Kisah Cinta
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
Kisah Cinta
No Result
View All Result

PERTAMA DAN SELAMA NYA

PERTAMA DAN SELAMA NYA

SAME KADE by SAME KADE
March 4, 2025
in Cinta Pertama
Reading Time: 22 mins read
PERTAMA DAN SELAMA NYA

Daftar Isi

  • BAB  1  AWAL YANG  TAK  TERLUPAKAN
  • BAB 2  JEJAK  PERTEMU  DI  HATI
  • BAB 3 MENGUKIR KENANGAN
  • BAB 4 CINTA YANG TUMBUH
  • BAB 5: MENGHADAPI RINTANGAN
  • BAB 6 KEPUTUSAN BESAR
  • BAB 7 JARAK YANG MENGUATKAN

BAB  1  AWAL YANG  TAK  TERLUPAKAN

Alya berdiri di depan gerbang universitas, matanya mengamati sekelilingnya dengan penuh rasa ingin tahu. Angin pagi yang sejuk menyentuh wajahnya, menghapuskan sedikit kecemasan yang sejak tadi menyelimutinya. Hari pertama di kampus baru, di kota yang baru—semuanya terasa seperti mimpi yang sedang dijalani. Setiap langkahnya terasa berat, seakan ia sedang berjalan menuju sebuah dunia yang belum pernah ia kenal sebelumnya.

Ia menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri. Meskipun sudah berbulan-bulan merencanakan masa depannya, hari ini—hari pertama di dunia perkuliahan—tetap membuat hatinya berdebar. Alya baru saja pindah dari kota kecil tempat ia dibesarkan, meninggalkan semua yang dikenal, menuju kehidupan yang lebih besar dan penuh dengan kemungkinan. Orangtuanya selalu mendukungnya, dan sekarang, ia merasa bahwa ini adalah saat yang tepat untuk mengejar impian yang selama ini ia pendam.

“Ini adalah awal yang baru,” bisiknya pada dirinya sendiri, mencoba memberi semangat.

Namun, meskipun ia berusaha tenang, ada sesuatu yang tak bisa ia hilangkan: rasa cemas tentang masa depannya, tentang seberapa banyak hal yang harus ia pelajari, dan tentu saja, tentang pertemuan dengan orang-orang baru. Ia merasa sedikit takut, namun ia juga tahu bahwa ini adalah bagian dari perjalanan yang harus ia lalui.

Di depan gedung fakultas, Alya melihat sekelompok mahasiswa sedang berkumpul, tertawa, dan berbincang dengan riang. Ada banyak wajah baru, tapi Alya merasa sedikit terasingkan. Ia merasa menjadi bagian dari kerumunan yang besar, seperti debu yang terhempas di tengah angin. Namun, ia mencoba menepis rasa itu. “Aku harus berani,” pikirnya, “Aku harus mengenal lebih banyak orang.”

Tanpa sadar, langkahnya mulai mendekati kelompok mahasiswa itu. Tiba-tiba, ia mendengar suara yang membuatnya berhenti.

“Eh, kamu baru di sini?” tanya seorang perempuan dengan senyum lebar, menghampiri Alya. “Aku Dina, teman sekampus kamu. Kamu mau ikut acara orientasi bareng? Aku bisa menunjukkan beberapa tempat di kampus.”

Alya tersenyum, merasa sedikit lega. “Oh, iya. Aku Alya, baru pindah ke sini dari kota kecil. Terima kasih, Dina. Aku butuh bantuan untuk menemukan ruang kuliah dan beberapa tempat di sekitar kampus.”

Dina tertawa kecil. “Pasti, kita semua awalnya bingung di sini. Ayo ikut, aku akan tunjukkan. Lagipula, kampus ini besar banget, dan aku yakin kamu bakal suka.”

Alya mengangguk dan mengikuti Dina. Saat mereka berjalan, Dina bercerita tentang kehidupan kampus, teman-teman yang sudah mereka temui, dan segala macam hal yang harus Alya tahu sebagai mahasiswa baru. Alya mendengarkan dengan penuh perhatian, merasa sedikit lebih nyaman. Setidaknya, ada seseorang yang membuatnya merasa diterima.

Namun, saat mereka memasuki area taman kampus, pandangan Alya tertumbuk pada seorang pria yang duduk di bawah pohon besar. Pria itu tampak berbeda dari yang lain. Ia duduk sendirian dengan mata yang tenggelam dalam buku yang sedang dibacanya. Gaya rambutnya yang sedikit berantakan dan cara dia mengenakan jaket kulit memberi kesan bahwa ia lebih suka menyendiri. Alya merasa ada sesuatu yang menarik darinya, meskipun ia tidak bisa mengungkapkannya.

Dina menyadari arah pandangan Alya. “Oh, itu Raka. Dia cukup pendiam, tapi jenius di bidangnya. Seringnya dia nggak suka ikut keramaian, lebih suka sendiri. Kalau kamu lihat dia lagi baca, itu artinya dia sedang berpikir keras tentang sesuatu.”

Alya mengerutkan dahi. “Raka? Sepertinya dia sangat fokus dengan dunianya sendiri.”

Dina tertawa. “Iya, dia memang begitu. Tapi jangan salah, meskipun terlihat seperti itu, dia juga punya sisi hangat kok. Kalau kamu butuh bantuan soal tugas, dia salah satu yang paling bisa diandalkan.”

Alya hanya mengangguk pelan, masih penasaran dengan sosok pria itu. Meski terlihat dingin, ada sesuatu yang membuat Alya merasa ingin mengenalnya lebih dalam. Mungkin itu hanya kesan pertama, tapi Alya merasa seolah ada sesuatu yang menarik dari dirinya.

Selama acara orientasi, Alya tidak bisa berhenti memikirkan Raka. Setiap kali ia melihat ke arah pohon besar itu, ia melihat Raka masih duduk di sana, membaca, atau terkadang tampak asyik dengan pikirannya sendiri. Entah mengapa, kehadirannya seolah memberikan rasa nyaman bagi Alya meski mereka belum berbicara. Seolah-olah, di tengah keramaian yang baru ini, ada seseorang yang bisa ia percayai untuk memahami kesendirian yang ia rasakan.

Acara orientasi pun berakhir, dan Alya kembali ke kosan, namun bayangan Raka terus menghantui pikirannya. “Siapa dia sebenarnya?” pikir Alya, mencoba mengenang kembali detail dari pertemuan pertama mereka. Rasa penasaran itu terus tumbuh, namun ia tidak tahu apakah perasaan itu hanya rasa ingin tahu biasa ataukah ada sesuatu yang lebih.

Malam itu, di kamar kosnya yang sederhana, Alya duduk di depan meja belajarnya, menulis di jurnal. Ia menuliskan pengalamannya hari itu, menggambarkan rasa cemas dan kegembiraannya. Namun, ada satu kalimat yang tertulis di bawah namanya yang membuat hatinya berdegup lebih cepat.

