Daftar Isi
Bab 1 Kenangan yang Tertinggal
Maya memandangi langit sore yang mulai memerah dari jendela apartemennya. Di luar, suara klakson mobil dan langkah kaki yang terburu-buru menciptakan suara riuh kota Jakarta yang tak pernah tidur. Namun, bagi Maya, kesibukan itu terasa hampa. Sesekali, matanya menyapu pemandangan kota yang sudah begitu familiar, tetapi ada sesuatu yang hilang di dalam dirinya. Ia merasa seolah-olah ada bagian dari hidupnya yang tercecer di tempat yang jauh, entah di mana.
Rian.
Nama itu muncul begitu saja dalam pikirannya, seperti bisikan yang tak bisa ia hindari. Terkadang, dalam keramaian kota yang serba cepat ini, ia merasa begitu sendirian. Meskipun di sekelilingnya ada banyak orang, tak ada yang bisa menggantikan perasaan yang ia miliki untuk Rian—pria dari kampung halaman yang pernah menjadi segalanya baginya.
Maya menarik napas panjang, menekan perasaan rindu yang tiba-tiba muncul begitu kuat. Tiga tahun lalu, ia meninggalkan kampung halamannya di sebuah desa kecil di Jawa Barat untuk mengejar impian besar di Jakarta. Waktu itu, Rian memutuskan untuk tetap tinggal di desa, mengurus keluarganya, dan melanjutkan hidupnya di sana. Meskipun mereka berjanji untuk tetap menjaga hubungan, kenyataan jarak dan perbedaan impian akhirnya memisahkan mereka.
Ia mengingat dengan jelas malam terakhir mereka bertemu di desa. Malam itu, langit dipenuhi bintang, dan udara dingin menerpa wajah mereka yang sedang duduk di pinggir sawah, tempat mereka sering menghabiskan waktu bersama.
“Jangan lupakan aku, ya,” kata Rian waktu itu, menatapnya dengan mata yang penuh harap. Maya bisa merasakan betapa beratnya kata-kata itu keluar dari mulut Rian. Ia tahu betul bahwa Rian mencintainya lebih dari apa pun, dan ia juga merasakan hal yang sama. Tetapi Maya juga tahu bahwa impiannya lebih besar dari sekadar tinggal di desa dan hidup sederhana seperti yang Rian pilih.
“Aku nggak akan pernah lupakan kamu, Rian. Tapi aku harus pergi. Aku harus mengejar mimpi aku di kota besar,” jawab Maya, suara yang berat dan penuh perasaan.
Rian hanya mengangguk, namun Maya bisa melihat kesedihan yang terpancar dari matanya. “Aku tahu, Maya. Kamu punya jalanmu sendiri. Aku cuma berharap kamu bahagia. Meski aku tahu, aku nggak akan pernah bisa bahagia kalau kamu jauh dari sini.”
Maya menggenggam tangan Rian erat, mencoba memberi kekuatan pada keduanya. Ia tahu betul bahwa keputusan untuk pergi ini tidak mudah. Bahkan hingga detik terakhir, hatinya masih terasa berat. Tapi ia juga tahu, ia tidak bisa terus hidup dalam bayang-bayang keputusan yang tidak pernah diambil.
“Kita akan tetap berhubungan, kan? Kamu nggak akan lupa aku, kan?” tanya Rian, sedikit khawatir.
“Tentu saja, Rian. Kita akan tetap menjaga komunikasi,” jawab Maya, meskipun dalam hatinya ada rasa keraguan. Ia tahu bahwa meski berjanji, kenyataan akan lebih sulit. Tapi Maya berusaha meyakinkan dirinya bahwa ia bisa menjaga hubungan ini, meskipun jarak memisahkan mereka.
Perpisahan itu begitu indah dan begitu memilukan. Mereka berpelukan untuk terakhir kalinya, dengan janji di antara mereka yang masih menggantung, seperti bintang yang terang di langit malam. Tetapi, meskipun begitu banyak janji, kenyataan tak selalu seindah harapan.
Maya terbangun dari lamunannya, kembali ke kenyataan di ruang apartemennya yang dingin. Ia memeriksa jam di ponselnya; sudah hampir tengah malam. Pekerjaan yang menumpuk di meja kerjanya seakan tidak ada habisnya. Namun, di balik semua pencapaian kariernya yang gemilang, Maya merasa terperangkap dalam keheningan yang semakin menyesakkan.
Hari-hari berlalu tanpa henti, dan komunikasi dengan Rian semakin jarang. Beberapa bulan pertama, mereka sering bertukar pesan, berbicara lewat telepon hingga larut malam, berbagi cerita tentang kehidupan mereka yang berbeda. Namun, seiring berjalannya waktu, keduanya semakin sibuk dengan rutinitas masing-masing. Rian yang mengurus bisnis keluarga di desa, sementara Maya yang tenggelam dalam kesibukan di kota besar. Meskipun mereka berusaha untuk menjaga hubungan itu, perasaan mereka semakin merenggang, seolah-olah terpisah oleh waktu dan jarak yang tak terukur.
