Kisah Cinta
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
Kisah Cinta
No Result
View All Result

PENGORBANAN CINTA

PENGORBANGAN CINTA

SAME KADE by SAME KADE
April 16, 2025
in Cinta Jarak jauh
Reading Time: 39 mins read
PENGORBANAN CINTA

Daftar Isi

  • Bab 1: Pertemuan Pertama
  • Bab 2: Jarak yang Memisahkan
  • Bab 3: Ujian Kepercayaan
  • Bab 5: Kejutan dalam Kedatangan
  • Bab 6: Menghadapi Tantangan Bersama
  • Bab 7: Membangun Masa Depan
  • Bab 8: Pengorbanan Cinta

Bab 1: Pertemuan Pertama

Perkenalan Liana dan Aidan
Awal mula hubungan mereka.

Liana tidak pernah berpikir bahwa pertemuan biasa di sebuah bandara akan mengubah hidupnya.

Ia hanya gadis biasa, pekerja lepas di dunia desain grafis, yang kebetulan harus melakukan perjalanan dinas ke Jakarta. Tidak ada yang spesial tentang penerbangan ini—hanya satu dari sekian banyak perjalanan yang pernah ia lakukan.

Tapi kali ini berbeda.

Karena di bandara ini, ia bertemu dengan seseorang yang kelak mengubah hatinya.

Seseorang bernama Aidan.

Kekacauan di Bandara

Pukul 08.15 pagi. Liana berlari kecil di terminal keberangkatan, jantungnya berdebar panik.

“Tolong jangan delay, jangan delay,” gumamnya sambil menarik koper kecilnya.

Tapi kenyataan berkata lain.

Di layar informasi penerbangan, tertulis jelas: “Flight JT 789 – DELAYED UNTIL 11:30 AM.”

Liana menghela napas panjang. Ia benar-benar harus tiba di Jakarta tepat waktu, tapi sepertinya semesta berkata lain.

Dengan kesal, ia melangkah ke area lounge dan mencari tempat duduk kosong. Bandara pagi ini cukup ramai, dan ia hampir menyerah sebelum akhirnya melihat satu kursi kosong di samping seorang pria yang sedang menatap layar laptopnya.

“Permisi, boleh duduk?” tanya Liana sopan.

Pria itu mengangkat wajahnya, dan seketika, Liana merasa ada sesuatu yang berbeda.

Matanya tajam, dengan rahang tegas dan rambut hitam yang sedikit berantakan. Ia tampak serius, tapi tidak menyeramkan.

“Silakan,” jawab pria itu singkat, lalu kembali fokus pada laptopnya.

Liana duduk dan mencoba mengalihkan perhatian dengan menggulir layar ponselnya, tapi tanpa sadar, ia melirik ke arah pria di sampingnya.

Pria itu mengetik dengan cepat, sesekali menghela napas seolah sedang menghadapi sesuatu yang serius.

Penasaran, Liana akhirnya bertanya, “Lagi kerja?”

Pria itu menoleh, tampak sedikit terkejut dengan pertanyaan tiba-tiba itu.

“Iya. Deadline,” jawabnya singkat.

Liana mengangguk. “Sama. Aku juga sering kerja sambil nunggu di bandara.”

Pria itu mengangkat alis. “Kamu freelancer?”

“Iya. Desain grafis.”

Sekarang, pria itu tampak lebih tertarik. Ia menutup laptopnya sedikit dan berkata, “Menarik. Aku butuh desain buat presentasi, tapi aku nggak terlalu paham soal itu.”

Liana tersenyum tipis. “Mungkin aku bisa bantu, kalau kamu butuh.”

Pria itu terdiam sesaat sebelum akhirnya mengulurkan tangan.

“Aidan,” katanya.

Liana menerima uluran tangannya. “Liana.”

Dan di situlah semuanya dimulai.

Percakapan yang Tak Terduga

Awalnya, Liana berpikir bahwa perkenalannya dengan Aidan hanya akan sebatas basa-basi di bandara.

Tapi nyatanya, setelah lima menit, mereka masih terus berbicara.

Setelah sepuluh menit, Liana mulai tertawa karena komentar-komentar sarkastik Aidan tentang betapa menyebalkannya delay penerbangan.

Setelah dua puluh menit, mereka mulai membicarakan banyak hal—tentang pekerjaan, tentang film favorit, tentang tempat-tempat yang ingin mereka kunjungi.

