Daftar Isi
BAB 1 PERTEMUAN DI BAWAH PURNAMA
Malam itu, langit begitu gelap, hanya diterangi oleh cahaya bulan purnama yang memancar lembut dari balik awan tipis. Naya berdiri di pinggir taman kota, matanya terarah ke langit, mengikuti perjalanan bulan yang perlahan mendaki ke atas. Malam itu terasa berbeda, seolah ada sesuatu yang istimewa di udara, sesuatu yang membuatnya merasa lebih hidup dari biasanya. Taman yang biasanya sepi, kini ramai dengan orang-orang yang datang untuk menyaksikan keindahan bulan purnama. Beberapa keluarga duduk di rerumputan, anak-anak berlarian dengan riang, dan pasangan muda berbicara dengan penuh perhatian. Naya, yang lebih suka menyendiri, memilih duduk di bangku yang terletak sedikit lebih jauh dari keramaian, agar bisa menikmati pemandangan malam ini dengan tenang.
Dengan buku catatannya di tangan, Naya membuka halaman pertama dan mulai menulis beberapa bait puisi. Cinta, rindu, dan langit malam selalu menjadi tema yang ia tulis, dan malam ini ia ingin menuliskan sesuatu yang lebih mendalam, sesuatu yang terinspirasi dari purnama yang tengah menyinari dunia. Namun, sebelum ia sempat menulis lebih jauh, sebuah suara tiba-tiba menyapa telinganya.
“Maaf, apakah ini tempat yang tepat untuk melihat bulan purnama?” suara itu terdengar ceria namun sedikit ragu, seolah pemiliknya merasa canggung.
Naya menoleh dan melihat seorang pemuda dengan rambut hitam sedikit acak-acakan berdiri di sampingnya. Pemuda itu mengenakan jaket kulit dan celana jeans, tampaknya baru saja datang. Naya terkejut, tetapi senyum kecil yang ia berikan mengisyaratkan bahwa ia tidak merasa terganggu.
“Tempat ini? Ya, tentu saja,” jawab Naya sambil melirik langit, lalu kembali menatap pemuda itu dengan sedikit rasa ingin tahu. “Bulan purnama selalu terlihat indah di sini.”
Pemuda itu tersenyum tipis, senyum yang nampaknya tulus. “Aku hanya ingin memastikan. Aku sering datang ke taman ini, tapi hari ini aku baru sadar betapa indahnya pemandangan malam.”
“Ah, iya. Ini salah satu tempat terbaik untuk melihat bulan purnama,” jawab Naya, mencoba menghapus rasa kikuk yang tiba-tiba muncul di dalam dirinya.
Pemuda itu duduk di bangku sebelah Naya, menjaga jarak, tetapi tetap tampak nyaman. Ia mengeluarkan sebuah buku kecil dari tas punggungnya, dan mulai mencatat sesuatu. Naya memperhatikan gerak-geriknya dengan curiga. Ia merasa aneh, namun ada sesuatu dalam diri pemuda itu yang membuatnya merasa nyaman meskipun tidak mengenalnya sama sekali.
“Naya,” akhirnya pemuda itu berbicara, memecah keheningan. “Aku Raka.” Ia mengulurkan tangan, seakan ingin memperkenalkan diri.
Naya sedikit terkejut, tetapi kemudian mengulurkan tangannya dengan senyum ramah. “Senang bertemu, Raka.”
“Apa yang kamu tulis?” tanya Raka, matanya tertuju pada buku catatan yang ada di tangan Naya.
“Puisi,” jawab Naya singkat, merasa sedikit canggung karena Raka tampaknya tertarik pada hal-hal pribadi miliknya. “Aku suka menulis tentang bulan. Tentang hal-hal yang aku rasakan saat melihat langit malam.”
Raka mengangguk dengan penuh perhatian, lalu ia menatap ke langit. “Aku juga suka melihat bulan. Seringkali aku merasa ada sesuatu yang begitu damai di bawah cahaya bulan. Aku seorang astronom, jadi aku selalu mempelajari benda-benda langit, tapi malam ini, aku hanya ingin menikmati purnama ini saja.”
Naya terkejut mendengar pengakuan itu. Seorang astronom? Itu berarti Raka pasti orang yang sangat pintar dan penuh pengetahuan. Namun, di balik keseriusannya tentang langit, ada sesuatu yang hangat dalam suaranya yang membuat Naya merasa nyaman.
“Menarik,” kata Naya, “Aku hanya seorang gadis yang suka menulis tentang bulan, tapi aku tak pernah benar-benar mempelajarinya seperti kamu.”
“Setiap orang punya cara masing-masing untuk mengagumi dunia, kan?” jawab Raka sambil tersenyum. “Aku suka mencari penjelasan ilmiah tentang segala hal, tapi kadang-kadang, aku merasa bahwa ada keindahan dalam ketidaktahuan itu. Ada keindahan dalam rasa kagum yang datang tanpa penjelasan.”
Naya terdiam sejenak, merenungkan kata-kata Raka. Terkadang, dalam dunia yang penuh dengan penjelasan dan alasan, seseorang lupa bahwa ada keindahan dalam hal-hal yang tidak bisa dijelaskan. Ia merasa ada semacam koneksi antara kata-kata Raka dan dirinya, seakan mereka sedang berbicara dalam bahasa yang sama meskipun datang dari dunia yang berbeda.
Malam itu, mereka duduk bersama di bawah cahaya bulan yang lembut, berbicara tentang segala hal. Naya merasa begitu nyaman dengan Raka, lebih dari yang ia duga. Tidak ada pembicaraan berat tentang masa depan atau impian besar. Hanya dua orang yang menikmati malam, berbicara tentang langit, tentang hidup, tentang hal-hal kecil yang membuat mereka merasa hidup.