Maya sering bertanya pada dirinya sendiri, apakah keputusan untuk pergi itu benar? Apakah semua yang ia capai di Jakarta benar-benar sebanding dengan kehilangan yang ia rasakan? Dalam kesendirian malam itu, Maya merasakan keinginan yang kuat untuk kembali, untuk menemukan jawabannya, untuk menemukan dirinya yang hilang.
Tiga tahun tanpa Rian terasa begitu panjang, tetapi sesungguhnya, kenangan tentangnya tetap hidup dalam setiap sudut pikirannya. Wajah Rian, senyumnya, cara dia mengusap rambutnya saat gugup, itu semua masih sangat jelas dalam ingatannya. Bahkan suara Rian, meski sudah lama tak terdengar, masih bisa ia dengar di dalam hati.
Suatu pagi, Maya menerima sebuah pesan singkat dari sahabat lamanya yang masih tinggal di desa. Sahabatnya memberitahunya bahwa Rian sedang mengalami masa sulit sesuatu yang terkait dengan keluarganya. Rian tiba-tiba menghilang, tak ada kabar selama beberapa minggu. Sahabat Maya mengatakan bahwa Rian tampak sangat terluka dan cemas. Tanpa ragu, Maya merasakan dorongan kuat untuk kembali. Ia tahu bahwa ini bukan sekadar tentang Rian, tapi tentang dirinya sendiri, tentang perasaan yang selama ini ia sembunyikan, tentang kesempatan untuk memperbaiki apa yang telah terlewatkan.
Maya menatap ponselnya sejenak, menimbang-nimbang apakah ia siap untuk menghadapi kenyataan itu. Tapi, apa pun yang terjadi, ia tahu ia harus pulang. Pulang untuk menemukan dirinya lagi.
Maya memutuskan untuk kembali ke desa, meski hatinya penuh dengan keraguan. Tidak hanya tentang keadaan Rian, tetapi juga tentang dirinya. Apakah ia akan menemukan cinta yang dulu? Apakah Rian masih menunggunya? Atau apakah ia akan menemui kenyataan pahit bahwa waktu telah mengubah segalanya?
Namun, satu hal yang pasti, Maya tahu ia tidak bisa terus melarikan diri. Ia harus menghadapi masa lalu dan keputusan yang telah lama tertunda. Cinta dan kehidupan tidak bisa dipisahkan, dan mungkin, hanya dengan kembali, ia bisa menemukan jawaban yang selama ini ia cari.*
Bab 2 Lelah dalam Jarak, Menerima Kehilangan
Maya duduk di meja kerjanya dengan punggung yang terasa kaku, mata lelah memandangi layar komputer yang masih menyala. Jam di dinding menunjukkan pukul 1:30 pagi, namun pikirannya tidak bisa terfokus pada pekerjaan yang masih menumpuk. Sejak beberapa minggu terakhir, ia merasa seperti berada di persimpangan jalan yang tidak jelas arahnya. Tiga tahun di Jakarta, berjuang keras untuk membangun karier, tidak pernah membuatnya merasa benar-benar hidup. Ia sudah mencapai banyak hal, tetapi kenapa rasa kosong itu tidak juga hilang?
Rian.
Nama itu terus berulang dalam pikirannya, seperti deru angin yang menerpa dari kejauhan, membawa kenangan yang tak bisa ia hindari. Sudah bertahun-tahun sejak terakhir kali mereka benar-benar berbicara panjang lebar. Mereka masih saling mengirim pesan sesekali, namun perasaan yang dulu begitu kuat, yang dulu membuat mereka merasa seperti satu, kini hanya menjadi bayangan yang samar. Maya selalu meyakinkan dirinya bahwa ia bisa terus maju, bahwa jarak dan waktu tidak bisa menghancurkan apa yang mereka punya. Tapi kenyataannya, semakin lama mereka terpisah, semakin lelah ia merasakan beban hubungan ini.
Maya memijat pelipisnya, mencoba menepis perasaan sesak yang mulai menguasai dadanya. Terkadang, ia merasa seperti sedang berjuang dalam pertempuran yang tidak ada ujungnya. Ada bagian dalam dirinya yang terus berharap, bahwa suatu hari nanti, semuanya akan kembali seperti dulu—penuh dengan harapan dan semangat. Tapi ada juga bagian dalam dirinya yang mulai lelah dan hampir menyerah.
Pada malam-malam sepi seperti ini, ketika jarum jam bergerak lebih lambat dari biasanya, Maya teringat masa-masa di mana ia dan Rian masih bisa tertawa bersama, berbicara tentang apa pun, dan merencanakan masa depan yang cerah. Mereka sering duduk di tepi sawah, menikmati senja yang perlahan menghilang di balik pegunungan, dan berbicara tentang impian mereka. Maya ingin pergi ke kota besar, meraih cita-citanya, sementara Rian selalu berjanji akan tetap menunggunya, meskipun jarak akan memisahkan mereka.
Namun, setelah Maya pergi, komunikasi mereka semakin renggang. Awalnya, mereka masih sering mengirim pesan dan berbicara lewat telepon setiap malam. Tetapi semakin lama, pesan-pesan itu mulai terhenti, percakapan mereka semakin singkat, dan akhirnya, mereka hanya bertukar kabar sesekali. Maya merasa kesulitan untuk menemukan waktu yang tepat untuk meneleponnya, dan Rian sepertinya juga merasa canggung. Setiap kali mereka berbicara, ada ketegangan yang mengambang di udara, seolah-olah perasaan mereka yang dulu begitu hangat telah membeku oleh jarak yang semakin menjauh.