Aidan ternyata bukan orang yang sekaku kelihatannya. Meski awalnya tampak serius, ia sebenarnya punya selera humor yang cukup tajam.

“Jadi, kamu suka jalan-jalan?” tanya Liana.

Aidan mengangguk. “Suka. Tapi lebih sering buat kerjaan. Jalan-jalan yang beneran santai? Kayaknya udah lama nggak.”

Liana tertawa. “Sama. Rasanya kerjaan selalu ada aja.”

Aidan menatapnya dengan ekspresi penasaran. “Tapi kalau ada waktu, kamu pengen ke mana?”

Liana berpikir sejenak sebelum menjawab, “Mungkin Jepang. Aku suka budaya dan desainnya.”

Aidan mengangguk pelan. “Bagus. Aku juga mau ke sana suatu hari nanti.”

Ada sesuatu di cara Aidan menatapnya saat itu. Seolah-olah, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia menemukan seseorang yang bisa memahami pikirannya.

Dan mungkin, Liana pun merasakan hal yang sama.

Ketika Langit Memisahkan Mereka

Pukul 11.30, akhirnya pengumuman boarding terdengar.

Liana menghela napas, menyadari bahwa percakapannya dengan Aidan harus berakhir.

“Sepertinya kita harus berpisah,” katanya dengan senyum kecil.

Aidan menatapnya sejenak, lalu berkata, “Mungkin. Tapi mungkin juga nggak.”

Liana mengernyit. “Maksudnya?”

Aidan tersenyum samar, lalu mengeluarkan ponselnya. “Boleh tukeran kontak?”

Jantung Liana berdegup sedikit lebih cepat. Ia tak menyangka Aidan akan memintanya lebih dulu.

Dengan sedikit ragu, ia mengangguk dan mengetikkan nomornya di ponsel Aidan.

“Oke,” kata Aidan sambil menyimpan nomornya. “Siapa tahu kita ketemu lagi.”

Liana tersenyum. “Siapa tahu.”

Lalu, tanpa berkata apa-apa lagi, mereka berjalan menuju gerbang masing-masing.

Tapi saat Liana menaiki pesawat dan duduk di kursinya, ponselnya bergetar.

Sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal.

Aidan: “Jangan lupa kasih tahu aku kalau butuh klien desain. Aku bisa jadi klien pertama kamu yang sering komplain.”

Liana menatap pesan itu, lalu tersenyum.

Entah kenapa, ia merasa bahwa ini bukanlah pertemuan terakhir mereka.

Dan ia tidak salah.

Karena hari itu, di bandara yang penuh dengan perpisahan, sebuah awal baru telah dimulai.

Bandara selalu menjadi tempat yang penuh dengan kisah. Ada air mata perpisahan, ada senyum bahagia dari mereka yang akhirnya bertemu kembali. Namun, bagi Liana, bandara hanya sebatas tempat transit. Persinggahan sementara sebelum melanjutkan perjalanan.

Hari itu, ia berada di bandara untuk terbang ke Jakarta, bukan untuk liburan, tetapi untuk menghadiri pertemuan klien. Sebagai seorang desainer grafis lepas, perjalanannya tidak selalu menyenangkan. Kadang ia harus buru-buru mengejar proyek, kadang terjebak dalam rutinitas yang melelahkan.

Ia menarik napas panjang, menyeret koper kecilnya ke area lounge. Penerbangannya masih satu jam lagi, dan ia butuh tempat untuk duduk dan sedikit bekerja.

Matanya menyapu ruangan, mencari kursi kosong di tengah kepadatan bandara pagi itu. Setelah berputar-putar, akhirnya ia menemukannya—sebuah kursi di samping seorang pria yang tampak sibuk dengan laptopnya.

Tanpa berpikir panjang, ia melangkah mendekat.

“Permisi, boleh duduk di sini?” tanyanya sopan.

Pria itu mengangkat wajahnya sekilas, menatapnya dengan mata tajam yang membuat Liana sedikit terkejut.

Ia memiliki rahang tegas, alis yang sedikit berkerut seolah sedang berkonsentrasi penuh, dan rambut hitam yang agak berantakan. Tampilannya formal, dengan kemeja putih yang lengan atasnya sedikit tergulung.