“Pertemuan pertama yang tak terlupakan, mungkin ini adalah awal dari sesuatu yang lebih.”

Alya menutup jurnalnya, meletakkan pena, dan berbaring di tempat tidur, memandang langit-langit yang gelap. Ada rasa hangat yang mengalir di dalam dadanya, dan ia tahu bahwa hidupnya baru saja dimulai. Entah bagaimana, ia merasa bahwa Raka—meskipun hanya mereka bertemu sekilas—akan menjadi bagian penting dalam perjalanan hidupnya ke depan.

Dengan perasaan yang campur aduk, Alya menutup matanya, membiarkan diri tenggelam dalam mimpi yang penuh dengan kemungkinan. Di luar sana, di bawah pohon besar yang ia lihat tadi, Raka mungkin juga sedang memikirkan hal yang sama.*

BAB 2  JEJAK  PERTEMU  DI  HATI

Alya tidak pernah menyangka bahwa hari pertama orientasi di kampus akan menjadi titik awal perjalanan yang mengubah hidupnya. Ia duduk di bangku taman universitas, memandangi sekelilingnya, mencoba mencerna semua informasi yang baru saja diterimanya. Di sekelilingnya, para mahasiswa baru saling berkenalan, berbicara dengan riang, dan berbagi cerita tentang harapan mereka di masa depan. Alya merasa sedikit terasing di antara keramaian itu. Baru pertama kali berada di kota besar, dan semua terasa asing baginya.

Saat itulah matanya tertuju pada seorang pemuda yang sedang duduk sendirian di pojok taman. Raka. Nama itu seolah menari-nari di benaknya. Raka, pemuda dengan penampilan sederhana—jaket hitam dan celana jeans usang—duduk tegak dengan wajah serius, matanya terfokus pada buku yang ia baca. Meski begitu, ada sesuatu yang menarik dalam diri pria itu. Sesuatu yang membuat Alya merasa seolah-olah ada ikatan tak kasat mata di antara mereka. Namun, ia tidak tahu pasti apa yang dirasakannya.

Raka tidak menyadari bahwa ada seseorang yang memandanginya. Pikirannya tertuju pada buku di tangannya, mencoba memahami setiap kata yang tertulis di dalamnya. Ia bukan tipe orang yang suka berbicara banyak, apalagi dengan orang-orang yang baru ia kenal. Raka lebih memilih kesendirian, merasa nyaman di dalam dunianya sendiri. Namun, entah mengapa, kali ini ia merasa ada yang berbeda. Meskipun ia tidak melihat Alya, perasaan itu datang begitu saja—perasaan yang seolah sudah lama ia kenal.

Hari itu, mereka tidak saling berbicara. Alya hanya meliriknya sekali lagi sebelum bergegas bergabung dengan teman-teman sekelas yang baru ia kenal. Namun, pertemuan itu cukup untuk meninggalkan jejak yang dalam di hati mereka berdua. Sesuatu yang tidak bisa mereka jelaskan dengan kata-kata, namun terasa sangat jelas di dalam dada.

Keesokan harinya, takdir seolah mengatur agar mereka kembali bertemu. Kelas pertama dimulai, dan Alya masuk ke ruang kuliah dengan hati penuh kegugupan. Ia baru saja memilih jurusan psikologi, sebuah pilihan yang tidak mudah baginya. Menghadapi hari pertama kuliah dengan banyak orang baru terasa menantang, apalagi dengan segala ekspektasi yang ada di dalam dirinya. Namun, ketika ia memasuki ruang kuliah, matanya langsung mencari tempat duduk. Dan di sana, di bangku tengah, duduk seorang pemuda dengan buku yang sama, Raka.

Alya terdiam sejenak. Apakah itu kebetulan? Mungkinkah mereka ditakdirkan untuk bertemu lagi? Namun, tidak ada yang tahu pasti. Yang jelas, hati Alya mulai berdebar, meskipun ia berusaha untuk tidak memperlihatkan perasaannya. Dia mengambil tempat duduk di sebelah Raka, merasakan ketegangan yang ada di udara. Tak ada kata yang terucap di antara mereka, hanya suara kursi yang bergeser dan bisikan teman-teman sekelas.

Pelajaran dimulai, dan keduanya terdiam. Namun, di dalam hati mereka, perasaan yang tak terucap mulai tumbuh. Raka merasakan sesuatu yang asing. Biasanya, ia merasa nyaman dengan kesendirian, tapi kali ini, ada perasaan aneh setiap kali ia melirik ke samping dan melihat Alya yang duduk di dekatnya. Ada sesuatu tentang gadis itu—tentang cara Alya menatap dunia dengan mata penuh rasa ingin tahu dan harapan. Sesuatu yang membuatnya merasa lebih hidup, meski hanya dengan kehadirannya.

Alya, di sisi lain, merasa tidak nyaman. Keberadaan Raka yang begitu dekat membuat hatinya berdebar. Ia tidak tahu mengapa, tapi ada ketertarikan yang begitu kuat, meski ia belum mengenal Raka dengan baik. Raka tidak banyak berbicara, dan itu membuat Alya merasa lebih penasaran. Ia ingin tahu lebih banyak tentang pemuda yang tampaknya sangat tertutup, namun memiliki aura yang berbeda dari yang lain.

Hari-hari berikutnya, mereka mulai bertemu lebih sering. Kebetulan demi kebetulan membawa mereka bersama dalam berbagai kesempatan. Di perpustakaan, di kafe kampus, atau bahkan saat berjalan di kampus, mereka tak sengaja melintas satu sama lain. Setiap pertemuan singkat itu semakin membuat Alya merasa ada sesuatu yang lebih antara mereka—sesuatu yang tak bisa ia jelaskan. Ketika mereka bertukar senyum, hati Alya terasa seperti melayang, seolah ada koneksi yang tak bisa diputuskan meskipun kata-kata tidak pernah diucapkan.

Suatu hari, di tengah istirahat, Alya akhirnya memberanikan diri untuk berbicara dengan Raka. Dia mendekati meja yang biasa Raka duduki di kantin, tempat yang terasa seperti zona aman bagi pemuda itu. Raka yang sedang asyik dengan ponselnya sedikit terkejut ketika melihat Alya mendekat, namun ia segera memberi senyuman kecil.

“Aku… boleh duduk di sini?” tanya Alya, suaranya sedikit gemetar.

Raka mengangguk tanpa banyak bicara. Alya pun duduk di seberang Raka, dan mereka kembali terdiam sejenak. Suasana terasa canggung, tapi entah mengapa, Alya tidak merasa takut. Perasaan itu justru membuatnya lebih penasaran.

“Apa yang kamu baca?” tanya Alya setelah beberapa detik hening, mencoba memecah keheningan.

Raka menoleh sebentar, matanya yang tajam menatap Alya sebelum menjawab pelan, “Buku tentang psikologi sosial. Ada yang menarik minatmu?”

