Daftar Isi
Bab 1: Jarak yang Menguji Waktu
Pagi itu, Arga duduk di depan laptopnya di ruang kantor yang sibuk, menatap layar penuh dengan notifikasi email dan pesan-pesan yang menunggu untuk dibaca. Suasana kantor di London yang dingin dan sibuk sudah menjadi hal yang biasa baginya. Namun, di balik rutinitas kerja yang padat, ada sesuatu yang terus mengganjal dalam pikirannya. Sesuatu yang tak bisa hilang meskipun ia sudah mencoba untuk mengabaikannya. Sebuah nama yang selalu muncul di setiap pikirannya, bahkan ketika ia berusaha fokus pada pekerjaan: Raya.
Raya, perempuan yang dulu begitu dekat dengannya, kini hanya bisa ia sapa lewat pesan singkat yang tak lagi terasa seperti dulu. Pesan-pesan itu semakin jarang, dan percakapan mereka di telepon pun semakin kaku. Tidak ada lagi obrolan panjang tentang impian dan rencana masa depan, tidak ada lagi tawa yang mengalir dengan begitu alami. Yang ada hanyalah kesibukan masing-masing yang menggantikan waktu untuk berbicara, keheningan yang memenuhi ruang-ruang kosong dalam kehidupan mereka.
Sudah hampir dua tahun sejak Arga menerima tawaran pekerjaan di London yang memaksanya untuk meninggalkan Raya di Jakarta. Mereka berdua telah berjanji untuk menjaga hubungan meskipun terpisah oleh jarak yang sangat jauh, namun semakin hari, Arga merasa bahwa hubungan mereka semakin memudar. Hanya pesan-pesan singkat yang sampai, atau kadang hanya sebuah emoji yang tak cukup menggambarkan perasaan yang begitu dalam.
Di sisi lain, Raya juga merasakan hal yang sama. Setiap hari ia mengerjakan rutinitasnya di Jakarta, berusaha bertahan dengan hidup yang semakin terasa hampa tanpa Arga di sisinya. Mereka berdua sudah terbiasa berbicara sepanjang malam tentang hal-hal kecil yang mereka lakukan dalam keseharian, tentang mimpi-mimpi yang mereka miliki bersama. Namun, semua itu kini terasa semakin jauh, semakin tak terjangkau. Waktu dan jarak mulai mengambil alih kehidupan mereka, membuat mereka terpisah lebih jauh lagi daripada yang mereka bayangkan.
Pagi itu, Arga merasa tidak sabar untuk menghubungi Raya. Sudah beberapa hari ia tidak menerima kabar darinya. Walaupun ia tahu Raya sibuk dengan pekerjaannya di Jakarta, rasa rindu yang tidak tertahankan membuatnya ingin segera menghubunginya. Ia tidak tahu mengapa, tetapi ia merasa ada yang hilang tanpa adanya komunikasi yang lebih intens antara mereka. Dengan cepat, ia mengetik pesan di ponselnya:
“Raya, aku kangen banget. Apa kabar? Sudah lama nggak ngobrol panjang. Gimana hari-harimu?”
Pesan itu terkirim, dan Arga menunggu dengan harap-harap cemas. Ia tahu, pesan ini mungkin hanya akan dibalas beberapa jam kemudian, atau bahkan bisa saja tidak sama sekali. Namun, ia tak bisa menahan dirinya untuk mengirimkan pesan itu. Hati kecilnya masih berharap bahwa mereka bisa kembali seperti dulu, kembali merasa dekat meskipun jarak memisahkan mereka.
Beberapa saat kemudian, ponselnya bergetar. Arga memandang layar dengan gugup, dan ketika melihat nama Raya muncul di notifikasi, jantungnya berdegup kencang. Ia membuka pesan itu dengan antusias, berharap bisa merasakan kembali kehangatan yang dulu selalu hadir dalam setiap kata-kata Raya.
“Aku baik-baik aja, cuma lagi sibuk banget akhir-akhir ini. Maaf kalau nggak sempat bales. Aku kangen juga, Arga. Kita udah jarang ngobrol ya…”
Arga tersenyum kecil membaca balasan itu. Meskipun hanya beberapa kalimat, ia bisa merasakan bahwa Raya masih memiliki perasaan yang sama, meski terpisah oleh jarak yang begitu jauh. Namun, ada sesuatu dalam kata-kata itu yang membuatnya merasa sedikit cemas. “Jarang ngobrol”, bahkan Raya pun menyadari hal itu. Itu adalah pertanda bahwa hubungan mereka semakin jauh, semakin tertinggal di belakang rutinitas masing-masing yang tak terelakkan.
Di Jakarta, Raya memandangi layar ponselnya. Pesan dari Arga itu bagaikan secercah cahaya yang menyinari hari-harinya yang monoton dan penuh dengan kesibukan. Ia menatap nama Arga di layar ponselnya, dan sejenak ia kembali mengingat masa-masa indah ketika mereka masih berada di kota yang sama. Ketika komunikasi tidak pernah putus, dan setiap percakapan terasa penuh makna. Setiap obrolan mereka selalu menorehkan kenangan manis, bahkan percakapan tentang hal-hal sepele pun terasa begitu berarti.
