama, tetapi mendengar langsung dari Diva membuat segalanya terasa jauh lebih menyakitkan.
Beberapa waktu lalu, ia berharap pengakuan itu akan membawa mereka lebih dekat, tetapi kenyataannya justru sebaliknya. Kini mereka berdua saling menjauh, bukan karena benci, tetapi karena rasa takut.
Tak ada yang lebih menyakitkan daripada mencintai seseorang yang juga mencintai kita, tetapi harus berpisah karena keadaan.
Malam itu, Aria tidak bisa tidur. Ia menatap langit-langit kamar, mencoba mencari jawaban atas semua kebingungan di hatinya. Apa yang seharusnya ia lakukan? Haruskah ia bertahan dan memperjuangkan perasaannya, atau haruskah ia merelakan Diva pergi?
Di luar jendela, hujan masih turun deras, sama seperti perasaan Aria yang kini semakin tak menentu.*
Bab 6: Ketika Cinta Berbicara
Minggu-minggu berlalu sejak percakapan terakhir antara Aria dan Diva. Jarak yang awalnya hanya berupa perasaan kini semakin nyata. Mereka tidak lagi berjalan bersama seperti dulu. Jika bertemu di kampus, hanya ada senyum tipis dan anggukan kecil, seolah mereka adalah dua orang asing yang dulu pernah begitu dekat.
Aria mencoba menerima keadaan itu, meski hatinya menolak. Setiap hari terasa hampa tanpa Diva di sisinya. Ia ingin percaya bahwa semua ini hanya sementara, bahwa mereka akan menemukan jalan kembali seperti dulu. Namun, semakin waktu berlalu, semakin Aria menyadari satu hal—ia tidak bisa terus diam.
Cinta yang ia pendam terlalu lama kini berteriak ingin didengar.
Di suatu sore yang mendung, Aria memutuskan untuk menemui Diva. Ia sudah lelah menunggu. Jika Diva ingin menjauh karena takut kehilangan, maka ia harus tahu bahwa tidak ada yang lebih menyakitkan daripada mencintai dalam diam tanpa pernah mengungkapkan apa yang sebenarnya ia rasakan.
Aria menemukan Diva di taman kampus, duduk sendirian di bangku favorit mereka. Mata Diva menerawang ke kejauhan, seolah sedang berpikir tentang sesuatu yang berat.
Aria menarik napas dalam sebelum melangkah mendekat.
“Diva,” panggilnya pelan.
Diva menoleh, sedikit terkejut melihat Aria berdiri di sana. “Aria?”
“Aku boleh duduk?”
Diva ragu sejenak sebelum akhirnya mengangguk. “Tentu.”
Aria duduk di sampingnya, merasakan keheningan yang menggantung di antara mereka. Ia ingin segera mengatakan semuanya, tetapi ia juga tahu bahwa kata-kata harus disusun dengan hati-hati agar tidak semakin memperumit keadaan.
“Aku kangen,” ujar Aria akhirnya, suaranya lirih namun penuh ketulusan.
Diva menegang. Ia menatap lurus ke depan, tidak langsung menjawab.
“Aku juga,” jawabnya setelah beberapa saat.
Aria tersenyum pahit. “Lalu kenapa kita seperti ini? Kenapa kita harus menjauh, padahal kita sama-sama tahu bahwa itu menyakitkan?”
Diva menghela napas panjang. “Karena aku takut, Aria. Aku takut kalau aku semakin dekat sama kamu, aku bakal semakin berharap. Dan aku nggak siap kalau pada akhirnya aku harus kehilangan kamu.”
Aria mengangguk pelan. “Aku mengerti. Tapi yang kamu nggak tahu, Div, aku juga takut. Aku takut kehilangan kamu lebih dari apa pun. Aku pikir kalau aku tetap diam, semuanya akan kembali seperti dulu. Tapi ternyata aku salah. Kita semakin jauh, dan aku nggak mau seperti ini lagi.”
