Kisah Cinta
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
Kisah Cinta
No Result
View All Result

pilihan sulit

pilihan sulit

SAME KADE by SAME KADE
April 26, 2025
in Cinta Segitiga
Reading Time: 24 mins read
pilihan sulit

Daftar Isi

  • Bab 1: Awal yang Tak Terduga
  • Bab 2: Datangnya Rasa yang Lama
  • Bab 3: Antara Logika dan Rasa
  • Bab 4: Janji yang Pernah Diingkari
  • Bab 5: Ketika Hati Terbelah Dua
  • Bab 6: Tersesat Dalam Pilihan
  • Bab 7: Luka di Ujung Perjalanan
  • Bab 8: Akhir yang Tak Sempurna, Tapi Nyata

Bab 1: Awal yang Tak Terduga

Ketika Livia bertemu dengan Arka di sebuah seminar kampus, ia tak pernah menyangka pria yang begitu hangat itu akan mengubah hidupnya. Namun, di saat yang sama, masa lalunya Rian kembali datang membawa kenangan yang belum selesai.

Hujan turun sejak pagi hari, membuat suasana kampus menjadi sendu. Payung-payung berwarna-warni menghiasi halaman Fakultas Psikologi tempat Livia kuliah. Mahasiswi semester enam itu sedang berjalan tergesa-gesa menuju aula utama, tempat seminar pengembangan diri diadakan. Ia hampir terlambat, dan Livia sangat tidak suka datang di saat semua orang sudah duduk rapi dan menoleh ke arah pintu saat ia masuk.

Langkah kakinya terhenti sejenak saat melihat seseorang sedang membantu dosen menata kursi dan proyektor di dalam aula. Pria itu bukan wajah yang familiar. Rambutnya sedikit basah oleh gerimis, namun ia tetap terlihat rapi dalam kemeja putih dan celana hitam yang sederhana. Ia terlihat sangat fokus dan cekatan. Livia sempat berpikir dia mungkin panitia dari luar.

Ketika seminar dimulai dan pria itu diperkenalkan sebagai pembicara tamu, Livia mengangkat alisnya sedikit. Namanya Arka. Ia seorang psikolog muda yang cukup dikenal karena konten-konten edukatifnya di media sosial. Tidak hanya pintar, cara bicaranya yang tenang dan penuh empati membuat banyak peserta seminar terpukau.

Di tengah-tengah seminar, Arka mengangkat topik tentang “Self-Compassion” atau belas kasih terhadap diri sendiri. Ia menatap para mahasiswa dan berkata, “Seringkali kita menjadi hakim paling kejam untuk diri kita sendiri. Kita memaafkan kesalahan orang lain, tapi tidak untuk diri kita. Padahal, kita pun berhak untuk dimengerti dan dicintai, pertama-tama oleh diri kita sendiri.”

Livia terdiam. Kalimat itu seperti menampar sisi rapuh dalam dirinya. Beberapa tahun terakhir, hidupnya dipenuhi perjuangan antara melupakan dan memaafkan, terutama terhadap satu nama: Rian

Rian adalah cinta pertamanya. Hubungan mereka dimulai saat Livia masih duduk di bangku SMA. Rian adalah pria yang hangat, penuh kejutan, dan selalu tahu bagaimana membuatnya tersenyum. Namun hubungan itu berakhir pahit. Rian menghilang begitu saja, tanpa penjelasan, setelah janji-janji masa depan yang mereka ukir bersama. Livia belajar untuk membangun kembali dirinya dari serpihan rasa sakit yang Rian tinggalkan.

Selama seminar, Livia hanya diam. Ia tak pernah menyangka akan merasa terhubung secara emosional dengan seseorang yang baru ditemui. Arka tidak tahu apa pun tentang dirinya, namun kata-katanya menembus lapisan-lapisan pertahanan yang Livia bangun selama ini.

Setelah seminar selesai, Livia berdiri paling akhir. Ia melihat Arka sedang membereskan kertas-kertas presentasinya. Entah dorongan dari mana, Livia mendekat dan berkata,

“Terima kasih untuk seminarnya. Saya… merasa sangat terhubung dengan apa yang Bapak sampaikan.”

Arka tersenyum. “Kamu bisa panggil saya Arka saja. Terima kasih juga sudah mendengarkan. Kamu mahasiswa sini?”

Livia mengangguk. Mereka sempat berbincang sebentar. Hanya percakapan ringan, tapi cukup untuk membuat dada Livia terasa hangat. Ia tak tahu apakah itu perasaan kagum, atau hanya karena ia merasa dilihat oleh seseorang, untuk pertama kalinya setelah sekian lama.

Hari-hari setelah seminar itu berjalan biasa saja. Livia kembali ke rutinitas kuliah dan tugas. Namun pikirannya sering kembali pada sosok Arka. Ia bahkan mulai mengikuti akun media sosial Arka, membaca tulisan-tulisannya, dan merasa bahwa pria itu menyimpan ketenangan yang selama ini ia cari.

Namun semua berubah saat suatu malam, notifikasi ponselnya menyala. Sebuah pesan dari nomor tak dikenal muncul:

“Hai, Liv. Ini aku, Rian. Boleh kita ketemu? Aku tahu ini tiba-tiba… tapi aku ingin menjelaskan semuanya.”

Dada Livia berdegup keras. Tangannya gemetar. Nama itu seperti hantu yang tiba-tiba muncul kembali dari masa lalu. Ia tak tahu apakah ini sebuah takdir, atau ujian. Saat ia mulai membuka diri untuk sesuatu yang baru, seseorang dari masa lalu datang kembali mengetuk pintu hatinya.

Beberapa hari kemudian, Livia akhirnya menyetujui pertemuan dengan Rian. Mereka bertemu di sebuah kafe kecil dekat stasiun. Rian masih seperti dulu. Senyumnya hangat, tatapannya dalam, dan caranya memanggil “Liv” masih membuat jantung Livia berdetak tidak karuan.

“Aku pergi waktu itu karena ayahku sakit keras, Liv. Aku harus ikut pindah ke luar negeri secara mendadak. Aku… aku takut menjelaskan semuanya, karena aku nggak yakin akan kembali. Tapi sekarang aku di sini. Dan aku ingin menebus semuanya.”

Livia hanya terdiam. Ada bagian dari dirinya yang merindukan Rian, tapi ada juga bagian lain yang mengingatkan tentang luka yang pernah ditinggalkan pria itu. Ia pulang dari kafe itu dengan hati yang kacau.

Dalam seminggu, hidup Livia berubah drastis. Di satu sisi ada Arka yang membawa harapan dan kedamaian, di sisi lain ada Rian yang kembali dengan semua kenangan yang belum selesai. Ia belum tahu apa yang harus dipilih. Tapi satu hal pasti: semuanya berawal dari satu hari hujan, satu seminar, dan satu awal yang tak terduga.

