Daftar Isi
Bab 1: Kenangan yang Tertinggal
Alya sedang duduk di meja kerjanya di sebuah kafe di Jakarta, membuka album foto lama di ponselnya. Foto-foto masa lalu yang diambil bersama Andrian senyum manisnya, tawa riangnya, dan momen-momen bahagia yang tak tergantikan. Namun, ada satu foto yang menarik perhatiannya. Itu adalah foto terakhir mereka bersama sebelum Andrian pergi.
Kembali ke beberapa tahun yang lalu, saat Alya dan Andrian pertama kali bertemu di kampus. Mereka adalah dua orang yang tak pernah terpisahkan, sering menghabiskan waktu bersama hingga akhirnya Andrian mendapat tawaran untuk melanjutkan pendidikan ke luar negeri. Cinta mereka diuji dengan jarak, dan meskipun mereka berjanji untuk saling menunggu, perasaan itu akhirnya meredup perlahan.
Alya merasa sakit hati, meskipun ia mencoba untuk memahami keputusan Andrian, ia merasa bahwa hubungan mereka sudah tidak sama lagi setelah komunikasi mereka semakin jarang. Andrian merasa tekanan untuk terus berjuang di luar negeri dan memilih untuk mengakhiri hubungan itu demi mengejar cita-citanya.
Alya duduk di meja kerjanya, menatap layar laptop yang kosong. Sesekali, matanya melirik ke luar jendela, tempat hujan rintik-rintik membasahi trotoar kota Jakarta. Suasana yang sepi, hanya terdengar suara hujan dan bunyi klakson kendaraan yang jauh di luar sana. Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya yang sudah mulai lelah setelah berjam-jam bekerja.
Namun, kali ini pikirannya tidak tertuju pada proyek yang sedang ia kerjakan. Matanya justru tertuju pada sesuatu yang lebih personal, yang jauh lebih rumit. Di atas meja, tergeletak sebuah kotak kecil berwarna coklat, kotak yang sudah lama tidak ia buka. Sebuah kotak yang berisi kenangan tentangnya—kenangan tentang Andrian, pria yang dulu sangat berarti dalam hidupnya.
Dengan hati-hati, Alya membuka kotak itu. Di dalamnya, terdapat beberapa barang yang pernah mereka bagi bersama—sebuah foto lama yang diambil di sebuah taman, tiket bioskop yang mereka saksikan bersama, dan beberapa surat yang ditulis Andrian untuknya. Saat jarum jam bergerak perlahan, Alya merasakan sebuah perasaan yang sulit dijelaskan, seperti ada sesuatu yang menggelitik di dadanya. Ia merasa hampa, seolah kenangan itu masih terjebak dalam ruang-ruang yang telah lama ia coba lupakan.
Alya memungut foto pertama yang ada di kotak itu, foto yang diambil di sebuah taman di Jakarta beberapa tahun yang lalu. Foto itu diambil di suatu sore yang cerah, saat mereka masih merasa dunia ini hanya milik berdua. Mereka tertawa bahagia, mengenakan pakaian kasual, dengan Andrian yang memeluk Alya dari belakang sambil tersenyum lebar. Alya bisa merasakan bagaimana hangatnya pelukan itu, bagaimana perasaan aman yang selalu ia rasakan saat bersama Andrian. Waktu itu terasa begitu sempurna, tak ada yang bisa menghalangi kebahagiaan mereka.
Namun, kenangan itu kini terasa seperti sebuah bayangan. Kenangan yang dulu terasa hidup, kini hanya meninggalkan bekas luka di hati Alya. Ia tersenyum kecil, namun senyumnya terasa pahit. Andrian telah lama pergi, dan meskipun mereka berusaha mempertahankan hubungan jarak jauh, akhirnya semuanya berakhir. Keputusan Andrian untuk pergi ke luar negeri demi mengejar impian dan cita-citanya menjadi titik balik yang memisahkan mereka. Alya merasa seolah-olah dirinya hanya menjadi bagian dari cerita yang harus ditinggalkan, menjadi kenangan yang terlupakan.
Alya menatap layar ponselnya, merenung sejenak. Ia sudah lama tidak mendengar kabar dari Andrian. Mereka sempat berjanji untuk tetap berhubungan, untuk tetap menjaga cinta meskipun terpisah oleh jarak. Namun, setelah beberapa bulan berlalu, komunikasi mereka semakin jarang. Pesan-pesan singkat yang dulu selalu mereka kirimkan setiap hari, kini hanya menjadi kenangan belaka. Tidak ada lagi kata-kata manis, tidak ada lagi tawa yang menghangatkan hati. Yang tersisa hanya rasa sepi yang kian menggunung.
Alya mengingat kembali malam terakhir mereka bertemu, saat Andrian memutuskan untuk mengakhiri hubungan mereka. Mereka duduk di sebuah kafe kecil di dekat kampus, tempat yang biasa mereka kunjungi. Suasana saat itu terasa begitu sunyi, tidak seperti biasanya. Alya bisa melihat keraguan di mata Andrian, ragu-ragu yang akhirnya berubah menjadi sebuah keputusan besar—keputusan untuk berpisah.
“Alya, aku rasa ini sudah waktunya. Aku tidak bisa melanjutkan hubungan ini,” kata Andrian dengan suara yang gemetar, menahan perasaan yang berat.
Alya mengingatnya dengan jelas. Ia merasa dunia seakan runtuh saat itu. Mereka sudah bersama selama bertahun-tahun, berbagi impian, berbagi kebahagiaan, dan merencanakan masa depan bersama. Namun, Andrian mengatakan bahwa hubungan mereka tidak bisa bertahan. Ia merasa bahwa jarak yang memisahkan mereka terlalu besar, dan ia tidak bisa terus menjalani hubungan yang semakin renggang. Andrian ingin fokus pada studinya, ingin mengejar impian yang sudah lama ia dambakan.
“Alya, aku mencintaimu, tapi aku harus jujur dengan diriku sendiri. Aku tidak bisa memberi apa yang kamu butuhkan lagi.”
Kalimat itu terasa seperti pukulan yang sangat keras. Alya ingin berteriak, ingin menangis, ingin mempertahankan semuanya. Tapi apa yang bisa ia lakukan? Andrian sudah membuat keputusan, dan Alya hanya bisa menerima kenyataan pahit itu. Mereka berpisah, dan saat itu juga, perasaan Alya terkoyak, menghilang dalam keheningan.
Setelah malam itu, Andrian pergi ke luar negeri. Mereka masih berusaha untuk menjaga komunikasi, tetapi semakin lama, semakin sulit. Jarang ada pesan yang datang, dan meskipun Alya mencoba untuk mengerti, hatinya tidak bisa berhenti bertanya-tanya apakah ia cukup penting untuknya. Kenapa Andrian pergi tanpa memberi penjelasan yang lebih mendalam? Apakah ia pernah benar-benar mencintainya?
Alya mengalihkan pandangannya dari foto tersebut, menatap meja kerjanya yang penuh dengan tumpukan dokumen. Ia mencoba untuk menenangkan pikirannya. Namun, kenangan itu kembali mengalir deras, seperti sungai yang tak bisa ia bendung. Ia merindukan suara Andrian, tawa khasnya, cara dia memeluknya setiap kali merasa cemas. Ia merindukan sosok yang dulu selalu ada di sampingnya, yang selalu mendukungnya, yang selalu ada ketika ia merasa lelah dengan dunia.
Namun, semuanya kini telah berlalu. Waktu yang telah berlalu tidak bisa diputar kembali. Alya telah mencoba untuk move on, untuk melanjutkan hidupnya. Ia sudah menjalani beberapa hubungan setelah Andrian, tetapi tidak ada yang bisa menggantikan perasaan yang ia miliki untuknya. Tidak ada yang bisa menggantikan kenangan-kenangan itu.
Hari demi hari, Alya belajar untuk menerima kenyataan bahwa ia tidak bisa kembali ke masa lalu. Namun, terkadang, perasaan itu datang begitu saja, tanpa bisa ia hindari. Setiap kali ia mendengar lagu yang dulu sering mereka dengarkan bersama, atau melihat tempat yang dulu menjadi saksi bisu kebahagiaan mereka, perasaan itu kembali hadir, menghantui dirinya.
Alya melirik ponselnya lagi, kali ini ada notifikasi pesan yang masuk. Pesan itu datang dari sebuah nomor yang tidak ia kenal. Ia membuka pesan itu dengan hati-hati, dan seketika jantungnya berhenti berdetak. Itu adalah pesan dari Andrian. Pesan yang terlambat datang bertahun-tahun setelah mereka berpisah.
Alya terdiam sejenak, membaca setiap kata dalam pesan itu dengan hati-hati. Andrian meminta maaf, mengungkapkan penyesalan yang mendalam atas keputusan yang telah diambilnya dulu. Ia menyadari bahwa meskipun ia mengejar impiannya, ia telah kehilangan sesuatu yang jauh lebih berharga Alya, wanita yang pernah ia cintai.
Alya merasakan campuran perasaan yang sulit dijelaskan. Ada rasa haru, ada rasa kecewa, ada rasa rindu yang tak bisa ia ungkapkan. Ia merasa bingung, apakah ia harus membalas pesan itu, ataukah ini hanya akan membuat luka lama kembali terbuka. Tetapi yang jelas, satu hal yang ia tahu pesan itu datang terlambat.
Sambil menatap layar ponselnya, Alya menyadari bahwa tidak ada lagi yang bisa mereka lakukan untuk mengubah masa lalu. Waktu yang telah hilang tidak bisa dikembalikan, dan mungkin, kenyataan pahit ini adalah sesuatu yang harus ia terima. Namun, dalam hatinya, Alya tahu satu hal meskipun pesan itu datang terlambat, itu adalah pengingat bahwa cinta dan kenangan tidak pernah benar-benar hilang.
Alya duduk kembali di kursinya, menatap layar ponsel yang masih menyala. Jari-jarinya gemetar ketika mencoba membuka pesan yang dikirimkan Andrian. Beberapa tahun berlalu sejak mereka terakhir kali berbicara, dan dia tidak pernah membayangkan bahwa suatu hari nanti pesan ini akan muncul. Alya menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya, namun bayangan masa lalu tiba-tiba kembali menggelayuti pikirannya.
Pesan itu hanya terdiri dari beberapa baris kalimat, namun bagi Alya, kalimat itu lebih berat daripada apapun yang pernah ia dengar dalam hidupnya.
“Alya, aku tahu sudah terlambat untuk meminta maaf, tetapi aku harus jujur. Aku menyesal. Aku seharusnya tidak pernah membiarkanmu pergi begitu saja. Aku masih ingat segala hal tentang kita. Aku harap suatu hari nanti kita bisa berbicara lagi.”
Alya merasakan hatinya terhimpit oleh perasaan yang campur aduk. Ia ingin membalas pesan itu, ingin mengatakan bahwa ia sudah lama melupakan semuanya. Namun, ada rasa rindu yang tiba-tiba muncul, perasaan yang seharusnya sudah mati tapi kini terasa hidup kembali.
“Sudah terlambat.”
Itu adalah kalimat yang langsung terlintas di pikirannya. Alya merasa bahwa segala sesuatu yang terjadi antara mereka adalah bagian dari masa lalu, sesuatu yang tak mungkin bisa diubah. Tapi mengapa pesan itu bisa menyentuhnya begitu dalam? Mengapa pesan yang datang terlambat ini mampu mengguncang hatinya yang sudah begitu lama mencoba untuk melupakan Andrian?