Saat Raka pergi untuk meninggalkan taman, ia berbalik dan melihat Naya. “Terima kasih untuk percakapan malam ini, Naya. Aku merasa seperti kita sudah lama saling mengenal.”
Naya tersenyum, merasakan kehangatan dari kata-kata itu. “Aku juga merasa hal yang sama. Mungkin karena bulan purnama selalu menyatukan orang-orang yang datang untuk melihatnya.”
Raka mengangguk dan melangkah pergi, tetapi Naya tahu bahwa malam itu akan selalu menjadi kenangan indah. Purnama yang menyaksikan pertemuan mereka, malam pertama dari serangkaian pertemuan yang mungkin akan datang di masa depan. Dan di dalam hati Naya, ada perasaan yang mulai tumbuh, perasaan yang sulit ia jelaskan, namun ia tahu bahwa perasaan itu tidak akan mudah hilang.*
BAB 2 PURNAMA PERTAMA KITA DI BAWAH PURNAMA
Malam itu, langit begitu gelap, hanya dihiasi oleh sinar purnama yang memancar lembut, memberi cahaya yang menenangkan hati. Angin malam menyentuh wajah, membawa aroma tanah basah setelah hujan beberapa jam yang lalu. Taman kota itu terasa sepi, hanya beberapa orang yang tampak duduk di bangku, menikmati keindahan malam. Aruna dan Farel duduk di bangku taman yang sama, di bawah pohon besar yang menaungi mereka. Mereka berdua merasa nyaman dalam diam, tidak ada kata-kata yang diperlukan. Hanya detak jantung dan hembusan napas yang saling bertukar.
Pertemuan mereka malam itu bukanlah kebetulan. Sebelumnya, Farel sudah memberitahukan Aruna tentang rencananya untuk datang ke taman itu, tempat yang sering mereka kunjungi bersama ketika waktu senggang. Namun kali ini berbeda. Mereka berdua datang untuk merayakan bulan purnama, sesuatu yang memiliki makna khusus bagi keduanya. Farel merasa sangat terhubung dengan keindahan langit malam dan percaya bahwa malam seperti ini adalah waktu yang tepat untuk berbicara tentang hal-hal yang lebih dalam.
“Aruna,” Farel akhirnya membuka percakapan. Suaranya terdengar agak ragu, tetapi penuh dengan ketulusan. “Aku ingin berbicara tentang sesuatu.”
Aruna menoleh padanya. Purnama yang bersinar terang membuat wajah Farel tampak lebih lembut dan penuh harapan. Mata Aruna terfokus pada wajahnya, meski hatinya sedikit cemas. “Apa itu, Farel?” tanyanya pelan, berharap itu bukan sesuatu yang membuatnya merasa canggung.
Farel menghela napas, seolah mencari keberanian untuk mengungkapkan apa yang ada di dalam pikirannya. “Aku ingin tahu apakah kamu pernah merasa… sesuatu yang lebih dari sekadar teman ketika kita bersama.”
Aruna terdiam. Kalimat itu datang begitu mendalam, seakan memecah keheningan malam yang mereka nikmati bersama. Ia merasa wajahnya memanas, dan hatinya mulai berdetak lebih cepat. Namun, ia tidak bisa menghindar dari perasaan yang tiba-tiba muncul di dalam dirinya. Perasaan yang sejak lama bersemayam di hati, tetapi selalu ia sembunyikan.
“Farel…” Suara Aruna bergetar, tetapi ia berusaha untuk tetap tenang. Ia merasa perlu untuk mengatakan sesuatu, meskipun kata-kata itu terasa sulit untuk keluar. “Aku… aku juga merasa ada yang berbeda sejak kita sering bersama. Aku merasa nyaman denganmu, lebih dari yang bisa aku jelaskan.”
Farel memandangnya dengan mata penuh harap, seakan menunggu kepastian dari Aruna. “Jadi, kamu merasa… seperti yang aku rasakan juga?” tanyanya lagi, kali ini dengan nada yang lebih pasti.
Aruna mengangguk pelan, matanya tak lepas dari tatapan Farel. “Ya, aku merasa ada sesuatu yang lebih. Tapi aku juga takut, Farel. Takut jika apa yang kita rasakan hanya sementara, atau mungkin aku salah mengartikan semua ini.”
Farel tersenyum, senyum yang menenangkan, seolah ia memahami perasaan Aruna dengan sempurna. “Aku juga merasakannya, Aruna. Aku juga takut, tapi aku tidak bisa menahan perasaan ini. Sejak pertama kali kita bertemu, ada sesuatu yang membuatku merasa kita bisa lebih dari sekadar teman.”
Kedua hati mereka saling bertaut, dan dalam keheningan malam itu, mereka merasa saling memahami lebih dalam dari sebelumnya. Purnama di atas kepala mereka menyaksikan momen itu, seolah menjadi saksi bisu dari perjalanan hati mereka yang baru dimulai.
“Apa yang kamu rasakan itu juga yang membuatku ingin terus bertemu denganmu, Farel. Aku merasa kita bisa saling melengkapi, meskipun kita tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.” Aruna mengatakannya dengan penuh keyakinan, meskipun rasa takut itu masih ada.
Farel mengulurkan tangannya, menggenggam tangan Aruna dengan lembut. “Aku tidak tahu apa yang akan terjadi, Aruna. Tapi aku ingin mencoba. Aku ingin kita bersama melewati semua ini, bersama-sama.”
Malam itu, di bawah sinar purnama yang memancar cerah, Aruna dan Farel berjanji untuk membuka hati mereka. Mereka tahu bahwa perjalanan ini tidak akan mudah, tetapi mereka juga tahu bahwa perasaan yang mereka miliki satu sama lain adalah sesuatu yang layak diperjuangkan.