Diva menoleh, matanya berkaca-kaca. “Lalu apa yang harus kita lakukan?”
Aria menatap mata gadis itu dalam-dalam. “Aku nggak mau kita terus begini. Aku nggak mau kita terus saling menjauh hanya karena ketakutan yang kita buat sendiri. Aku ingin kita jujur dengan perasaan kita.”
Diva menggigit bibirnya, berusaha menahan emosinya. “Dan kalau kita jujur, lalu apa? Apa yang akan berubah?”
Aria tersenyum, kali ini lebih hangat. “Mungkin kita nggak tahu apa yang akan terjadi. Mungkin kita akan bahagia, atau mungkin kita akan terluka. Tapi aku lebih memilih menghadapi itu bersama-sama daripada harus kehilangan kamu tanpa pernah mencoba.”
Air mata yang sejak tadi ditahan akhirnya jatuh di pipi Diva. Ia menunduk, menyembunyikan wajahnya.
“Aria… aku…” Diva terisak pelan, suaranya bergetar. “Aku juga nggak mau kehilangan kamu.”
Aria meraih tangan Diva, menggenggamnya erat. “Kalau begitu, mari kita hadapi ini bersama. Apa pun yang terjadi, aku janji kita akan baik-baik saja.”
Diva menatap genggaman tangan mereka, lalu menatap wajah Aria. Senyum kecil muncul di wajahnya, meski air mata masih menggenang di matanya.
“Terima kasih, Aria,” ucapnya pelan.
Aria menggeleng. “Aku yang seharusnya berterima kasih karena kamu akhirnya mau mendengar apa yang ingin aku katakan.”
Mereka berdua terdiam sejenak, membiarkan momen itu meresap ke dalam hati mereka. Hujan rintik-rintik mulai turun, membasahi dedaunan di sekitar mereka. Namun, tidak ada yang bergerak meninggalkan tempat itu.
Untuk pertama kalinya sejak sekian lama, mereka merasa lega. Tidak ada lagi ketakutan yang menghalangi mereka untuk merasakan apa yang seharusnya mereka rasakan.
Cinta akhirnya berbicara, dan kali ini, mereka siap untuk mendengarnya.*
Bab 7: Cinta yang Tertunda
Hari-hari berlalu dengan kehangatan baru yang tercipta antara Aria dan Diva. Setelah percakapan mereka di taman kampus, semuanya terasa lebih ringan, seolah beban yang selama ini menekan dada mereka akhirnya terangkat. Namun, kehidupan tidak pernah seindah dongeng. Kenyataan selalu memiliki cara untuk menguji cinta, dan kali ini ujian itu datang lebih cepat dari yang mereka bayangkan.
Kabar itu datang di suatu pagi yang tenang. Diva baru saja membuka ponselnya ketika sebuah pesan dari ibunya muncul di layar. Pesan singkat itu membuat tubuhnya terasa dingin.
“Diva, Ibu sudah bicara dengan Ayah. Kamu harus ikut pindah ke Singapura akhir bulan ini. Ayah ingin kamu kuliah di sana.”
Diva terdiam, mencoba mencerna kata-kata itu. Ia tahu keluarganya telah merencanakan kepindahan ini sejak lama, tetapi ia tidak pernah menyangka waktunya akan datang secepat ini. Baru beberapa minggu sejak ia dan Aria memutuskan untuk jujur dengan perasaan mereka, dan kini semuanya terasa seperti akan direnggut begitu saja.
Aria menyadari ada yang tidak beres ketika ia bertemu Diva di taman kampus sore itu. Wajah Diva yang biasanya ceria tampak suram, seolah ada badai yang berputar di dalam pikirannya.
“Diva, kamu kenapa?” tanya Aria dengan nada khawatir.
Diva mengangkat wajahnya, mencoba tersenyum, tetapi senyumnya tidak sampai ke matanya. “Aku harus bilang sesuatu ke kamu.”