Bab 2: Datangnya Rasa yang Lama

Kedekatan Livia dan Arka semakin intens. Namun pesan singkat dari Rian memicu luka lama yang belum benar-benar sembuh. Hatinya kembali diuji saat dua laki-laki dengan masa lalu berbeda hadir bersamaan.

Hujan belum juga reda sejak pertemuan Livia dan Rian di kafe. Langit seolah ikut menggambarkan isi hati Livia mendung, kelabu, dan penuh keraguan. Di satu sisi, ia masih merasakan getar dalam hatinya saat melihat wajah Rian. Tapi di sisi lain, Arka mulai mengisi ruang-ruang kosong yang selama ini ia pikir sudah tertutup.

Livia berjalan pelan di koridor kampus. Buku-buku kuliah ia peluk erat di dada, seolah menjadi pelindung dari badai pikiran yang bergejolak. Ia belum mengabari siapa pun tentang pertemuannya dengan Rian. Bahkan pada sahabat dekatnya, Reta, ia hanya berkata bahwa ia merasa lelah dan ingin pulang lebih awal.

Namun diam-diam, Livia sering membuka kembali pesan-pesan lama dari Rian yang masih tersimpan di ponselnya. Chat terakhir mereka adalah janji untuk bertemu pada malam tahun baru, lima tahun lalu. Tapi malam itu tak pernah datang. Yang ada hanya keheningan, dan pesan-pesan Livia yang tak pernah dibalas.

Kini, Rian kembali dengan wajah yang sama, suara yang sama, dan tatapan yang tak pernah berubah. Ia hadir dengan penjelasan dan penyesalan. Tapi apakah rasa itu juga masih sama?

Di sisi lain, Arka semakin sering muncul dalam hari-hari Livia. Mereka tak sengaja bertemu beberapa kali di perpustakaan kampus, dan bahkan sekali saat Livia sedang membaca di taman. Arka menghampirinya, membawa dua gelas kopi dari kantin kampus.

“Kamu suka kopi pahit?” tanya Arka sambil menyodorkan gelas.

“Suka. Kadang lebih jujur dari perasaan manusia,” jawab Livia ringan, membuat Arka tersenyum lebar.

Percakapan mereka berkembang dari hal-hal ringan menjadi obrolan yang dalam. Arka berbagi tentang pengalamannya menangani pasien-pasien muda yang penuh luka batin. Livia bercerita tentang kecintaannya pada menulis dan membaca puisi. Tanpa mereka sadari, waktu berlalu begitu cepat setiap kali bersama.

Namun, setiap momen bahagia itu seperti bayangan yang terganggu. Setiap kali Arka tersenyum, Livia merasa bersalah. Karena ada nama lain yang diam-diam masih menggema di hatinya: Rian.

Suatu malam, Livia duduk di balkon kosnya. Ia memandangi langit malam yang mulai cerah setelah berhari-hari tertutup awan. Ia membuka laptopnya dan mulai menulis—sebuah kebiasaan yang selalu ia lakukan saat hati tak tenang.

“Rasa yang datang kembali, tak selalu membawa jawaban. Kadang, ia hanya datang untuk menunjukkan bahwa luka belum sepenuhnya sembuh…”

Tangannya berhenti di atas keyboard. Ia menarik napas panjang. Dalam benaknya, ia kembali mengingat malam pertemuan dengan Rian.

“Aku masih mencintaimu, Liv. Tapi aku mengerti kalau kamu sudah bukan yang dulu lagi. Aku hanya ingin kamu tahu itu.”

Ucapan Rian itu terngiang-ngiang, membuatnya bingung dan takut pada perasaannya sendiri. Apakah ia benar-benar sudah melepaskan Rian? Atau ia hanya berpura-pura selama ini?

Hari Sabtu berikutnya, Livia memutuskan untuk bertemu lagi dengan Rian. Kali ini, bukan untuk mendengar penjelasan, tapi untuk mencari kejelasan bagi dirinya sendiri.

Mereka bertemu di taman kota, tempat favorit mereka dulu. Rian membawa dua bungkus es krim stroberi dan cokelat rasa favorit mereka berdua. Saat duduk di bangku taman yang dulu sering mereka kunjungi, Livia menatap Rian lekat-lekat.

“Kenapa kamu nggak pernah kirim satu pesan pun selama lima tahun ini? Satu saja, Rian.”

Rian menunduk. “Karena aku pengecut. Aku takut kamu membenciku. Aku pikir, lebih baik kamu melanjutkan hidup tanpa aku mengacaukannya lagi. Tapi aku salah. Setiap hari, aku merindukan kamu.”

Livia terdiam. Es krimnya sudah mulai mencair, tapi ia tak peduli. Ia mencoba membaca kejujuran di mata Rian. Dan untuk pertama kalinya, ia melihat air mata di sana.

Setelah pertemuan itu, Livia merasa lebih tenang. Tapi bukan karena ia mendapat jawaban, melainkan karena ia sadar bahwa hatinya tak lagi sederhana. Perasaan bukan sesuatu yang bisa dibagi dua dan diukur mana yang lebih berat. Ia mulai menyadari bahwa ia berdiri di tengah simpang jalan yang tak mudah.

Arka atau Rian. Masa depan atau masa lalu. Damai atau kenangan.

Dan di antara semua itu, yang paling sulit adalah menghadapi dirinya sendiri—karena di dalam hatinya, datangnya rasa yang lama telah membuka kembali luka yang belum sepenuhnya sembuh.

Bab 3: Antara Logika dan Rasa

Rian mewakili masa lalu penuh kenangan yang manis, sementara Arka membawa harapan akan masa depan yang tenang. Livia mulai terjebak antara logika yang menuntunnya ke satu arah dan perasaannya yang tak bisa dikendalikan.

Langit sore itu menguning keemasan saat Livia duduk di bangku taman kampus, memandangi lalu lalang mahasiswa yang mulai kembali ke aktivitas masing-masing. Di pangkuannya, tergeletak buku catatan yang belum sempat disentuh, sementara pikirannya terbang entah ke mana. Sejak pertemuan dengan Rian dan perbincangan yang menyisakan kegelisahan itu, hatinya seperti terombang-ambing. Belum reda gejolak lama, kini hadir pula sosok Arka yang tanpa disadari mulai menempati ruang di hatinya.

Livia merasa seakan sedang berdiri di persimpangan, dengan dua jalan yang sama-sama tidak menawarkan kepastian. Rian adalah masa lalu yang manis sekaligus menyakitkan. Arka adalah masa kini yang menenangkan namun belum ia kenal sepenuhnya. Dalam sunyi taman itu, ia bergumul dengan tanya: harus mengikuti logika yang menyuruhnya hati-hati, atau menyerah pada rasa yang menggoda?

Sejak pertemuan itu, Rian beberapa kali menghubungi Livia. Ia bersikap lembut dan sabar, mencoba memperbaiki hubungan mereka dengan cara yang perlahan. Namun setiap kali melihat pesan dari Rian, dada Livia sesak oleh ingatan. Masa-masa indah mereka di SMA, tawa di bawah pohon beringin, janji-janji kecil yang pernah terasa begitu nyata. Namun di balik kenangan itu, ada luka karena kepergian Rian tanpa sepatah kata pun.