Namun, seiring berjalannya waktu, Raya mulai merasakan kesulitan untuk tetap terhubung dengan Arga. Hari-harinya semakin sibuk dengan pekerjaan yang menumpuk di kantor, kegiatan sosial yang memaksa dirinya untuk selalu berada di luar rumah, dan rutinitas yang membuatnya merasa lelah dan terkadang putus asa. Meskipun ia ingin berbicara dengan Arga lebih sering, rasanya semakin sulit untuk menemukan waktu dan energi untuk itu. Rindu yang semula membara mulai berubah menjadi kekhawatiran. Apakah Arga masih merasakannya seperti dulu? Apakah ia masih merindukannya?
Raya merasa bahwa hubungan mereka kini hanya ada dalam kenangan. Pesan-pesan singkat, saling bertanya kabar, tetapi tidak ada lagi percakapan mendalam yang mereka nikmati dulu. Ia merasa kehilangan bagian dari dirinya, bagian yang dulu hanya bisa ia temui dalam setiap obrolan dengan Arga. Segala sesuatunya mulai terasa terputus, dan perasaan kesepian mulai menghampirinya, meskipun ia dikelilingi banyak orang. Hati Raya sering kali bertanya-tanya, apakah cinta ini masih bisa bertahan?
Arga menghela napas panjang setelah membalas pesan Raya. Ia merasa sedikit lega karena mendapat balasan, tetapi juga semakin cemas. Waktu terus berjalan, dan jarak semakin membentuk dinding tebal yang memisahkan mereka. Ada banyak hal yang tidak bisa ia sampaikan hanya melalui pesan teks, ada banyak perasaan yang tidak bisa ia ungkapkan lewat ketikan di layar ponselnya. Ia ingin lebih banyak berkomunikasi dengan Raya, tetapi semakin lama ia merasa semakin sulit untuk menemukan cara yang tepat untuk menjaga hubungan ini tetap hidup.
Apa yang terjadi dengan hubungan mereka? Arga sering bertanya-tanya di dalam hati. Ia ingin sekali bisa merasakan kembali kehangatan obrolan mereka yang dulu, di mana setiap kata terasa penting, dan setiap kalimat diucapkan dengan penuh perhatian. Namun, seiring berjalannya waktu, ia merasakan bahwa setiap pesan hanya menjadi formalitas. Tidak ada lagi ketegangan saat menunggu balasan, tidak ada lagi kegembiraan saat menerima pesan dari Raya. Yang ada hanya rasa hampa yang semakin membesar.
Beberapa hari kemudian, Raya memutuskan untuk mencoba menghubungi Arga kembali. Kali ini, ia merasa perlu untuk mengajak Arga berbicara lebih dari sekadar pesan teks. Mungkin percakapan lewat telepon bisa memberikan sedikit kehangatan yang hilang. Ia merasa bahwa mereka sudah cukup lama terjebak dalam kebisuan, dan saatnya untuk mencoba membuka percakapan yang lebih berarti. Dengan rasa ragu-ragu, Raya menekan tombol untuk menghubungi Arga lewat telepon.
Ketika telepon terhubung, suasana yang mereka ciptakan tidak seperti dulu. Mereka berdua merasa canggung. Ada jeda panjang di antara kalimat-kalimat yang mereka ucapkan, seolah-olah kata-kata itu sudah kehilangan maknanya. Suasana hening itu begitu mengganggu, namun keduanya hanya bisa berdiam diri, seakan takut untuk mengatakan sesuatu yang bisa mengubah dinamika yang telah lama terjalin.
“Arga, aku… aku kangen. Tapi rasanya… aneh ya, kalau sekarang kita ngobrol lewat telepon. Dulu kita nggak pernah canggung kayak gini,” kata Raya dengan suara pelan, hampir tak terdengar.
Arga diam sejenak, merasakan kesedihan yang juga memenuhi hatinya. Ia tahu apa yang dirasakan Raya. Ia pun merasakan hal yang sama. Ketegangan di antara mereka tidak bisa disembunyikan.
“Aku juga kangen, Raya. Tapi mungkin kita butuh waktu untuk bisa kembali seperti dulu, ya? Ini bukan mudah untuk kita berdua,” jawab Arga dengan suara yang serak, mencoba merangkai kata-kata yang tepat, meskipun hatinya terasa berat.
Dengan telepon yang masih terhubung, mereka berdua terdiam. Masing-masing mencoba untuk memikirkan apa yang akan terjadi selanjutnya. Jarak ini semakin lama semakin terasa menekan. Mereka tahu bahwa jika mereka ingin mempertahankan hubungan ini, mereka harus lebih dari sekadar berbicara lewat pesan atau telepon. Mereka harus menemukan cara untuk tetap dekat, meskipun dunia mereka berada di tempat yang berbeda. Namun, apakah mereka berdua cukup kuat untuk melewati ujian waktu ini?
Rasa cemas dan ketidakpastian semakin membayangi perasaan mereka. Arga, yang selama ini berjuang di kota besar dengan segala impian dan ambisinya, merasa bahwa hubungan ini menjadi semakin berat untuk dipertahankan. Begitu pula dengan Raya, yang hidup di tengah hiruk-pikuk Jakarta, merasakan betapa kosongnya dunia tanpa kehadiran Arga. Mereka berdua menyadari bahwa mereka harus membuat pilihan—apakah mereka akan terus berjuang untuk cinta ini, atau menyerah pada jarak yang semakin memperlebar kesenjangan di antara mereka.*
Bab 2: Pesan-Pesan yang Terlambat
Hari demi hari berlalu, dan meskipun jarak memisahkan mereka, Arga dan Raya masih berusaha untuk menjaga hubungan mereka. Namun, semakin lama mereka menjalani kehidupan masing-masing, semakin terasa berat untuk bisa terus terhubung seperti dulu. Kehidupan di luar sana, di dunia nyata yang penuh dengan rutinitas, kadang mengalahkan waktu yang mereka coba curahkan untuk satu sama lain. Pesan-pesan singkat yang dulu selalu datang tepat waktu kini terasa terlambat, baik dalam arti harfiah maupun dalam perasaan.