Alya menatap kembali foto yang ada di dalam kotak kenangan. Andrian, dengan senyum cerah yang dulu selalu membuat hatinya berdebar-debar, kini hanya menjadi kenangan. Ia bisa melihat wajah muda mereka dalam foto itu, penuh harapan dan impian. Saat itu, mereka berdua percaya bahwa cinta bisa mengalahkan apapun, termasuk jarak dan waktu. Tapi kenyataannya tidak demikian.
Alya mencoba meletakkan ponselnya, namun pikirannya terus berputar, tak bisa berhenti memikirkan Andrian. Ia teringat betapa seringnya Andrian memeluknya, betapa penuh perhatian dia terhadapnya, bahkan dalam setiap percakapan mereka yang sering berakhir dengan kata-kata manis yang selalu membuatnya merasa dicintai. Namun, semuanya berubah begitu saja ketika Andrian memutuskan untuk pergi. Keputusan yang saat itu tak bisa ia pahami.
Andrian pergi untuk mengejar cita-citanya, melanjutkan pendidikan di luar negeri, sementara Alya di Jakarta harus menghadapi kenyataan bahwa ia kehilangan cinta pertama dalam hidupnya. Meskipun mereka berdua berjanji untuk menjaga hubungan itu tetap utuh, akhirnya perasaan itu pudar, seiring dengan waktu yang berjalan semakin jauh.
“Kenapa aku begitu sulit melupakanmu?” pikir Alya sambil menunduk.
Ia teringat hari-hari ketika mereka pertama kali berkenalan, bagaimana Andrian membuat hatinya berdebar-debar. Mereka pertama kali bertemu di sebuah kafe kecil di dekat kampus, saat Alya sedang duduk sendirian, menikmati secangkir kopi sambil membaca buku. Andrian, dengan gaya santainya, mendekati meja Alya dan tanpa ragu duduk di hadapannya. Tanpa kata-kata pembukaan, Andrian langsung mengajaknya berbicara tentang hal-hal ringan—film, musik, dan bahkan makanan favorit. Alya yang biasanya canggung dengan orang yang baru dikenal, merasa nyaman dan tenang saat berbicara dengan Andrian. Sejak saat itu, mereka mulai sering bertemu.
Hubungan mereka berkembang begitu cepat. Setiap hari, Andrian mengirimkan pesan, menanyakan kabar, dan membuat Alya merasa dihargai. Tidak ada yang lebih menyenangkan bagi Alya selain mendapatkan perhatian dari Andrian. Mereka berbicara tentang masa depan, tentang cita-cita, dan impian-impian yang ingin mereka capai bersama. Alya merasa bahwa ia menemukan seseorang yang mengerti dirinya dengan begitu baik. Namun, semua itu berubah ketika Andrian mendapat kesempatan untuk melanjutkan studi ke luar negeri. Itu adalah kesempatan yang sudah lama ia impikan, dan meskipun Alya mendukung keputusan itu, hatinya tetap terluka.
Saat Andrian pergi, perasaan Alya pun ikut pergi bersamanya. Mereka mencoba bertahan melalui komunikasi jarak jauh, namun setiap pesan yang mereka kirimkan seakan tak mampu mengisi kekosongan yang mereka rasakan. Andrian berubah, komunikasi mereka semakin sedikit, dan akhirnya, hubungan mereka pun berakhir dengan kata-kata yang menyakitkan.
“Alya, aku rasa kita tidak bisa melanjutkan ini. Aku fokus pada studi dan masa depan. Aku tidak ingin kamu menunggu terlalu lama.”
Alya tidak pernah benar-benar mengerti kalimat itu. Apakah Andrian benar-benar berpikir bahwa hubungan mereka hanya sebuah beban baginya? Atau apakah ia merasa bahwa cinta mereka tidak cukup kuat untuk bertahan?
Kenapa aku masih merindukannya? pikir Alya. Kenapa aku masih mempertanyakan semuanya?
Alya tidak tahu apa yang sebenarnya ia inginkan. Ia tidak tahu apakah ia ingin kembali ke masa lalu, atau apakah ia sudah siap untuk melangkah maju tanpa Andrian. Namun, satu hal yang pasti—pesan dari Andrian itu mengingatkan dirinya akan sesuatu yang selama ini ia coba lupakan. Ada rasa penyesalan yang datang begitu mendalam, dan bahkan dalam hatinya yang paling dalam, Alya tidak bisa menutup perasaan itu begitu saja.
Hari-hari berlalu, dan meskipun Alya mencoba untuk melanjutkan hidupnya, segala sesuatu yang berhubungan dengan Andrian selalu membuatnya teringat. Ia kembali membuka akun media sosialnya, mencoba mencari tahu bagaimana kabar Andrian setelah semua waktu yang berlalu. Ia menemukan beberapa foto baru, foto-foto Andrian yang tampak bahagia, yang memperlihatkan bahwa ia sudah menemukan jalannya sendiri di luar negeri.
Namun, foto-foto itu tidak membuat Alya cemburu, tidak membuatnya merasa iri. Yang ia rasakan hanyalah keheningan, seperti ada bagian dari dirinya yang terkubur dalam foto-foto itu. Andrian sudah bahagia dengan hidupnya sendiri, sementara Alya masih berusaha mencari jalan untuk berdamai dengan masa lalunya.
Di tengah kebingungannya, Alya mencoba untuk terus maju, berusaha menjauhkan diri dari kenangan Andrian. Ia kembali fokus pada pekerjaannya, mencoba menikmati kehidupannya dengan cara yang berbeda. Ia bertemu dengan orang-orang baru, menjalani aktivitas yang dulu tak sempat ia lakukan. Meskipun begitu, bayangan Andrian tidak pernah benar-benar hilang. Setiap kali ia berada di tempat-tempat yang dulu sering mereka kunjungi bersama, ia selalu merasa seolah Andrian ada di sana, menunggu untuk ditemui.
Namun, malam itu, setelah membaca pesan Andrian yang tiba-tiba datang, Alya merasa seperti semuanya kembali terbelah. Ia tidak tahu harus bagaimana. Apakah ini kesempatan untuk memulai kembali, ataukah ini hanya sebuah pengingat bahwa masa lalu tak akan pernah bisa kembali?
Alya menutup ponselnya dan berjalan menuju jendela, menatap langit yang mendung. Hujan belum berhenti, dan ia merasa seperti ada sesuatu yang berat menekan dadanya. Ia tahu bahwa ia harus membuat keputusan besar—apakah ia akan merespon pesan itu, atau membiarkan semuanya tetap menjadi kenangan?
Hati Alya penuh dengan keraguan. Ia ingin menjawab pesan itu, namun takut bahwa dengan melakukan itu, ia hanya akan membuka luka lama yang belum sepenuhnya sembuh. Andrian telah pergi, dan ia sudah mencoba untuk melanjutkan hidup tanpa dirinya. Tetapi apakah ia benar-benar bisa melupakan segala yang telah mereka bagi bersama?
Alya tahu, pada akhirnya, yang harus ia lakukan adalah menerima kenyataan. Cinta itu tidak pernah bisa dipaksa, dan mungkin sudah saatnya ia membiarkan perasaan itu pergi. Tetapi, apakah ia sudah siap?
Hujan semakin deras, dan Alya merasakan ketenangan yang perlahan menggantikan kebingungannya. Pada akhirnya, ia tahu bahwa cinta tidak bisa dipaksa untuk kembali. Terkadang, kenangan hanya perlu dikenang, dan waktu harus dijalani sesuai dengan takdirnya.
Namun, ada satu hal yang pasti: Andrian akan selalu menjadi bagian dari dirinya, meskipun mereka tidak lagi bersama. Kenangan itu tidak akan pernah benar-benar hilang.*
Bab 2 : PESAN YANG TERABAKIN
Beberapa tahun setelah perpisahan, Alya merasa ia sudah move on, atau setidaknya berusaha untuk itu. Ia terlibat dalam hubungan baru, meskipun hatinya masih sering teringat pada Andrian. Namun, suatu malam, setelah bertahun-tahun, Alya mendapatkan sebuah pesan di inbox-nya: pesan dari Andrian yang sudah lama tak terdengar kabarnya.
Andrian mengirimkan pesan yang sangat panjang, berisi penyesalan, permintaan maaf, dan harapan untuk kembali bertemu. Namun, pesan itu datang terlalu terlambat. Alya sudah terlanjur menjalani hidupnya tanpa Andrian, dan meskipun pesan itu mengguncang hatinya, ia tidak tahu apakah ia masih bisa membuka pintu hatinya lagi untuk pria yang dulu begitu ia cintai.
Alya bingung, apakah ini hanya bentuk penyesalan belaka dari Andrian setelah melihat hidupnya berjalan tanpa dirinya, atau apakah ini benar-benar kesempatan kedua bagi mereka berdua?
Alya menghela napas panjang, menatap layar ponselnya yang masih menyala dengan pesan dari Andrian. Entah berapa lama ia duduk di sana, tangan memegang ponsel yang seolah memberatkan hatinya. Pesan itu, yang datang begitu tiba-tiba, seperti memecah ketenangan yang telah lama ia bangun setelah berpisah dengan Andrian. Ada banyak kata yang ingin ia balas, namun semuanya terasa sulit untuk dikeluarkan. Seakan ada penghalang yang membuatnya ragu untuk membuka pintu masa lalu yang sudah ia coba tutup rapat-rapat.
Ia tahu, jawaban atas pesan itu tidak hanya akan mengubah percakapan mereka, tetapi juga hidupnya. Menanggapi Andrian—yang kini seperti seorang asing yang tak dikenalnya sepenuhnya—berarti membuka luka lama, perasaan yang sudah lama ia coba lupakan. Namun, kenapa hati Alya merasa begitu berat? Kenapa perasaan itu kembali muncul begitu saja?
Setelah berhari-hari bergumul dengan perasaannya, akhirnya Alya memutuskan untuk membuka pesan itu lagi. Kali ini, ia menatap lebih seksama, mencoba memahami setiap kata yang tertulis di sana.
“Alya, aku tahu sudah terlambat untuk meminta maaf, tapi aku harus jujur. Aku menyesal. Aku seharusnya tidak pernah membiarkanmu pergi begitu saja. Aku masih ingat segala hal tentang kita. Aku harap suatu hari nanti kita bisa berbicara lagi.”
Pesan itu tidak panjang, namun kata-kata itu menggetarkan setiap lapisan hati Alya. Andrian, dengan segala penyesalannya, mencoba kembali menjangkau dirinya, mencoba membuka jalan komunikasi yang selama ini terputus. Namun, apa yang harus Alya lakukan? Apakah ia harus menanggapi, memberi kesempatan untuk berbicara, ataukah membiarkan segala sesuatu tetap seperti ini, tanpa kata-kata lebih lanjut?
Alya bisa merasakan getaran ketidakpastian di dalam dirinya. Kenangan yang terkubur lama mulai muncul kembali, memadati pikirannya. Wajah Andrian yang dulu sering menghiasi hari-harinya, kata-kata manis yang selalu ia tunggu-tunggu setiap pagi, pelukan hangat yang selalu menjadi tempatnya bersandar saat lelah. Semua itu seolah menjadi bayangan yang tak pernah benar-benar hilang.
Namun, saat ia mengingat kembali alasan perpisahan mereka, hatinya kembali dipenuhi dengan rasa sakit. Andrian pergi untuk mengejar cita-citanya, sementara ia tinggal di sini, mencoba untuk melanjutkan hidup tanpa orang yang pernah ia cintai. Jarak dan waktu telah memisahkan mereka, namun apa yang paling menyakitkan bagi Alya bukanlah jarak itu, melainkan ketidakterbukaan Andrian yang terlalu lama. Selama berbulan-bulan, komunikasi mereka semakin jarang, pesan yang dulunya mengalir begitu deras kini berhenti begitu saja. Semua janji yang mereka buat untuk saling menjaga dan mencintai, perlahan pudar tanpa pernah ada penjelasan yang memadai.