“Aku nggak bisa langsung percaya lagi, Rian…” begitu kata Livia suatu malam melalui pesan suara. “Aku butuh waktu.”

Di sisi lain, Arka mulai menjadi bagian dari hari-harinya. Bukan sebagai kekasih, tapi sebagai teman bicara yang menyenangkan. Mereka sering bertukar pesan soal tugas kuliah, topik psikologi, bahkan kadang hal-hal remeh seperti film dan buku. Livia tidak pernah menyangka bisa tertawa seperti itu lagi. Ada kedamaian saat berbicara dengan Arka, berbeda dari gejolak yang biasa ia rasakan bersama Rian.

Suatu sore, Arka mengajak Livia menemaninya survei lokasi untuk workshop berikutnya di luar kota. Meski sempat ragu, Livia akhirnya setuju. Perjalanan satu hari itu membuka banyak ruang bagi mereka untuk berbicara lebih dalam. Di dalam mobil, di tengah lagu-lagu lawas yang diputar pelan, Arka bercerita tentang ibunya yang dulu seorang guru dan ayahnya yang seorang petani.

“Aku belajar banyak dari mereka soal hidup sederhana,” kata Arka sambil tersenyum. “Tapi aku juga belajar kalau kita nggak bisa terlalu lama tinggal dalam ketakutan. Kadang untuk tumbuh, kita harus berani meninggalkan zona nyaman.”

Kata-kata itu menancap dalam di hati Livia. Ia menyadari, selama ini ia mungkin terlalu sibuk memeluk masa lalu karena takut terluka lagi. Ia belum benar-benar memberi kesempatan pada dirinya sendiri untuk bahagia.

Namun malam itu, semuanya kembali berputar. Rian muncul di depan indekosnya, basah kuyup oleh hujan, dengan mata penuh luka.

“Aku nggak bisa terus berharap kalau kamu nggak kasih jawaban, Liv. Setidaknya kasih aku kesempatan. Bukan karena kita dulu pacaran. Tapi karena aku masih cinta.”

Livia terdiam lama. Ia menatap mata Rian, dan di sana ia melihat dua hal: cinta yang dulu pernah ia puja, dan luka yang belum sembuh.

“Rian… aku juga pernah sangat mencintaimu. Tapi cinta itu nggak cukup. Ada hal-hal yang retak dan belum tentu bisa diperbaiki.”

Rian tertunduk, namun ia tidak memaksa. Ia hanya berkata, “Kalau kamu memilih orang lain, aku akan terima. Tapi jangan biarkan rasa takut membuat kamu kehilangan orang yang mungkin bisa membuatmu bahagia.”

Kata-kata itu menghantui Livia sepanjang malam. Ia terbaring menatap langit-langit kamar, bertanya pada dirinya sendiri, siapa yang sebenarnya ia inginkan? Arka, yang memberinya ruang untuk menjadi diri sendiri? Atau Rian, yang kembali dengan penyesalan dan cinta yang belum padam?

Beberapa hari kemudian, Livia memutuskan untuk menjauh sejenak. Ia butuh waktu untuk mendengar hatinya sendiri, bukan suara dari luar. Ia mematikan ponsel, pergi ke rumah neneknya di desa, dan membawa serta jurnal kecil yang biasa ia gunakan untuk menulis perasaan.

Di tengah hijaunya sawah dan tenangnya udara desa, Livia menulis:

“Mungkin cinta bukan soal memilih siapa yang paling membuat jantung berdebar. Tapi siapa yang membuat kita merasa damai. Tapi bagaimana kalau keduanya memberiku rasa yang berbeda? Satu adalah rumah yang pernah aku huni, satu lagi adalah rumah yang belum aku kenali tapi terasa hangat?”

Dalam keheningan itulah, Livia mulai menyadari bahwa ia tak bisa hanya bergantung pada logika. Rasa harus ikut bicara. Namun ia juga tak bisa tenggelam dalam perasaan tanpa arah. Ia harus mengenali dirinya dulu sebelum memilih siapa yang ingin ia ajak berjalan bersama.

Dan mungkin, untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Livia merasa bahwa tak semua cinta harus berujung pada memiliki. Kadang, cinta mengajarkan kita untuk merelakan, dan membiarkan waktu menjawab apa yang belum bisa kita mengerti sekarang.

Bab 4: Janji yang Pernah Diingkari

Rian mencoba membuktikan bahwa ia telah berubah. Ia membawa Livia ke tempat-tempat penuh kenangan, membuatnya kembali bertanya-tanya: apakah cinta bisa kembali utuh setelah disakiti?

Senja mulai turun perlahan di langit kota, memancarkan semburat oranye yang sendu. Livia duduk di bangku taman kampus yang mulai sepi, ditemani suara dedaunan yang berguguran dan angin sore yang menghembus pelan. Di tangannya, sebuah buku catatan terbuka, tapi pikirannya jauh dari lembaran-lembaran yang seharusnya ia isi dengan materi kuliah. Sebaliknya, pikirannya berkelana ke masa lalu, pada satu nama yang kembali mengacaukan hatinya: Rian.

Sudah beberapa minggu sejak Rian kembali. Sejak pertemuan mereka di kafe kecil itu, Livia merasa seperti dilemparkan ke masa lalu, ke hari-hari penuh tawa dan rencana-rencana indah yang kini hanya tinggal bayang-bayang. Rian kembali dengan segala penjelasan, namun di benak Livia, satu pertanyaan tak kunjung mendapatkan jawaban yang memuaskan: mengapa ia pergi tanpa sepatah kata pun?

Sementara itu, kehadiran Arka semakin terasa dalam hidup Livia. Mereka sering bertukar pesan, sesekali bertemu untuk sekadar ngopi dan membicarakan hal-hal ringan. Arka adalah pria yang penuh perhatian, namun tidak mengekang. Ia hadir seperti langit pagi setelah badai malam, menenangkan dan memberi harapan.

Namun justru karena itulah, Livia merasa semakin terombang-ambing. Di satu sisi, ada logika yang membisikkan bahwa Arka adalah pilihan yang tepat. Di sisi lain, ada perasaan yang belum tuntas terhadap Rian, perasaan yang terus berusaha ia redam selama bertahun-tahun tapi kini menyeruak kembali dengan liar.

“Kamu kelihatan capek,” suara Arka memecah lamunannya. Pria itu tiba-tiba duduk di samping Livia, membawa dua gelas kopi hangat dari kedai kecil di dekat gerbang kampus. “Aku lihat kamu dari jauh, kayaknya lagi mikir keras.”

Livia tersenyum samar. Ia menerima kopi itu dan berkata, “Hidup memang lagi bikin capek. Tapi aku baik-baik saja.”