Pagi itu, ketika ia menerima pesan dari sahabat lama yang memberi kabar tentang Rian, Maya merasa sebuah dorongan kuat yang datang begitu saja. Sahabatnya mengabarkan bahwa Rian sedang mengalami kesulitan, dan tampaknya ia sedang mencoba menghindari orang-orang di sekitarnya. Maya merasa hati kecilnya tergerak. Tanpa pikir panjang, ia memutuskan untuk mengatur waktu dan pulang ke kampung halaman. Ia tahu bahwa ini adalah kesempatan yang mungkin tidak datang lagi kesempatan untuk kembali, untuk melihat apakah ada sisa cinta di antara mereka.
Namun, di balik dorongan hatinya untuk kembali, ada ketakutan yang mendalam. Apakah Rian masih mengingatnya? Apakah ia masih punya tempat di hatinya? Ataukah semuanya telah berlalu begitu saja, seperti kabut yang menghilang saat matahari terbit?
Setibanya di desa, Maya disambut oleh udara segar yang begitu berbeda dengan hiruk-pikuk Jakarta. Desa yang dulu ia tinggalkan kini terasa begitu damai, meski hatinya terasa berat. Jalan-jalan yang dulu ia kenal dengan baik, kini terasa asing. Ia berjalan menuju rumah orangtuanya, yang masih berdiri kokoh seperti dulu. Namun, ketika ia masuk ke dalam rumah, suasana yang hangat dan penuh kenangan itu justru membuatnya merasa semakin lelah.
Ia merasa seperti ada yang hilang sesuatu yang dulu selalu ada di dalam dirinya, yang memberinya kekuatan dan semangat. Sekarang, Maya merasa seperti seorang asing yang kembali ke tempat yang seharusnya ia sebut rumah, tetapi hatinya merasa kosong.
Hari pertama di desa, Maya tidak langsung menemui Rian. Ia memilih untuk beristirahat dan merenung, mengumpulkan kekuatan untuk menghadapi kenyataan yang mungkin sangat berbeda dengan apa yang ia bayangkan. Setiap sudut desa mengingatkannya pada kenangan indah bersama Rian—pagi-pagi buta saat mereka berjalan bersama menuju kebun, atau malam-malam di bawah bintang yang penuh janji. Semua kenangan itu terasa seperti bayangan yang semakin memudar, seperti sesuatu yang telah jauh tertinggal di masa lalu.
Malam pertama di desa, Maya merasa terjaga. Ia teringat kembali percakapan-percakapan panjang yang dulu ia miliki dengan Rian. Mereka sering berbicara tentang masa depan mereka bersama, tentang bagaimana mereka akan saling mendukung meski terpisah oleh jarak. Tetapi kenyataannya, hidup tidak semudah itu. Jarang ada yang tetap utuh setelah waktu dan jarak menguji kesetiaan dan cinta. Perasaan yang dulu begitu kuat dan tulus kini terasa seperti kenangan yang sudah tak lagi relevan.
Pagi berikutnya, Maya memutuskan untuk mengunjungi Rian. Ia merasa, meskipun berat, ia harus menemui Rian untuk melihat apakah ada sesuatu yang masih bisa mereka perbaiki, atau apakah memang sudah waktunya untuk melepaskan.
Rian tinggal di rumah kecil di pinggir desa, tak jauh dari kebun kelapa yang mereka rawat bersama. Rumah itu tampak sepi ketika Maya sampai di depan pagar. Maya mengetuk pintu dengan tangan gemetar, menunggu beberapa detik sebelum pintu itu akhirnya terbuka. Di sana, berdiri Rian dengan mata yang tampak lelah, seperti seseorang yang telah lama terhimpit beban yang tidak bisa ia ungkapkan.
“Rian,” kata Maya, suaranya bergetar.
Rian hanya mengangguk pelan, lalu memberi jalan agar Maya masuk. Suasana di dalam rumah itu terasa hampa, tidak seperti dulu. Rumah yang dulunya penuh dengan tawa mereka kini terasa sunyi, hanya ada suara angin yang menerpa daun-daun pohon kelapa di luar. Maya duduk di kursi yang sama, tempat mereka dulu sering bercanda dan berbicara tentang segala hal.
“Maafkan aku, Rian. Aku… aku nggak tahu harus bagaimana,” kata Maya, suaranya tertahan. Ia menatap Rian, tetapi Rian tidak mengangkat wajahnya. Ada jarak yang tak bisa ia lewati, meskipun hanya dengan kata-kata.
“Aku juga tidak tahu, Maya,” jawab Rian perlahan. “Aku sudah lama menunggu kamu, tapi aku juga tahu… aku nggak bisa menunggu selamanya.”
Maya merasa sesak di dada. Rasanya seperti sebuah kenyataan yang harus ia terima. Cinta, sekuat apa pun itu, bisa saja pudar, tertinggal oleh waktu dan jarak yang terlalu lama. Mungkin ini saatnya untuk melepaskan, untuk menerima bahwa tidak semua hal bisa dipertahankan. Cinta, meskipun tulus, kadang harus berakhir agar masing-masing bisa menemukan jalan hidup yang lebih baik.