Alya terkejut. Mereka berdua memilih jurusan yang sama, dan itu membuatnya merasa ada kesamaan yang lebih dalam. Ia pun mulai merasa lebih nyaman. Mereka melanjutkan obrolan ringan tentang kuliah, dan Raka akhirnya sedikit lebih terbuka, meskipun ia tetap tidak banyak bicara.

“Kenapa kamu selalu duduk sendiri?” tanya Alya dengan rasa ingin tahu.

Raka menatap Alya sejenak, kemudian tersenyum tipis. “Aku suka kesendirian. Tapi tidak masalah, aku bisa berbicara kalau ada yang menarik.”

Alya tersenyum, merasa sedikit lebih dekat dengan Raka. Ia mulai merasakan kenyamanan yang jarang ia rasakan dengan orang lain. Ada perasaan yang tumbuh dalam dirinya—perasaan yang tak bisa ia halangi. Rasa penasaran itu mulai berubah menjadi sesuatu yang lebih mendalam, sebuah perasaan yang ia sebut dengan nama cinta pertama.

“Kenapa kamu lebih suka sendiri?” tanya Alya, semakin penasaran.

“Karena kadang-kadang, lebih mudah untuk mengenal diri sendiri dalam kesendirian,” jawab Raka pelan.

Kata-kata itu membuat Alya terdiam. Ia menyadari bahwa meskipun Raka terlihat tertutup, ada kedalaman dalam dirinya yang begitu menarik. Tanpa sadar, Alya mulai merasa bahwa jejak pertama yang ditinggalkan Raka di hatinya sudah semakin dalam, meninggalkan bekas yang tak mudah hilang.

Perasaan itu semakin tumbuh seiring waktu. Mereka semakin sering berbicara, semakin banyak kenangan yang tercipta di antara mereka. Alya merasa bahwa perjalanan mereka baru saja dimulai, dan meskipun semuanya terasa begitu baru dan asing, hatinya yakin bahwa ini adalah awal dari sesuatu yang indah—sebuah kisah yang akan terukir dalam hidupnya, yang akan dikenang selamanya.*

BAB 3 MENGUKIR KENANGAN

Pagi itu, angin berhembus pelan, membawa aroma tanah basah setelah hujan semalam. Alya duduk di bangku taman kampus, di dekat pohon besar yang menjadi tempat favorit mereka berdua. Sebuah senyum kecil terukir di wajahnya saat ia mengingat pertemuan pertama kali dengan Raka, yang kini telah menjadi sosok yang tak terpisahkan dalam hidupnya. Banyak hal yang berubah sejak saat itu, tetapi satu hal yang tak pernah berubah adalah perasaan mereka satu sama lain. Seiring berjalannya waktu, mereka semakin dekat, dan hubungan mereka semakin dalam.

Hari ini adalah hari yang istimewa bagi mereka—hari yang mereka pilih untuk merayakan apa yang telah mereka lalui bersama, meskipun hubungan mereka baru saja dimulai. Mereka berdua memutuskan untuk bertemu di taman itu, tempat yang sering mereka kunjungi untuk berbicara panjang lebar, berbagi tawa, dan menciptakan kenangan indah.

Raka sudah tiba terlebih dahulu, duduk di bangku yang sama tempat mereka sering duduk bersama. Alya bisa melihat wajah Raka yang tampak tenang, namun matanya yang selalu penuh makna memberitahunya bahwa ada sesuatu yang sedang dipikirkan. Saat Alya mendekat, Raka mengangkat kepalanya dan tersenyum lebar, senyum yang selalu membuat hati Alya berdebar.

“Pagi, Raka,” sapa Alya dengan suara ceria, duduk di sampingnya. “Aku kira kamu sudah pergi ke kelas duluan.”

Raka tertawa kecil, memandang Alya dengan senyuman hangat. “Aku cuma ingin sedikit waktu untuk diri sendiri sebelum semuanya dimulai. Tapi, sepertinya itu tidak terlalu berhasil, karena aku malah menunggu kamu.”

Alya terkekeh mendengar jawaban Raka. Mereka berdua sudah mulai terbiasa dengan kebiasaan itu—menghabiskan waktu bersama sebelum rutinitas kampus dimulai, berbicara tentang apapun yang datang ke pikiran mereka.

“Mau jalan-jalan sebentar?” tanya Raka, sambil berdiri dan mengulurkan tangannya ke arah Alya.

Alya merasa hatinya berbunga-bunga. Tentu saja ia ingin menghabiskan lebih banyak waktu bersama Raka. Tidak ada yang lebih menyenangkan baginya selain berada di samping pria itu, mendengarkan ceritanya, dan berbagi momen kecil yang terasa begitu berarti.

“Ke mana?” tanya Alya, sedikit penasaran.

“Ada tempat yang baru aku temukan. Tempat yang cukup sepi, dan aku pikir kita bisa menikmati waktu bersama di sana,” jawab Raka, penuh rasa ingin tahu.

Alya mengangguk setuju, lalu mereka berjalan bersama, langkah kaki mereka seirama. Tidak ada banyak kata yang keluar, tetapi bagi Alya, itu bukan masalah. Kehadiran Raka sudah cukup membuatnya merasa nyaman. Mereka berdua saling menikmati kebersamaan itu, berjalan menyusuri jalan setapak di sepanjang taman kampus yang indah.

Tiba-tiba, Raka berhenti di depan sebuah bangku panjang yang menghadap ke danau kecil. Alya melihat sekeliling, dan menyadari bahwa tempat ini benar-benar tenang, jauh dari keramaian yang biasanya ada di kampus. Di sini, mereka bisa berbicara tanpa gangguan, menikmati ketenangan dan keindahan alam sekitar.

“Tempat ini indah,” kata Alya dengan suara pelan. Ia duduk di bangku itu, dan Raka duduk di sampingnya, sedikit lebih dekat dari biasanya. Momen ini terasa lebih intim, dan Alya merasakan detak jantungnya meningkat sedikit.

“Aku tahu kamu akan suka,” jawab Raka, masih tersenyum kecil. “Kadang kita butuh tempat yang jauh dari segala hiruk pikuk dunia kampus, tempat di mana kita bisa benar-benar menjadi diri sendiri.”

Alya memandang Raka, merasa ada sesuatu yang berbeda dalam tatapan pria itu. Ada kedalaman yang tak bisa ia ungkapkan dengan kata-kata, namun itu membuat hatinya semakin terikat padanya.

“Makasih, Raka,” ujar Alya dengan tulus. “Aku sangat menghargai waktu yang kita habiskan bersama.”

Raka menoleh dan menatap Alya dengan serius. “Aku juga. Aku merasa kita sudah melalui banyak hal bersama, meskipun baru sebulan kita kenal.”