Alya merasa terluka, namun dia juga tahu bahwa dirinya sudah berusaha untuk menerima kenyataan. Ia telah mencoba untuk move on, menjalin hubungan baru, meskipun tidak ada yang bisa menggantikan Andrian. Dan sekarang, pesan itu datang, begitu sederhana namun penuh dengan penyesalan yang membuatnya terhenti sejenak. Alya tahu bahwa ia perlu waktu untuk berpikir—untuk memutuskan apa yang seharusnya ia lakukan.
Dengan perasaan yang kacau, Alya berjalan keluar dari apartemennya. Udara malam yang segar dan angin yang berhembus pelan memberinya sedikit ketenangan. Ia berjalan menuju taman dekat tempat tinggalnya, tempat yang sering ia kunjungi dulu bersama Andrian. Saat itu, taman ini adalah saksi bisu kebahagiaan mereka. Di sini mereka duduk berdua, berbicara tentang impian dan masa depan, berbagi tawa, dan saling berjanji untuk selalu ada satu sama lain.
Namun sekarang, semuanya terasa kosong. Alya duduk di bangku yang biasa mereka duduki, memandang ke sekelilingnya, dan merasakan kesunyian yang begitu mendalam. Hanya suara angin yang terdengar, seakan alam pun turut merasakan kesedihannya. Ia menggenggam ponselnya kembali, menatap pesan Andrian sekali lagi. Hatinya semakin berat, bertanya-tanya apakah ia siap untuk membuka luka lama itu.
“Apa yang harus aku lakukan?” gumamnya pada diri sendiri.
Pikiran Alya terus berputar dalam lingkaran ketidakpastian. Ia tahu bahwa ia harus melanjutkan hidup, tapi setiap kali ia mencoba untuk menjauh dari masa lalu, kenangan itu selalu muncul begitu saja. Setiap kali ia mencoba untuk menerima bahwa Andrian adalah bagian dari masa lalu, pesan ini mengingatkannya bahwa perasaan itu masih ada. Alya tak pernah benar-benar lupa pada Andrian, meskipun mereka telah berpisah.
Hujan mulai turun perlahan, membawa suasana hati Alya semakin gelap. Namun, di tengah-tengah kesedihan itu, ada sebuah perasaan yang tak bisa ia abaikan. Rasa ingin tahu tentang apa yang Andrian alami, tentang apa yang membuatnya mengirimkan pesan itu setelah bertahun-tahun. Mengapa kini, setelah semua waktu yang berlalu, Andrian merasa perlu untuk meminta maaf? Mengapa ia baru menyadari penyesalannya setelah begitu lama?
Saat itu, Alya merasa kebingungannya semakin dalam. Ia tidak bisa menutup hatinya begitu saja terhadap perasaan yang sudah ada, dan ia tidak tahu apakah ia harus memberi kesempatan lagi pada perasaan itu. Namun, apakah yang akan terjadi jika ia memberi kesempatan? Apakah ia akan kembali terluka? Apakah ia cukup kuat untuk menghadapi kenyataan bahwa Andrian mungkin sudah berubah, atau mungkin ia tidak lagi sama seperti dulu?
Dengan langkah yang ragu, Alya memutuskan untuk kembali ke apartemennya. Ia tahu bahwa ia harus memberi waktu untuk diri sendiri, untuk berpikir dengan jernih. Dia tidak ingin terburu-buru dalam mengambil keputusan, tetapi pesan ini, pesan yang terabaikan begitu lama, memberikan rasa ingin tahu yang tak bisa ia pungkiri.
Saat ia kembali duduk di meja kerjanya, Alya menatap pesan itu sekali lagi. Kata-kata Andrian seperti menari-nari di benaknya, seolah mencoba menggetarkan bagian-bagian hatinya yang selama ini terkunci rapat. “Aku menyesal,” kalimat itu terus mengiang di pikirannya. Rasa penyesalan Andrian, meskipun terlambat, tetap memberikan dampak yang dalam. Alya bertanya-tanya, apakah dia pantas untuk memberikan kesempatan kedua? Apakah ia bisa memaafkan Andrian dan membuka lembaran baru dalam hidupnya?
Tanpa sadar, Alya memulai mengetik sebuah balasan. Tangan kanannya bergerak cepat, menekan tombol demi tombol, hingga akhirnya pesan itu selesai ditulis. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya menekan tombol kirim.
“Andrian, aku tidak tahu apakah kita bisa kembali ke masa lalu, ataukah kita bahkan perlu melakukannya. Tapi aku menghargai kata-kata maafmu. Aku juga merasa banyak hal yang belum kita selesaikan. Mungkin kita bisa berbicara suatu hari nanti, tapi aku perlu waktu untuk berpikir.”
Setelah menekan tombol kirim, Alya merasa ada beban yang sedikit berkurang. Dia tahu bahwa apa yang ia tulis mungkin belum memberikan jawaban pasti, tetapi setidaknya itu adalah langkah pertama untuk menyelesaikan perasaan yang mengganjal dalam dirinya.
Ia kemudian menatap langit yang cerah melalui jendela apartemennya. Hujan sudah berhenti, dan ada sedikit pelangi yang muncul di kejauhan. Entah kenapa, pemandangan itu memberikan rasa damai, seakan alam juga mengerti perasaan yang tengah ia rasakan.
Sekarang, yang bisa dilakukan Alya adalah menunggu. Menunggu apakah Andrian akan membalas pesan itu, dan menunggu bagaimana perasaannya akan berkembang setelah berbicara dengan pria itu lagi. Apakah semuanya akan kembali seperti dulu, ataukah kali ini mereka hanya akan menjadi dua orang yang berbicara tentang masa lalu mereka yang sudah terlalu jauh?
Alya duduk di kursinya, dengan ponsel di tangan, menatap balasan pesan yang baru saja ia kirimkan. Ada semacam kelegaan yang datang setelah ia menekan tombol kirim, tetapi juga rasa cemas yang semakin menggelayuti hatinya. Seiring berjalannya waktu, setiap ketukan detik terasa semakin berat, seolah-olah dunia sekitarnya menjadi lebih lambat. Tidak ada balasan dari Andrian, dan Alya pun mulai bertanya-tanya: Apakah ia telah melakukan hal yang benar?
Dia menatap layar ponselnya yang kini kosong, hanya menampilkan wallpaper pemandangan laut yang tenang. Laut itu, yang selalu mengingatkannya pada liburan mereka berdua beberapa tahun lalu, ketika Andrian membawanya ke sebuah pulau kecil untuk menghabiskan waktu bersama. Mereka berjalan di pantai, berbicara tentang masa depan, tentang apa yang ingin mereka capai. Ketika itu, dunia mereka terasa sangat besar, penuh kemungkinan dan impian. Alya ingat betul bagaimana Andrian memegang tangannya, menatapnya dengan penuh harapan, seolah-olah tak ada hal yang lebih penting selain momen itu. Kini, perasaan itu terasa jauh sekali, seolah berada di luar jangkauan.
Alya merasakan sesuatu yang aneh, sebuah kerinduan yang tak bisa ia jelaskan. Kenangan itu datang begitu tiba-tiba, mengusik ketenangannya. Apakah mungkin, setelah semua yang terjadi, perasaan itu masih ada? Dia berusaha menepis perasaan itu, tapi semakin keras ia berusaha, semakin jelas pula bayangan Andrian muncul di pikirannya.
“Apa yang terjadi padaku?” gumam Alya pelan.
Dia mengalihkan pandangannya ke luar jendela. Langit senja mulai meredup, membawa nuansa kehangatan yang menenangkan. Ada sesuatu yang mengingatkannya akan masa lalu, saat ia masih percaya bahwa cinta bisa melawan segala hal, termasuk waktu dan jarak. Ketika Andrian mengucapkan janji-janji indah tentang masa depan mereka, Alya merasa bahwa mereka bisa menghadapinya bersama. Tapi kenyataan berbicara lain. Mereka berpisah, dan meskipun Alya telah mencoba untuk menerima, kenyataan itu tetap menyakitkan.
Setelah berhari-hari menunggu balasan dari Andrian, akhirnya pesan itu muncul. Hanya beberapa kata yang sederhana, namun membawa dampak yang begitu besar bagi Alya. Pesan itu mengingatkan kembali pada rasa yang pernah ia simpan dalam hati. Penyesalan, harapan, dan keinginan untuk berbicara lagi. Namun, Alya juga tahu bahwa setiap keputusan yang ia ambil kini akan menentukan arah hidupnya. Mengabaikan pesan itu berarti membiarkan masa lalu tetap menjadi masa lalu, tetapi membalasnya berarti membuka pintu yang telah ia tutup rapat selama bertahun-tahun.
Alya tidak tahu berapa lama ia duduk merenung. Pikirannya masih bergulir, antara keinginan untuk melanjutkan hidup tanpa Andrian, ataukah memberi kesempatan pada sesuatu yang telah lama terabaikan. Ia merasa bingung, tidak yakin dengan perasaannya sendiri. Setiap detik yang berlalu semakin membuatnya gelisah. Jika Andrian memang menyesal, apakah itu berarti mereka bisa memulai sesuatu yang baru? Apakah mereka bisa kembali menjadi seperti dulu? Atau, apakah ini hanya ilusi belaka, sebuah pengingat bahwa kadang-kadang, kita hanya ingin kembali ke tempat yang kita rasa aman, tanpa benar-benar memahami apa yang sebenarnya kita inginkan?
“Aku sudah menjalani hidup tanpa kamu,” pikir Alya. “Kenapa sekarang harus kembali? Apa yang akan berubah?”
Alya teringat hari-hari terakhir mereka bersama. Andrian yang semakin jarang menghubunginya, yang semakin sibuk dengan studinya di luar negeri. Ia tak pernah bisa mengerti mengapa Andrian memilih untuk menghilang begitu saja, meninggalkannya tanpa penjelasan. Tidak ada kata perpisahan, tidak ada penutupan. Hanya sebuah keheningan yang panjang, yang akhirnya mengantarkan mereka pada jarak yang tak terjangkau. Alya tidak pernah meminta banyak, hanya komunikasi yang jelas, tetapi Andrian terlalu sibuk dengan dunianya sendiri. Dan akhirnya, mereka berdua terpisah tanpa kata-kata terakhir.
Alya pun akhirnya memutuskan untuk memberi diri sedikit waktu untuk berpikir. Ia ingin melanjutkan hidup, menjalani rutinitasnya tanpa harus terus-menerus terjebak dalam kenangan yang telah lama ia coba lupakan. Tetapi, perasaan itu—rasa rindu, kecewa, dan bingung—terus saja menghantuinya. Dalam satu sisi, Alya ingin melanjutkan hidup dengan orang-orang yang ada di sekitarnya, fokus pada pekerjaan dan impian-impian yang telah ia bangun sendiri. Namun, di sisi lain, ada rasa penasaran yang mendalam tentang apa yang terjadi pada Andrian, dan apakah perasaan itu masih bisa hidup lagi, meskipun setelah waktu yang begitu lama.