Aria duduk di sampingnya, menunggu dengan sabar. Diva menarik napas panjang sebelum akhirnya berkata, “Aku harus pindah ke Singapura akhir bulan ini.”
Perasaan Aria seolah jatuh dari ketinggian. Ia tidak langsung merespons, mencoba memproses kata-kata itu. “Pindah? Untuk berapa lama?”
Diva menggeleng. “Aku nggak tahu, mungkin untuk waktu yang lama. Orang tua aku ingin aku kuliah di sana.”
Keheningan menyelimuti mereka. Angin sore yang sejuk terasa menusuk lebih tajam daripada biasanya.
“Apa ini sudah keputusan pasti?” tanya Aria akhirnya.
Diva mengangguk pelan. “Iya. Aku nggak bisa menolak. Ini sudah direncanakan keluarga aku sejak lama.”
Aria menatap wajah Diva, mencari harapan di sana, tetapi yang ia temukan hanyalah kesedihan. “Diva, aku tahu aku nggak punya hak untuk melarang kamu pergi, tapi… aku nggak tahu apa aku bisa menjalani ini tanpa kamu.”
Diva menunduk, air mata mulai mengalir di pipinya. “Aku juga nggak mau meninggalkan kamu, Aria. Tapi aku nggak punya pilihan.”
Aria ingin marah, ingin menyalahkan keadaan, tetapi ia tahu itu tidak akan mengubah apa pun. Yang bisa ia lakukan sekarang hanyalah menerima kenyataan pahit ini, meskipun itu berarti hatinya harus terluka.
Malam itu, Aria tidak bisa tidur. Ia memikirkan semua kenangan yang ia miliki bersama Diva, mulai dari pertemuan pertama mereka hingga momen-momen kecil yang membuatnya jatuh cinta. Ia tahu jarak akan menjadi tembok besar di antara mereka, tetapi ia juga tahu bahwa cintanya pada Diva terlalu kuat untuk menyerah begitu saja.
Di sisi lain, Diva juga tidak bisa tidur. Ia terus memikirkan Aria dan bagaimana hubungan mereka akan berubah setelah kepindahannya. Ia ingin percaya bahwa jarak bukan akhir dari segalanya, tetapi ia juga tahu bahwa tidak ada yang bisa menjamin cinta mereka akan bertahan.
Hari-hari berikutnya terasa seperti berlomba dengan waktu. Aria dan Diva mencoba menghabiskan sebanyak mungkin waktu bersama, meskipun bayangan perpisahan selalu menghantui mereka. Mereka tertawa, berbagi cerita, dan berusaha menikmati setiap detik yang tersisa, tetapi di balik senyuman mereka, ada kesedihan yang tidak bisa disembunyikan.
Pada malam terakhir sebelum Diva pergi, Aria mengajak Diva ke tempat favorit mereka di pinggir danau. Bulan bersinar terang, memantulkan cahayanya di permukaan air yang tenang.
“Diva,” kata Aria, suaranya penuh emosi. “Aku tahu ini bukan akhir yang kita inginkan, tapi aku mau kamu tahu satu hal. Aku akan tetap mencintai kamu, apa pun yang terjadi. Jarak nggak akan mengubah perasaan aku.”
Diva menatapnya dengan mata yang berkaca-kaca. “Aku juga, Aria. Aku nggak akan pernah lupa sama kamu. Kamu adalah bagian penting dari hidup aku.”
Mereka berdua terdiam, membiarkan keheningan berbicara lebih banyak daripada kata-kata. Aria menggenggam tangan Diva erat, seolah tidak ingin membiarkannya pergi.
“Aku janji, Diva,” bisik Aria. “Jika suatu saat nanti takdir membawa kita bertemu lagi, aku akan pastikan cinta ini tidak pernah usai.”
Diva tersenyum meskipun air matanya terus mengalir. “Dan aku akan menunggu saat itu, Aria. Aku akan menunggu.”