Alya terdiam sejenak, merenung. Sebulan terasa seperti waktu yang sangat singkat, namun begitu banyak hal yang telah mereka bagikan—kenangan indah, tawa, dan percakapan yang mendalam. Rasa nyaman yang tumbuh di antara mereka semakin kuat, dan Alya mulai merasa bahwa ia telah menemukan seseorang yang spesial, seseorang yang bisa menjadi bagian dari hidupnya dalam jangka panjang.

“Raka,” Alya memulai, suaranya terdengar sedikit ragu. “Aku merasa, meskipun kita baru mulai, ada sesuatu yang terasa sangat kuat di sini. Di hatiku.”

Raka terdiam, seakan mencerna kata-kata Alya. Lalu, ia memandang Alya dengan tatapan yang penuh pengertian. “Aku juga merasa hal yang sama, Alya. Mungkin kita berdua belum siap untuk mengatakan apapun lebih dalam, tapi aku tahu satu hal—perasaan ini lebih dari sekedar teman.”

Alya merasa hati yang tadinya berdebar kini lebih tenang. Mendengar kata-kata Raka membuatnya semakin yakin bahwa apa yang mereka miliki adalah sesuatu yang lebih dari sekadar kebetulan. Cinta mereka mungkin belum sepenuhnya terucap dengan kata-kata, tetapi Alya merasakannya dalam setiap pertemuan, dalam setiap tawa, dalam setiap kebersamaan mereka.

“Aku ingin kita terus mengukir kenangan bersama,” kata Alya dengan penuh keyakinan. “Kenangan yang akan kita bawa seumur hidup.”

Raka tersenyum dan mengangguk pelan. “Aku juga, Alya. Aku ingin setiap detik yang kita jalani menjadi bagian dari kenangan yang tak terlupakan.”

Mereka berdua terdiam, menikmati kebersamaan itu tanpa perlu banyak kata. Hanya dengan duduk berdua di bangku panjang itu, di tengah taman yang tenang, mereka merasa cukup. Tidak ada yang perlu dijelaskan lebih jauh. Mereka tahu bahwa perjalanan mereka baru saja dimulai, dan yang terpenting adalah mereka sudah memiliki satu sama lain.

Matahari perlahan terbenam, meninggalkan cahaya jingga yang hangat di langit. Raka dan Alya berdiri, bersiap untuk kembali ke kehidupan mereka masing-masing. Namun, sebelum mereka berpisah, Raka meraih tangan Alya dan menggenggamnya erat.

“Alya, terima kasih telah membuat hari ini begitu istimewa,” kata Raka dengan tulus.

Alya tersenyum, menggenggam tangan Raka lebih erat. “Kita masih punya banyak kenangan yang bisa kita buat, Raka.”

Mereka berjalan beriringan, meninggalkan tempat itu dengan hati yang penuh dengan kenangan indah. Mereka tahu, ini baru awal dari perjalanan panjang yang akan mereka lalui bersama, dan mereka siap untuk mengukir lebih banyak kenangan yang akan bertahan selamanya.*

BAB 4 CINTA YANG TUMBUH

Alya duduk di bangku taman kampus, memandangi daun-daun yang berjatuhan perlahan, tertiup angin musim gugur. Di sebelahnya, Raka duduk dengan tenang, wajahnya terlihat lebih serius dari biasanya. Namun, ada sesuatu yang berbeda hari ini. Sesuatu yang membuat Alya merasa, hubungan mereka semakin matang, semakin berarti. Mereka sudah melewati banyak hal bersama, dan meskipun tidak semuanya mudah, cinta mereka semakin tumbuh.

Setelah pertemuan pertama mereka yang tidak terlupakan, hubungan Alya dan Raka berkembang dengan cara yang tak terduga. Mungkin, tidak ada yang bisa merencanakan jatuh cinta dengan sesederhana itu. Dari sekadar teman sekelas, mereka mulai berbagi lebih banyak waktu bersama. Raka, yang dulunya pendiam, kini mulai lebih sering membuka diri, sementara Alya, yang ceria, merasakan kenyamanan dalam kehadirannya. Setiap detik yang mereka habiskan bersama semakin memperkuat perasaan mereka. Namun, ada lebih banyak yang terjadi dalam hubungan mereka yang membuat mereka bertumbuh lebih dari sekadar pasangan muda yang jatuh cinta.

Saat itu, mereka sedang berbicara tentang hal-hal yang ringan, namun Alya bisa merasakan adanya kedalaman dalam setiap kata yang keluar dari mulut Raka. Topik-topik kecil yang mereka bahas, dari film favorit hingga kenangan masa kecil, selalu terasa begitu penting bagi mereka. Ada rasa keakraban yang terjalin dengan setiap percakapan, dan Alya mulai menyadari betapa banyak yang ia pelajari tentang Raka, dan sebaliknya, betapa banyak yang ia ungkapkan tentang dirinya sendiri.

“Alya, aku rasa kita sudah mulai saling mengenal lebih dalam, ya?” kata Raka, suara lembut namun penuh rasa ingin tahu.

Alya menoleh, melihat tatapan serius yang tiba-tiba muncul di wajah Raka. “Aku juga merasa begitu,” jawabnya pelan. “Terkadang, aku merasa kita sudah mengenal satu sama lain lebih lama daripada yang sebenarnya.”

Raka tersenyum tipis, namun senyum itu membawa kehangatan yang menyentuh hati Alya. “Mungkin karena kita selalu berbicara tentang banyak hal, bukan hanya tentang kuliah atau kegiatan sehari-hari. Aku merasa setiap kali aku berbicara denganmu, aku lebih mengerti siapa aku sebenarnya.”

Kata-kata Raka mengalir begitu dalam, membuat Alya merasa seperti dia dan Raka sudah mulai tumbuh bersama. Mungkin, ini yang dinamakan cinta yang tumbuh—bukan hanya sekadar perasaan yang muncul begitu saja, tetapi sebuah proses yang melibatkan pengertian, kebersamaan, dan kepercayaan. Cinta itu tak hanya datang dari sentuhan fisik atau kata-kata manis, tetapi dari kemampuan untuk memahami dan menerima kekurangan satu sama lain.

Hari-hari berlalu, dan hubungan mereka semakin erat. Mereka mulai menghabiskan lebih banyak waktu bersama, berbicara tentang masa depan, berbagi impian dan kekhawatiran, serta saling memberi dukungan. Raka, yang sebelumnya sangat tertutup, kini mulai terbuka lebih banyak tentang keluarganya dan kehidupan pribadinya. Alya tahu, bahwa ini adalah langkah besar bagi Raka. Dia tidak pernah mudah untuk membuka diri kepada siapa pun. Namun, dia memilih untuk melakukannya kepada Alya. Dan Alya merasa terhormat, karena dia tahu, kepercayaan itu adalah sesuatu yang berharga.

Pada suatu malam yang tenang, saat mereka sedang berjalan di sekitar kampus setelah acara perayaan kelulusan tingkat pertama, Raka tiba-tiba berhenti dan menatap Alya dengan tatapan serius.