Hari berikutnya, Alya bangun dengan perasaan yang masih tidak jelas. Ia mencoba untuk kembali ke rutinitas sehari-hari, memulai hari dengan sarapan yang sederhana dan mempersiapkan pekerjaan. Namun, meskipun ia mencoba untuk fokus, pikirannya terus melayang kembali pada pesan Andrian. Mengapa Andrian mengirim pesan itu? Apa yang sebenarnya dia inginkan? Apakah benar-benar hanya penyesalan, atau ada sesuatu yang lebih dalam dari itu?
Alya mencoba mengalihkan pikirannya dengan memeriksa email dan jadwal pekerjaannya. Namun, saat ia membuka media sosial, sebuah notifikasi baru muncul—sebuah pesan dari Andrian. Alya merasa detak jantungnya tiba-tiba berdetak lebih cepat. Pesan itu masih belum dibaca. Dengan perasaan cemas, ia membuka pesan itu, merasa seolah ia sedang membuka sebuah kotak yang penuh dengan kenangan lama.
“Alya, aku paham jika kamu merasa bingung dengan apa yang aku kirimkan. Tapi aku harus jujur, aku masih merasa kehilangan. Kita punya kenangan yang indah, dan aku ingin kita berbicara tentang itu. Aku ingin memperbaiki semua yang salah. Aku tahu aku telah membuat kesalahan, dan aku menyesal.”
Alya merasa ada sesuatu yang mendalam dalam kata-kata itu. Bukan hanya penyesalan, tetapi ada kerinduan yang terpendam di baliknya. Andrian tidak hanya meminta maaf, tetapi ia ingin berbicara, ingin memperbaiki semuanya. Ada perasaan yang kembali hidup dalam dirinya, meskipun ia berusaha untuk menolaknya.
“Apakah ini benar-benar apa yang aku inginkan?” pikir Alya, merasakan kekhawatiran yang begitu dalam. “Apakah aku siap membuka hati untuknya lagi setelah semua yang telah terjadi?”
Namun, apa yang harus ia lakukan sekarang? Menolak Andrian mungkin akan mengakhiri semua kenangan itu, tetapi memberi kesempatan pada perasaan yang telah lama terkubur berarti membuka sebuah bab yang sangat berat dalam hidupnya.
Alya merasa sangat bingung. Ia tahu bahwa perasaan itu tak bisa begitu saja lenyap, meskipun waktu telah memisahkan mereka. Hati Alya terombang-ambing antara rasa sakit yang ia rasakan selama ini dan harapan yang mulai muncul kembali. Apa yang akan terjadi jika ia menerima Andrian kembali? Apakah mereka bisa memperbaiki segalanya, ataukah ia hanya akan terluka lagi?
Dengan tangan yang sedikit gemetar, Alya mulai mengetik balasan.
“Andrian, aku juga merasa banyak hal yang belum selesai. Tapi aku tidak tahu apakah aku siap untuk kembali membuka semuanya. Aku butuh waktu untuk berpikir.”
Setelah mengirimkan pesan itu, Alya merasa sedikit lebih lega. Meskipun jawaban itu tidak pasti, setidaknya ia merasa bahwa ia tidak buru-buru dalam mengambil keputusan. Alya tahu bahwa ia harus memberi dirinya ruang untuk memahami perasaannya sendiri, untuk memutuskan apa yang benar-benar ia inginkan.
Hari-hari berikutnya berlalu dengan lambat, dan setiap kali Alya membuka ponselnya, ia merasa cemas akan balasan dari Andrian. Tetapi, tidak ada balasan yang datang dalam waktu dekat. Alya merasa sedikit kecewa, namun juga merasa lega karena ia tidak terjebak dalam percakapan yang tidak jelas. Meskipun demikian, kenangan itu masih tetap ada. Perasaan itu tak pernah benar-benar hilang, dan Alya pun tahu bahwa ia harus mengambil langkah yang lebih pasti dalam waktu yang tidak lama lagi.
Apakah ia akan terus hidup dengan kenangan Andrian, ataukah ia akan melangkah maju tanpa menoleh ke belakang? Itu adalah pertanyaan yang kini menggantung di pikirannya, dan jawaban itu hanya bisa ditemukan dalam hati Alya sendiri.*
Bab 3 : keputusan yang sulit
Alya mulai merasa terombang-ambing antara kenangan indah bersama Andrian dan realita kehidupannya saat ini. Meskipun ia merasa bahwa hubungan mereka dulunya sangat istimewa, ia juga tidak ingin kembali ke masa lalu yang sudah lama ia tinggalkan. Dia terjebak antara perasaan yang belum sepenuhnya hilang dan hubungan baru yang sedang dijalani.
Alya merasa bahwa untuk menentukan langkah selanjutnya, ia harus mencari jawabannya terlebih dahulu apa yang benar-benar ia inginkan? Apakah ia ingin memberi kesempatan pada perasaan lama yang sempat terabaikan, ataukah ia harus menerima kenyataan bahwa hubungan mereka telah berakhir dan ia harus melangkah maju?
Di sisi lain, Andrian mulai menyadari bahwa meskipun ia telah mencapai banyak hal di luar negeri, hidupnya terasa kosong tanpa Alya. Pesan yang ia kirimkan adalah permohonan maaf dan harapan untuk memperbaiki segalanya. Namun, ia juga tahu bahwa waktu yang hilang tak bisa diputar kembali.
Setelah beberapa hari berlalu sejak pesan Andrian itu tiba, Alya merasa dirinya berada dalam pusaran waktu yang tidak bisa ia kontrol. Setiap keputusan yang ia buat seakan memiliki dua sisi dua dunia yang saling tarik menarik dengan cara yang sama sekali tidak bisa ia prediksi. Satu sisi menawarkan kenyamanan dan kenangan, sementara sisi lainnya penuh dengan ketidakpastian dan ketakutan akan kembali terluka.
Saat ini, Alya merasa terjebak di antara dua pilihan, masing-masing mengancam untuk membelokkan jalan hidupnya yang sudah ia susun dengan hati-hati. Salah satunya adalah menjauhkan dirinya dari Andrian, untuk melanjutkan hidup dengan cara yang sudah ia coba bangun selama ini. Namun, sisi lain dari hatinya tak bisa mengabaikan kenyataan bahwa Andrian adalah bagian yang tak terpisahkan dari hidupnya. Ia adalah seseorang yang begitu berarti baginya di masa lalu, seseorang yang pernah membuatnya merasa dicintai dan dihargai.
Alya duduk di balkon apartemennya, memandang jalanan yang mulai dipenuhi lampu-lampu kota yang menyala. Suara kendaraan yang berlalu-lalang seolah menjadi latar belakang dari kebimbangan yang sedang ia alami. Di tangannya, ada secangkir teh yang hampir tak tersentuh. Matanya fokus pada layar ponsel, di mana pesan dari Andrian masih terjaga, menunggu untuk dibuka. Namun, seakan ada kekuatan tak kasat mata yang menahan tangannya untuk menekan tombol balas.
“Apa yang harus aku lakukan?” pikir Alya, mengelus tepi cangkir dengan jari-jarinya yang dingin. Ia merasa bingung, terperangkap dalam waktu yang berputar, di mana satu langkah yang ia ambil bisa membawa dampak yang sangat besar bagi hidupnya.
Malam itu, Alya tidak bisa tidur dengan nyenyak. Ia terjaga, berbaring dengan mata terpejam namun pikirannya terus berputar. Kenangan bersama Andrian, segala momen indah yang mereka jalani bersama, kembali terputar seperti film yang tak bisa ia hentikan. Tertawa bersama, berbagi rahasia, berbicara tentang impian masa depan semuanya terasa begitu nyata, seolah-olah itu baru terjadi kemarin. Namun, kenyataannya sudah bertahun-tahun sejak mereka berpisah, dan waktu telah mengubah banyak hal. Mungkin Andrian telah berubah, mungkin ia bukan pria yang sama seperti dulu. Tapi, apa yang membuat Alya begitu ragu? Kenapa ia merasa ada bagian dari dirinya yang masih ingin mendengarkan Andrian lagi?
“Apa yang sebenarnya aku inginkan?” tanya Alya pada diri sendiri, matanya menatap langit malam di luar jendela. Hujan gerimis perlahan turun, menciptakan suara lembut yang menenangkan. Bagaimanapun juga, kenangan itu tidak bisa dia abaikan. Tapi apakah itu cukup untuk membuka kembali pintu yang sudah ia tutup rapat selama ini?
Alya memutuskan untuk berjalan keluar, mencoba mencari kejelasan. Dia mengenakan jaket dan sepatu, melangkah keluar apartemen dan menuju taman yang berada tidak jauh dari tempat tinggalnya. Taman itu adalah tempat yang selalu ia kunjungi saat merasa kesepian atau bingung. Dulu, Andrian sering mengajaknya berjalan-jalan di sini, berbicara tentang banyak hal yang mereka impikan. Kini, taman itu terasa berbeda, lebih sepi dan hening, seolah-olah menunggu keputusan apa yang akan Alya ambil.
Di bangku yang sama, Alya duduk sendiri. Angin malam yang dingin menggigit kulitnya, tetapi ia tidak merasa terganggu. Ia hanya ingin merasakan ketenangan, mencoba mengumpulkan pikirannya. Tiba-tiba, ponselnya bergetar. Itu adalah pesan dari Andrian. Sebuah pesan singkat yang kembali membuka ruang-ruang yang belum selesai di dalam dirinya.
“Alya, aku tidak ingin kamu merasa terbebani dengan masa lalu kita. Aku hanya ingin ada kesempatan untuk berbicara, mendengar apa yang kamu rasakan. Aku tahu aku sudah melakukan banyak kesalahan, dan aku sangat menyesal. Aku tidak berharap kamu memaafkanku, tetapi aku ingin kita punya kesempatan untuk mencoba lagi, walaupun itu sulit.”
Setelah membaca pesan itu, Alya merasa seakan ada tembok besar yang tiba-tiba runtuh di depannya. Kalimat-kalimat Andrian itu sangat tulus, dan ia tahu bahwa Andrian benar-benar menyesali semua yang telah terjadi. Perasaan itu bukan sekadar kata-kata kosong. Namun, apakah Alya benar-benar siap untuk membuka hati lagi? Apakah ia ingin memberi kesempatan pada Andrian setelah segala yang telah mereka lewati? Ataukah ini hanya ilusi yang akan membawa mereka kembali ke titik yang sama, terjebak dalam kenangan yang lama?
Alya kembali ke apartemennya, duduk di depan meja kerjanya, menatap layar ponsel yang kini terasa begitu berat. Setiap pesan yang ia terima seakan semakin menambah beban di pikirannya. Ia merasa seperti berada di persimpangan jalan yang tak bisa ia pilih dengan mudah. Di satu sisi, ia ingin memberi kesempatan pada Andrian, tetapi di sisi lain, hatinya merasakan ketakutan yang begitu dalam. Takut terluka lagi. Takut kembali ke dalam hubungan yang akhirnya akan berakhir dengan perasaan kecewa.
Waktu terasa begitu lambat. Setiap detik yang berlalu semakin menambah rasa cemas di hati Alya. Mengapa hidupnya bisa menjadi begitu rumit? Mengapa perasaan itu—yang ia kira sudah mati—kembali muncul begitu saja, bahkan setelah ia berusaha membangun kehidupan baru? Apakah cinta itu benar-benar bisa bertahan meskipun terpisah oleh waktu dan jarak?
Pikiran Alya kembali ke masa lalu, pada semua janji yang pernah mereka buat. Andrian selalu berbicara tentang masa depan, tentang bagaimana mereka akan menghadapi hidup bersama. Namun, kenyataan berbeda. Andrian memilih untuk mengejar mimpinya di luar negeri, meninggalkan Alya di tengah jalan, dengan janji yang tak pernah ia tepati. Perpisahan itu datang tanpa peringatan, dan meskipun mereka berdua berusaha untuk tetap bertahan, akhirnya mereka terpisah juga.