Ketika pagi datang, perpisahan itu akhirnya tiba. Diva berangkat dengan keluarga menuju bandara, sementara Aria hanya bisa berdiri di kejauhan, menatap punggung gadis itu yang perlahan menghilang.
Cinta mereka kini tertunda, tetapi tidak pernah benar-benar hilang. Seperti api kecil yang terus menyala di tengah angin kencang, cinta itu akan tetap ada, menunggu saatnya untuk kembali menyala lebih terang.*
Bab 8: Ujian Cinta
Hari-hari setelah kepergian Diva menjadi momen paling berat dalam hidup Aria. Semua terasa berbeda. Kehilangan Diva seakan membuat dunianya kehilangan warna. Ia sering memandangi ponselnya, menunggu pesan dari Diva, meskipun ia tahu jadwal Diva di Singapura sangat padat.
Awalnya, komunikasi mereka berjalan lancar. Diva selalu menyempatkan waktu untuk mengirim pesan atau menelepon Aria di malam hari, meskipun hanya untuk menanyakan kabar. Namun, seiring waktu, kesibukan mulai menjadi penghalang. Kuliah di luar negeri menuntut banyak waktu dan perhatian Diva. Begitu pula Aria, yang mulai disibukkan dengan tugas akhir kuliah dan pekerjaan paruh waktunya.
Perlahan, komunikasi yang dulu intens berubah menjadi jarang. Percakapan mereka semakin singkat, dan setiap kali Diva mengirim pesan, ada rasa canggung yang tak bisa dihindari. Bukan karena mereka tidak saling mencintai, tetapi karena jarak dan waktu telah menciptakan ruang kosong di antara mereka.
Aria sering duduk sendirian di taman kampus, tempat di mana ia dan Diva dulu menghabiskan waktu bersama. Ia mengenang tawa Diva, senyumnya, dan cara gadis itu selalu membuat hari-harinya lebih cerah. Namun sekarang, semua itu hanya tinggal kenangan.
Pada suatu malam, Aria memutuskan untuk menelepon Diva. Ia merindukan suara gadis itu, merindukan candaan kecil mereka, dan merindukan kehadirannya. Namun, telepon itu tidak diangkat. Aria mencoba lagi, tetapi hasilnya sama. Ia kemudian mengirim pesan.
“Diva, apa kamu baik-baik saja? Aku rindu kamu.”
Pesan itu hanya terbaca tanpa balasan. Aria mencoba berpikir positif. Mungkin Diva sedang sibuk atau kelelahan. Namun, perasaan tidak tenang mulai merayapi pikirannya.
Di sisi lain, Diva juga merasakan hal yang sama. Ia merindukan Aria, tetapi setiap kali ia mencoba menghubunginya, jadwalnya selalu penuh. Ia tidak ingin mengakui bahwa ia merasa bersalah karena tidak bisa memberi waktu lebih untuk Aria. Ia tahu Aria sedang berjuang untuk menjaga hubungan mereka, tetapi ia merasa tidak cukup kuat untuk melakukan hal yang sama.
Malam itu, Diva duduk sendirian di balkon apartemennya, memandangi kota Singapura yang gemerlap. Di tangannya, ia memegang foto dirinya bersama Aria, yang selalu ia bawa sejak ia pindah. Ia tahu ia mencintai Aria, tetapi ia juga tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa hubungan jarak jauh ini menjadi semakin sulit.
Pada suatu hari, ujian itu benar-benar datang. Diva menerima pesan dari seorang teman kampusnya, Daniel, yang mengajaknya pergi ke sebuah acara seni di pusat kota. Daniel adalah teman sekelas yang selalu baik padanya, dan ia tahu bahwa Daniel memiliki perasaan lebih dari sekadar teman. Namun, Diva selalu menjaga jarak, karena ia tahu hatinya sudah dimiliki oleh Aria.