Arka menatapnya dalam. “Kalau kamu mau cerita, aku siap dengar.”

Livia hanya mengangguk. Ada bagian dalam dirinya yang ingin jujur, tapi ada juga ketakutan akan kehilangan seseorang yang baru saja memberi warna baru dalam hidupnya.

Beberapa hari kemudian, Livia memutuskan untuk menemui Rian lagi. Kali ini, bukan karena rindu, tapi karena ia butuh kejelasan. Mereka bertemu di tempat yang sama, tapi suasana hati Livia jauh berbeda.

“Aku cuma ingin satu hal, Rian. Kejujuran,” katanya begitu mereka duduk.

Rian menatapnya dengan tatapan bersalah. “Aku tahu aku salah, Liv. Waktu itu, aku panik. Semua terjadi begitu cepat. Ayahku jatuh sakit parah, dan kami harus pindah ke Australia dalam waktu seminggu. Aku nggak tahu harus gimana… Aku takut kamu membenciku kalau aku bilang aku akan pergi.”

“Dan kamu pikir aku nggak lebih membencimu karena kamu pergi tanpa penjelasan?” suara Livia meninggi. Ia berusaha menahan emosinya, tapi kata-kata Rian justru menambah luka yang selama ini berusaha ia sembuhkan.

“Aku menyesal, Liv. Sumpah. Selama bertahun-tahun, aku hidup dengan rasa bersalah. Aku selalu ingin kembali dan menjelaskan, tapi aku takut kamu sudah bahagia tanpa aku.”

Livia menghela napas panjang. “Masalahnya bukan cuma tentang penjelasan, Rian. Tapi tentang janji. Kamu janji nggak akan ninggalin aku. Kamu janji kita akan kuliah bareng, bangun masa depan bareng. Tapi kamu ingkar. Dan sekarang kamu kembali, berharap semua bisa kembali seperti dulu?”

Rian tertunduk. Tak ada kata-kata lagi darinya.

Livia berdiri. Matanya berkaca-kaca, tapi ia tersenyum pahit. “Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku sudah mencoba memaafkan. Tapi melupakan? Itu urusan lain.”

Malam itu, Livia duduk sendirian di kamarnya. Ia memandangi langit-langit sambil memeluk bantal, mencoba menata kembali kekacauan dalam pikirannya. Ia teringat pada satu malam di SMA dulu, saat Rian berjanji akan selalu ada untuknya. Mereka menulis impian di selembar kertas dan menggantungnya di pohon harapan di belakang sekolah.

“Kalau suatu hari kita berpisah, janji ya kita tetap saling cari,” kata Rian waktu itu. Dan Livia mengangguk, percaya penuh.

Tapi janji itu ternyata tak cukup kuat menahan kenyataan.

Esok harinya, Livia bertemu Arka. Mereka duduk di sebuah kafe yang tenang, tidak jauh dari taman kota. Kali ini, Livia membuka semua isi hatinya.

“Aku bingung, Ka. Aku masih sayang sama Rian, tapi aku juga takut. Takut kalau semuanya terulang lagi. Dan kamu… kamu hadir di saat aku bahkan nggak tahu hatiku masih bisa percaya sama orang lain.”

Arka menggenggam tangannya dengan hangat. “Liv, kamu nggak harus buru-buru ambil keputusan. Aku nggak akan maksa kamu milih. Aku cuma ingin kamu tahu, bahwa apa pun yang kamu putuskan, aku tetap ingin kamu bahagia.”

Livia menatap mata Arka. Di sana tidak ada paksaan, hanya ketulusan. Dan itu membuatnya makin sulit.

Antara janji yang pernah diingkari dan harapan yang baru tumbuh, Livia berdiri di persimpangan. Ia tahu bahwa apa pun pilihannya, akan ada hati yang mungkin terluka. Tapi ia juga sadar, kali ini ia harus memilih dengan hati-hati karena cinta yang tidak disertai ketegasan hanya akan melahirkan luka baru.

Bab 5: Ketika Hati Terbelah Dua

Livia merasa bersalah pada Arka yang begitu tulus. Namun ia juga tak mampu menolak getaran yang masih muncul saat bersama Rian. Di antara keduanya, ia mulai menyadari bahwa cinta tak selalu tentang siapa yang terbaik, tapi siapa yang paling bisa membuatnya merasa dirinya sendiri.

Malam turun dengan tenang, tapi tidak dengan hati Livia. Di balik jendela kamarnya yang tertutup tirai putih, ia duduk termenung. Angin berembus pelan, membawa suara jangkrik yang bersahut-sahutan di kejauhan. Di meja kecil di depannya, dua buah ponsel tergeletak. Satu berisi pesan dari Rian, satu lagi dari Arka. Keduanya bertanya hal yang sama dengan cara berbeda: “Apakah kamu punya waktu untukku besok?”

Pertanyaan sederhana, tapi cukup untuk membuat hati Livia kembali gamang.

Ia memejamkan mata, mencoba membiarkan pikirannya jernih. Tapi setiap kali ia mencoba menenangkan diri, bayangan masa lalu dengan Rian menyeruak, bercampur dengan kehangatan baru bersama Arka. Cinta yang belum selesai bertemu dengan cinta yang baru tumbuh. Bagaimana mungkin ia bisa memilih satu tanpa mengkhianati yang lain?

Keesokan harinya, Livia memutuskan bertemu Arka lebih dulu. Mereka duduk di sebuah kedai kopi di pinggir kota, tempat yang tenang dengan alunan musik jazz lembut mengisi ruang. Arka datang membawa senyum seperti biasa, tapi matanya mengandung kegelisahan yang tak bisa disembunyikan.

“Aku tahu kamu lagi banyak mikir,” katanya, menatap Livia dengan lembut. “Dan aku juga tahu, hatimu masih belum selesai dengan masa lalu. Tapi aku ingin kamu tahu, Liv, aku di sini bukan untuk menggantikan siapa-siapa. Aku hanya ingin jadi bagian dari masa depanmu.”

Livia menggigit bibir, berusaha menahan haru. “Aku takut, Ka. Takut kalau aku ambil keputusan yang salah. Takut kalau aku menyakiti kamu, atau malah menyakiti diriku sendiri.”

Arka menghela napas. Ia menggenggam tangan Livia, hangat dan mantap. “Hati manusia bisa mencintai dua orang sekaligus, tapi tidak bisa hidup dalam dua dunia. Suatu hari kamu harus memilih. Tapi bukan sekarang, kalau kamu belum siap. Aku akan tetap di sini, selama kamu masih mengizinkan aku ada.”

Beberapa jam setelah pertemuan itu, Livia bertemu Rian. Mereka berjalan di taman yang pernah mereka datangi saat SMA. Tempat kenangan itu seperti menyambut mereka dengan bisikan nostalgia yang menyakitkan.

“Kamu ingat tempat ini?” tanya Rian sambil menunjuk bangku kayu di bawah pohon besar.