Alya menundukkan kepala, merasakan beban yang begitu berat. Ia ingin melupakan semuanya, tetapi perasaan itu kembali muncul begitu saja. Ia merindukan Andrian, merindukan kebersamaan mereka yang dulu begitu sempurna. Tetapi, apakah ia benar-benar siap untuk membuka kembali pintu yang sudah ia tutup rapat selama ini?
Pada saat itu, sebuah suara dalam dirinya berkata: “Jangan biarkan perasaan ini menguasai hidupmu lagi. Kamu bisa melanjutkan hidupmu tanpa dia.” Namun, di sisi lain, suara lain berbisik, “Jika kamu tidak memberi kesempatan, mungkin kamu akan menyesal seumur hidup.”
Alya merasa terperangkap. Ketakutannya akan terluka lagi begitu besar, tetapi keinginan untuk memberikan kesempatan pada Andrian juga tak kalah kuat. Ia tidak ingin menyesal, tetapi apakah itu berarti ia harus membuka hati lagi untuk seseorang yang pernah mengecewakannya?
Hari berikutnya, Alya memutuskan untuk pergi menemui sahabatnya, Lila, untuk berbicara. Lila adalah orang yang selalu ada untuknya, orang yang tahu betul bagaimana perasaan Alya tentang Andrian. Mereka bertemu di kafe favorit mereka, tempat yang selalu menjadi saksi dari berbagai percakapan penting dalam hidup mereka.
Setelah menyapa dan duduk, Alya langsung membuka pembicaraan. “Lila, aku menerima pesan dari Andrian kemarin.”
Lila menatapnya dengan mata yang penuh perhatian. “Dan apa yang kamu rasakan?”
Alya menghela napas panjang. “Aku bingung. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Sebagian dari diriku ingin memberi kesempatan padanya, tetapi aku takut. Aku takut jika aku melakukannya, aku akan kembali terluka.”
Lila menyandarkan punggungnya ke kursi dan memandang Alya dengan lembut. “Alya, kamu tidak perlu memutuskan semuanya sekarang. Aku tahu Andrian mungkin telah mengecewakanmu, tetapi kamu juga harus mendengarkan hatimu. Apa yang kamu rasakan? Apakah kamu masih mencintainya?”
Alya terdiam, merenung sejenak. Ia tahu jawabannya. Sebagian besar dirinya masih mencintai Andrian, meskipun ia berusaha mengabaikannya. “Aku masih mencintainya, Lila. Tetapi aku takut. Aku takut jika aku memberinya kesempatan lagi, aku hanya akan terluka lebih dalam.”
Lila tersenyum lembut. “Cinta itu memang tidak pernah mudah, Alya. Tapi ingatlah, tidak ada yang lebih buruk daripada menyesal karena tidak memberi kesempatan pada apa yang bisa menjadi kebahagiaanmu. Kamu harus memutuskan apa yang benar-benar kamu inginkan.”
Alya menatap sahabatnya, merasakan ketenangan dalam kata-kata Lila. Ia tahu Lila benar. Keputusan ini adalah miliknya, dan hanya dia yang bisa memutuskan apakah ia ingin kembali bersama Andrian atau melanjutkan hidupnya tanpa dia.
Alya menghela napas dalam-dalam. “Aku akan memberi diriku waktu untuk berpikir lebih matang.”
Lila mengangguk, memberikan dukungannya. “Itulah yang terbaik, Alya. Jangan terburu-buru, dan percayalah pada keputusanmu.”
Saat malam tiba, Alya merasa sedikit lebih tenang. Dia tahu bahwa keputusannya tidak akan mudah, tetapi ia merasa lebih siap untuk menghadapi kenyataan. Cinta itu bukan hanya tentang kenangan indah atau harapan masa depan yang belum tercapai. Cinta itu tentang kesiapan untuk menerima segala kemungkinan—baik itu bahagia ataupun terluka. Dan Alya harus siap menghadapi itu, apapun yang terjadi.
Pagi harinya, Alya membuka pesan dari Andrian lagi. Kini, ia merasa lebih tenang. Dengan perlahan, ia mengetikkan balasan:
“Andrian, aku belum tahu apa yang aku inginkan. Tetapi aku akan memberi diriku waktu untuk berpikir. Terima kasih sudah menghubungiku. Aku akan memberitahumu ketika aku siap.”
Setelah mengirim pesan itu, Alya merasa sedikit lebih lega. Setidaknya, ia tidak terburu-buru membuat keputusan. Dia akan mengikuti perasaannya, dan waktu akan memberikan jawabannya.
Setelah mengirimkan pesan balasan kepada Andrian, Alya merasa sedikit lebih tenang. Namun, ketenangan itu hanya sementara. Ia masih terjaga di malam hari, berbaring dengan pikiran yang berputar. Setiap suara yang datang dari luar jendela terasa seperti irama detak jantung yang menggema di dalam kepalanya. Semua perasaan yang ia coba tolak, kini kembali muncul begitu jelas. Perasaan rindu yang tak bisa disangkal, kekhawatiran, dan ketakutan tentang masa depan.
Dia sudah cukup lama terbiasa hidup tanpa Andrian, tetapi kini perasaan itu, meskipun sempat terkubur, muncul kembali. Tidak mudah untuk hanya mengabaikan cinta yang pernah begitu besar dan berarti. Alya tahu bahwa dirinya tidak bisa terus berlari dari kenyataan. Ada bagian dari dirinya yang masih ingin berharap, meskipun hati kecilnya memberontak dan bertanya, “Apakah itu benar-benar yang terbaik untukmu?”
Alya menarik selimut lebih dekat ke tubuhnya, mencoba mencari kenyamanan dalam keheningan malam yang sunyi. Namun, setiap kali matanya terpejam, wajah Andrian kembali muncul dalam pikirannya. Terbayang kembali saat-saat mereka berbicara tentang masa depan, impian yang mereka buat bersama, dan janji-janji yang terlontar begitu mudah di masa lalu. Tetapi seiring berjalannya waktu, janji-janji itu menguap tanpa jejak, dan Alya merasa ditinggalkan tanpa alasan yang jelas. Andrian memilih jalan hidupnya sendiri, sementara ia tetap di sini, mencoba membangun kembali dirinya.
“Apa yang sebenarnya aku inginkan?” tanya Alya pada dirinya sendiri, memeluk bantal dengan erat. “Apakah aku harus membuka hatiku lagi untuknya?”
Pagi hari datang dengan perlahan, membawa sinar matahari yang lembut menerobos jendela apartemen Alya. Meskipun hatinya masih gelisah, Alya mencoba menjalani rutinitasnya. Ia bangun lebih awal, merapikan tempat tidur, dan kemudian menyeduh kopi. Meskipun fisiknya terlihat bergerak dengan normal, pikirannya tetap tergantung pada pesan Andrian yang baru saja ia kirimkan beberapa hari lalu.
Namun, hari itu terasa sedikit lebih berat. Setiap detik berlalu dengan lambat, seperti sebuah jam yang bergerak tanpa arah yang jelas. Pekerjaan di kantor pun terasa tidak menggugah perhatiannya. Sebagai seorang desainer grafis, biasanya Alya akan tenggelam dalam alur kreativitas yang mengalir begitu deras. Tetapi kali ini, setiap tugas terasa seperti rutinitas yang tak berarti. Ia seperti berada dalam mesin waktu yang terus berputar, tanpa arah yang pasti.
Saat makan siang, Lila mengirimkan pesan untuk mengajaknya bertemu. Mungkin kali ini sahabatnya bisa memberinya sedikit perspektif yang lebih jelas tentang apa yang sedang ia rasakan. Lila adalah sosok yang selalu bisa melihat sesuatu dari sudut pandang yang berbeda, dan Alya berharap bisa mendapatkan sedikit pencerahan.
Beberapa jam kemudian, mereka bertemu di kafe tempat mereka biasa berkumpul. Tempat ini selalu memiliki kenangan manis bagi Alya—tempat mereka saling berbagi cerita, tertawa, dan kadang-kadang menangis. Lila sudah menunggu di meja pojok dengan secangkir cappuccino di tangan, matanya langsung tertuju pada Alya yang baru saja masuk.
“Alya,” sapa Lila dengan senyum hangat. “Kamu terlihat seperti baru saja melalui perjalanan panjang.”
Alya hanya tersenyum tipis, merasa sedikit canggung. “Aku merasa seolah-olah terjebak dalam labirin perasaan,” jawabnya sambil duduk di kursi. “Ada banyak hal yang harus aku putuskan, dan semuanya terasa sangat berat.”
Lila meletakkan cangkirnya, lalu mengamati sahabatnya dengan perhatian penuh. “Kamu bicara tentang Andrian, kan?”
Alya mengangguk pelan. “Iya. Aku tahu aku harus membuat keputusan, tapi aku tidak tahu apa yang benar. Terkadang aku merasa seperti aku sudah melupakan dia, tapi kemudian pesan itu datang dan aku merasa bingung lagi.”
Lila menghela napas, mencoba mencari kata-kata yang tepat. “Alya, aku tahu betapa sulitnya ini bagimu. Tetapi yang perlu kamu ingat adalah bahwa kamu berhak memilih. Kamu tidak harus memutuskan semuanya dalam satu waktu. Jika kamu merasa ingin mendengarkan Andrian lagi, itu adalah pilihanmu. Tetapi jika kamu merasa bahwa kamu sudah cukup, kamu juga berhak untuk tidak melanjutkan hubungan itu.”
Alya terdiam, menatap Lila dengan mata penuh pertanyaan. “Tapi bagaimana jika aku menyesal, Lila? Bagaimana jika aku memilih untuk tidak memberi kesempatan, dan ternyata aku masih mencintainya?”
Lila tersenyum lembut. “Itulah yang membuat hidup ini penuh dengan keputusan sulit. Tidak ada yang bisa memastikan kamu tidak akan menyesal. Namun yang bisa kamu lakukan adalah memilih dengan hati yang terbuka, tanpa rasa terpaksa. Tidak ada salahnya memberi dirimu waktu. Tapi yang lebih penting adalah—apakah kamu merasa siap untuk menghadapinya lagi?”
Alya merasakan kata-kata Lila masuk ke dalam hatinya. Dalam sekejap, seluruh kebingungannya terasa sedikit lebih ringan. Lila benar. Ia tidak perlu terburu-buru. Tidak ada yang mengharuskan dia membuat keputusan sekarang juga. Yang terpenting adalah bahwa ia merasa siap—siap untuk menghadapinya, siap untuk membuka hati, atau siap untuk meninggalkan semuanya di belakangnya.
“Terima kasih, Lila,” kata Alya dengan lembut. “Aku merasa sedikit lebih tenang sekarang.”
Lila menyandarkan tubuhnya ke kursi, tersenyum dengan penuh pengertian. “Kapanpun kamu siap, aku akan selalu ada di sini. Keputusan itu harus datang dari dalam dirimu. Jangan biarkan siapa pun, bahkan dirimu sendiri, memaksamu untuk memilih sesuatu yang belum siap.”
Kembali ke apartemennya, Alya merasa jauh lebih ringan. Saran dari Lila membuka matanya—bahwa keputusan besar ini tidak perlu diselesaikan dalam satu malam. Ia bisa memberi dirinya waktu untuk berpikir, untuk memutuskan apakah dia ingin kembali membuka hati untuk Andrian, atau melanjutkan hidupnya tanpa dia.