Arga, yang tinggal di London, merasa seperti hidup dalam dua dunia yang terpisah. Di satu sisi, ia disibukkan oleh pekerjaan yang menuntutnya untuk selalu berada di depan layar komputer, mengatur presentasi, rapat, dan strategi perusahaan. Namun, di sisi lain, ada rasa sepi yang selalu menghantui setiap kali ia melangkah pulang ke apartemennya yang dingin dan kosong. Hanya suara gemericik hujan yang mengiringi langkahnya. Hari-harinya di London terasa semakin terisolasi, meskipun di luar sana, kehidupan bergerak cepat.
Pagi itu, Arga kembali duduk di mejanya, memeriksa layar ponselnya. Sudah hampir dua minggu sejak terakhir kali ia mendengar suara Raya melalui telepon. Hanya pesan singkat yang ia terima, berisi kabar Raya yang sibuk dengan proyek baru di kantor. Sejujurnya, Arga merasa cemas. Pesan-pesan singkat yang datang tidak seperti dulu lagi. Tidak ada lagi kehangatan dalam kata-kata itu. Hanya informasi tentang rutinitas Raya yang semakin memudar dalam ingatannya.
“Sibuk banget, aku nggak bisa telepon,” itu adalah alasan yang hampir selalu muncul dalam pesan Raya. “Aku lagi banyak kerjaan.” Kalimat yang sama, berulang, membuat Arga merasa semakin terpinggirkan. Namun, ia mencoba untuk memahami. Mereka sudah terpisah begitu lama, dan setiap orang pasti memiliki hidupnya sendiri, bukan? Namun, kenapa pesannya terasa seperti hanya formalitas? Arga merasa rindu yang dulu mengikat mereka semakin memudar, diselimuti oleh rutinitas yang semakin menuntut.
Dengan hati yang ragu, Arga menatap layar ponselnya sejenak. Akhirnya, ia memutuskan untuk menulis sesuatu. Ia tahu bahwa ia tak bisa terus menunggu tanpa mencoba untuk mengungkapkan perasaannya.
“Raya, aku kangen banget. Sudah lama kita nggak ngobrol panjang. Kapan-kapan kita bisa telepon lagi? Aku ingin denger suara kamu.”
Namun, setelah mengetik pesan itu, Arga mulai ragu. Apakah ini terlalu mengada-ada? Apakah ia sudah terlalu mendesak? Ia hampir menghapus pesan itu, tetapi akhirnya menekannya, mengirimkannya juga. Hatinya masih gelisah menunggu balasan. Ia berharap, meskipun hanya untuk sesaat, mereka bisa kembali seperti dulu. Semuanya terasa begitu lama, begitu kosong.
Beberapa jam kemudian, ponselnya bergetar. Pesan dari Raya. Arga membuka pesan itu dengan perasaan campur aduk—harap-harap cemas. “Arga, maaf ya. Lagi sibuk banget. Aku juga kangen, tapi belakangan ini emang banyak banget yang harus aku kerjain. Kita telepon minggu depan aja ya, aku janji.”
Arga menatap pesan itu dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Ada rasa lega karena Raya masih mengingatnya, namun ada juga rasa kecewa yang menyelimuti hatinya. “Minggu depan?” Itu terasa begitu lama, begitu jauh. Ia menatap layar ponselnya lebih lama, merasa seolah pesan itu kosong meskipun kata-kata itu penuh dengan pengertian. Ia tahu Raya sibuk, tapi apakah hubungan mereka akan selalu berputar di sekitar alasan-alasan ini?
Di sisi lain, Raya merasa beban yang semakin berat. Semakin sibuk ia dengan pekerjaan di kantor, semakin jauh perasaannya terhadap Arga. Tak ada waktu untuk merencanakan percakapan yang panjang, apalagi bertemu langsung. Raya tahu betul bahwa Arga menginginkan lebih banyak perhatian, tapi entah kenapa, ia merasa semakin terjebak dalam rutinitas yang terus menggerogoti waktunya. Rasanya, untuk menjaga hubungan mereka tetap hidup, ia harus berusaha keras, dan ia merasa lelah. Ia berusaha keras untuk tetap menjaga komunikasi, namun di sisi lain, ia merasa bahwa dirinya juga membutuhkan waktu untuk dirinya sendiri.
Malam itu, Raya membuka pesan dari Arga. Ada kerinduan yang begitu dalam dalam kata-kata Arga, meskipun ia tahu bahwa setiap pesan Arga mengandung harapan agar mereka bisa kembali seperti dulu—selalu berbicara, selalu berbagi cerita. Tapi jarak ini… rasanya semakin sulit untuk dijembatani.
“Aku benar-benar ingin kamu tahu, aku kangen. Tapi aku terlalu banyak yang harus diurus di sini. Maaf, Arga. Aku akan coba lebih sering menghubungimu, tapi aku butuh waktu.”