“Mungkin kita sudah harus menerima kenyataan, Rian,” ujar Maya dengan suara yang hampir tak terdengar. “Aku juga lelah, lelah dalam jarak ini. Kita terlalu lama berharap pada sesuatu yang semakin menjauh.”
Rian menatapnya lama, dan meskipun ada kesedihan yang mendalam di matanya, ia akhirnya mengangguk. “Aku juga lelah, Maya. Aku… aku nggak bisa lagi hidup dalam kenangan. Aku harus melanjutkan hidupku.”*
Bab 3 Kembali ke Rumah, Kembali ke Hatimu
Maya berjalan perlahan menyusuri jalanan desa yang masih dipenuhi embun pagi. Udara yang segar, dihiasi dengan aroma tanah basah setelah hujan semalam, terasa begitu asing dan sekaligus menenangkan. Jalanan yang dulu ia kenal dengan baik kini terasa berbeda—tidak hanya karena sudah beberapa tahun ia meninggalkannya, tetapi juga karena hatinya yang kini dipenuhi dengan banyak pertanyaan.
Kenapa rasanya seperti ada sesuatu yang hilang, meskipun semua sudah seharusnya jelas? Pulang, setelah bertahun-tahun, seharusnya memberi rasa nyaman. Tetapi kenapa ia justru merasa seperti seorang asing?
Rumah orangtuanya sudah tampak dari kejauhan, dengan halaman yang luas dan pohon-pohon yang dulu sering ia panjat bersama Rian. Kenangan-kenangan itu datang begitu saja, begitu nyata. Maya berhenti sejenak di depan gerbang rumahnya, menatap bangunan yang selalu menjadi tempat pulang, tempat segala masalah bisa sejenak terabaikan. Di sini, ia dulu belajar banyak tentang kehidupan—tentang cinta, kehilangan, dan harapan. Tapi juga tentang keputusan yang tidak mudah dan berani.
“Aku sudah pulang, Ma…” gumam Maya pelan, hampir seperti bisikan untuk dirinya sendiri.
Saat ia masuk ke dalam rumah, ibunya menyambutnya dengan pelukan hangat. Seperti biasanya, ibunya tidak banyak bicara, hanya memeluknya erat dan mencium pipinya. Maya merasa aneh, seakan ada banyak perasaan yang terpendam. Ada rindu, ada kesedihan, dan juga rasa bersalah karena telah lama tidak pulang.
“Tadi pagi kamu sudah telpon, kan? Ada kabar dari Rian?” tanya ibu Maya dengan lembut.
Maya tersenyum tipis, meskipun hatinya terasa berat. “Iya, Bu. Aku sudah bertemu Rian.”
Ibu Maya mengangguk pelan, seolah mengerti tanpa perlu banyak berkata-kata. “Pulang itu kadang membawa jawaban, kadang juga membawa kita untuk bertanya lagi pada diri sendiri,” ujar ibunya bijak.
Maya hanya bisa terdiam. Ia tahu, kata-kata ibunya selalu penuh makna. Tapi kali ini, ia merasa bingung. Apakah ia sedang mencari jawaban atau justru lebih banyak pertanyaan setelah pertemuan dengan Rian tadi pagi? Apa yang harus ia lakukan sekarang?
Siang itu, setelah makan siang bersama keluarga, Maya memutuskan untuk berjalan-jalan sebentar di sekitar desa. Ia merasa perlu waktu untuk merenung, untuk mencari ketenangan. Langkahnya membawa kaki menuju tepi sawah yang dulu sering ia dan Rian kunjungi—tempat di mana mereka berbicara tentang mimpi, tentang masa depan, dan tentang hubungan mereka yang dulu terasa tak tergoyahkan.
Tetapi kini, tempat yang penuh kenangan itu justru membawa perasaan campur aduk. Ia duduk di batu besar yang biasa mereka gunakan untuk duduk bersama, menatap luasnya sawah yang terbentang hijau. Maya menyandarkan tubuhnya ke batu, membiarkan angin semilir menerpa wajahnya. Beberapa detik berlalu, dan dalam keheningan itu, ia merasa seperti seluruh dunia terhenti.
Kenangan-kenangan itu datang begitu jelas senyuman Rian, tawa mereka bersama, dan juga perasaan hangat yang mereka bagi. Mereka masih muda saat itu, dan dunia seolah terbuka lebar untuk mereka berdua. Namun, waktu mengubah segalanya. Maya mengejar mimpinya, dan Rian memilih tetap di sini, di tempat yang sama, menjalani kehidupan yang sederhana namun penuh arti. Cinta mereka seolah tertinggal di antara dua dunia yang berbeda, tidak bisa disatukan, tidak bisa dipertahankan.
Tiba-tiba, suara langkah kaki di belakangnya membuyarkan lamunannya. Maya menoleh, dan di sana berdiri Rian, mengenakan kaos putih lusuh dan celana jeans yang sudah sedikit usang, tapi tetap tampak gagah di matanya.
“Kamu sedang apa?” tanya Rian, suaranya tenang namun ada keraguan di dalamnya.