Tak lama setelah itu, mereka berdua berbaring di rumput, menatap langit yang penuh dengan bintang. Mereka tidak perlu lagi banyak bicara. Hanya ada kebersamaan yang mengalir dengan tenang, seakan langit malam itu mengerti betul apa yang mereka rasakan. Dalam hati mereka, ada harapan dan rasa yang dalam. Cinta pertama yang muncul begitu tulus, meskipun mereka tahu ada banyak tantangan yang akan datang.
“Rindu itu seringkali datang tanpa kita minta, bukan?” Aruna berkata tiba-tiba, seolah ingin menyelipkan sedikit gurauan di tengah keheningan malam.
Farel tertawa pelan, membalikkan tubuhnya untuk menatap Aruna. “Ya, dan kadang-kadang kita tidak tahu bagaimana cara mengungkapkannya. Tapi aku merasa ini adalah langkah pertama untuk sesuatu yang lebih besar.”
Aruna tersenyum, matanya memandang bulan purnama yang bersinar terang. “Aku juga merasa begitu. Seperti bulan yang selalu setia menemani malam, perasaan kita ini juga punya potensi untuk menjadi sesuatu yang tak pernah pudar.”
Dengan perlahan, mereka duduk kembali dan menikmati pemandangan di sekitar mereka, duduk dalam kesunyian yang penuh makna. Purnama itu telah menyaksikan langkah pertama mereka dalam perjalanan cinta, dan keduanya tahu, meskipun perjalanan itu mungkin panjang dan berliku, mereka siap untuk melangkah bersama.
Hari itu, di bawah purnama yang menyaksikan mereka, dua hati mulai bergerak seiring, tanpa ragu, dan tanpa ketakutan lagi.*
BAB 3 SAJAK UNTUK BULAN
Malam itu, Naya duduk di teras rumahnya, memandangi langit yang mulai gelap. Udara malam terasa sejuk, dan angin sepoi-sepoi menggerakkan helai rambutnya. Di atas langit yang semakin gelap, purnama perlahan muncul, sinarnya yang lembut menyinari seluruh taman di depan rumahnya. Bulan purnama itu selalu mengingatkan Naya pada Raka—pria yang pertama kali memperkenalkan dirinya pada keindahan malam dan langit.
Sambil menatap bulan, Naya mengeluarkan buku catatan kecil yang selalu ia bawa kemana-mana. Di dalamnya terdapat banyak catatan, puisi, dan ide-ide yang terkadang terbesit di kepalanya. Ia selalu merasa bahwa kata-kata mampu menenangkan hati, apalagi ketika ia merasa rindu atau tertekan. Kali ini, perasaan itu datang begitu kuat, dan ia merasa perlu menulis sesuatu untuk melepaskan semua yang ada di hatinya.
Dengan pena di tangan, ia mulai menulis tanpa berpikir panjang:
*Di bawah purnama yang terbit perlahan,*
*Hatiku yang gelisah mulai mencari,*
*Bintang-bintang yang bersinar begitu terang,*
*Tapi tak sebanding dengan cintaku padamu.*
Naya berhenti sejenak. Air mata yang tak sengaja menetes membuat matanya kabur, tapi ia tidak bisa berhenti menulis. Setiap kata yang ia tuangkan ke dalam sajak itu, terasa begitu mendalam. Cinta pada Raka, yang sudah lama tumbuh dalam diam, kini begitu nyata di hatinya.
*Purnama, saksikanlah rindu ini,*
*Rindu yang tidak pernah terucapkan,*
*Rindu yang hanya terpendam dalam sujud malam,*
*Hanya engkau yang tahu, bulan, apa yang aku rasa.*
Naya menutup matanya sejenak, mencoba merasakan setiap kalimat yang ia tulis. Ia mengingat saat pertama kali bertemu dengan Raka di bawah langit malam. Saat itu, Raka menjelaskan bagaimana bulan mempengaruhi pandangan para astronom terhadap dunia. Raka berbicara tentang konstelasi, tentang perjalanan bintang, dan bagaimana segala sesuatu di alam semesta ini saling berhubungan. Semua itu terdengar indah bagi Naya, tapi ada satu hal yang lebih indah dari semua itu—senyum Raka saat berbicara tentang langit.
*Raka…*
Naya menulis nama itu dengan hati yang penuh harap. Ia tidak tahu apakah Raka merasakan hal yang sama. Mereka telah banyak berbicara, menghabiskan waktu bersama, tapi entah mengapa, Naya merasa bahwa Raka tidak pernah benar-benar menunjukkan perasaannya. Apakah dia juga merasakan hal yang sama? Apakah dia juga merindukan Naya seperti yang ia rasakan sekarang?
*Bulan, bisakah engkau membawa pesan ini padanya?*
*Pesan dari hati yang tidak bisa lagi diam,*
*Pesan tentang rasa yang tak terucapkan,*
*Yang hanya bisa kurasakan di dalam sunyi.*
Tetesan air mata kini mulai mengalir tanpa bisa dihentikan. Ia ingin sekali bisa berlari ke arah Raka dan mengungkapkan semua perasaannya, tapi ia tahu itu tidak akan mudah. Raka selalu terlihat begitu sibuk dengan dunia astronominya, dengan rencananya untuk masa depan. Sementara Naya, meski hatinya penuh dengan perasaan, merasa seperti hanya menjadi penonton dalam kisah yang lebih besar dari dirinya.
Namun, malam ini, di bawah sinar bulan, Naya merasa lebih kuat. Ia merasa seolah-olah bulan mendengarkan setiap kata yang ia tulis, setiap perasaan yang ia ungkapkan dalam sajaknya. Bulan, yang selalu menjadi saksi bisu dari banyak kisah cinta di dunia, kini menjadi saksi dari perasaannya.