“Ingat,” jawab Livia pelan. “Di sana kamu pertama kali bilang cinta.”

Rian tertawa kecil, tapi tawa itu penuh kesedihan. “Dan sekarang aku di sini lagi, mencoba merebut hatimu yang mungkin sudah bukan milikku.”

“Kenapa kamu pergi waktu itu, Rian? Maksudku… tanpa kata, tanpa perpisahan. Kamu tahu betapa hancurnya aku?”

Rian terdiam cukup lama sebelum menjawab. “Karena aku bodoh. Aku terlalu takut kehilanganmu, sampai aku malah benar-benar kehilanganmu. Aku pikir, kalau aku pergi tanpa pamit, kamu akan lebih mudah membenciku daripada merindukanku. Tapi ternyata, aku cuma membuat luka yang lebih dalam.”

Livia menunduk. Air mata mengalir diam-diam. Ia tak bisa membantah perasaan yang masih ada untuk Rian, tapi ia juga tak bisa mengabaikan Arka yang telah hadir dengan segala ketulusan.

“Rian… aku sudah tidak sama seperti dulu. Hatiku juga sudah bukan milik satu orang saja. Dan itu… menyakitkan.”

“Kalau kamu masih punya ruang untukku, sekecil apa pun, aku akan menunggu. Aku nggak minta kamu langsung memilih. Tapi tolong, jangan tutup pintunya.”

malam itu, Livia kembali duduk di balik jendela kamarnya. Ia menulis di buku hariannya, mencoba menumpahkan segala keruwetan hati:

“Aku mencintai dua orang dalam waktu yang bersamaan. Satu adalah masa lalu yang pernah mengisi hariku dengan mimpi dan luka. Satu lagi adalah masa kini yang memberi harapan dan kehangatan. Aku tahu pada akhirnya aku harus memilih. Tapi bagaimana jika pilihan itu justru menghancurkan salah satunya? Atau malah menghancurkan aku sendiri?”

Hari-hari berlalu dengan lambat. Livia mencoba menjaga jarak dari keduanya, memberi waktu untuk dirinya berpikir. Tapi cinta bukan soal logika saja. Cinta, pada akhirnya, adalah tentang keberanian.

Sampai suatu hari, Livia memutuskan menulis surat. Satu untuk Rian. Satu untuk Arka. Ia ingin jujur, meski jujur itu berat. Ia ingin mereka tahu isi hatinya, tanpa pura-pura.

Untuk Rian, ia menulis:

“Aku mencintaimu. Selalu. Tapi cintaku padamu adalah cinta yang belum selesai, bukan cinta yang sedang berjalan. Aku butuh waktu untuk tahu apakah itu cinta yang layak diperjuangkan kembali, atau hanya perlu dikenang dengan manis.”

Untuk Arka, ia menulis:

“Kamu datang saat aku hampir kehilangan harapan. Kamu membuatku percaya bahwa cinta bisa hadir dengan tenang dan dewasa. Tapi aku juga sedang belajar mengenali perasaanku sendiri. Aku ingin kamu tahu, bahwa aku tidak main-main. Aku hanya belum siap memilih.”

Ia menyerahkan dua surat itu dengan hati bergetar. Tapi entah kenapa, setelah itu ia merasa sedikit lebih ringan. Mungkin karena ia akhirnya jujur, baik pada mereka maupun pada dirinya sendiri.

Ketika hati terbelah dua, tidak ada jalan yang mudah. Tapi ada satu hal yang pasti: cinta yang sejati, akan tetap tinggal meski diuji. Dan Livia berharap, pada akhirnya, ia bisa mengenali cinta itu dengan hati yang tak lagi ragu.

Bab 6: Tersesat Dalam Pilihan

Tekanan datang dari keluarga, teman-teman, dan bahkan dari dirinya sendiri. Apakah Livia bisa memaafkan masa lalu? Ataukah ia akan memilih hubungan yang stabil namun tanpa gairah yang sama

Langit malam kota ini seperti cermin dari isi hati Livia: gelap, penuh bintang yang berkelip tapi tak cukup terang untuk menunjukkan arah. Ia berdiri di balkon apartemennya, menatap lampu-lampu kota yang berkedip seperti memanggilnya, sementara kepalanya dipenuhi suara-suara yang saling bertabrakan.

Hari-hari belakangan ini seperti sebuah lorong panjang tanpa ujung. Setiap langkah yang diambil terasa salah. Setiap keputusan yang coba dibuat, seolah mengarahkannya pada kebingungan yang lebih dalam. Ia mencintai Rian, masa lalu yang belum usai. Tapi kehadiran Arka membuatnya merasakan kembali sesuatu yang hampir ia lupakan: aman.

Masalahnya, cinta bukan hanya tentang kenyamanan. Cinta juga tentang keberanian untuk memilih.

Beberapa hari sebelumnya…

Livia berjalan cepat melintasi koridor fakultas. Kelas barusan tak sedikit pun menempel di kepalanya. Ia terlalu sibuk dengan pikirannya sendiri. Rian yang semakin sering hadir dalam hidupnya, tiba-tiba seperti kembali menjadi bagian dari hari-harinya. Dan Arka—dengan kesederhanaannya, dengan sabarnya—selalu ada, tak pernah menuntut, hanya menunggu.

Ia tahu, ini tidak adil bagi keduanya. Tapi bagaimana bisa adil, jika dirinya sendiri tak tahu siapa yang benar-benar ia butuhkan?

“Liv!” suara Rian memanggil dari arah tangga. Ia berdiri di sana, masih dengan senyumnya yang dulu pernah membuat hati Livia berdebar.

“Hai,” sahut Livia pelan.

“Aku tungguin kamu dari tadi. Mau pulang bareng?”

Livia ragu. Biasanya, ia akan menolak dengan alasan ada tugas. Tapi hari ini, entah kenapa, ia mengangguk. “Oke.”

Mereka berjalan menyusuri kampus, melewati taman yang dulu sering mereka datangi. Tempat mereka membahas masa depan, tempat di mana Rian pernah berjanji akan menemani Livia mengejar mimpi. Tempat yang kini terasa asing, namun tetap menyimpan serpihan kenangan.

“Kamu masih suka ke sini?” tanya Rian.

Livia menggeleng. “Sejak kamu pergi, aku jarang ke sini lagi.”

Rian menunduk. “Aku tahu aku salah. Tapi aku nggak pernah berhenti mikirin kamu.”

Livia menatapnya, mencoba membaca ketulusan di matanya. Tapi rasa sakit yang dulu masih meninggalkan bekas.

“Aku butuh waktu, Rian. Aku nggak tahu bisa percaya lagi atau tidak.”

Sementara itu…

Arka duduk sendiri di kedai kopi langganan mereka. Matanya sesekali melirik ponselnya. Sudah lebih dari satu jam sejak Livia bilang akan menyusul. Tapi pesan terakhir tak kunjung dibalas. Ia mencoba untuk tidak berpikir negatif. Tapi hatinya tak bisa dibohongi.