Maya tersenyum tipis, meskipun rasa cemas mulai kembali menghampirinya. “Mencari jawaban,” jawabnya pelan.
Rian duduk di sampingnya, diam sejenak. “Kamu bisa tetap tinggal, Maya. Kalau itu yang kamu inginkan. Aku nggak akan menghalangi.”
Maya menatapnya dengan tajam, seperti ingin menemukan sesuatu dalam tatapan itu. “Tapi aku bukan lagi orang yang sama. Rian, aku nggak tahu apa yang harus aku pilih. Aku merasa seperti… dua dunia yang saling berlawanan. Aku di sini, kamu di sana, dan kita berdua sudah berubah.”
Rian tidak menjawab, hanya menghela napas panjang. Ia memandang Maya dengan tatapan yang penuh pengertian, namun ada juga kesedihan yang terpendam. “Kita sudah lama tidak berbicara seperti ini, Maya. Dan aku juga nggak tahu apa yang seharusnya aku lakukan. Aku hanya tahu, aku masih mencintaimu. Tapi aku juga nggak bisa hidup dalam bayang-bayang yang lama. Kita harus memilih, entah untuk melanjutkan atau… berhenti.”
Maya terdiam. Kata-kata Rian seperti sebilah pisau yang menembus hati. Betapa beratnya keputusan yang harus mereka ambil. Di satu sisi, ia ingin tetap bersama Rian, merasakan kenyamanan itu lagi. Namun, di sisi lain, ia tahu bahwa jalan hidup mereka sudah terlalu jauh berbeda. Ia tidak bisa memaksakan diri untuk tinggal di desa dan meninggalkan semua yang telah ia bangun di kota.
“Rian, aku tidak tahu. Aku ingin kembali ke sini, tetapi aku juga ingin terus maju. Aku tidak bisa memilih antara impian dan cinta. Rasanya seperti aku harus melepaskan salah satunya,” kata Maya, suara terbata-bata.
Rian menatapnya, kemudian dengan pelan meraih tangan Maya. “Aku tidak ingin memaksamu, Maya. Aku ingin kamu bahagia, entah itu bersama aku atau tidak. Tapi, aku akan selalu menunggu jawaban dari hatimu. Kalau kamu memutuskan untuk kembali ke kota, aku akan mengerti. Kalau kamu ingin tinggal di sini, aku juga akan mengerti. Tapi, yang aku harap, kamu akan memilih untuk kembali ke hatimu sendiri.”
Maya menatap tangan Rian yang menggenggamnya, terasa hangat dan penuh kasih. Tiba-tiba, ia merasa seperti ada sesuatu yang hilang dalam dirinya. Selama ini, ia terlalu fokus pada cita-cita dan impian, hingga melupakan apa yang sebenarnya penting—tentang siapa yang ia cintai dan apa yang benar-benar ia inginkan dalam hidupnya.
“Aku ingin kembali ke sini, Rian,” kata Maya pelan, akhirnya memilih untuk mengungkapkan perasaannya. “Aku ingin kembali ke rumah, dan ke hatiku yang selama ini hilang. Aku ingin hidup yang lebih sederhana, yang lebih dekat dengan diriku sendiri. Tapi, aku juga tidak tahu bagaimana caranya. Aku takut, Rian. Aku takut jika aku memilih ini, aku akan kehilangan diriku yang dulu.”
Rian tersenyum lembut, memandang Maya dengan tatapan penuh pengertian. “Maya, aku tidak akan pernah memaksamu untuk memilih. Tapi aku percaya, ketika kamu memilih untuk kembali ke sini, kamu akan menemukan apa yang kamu cari.”
Maya mengangguk pelan. Saat itu, ia merasa seolah-olah ia telah menemukan jawaban yang selama ini ia cari—bukan dari Rian, bukan dari dunia luar, tetapi dari hatinya sendiri. Kembali ke rumah berarti kembali pada dirinya sendiri, kembali pada perasaan yang ia coba lupakan selama ini. Cinta tidak harus tentang memilih antara impian dan orang yang kita cintai, tetapi tentang menemukan keseimbangan dan keberanian untuk mengikuti kata hati.*
Bab 4 Menemukan Kembali Cinta, Menyembuhkan Luka
Pagi itu, Maya duduk di beranda rumah orangtuanya, menikmati secangkir kopi hitam yang baru diseduh oleh ibunya. Udara desa yang segar dan penuh dengan aroma tanah basah setelah hujan semalam terasa menenangkan, meskipun hatinya masih bergelora. Sejak pertemuannya dengan Rian beberapa hari yang lalu, banyak hal yang berubah dalam dirinya. Maya merasa seperti ada sesuatu yang baru, sesuatu yang telah lama terkubur dalam dirinya, kembali terbangun. Ia merasa lebih hidup, lebih utuh.
Ia memandangi ladang di depan rumah, yang dulunya ia dan Rian sering lewati bersama saat sore menjelang malam. Mereka pernah berjanji untuk selalu berjalan berdua di sana, berbicara tentang masa depan mereka, meskipun keduanya tahu bahwa dunia mereka berbeda. Tapi kenyataan telah membuktikan, meskipun mereka memilih jalan masing-masing, cinta mereka masih tertinggal di sana—di antara ladang, di antara kenangan yang sulit dihapuskan.