“Alya, aku ingin memberitahumu sesuatu,” kata Raka, suara rendah namun penuh makna.

Alya menatapnya dengan bingung. “Apa itu?”

Raka menarik napas panjang. “Aku merasa ada yang berbeda dengan kita. Aku merasa kita sudah lebih dari sekadar teman, lebih dari sekadar pasangan. Aku merasa kita… kita sudah menjadi bagian dari kehidupan satu sama lain.”

Alya merasa jantungnya berdebar. Kata-kata Raka menyentuh hatinya lebih dari yang dia kira. “Aku merasa hal yang sama, Raka. Aku merasa… aku tak bisa membayangkan hidupku tanpa kamu di dalamnya.”

Mereka saling menatap dalam diam, dan meskipun tidak ada kata-kata lagi yang diucapkan, keduanya tahu bahwa perasaan itu saling terhubung. Cinta mereka tidak hanya tumbuh karena waktu yang mereka habiskan bersama, tetapi juga karena mereka mulai saling memberi ruang untuk tumbuh sebagai individu, serta saling memberi dukungan untuk mimpi masing-masing.

Namun, tidak semuanya berjalan mulus. Tentu saja, hubungan yang tumbuh membutuhkan waktu dan kesabaran, dan meskipun mereka sudah merasakan cinta yang begitu kuat, ada juga tantangan yang harus mereka hadapi. Raka kadang merasa ragu dengan dirinya sendiri. Ia merasa tidak cukup baik untuk Alya, yang begitu ceria dan penuh semangat, sementara dia sendiri merasa lebih banyak membawa beban dalam hidupnya. Alya, di sisi lain, kadang merasa takut bahwa hubungan mereka terlalu cepat berkembang, dan dia khawatir jika suatu saat Raka akan berubah pikiran.

Namun, setiap kali keraguan datang, mereka selalu menemukan cara untuk menghadapinya. Mereka belajar untuk saling menguatkan, untuk mengerti bahwa cinta bukan hanya tentang kebahagiaan dan momen indah, tetapi juga tentang bagaimana mereka bisa bertahan dalam ketidakpastian dan menjalani setiap proses dengan hati terbuka.

Malam itu, setelah perbincangan panjang mereka tentang harapan dan ketakutan masing-masing, mereka memutuskan untuk tidak terburu-buru. Mereka tahu bahwa cinta mereka sudah kuat, dan bahwa mereka akan selalu bersama untuk menghadapi apa pun yang datang.

“Cinta ini memang tidak sempurna,” kata Raka dengan senyuman tulus, “tapi aku yakin, kita bisa tumbuh bersama.”

Alya mengangguk, matanya penuh keyakinan. “Aku juga yakin, Raka. Cinta ini adalah perjalanan kita, dan kita akan terus melangkah bersama.”

Dengan tangan yang saling menggenggam erat, mereka melanjutkan langkah mereka di bawah cahaya bulan yang lembut, merasakan cinta yang semakin tumbuh dan menguat. Mungkin, ini baru permulaan dari perjalanan mereka bersama, tetapi mereka tahu bahwa apapun yang terjadi, mereka akan selalu ada untuk satu sama lain.*

BAB 5: MENGHADAPI RINTANGAN

Alya menatap layar ponselnya dengan perasaan yang campur aduk. Pesan dari Raka baru saja masuk, namun tidak seperti biasanya, kali ini pesan tersebut terasa begitu datar dan penuh jarak. Raka yang biasanya mengirimkan pesan penuh perhatian, kini hanya mengirimkan kata-kata singkat tanpa ekspresi. Alya merasa ada sesuatu yang berubah, tetapi ia tidak tahu pasti apa yang terjadi.

Pagi itu, Alya memutuskan untuk pergi ke kampus lebih awal. Dalam perjalanan, ia merasakan angin sepoi-sepoi yang seharusnya menenangkan, namun malah membuat hatinya terasa lebih berat. Hubungannya dengan Raka sedang menghadapi ujian besar. Mereka baru saja melalui beberapa minggu yang penuh ketegangan dan kebingungan, yang dimulai sejak Raka mulai menunjukkan sikap yang berbeda—terutama lebih sibuk dengan aktivitas kampus dan keluarganya.

Alya tidak bisa mengabaikan perasaan cemas yang terus menghantuinya. Ia tahu bahwa hubungan mereka bukan hanya tentang kebersamaan, tetapi juga tentang kepercayaan dan pengertian. Namun, belakangan ini, Raka tampak seperti menjauh. Tugas kuliah yang semakin menumpuk, serta harapan keluarganya yang semakin besar, seolah menjadi dinding pemisah di antara mereka.

Saat di kampus, Alya mencoba tetap fokus pada pelajaran, tetapi pikirannya terus melayang. Ia tidak bisa menghindari perasaan bahwa ada sesuatu yang sedang mengganggu Raka. Keadaan ini semakin membuatnya bingung. Apakah Raka sedang merasa tertekan? Apakah ia merasa terbebani oleh hubungan mereka? Alya pun memutuskan untuk mengajak Raka berbicara setelah kuliah, berharap bisa menemukan jawaban atas semua kegelisahannya.

Setelah kuliah selesai, mereka bertemu di taman kampus, tempat mereka sering menghabiskan waktu bersama. Raka duduk di bangku panjang di bawah pohon besar, tampak lebih pendiam dari biasanya. Alya mendekatinya dengan hati-hati, mencoba membaca ekspresi wajah Raka.

“Raka,” panggil Alya dengan lembut, “Ada apa denganmu? Kenapa akhir-akhir ini kamu jadi lebih jauh dariku? Kamu seperti tidak ingin berbicara lagi.”

Raka menoleh ke arahnya, dan Alya bisa melihat keraguan yang ada di matanya. Ada sesuatu yang jelas mengganjal, tetapi Raka seakan tidak ingin mengungkapkannya.

“Alya…” Raka mulai berbicara dengan suara yang terdengar berat. “Aku sedang banyak masalah. Aku tidak ingin kamu terlibat dalam semua ini. Aku rasa kita perlu waktu untuk masing-masing.”

Alya merasa hatinya tercekat mendengar kalimat itu. Rasa takut mulai merayap di hatinya. “Apa maksudmu? Apa kamu tidak ingin bersama aku lagi?”

Raka menggelengkan kepala, tetapi ekspresinya tidak menunjukkan keyakinan. “Bukan begitu, Alya. Aku hanya merasa aku harus menyelesaikan masalahku sendiri. Terkadang, aku merasa cemas dengan semua hal yang harus kuhadapi. Kuliah, keluarga, masa depan… semuanya terasa semakin berat.”