Sejenak, pria itu tidak langsung menjawab. Namun, beberapa detik kemudian, ia mengangguk.

“Silakan.”

Liana duduk, membuka laptopnya, dan mencoba fokus pada pekerjaannya. Namun, tanpa sadar, matanya melirik ke arah pria di sampingnya.

Pria itu mengetik cepat di laptopnya, sesekali menghela napas seperti seseorang yang sedang dikejar deadline.

Penasaran, Liana akhirnya memberanikan diri bertanya.

“Lagi kerja?”

Pria itu meliriknya sekilas sebelum kembali menatap layar laptopnya.

“Iya. Deadline penting,” jawabnya singkat.

Liana mengangguk. “Aku juga. Freelancer?”

Pria itu tersenyum kecil, lalu menutup laptopnya sebagian.

“Nggak. Aku kerja di perusahaan teknologi. Kamu?”

“Freelancer desain grafis,” jawab Liana sambil tersenyum.

Pria itu tampak tertarik. “Menarik. Aku butuh desain buat presentasi, tapi aku selalu nggak puas sama hasilnya.”

Liana terkekeh. “Mungkin kamu terlalu perfeksionis.”

Pria itu mengangkat bahu. “Mungkin.”

Liana mengulurkan tangan. “Aku Liana, by the way.”

Pria itu menatap tangannya sebelum akhirnya menyambutnya dengan genggaman yang kuat namun hangat.

“Aidan.”

Dan dengan satu jabat tangan itu, sebuah kisah baru dimulai.

Percakapan yang Tak Terduga

Apa yang seharusnya menjadi percakapan singkat berubah menjadi sesuatu yang lebih panjang.

Awalnya, Liana berpikir bahwa Aidan adalah tipe pria serius yang tidak banyak bicara. Tapi setelah beberapa menit, ia mulai menyadari bahwa pria ini punya sisi humor yang tersembunyi.

“Jadi, kamu suka kerja di mana aja?” tanya Aidan.

Liana mengangguk. “Iya. Enaknya jadi freelancer, aku bisa kerja di mana aja. Tapi nggak enaknya, aku nggak punya jam kerja yang tetap.”

Aidan tersenyum tipis. “Aku juga. Kadang kerja sampai tengah malam, kadang pagi-pagi sudah harus rapat.”

“Tapi kamu suka kerjaanmu?”

Aidan berpikir sejenak sebelum menjawab. “Kadang. Tapi lebih sering merasa terjebak di rutinitas.”

Liana tertawa. “Sama.”

Mereka terus mengobrol. Tentang pekerjaan, tentang film yang mereka sukai, tentang tempat-tempat yang ingin mereka kunjungi.

Liana mengetahui bahwa Aidan adalah seseorang yang ambisius. Ia bekerja di industri teknologi, sering bepergian untuk urusan pekerjaan, dan meskipun terlihat serius, ia sebenarnya menyukai hal-hal sederhana seperti secangkir kopi di pagi hari dan perjalanan tanpa rencana.

Sebaliknya, Aidan mulai memahami bahwa Liana adalah seseorang yang spontan. Hidupnya lebih fleksibel, penuh warna dengan proyek-proyek desainnya, dan ia memiliki impian untuk bisa bekerja sambil traveling ke berbagai negara.

Entah bagaimana, percakapan mereka mengalir begitu saja. Seakan mereka sudah saling mengenal sejak lama.

Ketika Waktu Harus Memisahkan

Pengumuman boarding akhirnya terdengar, membuat keduanya terdiam sejenak.

Liana menghela napas, menyadari bahwa mereka harus berpisah.

“Sepertinya sudah waktunya,” katanya dengan senyum kecil.

Aidan menatapnya sesaat sebelum akhirnya berkata, “Sepertinya begitu.”

Ada jeda beberapa detik sebelum akhirnya Aidan mengambil ponselnya.

“Kamu keberatan tukeran kontak?” tanyanya.

Liana terkejut, tapi kemudian tersenyum. Ia mengetikkan nomornya di ponsel Aidan.

“Siapa tahu kita bisa ngobrol lagi,” kata Aidan sambil menyimpan kontaknya.

Liana mengangguk. “Siapa tahu.”

Dengan langkah pelan, mereka berjalan menuju gerbang masing-masing.

Namun, baru saja Liana duduk di kursinya di dalam pesawat, ponselnya bergetar.