Namun, perasaan itu kini terasa berbeda. Tidak ada lagi keraguan di hatinya. Maya tahu apa yang ia inginkan. Mungkin perjalanannya tidak selalu mulus, mungkin ada luka yang tertinggal, tetapi ia akhirnya menyadari satu hal: cinta yang sejati tidak pernah hilang, ia hanya butuh waktu untuk disembuhkan.
Hari itu, setelah beberapa hari berada di desa dan banyak merenung, Maya merasa siap untuk melangkah lebih jauh. Ia ingin berbicara dengan Rian lebih mendalam, menyelesaikan semua perasaan yang masih menggantung. Mereka telah berbicara tentang banyak hal, tetapi selalu ada ketegangan yang tertinggal ketegangan tentang apakah mereka bisa kembali seperti dulu, atau apakah mereka sudah benar-benar berubah.
Setelah makan siang, Maya memutuskan untuk pergi ke kebun kelapa tempat Rian bekerja. Kebun kelapa itu masih seperti dulu, dengan pohon-pohon yang tinggi dan rindang, menghadap ke arah laut yang biru. Di tempat inilah, dulu mereka sering berbicara tentang impian mereka. Dan sekarang, Maya berharap bisa berbicara tentang impian yang baru—impian yang bisa mereka jalani bersama.
Ketika Maya tiba di kebun kelapa, ia melihat Rian sedang sibuk memanen kelapa. Rian tampak tak berubah, hanya saja matanya terlihat sedikit lebih dalam, seolah menyimpan banyak perasaan yang tidak bisa ia ungkapkan. Maya mendekatinya, dan Rian, yang awalnya tampak terkejut, akhirnya tersenyum tipis.
“Kamu datang ke sini,” kata Rian dengan suara yang terdengar lebih tenang daripada biasanya. “Ada yang bisa aku bantu?”
Maya mengangguk pelan, tetapi tidak langsung menjawab. Ia memandangi Rian, lalu mengalihkan pandangannya ke kebun yang luas di depan mereka. Suasana ini begitu akrab, seperti masa-masa ketika mereka masih muda dan penuh dengan harapan. Namun, kali ini, Maya merasakan kedamaian yang berbeda. Ia tahu bahwa meskipun semuanya berubah, ada satu hal yang tetap sama—rasa cinta yang tak pernah benar-benar pergi.
“Aku ingin bicara, Rian,” kata Maya akhirnya, suaranya lebih tegas dari yang ia bayangkan.
Rian berhenti bekerja dan duduk di bawah pohon kelapa, mengundang Maya untuk bergabung. “Tentu. Apa yang ingin kamu bicarakan?”
Maya duduk di sebelahnya, mencoba mengumpulkan kata-kata yang tepat. Ada banyak hal yang ingin ia sampaikan, tetapi ia juga tahu bahwa kata-kata tidak akan cukup untuk menjelaskan perasaannya. Perasaan yang telah lama terkubur, yang sekarang mulai muncul kembali dengan penuh kekuatan.
“Aku tahu kita sudah banyak berubah, Rian,” kata Maya pelan, menatap tanah yang dipenuhi akar kelapa. “Aku tahu kita memilih jalan yang berbeda, dan aku juga tahu bahwa aku sudah lama meninggalkanmu. Tapi setelah beberapa hari di sini, aku merasa aku kembali menemukan diriku. Aku merasa seolah-olah aku telah kehilangan sesuatu yang sangat berharga, dan itu adalah kita—kita berdua.”
Rian mendengarkan dengan seksama, namun wajahnya tetap serius. “Maya, aku… aku nggak bisa bilang aku tidak merasakan hal yang sama. Tapi kenyataannya, aku nggak tahu lagi apakah kita bisa kembali seperti dulu. Aku merasa banyak hal telah berubah, dan aku juga… aku juga takut.”
“Takut?” tanya Maya, menatapnya dengan heran. “Kenapa takut? Bukankah kita sudah lama saling mengenal? Kita tahu satu sama lain lebih dari siapa pun. Kenapa kita harus takut untuk mencoba lagi?”
Rian menarik napas dalam-dalam dan menatap Maya dengan mata yang penuh emosi. “Aku takut, Maya, karena aku tahu, meskipun kita bisa bersama lagi, banyak hal yang harus kita perbaiki. Cinta itu nggak cuma soal memilih, kan? Tapi tentang mengerti, tentang menerima semua kekurangan dan kelebihan. Aku nggak yakin aku bisa memberikanmu semua yang kamu butuhkan.”
Maya merasa hati kecilnya tergetar. Ia tahu bahwa Rian berbicara dengan penuh kejujuran, dengan keraguan yang tak bisa ia pungkiri. Namun, Maya juga tahu bahwa cinta bukanlah tentang kesempurnaan. Cinta adalah tentang perjalanan, tentang belajar menerima satu sama lain, meskipun ada kekurangan, meskipun ada luka yang pernah menggores hati.
“Aku tahu, Rian. Kita berdua punya luka, punya cerita yang belum selesai. Tapi aku ingin berusaha lagi. Aku ingin kita mencoba untuk menyembuhkan luka-luka itu bersama-sama. Aku tidak bisa berjanji semuanya akan kembali seperti dulu, tapi aku yakin kita bisa membuat cerita yang baru—cerita yang lebih baik, yang lebih kuat.”
