Kisah Cinta
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
Kisah Cinta
No Result
View All Result

rahasia diantara kita

FASA KEDJA by FASA KEDJA
April 15, 2025
in Cinta Terlarang
Reading Time: 16 mins read
rahasia diantara kita

 

Daftar Isi

  • Bab 1: Awal dari Sebuah Rahasia
  • Bab 2: Mencuri Waktu dalam Senyap
  • Bab 3: Batas yang Kian Samar
  • Bab 4: Ombak Rasa yang Tak Terbendung
  • Bab 5: Rahasia yang Mulai Tercium
  • Bab 6: Antara Hati dan Kewajiban
  • Bab 7: Luka yang Tak Terhindarkan
  • Bab 8: Retakan yang Semakin Dalam
  • Bab 9: Pilihan yang Menyakitkan
  • Bab 10: Akhir dari Sebuah Rahasia

Bab 1: Awal dari Sebuah Rahasia

Langit sore itu berwarna jingga keemasan, memantulkan sinarnya di atas gedung-gedung tinggi di pusat kota. Nadia berjalan pelan di trotoar, rok panjangnya melambai tertiup angin. Tangannya menggenggam erat undangan pertunangannya dengan Arman, pria yang telah dikenalnya selama bertahun-tahun dan yang, menurut semua orang, adalah pasangan yang sempurna untuknya.

Namun, ada sesuatu yang terasa janggal di hatinya.

Seharusnya ia bahagia. Seharusnya ia merasa beruntung memiliki Arman—pria baik yang selalu memperlakukannya dengan lembut, yang tidak pernah membiarkan satu hari pun berlalu tanpa bertanya bagaimana keadaannya.

Tapi mengapa perasaan itu tidak muncul?

Langkahnya berhenti di depan sebuah kafe kecil di sudut jalan. Tempat ini selalu memiliki daya tarik tersendiri baginya, bukan hanya karena kopi yang nikmat, tetapi juga karena seseorang yang selalu ada di dalamnya.

Nadia menatap ke dalam melalui jendela besar. Di sana, di salah satu meja dekat rak buku, duduk seorang pria dengan kemeja putih lengan tergulung. Ia sedang membaca, dengan tangan kiri menyangga dagunya. Seolah merasakan tatapan Nadia, pria itu menoleh.

Mata mereka bertemu.

Jantung Nadia berdegup lebih cepat.

Ia tahu ia tidak seharusnya ada di sini. Ia tahu seharusnya ia tidak merasakan hal ini.

Namun, ketika pria itu tersenyum tipis dan mengangkat tangannya, mengisyaratkan agar Nadia masuk, ia tidak bisa menolak.

Tangannya gemetar saat ia mendorong pintu kafe.

—

“Nadia,” suara Reza terdengar lembut saat ia duduk di hadapannya.

Nadia mencoba tersenyum, meskipun ia tahu ada kegelisahan di matanya. “Hai, Reza.”

Pria itu menatapnya dengan penuh perhatian. “Kamu baik-baik saja?”

Nadia tertawa kecil, mencoba menyembunyikan kegelisahannya. “Harusnya aku yang bertanya begitu. Aku yang tiba-tiba datang tanpa memberi tahu.”

Reza menutup bukunya dan menyandarkan tubuhnya di kursi. “Aku selalu senang kalau kamu datang. Tapi aku juga tahu sesuatu pasti sedang mengganggumu.”

Nadia menatap cangkir kopinya, mengaduknya perlahan meskipun ia tahu minuman itu sudah cukup tercampur.

“Aku… akan bertunangan,” katanya akhirnya.

Reza tidak langsung merespons. Matanya tetap menatap Nadia, mencari sesuatu di balik ekspresi tenangnya.

“Aku tahu,” katanya pelan. “Aku lihat undangannya di media sosial.”

Nadia menghela napas. “Tentu saja kamu sudah tahu.”

“Kamu bahagia?”

Pertanyaan itu membuatnya terdiam.

Ia ingin menjawab dengan yakin, ingin berkata bahwa tentu saja ia bahagia. Arman adalah pria yang sempurna. Semua orang menyukai mereka sebagai pasangan. Keluarganya pun sangat mendukung.

Namun, mengapa kata “bahagia” terasa begitu sulit untuk diucapkan?

Nadia mendongak, menatap mata Reza yang tajam namun penuh kelembutan.

“Kenapa kamu tanya seperti itu?” ia balik bertanya.

Reza tersenyum kecil. “Karena aku melihat sesuatu di matamu, Nad. Sesuatu yang berbeda dari seseorang yang seharusnya bahagia akan menikah.”

Nadia meremas jemarinya sendiri.

“Mungkin aku hanya… takut,” katanya jujur.

Reza mengangkat alis. “Takut?”

Nadia menatap ke luar jendela, ke arah lampu-lampu jalan yang mulai menyala. “Takut kalau aku tidak bisa menjadi istri yang baik. Takut kalau aku tidak bisa mencintai Arman sebagaimana ia mencintaiku.”

Suasana di antara mereka mendadak sunyi.

“Nadia…” suara Reza begitu lembut hingga hampir terdengar seperti bisikan. “Apa kamu benar-benar mencintai Arman?”

Pertanyaan itu menggantung di udara, membuat dada Nadia semakin sesak.

“Tentu saja,” jawabnya cepat, terlalu cepat.

Reza tersenyum tipis, seolah membaca kebohongan yang berusaha ia sembunyikan.

Mereka terdiam cukup lama, membiarkan suara musik jazz yang mengalun di kafe menjadi satu-satunya latar belakang.

Lalu, tanpa sadar, tangan mereka hampir bersentuhan di atas meja.