Raya mengirimkan pesan itu, mencoba untuk menenangkan dirinya sendiri, mencoba untuk meyakinkan bahwa semuanya masih bisa diatur, meskipun hatinya mulai ragu. Setiap kali ia menulis pesan ini, ia merasa seolah-olah ia sedang berbohong pada dirinya sendiri. Ia tak tahu lagi bagaimana cara menjaga hubungan yang penuh dengan rindu tapi sedikit sekali perhatian. Apa yang bisa dilakukan untuk mengembalikan percakapan mereka yang dulu begitu hangat dan tanpa beban?
Seminggu berlalu, dan pesan-pesan itu terus mengalir, namun tak ada satu pun yang benar-benar mendalam. Hanya kabar singkat yang terus berlanjut. Arga merasa semakin terasingkan, seolah-olah hubungan mereka sedang dibekukan di ruang yang sepi. Ia ingin sekali berbicara lebih lama, tetapi tiap kali ia menghubungi Raya, ia merasa ia hanya mengganggu. Dan itu mengganggu pikirannya. Ia merasa seolah-olah setiap pesan yang ia kirim tidak mendapatkan perhatian yang layak. Padahal, hati kecilnya berharap lebih. Ia ingin tahu apa yang terjadi dengan mereka—apakah hubungan ini hanya berjalan di tempat atau apakah ada peluang untuk bisa kembali seperti dulu.
Saat tengah malam, Arga menulis pesan terakhir malam itu, merasa tidak sabar menunggu hingga pagi hari. Setiap ketikan terasa seperti ujian bagi hatinya, tetapi ia merasa harus mengungkapkan perasaan yang sudah terlalu lama terpendam.
“Aku cuma mau bilang, aku nggak bisa terus seperti ini. Aku takut kita semakin jauh. Kalau kamu merasa seperti ini juga, aku harap kita bisa bicara lebih banyak, nggak cuma lewat pesan.”
Dia menekan kirim dan menatap layar, menunggu balasan. Setengah jam kemudian, ponselnya bergetar. Itu pesan dari Raya. Hati Arga berdebar lebih cepat. “Aku nggak mau kehilangan kamu, Arga. Tapi aku juga nggak tahu harus gimana. Setiap kali aku lihat pesan kamu, aku merasa semakin jauh dari kamu. Ini bukan karena aku nggak peduli, tapi aku terlalu sibuk… aku nggak tahu bagaimana harus menjelaskannya.”
Arga terdiam, menatap pesan itu seolah-olah mencoba mencari jawabannya di antara kata-kata yang tersusun rapi. Semua yang ia dengar dari Raya terasa jujur, namun juga sangat menyakitkan. Dia tahu Raya merasa tertekan dengan keadaan ini, tetapi Arga juga merasa bahwa dirinya telah diberikan ruang yang semakin sempit. Apakah mereka masih bisa kembali seperti dulu? Ataukah mereka terperangkap dalam rutinitas yang memisahkan mereka lebih jauh lagi?
Dia mengetik balasan dengan hati yang berat.
“Aku mengerti, Raya. Tapi aku butuh lebih dari sekadar pesan singkat ini. Aku nggak mau kita cuma bertahan dengan kata-kata kosong. Aku butuh tahu, apakah kita masih ada di jalan yang sama.”
Keesokan harinya, Arga melangkah keluar dari kantornya, menikmati udara malam di pinggir sungai Thames. Kota ini, yang dulu begitu hidup baginya, kini terasa kosong. Semua kebahagiaan yang ia rasakan saat pertama kali datang ke sini tidak bisa menutupi kesedihan yang datang saat ia kembali mengingat hubungan yang sedang ia jalani dengan Raya. Apa yang mereka alami, apakah itu masih cinta? Atau hanya rutinitas yang dipaksakan oleh keadaan?
Ponselnya bergetar lagi, dan kali ini, balasan dari Raya datang lebih cepat dari yang ia duga.
“Aku juga rindu banget sama kamu, Arga. Aku hanya butuh waktu untuk mencari jawabannya, apakah aku siap untuk itu. Maaf kalau aku terlalu lama membiarkanmu menunggu.”
Arga menatap pesan itu. Ada kelegaan, tetapi juga ketakutan. Apakah ini akhir dari segalanya? Atau justru awal dari perjalanan baru yang penuh dengan ketidakpastian?*
Bab 3 Menyembuhkan dengan Kata-Kata
Arga duduk di kursinya, tangan menggenggam erat cangkir kopi yang sudah lama dingin. Matanya menatap layar laptop, namun pikirannya melayang jauh, kembali kepada pesan-pesan dari Raya yang terakhir kali ia terima. Ada sesuatu yang membuatnya merasa hampa, sebuah kekosongan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Ia sudah terbiasa dengan ketidakhadiran Raya, tetapi setelah percakapan terakhir mereka, sesuatu berubah dalam hatinya. Tidak ada lagi kehangatan dalam kata-kata singkat yang mereka tukar. Rasanya, semua itu hanya formalitas belaka.
Raya, perempuan yang dulu begitu dekat dengan dirinya, kini terasa semakin jauh. Arga tahu, jika mereka terus seperti ini, hubungan mereka akan hancur perlahan tanpa mereka sadari. Arga merasa tak bisa lagi bertahan dengan pesan-pesan yang terputus-putus, dengan percakapan yang terasa dipaksakan. Dia ingin berbicara lebih dalam, ingin mengungkapkan betapa dia merindukan Raya. Tapi saat ia mencoba menulis pesan, kata-kata itu seakan terasa salah, tak mampu mengungkapkan semua yang ada dalam hatinya.