Rian terdiam, seolah memikirkan setiap kata yang baru saja diucapkan Maya. Ada ketegangan dalam udara, seperti ada sebuah pilihan besar yang harus mereka ambil. Setelah beberapa detik yang terasa begitu lama, Rian akhirnya menatap Maya dengan tatapan yang lebih lembut.
“Aku… aku nggak tahu harus bilang apa, Maya. Tapi aku rasa, jika kita berdua benar-benar ingin mencoba, aku siap. Aku akan coba, meskipun aku tahu itu tidak mudah. Tapi aku tidak bisa menahan perasaan ini lagi. Aku masih mencintaimu.”
Maya merasa hatinya berdegup kencang. Perasaan itu, perasaan yang dulu sempat terkubur di dalam dirinya, kini muncul kembali dengan begitu kuat. Cinta itu ada, meskipun terlambat, meskipun ada banyak hal yang harus diperbaiki. Tapi Maya merasa bahwa ini adalah awal dari sebuah perjalanan baru, sebuah kesempatan untuk memulai lagi, untuk menemukan kembali kebahagiaan bersama orang yang ia cintai.
“Aku juga masih mencintaimu, Rian,” jawab Maya dengan suara yang penuh keyakinan. “Mungkin kita nggak bisa kembali ke masa lalu, tapi kita bisa membangun masa depan yang lebih baik. Kita bisa menemukan kembali cinta kita, dan menyembuhkan luka-luka yang ada. Bersama.”
Rian mengangguk perlahan, senyumnya muncul, meskipun masih ada kekhawatiran di matanya. Namun, Maya tahu, pada saat itu, mereka telah menemukan jalan kembali ke satu sama lain, ke cinta yang tidak pernah benar-benar hilang.*
Bab 5 Pulang untuk Memilih Keputusan Besar
Pagi itu, udara terasa lebih dingin dari biasanya. Maya duduk di beranda rumah orangtuanya, memandangi jalanan desa yang sunyi, hanya terdengar suara burung berkicau dari pepohonan. Ia memegang secangkir teh hangat di tangannya, meskipun perasaan di dalam hatinya terasa jauh lebih dingin. Sejak semalam, perasaan cemas dan bingung semakin mendalam. Ia tahu bahwa keputusan besar kini berada di ambang pintu hidupnya. Keputusan yang akan menentukan jalan hidupnya ke depan dan mungkin juga menentukan nasib hubungannya dengan Rian.
Maya sudah lama merasa terombang-ambing di antara dua dunia. Jakarta, tempat ia membangun karier dan mengejar mimpinya, adalah dunia yang jauh dari rumahnya di desa ini. Di sana, ia menjadi sosok yang berbeda, seseorang yang merasa penting dan berhasil. Namun, di balik semua pencapaian itu, Maya merasa ada yang hilang. Sesuatu yang lebih berharga dari sekadar kesuksesan dan kehidupan kota yang serba cepat. Sesuatu yang terletak di sini, di rumah ini, di desa ini, bersama orang-orang yang ia cintai. Dan di antara mereka ada Rian laki-laki yang pernah ia tinggalkan, yang sekarang kembali hadir dalam hidupnya dengan cara yang berbeda.
Maya menarik napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya. Ia tahu bahwa ia harus segera memilih. Kembali ke Jakarta dan melanjutkan kariernya, atau tinggal di sini, bersama Rian dan mengejar kebahagiaan yang sederhana, namun penuh arti. Dua pilihan yang bertolak belakang, dua dunia yang berbeda, dan dua hati yang saling mencintai, tetapi juga saling ragu.
Beberapa hari terakhir, setelah kembali dari kebun kelapa, Maya dan Rian semakin dekat. Mereka banyak berbicara, mencoba untuk saling memahami. Meskipun begitu, setiap kali Maya mencoba membayangkan masa depan mereka, selalu ada keraguan yang datang begitu saja. Apakah hidup yang sederhana di desa ini akan cukup untuk menahan segala keinginan dan ambisinya yang lebih besar? Apakah ia bisa melepaskan impian dan kenyamanan yang telah ia capai di Jakarta untuk memilih hidup yang lebih sederhana bersama Rian?
Rian, di sisi lain, selalu memberi ruang bagi Maya untuk memilih. Ia tidak pernah memaksakan apapun, tetapi Maya bisa merasakan betapa Rian ingin ia tinggal. Ia ingin hidup yang lebih tenang, jauh dari hiruk-pikuk kota, dan ia ingin berbagi hidup itu dengan Maya. Namun, ia tahu, keputusan ini bukan hanya tentang cinta. Ini tentang dua dunia yang harus dipilih dengan penuh pertimbangan.
Hari itu, setelah sarapan, Maya memutuskan untuk menemui Rian. Ia sudah membuat keputusan besar dalam dirinya, tetapi ia masih merasa perlu berbicara lebih banyak dengan Rian memastikan bahwa mereka berdua sepakat dengan apa yang akan terjadi selanjutnya. Maya pergi ke rumah Rian, yang terletak tidak jauh dari kebun kelapa tempat ia bekerja. Rumah kecil itu masih tampak sederhana, tetapi Maya bisa melihat bagaimana Rian telah berusaha membangun hidupnya di sini. Rumah itu mewakili kedamaian yang ia dambakan, tetapi mungkin juga sebuah rutinitas yang sulit diubah.