Nadia merasakan kehangatan dari jemari Reza yang hanya berjarak beberapa sentimeter dari miliknya.

Dan di saat itulah, ia menyadari sesuatu.

Bukan rasa takut yang menguasai hatinya.

Tapi sesuatu yang lebih dalam, lebih gelap.

Sesuatu yang seharusnya tidak ia rasakan.

—

Malam itu, saat ia berjalan pulang, pikirannya penuh dengan kebingungan.

Undangan pertunangannya masih ada di tangannya, tetapi kini terasa begitu asing.

Dan di dalam hatinya, sebuah rahasia baru mulai tumbuh.

Rahasia yang hanya ia dan Reza ketahui.

Rahasia yang tidak seharusnya ada.

Namun, semakin ia mencoba mengabaikannya, semakin kuat perasaan itu menghantuinya.*

Bab 2: Mencuri Waktu dalam Senyap

Nadia duduk di dekat jendela kafe, menatap ponselnya sambil menunggu sahabatnya, Rina. Matanya membaca ulang pesan terakhir yang ia terima dari nomor tak dikenal beberapa hari lalu.

*”Kamu baik-baik saja?”*

Ia tahu betul siapa pengirimnya. Reza. Pria yang seharusnya tidak menghubunginya. Pria yang seharusnya hanya menjadi kenalan biasa, bukan seseorang yang mulai mengisi pikirannya tanpa alasan yang jelas.

Nadia menggigit bibirnya. Ia tahu ini tidak benar. Ia sudah bertunangan dengan Arman, pria pilihan keluarganya. Arman baik, mapan, dan mencintainya dengan tulus. Tidak ada alasan bagi Nadia untuk meragukan hubungan mereka. Namun, sejak pertemuannya dengan Reza beberapa waktu lalu, ada sesuatu yang berubah dalam dirinya.

Kedai kopi itu mulai ramai. Nadia meraih ponselnya, mencoba fokus pada hal lain, tetapi kemudian matanya menangkap sosok yang duduk di sudut ruangan.

Reza.

Jantungnya berdegup lebih kencang. Apa yang dia lakukan di sini? Apakah kebetulan? Atau… apakah ia sengaja datang?

Seolah merasakan tatapannya, Reza menoleh. Sekilas mata mereka bertemu. Nadia segera mengalihkan pandangannya, tetapi semuanya sudah terlambat. Reza tersenyum tipis, lalu bangkit dari kursinya dan berjalan mendekat.

“Sendiri?” tanyanya.

Nadia berdeham, berusaha terlihat biasa saja. “Menunggu teman.”

Reza menarik kursi di hadapannya, duduk tanpa menunggu persetujuan. “Boleh aku menemanimu sebentar?”

Nadia ragu. Seharusnya ia menolak. Seharusnya ia mengatakan bahwa ini tidak pantas. Namun, bibirnya tidak mengeluarkan suara penolakan.

“Bagaimana kabarmu?” tanya Reza lagi.

Nadia menatapnya. “Aku baik.”

“Benarkah?”

Nadia terdiam. Ada sesuatu dalam cara Reza menatapnya yang membuatnya merasa seolah pria itu bisa melihat lebih dalam, lebih dari sekadar jawaban formalitas.

“Aku hanya bertanya karena… aku merasa ada yang berbeda,” lanjut Reza.

Nadia tersenyum kecil, meskipun hatinya berdebar. “Kamu terlalu banyak berpikir, Reza.”

Reza terkekeh. “Mungkin. Atau mungkin aku hanya peduli.”

Jawaban itu membuat Nadia terdiam. Untungnya, sebelum percakapan semakin jauh, Rina datang.

“Nadia! Maaf aku telat!” sahabatnya berseru.

Reza segera bangkit. “Baiklah, aku tidak akan mengganggumu lebih lama.”

Saat ia beranjak pergi, Nadia merasa ada sesuatu yang tertinggal. Sesuatu yang mengusik hatinya.

—

Hari-hari berlalu, tetapi pertemuan itu masih terbayang di benak Nadia. Ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa semuanya hanya kebetulan. Namun, entah mengapa, ia terus menemukan alasan untuk mengingat Reza.

Lalu, tanpa Nadia sadari, pertemuan mereka berlanjut. Mereka tidak sengaja bertemu di toko buku, di acara keluarga, bahkan di jalanan. Setiap kali, percakapan mereka semakin panjang, semakin dalam.

Hingga suatu malam, sebuah pesan masuk ke ponselnya.

*”Kamu sedang apa?”*

Nadia menatap layar ponselnya lama. Ia tahu ia seharusnya mengabaikan pesan itu. Tetapi, untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia membiarkan hatinya mengendalikan segalanya.

*”Tidak banyak. Kamu?”*

Percakapan itu berlanjut. Kata demi kata mengalir dengan mudah. Tanpa disadari, mereka berbicara hingga larut malam. Ada sesuatu tentang Reza yang membuat Nadia merasa nyaman, seolah ia bisa menjadi dirinya sendiri tanpa harus berpura-pura.

Namun, semakin mereka berbicara, semakin sadar Nadia bahwa ia telah melewati batas.

Malam itu, sebelum tidur, ia menatap ponselnya lama. Hatinya berbisik bahwa ia sedang berjalan di jalur yang berbahaya. Namun, bagian lain dari dirinya tidak bisa menyangkal—ia menikmati setiap momen ini.

Dan itu adalah awal dari semuanya.*

Bab 3: Batas yang Kian Samar

Hati Nadia terus diliputi kegelisahan. Ia mulai mempertanyakan dirinya sendiri—mengapa ia membiarkan hubungannya dengan Reza berkembang sejauh ini? Ia tahu semua ini salah, tetapi tetap saja, setiap kali ponselnya bergetar dengan nama Reza tertera di layar, ia tidak pernah bisa mengabaikannya.