Ia menulis kalimat terakhir pada sajak itu:
*Di bawah sinar purnama ini,*
*Biarkan hatiku mengirimkan sebuah pesan,*
*Meski tak pernah sampai pada dirimu,*
*Setidaknya aku tahu, engkau mendengarnya, di mana pun engkau berada.*
Naya menutup buku catatannya dengan perlahan. Meskipun hatinya masih dipenuhi rasa rindu yang dalam, ada semacam kedamaian yang ia rasakan setelah menulis. Setidaknya, sekarang ia tahu apa yang ia rasakan, dan ia bisa mengungkapkannya dengan cara yang paling ia pahami.
Ia menatap bulan lagi, dan kali ini, rasanya sedikit lebih ringan. Bulan seakan memberikan senyumannya, sebuah senyuman yang mengingatkan Naya bahwa cinta pertama memang tidak selalu harus langsung terucapkan. Ada banyak cara untuk merasakannya, dan kadang-kadang, cara yang terbaik adalah dengan membiarkannya tumbuh perlahan di dalam hati, seperti bulan yang terbit malam ini, yang semakin lama semakin terang.
Naya menatap langit yang luas, dan meskipun ada rasa rindu yang menggebu, ia merasa sedikit lebih dekat dengan Raka. Mungkin suatu saat nanti, di bawah bulan yang sama, mereka akan berbicara tentang perasaan mereka. Tapi untuk malam ini, ia sudah merasa cukup dengan sajak yang ia tulis untuk bulan.
Sebagai saksi dari semua yang tersembunyi di dalam hatinya.*
BAB 4 Awan yang Menutupi Bulan
Malam itu, langit tak secerah malam-malam sebelumnya. Awan-awan gelap mulai menggantung di atas kota, menutupi cahaya purnama yang biasanya menyinari hati Naya. Ia duduk di bangku taman yang sama, tempat ia dan Raka pernah berbicara tentang impian mereka, di bawah cahaya bulan yang begitu terang. Namun kini, bulan seolah menghilang, tertutup oleh awan yang menggelap. Naya merasa seolah perasaannya juga terhalang oleh kabut kebingungannya sendiri.
Sejak beberapa hari terakhir, hubungan mereka terasa berbeda. Raka mulai menjauh, dan Naya merasa ada sesuatu yang berubah. Bahkan ketika mereka bertemu, suasana canggung selalu menyelimuti mereka. Terkadang, Raka tampak tergesa-gesa atau bahkan terlihat enggan berbicara lebih banyak, seperti ada yang ingin ia sembunyikan. Hal ini membuat Naya bingung dan khawatir.
“Apa aku melakukan sesuatu yang salah?” pikir Naya, meremas ujung gaunnya yang mulai basah karena embun malam.
Beberapa hari yang lalu, Naya sempat mendengar dari teman-temannya bahwa Raka sedang menghabiskan waktu bersama Dimas, teman lama mereka, yang baru saja kembali ke kota. Sejak itu, hati Naya tidak bisa tenang. Ada perasaan yang muncul, campuran antara kecemburuan dan ketakutan yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Selama ini, hubungan mereka memang belum diungkapkan secara langsung, namun Naya merasa ada sesuatu yang lebih di antara mereka. Rasa itu tak bisa diabaikan, tak bisa disembunyikan lagi. Dan kini, ia merasa seperti kehilangan sesuatu yang penting—sesuatu yang seharusnya ia jaga dengan baik.
“Kenapa aku merasa seperti ini? Apa yang terjadi pada kita, Raka?” gumam Naya, matanya menatap kosong ke arah jalanan yang sepi.
Sementara itu, di sisi lain kota, Raka duduk di kafe kecil yang biasa mereka kunjungi bersama. Ia memandang secangkir kopi yang sudah mulai dingin, pikirannya kacau. Ia ingin sekali berbicara dengan Naya, mengungkapkan apa yang sebenarnya terjadi, tetapi ia tidak tahu bagaimana cara memulainya. Selama beberapa minggu terakhir, ia merasa semakin terjerat dalam kebingungannya sendiri. Ia sadar, jarak antara mereka semakin lebar, dan ia sendiri yang membuatnya seperti itu.
Hari itu, Dimas mengajak Raka untuk menghabiskan waktu bersama. Dimas adalah teman lama yang sudah lama tidak bertemu, dan Raka merasa seperti ada banyak hal yang ingin ia bicarakan dengan Dimas. Namun, tanpa ia sadari, perhatian dan kehangatan yang ia berikan kepada Dimas membuat Naya merasa terabaikan. Raka tahu, ia seharusnya lebih sensitif terhadap perasaan Naya, tapi ia tak bisa menghilangkan rasa canggung yang tiba-tiba muncul setiap kali berhadapan dengannya.
“Aku harus mengatakan sesuatu,” pikir Raka, berusaha menenangkan dirinya. “Tapi apa yang harus aku katakan?”
Beberapa saat setelah Naya pulang ke apartemennya, ia menerima pesan dari Raka. Isinya singkat dan tidak memberikan banyak petunjuk, hanya sebuah ajakan untuk bertemu di taman malam ini. Meskipun hati Naya dipenuhi kebingungan dan kecemasan, ia tidak bisa menolak ajakan itu. Perasaan rindu dan harapan yang tersisa membuatnya ingin mencari jawaban, meskipun ia tahu bahwa kemungkinan yang ada mungkin tidak seperti yang ia harapkan.