Sebuah pesan masuk dari nomor yang baru saja ia simpan.

Aidan: “Jangan sampai kamu lupa kalau kamu masih berhutang satu desain buat aku.”

Liana tersenyum kecil.

Mungkin ini bukan pertemuan terakhir mereka.

Dan ia tidak salah.

Karena hari itu, di sebuah bandara yang penuh dengan perpisahan, kisah mereka baru saja dimulai.

Bab 2: Jarak yang Memisahkan

Liana dan Aidan dipisahkan oleh jarak
Mereka harus menghadapi tantangan komunikasi jarak jauh.

Dentingan notifikasi ponsel berbunyi saat Liana baru saja selesai menyiapkan secangkir kopi.

Aidan: “Udah sampai?”

Liana tersenyum kecil, menyesap kopinya sebelum membalas.

Liana: “Udah. Baru masuk apartemen. Kamu?”

Aidan: “Udah dari tadi. Langsung kerja.”

Liana tersenyum lagi. Tidak butuh waktu lama baginya untuk memahami bahwa Aidan adalah tipe pria yang selalu sibuk. Bahkan setelah penerbangan panjang, ia langsung tenggelam dalam pekerjaannya.

Sejak pertemuan pertama mereka di bandara seminggu yang lalu, percakapan mereka tidak pernah benar-benar berhenti. Mulai dari chat ringan, obrolan random tentang cuaca, hingga panggilan video larut malam.

Namun, ada satu hal yang perlahan mulai terasa di antara mereka.

Jarak.

Jakarta dan Surabaya memang tidak begitu jauh, hanya butuh satu jam perjalanan udara. Tapi di antara pekerjaan yang menumpuk, jadwal yang bertabrakan, serta perbedaan ritme kehidupan, jarak itu terasa lebih dari sekadar hitungan kilometer.

Hari itu, Liana merasa lebih lelah dari biasanya. Ia baru saja menyelesaikan revisi desain untuk klien yang cukup perfeksionis.

Ponselnya bergetar lagi.

Aidan: “Gimana harimu?”

Liana mengetik pelan.

Liana: “Lumayan melelahkan. Kamu?”

Aidan: “Sama. Banyak meeting hari ini.”

Dulu, Liana berpikir hubungan jarak jauh hanya tentang menunggu momen untuk bertemu kembali. Tapi ternyata, ada hal lain yang lebih sulit dari sekadar menahan rindu—memastikan komunikasi tetap berjalan, meski masing-masing punya kesibukan sendiri.

Ada saat-saat di mana Liana ingin berbicara dengan Aidan lebih lama, tapi panggilannya harus berakhir karena Aidan harus rapat.

Ada hari-hari di mana Aidan ingin mendengar suara Liana, tapi ia sedang dikejar deadline desain.

Perlahan, keduanya mulai menyadari bahwa mempertahankan komunikasi dalam hubungan jarak jauh lebih sulit dari yang mereka bayangkan.

Suatu malam, Liana mengirim pesan singkat.

Liana: “Kamu udah makan?”

Tidak ada balasan.

Ia menunggu satu jam. Dua jam.

Masih tidak ada.

Aidan biasanya akan membalas cepat, bahkan jika ia sedang sibuk. Tapi malam itu, tidak ada tanda-tanda darinya.

Liana mulai berpikir. Apa dia baik-baik saja? Apa dia sedang sibuk? Atau… apa dia mulai bosan dengan komunikasi ini?

Pikiran itu membuatnya resah.

Hingga akhirnya, pukul 23.30, pesan itu terbalas.

Aidan: “Maaf, baru sempat balas. Tadi ada meeting mendadak.”

Hanya itu.

Tanpa emoji. Tanpa tambahan kata-kata yang lebih panjang.

Liana membaca pesan itu berkali-kali, mencoba menenangkan pikirannya. Tapi ada sesuatu yang mengganjal.

Dulu, Aidan selalu berusaha menyempatkan waktu, bahkan di tengah kesibukannya. Tapi belakangan, jawabannya mulai terasa lebih singkat, lebih kaku.

Jarak bukan hanya soal ruang, tapi juga tentang bagaimana komunikasi berubah seiring waktu.

Dan saat itu, Liana mulai bertanya-tanya: Apakah jarak ini perlahan mulai menjauhkan mereka?

Hari berikutnya, Liana mencoba menelepon Aidan.