Pagi itu, ia duduk di meja makan bersama Arman di rumah keluarganya. Arman datang berkunjung seperti biasa, membawa senyum hangat dan obrolan ringan tentang pekerjaan dan rencana pernikahan mereka.

“Nadia, kamu sudah lihat venue yang aku kirim kemarin?” tanya Arman sambil menyeruput kopinya.

Nadia mengangguk, meskipun ia bahkan tidak membuka pesan itu. “Sudah. Bagus.”

Arman tersenyum, tetapi ada keraguan di matanya. “Kamu yakin? Aku ingin semuanya sesuai dengan yang kamu inginkan juga.”

Nadia tersenyum kecil, tetapi hatinya terasa berat. Seharusnya ia merasa bahagia, tetapi pikirannya melayang ke seseorang yang seharusnya tidak ada di hidupnya.

Seolah semesta ingin menggodanya, ponselnya tiba-tiba bergetar. Ia melirik layar dan jantungnya berdegup lebih cepat. **Reza.**

Nadia buru-buru mematikan layar dan menaruh ponselnya di pangkuan. Ia berusaha tetap fokus pada Arman, tetapi pikirannya sudah terpecah.

—

Sore itu, Nadia akhirnya menyerah pada kegelisahannya. Ia membaca pesan dari Reza.

*”Ada waktu untuk bertemu?”*

Jari-jarinya ragu di atas layar. Ia harus menolak. Ia harus mengakhiri ini. Tetapi, jari-jarinya justru mengetik sesuatu yang berbeda.

*”Di mana?”*

Lima belas menit kemudian, Nadia berdiri di depan sebuah taman yang sepi. Langit mulai temaram ketika Reza tiba, mengenakan kemeja putih yang lengan bawahnya digulung.

“Kukira kamu tidak akan datang,” katanya, tersenyum.

“Aku juga berpikir begitu,” jawab Nadia jujur.

Reza menatapnya dalam, lalu menghela napas. “Nadia, apa yang sedang kita lakukan?”

Nadia menunduk. Ia tidak punya jawaban. Ia tahu apa yang mereka lakukan adalah sesuatu yang tidak seharusnya terjadi. Tetapi, jika memang begitu, mengapa hatinya terasa begitu nyaman saat bersama Reza?

“Kamu tahu, aku ingin berhenti memikirkan ini,” lanjut Reza. “Aku ingin menganggap kamu hanya teman. Tapi aku gagal, Nadia. Aku selalu ingin bertemu denganmu.”

Nadia mengangkat wajahnya, menatap Reza dengan perasaan yang sama. “Aku juga.”

Keduanya terdiam. Tidak ada yang berani mengucapkan lebih dari itu, karena mereka tahu, jika mereka terus melangkah lebih jauh, tidak akan ada jalan untuk kembali.

Namun, perasaan itu sudah terlalu kuat.

Tanpa sadar, Reza mengulurkan tangannya, dan Nadia, dengan segala keraguannya, membiarkan jari-jarinya menyentuh jemarinya. Itu hanya sentuhan singkat, tetapi cukup untuk membuat mereka mengerti—batas di antara mereka semakin samar.

Dan tidak ada yang tahu bagaimana cara menghentikannya.*

Bab 4: Ombak Rasa yang Tak Terbendung

Nadia berusaha keras untuk menjalani hidupnya seperti biasa. Ia tetap bertunangan dengan Arman, menghadiri pertemuan keluarga, dan merencanakan pernikahannya. Namun, semakin hari, semakin sulit baginya untuk berpura-pura bahwa hatinya masih berada di tempat yang sama.

Setiap kali ia berada di dekat Arman, pikirannya justru melayang ke Reza. Ia membenci dirinya sendiri karena membiarkan perasaan ini tumbuh, tetapi menepisnya juga terasa mustahil. Seperti ombak yang terus menerjang pantai, perasaan itu datang tanpa bisa ia hentikan.

Suatu malam, setelah acara makan malam keluarga, Nadia menerima pesan dari Reza.

*”Kamu bisa keluar sebentar?”*

Nadia menatap layar ponselnya. Ia tahu ia seharusnya tidak melakukannya. Namun, kakinya sudah bergerak sebelum pikirannya bisa menolaknya.

Mengenakan jaket tipis, ia keluar dari rumah dan menemukan Reza berdiri di dekat mobilnya, menunggunya di bawah lampu jalan yang redup.

“Kamu kenapa?” tanya Nadia pelan.

Reza menatapnya lama, seolah sedang mempertimbangkan kata-kata yang tepat. “Aku tidak bisa berhenti memikirkanmu, Nadia.”

Nadia menghela napas, merasa dadanya sesak. “Jangan bilang seperti itu, Reza. Ini salah.”

“Aku tahu,” sahutnya cepat. “Tapi aku juga tahu kalau kamu merasakan hal yang sama.”

Mata mereka bertemu, dan dalam keheningan itu, Nadia tahu ia tidak bisa lagi berbohong. Ia mengangguk pelan, nyaris tak terlihat.

“Ayo ikut denganku sebentar,” pinta Reza.

Nadia seharusnya menolak. Seharusnya ia berbalik dan masuk ke rumahnya kembali. Tetapi, entah bagaimana, ia justru masuk ke dalam mobil Reza, membiarkan pria itu membawanya pergi.

—

Mereka tiba di sebuah pantai kecil yang sepi, jauh dari keramaian kota. Angin malam berhembus lembut, membawa aroma laut yang menenangkan.