Ketika mereka akhirnya bertemu di taman yang sepi, suasana antara mereka terasa kaku. Raka duduk di bangku yang sama dengan Naya, hanya ada suara angin malam yang terdengar, berdesir di antara dedaunan yang bergoyang. Naya merasakan ketegangan di udara. Raka tampak gelisah, sementara Naya berusaha menenangkan perasaannya yang cemas.
“Naya,” Raka memulai, suaranya terdengar ragu. “Aku… aku ingin meminta maaf.”
Naya menoleh, kaget dengan permintaan maaf yang tiba-tiba. “Kenapa kamu minta maaf, Raka?”
Raka menghela napas panjang, wajahnya terlihat lelah. “Aku tahu aku sudah membuatmu bingung dan cemas. Aku… aku seharusnya tidak membiarkan hal ini terjadi. Aku merasa, sejak Dimas kembali, aku jadi lebih banyak menghabiskan waktu dengannya. Itu salahku.”
Naya menunduk, merasakan dadanya sesak. Ia ingin bertanya lebih lanjut, ingin mengatakan bahwa ia merasa terluka, tetapi kata-kata itu terhenti di tenggorokannya. Rasa takut akan kehilangan Raka menghalangi semuanya.
“Raka,” akhirnya Naya berkata pelan, “Aku tidak tahu apa yang terjadi antara kita. Tapi aku merasa seperti ada jarak yang tumbuh di antara kita, dan aku tidak tahu kenapa. Kamu berubah, Raka. Kamu… tidak seperti dulu.”
Raka menatap Naya dengan rasa bersalah yang mendalam. Ia tahu apa yang Naya rasakan. Ia juga merasakannya, namun tak bisa menemukan cara untuk mengungkapkan semuanya.
“Aku takut,” Raka akhirnya berkata, suara penuh penyesalan. “Aku takut kalau aku terus bersama kamu, aku akan mengecewakanmu. Aku merasa tidak cukup baik untukmu, Naya. Aku bahkan tidak bisa menjaga jarak antara aku, kamu, dan teman-temanku.”
Naya terkejut. Ia tidak pernah membayangkan bahwa Raka merasa seperti itu. “Raka, kamu tidak perlu menjadi sempurna untuk aku. Kita hanya perlu saling jujur dan menjaga komunikasi, itu saja.”
Malam itu, di bawah awan yang menutupi purnama, mereka akhirnya saling berbicara dengan hati terbuka. Meskipun masih ada keraguan dan kebingungannya, mereka berjanji untuk mencoba memperbaiki hubungan mereka, untuk tidak membiarkan jarak semakin melebar. Mereka tahu, meskipun awan menutupi bulan, suatu saat nanti, purnama akan kembali bersinar terang, begitu juga dengan hubungan mereka.*
Bab 5 Hujan di Malam Purnama
Langit malam itu seharusnya bersinar cerah, seperti malam purnama sebelumnya yang selalu penuh harapan dan janji. Namun, malam itu berbeda. Awan gelap menutupi seluruh cakrawala, dan angin malam yang dingin membuat suasana di taman kota terasa lebih sunyi dari biasanya. Di bawah pohon besar yang menjadi tempat pertama kali mereka bertemu, Naya berdiri menunggu, matanya tertuju ke langit yang mulai tertutup awan.
Ia tidak tahu mengapa ia datang malam itu. Hanya rasa rindu yang membuatnya kembali ke tempat yang penuh kenangan itu. Seharusnya, malam ini mereka merayakan kenangan indah di bawah sinar bulan purnama. Namun, kenyataan membawa mereka pada jarak yang begitu jauh, sebuah jarak yang Naya rasakan begitu mengiris.
Teringat hari itu, ketika Raka dengan tiba-tiba memutuskan untuk pergi. Tanpa sepatah kata, tanpa ada penjelasan yang memadai, ia hanya menghilang. Tidak ada pesan, tidak ada surat, hanya sebuah kabar singkat bahwa ia akan melanjutkan studi astronominya ke luar negeri. Naya merasa seolah dunia berhenti berputar saat itu juga. Apa yang salah? Apa yang membuat Raka tiba-tiba pergi tanpa memberi kesempatan untuk memperbaiki semuanya?
Naya memegangi dadanya, mencoba menenangkan perasaannya. Namun, tak bisa disangkal, ia merasa dihantui rasa kecewa dan kehilangan yang begitu dalam. Raka adalah orang yang ia percayai, orang yang telah mengisi banyak ruang dalam hatinya. Namun, rasa itu hancur begitu saja dalam sekejap. Ia tidak bisa mengerti, kenapa semuanya berubah begitu cepat.
Ketika hujan mulai turun perlahan, Naya tidak beranjak dari tempatnya. Setetes demi setetes air hujan mulai menyentuh wajahnya, menambah kesedihannya yang sudah mendalam. Ia menutup mata, berusaha mencerna perasaan yang begitu kacau. Tiba-tiba, terdengar suara langkah kaki mendekat, dan tanpa menyadarinya, Raka sudah ada di hadapannya. Rambutnya yang basah kuyup dan jaket yang sedikit lusuh menunjukkan bahwa ia juga telah terkena hujan.
Naya menatap Raka tanpa berkata-kata. Raka pun berdiri terdiam, menatapnya dengan pandangan penuh penyesalan. Tak ada kata yang keluar dari mulutnya, seolah-olah kata-kata itu terlalu berat untuk diucapkan. Namun, Naya tahu, ada sesuatu yang ingin ia katakan.
“Kenapa, Raka?” akhirnya Naya berkata dengan suara yang bergetar. “Kenapa kamu pergi begitu saja? Tanpa memberi penjelasan, tanpa memberi kesempatan untuk aku mengerti apa yang terjadi.”