Arka tahu, ada sesuatu yang berubah. Bukan karena Livia menjauh, tapi karena sorot matanya kini berbeda. Seperti ada sesuatu yang membebani. Dan Arka cukup peka untuk menyadari bahwa “sesuatu” itu adalah seseorang.

Ia menghela napas panjang. Ia tahu sejak awal bahwa mencintai seseorang yang belum sepenuhnya pulih dari masa lalunya adalah perjudian besar. Tapi ia memilih bertaruh, berharap cintanya cukup kuat untuk mengobati luka itu.

Malam harinya…

Livia tak bisa tidur. Pikirannya berlarian liar, seperti anak-anak yang bermain di tengah hujan. Ia memandangi foto di dinding—foto dirinya saat wisuda SMA, berdiri di antara Rian dan sahabat-sahabatnya. Waktu itu, ia percaya masa depan mereka sudah tergambar jelas.

Tapi hidup, ternyata tidak sesederhana itu.

Ia kemudian membuka pesan dari Arka.

“Aku nggak akan tanya kamu habis dari mana. Tapi aku harap, kamu tahu bahwa kamu bisa cerita kapan saja. Aku di sini, Liv.”

Livia menahan napas. Pesan sederhana, tapi mampu membuat hatinya terasa sesak.

Ia menangis malam itu. Bukan karena sedih. Tapi karena takut. Takut harus memilih. Takut jika pilihannya menyakiti salah satu dari mereka. Dan lebih dari itu—takut jika ternyata, ia pun akan menyakiti dirinya sendiri.

Hari berikutnya…

Livia menemui sahabatnya, Naya, yang sudah lama menjadi tempat curhat setianya.

“Kamu harus milih, Liv. Nggak bisa kayak gini terus.”

“Aku tahu… Tapi aku bingung. Sama Rian, aku punya kenangan yang nggak bisa hilang. Tapi sama Arka, aku merasa dihargai, disayangi tanpa diminta.”

Naya menatapnya serius. “Pertanyaannya bukan siapa yang lebih mencintai kamu, tapi siapa yang bikin kamu jadi versi terbaik dirimu sendiri?”

Pertanyaan itu menampar Livia. Ia tak pernah berpikir sejauh itu. Tapi kini, ia sadar. Cinta bukan hanya tentang siapa yang dulu atau siapa yang hadir belakangan. Tapi siapa yang membuatnya merasa cukup, meski dunia di sekelilingnya tak sempurna.

Beberapa hari kemudian…

Livia meminta bertemu Arka. Di tempat pertama kali mereka kenalan—perpustakaan kampus.

“Aku tahu aku nggak adil buat kamu,” kata Livia pelan. “Aku terlalu larut dalam masa lalu, dan kamu yang harus sabar menunggu sesuatu yang nggak pasti.”

Arka tersenyum. “Liv, aku nggak menyesal kenal kamu. Tapi kalau kamu lebih bahagia dengan dia, aku ikhlas.”

Livia menggeleng, air matanya jatuh tanpa bisa ditahan. “Aku belum tahu, Ka. Aku cuma tahu, saat aku bareng kamu, aku ngerasa tenang. Tapi aku juga belum bisa sepenuhnya melepaskan Rian.”

Arka diam sejenak, lalu mengangguk. “Kalau gitu, kamu butuh waktu buat sendiri. Buat dengerin isi hati kamu sendiri. Aku nggak akan ganggu sampai kamu yakin sama pilihanmu.”

Malam itu…

Livia menulis di jurnalnya. Pertama kalinya sejak lama.

“Aku mencintai dua orang. Satu karena kenangan, satu karena harapan. Tapi aku sadar, aku nggak bisa mencintai dua hati jika hatiku sendiri belum bulat. Aku harus memilih, bukan karena siapa yang lebih baik, tapi karena aku juga ingin menjadi lebih baik. Untuk diriku sendiri.”

Apakah Livia akan memilih Rian, cinta pertamanya yang meninggalkan luka tapi masih menyisakan bara? Atau Arka, pria yang datang membawa ketulusan dan stabilitas?

Untuk pertama kalinya, ia memutuskan untuk berhenti berlari dari hatinya sendiri.

Karena dalam cinta, pilihan memang selalu sulit. Tapi lebih sulit lagi jika tidak pernah memilih.

Bab 7: Luka di Ujung Perjalanan

Keputusan Livia melukai satu hati, bahkan dua. Namun justru di sanalah ia mulai memahami bahwa cinta sejati bukan tentang memilih siapa yang paling mencintainya, tapi siapa yang bisa ia cintai tanpa merasa kehilangan dirinya sendiri.

Langit sore itu kelabu, seolah ikut menyerap segala kebimbangan dan kesedihan dalam hati Livia. Di tepi danau kecil di kota tempatnya tumbuh besar, ia berdiri sendiri, memandangi permukaan air yang beriak perlahan diterpa angin. Tempat ini dulunya adalah tempat favoritnya dan Rian, tempat mereka berbagi tawa, merancang masa depan, dan menggantungkan mimpi. Tapi sore itu, tempat itu terasa asing, penuh kenangan yang membebani.

Sudah hampir seminggu sejak Livia membuat jarak dari Rian maupun Arka. Ia tak membalas pesan, tak menjawab telepon, dan bahkan memilih menghindari tempat-tempat yang biasa mereka kunjungi. Ia butuh waktu sendiri, untuk berpikir, untuk memahami apa sebenarnya yang ia rasakan.

Ketika seseorang mencintai dua orang dalam satu waktu, apakah itu benar-benar cinta? Atau hanya kebingungan yang dibalut nostalgia dan harapan?

Pertanyaan itu terus menghantui Livia. Arka, dengan ketulusannya yang tak pernah menuntut, selalu memberinya ruang dan pengertian. Tapi Rian, dengan luka yang ia tinggalkan, juga membawa bagian masa lalu yang tak bisa begitu saja ia abaikan.

Livia menatap langit, mencoba menahan air mata yang mulai menggenang. “Kenapa semua ini harus terjadi?” gumamnya lirih. Di sisi lain kota, Rian duduk di dalam mobilnya, menatap ponsel yang sudah berkali-kali ia buka hanya untuk melihat bahwa pesan terakhirnya masih centang dua tanpa balasan. Ia menghela napas berat, merasa seperti kembali ke titik di mana ia dulu meninggalkan Livia—tanpa penjelasan, tanpa kejelasan.

“Apa aku terlalu egois?” tanyanya pada dirinya sendiri.

Rian tahu ia telah banyak salah. Keputusannya pergi tanpa pamit bertahun lalu adalah kesalahan besar. Tapi sekarang, setelah ia kembali dan menemukan Livia tidak lagi sendirian, hatinya terhimpit rasa sesal yang sulit dijelaskan. Ia ingin memperbaiki semuanya, tapi ia juga tahu bahwa waktu tak bisa diulang begitu saja.