Arga menghela napas panjang. Dia tahu ini bukanlah cara yang baik untuk menyelesaikan masalah. Jika ingin hubungan ini bertahan, dia harus lebih jujur, lebih terbuka, dan lebih berani dalam berbicara. Tanpa pikir panjang, Arga membuka aplikasi pesan di ponselnya, menatap nama Raya, lalu mulai mengetik:
“Raya, aku ingin kita bicara. Sejujurnya, aku merasa semakin jauh dari kamu. Kita nggak lagi seperti dulu, komunikasi kita terasa terputus-putus. Aku kangen banget ngobrol panjang sama kamu, seperti dulu. Aku tahu kita berdua sibuk, tapi aku nggak mau hubungan ini hilang begitu saja. Aku merasa kesepian dengan cara kita sekarang. Aku ingin kita jujur satu sama lain, tanpa ada yang disembunyikan. Aku takut kita akan kehilangan satu sama lain jika terus seperti ini.”
Arga mengirimkan pesan itu dan menunggu dengan perasaan cemas. Ada rasa takut di dalam dirinya—takut jika pesan ini justru membuat semuanya semakin buruk. Tapi ia tahu bahwa ini adalah langkah yang harus diambil. Mereka tidak bisa terus berlarut-larut dalam kebisuan yang membekukan hubungan mereka.
Di sisi lain, Raya memegang ponselnya dengan gemetar. Pesan dari Arga itu begitu mendalam, begitu jujur, dan entah mengapa, itu membuatnya merasa bersalah. Seperti halnya Arga, Raya juga merasa semakin terperangkap dalam rutinitas dan waktu yang terbatas. Tetapi, lebih dari itu, ada perasaan yang lebih dalam lagi rasa cemas yang mulai tumbuh tentang masa depan hubungan mereka. Apakah cinta yang mereka miliki cukup kuat untuk bertahan dalam situasi seperti ini?
Dia menatap layar ponselnya, kemudian mengetik balasan.
“Aku juga merasa hal yang sama, Arga. Aku tahu kita mulai menjauh, dan itu membuat aku merasa takut. Aku kangen banget ngobrol sama kamu. Tapi aku juga merasa lelah, dan kadang-kadang aku nggak tahu harus mulai dari mana. Aku nggak ingin kita hilang satu sama lain, tapi aku merasa kesulitan mengatur waktu untuk kita. Aku minta maaf kalau aku nggak cukup memberi perhatian.”
Raya berhenti sejenak, membaca kembali kalimatnya. Ada keraguan, ada kekhawatiran. Mungkinkah ini cukup? Apakah kata-kata ini akan bisa menyembuhkan luka yang terpendam dalam hubungan mereka? Tapi, dia tahu, inilah saat yang tepat untuk jujur pada dirinya sendiri dan pada Arga.
Setelah beberapa detik, ia menekan kirim.
Arga menatap balasan pesan itu dengan hati yang berdebar. Ternyata, Raya merasakan hal yang sama. Mereka berdua sama-sama merasa terperangkap dalam ketidakpastian. Arga merasa sedikit lega, tetapi juga terharu. Mereka akhirnya mulai berbicara secara terbuka, tanpa ada yang disembunyikan lagi. Sesuatu yang sudah lama ia harapkan dan kini, itu akhirnya terjadi.
Setelah beberapa detik, Arga mengetik balasan:
“Aku ngerti, Raya. Aku juga merasa lelah, tapi bukan lelah karena kamu, melainkan karena kita nggak bisa saling berbagi lagi. Aku nggak mau merasa seperti ini terus-menerus. Kita sudah berjuang terlalu lama untuk membiarkan hubungan kita hilang begitu saja. Aku ingin kita kembali seperti dulu, saling mendukung dan menguatkan. Aku nggak peduli seberapa sibuknya kita, yang penting kita tetap ada untuk satu sama lain.”
Kata-kata itu keluar begitu alami, seolah-olah mereka sudah saling mengenal lebih dalam lagi. Arga merasa bahwa inilah saat yang tepat untuk menyembuhkan hubungan mereka, untuk membangun kembali apa yang sempat retak. Kata-kata ini, meskipun sederhana, mengandung harapan yang begitu besar. Mereka tidak lagi ingin terperangkap dalam kesibukan dan rasa takut. Mereka ingin kembali menemukan kebersamaan yang telah lama hilang.
Raya membaca pesan itu dengan hati yang berdebar. Kata-kata Arga seolah menembus keraguannya, menghangatkan hatinya yang dingin. Ini adalah kesempatan yang mereka berdua tunggu. Jika mereka ingin hubungan ini bertahan, mereka harus memperbaiki segala yang sudah terabaikan, memulihkan apa yang telah rusak, dan memulai dari awal. Tapi kali ini, mereka akan memulai dengan keterbukaan, dengan komunikasi yang lebih baik.
Dengan sedikit tersenyum, Raya membalas pesan itu.
“Aku setuju, Arga. Kita nggak bisa terus begini. Kita butuh waktu untuk saling mengerti, dan aku ingin berusaha lebih keras lagi. Aku nggak mau kehilangan kamu. Kita akan menemukan cara untuk tetap bersama, meski dengan segala kesibukan ini.”