“Kenapa kamu membawaku ke sini?” tanya Nadia.

Reza tersenyum kecil. “Karena di sini, kita bisa menjadi diri kita sendiri, tanpa harus berpura-pura.”

Nadia menatap hamparan laut yang tenang. Ia ingin menyangkal kata-kata Reza, tetapi ia tahu pria itu benar. Bersama Reza, ia tidak perlu berpura-pura bahagia dengan sesuatu yang tidak membuat hatinya tenang.

Mereka duduk di atas pasir, membiarkan keheningan berbicara.

“Kalau saja aku bertemu denganmu lebih dulu,” gumam Reza.

Nadia tersenyum pahit. “Tapi kenyataannya tidak seperti itu.”

“Tapi kita tetap saling menemukan,” balas Reza, menoleh ke arahnya.

Nadia menghela napas, merasa hatinya semakin berat. “Kita tidak bisa, Reza.”

Reza terdiam sejenak sebelum berkata pelan, “Lalu kenapa kita ada di sini sekarang?”

Nadia tidak punya jawaban. Ia tahu mereka seharusnya berhenti. Mereka seharusnya menjaga batas yang seharusnya ada. Tapi, kenyataannya, mereka justru semakin mendekat satu sama lain.

Tanpa Nadia sadari, Reza mengulurkan tangannya, menggenggam jemarinya dengan lembut. Nadia tidak menarik diri. Ia membiarkan dirinya merasakan hangatnya genggaman itu, membiarkan dirinya larut dalam kebersamaan yang ia tahu tidak akan bertahan selamanya.

Malam itu, di bawah langit berbintang, mereka akhirnya mengakui perasaan mereka.

Dan untuk pertama kalinya, Nadia merasa hidupnya benar-benar nyata—meskipun ia tahu, kebahagiaan ini hanya sementara.*

Bab 5: Rahasia yang Mulai Tercium

Sejak malam di pantai itu, Nadia dan Reza semakin sulit menjaga jarak. Awalnya, mereka berjanji untuk tidak bertemu lagi, tetapi seperti dua kutub magnet, mereka selalu menemukan cara untuk kembali ke satu sama lain. Percakapan singkat berubah menjadi panggilan telepon larut malam. Tatapan curi-curi semakin sering terjadi di tengah keramaian. Mereka mulai hidup dalam rahasia—sebuah kisah terlarang yang hanya mereka berdua yang tahu.

Namun, dunia mereka bukanlah ruang hampa. Orang-orang di sekitar mereka mulai menyadari perubahan yang terjadi.

—

Suatu sore, Nadia dan Rina sedang duduk di kafe langganan mereka. Nadia sibuk menggulir layar ponselnya, mengecek pesan dari Reza, sementara Rina memperhatikannya dengan sorot mata curiga.

“Kamu kenapa sih belakangan ini?” tanya Rina tiba-tiba.

Nadia tersentak. “Apa maksudmu?”

Rina menyandarkan tubuhnya ke kursi, menatap Nadia penuh selidik. “Aku perhatiin kamu sering melamun. Kadang tersenyum sendiri. Dan… aku rasa kamu jadi lebih sering menghindari Arman.”

Nadia berusaha menertawakan ucapan itu. “Kamu berlebihan.”

Tapi Rina tidak tertawa. Ia justru semakin mendekat. “Nadia… kamu gak lagi menyembunyikan sesuatu, kan?”

Jantung Nadia berdebar keras. Apakah Rina mulai curiga? Ia harus berhati-hati.

“Aku cuma lagi stres dengan semua persiapan pernikahan ini,” kata Nadia cepat. “Terlalu banyak yang harus kupikirkan.”

Rina masih terlihat ragu, tetapi akhirnya mengangguk. “Kalau ada yang mengganggumu, kamu bisa cerita sama aku, Nad.”

Nadia tersenyum, tetapi dalam hatinya, ia tahu bahwa Rina sudah mulai menangkap sesuatu.

—

Sementara itu, di sisi lain, Arman juga mulai merasa ada yang berubah dalam hubungan mereka.

Suatu malam, ia mengajak Nadia makan malam di restoran favorit mereka. Nadia mencoba bersikap normal, tetapi pikirannya terus melayang ke pesan terakhir dari Reza yang belum ia balas.

Arman menatapnya lekat. “Nadia, kamu masih mau menikah denganku, kan?”

Nadia terkejut dengan pertanyaan itu. “Tentu saja. Kenapa kamu tiba-tiba bertanya seperti itu?”

Arman menyesap minumannya sebelum menjawab, “Aku merasa kamu berubah. Seperti… kamu tidak sepenuhnya ada di sini bersamaku.”

Nadia terdiam. Ia ingin menyangkal, ingin meyakinkan Arman bahwa semuanya baik-baik saja, tetapi kebohongan itu terasa semakin sulit untuk diucapkan.

“Aku hanya lelah,” ujarnya akhirnya.

Arman mengangguk, tetapi ekspresinya tetap penuh dengan kebingungan. “Kalau ada sesuatu yang mengganggumu, aku harap kamu bisa jujur padaku.”

Kata-kata itu membuat dada Nadia semakin sesak. Ia tahu ia sedang berjalan di atas tali yang tipis. Jika ia tidak berhati-hati, segalanya bisa berantakan.

—

Puncaknya terjadi beberapa hari kemudian.

Nadia dan Reza tidak bisa menahan diri untuk bertemu di sebuah taman kota yang tidak terlalu ramai. Mereka duduk di bangku kayu, berbicara pelan, tangan mereka hampir bersentuhan.