Alya mendengar kata-kata itu dengan perasaan yang semakin cemas. Ia tahu Raka adalah orang yang sangat peduli dengan keluarganya. Selama ini, Raka selalu merasa bertanggung jawab untuk memenuhi harapan keluarganya, terutama ayahnya yang menginginkannya untuk mengikuti jejaknya di dunia bisnis. Namun, Alya merasa bahwa Raka telah mengabaikan dirinya, tanpa memberi penjelasan yang jelas tentang apa yang sebenarnya terjadi.

“Aku mengerti kalau kamu punya masalah, Raka,” ujar Alya, mencoba menenangkan dirinya. “Tapi, kenapa kamu tidak berbagi denganku? Kita sudah saling kenal cukup lama. Aku ingin membantu, bukan malah menjauhkan diri darimu.”

Raka menghela napas panjang. “Aku tidak ingin membebani kamu, Alya. Aku tidak tahu bagaimana caranya membuatmu mengerti. Aku merasa seperti… aku tidak cukup baik untukmu.”

Alya merasa perasaannya semakin kacau. Ini bukan hanya tentang Raka yang merasa tertekan, tapi juga tentang ketidakmampuan mereka untuk saling berkomunikasi dengan jujur. Jika mereka tidak bisa saling mengerti dan berbicara tentang masalah masing-masing, bagaimana hubungan ini bisa bertahan?

“Aku tidak ingin kamu merasa terbebani, Raka,” kata Alya dengan penuh ketulusan. “Tapi jika kita ingin hubungan ini bertahan, kita harus bisa saling mendukung, bukan hanya menghadapinya sendiri-sendiri. Aku ingin tahu apa yang kamu rasakan, bukan sekadar melihatmu menjauh.”

Raka terdiam sejenak, lalu menatap Alya dengan tatapan yang penuh keraguan. “Aku takut, Alya. Aku takut kalau aku bercerita tentang masalahku, kamu akan merasa kecewa atau bahkan meninggalkanku.”

Alya merasa hatinya terbelah mendengar kalimat itu. Raka begitu tertekan dengan perasaan dan tanggung jawab yang ia rasakan, sehingga ia takut untuk terbuka. Alya bisa merasakan betapa besar ketakutan yang sedang dialami Raka, dan di saat yang sama, ia merasa semakin terasingkan.

“Raka,” kata Alya dengan lembut, mendekati Raka dan menggenggam tangannya. “Kamu tidak sendirian. Aku di sini untukmu. Cinta kita bukan hanya tentang kebahagiaan, tapi juga tentang menghadapinya bersama. Aku siap untuk mendengarkan apapun yang ingin kamu katakan. Kita bisa mencari solusi bersama.”

Raka menatap tangan Alya yang menggenggamnya, lalu perlahan menganggukkan kepala. “Aku… aku rasa aku sudah cukup egois selama ini. Mungkin aku terlalu takut untuk mengakui bahwa aku membutuhkanmu, Alya.”

Alya merasakan ada perubahan dalam diri Raka. Sebuah pengakuan yang membuat hatinya lebih tenang. Raka akhirnya mulai terbuka, dan itulah langkah pertama untuk menyelesaikan masalah yang ada di antara mereka.

“Aku ingin kita tetap bersama, Raka,” ujar Alya dengan penuh keyakinan. “Kita bisa menghadapi semuanya, selama kita bersama. Aku tidak akan meninggalkanmu, apapun yang terjadi.”

Raka menatap Alya dengan tatapan yang penuh emosi. “Aku takut, Alya. Tapi aku juga tahu aku tidak bisa melakukannya sendiri. Terima kasih sudah sabar dengan aku.”

Di bawah pohon yang menjadi saksi perjalanan mereka, Alya dan Raka duduk bersama, berbicara lebih banyak tentang masalah yang selama ini mengganggu pikiran mereka. Mereka tahu bahwa tidak ada jalan yang mudah, tetapi dengan saling mendukung, mereka bisa menghadapi setiap rintangan yang datang.

Mereka mungkin belum sepenuhnya menyelesaikan semua masalah mereka, namun langkah pertama telah diambil. Rintangan yang ada tidak akan menghalangi mereka untuk terus berjalan bersama. Mereka tahu bahwa cinta mereka lebih kuat dari apa pun yang mencoba memisahkan mereka.*

BAB 6 KEPUTUSAN BESAR

Alya duduk di bangku taman kampus, memandang Raka yang sedang duduk di sampingnya. Suasana sekitar terasa tenang, hanya terdengar suara angin yang berbisik lembut, menggoyangkan dedaunan di sekitar mereka. Namun, meskipun tampak tenang, di dalam hati Alya, ada kegelisahan yang tak bisa ia tutupi. Pikirannya terus dipenuhi dengan keputusan besar yang harus dihadapi bersama Raka.

Setelah hampir setahun menjalin hubungan, Raka akhirnya mendapatkan tawaran untuk melanjutkan pendidikan ke luar negeri. Sebuah kesempatan emas yang tidak bisa ia lewatkan begitu saja. Namun, tawaran itu datang dengan konsekuensi yang besar—jarak yang tak terhindarkan, waktu yang terpisah, dan kemungkinan hubungan mereka yang akan diuji lebih keras daripada sebelumnya.

“Raka…” suara Alya terdengar pelan, hampir seperti bisikan. “Aku tahu ini adalah kesempatan besar buatmu, dan aku tidak ingin menghalangimu. Tapi, aku… aku merasa ragu.”

Raka menoleh ke arah Alya, matanya memancarkan rasa bingung dan khawatir. “Alya, aku tidak ingin membuatmu merasa tertekan. Aku tahu ini keputusan besar, dan aku ingin kamu tahu bahwa aku juga ragu. Tapi, aku merasa ini adalah kesempatan yang tidak datang dua kali. Aku harus melanjutkan pendidikan ini untuk masa depanku.”

Alya menundukkan kepalanya, menggigit bibir bawahnya. Ia merasa hatinya berat. Di satu sisi, ia tahu betapa pentingnya kesempatan yang ada di depan Raka, namun di sisi lain, ia takut akan kehilangan pria yang selama ini menemani hidupnya. Mereka sudah menjalani banyak hal bersama, dan kini, masa depan mereka terancam terpisah oleh jarak yang begitu jauh.

“Aku mengerti, Raka,” Alya berkata pelan, mencoba menahan air mata yang mulai menggenang di pelupuk matanya. “Tapi, bagaimana dengan kita? Apa yang akan terjadi dengan hubungan kita kalau kamu pergi? Apakah kita masih bisa bertahan?”

Raka menggenggam tangan Alya, memberikan kehangatan yang ia tahu sangat dibutuhkan oleh kekasihnya saat itu. “Aku tidak ingin kita berakhir begitu saja. Aku yakin kita bisa bertahan. Aku tahu itu tidak akan mudah, tapi aku akan berusaha untuk selalu ada untukmu, meskipun jarak memisahkan kita.”

Alya menatap Raka, matanya penuh dengan keraguan. “Bagaimana kita bisa saling menjaga perasaan masing-masing jika jarak menjadi penghalang? Aku takut kita akan semakin jauh satu sama lain. Aku tidak tahu apakah aku bisa terus berjuang sendirian tanpa ada kamu di sini.”