Saat Maya tiba, Rian sedang duduk di depan rumah, menatap jauh ke horizon. Pagi itu, sinar matahari menyentuh kulitnya dengan lembut, menciptakan bayangan panjang di tanah. Rian menoleh ketika mendengar langkah kaki Maya mendekat, dan senyum tipis langsung terbentuk di wajahnya.
“Kamu datang lebih pagi dari biasanya,” kata Rian, sedikit terkejut, namun ada kehangatan dalam suaranya.
Maya tersenyum lembut. “Aku pikir aku harus segera membuat keputusan, Rian. Aku nggak bisa terus ragu seperti ini.”
Rian menatapnya dengan tatapan penuh pengertian. “Keputusan tentang apa, Maya? Tentang kita?”
Maya mengangguk, lalu duduk di samping Rian. “Aku tahu kita sudah banyak bicara tentang masa depan, dan aku tahu bahwa aku harus memilih antara tinggal di sini atau kembali ke Jakarta. Tetapi, semakin lama aku berpikir, semakin aku merasa bahwa ini bukan hanya soal kita, tetapi juga soal siapa aku sebenarnya. Apa yang benar-benar aku inginkan dalam hidupku?”
Rian diam sejenak, seolah memberikan waktu bagi Maya untuk melanjutkan kata-katanya.
“Aku… Aku mencintaimu, Rian,” lanjut Maya dengan suara yang lebih dalam. “Aku masih mencintaimu, meskipun ada banyak hal yang kita harus pertimbangkan. Tapi aku juga tahu bahwa aku tidak bisa hidup di antara dua dunia yang berbeda. Aku tidak bisa terus hidup di dua tempat, dengan dua identitas yang berbeda.”
Rian menatap Maya dengan mata yang lebih lembut, seperti menunggu lanjutan dari kata-kata Maya.
“Aku ingin hidup yang lebih tenang, yang lebih sederhana, yang lebih dekat dengan diriku sendiri. Dan aku merasa, mungkin itu ada di sini, bersama kamu. Tapi, Rian… Aku juga tidak ingin melepaskan impian-impian yang sudah aku bangun di Jakarta. Aku takut jika aku memilih untuk tinggal di sini, aku akan kehilangan kesempatan yang sudah aku perjuangkan begitu lama.”
Maya menghela napas panjang, merasakan beban yang berat di dadanya. Rian menggenggam tangannya, memberikan ketenangan yang tak terucapkan. Ia tahu, ini adalah keputusan yang sulit bagi Maya, dan ia tidak ingin memaksanya untuk memilih sesuatu yang ia tidak inginkan.
“Aku tahu kamu sudah berjuang keras untuk hidupmu di Jakarta,” kata Rian lembut, “dan aku tidak akan pernah meminta kamu untuk meninggalkan semua itu hanya untuk aku. Tapi, jika kamu memilih untuk tinggal, Maya, aku janji kita akan mencari jalan bersama. Kita akan menemukan cara untuk membuat hidup kita bahagia, meskipun dengan cara yang lebih sederhana. Aku akan selalu mendukung keputusanmu, apa pun itu.”
Maya menatap Rian, merasakan cinta dan pengertian yang begitu tulus. Tetapi, kali ini, hatinya tidak lagi ragu. Ia tahu bahwa cinta bukan hanya tentang berkorban untuk satu sama lain, tetapi juga tentang saling mendukung dalam memilih jalan hidup yang paling sesuai dengan hati masing-masing.
“Rian, aku memilih untuk tinggal. Aku memilih untuk kembali ke sini, ke rumah, ke hati kita yang pernah terlupakan. Aku tahu ini tidak akan mudah, tapi aku percaya, kita bisa membangun masa depan bersama. Aku tidak akan melepaskan apa yang sudah aku capai di Jakarta, tetapi aku juga tidak ingin kehilangan diriku sendiri dalam proses itu. Aku ingin menemukan cara untuk hidup yang lebih seimbang, yang lebih dekat dengan apa yang benar-benar aku inginkan.”
Rian tersenyum lebar, dan untuk pertama kalinya sejak lama, Maya melihatnya begitu lega. Ada kilau kebahagiaan di matanya yang menghangatkan hati Maya. “Aku sangat bahagia mendengar itu, Maya. Aku tahu ini bukan keputusan yang mudah. Dan aku akan selalu mendukungmu, apapun yang terjadi. Kita akan melakukannya bersama.”
Maya merasa seolah-olah dunia ini kembali berada di tangannya. Keputusan ini mungkin bukan keputusan yang sempurna, tetapi itu adalah pilihan yang datang dari hatinya yang paling dalam. Ia tahu bahwa hidup tidak selalu harus dipenuhi dengan pencapaian dan ambisi besar. Kadang, hidup yang sederhana, yang penuh dengan cinta dan kebahagiaan kecil, justru adalah kebahagiaan yang sejati.***
————-THE END————-