Hari-hari berikutnya berlalu, dan meskipun banyak yang terjadi di sekelilingnya, perasaan Alya tetap bimbang. Ia merasa seperti ada dua orang dalam dirinya: satu yang ingin memberi kesempatan pada Andrian, dan satu lagi yang takut terluka. Setiap kali ia teringat tentang masa lalu mereka, tentang saat-saat indah bersama Andrian, hatinya merasa hangat. Namun, di sisi lain, ia juga merasa takut. Takut jika ia kembali membuka pintu itu, pintu yang telah ia tutup dengan rapat selama bertahun-tahun.
Suatu malam, saat ia sedang duduk di balkon apartemennya, matanya kembali tertuju pada layar ponsel. Pesan dari Andrian sudah beberapa kali terlewatkan, dan Alya merasa bahwa mungkin ini saatnya untuk menghadapi kenyataan. Kenangan itu tidak bisa hilang begitu saja. Cinta itu, meskipun sempat terabaikan, masih ada di dalam hatinya.
Dengan tangan yang sedikit gemetar, Alya membuka pesan Andrian lagi. Setiap kata terasa begitu berat, namun juga penuh harapan. Ada keraguan, ada penyesalan yang begitu mendalam. Andrian bukan hanya meminta maaf, ia ingin sesuatu yang lebih—mungkin kesempatan terakhir untuk memperbaiki semuanya. Namun, apakah itu cukup bagi Alya untuk kembali membuka hati yang sudah ia tutup rapat?
Alya berpikir panjang, mencoba menyeimbangkan antara perasaan dan logika. Hatinya masih mencintai Andrian, itu sudah jelas. Namun, apakah ia siap untuk memberi kesempatan lagi? Untuk membuka kembali lembaran yang sudah ia tutup?
Dengan perlahan, ia mengetik balasan.
“Andrian, aku sudah banyak berpikir tentang kita. Aku masih merasa bingung, dan aku butuh waktu lebih banyak untuk memutuskan apa yang benar-benar aku inginkan. Aku akan memberitahumu saat aku siap.”
Setelah mengirimkan pesan itu, Alya merasa sedikit lebih tenang. Tidak ada keputusan yang bisa dipaksakan. Ia membutuhkan waktu untuk memahami perasaannya sendiri, untuk meresapi segala yang telah terjadi. Dan ketika waktunya tiba, ia akan tahu apa yang harus dilakukan. Sementara itu, ia memutuskan untuk memberi ruang pada dirinya sendiri, untuk berpikir lebih jernih.
Beberapa minggu berlalu. Waktu yang berjalan perlahan ini memberi Alya kesempatan untuk merenung lebih dalam. Ia mulai memahami bahwa keputusan ini bukan hanya tentang Andrian, tetapi tentang dirinya sendiri tentang apa yang ia inginkan dari hidupnya, dan bagaimana ia ingin menjalani masa depannya. Ia tidak bisa terus-menerus hidup dalam bayang-bayang masa lalu, tetapi ia juga tidak bisa menutup hatinya begitu saja. Andrian pernah menjadi bagian penting dalam hidupnya, dan jika ada kesempatan untuk memperbaiki hubungan itu, Alya ingin memberinya kesempatan. Namun, ia harus siap dengan segala konsekuensinya.*
Bab 4: Waktu yang Tidak Bisa Kembali
Alya akhirnya memutuskan untuk menghubungi Andrian, meskipun hatinya masih ragu. Mereka berbicara panjang lebar, mengungkapkan perasaan masing-masing, namun Alya menyadari bahwa meskipun cinta itu masih a Mereka berdua akhirnya sadar bahwa meskipun ada cinta yang masih tertinggal, mereka tidak bisa kembali ke masa lalu. Waktu yang hilang terlalu banyak untuk diperbaiki, dan mereka hanya bisa menyimpan kenangan itu sebagai bagian dari perjalanan hidup mereka.
Alya berdiri di depan jendela apartemennya, menatap langit senja yang perlahan berubah warna. Merah jingga yang memudar menjadi biru tua, memberi ruang bagi malam untuk datang. Ia merasakan keheningan yang mendalam, seolah waktu bergerak tanpa memberi kesempatan untuk menarik napas. Ada ketenangan yang hadir, namun di baliknya, ada juga rasa kehilangan yang tak bisa disembunyikan. Waktu tidak pernah bisa kembali. Itulah kenyataan yang akhirnya ia hadapi.
Dua minggu setelah pesan dari Andrian yang sempat mengguncang perasaannya, Alya akhirnya mulai menerima kenyataan bahwa hidupnya telah banyak berubah. Ia sudah melalui banyak hal, menghadapi kesulitan dan kehilangan, dan kini saatnya untuk menerima bahwa masa lalu, meskipun penuh kenangan manis, tidak akan pernah kembali. Andrian tidak akan kembali menjadi pria yang sama, dan ia sendiri tidak akan pernah menjadi wanita yang sama seperti dulu.
Hatinya masih merindukan Andrian—itu adalah kenyataan yang sulit ia hadapi. Tapi Alya juga tahu, bahwa meskipun perasaan itu tidak bisa dihapus begitu saja, ia harus belajar untuk melanjutkan hidup. Ada bagian dari dirinya yang masih terjebak dalam kenangan, dalam impian yang pernah mereka rajut bersama, tetapi ia tahu bahwa ia tidak bisa terus hidup dalam bayang-bayang masa lalu.
Ia berjalan mundur dari jendela, kembali duduk di meja kerjanya. Laptopnya masih terbuka, dengan berbagai desain yang menunggu untuk diselesaikan. Namun, hari ini, semua itu terasa hampa. Tidak ada semangat yang mengalir dalam dirinya seperti dulu. Semua terasa kosong, seperti sebuah ruang yang telah kehilangan arti. Matanya kembali tertuju pada ponsel yang tergeletak di samping laptop, seolah menunggu untuk dibuka. Pesan dari Andrian masih ada di sana, menunggu untuk dibaca dan dijawab.
Alya menghela napas panjang, merasakan beban yang semakin berat di dadanya. Satu sisi dirinya ingin kembali membuka komunikasi dengan Andrian, memberi kesempatan pada masa lalu mereka, tetapi sisi lainnya merasa takut. Takut jika ia kembali terluka, takut jika kenangan indah itu hanya akan berakhir dengan kesedihan yang lebih dalam. Ia sudah cukup terluka, dan tidak ingin mengulanginya lagi.
Namun, perasaan itu terus mengganggu. Ia teringat kata-kata Lila, sahabatnya, yang berkata bahwa setiap keputusan yang diambil harus datang dari hati yang terbuka. Waktu tidak akan menunggu siapa pun, dan jika ia terus terjebak dalam keraguan, ia tidak akan pernah tahu apa yang sebenarnya ia inginkan.
Alya menutup laptopnya, lalu meraih ponsel dan membuka pesan dari Andrian. Ia menatap pesan itu beberapa detik, ragu-ragu untuk mengetikkan balasan. Namun, akhirnya, ia memutuskan untuk menulis sesuatu.
“Andrian, aku sudah banyak berpikir. Ada banyak hal yang harus aku hadapi, dan aku merasa waktu kita sudah berlalu. Aku tidak bisa kembali ke masa lalu, dan mungkin kita juga tidak bisa kembali seperti dulu. Aku rasa kita sudah berubah, dan mungkin itu yang harus kita terima.”
Alya menatap pesan itu sejenak, lalu mengirimkannya. Rasanya, sebuah batu besar terangkat dari dadanya, meskipun hatinya masih terasa sesak. Keputusan itu sudah diambil—untuk melepaskan masa lalu, untuk tidak kembali lagi pada sesuatu yang tidak bisa diputar balik.
Pagi berikutnya, Alya bangun dengan perasaan campur aduk. Meskipun ia sudah mengirimkan pesan kepada Andrian, masih ada kekosongan dalam dirinya. Ia tahu bahwa ia telah mengambil langkah yang besar, tetapi seakan ada sesuatu yang hilang. Kenangan-kenangan indah bersama Andrian, tawa mereka, percakapan panjang yang mengisi malam-malam mereka, semuanya terasa seperti mimpi yang sulit digenggam. Tapi kini, saat ia memutuskan untuk melepaskan, Alya tahu bahwa ia harus siap menghadapi kenyataan bahwa waktu yang pernah mereka miliki tidak akan pernah kembali.
Pekerjaan di kantor tidak membantu mengurangi rasa sesak yang ia rasakan. Setiap detik terasa begitu lambat, dan setiap tugas yang ia lakukan hanya mengingatkannya pada betapa kosongnya hidupnya saat ini. Rasa rindu yang tak tertahankan datang begitu saja, tetapi ia berusaha keras untuk tidak memperdulikannya. Ia tidak ingin kembali ke dalam hubungan yang mungkin hanya akan membawa rasa sakit yang lebih dalam.
Di tengah kebingungannya, Alya mendapat telepon dari ibunya. Suara ibu selalu bisa menenangkan hatinya, meskipun mereka tidak selalu setuju dalam banyak hal. Ibu Alya selalu menjadi sosok yang memberi nasihat dengan cara yang penuh kasih, bahkan jika nasihat itu terkadang terasa sulit untuk diterima.
“Iya, Bu,” jawab Alya setelah menerima panggilan dari ibunya.
“Alya, bagaimana kabarmu? Sepertinya kamu sedang tidak baik-baik saja,” suara ibunya terdengar khawatir.
Alya tersenyum, meskipun hatinya merasa berat. “Aku baik-baik saja, Bu. Hanya sedikit lelah belakangan ini.”
“Tapi kamu tidak kelihatan baik-baik saja, Nak. Apa yang terjadi?” tanya ibunya dengan lembut.
Alya terdiam sejenak. Ia tahu bahwa ibunya tahu lebih banyak daripada yang ia tunjukkan. Terkadang, meskipun ia mencoba menyembunyikan perasaan, ibunya selalu bisa merasakannya. Ia tidak bisa terus berbohong.
“Aku masih berpikir tentang Andrian, Bu. Aku merasa kebingungannya semakin besar, dan aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan,” kata Alya pelan.
Ibunya diam sejenak, lalu menjawab dengan suara yang tenang. “Alya, kamu sudah cukup kuat untuk menghadapi semuanya. Ingatlah bahwa hidup tidak bisa terus berputar di tempat yang sama. Waktu tidak bisa kembali. Kamu tidak bisa mengulang masa lalu, Nak. Tetapi kamu bisa membuat keputusan untuk melangkah ke depan. Jangan biarkan diri kamu terjebak dalam kenangan yang sudah lewat.”
Alya terdiam. Kata-kata ibunya seolah menjadi kunci yang membuka pintu hatinya. Waktu yang telah berlalu tidak akan pernah bisa kembali. Kenangan indah bersama Andrian hanyalah sebuah bagian dari perjalanan hidup yang sudah selesai. Jika ia terus menginginkan sesuatu yang tidak mungkin kembali, ia hanya akan terluka lagi.
“Terima kasih, Bu,” kata Alya dengan suara yang lembut. “Aku akan mencoba untuk melangkah ke depan.”
Hari-hari berlalu setelah percakapan itu. Alya mulai menemukan kembali ritme hidupnya. Meskipun perasaan terhadap Andrian masih ada, ia belajar untuk melepaskan. Setiap kali keraguan datang, ia mengingat kata-kata ibunya. Waktu tidak bisa kembali. Kenangan indah itu adalah bagian dari masa lalu yang harus dihargai, tetapi tidak boleh menjadi penghalang bagi hidupnya yang sekarang.