Raka menghela napas panjang, seperti ada beban yang menumpuk di hatinya. “Aku… aku salah, Naya. Aku terlalu banyak berpikir tentang masa depanku dan lupa untuk memikirkan kamu. Aku berpikir kalau aku pergi jauh, aku bisa lebih fokus pada impianku, pada studiku. Tapi, aku justru merasa semakin jauh dari kamu.”
Naya merasa seperti disambar petir. “Jadi, semua ini hanya tentang impianmu? Lalu bagaimana dengan aku? Apa aku hanya dianggap sebagai bagian dari masa lalumu yang tidak penting?” Suaranya terdengar lebih keras dari yang ia duga, dan ia pun segera menutup mulutnya, merasa menyesal.
Raka mendekat perlahan, seolah takut jika ia melangkah terlalu cepat, Naya akan menghindarinya. “Bukan begitu, Naya. Kamu sangat penting. Aku terlalu takut untuk mengakui bahwa aku mulai merasa lebih dari sekadar teman denganmu. Aku takut kalau aku mengungkapkan perasaanku, aku justru akan merusak segalanya. Aku takut jika aku terikat, aku tidak bisa mencapai mimpiku.”
“Dan itu alasan kamu pergi? Karena takut terikat?” Naya tertawa kecil, meskipun suaranya sedikit serak. “Raka, kita sudah saling mengenal selama ini. Apa kamu pikir aku akan menghalangimu mengejar impianmu? Apa kamu pikir aku tidak peduli dengan masa depanmu?”
Raka terdiam. “Aku tidak tahu, Naya. Aku hanya merasa jika aku mengungkapkan perasaanku, aku akan kehilangan fokus. Aku tidak bisa berbagi hatiku dengan orang lain dan tetap mengejar apa yang aku inginkan.”
Naya mengusap matanya, merasa kecewa dengan jawabannya. Namun, di dalam hatinya, ia tahu bahwa Raka tidak sepenuhnya salah. Rasa takut dan ketidakpastian yang ia rasakan membuatnya ragu, dan mungkin itu yang membuatnya memilih untuk menghindar.
Hujan semakin deras, namun Naya dan Raka tetap berdiri di tempat yang sama, seakan waktu berhenti bergerak. Suasana itu seakan memberi mereka kesempatan untuk saling merenung, untuk melihat ke dalam hati masing-masing.
“Aku hanya ingin kamu tahu, Raka,” Naya akhirnya berbicara pelan, “bahwa aku selalu percaya kita bisa melalui segala rintangan bersama. Aku ingin mendukungmu, aku ingin berjalan bersamamu, tetapi aku tidak tahu apakah aku harus menunggu atau melanjutkan hidupku.”
Raka menatap Naya dengan penuh penyesalan. “Aku sangat menyesal, Naya. Aku harusnya lebih terbuka padamu, harusnya lebih jujur tentang perasaanku. Aku terlalu egois, dan sekarang aku kehilanganmu.”
Naya menunduk, menahan air mata yang mulai mengalir. “Tapi, Raka… kamu sudah memilih untuk pergi. Apa aku masih bisa percaya bahwa kita bisa kembali seperti dulu?”
Raka meraih tangan Naya dengan lembut. “Aku tidak ingin kamu melupakan aku, Naya. Aku masih mencintaimu. Jika kamu bersedia memberiku kesempatan, aku akan berusaha untuk memperbaiki semuanya. Aku akan melakukan apa saja untuk mendapatkan kepercayaanmu lagi.”
Naya mengangkat wajahnya dan menatap Raka dengan mata yang penuh harapan, meskipun masih ada keraguan di dalam hatinya. “Aku… aku tidak tahu, Raka. Aku takut jika aku membuka hati ini lagi, aku akan terluka lagi.”
Namun, Raka tidak menjauh. Ia tetap di sana, di tengah hujan yang deras, dengan harapan bahwa ia bisa memperbaiki kesalahan yang telah dibuatnya. Hujan mungkin tidak akan berhenti malam ini, tetapi di dalam hatinya, ia tahu bahwa ada sebuah peluang—sebuah kesempatan untuk memulai kembali. Jika hanya Naya mau memberi ruang untuknya.
Di bawah hujan dan langit yang mendung, mereka berdua terdiam, menunggu kejelasan yang belum bisa mereka temukan. Namun, di antara derasnya hujan, ada sebuah keyakinan baru yang mulai tumbuh. Mungkin cinta mereka masih ada. Mungkin, mereka hanya perlu waktu untuk mencari jalan mereka kembali satu sama lain.*
BAB 6 PURNAMA YANG TERTUTUP
Sudah hampir dua minggu sejak Raka pergi ke luar negeri, namun rasa kehilangan yang menyelimuti Naya belum juga menghilang. Di setiap sudut kota, di setiap tempat yang pernah mereka singgahi bersama, ia merasakan kehadiran Raka, meskipun nyata bahwa pria itu kini jauh darinya. Di bawah langit yang sering kali dipenuhi awan, di malam hari yang seharusnya menjadi waktu untuk menatap purnama, Naya justru merasa sepi. Bulan yang dulu selalu menjadi saksi pertemuan mereka kini tampak samar, tertutup awan tebal, sama seperti perasaan Naya yang mulai terkubur dalam kesedihan.
Selama Raka berada di luar negeri, komunikasi mereka semakin jarang. Dulu, mereka selalu berbicara lewat pesan singkat atau video call, tetapi kini semuanya terasa jauh berbeda. Beberapa kali Naya mencoba menghubungi Raka, tetapi jawabannya hanya sebatas balasan singkat yang tidak memuaskan hatinya. Ke mana Raka pergi? Mengapa ia tidak memberi kabar lebih banyak seperti dulu?