Pesan itu mengalir begitu lancar, penuh dengan harapan dan keinginan untuk memperbaiki semuanya. Setelah mengirimkan pesan, Raya merasa ada beban yang terangkat dari pundaknya. Setidaknya, mereka sudah memulai langkah pertama menuju pemulihan.
Beberapa hari setelah percakapan tersebut, Arga dan Raya mulai lebih sering berbicara satu sama lain. Tidak lagi sekadar pesan singkat yang tertunda, tetapi percakapan yang lebih dalam, yang membawa mereka kembali pada rasa yang telah lama hilang. Meskipun mereka masih terpisah jarak, mereka merasa lebih dekat daripada sebelumnya.
Mereka berbicara tentang banyak hal tentang mimpi-mimpi mereka, tentang ketakutan-ketakutan yang selama ini tidak diungkapkan, dan tentang harapan mereka untuk masa depan. Setiap kata yang mereka ucapkan terasa seperti obat yang menyembuhkan luka-luka lama, dan Arga merasa bahwa mereka akhirnya bisa kembali berjalan bersama.
Bagi Arga, kata-kata bukan hanya sekadar ucapan kosong. Kata-kata adalah cara mereka untuk saling mengingatkan bahwa meskipun terpisah oleh jarak, mereka masih ada untuk satu sama lain. Dengan kata-kata itu pula, mereka bisa menyembuhkan luka-luka yang selama ini mereka pendam tanpa sadar.
Bab 4 Memilih untuk Kembali
Hari itu, Arga berjalan perlahan menyusuri trotoar di sepanjang Thames. Udara dingin London menyentuh kulitnya, tetapi hatinya terasa lebih dingin dari cuaca itu sendiri. Sepanjang minggu ini, dia telah berusaha memahami dirinya sendiri apa yang sebenarnya dia inginkan, apakah dia ingin kembali ke Jakarta untuk bersama Raya, atau tetap bertahan di London, mengejar impian yang sudah di depan mata. Pilihan yang ada terasa begitu rumit, dan di tengah kebingungannya, satu hal yang jelas: ia harus memilih. Arga tidak bisa terus menggantungkan hatinya pada kemungkinan-kemungkinan yang tak pasti.
Pikirannya kembali teringat pada percakapan mereka beberapa malam yang lalu. Setelah berbulan-bulan hanya berkomunikasi lewat pesan-pesan yang singkat dan jarang, akhirnya mereka mulai berbicara lagi. Dengan kata-kata yang lebih jujur, lebih terbuka. Mereka berbicara tentang kerinduan, tentang rasa takut kehilangan satu sama lain, dan tentang bagaimana hubungan mereka terasa semakin jauh meskipun mereka berdua masih saling mencintai.
Saat itu, Raya memintanya untuk memilih apakah dia akan terus berada di London atau kembali ke Jakarta. Mereka sudah lama tahu bahwa hubungan mereka tak bisa terus seperti ini, tanpa kepastian. Mereka tidak bisa terus berlarut-larut dalam kebisuan dan ketidakpastian. Entah bagaimana, mereka harus menemukan cara untuk saling berada di kehidupan masing-masing. Tetapi apakah itu berarti Arga harus kembali ke Jakarta? Atau apakah ia harus terus mengejar mimpi dan kariernya di sini, di London, dan berharap hubungan mereka tetap utuh meskipun jarak masih memisahkan?
Arga merasakan jantungnya berdegup lebih kencang. Setiap detik, pikirannya semakin terpecah antara dua pilihan. Pilihan untuk kembali—untuk memilih Raya, memilih kehidupan yang dulu mereka rencanakan bersama. Atau pilihan untuk tetap bertahan di sini, berjuang dengan kesendirian, dengan harapan bahwa suatu saat hubungan mereka akan berjalan seiring, meskipun dalam jarak yang terpisah.
Di Jakarta, Raya merasakan hal yang sama. Setiap hari, ia duduk di meja kerjanya, namun hatinya terasa kosong. Meski ia sibuk, meski banyak hal yang harus ia urus, perasaan rindu pada Arga terus membayangi. Ia mengingat percakapan mereka malam itu, ketika Arga mengatakan bahwa ia merasa terjebak, bingung dengan arah hubungan mereka. Mereka saling berbagi rasa takut—takut kehilangan satu sama lain, takut bahwa kesibukan dan jarak akan mengubah semuanya.
Raya tahu, hidupnya tidak akan lengkap tanpa Arga. Mereka telah menjalani begitu banyak hal bersama, membangun kenangan-kenangan yang membuatnya merasa bahwa Arga adalah bagian dari dirinya. Namun, ia juga tahu bahwa mereka tidak bisa terus menerus menggantungkan harapan pada janji-janji yang tidak pasti. Jika hubungan ini ingin bertahan, mereka perlu membuat keputusan yang besar.
Pulang. Kembali. Itu adalah kata yang selalu terngiang di kepala Raya. Apa yang harus ia pilih? Apakah ia akan menunggu Arga kembali, atau ia yang harus memilih untuk meninggalkan Jakarta dan pergi ke London? Kedua pilihan itu terasa berat, tetapi salah satu dari mereka harus berani melangkah lebih dulu. Mereka sudah cukup lama berada dalam ketidakpastian, dan Raya merasa waktunya sudah habis. Mereka butuh kepastian—terutama dirinya.