Namun, mereka tidak menyadari bahwa seseorang memperhatikan mereka dari kejauhan.

Rina.

Sahabatnya itu berdiri terpaku, menyaksikan Nadia dan Reza berbicara dengan cara yang tidak seharusnya dilakukan oleh seorang wanita yang sudah bertunangan dengan pria lain.

Hati Rina mencelos. Ia tidak ingin mempercayai apa yang ia lihat, tetapi bukti itu ada di depan matanya.

Nadia akhirnya sadar akan keberadaan Rina. Ia menoleh, dan saat matanya bertemu dengan tatapan tajam sahabatnya, wajahnya langsung memucat.

Rina menggeleng perlahan, lalu berbalik dan pergi tanpa sepatah kata pun.

Nadia ingin mengejarnya, tetapi kakinya terasa berat.

Reza menyentuh tangannya, suaranya lembut namun penuh kekhawatiran. “Kita ketahuan?”

Nadia menelan ludah. “Aku tidak tahu… tapi aku rasa, semuanya tidak akan pernah sama lagi.”

Rahasia mereka yang selama ini tersembunyi, kini mulai tercium.

Dan mereka tidak tahu seberapa parah konsekuensinya.*

Bab 6: Antara Hati dan Kewajiban

Sejak hari itu, Nadia merasa ada sesuatu yang berubah dalam hidupnya. Rasanya seperti ada bom waktu yang siap meledak kapan saja. Rina, sahabat yang selama ini selalu ada untuknya, tiba-tiba menjaga jarak. Tidak ada lagi pesan atau ajakan bertemu seperti biasanya.

Nadia tahu ia harus menghadapi ini. Maka, sore itu, ia mengunjungi apartemen Rina, berharap bisa menjelaskan semuanya.

Saat pintu terbuka, ekspresi Rina dingin. Tanpa banyak kata, ia melangkah ke dalam, membiarkan Nadia mengikutinya.

“Kamu mau menjelaskan sesuatu?” tanya Rina, suaranya terdengar datar.

Nadia menghela napas panjang. “Rin, aku tahu apa yang kamu lihat kemarin pasti mengejutkanmu, tapi—”

“Tapi apa, Nad?” potong Rina tajam. “Kamu sadar gak sih apa yang kamu lakukan? Kamu bertunangan dengan Arman! Kamu tahu dia mencintaimu, kan?”

Nadia meremas jemarinya, merasa bersalah. “Aku tahu… tapi ini bukan sesuatu yang bisa aku kendalikan.”

Rina menatapnya dengan kecewa. “Bukan bisa atau tidak dikendalikan, Nad. Kamu yang memilih untuk membiarkan ini terjadi.”

Kata-kata itu menohok Nadia lebih dari yang ia duga.

“Kamu jatuh cinta sama Reza?” tanya Rina lagi, kali ini lebih pelan.

Nadia menggigit bibirnya. Ia ingin berbohong, ingin mengatakan bahwa semuanya hanya kesalahan sesaat. Tapi hatinya tahu, itu tidak benar.

“Aku gak tahu, Rin… yang aku tahu, aku merasa hidup saat bersamanya.”

Rina menghela napas, mengusap wajahnya dengan frustrasi. “Dan Arman? Gimana dengan dia?”

Nadia terdiam.

“Kamu gak bisa selamanya kayak gini, Nad. Cepat atau lambat, seseorang akan terluka,” kata Rina lebih lembut. “Aku cuma gak mau kamu menyesali ini nanti.”

Mata Nadia memanas. Ia tahu Rina benar. Tapi bagaimana cara memilih antara sesuatu yang membuatnya bahagia dan sesuatu yang menjadi tanggung jawabnya?

—

Malam itu, Nadia duduk di kamarnya, menatap undangan pernikahan yang baru saja dicetak. Namanya dan nama Arman tertulis dengan indah di atas kertas berwarna gading.

Tangannya gemetar saat ia menyentuhnya.

Seketika, ponselnya bergetar. Sebuah pesan dari Reza muncul.

*”Aku ingin bertemu. Aku butuh bicara denganmu.”*

Nadia menutup mata. Ia merasa seperti berada di persimpangan yang tak punya jalan keluar.

Ia memikirkan Arman—pria yang selalu ada untuknya, yang mencintainya dengan setulus hati, yang tak pernah sekalipun mengecewakannya. Bersamanya, hidupnya akan stabil, tenang, seperti yang diinginkan keluarganya.

Tapi saat ia memikirkan Reza, ada debaran berbeda. Ada gairah, ada kebebasan, ada perasaan yang tak bisa ia temukan dalam peluk Arman.

Lalu, apa yang harus ia lakukan?

Nadia meraih ponselnya, menatap pesan dari Reza sekali lagi.

Dan tanpa berpikir lebih jauh, ia mengetik balasan.

*”Aku akan datang.”*

Bab 7: Luka yang Tak Terhindarkan

Malam itu, Nadia berdiri di depan sebuah kedai kopi kecil di sudut kota, tempat ia dan Reza sering bertemu diam-diam. Tangannya terasa dingin meskipun udara tidak terlalu dingin. Ia tahu, pertemuan ini bisa mengubah segalanya—entah semakin menenggelamkannya dalam rasa bersalah atau justru semakin memperjelas perasaannya.

Begitu ia masuk, matanya langsung menemukan sosok Reza yang sudah duduk di pojok ruangan. Ia mengenakan kemeja biru dengan lengan yang digulung hingga siku, terlihat santai tetapi dengan ekspresi yang sulit terbaca.

Nadia menarik napas panjang sebelum melangkah mendekat.

“Kamu baik-baik saja?” tanya Reza ketika Nadia duduk di hadapannya.