Nada sambung berdering lama sebelum akhirnya diangkat.

“Halo?” Suara Aidan terdengar lelah.

“Hei,” Liana berusaha terdengar ceria. “Kamu sibuk?”

Sejenak, ada jeda sebelum Aidan menjawab.

“Lumayan. Ada yang penting?”

Liana terdiam. Pertanyaan itu terdengar lebih dingin dari yang ia harapkan.

“Nggak, sih. Cuma mau ngobrol aja. Aku nggak ganggu, kan?”

Aidan menghela napas. “Enggak, cuma lagi capek banget. Mungkin bisa ngobrol besok?”

Liana ingin berkata sesuatu, tapi ia menahan diri.

“Oke,” jawabnya pelan. “Istirahat ya.”

Setelah panggilan berakhir, Liana menatap layar ponselnya lama.

Dulu, Aidan selalu senang mengobrol dengannya, bahkan saat ia lelah. Tapi sekarang?

Ia tidak ingin berpikiran negatif, tapi ada sesuatu yang berubah.

Dan ia tidak tahu apakah itu hanya perasaannya saja, atau memang ada sesuatu yang perlahan menjauh di antara mereka.

Hari-hari berikutnya, komunikasi mereka semakin jarang.

Aidan mulai lebih sering membalas pesan dengan singkat. Liana masih berusaha untuk tetap positif, mencoba memahami bahwa Aidan mungkin sedang sibuk.

Namun, semakin lama, keheningan itu semakin terasa.

Suatu malam, Liana mengirim pesan lebih panjang.

Liana: “Aidan, aku ngerti kalau kamu sibuk. Aku juga punya kerjaan sendiri. Tapi aku cuma mau tahu… apa kamu masih nyaman dengan ini? Dengan kita?”

Pesan itu terkirim.

Dan seperti malam-malam sebelumnya, ia menunggu.

Tapi kali ini, ia tidak tahu apakah ia benar-benar ingin mendapat jawaban… atau takut dengan jawaban yang mungkin akan ia terima.

Liana memandang layar ponselnya, menunggu notifikasi yang tidak kunjung datang. Sudah hampir dua jam sejak ia mengirim pesan terakhir ke Aidan, tapi belum ada balasan.

Aidan: Terakhir online 3 jam lalu.

Ia menghela napas. Perasaan ini perlahan mulai akrab baginya—menunggu, bertanya-tanya, lalu melawan pikiran-pikiran negatif yang muncul di kepalanya.

Sejak pertemuan pertama mereka di bandara, komunikasi mereka memang intens. Mereka bertukar pesan setiap hari, berbagi cerita tentang pekerjaan, hal-hal kecil, hingga panggilan telepon larut malam yang sering membuat Liana tersenyum sendirian.

Tapi sekarang, setelah tiga bulan berlalu, semuanya mulai terasa berbeda.

Dulu, Aidan selalu cepat membalas. Sekarang, ada jeda panjang di antara balasannya.

Dulu, Aidan sering mengiriminya pesan lebih dulu. Sekarang, Liana yang harus lebih sering memulai.

Liana sadar bahwa hubungan jarak jauh tidak akan mudah. Ia sudah siap dengan rindu yang tidak bisa segera terobati dan pertemuan yang harus dijadwalkan jauh-jauh hari. Tapi yang tidak ia sangka adalah… perasaan kesepian yang perlahan merayap di tengah hubungan ini.

Mereka hidup di kota yang berbeda, dengan ritme yang tidak selalu selaras.

Liana sering bekerja larut malam karena proyek desainnya, sementara Aidan harus bangun pagi untuk rapat dengan timnya.

Kadang, saat Liana ingin berbicara, Aidan sudah terlalu lelah.

Kadang, saat Aidan ingin berbagi cerita, Liana sedang tenggelam dalam pekerjaannya.

Mereka berdua berusaha, tapi tetap saja, ada saat-saat di mana komunikasi tidak berjalan lancar.

Suatu malam, Liana mencoba menelepon Aidan.

Nada sambung berbunyi lama sebelum akhirnya tersambung.

“Halo?” suara Aidan terdengar sedikit serak.

“Kamu udah tidur?” tanya Liana pelan.

“Baru mau. Ada apa?”

Liana menggigit bibirnya.

“Nggak ada apa-apa sih. Cuma… aku kangen ngobrol sama kamu.”