Di tempat kerja, Alya mulai lebih fokus pada desain-desainnya. Ia mulai menikmati proses kreatif itu lagi, meskipun perasaan kosong itu kadang-kadang datang kembali. Namun, ia tidak membiarkannya menguasai dirinya. Ia tahu bahwa hidupnya tidak hanya tentang masa lalu, tetapi juga tentang apa yang akan datang.
Beberapa minggu setelah ia mengirim pesan terakhir kepada Andrian, Alya menerima sebuah email dari Andrian. Isinya singkat dan penuh penyesalan.
“Alya, aku tahu aku telah membuat kesalahan besar dan mungkin tidak ada kata-kata yang cukup untuk menjelaskan semua yang telah terjadi. Aku berharap kamu bisa menemukan kebahagiaanmu, apapun yang terjadi. Aku akan selalu menghargai kenangan kita, tetapi aku juga tahu bahwa kita tidak bisa kembali. Aku ingin kamu tahu bahwa aku akan selalu mendukung keputusanmu, apa pun itu.”
Membaca pesan itu, Alya merasakan campuran perasaan—sedih, lega, dan juga bahagia. Andrian akhirnya menerima kenyataan bahwa mereka tidak bisa kembali. Pesan itu adalah titik akhir dari perjalanan mereka bersama, sebuah penutupan yang perlu Alya terima agar bisa melanjutkan hidup.
Alya meletakkan ponsel di meja dan menatap keluar jendela. Senja mulai datang lagi, dengan warna merah yang perlahan memudar. Waktu terus berjalan, membawa perubahan yang tak terelakkan. Ia tidak bisa mengubah apa yang telah terjadi, tetapi ia bisa memilih bagaimana melangkah ke depan. Waktu yang tidak kembali bukanlah sesuatu yang harus disesali, tetapi sesuatu yang harus diterima dengan lapang dada.
Dengan satu napas dalam, Alya merasa sedikit lebih bebas. Keputusan itu telah ia buat. Kini saatnya untuk melangkah maju, meninggalkan kenangan yang indah namun tak bisa diulang. Waktu yang tidak kembali adalah sesuatu yang harus dihargai, bukan dijadikan beban. Dan dengan itu, Alya siap untuk melanjutkan hidupnya, tanpa lagi terjebak di masa lalu.
Setelah percakapan dengan ibunya, Alya merasa ada sedikit beban yang terangkat dari dadanya. Seolah-olah kata-kata ibunya menyentuh bagian dalam dirinya yang sudah lama ia tutup rapat. Terkadang, untuk bisa melepaskan sesuatu yang sangat berharga, kita harus menerima kenyataan bahwa hal tersebut sudah berlalu dan tidak bisa diputar kembali. Itulah pelajaran terbesar yang Alya coba pahami bahwa kenangan indah yang ia simpan bersama Andrian, meskipun tak ternilai harganya, hanyalah bagian dari perjalanan yang sudah selesai.
Malam itu, ia duduk sendiri di balkon apartemennya, menikmati angin sepoi-sepoi yang datang dari arah laut. Pikirannya kembali mengembara, tetapi kali ini, ia merasa sedikit lebih ringan. Setiap angin yang menyentuh kulitnya seakan membawa perasaan yang sudah tertahan begitu lama, dan untuk pertama kalinya dalam beberapa minggu, Alya merasa seperti dirinya yang dulu tenang, damai, dan siap melangkah.
Keputusan untuk mengakhiri komunikasi dengan Andrian bukanlah hal yang mudah. Alya mengakui bahwa perasaan yang masih ada dalam dirinya begitu kuat, dan saat ia mengetik pesan itu, hatinya bergetar. Namun, setelah membaca kembali kata-kata ibunya, ia tahu bahwa itu adalah langkah yang harus diambil. Tidak ada gunanya terus berharap pada sesuatu yang tidak bisa kembali. Waktu tidak bisa diputar, dan untuk pertama kalinya, Alya merasa siap untuk melangkah maju tanpa menoleh ke belakang.
Pagi berikutnya, saat Alya menuju kantor, langkahnya terasa lebih mantap. Meskipun senyumannya tidak sepenuhnya lepas, ia merasa sedikit lebih bebas. Seiring berjalannya waktu, pekerjaan yang tadinya terasa berat kini mulai kembali mengalir. Alya kembali tenggelam dalam dunia desain, memanfaatkan kreativitasnya untuk menghasilkan karya-karya baru. Keputusan besar yang baru saja ia buat memberikan ruang bagi dirinya untuk berkembang, dan untuk pertama kalinya, ia merasa tidak lagi terbelenggu oleh bayang-bayang masa lalu.
Satu bulan berlalu. Alya mulai merasa lebih kuat. Keputusan untuk tidak kembali kepada Andrian memang menyakitkan, tetapi ia tahu itu adalah hal yang benar. Kenangan mereka tidak akan pernah hilang begitu saja, tetapi mereka tidak lagi menguasai hidupnya. Alya mulai keluar bersama teman-temannya lebih sering, menikmati waktu yang selama ini ia abaikan. Ada sesuatu yang menyegarkan dalam dirinya—sebuah kebebasan yang selama ini terpendam.
Namun, meskipun perasaan itu mulai mereda, Alya tidak bisa menepis kenyataan bahwa ada bagian dari dirinya yang masih merasa kosong. Seiring berjalannya waktu, ia menyadari bahwa meskipun ia sudah membuat keputusan untuk melepaskan Andrian, hatinya masih belum sepenuhnya bisa melupakan. Rasa rindu itu muncul dengan sendirinya, tiba-tiba datang tanpa permisi. Meski ia mencoba untuk fokus pada pekerjaan dan kehidupan sosialnya, perasaan itu tetap ada—menghantuinya di saat-saat yang sepi.
Suatu malam, setelah pulang dari kafe tempat ia bertemu dengan Lila, Alya merasa gelisah. Langit malam yang gelap semakin menambah kesan sepi yang ia rasakan. Ia tidak bisa menahan perasaan rindu yang terus hadir, meskipun ia sudah berusaha untuk melepaskannya. Ia duduk di sofa, menatap layar ponsel yang kosong. Begitu banyak pesan yang terlewatkan dari Andrian, tetapi ia merasa ragu untuk membuka dan membalasnya. Kenapa perasaan ini begitu sulit untuk dilepaskan? Kenapa kenangan itu masih menghantui?
Alya meletakkan ponselnya di samping dan memejamkan mata. Rasanya, setiap detik yang berlalu selalu berisi pertanyaan yang tidak terjawab. Apakah ia sudah benar-benar melepaskan Andrian? Ataukah ia hanya menekan perasaannya demi kebahagiaan yang semu? Bagaimana jika ia memilih untuk kembali dan memberi kesempatan? Apakah itu akan menjadi keputusan yang lebih baik?
Namun, saat perasaan itu datang, Alya kembali ingat pada kata-kata ibunya. Waktu tidak bisa kembali. Tidak ada gunanya terus menerus menginginkan sesuatu yang sudah pergi. Alya harus menerima kenyataan bahwa hidup tidak berhenti hanya karena ia kehilangan seseorang. Andrian mungkin pernah menjadi bagian besar dalam hidupnya, tetapi kini saatnya baginya untuk menjalani hidupnya sendiri—tanpa bergantung pada kenangan yang tak bisa ia ubah.
Alya bangkit dari sofa dan berjalan menuju balkon. Udara malam terasa dingin, namun ia merasakannya sebagai kelegaan. Ia menatap bintang-bintang di langit, yang meskipun jauh, tetap memberi sinar pada kegelapan malam. Seiring berjalannya waktu, perasaan itu mulai memudar. Meskipun ia masih merindukan Andrian, Alya sadar bahwa ia bisa lebih dari sekadar menjadi bayangan masa lalu. Ia memiliki hidupnya sendiri untuk dijalani, dan itu adalah kesempatan yang tidak boleh disia-siakan.
Keesokan harinya, setelah beberapa hari penuh pergolakan batin, Alya memutuskan untuk melakukan sesuatu yang berbeda. Ia mengunjungi sebuah galeri seni yang terletak di tengah kota—tempat yang dulu pernah menjadi favoritnya. Galeri ini memiliki nuansa yang tenang dan penuh inspirasi. Sebelum hubungannya dengan Andrian berakhir, mereka sering menghabiskan waktu di tempat ini, berbicara tentang kehidupan, tentang impian, dan tentang segala hal yang mereka inginkan. Itu adalah salah satu tempat yang mengikat kenangan mereka bersama.
Namun kali ini, Alya merasa bahwa tempat itu bisa memberi hal yang berbeda. Galeri seni itu bukan lagi tempat penuh kenangan, melainkan sebuah ruang yang mengajaknya untuk melihat dunia dari perspektif baru. Di dalamnya, ada banyak lukisan, patung, dan karya seni yang menggugah perasaan. Ada sesuatu yang mengingatkannya bahwa hidup ini lebih dari sekadar kenangan—bahwa ada keindahan baru yang menunggu untuk ditemukan, bahkan setelah kehilangan.
Saat ia berjalan di antara lukisan-lukisan yang dipajang di dinding, Alya merasakan sebuah kedamaian yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Setiap warna dan garis pada lukisan-lukisan itu seakan berbicara padanya, mengingatkan bahwa kehidupan ini adalah tentang perjalanan, bukan hanya tentang tempat yang telah kita tinggalkan. Ada keindahan dalam ketidakpastian, dan kadang-kadang kita harus berani melepaskan untuk bisa menemukan yang lebih baik.
Alya berhenti di depan sebuah lukisan yang sangat sederhana, tetapi memiliki daya tarik yang luar biasa. Lukisan itu menggambarkan dua tangan yang terulur, saling menjangkau, tetapi tidak pernah benar-benar bertemu. Alya merasa lukisan itu mencerminkan perasaannya sendiri—sebuah hubungan yang pernah begitu dekat, tetapi sekarang harus berpisah. Tangan-tangan itu menggambarkan keinginan untuk bertemu, namun terhalang oleh jarak yang tak terjembatani. Sejenak, Alya tertegun, lalu tersenyum kecil. Mungkin, dalam hidup, kita hanya bisa berusaha meraih dan berharap—tapi tak semua hal akan bisa kita dapatkan.
Lukisan itu memberikan pemahaman baru bagi Alya. Ia tidak perlu terus menginginkan Andrian kembali. Tidak perlu lagi menoleh pada masa lalu, karena hidupnya sekarang adalah miliknya sendiri. Keputusan yang telah ia ambil, meskipun sulit, adalah hal yang benar. Dan mungkin, waktu yang tidak kembali adalah hal terbaik yang bisa terjadi, karena itu membukakan jalan bagi hal-hal baru yang mungkin jauh lebih indah.
Alya memutuskan untuk berjalan keluar dari galeri itu dengan langkah yang lebih ringan. Waktu yang telah berlalu tidak bisa diputar kembali, tetapi ia bisa memilih untuk bergerak maju, untuk menemukan kebahagiaan dan kedamaian yang baru.
Beberapa minggu setelah kunjungannya ke galeri seni, Alya mulai merasa lebih seimbang. Ia kembali tenggelam dalam rutinitasnya dengan semangat baru. Pekerjaan di kantor berjalan lancar, ia semakin aktif berkumpul dengan teman-temannya, dan yang terpenting, ia mulai merasa lebih utuh. Meskipun Andrian masih ada dalam kenangannya, ia sudah belajar untuk menerima kenyataan bahwa mereka berdua tidak lagi bersama. Tidak ada lagi penyesalan yang mengikatnya, hanya pelajaran dari masa lalu yang ia bawa untuk melangkah ke depan.