Nadia ingin tertawa mendengar pertanyaan itu. “Seharusnya aku yang menanyakan itu padamu.”

Reza menggeleng pelan, menatapnya lekat. “Aku gak tahu, Nad. Aku mulai merasa kita makin tersesat.”

Nadia meremas jemarinya. “Aku juga merasakannya.”

“Apa kita harus berhenti?” Reza bertanya, suaranya penuh kebimbangan.

Pertanyaan itu menghantam Nadia seperti ombak besar. Ia tahu seharusnya jawaban yang keluar dari mulutnya adalah “ya.” Seharusnya ia berkata bahwa mereka harus berhenti sebelum semuanya berantakan. Tapi kenyataannya, ia tidak bisa.

“Aku gak tahu, Reza…” Suaranya terdengar hampir seperti bisikan. “Aku gak bisa bohong soal perasaanku.”

Reza menyandarkan tubuhnya, menatap Nadia dengan ekspresi campur aduk. “Kalau begitu, aku akan jujur juga. Aku ingin kamu tetap di sini. Aku gak peduli seberapa salahnya ini. Aku gak bisa pura-pura gak menginginkanmu.”

Kata-kata itu menggetarkan hati Nadia. Ia ingin menjawab, ingin mengatakan bahwa ia merasakan hal yang sama. Tapi sebelum ia sempat berbicara, suara seseorang tiba-tiba memecah keheningan.

“Nadia?”

Nadia membeku. Suara itu…

Dengan jantung berdebar kencang, ia menoleh ke belakang.

Di sana, berdiri seseorang yang selama ini paling ia takuti untuk mengetahui rahasia ini.

Arman.

—

Nadia merasa dunianya berhenti. Napasnya tercekat saat ia melihat ekspresi di wajah Arman—kebingungan, keterkejutan, dan… kekecewaan.

“Arman…” Nadia berusaha berdiri, tetapi kakinya terasa lemas.

Reza juga tampak terkejut, tetapi ia tetap diam, membiarkan Nadia menghadapi ini sendiri.

“Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Arman, suaranya tenang, tetapi penuh ketegangan.

Nadia mencoba mencari alasan, tetapi ia tahu tidak ada kebohongan yang bisa menyelamatkannya kali ini.

Arman menatap Reza sejenak sebelum kembali fokus pada Nadia. “Jangan bilang aku hanya berlebihan. Aku bukan orang bodoh, Nad.”

Nadia menelan ludah. Ia ingin menjelaskan, ingin mengatakan bahwa semuanya tidak seperti yang terlihat, tetapi bagaimana mungkin? Semua ini memang salah.

Arman menghela napas panjang, matanya terlihat sayu. “Sejak kapan, Nad?”

Nadia meremas jemarinya sendiri, berusaha mengumpulkan keberanian. “Aku… aku gak tahu.”

“Jadi benar?” suara Arman terdengar lebih pelan, nyaris seperti bisikan. “Aku selalu merasa ada yang berubah… tapi aku terus meyakinkan diriku kalau semua baik-baik saja. Aku percaya padamu, Nad.”

Rasa bersalah menyesakkan dada Nadia. “Aku gak bermaksud menyakitimu, Arman.”

Arman tertawa kecil, tetapi tawa itu penuh luka. “Tapi kamu tetap melakukannya.”

Nadia tidak bisa berkata-kata.

Beberapa detik yang terasa seperti selamanya berlalu sebelum Arman menghembuskan napas panjang. “Aku akan pergi dulu. Kita… kita bicara nanti.”

Tanpa menunggu jawaban, ia berbalik dan berjalan keluar dari kedai kopi.

Nadia ingin mengejarnya, ingin menjelaskan, tetapi kakinya terasa terpaku di tempat.

Reza menyentuh tangannya. “Nad…”

Nadia menoleh, matanya berkaca-kaca. “Aku sudah menyakitinya, Reza.”

Reza tidak berkata apa-apa.

Karena mereka berdua tahu—ini adalah luka yang tak terhindarkan.*

Bab 8: Retakan yang Semakin Dalam

Nadia menghabiskan malam itu dalam kebisuan. Setelah pertemuan di kedai kopi, ia pulang dengan perasaan hancur. Tidak ada lagi yang bisa ia sembunyikan. Arman tahu. Dan tatapan terakhirnya sebelum pergi terasa seperti pisau yang menghujam dada Nadia.

Ponselnya berdering beberapa kali. Dari Rina, dari keluarganya, bahkan dari Reza. Tapi ia tak sanggup menjawab satu pun. Ia hanya duduk di tepi ranjangnya, menatap kosong ke dinding, membiarkan pikirannya dipenuhi oleh pertanyaan yang tak berujung.

Apa yang harus ia lakukan sekarang?

—

Pagi itu, ia menerima pesan dari Arman.

**”Kita perlu bicara. Temui aku di tempat biasa.”**

Jantung Nadia berdegup kencang. Ia tahu bahwa pembicaraan ini akan menjadi titik balik segalanya.

Dengan langkah berat, ia pergi ke kafe tempat mereka biasa menghabiskan waktu bersama. Tempat ini dulu penuh dengan tawa dan rencana masa depan. Sekarang, rasanya seperti ruang interogasi.

Arman sudah menunggu di salah satu sudut, mengenakan kemeja hitam dan jam tangan favoritnya. Tetapi kali ini, tidak ada senyum hangat yang menyambut Nadia seperti biasa.

Ia duduk dengan gugup di hadapannya.

“Aku gak akan bertele-tele,” kata Arman, suaranya tenang tapi tegas. “Aku cuma mau tahu… apa kamu mencintai dia?”