Naya sering kali merenung, berbaring di tempat tidurnya dengan jendela terbuka, menatap langit malam yang kelam, seakan menunggu bulan muncul untuk memberikan sedikit cahaya pada kegelapan hatinya. Namun, meskipun bulan purnama tampak memancarkan sinarnya dari kejauhan, Naya merasa seperti langit malam itu juga menutup diri darinya, sama seperti yang dirasakan oleh hatinya. Rindu yang begitu besar hanya berujung pada kesepian yang dalam.
Di suatu malam, ketika hujan mulai turun dengan perlahan, Naya duduk di beranda sambil memandang tetesan air yang mengalir di kaca jendela. Tangan kanannya memegang sebuah surat yang baru saja diterimanya, yang ditulis tangan oleh Raka. Surat itu sudah dibaca berkali-kali, namun setiap kali ia membacanya, ia hanya merasa semakin bingung dan terluka. Isi surat itu singkat, hanya beberapa baris kalimat yang rasanya tidak mampu menjelaskan apa pun.
“Saya di luar negeri, Naya. Ini adalah kesempatan yang tak bisa saya lewatkan. Mungkin ini waktu yang tepat bagi saya untuk menjauh dari kehidupan yang lama dan memulai yang baru. Jangan khawatirkan saya. Semoga kita bisa tetap berteman.”
Kalimat itu seperti pedang yang mengiris hati Naya. Seharusnya, kata-kata itu memberinya harapan, tetapi justru menimbulkan banyak pertanyaan yang tak terjawab. Mengapa Raka tidak pernah menjelaskan perasaannya dengan lebih jelas? Mengapa ia tidak mengungkapkan apa yang sebenarnya terjadi antara mereka?
Air mata Naya mulai mengalir perlahan, menetes di atas kertas surat yang kini sudah mulai sedikit terkoyak karena genggamannya yang terlalu keras. Setiap kata yang ditulis Raka terasa seperti sebuah penutupan yang tidak pernah ia minta. Sebuah perpisahan tanpa kata-kata, sebuah pengakhiran yang tak terucapkan dengan jelas.
“Apa yang terjadi, Raka?” bisik Naya, suara hatinya hampir tenggelam oleh hujan yang semakin deras.
Naya menunduk, menatap surat itu dengan penuh kesedihan. Hujan di luar semakin menggila, seakan merasakan kesedihan yang merayapi hatinya. Di tengah suara hujan yang bising, pikirannya pun mulai menerawang jauh ke masa lalu, mengenang momen-momen indah bersama Raka. Mereka pernah tertawa bersama di bawah langit malam yang penuh bintang, berbicara tentang masa depan yang penuh impian dan harapan. Mereka pernah berbicara tentang mimpi-mimpi mereka, tentang bagaimana mereka ingin menjelajahi dunia bersama, berbagi segala kebahagiaan dan kesedihan. Namun, sekarang semuanya terasa seperti bayangan yang mulai pudar.
Sambil menahan tangis, Naya meraih ponselnya dan membuka galeri foto mereka berdua. Ada begitu banyak kenangan indah yang tertangkap dalam gambar-gambar itu. Raka tersenyum cerah, memegang kamera yang selalu menjadi bagian dari dirinya, dan Naya tersenyum penuh kebahagiaan di sampingnya. Namun, di balik senyuman itu, ada keraguan yang mulai muncul. Apakah semua itu hanya sebuah ilusi? Apakah perasaan yang mereka bangun bersama hanya akan hancur begitu saja?
Hari-hari berlalu, tetapi hati Naya tetap terjebak dalam kegelisahan. Ia mencoba untuk berfokus pada pekerjaannya, mencoba untuk terus melukis dan menulis seperti dulu. Namun, meskipun ia terus menggambar dan menulis, hatinya tetap kosong. Setiap karya yang ia hasilkan terasa seperti bayangan dari rasa kehilangan yang mendalam. Bahkan ketika ia menulis puisi, kata-kata yang mengalir terasa hampa dan tidak ada makna. Rasa rindu terhadap Raka semakin besar, tetapi ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Haruskah ia mencoba untuk melupakan semua yang pernah mereka miliki, ataukah ia harus menunggu sampai Raka kembali dan menjelaskan semuanya?
Satu malam, ketika Naya sedang duduk di balkon apartemennya, sebuah pesan tiba di ponselnya. Tertulis nama Raka di layar, dan seketika itu, hatinya berdebar kencang. Dengan tangan gemetar, ia membuka pesan itu. Namun, ternyata, pesan itu hanya berisi sebuah ucapan selamat malam, tanpa ada penjelasan lebih lanjut. Itu adalah pesan yang terasa begitu kosong, hanya kata-kata biasa yang tidak pernah cukup untuk menyembuhkan luka yang ada di hati Naya.
Di bawah langit yang masih tertutup awan, Naya memejamkan matanya, membiarkan angin malam berbisik lembut ke telinganya. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Yang ia tahu, kini bulan purnama itu terhalang awan, dan dirinya merasa terperangkap dalam bayangan rindu yang tak pernah terjawab.
BAB 7 PURNAMA YANG MENYAKSIKAN KITA
Malam itu, langit tampak lebih gelap dari biasanya. Tidak ada awan yang menghalangi sinar bulan purnama yang penuh. Bulan itu, yang selalu menjadi saksi bisu kisah mereka, seakan menunggu kedatangan mereka berdua. Taman kota yang dulu menjadi tempat pertama mereka bertemu kini tampak lebih tenang, hanya diterangi oleh lampu jalanan yang redup dan cahaya bulan yang menawan.