Alya sadar, meskipun waktu yang ia miliki dengan Andrian tidak bisa kembali, hidupnya masih penuh dengan kesempatan. Dan kesempatan itulah yang ia pilih untuk jalani menjadi diri sendiri, tanpa bayang-bayang masa lalu yang mengekang. Keputusan untuk melepaskan Andrian bukanlah akhir dari segala sesuatu, melainkan awal dari perjalanan baru yang penuh dengan harapan dan kemungkinan.
Dengan langkah yang lebih mantap dan hati yang lebih lapang, Alya siap melangkah menuju babak baru dalam hidupnya. Waktu yang tidak kembali mungkin telah meninggalkan luka, tetapi juga membuka jalan untuk kebahagiaan yang lebih besar.*
Bab 5: Pesan yang Mengajarkan Arti Waktu
: Setelah percakapan panjang itu, Alya dan Andrian akhirnya menyadari bahwa mereka masing-masing harus melanjutkan hidup mereka dengan cara mereka sendiri. Pesan yang Andrian kirimkan bukanlah sebuah pintu untuk kembali bersama, melainkan sebuah pelajaran tentang pentingnya waktu dan keberanian untuk membuat keputusan yang tepat saat itu juga.
Mereka tidak kembali bersama, tetapi mereka tidak menyesali apapun. Mereka merasa lebih siap untuk menghadapi kehidupan masing-masing, meskipun kenangan tentang satu sama lain akan selalu ada.
Alya dan Andrian berpisah dengan rasa syukur karena pernah saling mencintai, namun kini mereka mengerti bahwa terkadang, cinta bukanlah tentang memiliki, tetapi tentang memberi kebebasan dan kesempatan untuk masing-masing menemukan kebahagiaan mereka sendiri.
Alya duduk di bangku taman dekat danau, dikelilingi oleh pohon-pohon yang telah mulai berguguran daunnya. Udara sejuk musim gugur membuat suasana semakin tenang, dengan suara angin yang bersenandung lembut. Ia menatap air yang beriak, pikirannya terombang-ambing. Di tangan kirinya, ponsel itu masih tergeletak, dengan pesan yang belum dibuka. Pesan dari Andrian. Pesan yang datang beberapa hari yang lalu, dan seakan-akan terjebak dalam ruang waktu yang berbeda. Alya belum bisa memutuskan apakah ia ingin membuka pesan itu atau tidak. Rasanya, segala sesuatunya telah berubah begitu banyak, dan ia khawatir bahwa setiap kata yang ada di pesan itu akan membuatnya kembali terjerat dalam kenangan lama.
“Kenapa waktu terasa begitu lama, tetapi juga begitu cepat?” gumamnya pada diri sendiri, saat matanya tertuju pada air danau yang terus bergerak meskipun tidak ada angin yang cukup besar. Waktu. Entah kenapa, kata itu tiba-tiba terasa begitu penuh makna bagi Alya. Dalam sekejap, hidupnya berubah. Segala sesuatu yang dulu terasa pasti dan stabil, kini terasa seperti sebuah garis yang terus terputus-putus. Waktu, yang pernah dianggapnya berjalan lambat, kini terasa begitu cepat, menuntunnya tanpa ia bisa mengendalikan ke arah yang tak terduga.
Sebelum pesan dari Andrian datang, ia merasa sudah cukup lama menenangkan diri. Ia telah berusaha menerima bahwa perasaan terhadap Andrian adalah bagian dari masa lalu, bagian dari sebuah perjalanan yang harus dihargai, namun juga harus dilepaskan. Perjalanan mereka, meskipun penuh kenangan indah, berakhir dengan cara yang tak terduga. Alya tahu bahwa ia tidak bisa terus hidup dengan bayang-bayang masa lalu, dan itu bukan karena ia tidak mencintai Andrian lagi. Tetapi karena waktu itu sendiri yang memaksanya untuk berubah. Waktu tidak bisa diputar balik.
Namun, pesan yang datang itu seperti sebuah jendela yang membuka kembali pintu kenangan, dan kini Alya merasa cemas. Mengapa ia merasa bingung? Bukankah ia sudah memutuskan untuk melepaskan masa lalu? Mengapa, meskipun keputusan itu sudah dibuat, ia masih terombang-ambing di antara keinginan untuk melupakan dan rasa rindu yang tak bisa dipungkiri?
“Apakah ini yang disebut dengan takdir?” Alya bertanya pada dirinya sendiri, sedikit kesal. “Apakah kita harus terus terjebak dalam kenangan lama sampai kita menemukan arti dari waktu itu sendiri?” Tapi ia tahu jawabannya. Takdir, seperti waktu, bukanlah sesuatu yang bisa ditawar-tawar. Kita hanya bisa menerima dan belajar untuk menghadapinya.
Alya memutuskan untuk membuka pesan itu. Dengan sedikit cemas, ia membuka ponselnya dan membaca pesan yang ditulis Andrian. Ketika pertama kali melihatnya, hatinya berdegup kencang. Setiap kata yang tertulis membawa kembali bayangan masa lalu, namun kali ini, Alya berusaha untuk tetap tenang. Pesan itu singkat, tetapi penuh dengan makna.
“Alya, aku tahu ini mungkin terlambat, tetapi aku ingin kamu tahu bahwa aku tidak pernah berhenti memikirkanmu. Waktu yang kita lewati bersama adalah kenangan yang selalu aku hargai, dan meskipun kita telah memilih jalannya masing-masing, aku merasa ada bagian dari diriku yang selalu ingin kembali ke kamu. Aku tidak tahu apakah kita bisa bertemu lagi, tetapi aku ingin kamu tahu bahwa aku menghargai setiap detik yang pernah kita bagi.”
Alya memandangi pesan itu lebih lama, merasa beban yang cukup besar tiba-tiba hadir dalam dirinya. Kenapa Andrian mengirim pesan ini sekarang? Bukankah ia sudah mengambil keputusan untuk melanjutkan hidup tanpa harus terjebak di masa lalu? Mengapa ia merasa seolah-olah ada benang merah yang menariknya kembali ke sana?
Ia menghela napas, meletakkan ponselnya di samping. Di sini, di tengah taman yang sunyi ini, Alya merasa ada begitu banyak waktu yang telah berlalu dan begitu banyak yang belum ia pahami. Ada begitu banyak pesan yang belum ia terima dengan sepenuh hati, pesan-pesan yang datang dalam bentuk kenangan, perasaan, dan keputusan yang sulit.
Alya kemudian teringat pada beberapa bulan yang lalu, ketika ia pertama kali menerima kenyataan bahwa Andrian harus pergi. Waktu itu, ia merasa kehilangan, merasa dunia berhenti sejenak. Tetapi seiring berjalannya waktu, ia mulai menyadari bahwa kehilangan itu bukan akhir dari segalanya. Kehilangan adalah bagian dari proses, dan waktu—meskipun tampaknya tidak adil—memiliki cara untuk menyembuhkan segala luka, mengajarkan kita untuk menerima kenyataan, dan membukakan kesempatan baru. Alya kini tahu, bahwa ia harus belajar untuk merangkul waktu, bukan melawan arusnya.
Pikirannya kembali melayang ke masa lalu, ke saat-saat indah yang ia habiskan bersama Andrian. Mereka sering berbicara tentang masa depan, merencanakan segala sesuatu, dan sering kali, waktu seolah berhenti ketika mereka berdua bersama. Namun, kenyataan menyadarkan Alya bahwa tak ada jaminan dalam hidup. Waktu bisa saja berakhir begitu saja tanpa kita siap menghadapinya.
Ia teringat kata-kata ibunya yang selalu mengingatkannya untuk menghargai waktu. “Waktu, Nak, adalah sesuatu yang tidak bisa dibeli, tidak bisa diputar balik. Jadi, jangan sia-siakan waktu yang ada hanya karena takut akan kehilangan. Setiap detik yang berlalu adalah bagian dari perjalanan hidupmu.”
Alya mengangguk pelan, seolah mengingat kembali nasihat ibunya yang selama ini terasa seperti sebuah pepatah kuno. Namun, kini ia menyadari betapa pentingnya nasihat itu. Jika waktu adalah sesuatu yang tidak bisa diulang, maka ia harus belajar untuk menggunakannya dengan bijak, untuk menghargai setiap detik, setiap momen, dan setiap langkah yang diambil dalam hidupnya.
Beberapa hari setelah menerima pesan dari Andrian, Alya masih terjebak dalam pergolakan batin yang tidak mudah. Di satu sisi, ia merasa lega karena Andrian akhirnya mengungkapkan isi hatinya, tetapi di sisi lain, ia juga merasa bingung. Keputusan untuk melepaskan bukanlah keputusan yang mudah, dan kini, setelah pesan itu datang, ia merasa seperti berada di persimpangan jalan.
Alya tahu bahwa ia harus membuat keputusan—apakah ia akan memberi kesempatan pada Andrian untuk kembali atau tetap melanjutkan hidupnya tanpa menoleh ke belakang? Waktu tidak bisa memberikan jawaban yang jelas, dan itulah yang membuatnya bingung. Namun, ia juga tahu bahwa perasaan itu tidak bisa dibiarkan menguasai hidupnya. Waktu akan terus berjalan, dan ia harus belajar untuk mengikuti alur hidupnya tanpa terjebak dalam masa lalu.
Suatu pagi, ketika Alya sedang duduk di meja kerjanya, sebuah email masuk. Dari Andrian. Kali ini, pesan itu lebih panjang dan lebih mendalam. Andrian menulis tentang betapa ia merindukan hubungan mereka, bagaimana ia merasa kehilangan saat mereka berpisah, dan bagaimana waktu yang mereka habiskan bersama adalah kenangan yang selalu ia jaga. Tetapi, ada juga bagian dalam pesan itu yang membuat Alya merasa bahwa Andrian telah berubah. Ia mengakui bahwa waktu telah mengajarkannya banyak hal, dan bahwa ia kini menyadari bahwa hubungan mereka tidak bisa dipaksakan kembali. Andrian mengungkapkan bahwa ia ingin Alya bahagia, meskipun itu berarti mereka harus berpisah.
Membaca pesan itu, Alya merasakan campuran perasaan yang sulit dijelaskan. Ada rasa haru, ada rasa lega, dan ada juga rasa kehilangan. Andrian, yang selama ini menjadi bagian dari hidupnya, kini menyadari bahwa mereka memang sudah berubah, dan bahwa mereka tidak bisa kembali seperti dulu. Alya merasa seolah-olah ia sedang dihadapkan pada cermin, di mana ia bisa melihat betapa besar perubahan yang terjadi dalam dirinya juga.
Andrian akhirnya memberikan pesan terakhir yang penuh dengan penghargaan terhadap waktu yang pernah mereka habiskan bersama. “Alya, aku ingin kamu tahu bahwa meskipun kita tidak bersama, aku akan selalu menghargai waktu yang kita miliki. Waktu itu mengajarkan kita untuk saling mencintai, namun juga mengajarkan kita untuk melepaskan. Aku berharap kamu menemukan kebahagiaan yang kamu cari, meskipun itu tidak lagi bersama aku.”
Alya merasa air matanya perlahan menggenang. Waktu. Pesan itu mengajarkan banyak hal tentang waktu, tentang bagaimana waktu bisa mengubah segala sesuatu, namun juga bagaimana waktu memberikan kebijaksanaan untuk menerima kenyataan yang tak terhindarkan.***
————-THE END————