Pertanyaan itu menusuk Nadia lebih dari yang ia duga. Ia membuka mulut, ingin berkata sesuatu, tetapi tak ada suara yang keluar.

Arman tersenyum pahit. “Jawabanmu sudah cukup jelas, Nad.”

“Arman, aku—”

“Jangan,” potongnya cepat. “Aku cuma ingin jujur pada diriku sendiri sekarang. Aku kira kita punya segalanya. Aku kira kita sudah ditakdirkan bersama.”

Nadia menunduk, rasa bersalah membebani hatinya. “Aku juga berpikir begitu.”

“Tapi ada yang berubah,” lanjut Arman. “Dan kamu gak bisa berpura-pura kalau semuanya masih sama.”

Nadia menggigit bibirnya, menahan air mata yang ingin jatuh.

“Apa kamu pernah mencintaiku, Nad?”

Pertanyaan itu membuatnya terhenyak. Tentu saja ia mencintai Arman. Tapi mungkin tidak dengan cara yang seharusnya. Tidak dengan cara yang bisa membuatnya merasa hidup seperti saat bersama Reza.

“Aku…” Nadia menarik napas dalam. “Aku sayang sama kamu, Arman.”

Arman tersenyum tipis. “Tapi kamu gak mencintaiku, kan?”

Air mata Nadia akhirnya jatuh. Ia tak bisa menyangkal lagi.

Arman menatapnya lama sebelum akhirnya menghela napas panjang. “Kalau begitu, aku rasa ini sudah cukup.”

Nadia mengerjap. “Maksudmu…?”

“Aku gak bisa menikahi seseorang yang hatinya bukan untukku,” jawabnya, suaranya bergetar. “Kita akhiri semuanya di sini, Nad.”

Dadanya terasa sesak. Ia tahu ini yang seharusnya terjadi, tetapi mendengar kata-kata itu tetap terasa menyakitkan.

Arman berdiri, memasukkan tangannya ke dalam saku. “Aku akan bilang ke keluarga kita kalau kita sudah selesai. Kamu gak perlu khawatir soal mereka. Aku yang akan mengurus semuanya.”

Nadia ingin mengatakan sesuatu, ingin memohon maaf atau menjelaskan dirinya lebih baik. Tapi pada akhirnya, ia hanya bisa menatap punggung Arman yang perlahan menjauh.

Dan saat pintu kafe tertutup di belakangnya, Nadia tahu bahwa hidupnya baru saja berubah selamanya.*

Bab 9: Pilihan yang Menyakitkan

Nadia duduk diam di kamarnya, menatap gaun pengantinnya yang masih tergantung di dekat jendela. Gaun itu seharusnya menjadi simbol kebahagiaan, awal dari kehidupan baru bersama Arman. Namun kini, yang tersisa hanyalah kenangan pahit.

Pertunangannya dengan Arman resmi berakhir. Keluarga mereka terkejut, tetapi Arman menepati janjinya—ia tidak membiarkan siapa pun menyalahkan Nadia. Ia hanya mengatakan bahwa mereka tidak cocok dan memutuskan untuk berpisah. Namun, Nadia tahu bahwa jauh di lubuk hati Arman, ada luka yang tidak akan mudah sembuh.

Sementara itu, Reza terus mencoba menghubunginya. Pesan-pesannya datang setiap hari, penuh dengan kekhawatiran.

**”Apa kamu baik-baik saja?”**
**”Aku ingin bicara denganmu.”**
**”Aku ada di sini kalau kamu butuh seseorang.”**

Tapi Nadia tak bisa menjawab. Ia merasa terlalu lelah, terlalu kosong.

Hatinya berantakan. Ia telah kehilangan seseorang yang begitu baik padanya, dan kini ia dihadapkan pada pilihan yang lebih besar—apakah ia benar-benar ingin bersama Reza?

—

Beberapa hari kemudian, setelah menghindari semua orang, Nadia akhirnya memutuskan untuk menemui Reza. Mereka bertemu di tempat yang sama seperti sebelumnya, sebuah kedai kopi kecil yang kini menyimpan begitu banyak kenangan.

Reza berdiri begitu ia tiba, wajahnya penuh kecemasan. “Nadia…”

Nadia duduk di hadapannya, menghembuskan napas berat. “Aku butuh waktu untuk berpikir.”

Reza mengangguk. “Aku mengerti. Aku gak mau memaksamu, Nad. Aku cuma ingin kamu tahu kalau aku ada di sini.”

Nadia menatapnya dalam-dalam. Ia tahu bahwa Reza mencintainya. Ia tahu bahwa pria ini telah membuatnya merasakan sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.

Tapi apakah itu cukup?

“Reza…” Nadia menelan ludah, berusaha menemukan kata-kata yang tepat. “Aku gak tahu apakah ini yang benar.”

Reza terdiam. “Maksudmu?”

Nadia mengusap wajahnya, mencoba menenangkan diri. “Aku takut. Aku takut kalau kita bersama, semua ini hanya akan menjadi kesalahan lain yang akan aku sesali nanti.”

Reza menggenggam tangannya, jemarinya hangat dan kuat. “Nadia, aku gak pernah ingin menyakitimu. Aku juga gak pernah menyesal telah mencintaimu.”

Matanya berkaca-kaca. “Aku ingin kamu bahagia, Nad. Tapi aku juga ingin kamu memilih ini karena kamu benar-benar ingin, bukan karena kamu merasa terpaksa.”

Nadia menatapnya lama. Hatinya berperang dengan pikirannya. Ia tahu ia mencintai Reza, tetapi ia juga takut—takut akan konsekuensi dari hubungan mereka, takut akan penilaian orang lain, takut jika akhirnya semua ini hanya menjadi kesalahan lain dalam hidupnya.