Naya berdiri di bawah pohon besar yang pernah mereka singgahi dulu. Kenangan itu kembali terbayang jelas dalam benaknya—senyuman Raka, tawa mereka yang saling berbagi cerita tentang hidup, tentang impian, dan tentang segalanya. Namun kini, segalanya terasa berbeda. Dua tahun berlalu sejak mereka berpisah tanpa kata, sejak Raka pergi untuk mengejar mimpinya di luar negeri, meninggalkan Naya dengan kenangan yang menggantung tanpa kepastian. Naya tak tahu harus bagaimana menghadapi pertemuan malam ini. Hatinya berdebar, campuran antara rindu, kebingungan, dan harapan.
Tiba-tiba, suara langkah kaki menghentikan lamunannya. Naya menoleh, dan di sana, di bawah cahaya bulan, berdiri sosok yang sudah lama ia rindukan. Raka. Ia terlihat sedikit lebih matang, dengan ekspresi yang lebih serius namun tetap memancarkan kehangatan yang selalu membuat Naya merasa tenang.
“Aruna,” panggil Raka dengan lembut, suaranya terdengar seperti angin malam yang menyentuh kulit. Nama itu selalu terdengar indah ketika keluar dari bibir Raka.
Naya tersenyum kecil, namun senyum itu tak mampu menutupi kegugupan yang melanda. “Kau datang,” ucapnya, meskipun itu sudah jelas sejak awal. Namun kata-kata itu keluar begitu spontan, seakan ingin mengungkapkan segala rasa yang terpendam dalam hati.
Raka mengangguk pelan dan berjalan mendekat. “Aku kembali, seperti yang aku janjikan.” Ia berhenti beberapa langkah di hadapan Naya, masih ada jarak di antara mereka, tapi kali ini bukan jarak fisik. Itu adalah jarak emosional yang telah dibangun selama dua tahun ini, yang belum tahu bagaimana cara untuk disusun kembali.
“Mengapa kita harus menunggu begitu lama?” tanya Naya, suaranya sedikit bergetar, bukan karena marah, tetapi karena perasaan yang begitu kuat. “Aku… aku selalu menunggu, Raka. Tapi kau pergi tanpa kata, tanpa memberi penjelasan.”
Raka menunduk sejenak, seolah memikirkan setiap kata yang akan keluar. “Aku tahu, Naya. Aku salah. Aku takut. Aku takut akan perasaan yang semakin dalam, yang aku rasakan padamu. Aku takut jika aku membiarkan diriku terlalu dekat denganmu, aku akan menyakitimu. Aku takut aku tidak bisa membuatmu bahagia. Jadi aku memilih pergi, berharap itu akan menyelesaikan semuanya.”
Naya menggigit bibirnya, mencoba menahan air mata yang hampir saja tumpah. “Kau memilih pergi karena takut, Raka? Kau tahu betapa aku merindukanmu, betapa aku berharap kita bisa menghadapi semuanya bersama. Kenapa kau tidak memberi tahu aku? Kenapa kita tidak bisa saling berbicara?”
Raka mengangkat wajahnya, matanya bertemu dengan mata Naya yang penuh dengan kejujuran dan kekecewaan. “Karena aku takut kalau kamu tidak akan mengerti. Aku tidak ingin mengecewakanmu, Naya. Tapi saat aku pergi, aku menyadari bahwa aku hanya melarikan diri dari perasaan yang nyata. Aku tidak pernah berhenti memikirkanmu, bahkan di setiap detik yang aku lewati di luar negeri.”
Keheningan menghampiri mereka, dan satu-satunya suara yang terdengar adalah desiran angin yang melintasi pepohonan. Naya menatap Raka dalam diam, mencoba menyelami perasaan yang sedang bergelora di hatinya. Rindu, cinta, dan amarah yang belum terungkap semuanya bertemu dalam satu waktu yang membingungkan. Namun, ada sesuatu yang berbeda malam ini. Sesuatu yang membuatnya merasa bahwa mungkin, setelah semua waktu yang terbuang, mereka akhirnya akan bisa mengatasi segalanya.
“Raka,” ujar Naya pelan, suaranya hampir tidak terdengar. “Aku tidak bisa menjanjikan bahwa kita tidak akan menghadapi masalah. Tapi aku ingin kita berjuang bersama, apapun itu. Aku tidak ingin lagi menunggu dalam kebimbangan. Aku ingin kita mulai dari sini, di bawah purnama yang sudah menyaksikan kita, sejak awal.”
Raka terdiam, seakan kata-kata Naya menyentuh inti hatinya. “Aku ingin itu juga, Naya. Aku ingin kita melangkah bersama. Aku ingin kembali ke tempat kita mulai, dan memperbaiki semuanya. Tidak ada lagi ketakutan, tidak ada lagi keraguan. Hanya ada kita, dan cinta yang tumbuh di antara kita.”
Kemudian, dengan hati yang penuh harapan, Raka melangkah lebih dekat. Ia meraih tangan Naya dan menggenggamnya dengan erat, seakan tak ingin melepaskannya lagi. Naya menatapnya, dan untuk pertama kalinya, di bawah sinar bulan yang terang, mereka berdua tahu bahwa mereka siap untuk melangkah maju bersama, menghadapi apapun yang datang.
“Jadi, apa yang akan kita lakukan sekarang?” tanya Naya dengan senyum penuh keyakinan, meskipun rasa takut masih ada di dalam hatinya.
“Kita mulai dengan satu langkah kecil,” jawab Raka, “dan biarkan purnama menyaksikan langkah kita, seperti yang selalu ia lakukan.”
Di malam itu, di bawah cahaya purnama yang menjadi saksi dari perjalanan cinta mereka, Naya dan Raka mengerti bahwa mereka telah melewati banyak hal—rindu, ketakutan, dan waktu yang terbuang. Tapi yang paling penting, mereka tahu bahwa mereka sekarang memiliki satu sama lain. Langkah pertama menuju masa depan mereka, dimulai di bawah sinar purnama yang abadi.***
————THE END————-