Raka menghela napas panjang. Ia tahu betapa besar perasaan Alya terhadapnya, dan ia tidak ingin mengecewakan gadis yang telah memberikan begitu banyak arti dalam hidupnya. Namun, di sisi lain, ia juga merasa bahwa ini adalah langkah yang harus ia ambil untuk meraih impian yang selama ini ia perjuangkan.

“Alya,” katanya dengan suara lembut, namun penuh keyakinan. “Aku tahu ini akan sulit. Kita akan menghadapi banyak hal yang mungkin akan menguji kita. Tapi aku percaya pada kita. Aku percaya pada cinta kita. Jika kita memang ditakdirkan untuk bersama, kita akan menemukan cara untuk menghadapinya. Aku akan selalu berusaha menjaga komunikasi denganmu. Aku janji.”

Alya menggigit bibirnya, berusaha menahan air mata yang hampir tumpah. Ia tahu bahwa Raka benar. Meskipun hatinya berat, ia tidak bisa melarang Raka untuk mengejar cita-citanya. Jika mereka saling mencintai, mereka pasti bisa menghadapinya, meskipun itu bukanlah hal yang mudah. Cinta mereka sudah terbukti kuat selama ini, dan mungkin inilah ujian terberat yang harus mereka lalui.

“Tapi aku takut, Raka,” akhirnya Alya mengungkapkan perasaannya yang selama ini ia pendam. “Aku takut hubungan kita akan berubah. Aku takut kita tidak akan bisa menjaga perasaan masing-masing. Aku takut kita akan tumbuh semakin jauh satu sama lain.”

Raka memeluk Alya dengan lembut, mencoba memberikan kenyamanan yang ia bisa. “Aku juga takut, Alya. Aku takut kita akan berubah, takut kita akan saling melupakan, takut kita akan saling pergi. Tapi aku ingin kamu tahu satu hal—aku mencintaimu. Tidak ada satu pun hal yang bisa merubah perasaan itu. Kita harus percaya bahwa cinta kita lebih besar dari segala rasa takut ini.”

Alya mengangguk perlahan, meskipun hatinya masih terasa berat. Ia tahu bahwa keputusan besar ini bukan hanya tentang Raka yang pergi ke luar negeri, tetapi juga tentang bagaimana mereka akan mempertahankan hubungan mereka. Bagaimana mereka akan terus berjuang bersama meskipun jarak menjadi penghalang. Namun, ada satu hal yang jelas dalam hati Alya—ia tidak ingin melepaskan Raka, tidak begitu saja. Mereka sudah terlalu banyak melewati perjalanan bersama, dan ia ingin berjuang untuk mempertahankan hubungan mereka.

“Raka, aku akan mendukungmu,” kata Alya, suaranya terdengar lebih tegas meskipun ada kesedihan di dalamnya. “Aku tahu ini bukan keputusan yang mudah, tapi aku tidak ingin kamu menyesal. Aku akan ada di sini untukmu, bahkan jika kita terpisah jarak yang jauh.”

Raka tersenyum, merasa lega mendengar kata-kata Alya. “Terima kasih, Alya. Aku berjanji akan selalu berusaha membuatmu merasa diperhatikan, meskipun aku jauh darimu. Kita akan melewati ini bersama.”

Dengan penuh tekad, mereka berdua memutuskan untuk melangkah maju, meskipun ketidakpastian masih menghantui mereka. Alya tahu bahwa keputusan ini tidak akan mudah. Akan ada banyak malam tanpa kehadiran Raka, banyak momen-momen kecil yang akan terasa sepi tanpa adanya dirinya di sampingnya. Namun, mereka berdua sepakat untuk berjuang, untuk menjaga cinta mereka tetap hidup.

Sambil saling berpegangan tangan, mereka berdiri di tengah taman yang tenang itu, memandang masa depan yang penuh dengan ketidakpastian, namun juga penuh dengan harapan. Mereka tahu bahwa perjalanan cinta mereka akan diuji lebih berat lagi, tetapi mereka juga yakin bahwa selama mereka berdua saling mencintai, tidak ada yang tidak mungkin. Keputusan besar yang mereka buat akan menjadi awal dari perjalanan panjang mereka, yang mungkin penuh dengan tantangan, tetapi juga penuh dengan cinta yang tidak akan pernah pudar.

Alya dan Raka saling menatap, berjanji dalam hati untuk terus berjuang demi cinta pertama mereka, yang akan tetap ada, meskipun dunia berubah.*

BAB 7 JARAK YANG MENGUATKAN

Alya duduk di meja kerjanya, menatap layar ponselnya yang menyala. Pesan dari Raka sudah terbaca, namun perasaannya campur aduk. Di satu sisi, ia merasa bahagia karena mendengar kabar dari Raka setelah beberapa hari tanpa komunikasi yang jelas. Namun, di sisi lain, rasa rindu itu mulai menggerogoti hatinya. Kehidupan di luar negeri memang memberikan Raka peluang yang luar biasa, tetapi bagi Alya, itu juga berarti berjarak lebih jauh dari orang yang ia cintai.

Hari-hari di kampus terasa semakin sunyi tanpa kehadiran Raka di sana. Tidak ada lagi senyuman manis yang selalu menemani setiap langkahnya, tidak ada lagi suara tawa yang memenuhi ruang-ruang kelas mereka. Semua terasa berbeda, meskipun mereka berdua masih berusaha menjaga komunikasi melalui telepon dan pesan singkat. Raka kini jauh, di sana, di tempat yang baru, dengan kehidupan yang baru, sementara Alya masih di tempat yang sama, tempat mereka saling mengenal dan jatuh cinta.

Di sisi lain, Raka juga merasakan kerinduan yang mendalam. Waktu yang ia habiskan di luar negeri tidak seindah yang ia bayangkan. Meskipun ia dikelilingi oleh orang-orang baru dan banyak kesempatan, ia tidak bisa menahan perasaan kosong yang terus menghantuinya. Setiap kali ia melihat pemandangan yang indah atau merasakan momen-momen penting dalam hidupnya, pikirannya selalu melayang pada Alya. Mengapa? Karena hanya dengan Alya, ia merasa lengkap. Hanya Alya yang bisa membuatnya merasa seperti pulang.

Setiap kali dia menerima pesan dari Alya, Raka merasa dunia kembali terasa lebih baik, meskipun hanya untuk sementara. Rindu yang mereka rasakan semakin besar setiap harinya. Namun, mereka berdua tahu, mereka tidak bisa terus hidup dalam bayang-bayang satu sama lain. Mereka harus menghadapi kenyataan bahwa mereka harus menjalani hidup mereka masing-masing meskipun hati mereka masih terikat.