Dengan suara gemetar, ia akhirnya berkata, “Beri aku sedikit waktu lagi, Reza.”

Reza tersenyum kecil, meskipun matanya menyiratkan kekecewaan. “Aku akan menunggu, Nadia. Berapa lama pun itu.”

Namun, dalam hati Nadia, ia bertanya-tanya… **apakah cinta selalu sepadan dengan harga yang harus dibayar?*

Bab 10: Akhir dari Sebuah Rahasia

Sudah seminggu sejak pertemuannya dengan Reza. Seminggu sejak ia meminta waktu untuk berpikir, mencoba memahami apa yang sebenarnya diinginkannya.

Namun, semakin ia berpikir, semakin ia merasa tersesat.

Ia telah kehilangan Arman, seseorang yang begitu tulus mencintainya. Dan sekarang, di hadapannya, ada Reza—pria yang membuat hatinya berdebar, tetapi juga pria yang membawanya ke dalam hubungan terlarang.

Ia bertanya-tanya, apakah perasaan ini benar-benar cinta, atau hanya ilusi dari sesuatu yang tidak bisa ia miliki?

—

Suatu sore, Nadia pergi ke tempat favoritnya, sebuah taman di pinggiran kota. Ia duduk di bangku kayu, mengamati daun-daun yang berguguran di tiupan angin. Hatinya masih penuh kebimbangan.

Tak lama kemudian, seseorang duduk di sampingnya.

Reza.

“Aku tahu aku harus memberimu waktu,” katanya pelan. “Tapi aku juga harus tahu, Nadia. Apa aku harus terus menunggu, atau… ini akhir bagi kita?”

Nadia menggenggam jemarinya sendiri, merasa begitu rapuh. “Reza, aku…”

Ia menarik napas dalam, lalu menatap mata Reza yang penuh harapan.

“Aku mencintaimu,” katanya akhirnya.

Reza tersenyum kecil, tetapi tidak ada kebahagiaan di sana.

“Tapi?” tanyanya lirih.

“Tapi aku gak bisa melanjutkan ini,” jawab Nadia, suaranya bergetar. “Aku sudah menyakiti terlalu banyak orang. Aku sudah kehilangan terlalu banyak hal. Aku gak bisa kehilangan diriku sendiri juga.”

Reza menatapnya lama, seakan berusaha memahami setiap kata yang baru saja diucapkannya.

“Kamu yakin ini yang kamu inginkan?” tanyanya dengan suara pelan.

Air mata Nadia jatuh, tetapi ia mengangguk. “Aku harus belajar melepaskan, Reza. Aku harus belajar untuk tidak selalu mengikuti kata hati tanpa berpikir panjang.”

Reza menarik napas dalam, lalu mengalihkan pandangannya ke langit senja. “Aku ingin marah. Aku ingin menyuruhmu untuk tetap tinggal.”

Ia kemudian menoleh padanya, senyumnya pahit. “Tapi kalau ini yang terbaik untukmu… aku akan melepaskanmu.”

Nadia tersenyum di tengah air matanya. “Terima kasih, Reza. Untuk segalanya.”

Reza menatapnya sekali lagi sebelum akhirnya berdiri.

“Selamat tinggal, Nadia.”

Dan begitu saja, ia pergi.

Nadia menatap punggungnya yang semakin menjauh. Hatinya sakit, tetapi untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa tenang.

Rahasia di antara mereka kini benar-benar berakhir.

Dan meskipun cinta mereka mungkin terlarang, ia tahu bahwa melepaskan adalah satu-satunya cara untuk menemukan dirinya kembali.***

—–the end—–

 

 

Source: YONGKI
Tags: #cintaterlarang#NovelRomantisCintaDanPengorbananDilemaHatiDramaPercintaanGodaanTakTerdugaKisahMengharukanKisahPiluKonflikBatinLoveTrianglePertunanganGagalRahasiaHatiRasaYangSalahRomansaRahasiaTakdirAtauPilihan
Previous Post

“KARENA AKU CINTA MATI”

Next Post

ROMANSHA YANG BERAHKIR DUKA

Related Posts

Cinta Berbahaya dengan Suami Tanteku

Cinta Berbahaya dengan Suami Tanteku

May 2, 2025
Iparku, Kekasih dalam Bayangan:

Iparku, Kekasih dalam Bayangan:

May 1, 2025
Milik Ayah dan Anaknya”

Milik Ayah dan Anaknya”

April 30, 2025
Saat Suami Sahabatku Menginginkanku

Saat Suami Sahabatku Menginginkanku

April 29, 2025
Menjadi Milik Suami Sahabatku

Menjadi Milik Suami Sahabatku

April 28, 2025
Terjerat Nafsu Sang Guru

Terjerat Nafsu Sang Guru

April 27, 2025
Next Post
ROMANSHA YANG BERAHKIR DUKA

ROMANSHA YANG BERAHKIR DUKA

DILEMA CINTA SEGITIGA

DILEMA CINTA SEGITIGA

DI UJUNG SENYUMMU, CINTA PERTAMA

DI UJUNG SENYUMMU, CINTA PERTAMA

Top Stories

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

May 17, 2025
KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

May 16, 2025
KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

May 15, 2025

Tentang Kisah Cinta

Kami menyajikan kumpulan novel dan cerpen cinta yang menggambarkan berbagai sisi cinta, dari yang manis hingga yang pahit, dari yang bahagia hingga yang menyayat hati

Connect on Social

© 2024 Kisahcinta.id

No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta

© 2024 Kisahcinta.id