Sementara itu, Arka tengah duduk di sebuah bangku taman kota, tempat ia dan Livia biasa bertemu. Di tangannya, ada sebuah buku yang selama ini ia gunakan untuk mencatat hal-hal kecil tentang hubungannya dengan Livia—dari tanggal pertama kali mereka nonton film bersama, hingga candaan-candaan ringan yang mereka bagi.

Halaman terakhir hanya berisi satu kalimat: “Apakah cinta bisa menunggu, jika yang ditunggu masih mencari arah?”

Arka menutup buku itu dan tersenyum pahit. Ia tahu Livia sedang berjuang, dan ia rela menunggu. Tapi di dalam hatinya, ketakutan mulai tumbuh. Takut kalau waktu yang ia berikan hanya akan menjadi ruang bagi Livia untuk kembali pada masa lalunya.

Livia kembali ke rumah menjelang malam. Lampu-lampu jalan mulai menyala, menerangi jalanan yang basah oleh gerimis. Di kamarnya, ia membuka kotak kecil yang selama ini ia simpan di bawah ranjang. Kotak itu berisi surat-surat lama dari Rian, foto-foto mereka saat SMA, dan selembar kertas mimpi yang mereka tulis bersama.

Matanya tertumbuk pada satu tulisan: “Kalau pun kita terpisah, aku akan kembali. Karena kamu adalah rumah.”

Livia menutup matanya, menahan emosi yang meluap. Semua kenangan itu membekas, terlalu dalam untuk dihapus begitu saja. Tapi ia juga tahu, terlalu dalam tenggelam dalam masa lalu hanya akan menenggelamkan masa depan.

Ia kemudian membuka galeri ponsel, melihat foto-foto bersama Arka. Tawa mereka, cara Arka memandangnya seperti ia satu-satunya di dunia—semua itu adalah kenyataan yang kini hadir, bukan hanya bayang masa lalu.

Beberapa hari kemudian, Livia mengundang Rian dan Arka secara terpisah untuk bertemu. Ia tahu, ini saatnya membuat keputusan. Meski menyakitkan, ia tak ingin lagi membuat dua hati menggantung, termasuk hatinya sendiri.

Pertemuan pertama ia lakukan dengan Rian, di danau yang sama. Tempat mereka memulai dan, mungkin, mengakhiri.

“Aku ingin kita bicara satu kali lagi, dengan jujur, tanpa harapan dan tanpa beban,” kata Livia membuka pembicaraan.

Rian menatapnya, tatapannya penuh harap namun juga siap menerima apa pun jawaban yang akan ia terima.

“Aku masih menyayangimu, Rian. Tapi aku juga menyadari, aku bukan lagi gadis yang dulu menunggumu di stasiun. Aku sudah banyak berubah. Dan kamu juga…”

“Aku mengerti,” Rian memotong dengan suara pelan. “Kalau kamu bahagia dengan orang lain, aku akan mundur. Tapi jangan pernah berpikir aku tidak menyesal. Setiap malam aku dihantui rasa bersalah.”

Livia menunduk, lalu perlahan menatap mata Rian. “Maafkan aku, Rian. Tapi mungkin kita memang hanya bagian dari masa lalu satu sama lain.”

Pertemuan kedua, Livia lakukan dengan Arka, di kafe tempat mereka pertama kali bertemu.

“Aku udah nemuin jawabannya,” kata Livia pelan. “Tapi aku nggak tahu apakah kamu masih mau dengar.”

Arka menatapnya, tenang namun sedikit gugup. “Apa pun itu, aku siap dengar.”

“Aku memilih kamu, Ka. Bukan karena aku lupa masa lalu, tapi karena aku ingin berjalan ke depan. Dan kamu… kamu selalu jadi tempat aku merasa tenang, bahkan di tengah badai.”

Arka tak berkata apa-apa. Ia hanya menarik napas dalam, lalu menggenggam tangan Livia. “Terima kasih. Dan kamu juga tahu, bukan, bahwa aku nggak akan pernah berhenti buat berjuang untuk kebahagiaan kamu?”

Livia tersenyum, matanya berkaca-kaca. “Aku tahu.”

Namun, hidup tak selalu memberi jalan mulus setelah keputusan diambil.

Beberapa minggu kemudian, Livia menerima kabar bahwa Rian mengalami kecelakaan saat dalam perjalanan kembali ke kota asalnya. Kecelakaan itu tidak merenggut nyawanya, tapi cukup membuatnya harus dirawat lama.

Livia menjenguk Rian, membawa bunga dan doa. Saat melihat wajah Rian yang terbaring lemah, hatinya seperti ditarik kembali ke simpul simpati yang dulu sangat ia kenal.

“Aku senang kamu datang,” bisik Rian saat sadar.

“Aku janji, aku nggak akan pergi kali ini. Sebagai teman,” jawab Livia.

Dan itulah luka yang tertinggal di ujung perjalanan—perasaan yang tak pernah selesai, tapi harus diikhlaskan.

Bab 8: Akhir yang Tak Sempurna, Tapi Nyata

Setelah luka, tangis, dan kejujuran, Livia membuat keputusan. Bukan keputusan yang membuat semua orang senang, tapi keputusan yang membuat hatinya tenang. Cinta segitiga itu berakhir, tapi kisahnya terus hidup.

Langit sore tampak kelabu, seolah ikut merasakan gundah yang bergelora dalam hati Livia. Di hadapannya terbentang dua jalan yang tak pernah ia bayangkan harus ia pilih: satu, adalah jalan kenangan yang tak kunjung tuntas; yang lainnya, adalah jalan masa depan yang penuh ketidakpastian, namun menawarkan harapan baru.

Sudah hampir sebulan sejak percakapan terakhirnya dengan Rian dan Arka. Sejak malam itu, Livia memilih menjauh dari keduanya—bukan karena benci, tapi karena ia perlu waktu. Ia tak ingin memutuskan hanya karena dorongan emosi sesaat. Ia ingin benar-benar mendengarkan dirinya sendiri.

Setiap malam, Livia menulis di buku hariannya. Menumpahkan kebingungan, kerinduan, kemarahan, dan cinta yang saling bertabrakan. Ia mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan yang tak kunjung habis:

Apakah cinta harus selalu dimenangkan oleh kenangan? Apakah seseorang yang datang lebih dulu selalu punya tempat lebih dalam di hati? Ataukah yang datang belakangan, yang setia menunggu dan mencintai tanpa syarat, justru yang lebih layak dipilih?

Pertanyaan-pertanyaan itu terus menghantuinya.

Di hari itu, Livia memutuskan untuk menulis surat. Bukan untuk diberikan, tapi untuk menumpahkan isi hatinya pada dua orang yang mengisi dunianya dalam waktu yang bersamaan.

Untuk Rian,

Kamu adalah bab pertama dari kisah cintaku. Dari kamu, aku belajar bagaimana rasanya jatuh cinta untuk pertama kali—rasanya manis, gugup, dan kadang menyakitkan.