Malam itu, Raka memutuskan untuk menghubungi Alya lagi. Mereka sudah lama tidak melakukan video call karena kesibukan masing-masing. Ketika akhirnya mereka berhasil mengatur waktu untuk berbicara, Raka melihat wajah Alya yang tampak lebih dewasa, lebih matang, tetapi juga lebih lelah.

“Raka, aku rindu,” suara Alya terdengar lembut namun penuh dengan kejujuran.

Raka merasa hatinya terenyuh. “Aku juga rindu, Alya. Setiap hari, aku merasa ada yang hilang.”

“Jarak ini… semakin lama semakin terasa sulit, ya?” tanya Alya dengan suara yang mulai terdengar penuh kekhawatiran.

“Iya,” jawab Raka, “tapi aku tahu ini ujian untuk kita. Aku merasa kita mulai belajar banyak hal tentang diri kita sendiri dan hubungan ini.”

Alya terdiam sejenak, matanya menatap layar ponsel dengan penuh perasaan. “Aku merasa seperti… semakin jauh, semakin sulit,” ucapnya pelan.

Raka menarik napas panjang. “Aku mengerti. Tapi aku percaya, kita bisa menghadapinya. Kita harus belajar untuk menjadi lebih kuat, lebih mandiri, meskipun jarak ini menguji kita.”

“Aku tidak pernah membayangkan kita akan seperti ini,” Alya melanjutkan, suaranya terdengar hampir pecah. “Kita berdua selalu bersama. Semua kenangan yang kita buat… semuanya terasa begitu dekat. Tapi sekarang, aku merasa seolah-olah kita mulai kehilangan satu sama lain.”

Raka menatap layar, mencoba mencari kata-kata yang bisa menghibur Alya. “Alya, aku tahu kita merasa seperti itu sekarang. Aku tahu kamu merasa kesepian, begitu juga aku. Tapi ini hanya sementara. Aku percaya kita akan bisa melalui ini, seperti kita selalu melewati setiap hal bersama-sama.”

Alya tersenyum lemah, mencoba menguatkan dirinya. “Aku ingin begitu, Raka. Aku ingin percaya itu.”

Malam itu, mereka berbicara lebih lama dari biasanya. Mereka berbicara tentang banyak hal—tentang kehidupan baru Raka di luar negeri, tentang pengalaman baru yang ia dapatkan, dan tentang bagaimana keduanya mencoba menyesuaikan diri dengan keadaan yang berbeda. Meski ada rindu yang menggelora, mereka mulai menyadari bahwa jarak ini memberi mereka waktu untuk berkembang sebagai individu yang lebih baik, sekaligus menguatkan rasa cinta yang mereka miliki.

Beberapa minggu berlalu, dan komunikasi mereka tetap terjaga. Setiap kali Raka mengirim pesan atau melakukan panggilan video, Alya merasa lebih kuat. Rasa rindu itu tak pernah hilang, namun ia mulai belajar untuk menghadapinya. Raka mengajarkan Alya untuk lebih menghargai waktu yang mereka miliki, untuk tidak hanya bergantung pada kehadiran fisik, tetapi juga pada komitmen yang mereka buat satu sama lain.

Kehidupan di luar negeri mulai mengubah Raka. Ia semakin terbuka dengan diri sendiri dan semakin yakin dengan arah hidupnya. Alya, meskipun berada jauh darinya, juga mulai menemukan kedamaian dalam dirinya. Ia belajar untuk lebih mandiri dan fokus pada tujuannya sendiri, meskipun tak bisa menghindari rasa rindu yang selalu ada.

Suatu hari, saat Alya sedang duduk di taman kampus, ponselnya bergetar. Pesan dari Raka muncul di layar. “Alya, aku ingin kamu tahu bahwa meskipun jarak memisahkan kita, cinta kita tidak akan pernah berubah. Kita akan selalu ada satu sama lain, meskipun tidak berada di tempat yang sama.”

Alya tersenyum dan membalas pesan itu dengan hati penuh rasa. “Aku juga, Raka. Cinta kita akan selalu menguatkan, tidak peduli seberapa jauh kita terpisah. Kita akan terus tumbuh bersama, dalam jarak dan waktu.”

Hari demi hari, jarak antara mereka mulai terasa lebih ringan. Mereka belajar untuk memberi ruang satu sama lain, untuk tumbuh, dan untuk terus saling mencintai meski terpisah oleh waktu dan tempat. Setiap pertemuan di dunia maya membawa mereka lebih dekat, dan setiap pesan yang dikirimkan memperkuat ikatan mereka.

Meski jarak memisahkan mereka, Raka dan Alya tahu satu hal pasti—cinta mereka tidak akan pernah terhapus oleh waktu, apalagi oleh jarak. Mereka belajar bahwa cinta sejati bukan hanya tentang kehadiran fisik, tetapi tentang komitmen, kepercayaan, dan rasa saling mendukung. Mereka mungkin terpisah oleh jarak, tetapi hati mereka tetap satu.

Jarak itu, pada akhirnya, tidak memisahkan mereka. Justru, jarak itu yang menguatkan mereka, membuat mereka sadar bahwa cinta pertama mereka adalah cinta yang akan bertahan selamanya.***

———–THE END———-

Source: DELA SAYFA
Tags: #CintaPertama #JarakDanCinta #CintaYangDiuji #CintaYangMenguatkan #Rindu
Previous Post

HATI YANG TAK TERGOYAHKAN

Next Post

DI BAWAH POHON KENANGAN

Related Posts

CINTA PERTAMA, LUKA TERINDAH

CINTA PERTAMA, LUKA TERINDAH

April 30, 2025
DETIK SAAT NAMAMU MENJADI LAGU

DETIK SAAT NAMAMU MENJADI LAGU

April 29, 2025
SENYUMMU, AWAL DARI SEGALANYA

SENYUMMU, AWAL DARI SEGALANYA

April 28, 2025
SENYUMMU, AWAL DARI SEGALANYA

SENYUMMU, AWAL DARI SEGALANYA

April 27, 2025
” RINDU YANG TAK PERNAH TAHU WAKTU “

” RINDU YANG TAK PERNAH TAHU WAKTU “

April 26, 2025
” JEJAK PERTAMA DI HATIMU “

” JEJAK PERTAMA DI HATIMU “

April 25, 2025
Next Post
DI BAWAH POHON KENANGAN

DI BAWAH POHON KENANGAN

CINTA TANPA TITIK TEMU

CINTA TANPA TITIK TEMU

LANGKAH AWAL MENUJU RINDU

LANGKAH AWAL MENUJU RINDU

Top Stories

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

May 17, 2025
KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

May 16, 2025
KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

May 15, 2025

Tentang Kisah Cinta

Kami menyajikan kumpulan novel dan cerpen cinta yang menggambarkan berbagai sisi cinta, dari yang manis hingga yang pahit, dari yang bahagia hingga yang menyayat hati

Connect on Social

© 2024 Kisahcinta.id

No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta

© 2024 Kisahcinta.id