Awalnya, Diva ragu untuk menerima ajakan itu. Namun, setelah melalui minggu-minggu yang melelahkan dan penuh tekanan, ia merasa ingin keluar sejenak dari rutinitasnya. Ia berpikir bahwa pergi bersama teman tidak akan menjadi masalah.
Di acara itu, Diva merasa lebih santai. Daniel adalah pendengar yang baik dan selalu tahu cara membuatnya tertawa. Namun, di tengah tawa itu, hati kecil Diva berbisik, mengingatkan tentang Aria. Ia merasa bersalah, tetapi ia juga tidak bisa menolak kenyamanan yang ia rasakan saat bersama Daniel.
Sementara itu, Aria mulai merasa ada yang berubah. Diva semakin sulit dihubungi, dan ketika mereka berbicara, Diva sering terdengar lelah atau tidak fokus. Aria tahu ada sesuatu yang mengganggu, tetapi ia tidak tahu bagaimana cara membicarakannya tanpa membuat Diva merasa tertekan.
Suatu malam, ketika akhirnya mereka memiliki waktu untuk berbicara melalui video call, Aria memutuskan untuk jujur. “Diva, aku merasa kita semakin jauh. Apa kamu juga merasakannya?”
Diva terdiam, menunduk, dan mencoba menghindari tatapan Aria di layar. “Aria, aku nggak tahu harus bilang apa. Aku merasa bersalah karena aku nggak bisa selalu ada untuk kamu. Tapi aku juga nggak bisa mengabaikan semua yang terjadi di sini.”
Aria menghela napas panjang. “Aku tahu ini sulit, Diva. Aku juga merasakan hal yang sama. Tapi aku nggak mau menyerah. Aku ingin kita tetap berjuang, meskipun semuanya terasa berat.”
Diva mengangguk pelan, tetapi ia tidak bisa menyembunyikan keraguan di matanya. Ia mencintai Aria, tetapi ia juga tahu bahwa hubungan ini menguji batas kesabarannya.
Hari-hari berikutnya, hubungan mereka tetap berjalan, tetapi ada jarak emosional yang tidak bisa diabaikan. Aria dan Diva sama-sama tahu bahwa cinta mereka sedang diuji, dan mereka harus memutuskan apakah mereka cukup kuat untuk melewati semua ini atau tidak.
Malam itu, sebelum tidur, Aria menuliskan sesuatu di buku catatannya: “Cinta sejati tidak pernah mudah, tetapi aku percaya bahwa cinta yang tulus akan selalu menemukan jalannya, meskipun itu berarti harus menunggu dan berjuang lebih keras.”*
Bab 9: Cinta yang Tak Pernah Usai
Malam itu, angin berhembus lembut, membawa aroma hujan yang baru saja reda. Aria duduk di balkon kamarnya, menatap langit yang dipenuhi bintang. Pikirannya melayang, mengenang perjalanan panjang yang ia lalui bersama Diva. Segala momen indah, tawa, dan bahkan kesedihan terasa seperti potongan-potongan puzzle yang membentuk kisah cinta mereka.
Sudah berbulan-bulan sejak percakapan terakhir mereka melalui video call, yang terasa lebih seperti perpisahan tanpa kata. Diva semakin tenggelam dalam dunianya di Singapura, sementara Aria berusaha menjalani hidupnya di tanah air. Meski komunikasi mereka hampir tidak ada, Aria tahu satu hal: cintanya pada Diva tidak pernah benar-benar hilang.
Di sisi lain, jauh di negeri seberang, Diva juga merasakan hal yang sama. Setiap malam, setelah segala kesibukan hariannya usai, ia selalu menyempatkan diri membuka kotak kecil yang berisi barang-barang kenangan bersama Aria. Ada foto mereka berdua, tiket bioskop dari kencan pertama mereka, dan sebuah surat kecil yang pernah Aria tulis di awal hubungan mereka. Membuka kotak itu seperti membuka lembaran lama dari sebuah buku yang tak pernah ia selesaikan.
Malam itu, Diva mengambil surat itu lagi, membacanya untuk kesekian kali.