Malam itu, Raya memutuskan untuk mengirimkan pesan pada Arga.
“Arga, aku ingin kamu tahu bahwa aku sangat mencintaimu. Kita sudah menjalani ini lama, dan aku merasa kita butuh keputusan. Aku tidak bisa terus menunggu tanpa tahu ke mana arah hubungan kita. Jadi, aku ingin kamu memilih. Apa kamu ingin kembali ke Jakarta? Atau kamu akan terus bertahan di London dan kita berusaha jarak ini? Aku butuh kepastian, Arga. Aku ingin tahu kita ada dalam rencana hidup yang sama.”
Pesan itu terasa begitu berat bagi Raya. Ia sudah lama berpikir dan akhirnya memutuskan bahwa jika mereka ingin kembali bersama, jika mereka ingin masa depan yang nyata, maka harus ada keputusan besar yang diambil. Ia tidak ingin terus terjebak dalam kebimbangan. Ia ingin tahu apakah Arga juga menginginkan hal yang sama.
Arga menatap pesan Raya dengan hati yang berdebar. Ketika membaca kalimat terakhir, ia merasa seperti ada beban yang tiba-tiba jatuh ke pundaknya. “Apa kamu ingin kembali ke Jakarta?” Pertanyaan itu mengingatkannya pada semua kenangan indah yang mereka miliki, pada masa-masa ketika mereka bersama. Tetapi, di sisi lain, ada mimpi besar yang ia kejar di London, sesuatu yang sudah ia impikan sejak lama. Jika ia kembali ke Jakarta, apa yang akan terjadi dengan kariernya? Dengan kehidupannya yang sudah dibangun di sini? Namun, satu hal yang pasti: ia tak ingin kehilangan Raya. Dia tahu, jika tidak ada kepastian, hubungan ini akan hancur perlahan.
Arga duduk di kursi, memandangi pesan dari Raya dengan perasaan campur aduk. Beberapa menit berlalu, dan ia mulai mengetik balasan.
“Raya, aku sudah lama berpikir tentang ini. Tentang kita. Tentang masa depan kita. Aku tahu kita tidak bisa terus seperti ini. Aku tidak ingin kita kehilangan satu sama lain. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi jika aku kembali ke Jakarta. Tapi yang aku tahu adalah aku tidak ingin melewatkan kesempatan untuk bersama kamu. Aku ingin kembali, Raya. Aku ingin kembali ke kamu. Tidak ada yang lebih penting dari itu.”
Arga menekan kirim, dan sesaat ia menundukkan kepalanya, merasa ada sedikit ketenangan dalam dirinya. Ia telah membuat pilihan. Kini, tinggal menunggu apa yang akan dikatakan Raya.
Beberapa menit kemudian, ponsel Arga bergetar. Pesan dari Raya.
“Arga, aku sangat senang mendengar itu. Aku sudah lama menunggu kamu untuk mengatakan hal itu. Kita tidak bisa terus hidup dalam ketidakpastian. Aku juga ingin kita kembali, kembali ke bersama, ke tempat yang kita rencanakan dulu. Apapun yang terjadi, aku akan mendukungmu. Kamu adalah pilihan hidupku, Arga. Aku siap untuk memulai semuanya bersama kamu, di Jakarta atau di mana pun kita berada.”
Mendengar kata-kata itu, Arga merasa beban yang menekannya selama ini akhirnya terangkat. Ia tahu, ini adalah awal dari perjalanan baru. Perjalanan yang akan dimulai dengan sebuah keputusan besar kembali. Tidak hanya kembali ke tempat, tetapi juga kembali pada hati yang selama ini telah menunggu.
Bab 5 Cinta yang Tidak Pernah Terhenti
Pagi itu, Arga terbangun dengan perasaan yang lebih ringan dari biasanya. Sebuah keputusan besar telah diambil—keputusan yang mengubah arah hidupnya. Setelah berbulan-bulan terombang-ambing oleh ketidakpastian, akhirnya dia memilih untuk kembali. Kembali ke Jakarta, kembali ke Raya, kembali ke rumah yang dulu mereka impikan. Meski dunia di London menawarkan banyak kesempatan, hatinya selalu merasa kosong tanpa kehadiran Raya di sana.
Setelah percakapan panjang yang mengungkapkan semua ketakutan dan keraguan mereka, Arga tahu bahwa ini adalah saat yang tepat untuk mewujudkan segala yang selama ini mereka impikan. Raya sudah menunggu, dengan keyakinan dan harapan yang sama besar. Mereka berdua tahu bahwa tidak ada yang lebih penting selain cinta mereka yang selama ini teruji oleh jarak dan waktu.
Arga bangkit dari tempat tidurnya, memandang keluar jendela, dan membayangkan masa depan bersama Raya. Bukan hanya masa depan yang penuh dengan rencana dan impian, tetapi juga masa depan yang mereka bangun bersama-sama, melalui segala tantangan dan cobaan. Cinta yang selama ini mereka perjuangkan, yang tidak pernah terhenti meski terhalang jarak dan waktu, kini akan kembali menyatu. Tidak ada lagi alasan untuk ragu.
Raya juga merasakan hal yang sama. Ia baru saja pulang dari kantor, dan meskipun lelah, hatinya terasa penuh. Arga akhirnya membuat pilihan untuk kembali ke Jakarta. Arga, pria yang selama ini ia rindukan, yang selalu ada dalam doa dan harapannya, akan kembali. Mereka akan memulai kehidupan baru, kehidupan yang lebih pasti.