Aku tidak pernah membenci kepergianmu, meski aku butuh waktu lama untuk bisa menerima. Kamu adalah sosok yang mengajarkanku arti kehilangan. Kamu membuatku sadar bahwa janji bisa patah, tapi rasa—entah bagaimana—tetap bertahan.

Tapi sekarang, aku bertanya pada diriku sendiri, apakah rasa itu masih sama? Ataukah hanya sisa-sisa dari sesuatu yang sudah lama berlalu?

Aku pernah menunggumu. Tapi waktu tak berhenti berjalan hanya karena aku berharap.

Untuk Arka,

Kamu datang saat aku bahkan tak tahu apakah aku masih pantas untuk dicintai. Kamu tidak mencoba menjadi penyelamat. Kamu hanya duduk di sampingku, mendengarku, dan mencintai tanpa banyak kata.

Kamu membuatku merasa utuh, meski aku sedang rapuh. Kamu bukan kenangan, kamu adalah sekarang. Tapi yang aku takutkan… apakah aku bisa membalas cintamu sepenuhnya?

Karena cinta, sejujurnya, bukan hanya tentang siapa yang pantas. Tapi siapa yang benar-benar menyentuh bagian terdalam dari hati kita.

Livia menutup buku harian itu dengan mata berkaca-kaca. Ia merasa seperti menggenggam pecahan-pecahan kaca. Apa pun pilihannya, akan ada rasa sakit. Akan ada seseorang yang merasa ditinggalkan.

Namun mungkin memang begitulah cinta yang sesungguhnya—tidak selalu adil, tidak selalu indah. Tapi nyata.

Malam itu, Livia mengirim pesan pada Rian dan Arka. Isinya sama:

“Besok, pukul 5 sore, aku ingin bertemu kalian. Di taman belakang kampus.”

Ia tahu risikonya. Mungkin akan ada kata-kata yang menyakitkan. Tapi ia tak ingin bersembunyi lagi. Ia ingin menyelesaikan semuanya—bukan dengan sempurna, tapi dengan jujur.

Esok harinya, matahari mulai condong ke barat saat Livia tiba di taman kampus. Hatinya berdebar tak karuan. Rian datang lebih dulu, mengenakan jaket hitam kesukaannya. Tak lama kemudian, Arka muncul, dengan wajah tenang namun penuh tanya.

Mereka bertiga duduk di bangku kayu panjang. Tak ada yang bicara selama beberapa menit. Hanya angin sore yang berusaha menenangkan suasana.

“Aku… terima kasih karena kalian datang,” suara Livia akhirnya memecah diam. “Aku tahu ini sulit. Untuk kalian. Untuk aku juga. Tapi aku nggak bisa terus seperti ini.”

Rian menunduk. Arka tetap menatap lurus ke depan.

“Aku mencintai kalian. Dengan cara yang berbeda. Tapi aku sadar, aku harus memilih. Karena kalau tidak, aku hanya akan menyakiti kalian berdua—dan juga diriku sendiri.”

Rian membuka suara lebih dulu. “Apapun keputusanmu, Liv, aku akan terima. Aku sudah salah satu kali, dan aku nggak mau jadi alasan kamu menyesal lagi.”

Arka menyusul. “Aku juga. Aku hanya ingin kamu bahagia. Kalau itu bukan sama aku… aku akan belajar untuk melepaskan.”

Livia menahan napas. Ia tahu ini saatnya.

“Aku memilih… untuk tidak memilih salah satu dari kalian saat ini.”

Rian dan Arka menoleh bersamaan.

“Aku butuh waktu. Untuk benar-benar menyembuhkan. Aku sadar, cinta yang belum sembuh hanya akan jadi beban bagi siapa pun yang bersamanya. Aku nggak mau memulai cinta baru dengan hati yang masih terbagi.”

Rian tertawa kecil, getir. “Kamu selalu bijak, Liv. Bahkan saat kami berdua di hadapanmu seperti ini.”

Arka hanya mengangguk pelan. Wajahnya tak menunjukkan kekecewaan, tapi juga tak bisa disembunyikan sepenuhnya.

“Aku akan pergi ke luar kota. Magang di Bandung selama tiga bulan. Aku akan pakai waktu itu untuk benar-benar mengenal diriku lagi. Setelah itu… jika takdir mempertemukan kita kembali, kita lihat apa yang masih tersisa.”

Keheningan kembali melingkupi mereka. Tapi kali ini, bukan karena kebingungan. Melainkan karena penerimaan.

malam itu, untuk pertama kalinya, Livia tidur dengan perasaan tenang. Ia tak lagi merasa terburu-buru untuk mencintai. Tak lagi tertekan untuk memilih. Ia hanya ingin menjadi dirinya sendiri dan mencintai dengan sepenuh hati, ketika waktunya tiba.

Karena cinta tak selalu berakhir bahagia. Tapi cinta yang nyata, akan selalu menyisakan pelajaran.

Dan akhir yang tak sempurna, bisa jadi adalah awal dari kebahagiaan yang sebenarnya.***

Source: ASIFA HIDAYATI
Tags: #CintaDanLogika#CintaTakBiasa#HubunganRumit#KisahPatahHatiDilemaCinta
Previous Post

KAMU PERGI, AKU MASIH DISINI

Next Post

” RINDU YANG TAK PERNAH TAHU WAKTU “

Related Posts

” RUANG RINDU DI ANTARA KITA “

” RUANG RINDU DI ANTARA KITA “

April 30, 2025
ANTARA KAMU, DIA DAN LUKA YANG TERTINGGI

ANTARA KAMU, DIA DAN LUKA YANG TERTINGGI

April 29, 2025
CINTA SEGITIGA

CINTA SEGITIGA

April 28, 2025
CINTA TERBELAH DUA

CINTA TERBELAH DUA

April 25, 2025
DILEMA CINTA SEGITIGA

DILEMA CINTA SEGITIGA

April 16, 2025
TAKDIR YANG MEMBELAH CINTA KITA

TAKDIR YANG MEMBELAH CINTA KITA

April 25, 2025
Next Post
” RINDU YANG TAK PERNAH TAHU WAKTU “

" RINDU YANG TAK PERNAH TAHU WAKTU "

Terpaksa Menjadi Wanita Simpanan Ayah Tiriku

Terpaksa Menjadi Wanita Simpanan Ayah Tiriku

CINTA YANG SELALU MENYALA

CINTA YANG SELALU MENYALA

Top Stories

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

May 17, 2025
KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

May 16, 2025
KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

May 15, 2025

Tentang Kisah Cinta

Kami menyajikan kumpulan novel dan cerpen cinta yang menggambarkan berbagai sisi cinta, dari yang manis hingga yang pahit, dari yang bahagia hingga yang menyayat hati

Connect on Social

© 2024 Kisahcinta.id

No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta

© 2024 Kisahcinta.id