“Diva, aku tahu kita baru saja memulai perjalanan ini, tapi aku percaya kita akan melewati segala rintangan bersama. Aku nggak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, tapi aku yakin pada satu hal: aku akan selalu mencintaimu.”
Air mata jatuh perlahan di pipi Diva. Kata-kata itu terus terngiang di kepalanya. Ia menyadari bahwa meskipun ia mencoba fokus pada kehidupannya sekarang, perasaannya pada Aria tidak pernah benar-benar berubah. Cinta itu masih ada, tersimpan rapi di sudut hatinya.
Suatu hari, tanpa diduga, Diva menerima email dari Aria. Pesan itu sederhana, tapi sarat makna.
“Diva, apa kabarmu? Aku nggak tahu apa kamu masih ingat aku, tapi aku ingin kamu tahu bahwa aku selalu mendoakan yang terbaik untukmu. Kalau kamu punya waktu, aku ingin kita bicara. Bukan untuk mengungkit masa lalu, tapi untuk memastikan bahwa kamu bahagia. Karena buatku, kebahagiaanmu adalah segalanya.”
Diva membaca email itu berkali-kali, mencoba memahami setiap kata yang ditulis Aria. Hatinya berdebar-debar. Ia ingin membalas, tetapi ia juga takut. Takut membuka luka lama, takut menghadapi kenyataan bahwa mungkin cinta mereka sudah tidak lagi sama seperti dulu.
Namun, malam itu, dengan perasaan campur aduk, Diva membalas pesan Aria.
“Aria, aku baik-baik saja. Aku harap kamu juga. Terima kasih sudah menghubungi aku. Jujur, aku sering memikirkan kamu, meskipun aku takut untuk mengakuinya. Kalau kamu mau, kita bisa bicara. Mungkin memang sudah waktunya kita menyelesaikan cerita ini, apa pun akhirnya.”
Keesokan harinya, mereka sepakat untuk melakukan video call. Saat layar menyala dan wajah Diva muncul di layar, Aria merasa jantungnya seperti berhenti berdetak. Diva masih sama seperti yang ia ingat—senyumnya, sorot matanya, semuanya terasa begitu akrab.
“Diva,” Aria membuka percakapan dengan suara lembut. “Aku nggak tahu harus mulai dari mana, tapi aku ingin kamu tahu bahwa aku nggak pernah berhenti mencintaimu.”
Diva menatap Aria, matanya berkaca-kaca. “Aria, aku juga masih mencintaimu. Tapi aku takut. Takut kalau kita mencoba lagi, lalu gagal. Aku nggak tahu apakah aku sanggup melalui semua ini lagi.”
Aria menghela napas panjang. “Aku juga nggak tahu, Diva. Tapi aku percaya, cinta kita layak untuk diperjuangkan. Aku tahu jarak dan waktu telah menguji kita, tapi aku nggak mau menyerah. Aku ingin mencoba lagi, kalau kamu juga mau.”
Diva terdiam sejenak, mencoba menenangkan hatinya yang bergejolak. Ia tahu bahwa kata-kata Aria tulus, tetapi ia juga tahu bahwa hubungan mereka tidak akan pernah mudah.
“Aku butuh waktu, Aria,” jawab Diva akhirnya. “Aku nggak mau mengambil keputusan yang aku sesali nanti. Tapi aku janji, aku akan memikirkannya dengan sungguh-sungguh.”
Percakapan itu berakhir dengan perasaan campur aduk. Namun, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Aria merasa ada harapan. Ia tahu perjalanan ini belum selesai, tetapi ia siap untuk menunggu, seberapa pun lamanya.
Hari-hari berikutnya diisi dengan percakapan singkat melalui pesan atau telepon. Meskipun tidak setiap hari, mereka mulai membangun kembali komunikasi yang sempat hilang. Sedikit demi sedikit, kehangatan yang pernah mereka miliki kembali terasa.