Selama berbulan-bulan, Raya merasa hidupnya berjalan tanpa arah yang jelas. Meski ia sangat mencintai Arga, hidup di Jakarta dan menjalani kariernya seakan membawanya jauh dari sosok yang ia rindukan. Setiap malam, sebelum tidur, ia selalu membayangkan bisa bersama Arga, berjalan-jalan di bawah sinar lampu jalanan Jakarta, menghabiskan waktu di kafe favorit mereka, berbicara tentang segala hal tanpa ada yang mengganggu. Namun, waktu terus berjalan, dan impian itu terasa semakin jauh. Kini, semua yang ia bayangkan akan menjadi kenyataan.
Raya menatap pesan terakhir yang ia terima dari Arga, dan kali ini, perasaan yang mengalir di dalam dirinya berbeda. Ini bukan lagi tentang harapan kosong. Ini adalah kenyataan yang akan mereka jalani bersama. Dia menutup matanya sejenak, membayangkan hari-hari yang akan datang—hari-hari penuh cinta, penuh dengan kehadiran yang tidak terhalang lagi oleh jarak.
Beberapa minggu berlalu, dan Arga akhirnya tiba di Jakarta. Perjalanan panjang yang membawa banyak harapan dan mimpi-mimpi baru. Hari itu, setelah menempuh perjalanan panjang dari bandara menuju rumah, Arga berdiri di depan pintu rumah yang dulu pernah ia tinggali bersama keluarga. Tapi kali ini, dia bukan hanya datang sebagai seorang pria yang kembali ke rumahnya. Dia datang untuk menemukan kembali cintanya, untuk kembali pada Raya.
Pintu terbuka, dan di sana, berdiri Raya dengan senyum yang sudah sangat dirindukan. Tidak ada kata-kata yang bisa menggambarkan betapa hati mereka saling merindukan. Arga melangkah maju, dan Raya membuka kedua tangannya, menyambutnya dengan pelukan yang hangat. Semua rasa lelah dari perjalanan panjang itu hilang seketika, digantikan oleh perasaan penuh kelegaan.
“Kamu akhirnya kembali,” Raya berbisik, suaranya bergetar. Arga tersenyum, memeluknya lebih erat.
“Aku tidak pernah pergi, Raya. Aku hanya menunggu waktu yang tepat untuk kembali ke kamu.”
Raya menatapnya dalam-dalam, seolah ingin memastikan bahwa ini bukan sekadar mimpi. Semua yang mereka impikan selama ini, yang sempat terasa begitu jauh, kini ada di hadapannya. Arga, lelaki yang ia cintai, kembali di sisi nya. Tidak ada lagi jarak, tidak ada lagi keraguan. Hanya ada mereka berdua dan sebuah perjalanan baru yang akan mereka jalani bersama.
Malam itu, mereka duduk di balkon rumah, menikmati makan malam yang sederhana namun penuh arti. Makanan yang tidak pernah terasa begitu nikmat, karena mereka berbagi lebih dari sekadar makanan. Mereka berbagi kisah hidup, berbagi tawa, berbagi harapan. Arga memegang tangan Raya, dan matanya memancarkan keyakinan yang dalam.
“Aku tidak tahu apa yang akan terjadi ke depan, tapi aku tahu satu hal. Aku memilih untuk selalu ada di sampingmu, menjalani hari-hari bersama. Kita tidak pernah tahu apa yang akan datang, tetapi kita bisa memilih bagaimana menghadapinya. Kita sudah terpisah lama, tapi aku merasa cinta kita tidak pernah terhenti. Bahkan saat jarak memisahkan kita, cinta kita terus tumbuh. Aku tidak akan membiarkan apapun menghalangi kita lagi.”
Raya menatap Arga dengan mata yang berbinar, merasakan kebahagiaan yang meluap. Selama ini, dia selalu merasa bahwa cinta mereka adalah sesuatu yang tak tergoyahkan, bahkan oleh waktu. Mungkin jarak telah menguji mereka, tapi itu juga yang membuat mereka lebih menghargai satu sama lain.
“Aku percaya itu, Arga. Aku percaya kita bisa menjalani semuanya bersama. Tidak ada yang lebih berarti bagiku selain kita. Kita akan membangun masa depan, mulai dari sekarang.”
Mereka terdiam sejenak, meresapi kata-kata itu, dan kemudian Arga meraih cangkir teh hangat di meja, mengangkatnya untuk bersulang.
“Untuk kita, Raya. Untuk cinta yang tidak pernah terhenti.”
Raya mengangkat cangkirnya, dan mereka bersulang, menyatukan harapan dan mimpi mereka yang tidak lagi terhalang oleh jarak. Setiap detik bersama Arga terasa berharga, dan setiap langkah yang mereka ambil, mereka jalani bersama, tidak peduli berapa banyak rintangan yang akan datang.
Cinta yang mereka miliki tidak pernah terhenti. Ia tumbuh, berkembang, dan menguat seiring waktu. Meski terkadang mereka harus terpisah, cinta itu tetap ada. Tidak tergoyahkan oleh jarak, tidak terhalang oleh waktu. Cinta yang tidak pernah berhenti untuk kembali, cinta yang selalu menemukan jalan pulang.***