Pada suatu malam, ketika mereka berbicara melalui telepon, Diva berkata dengan suara yang penuh emosi, “Aria, aku nggak tahu bagaimana masa depan kita. Tapi satu hal yang aku tahu, aku nggak mau kehilangan kamu lagi.”
Aria tersenyum, meskipun ia tahu Diva tidak bisa melihatnya. “Aku juga, Diva. Cinta kita mungkin nggak sempurna, tapi aku percaya, selama kita saling berusaha, kita bisa melewati semuanya.”
Malam itu, mereka berdua menyadari bahwa meskipun cinta mereka telah melalui banyak ujian, perasaan itu tidak pernah benar-benar hilang. Seperti gelombang laut yang terus kembali ke pantai, cinta mereka selalu menemukan jalannya.
Rasa yang tak pernah usai. Itulah yang mereka miliki—sebuah cinta yang mungkin tertunda, tetapi tidak pernah berakhir.*
Bab 10: Awal Baru, Cinta yang Kuat
Langit pagi itu tampak cerah, seakan memberikan restu pada hari yang penuh harapan. Aria berdiri di depan bandara, menunggu kedatangan Diva. Kali ini berbeda dari sebelumnya. Tidak ada keraguan, tidak ada ketidakpastian—hanya tekad untuk memulai kembali.
Aria menggenggam sebuah buket bunga mawar putih, simbol kejujuran dan ketulusan. Matanya terus menatap pintu kedatangan internasional, berusaha menangkap sosok yang telah memenuhi pikirannya selama bertahun-tahun. Ketika akhirnya ia melihat Diva melangkah keluar, dengan senyum yang ia rindukan, dunia di sekitarnya terasa berhenti.
“Aria,” sapa Diva, suaranya lembut namun penuh rasa.
“Diva,” jawab Aria, menyerahkan buket bunga itu padanya. “Selamat datang kembali.”
Diva menerima bunga itu dengan senyuman yang membuat jantung Aria berdegup kencang. “Terima kasih. Aku nggak percaya akhirnya aku di sini.”
Mereka berdua berjalan keluar dari bandara, berbagi cerita ringan untuk menghilangkan rasa canggung. Namun, meski obrolan mereka terdengar santai, ada perasaan mendalam yang terus mengalir di antara mereka, perasaan yang tidak membutuhkan kata-kata untuk dimengerti.
Hari itu mereka memutuskan untuk makan siang di sebuah kafe kecil yang memiliki banyak kenangan bagi mereka. Dinding-dinding kafe itu masih dipenuhi foto-foto pengunjung, salah satunya adalah foto mereka berdua bertahun-tahun lalu.
Diva menatap foto itu dengan mata yang berbinar. “Kita kelihatan begitu muda di sini,” ucapnya sambil tertawa kecil.
Aria ikut tertawa. “Dan sekarang kita lebih tua, tapi mungkin sedikit lebih bijaksana.”
Diva mengangguk. “Aku rasa, pengalaman kita mengajarkan banyak hal. Dulu, aku terlalu takut mengambil risiko. Aku terlalu banyak memikirkan ‘bagaimana kalau gagal’ dan lupa menikmati momen yang ada.”
Aria menatap Diva dengan lembut. “Aku juga. Aku terlalu sibuk merencanakan masa depan sampai lupa menghargai apa yang ada di depan mata.”
Percakapan mereka semakin dalam, membahas kesalahan masa lalu, harapan yang sempat kandas, dan bagaimana perasaan mereka perlahan kembali tumbuh. Namun kali ini, mereka sama-sama berjanji untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama.
“Aku nggak mau kehilangan kamu lagi, Diva,” ucap Aria dengan suara yang penuh keyakinan.
Diva menatapnya dengan tatapan yang hangat. “Aku juga, Aria. Tapi kalau kita ingin ini berhasil, kita harus belajar untuk lebih jujur dan lebih terbuka. Nggak ada lagi rahasia atau keraguan.”
Aria mengangguk. “Setuju. Kita akan melakukannya bersama.”
Beberapa minggu setelah itu, hubungan mereka kembali terjalin dengan kuat. Meski memulai dari awal tidaklah mudah, mereka berdua berkomitmen untuk menghadapi segala tantangan bersama.
Aria mulai memperkenalkan Diva kembali kepada teman-temannya. Saat mereka pergi ke sebuah reuni kecil dengan teman-teman sekolah, banyak yang terkejut melihat mereka bersama lagi.
“Wah, pasangan legendaris kembali!” canda seorang teman.
Aria dan Diva hanya tertawa, menerima godaan itu dengan santai. Namun, di balik tawa mereka, ada kebahagiaan yang tulus karena akhirnya mereka bisa menunjukkan cinta mereka kepada dunia tanpa rasa takut atau ragu.
Namun, perjalanan ini bukan tanpa ujian. Suatu malam, ketika mereka sedang makan malam bersama di rumah Aria, sebuah pembicaraan serius muncul.
“Aria,” ujar Diva pelan, “aku ingin tahu bagaimana kamu melihat masa depan kita. Aku nggak mau kita menjalani ini tanpa arah.”
Aria terdiam sejenak, lalu menggenggam tangan Diva. “Aku sudah memikirkannya. Aku ingin kita menjalani ini satu langkah demi satu langkah. Tapi pada akhirnya, aku ingin kita bersama. Mungkin nggak sekarang, tapi suatu hari nanti, aku ingin kamu menjadi bagian dari hidupku sepenuhnya.”
Diva tersenyum mendengar jawaban itu. “Itu juga yang aku harapkan. Tapi kita harus realistis. Hubungan ini butuh usaha dari kita berdua, terutama karena kita pernah gagal sebelumnya.”
Aria mengangguk. “Aku tahu. Dan aku berjanji akan memberikan yang terbaik. Aku nggak akan lari dari masalah seperti dulu.”
Percakapan itu menjadi titik balik dalam hubungan mereka. Mereka menyadari bahwa cinta saja tidak cukup. Dibutuhkan komunikasi, kejujuran, dan kerja sama untuk menjaga hubungan tetap kuat.
Hari-hari berlalu, dan hubungan mereka semakin kokoh. Mereka tidak hanya berbagi momen indah, tetapi juga menghadapi tantangan bersama. Ketika Diva menghadapi masalah di pekerjaannya, Aria selalu ada untuk mendukungnya. Begitu pula ketika Aria menghadapi tekanan di kantornya, Diva menjadi pendengar yang setia.
Pada suatu malam, ketika mereka duduk di balkon rumah Aria, menatap bintang-bintang di langit, Diva memecah keheningan.
“Aria, aku ingin kamu tahu bahwa aku sangat bersyukur atas kesempatan kedua ini. Aku tahu ini nggak mudah, tapi aku percaya kita bisa melewati semuanya.”
Aria tersenyum, lalu meraih tangan Diva. “Aku juga merasa begitu. Aku tahu kita mungkin nggak sempurna, tapi kita bisa saling melengkapi. Aku percaya, selama kita bersama, nggak ada yang nggak bisa kita hadapi.”
Malam itu, di bawah cahaya bintang, mereka membuat janji untuk terus berjuang bersama. Mereka tahu bahwa perjalanan cinta mereka tidak akan selalu mulus, tetapi mereka siap menghadapi segala tantangan.
Cinta mereka mungkin telah melalui banyak ujian, tetapi pada akhirnya, cinta itu tetap bertahan. Kini, mereka memulai sebuah babak baru—babak di mana cinta mereka tidak lagi rapuh, tetapi kuat dan kokoh, seperti akar pohon yang menancap dalam ke bumi.
Rasa yang tak pernah usai kini menjadi awal baru yang lebih indah, penuh harapan, dan cinta yang tidak tergoyahkan.***
————–THE END————–