Sejenak, tidak ada jawaban.

Kemudian, Aidan menghela napas. “Liana, aku capek banget hari ini. Bisa kita ngobrol besok?”

Liana terdiam.

Ia tahu Aidan lelah. Ia tahu seharusnya ia tidak mempermasalahkan ini. Tapi entah kenapa, ada perasaan sepi yang menusuk dadanya.

“Iya, nggak apa-apa. Istirahat ya,” katanya akhirnya.

Aidan hanya bergumam pelan sebelum menutup telepon.

Liana menatap layar ponselnya, lalu meletakkannya di samping bantal.

Ia tahu hubungan jarak jauh butuh pengertian.

Tapi apakah harus sesakit ini?

Pesan yang Tak Dibalas, Panggilan yang Tak Dijawab

Hari-hari berlalu, dan semakin sering Liana merasa bahwa ia sedang berbicara sendirian.

Aidan semakin sibuk. Pekerjaannya menumpuk, rapat-rapatnya semakin panjang, dan pesan-pesan Liana mulai sering tak terjawab.

Liana masih mencoba memahami. Tapi tetap saja, rasa ragu itu perlahan mulai tumbuh.

Suatu malam, ia mengirim pesan panjang.

Liana: “Aidan, aku tahu kamu sibuk. Aku juga sibuk. Tapi aku cuma mau tahu… kita ini masih sama-sama berjuang, atau aku hanya berusaha sendirian?”

Pesan itu terkirim.

Liana menatapnya lama.

Lima menit. Sepuluh menit. Satu jam.

Tidak ada balasan.

Liana memejamkan mata.

Mungkin, jarak ini tidak hanya memisahkan tubuh mereka.

Tapi juga hati mereka.

Bab 3: Ujian Kepercayaan

Liana dan Aidan menghadapi ujian kepercayaan
Mereka harus mempertahankan cinta mereka dalam menghadapi kesulitan.

Ponsel Liana tergeletak di atas meja. Layarnya menyala, menampilkan satu pesan baru dari Aidan.

Aidan: “Maaf, baru balas. Tadi ketiduran habis meeting.”

Liana membaca pesan itu, tapi kali ini tidak langsung membalas.

Dulu, ia akan segera mengetik, “Gak apa-apa, kamu pasti capek. Istirahat yang cukup ya!”

Tapi kini, pikirannya terlalu berisik.

Sore tadi, salah satu temannya mengirim foto di grup. Sebuah foto yang tanpa sengaja membuat perasaannya terusik.

Foto itu memperlihatkan Aidan sedang duduk di sebuah kafe, bersama seorang perempuan yang tidak Liana kenal.

Mereka tidak tampak mesra, tidak ada pegangan tangan atau kedekatan yang berlebihan. Tapi tetap saja, ada perasaan aneh yang muncul di hati Liana.

Kenapa Aidan tidak cerita kalau dia pergi ke kafe? Siapa perempuan itu? Dan kenapa ia harus tahu ini dari orang lain, bukan dari Aidan sendiri?

Hati kecilnya berusaha berpikir positif. Aidan bukan tipe pria yang suka bermain-main. Mungkin itu hanya kolega kerja atau teman biasa.

Tapi tetap saja, ada suara di kepalanya yang berbisik, Bagaimana kalau ada sesuatu yang Aidan sembunyikan?

Jarak Membuat Segalanya Lebih Sulit

Liana mencoba mengabaikan pikirannya.

Malam itu, ia menelepon Aidan.

Nada sambung berbunyi beberapa kali sebelum akhirnya diangkat.

“Hei,” suara Aidan terdengar biasa saja.

“Hai. Kamu sibuk?”

“Enggak, kok. Ada apa?”

Liana menarik napas. Haruskah aku langsung bertanya?

Tapi ia ragu.

Jadi, ia memilih jalan memutar.

“Hari ini gimana? Banyak kerjaan?” tanyanya santai.

“Lumayan. Tadi rapat seharian. Habis itu langsung ke apartemen, ketiduran,” jawab Aidan.

Liana terdiam sejenak.

Tidak ada cerita tentang kafe. Tidak ada cerita tentang siapa pun yang ia temui hari ini.

“Oh… jadi kamu nggak keluar sama siapa pun?” tanyanya pelan.

Aidan tertawa kecil. “Hah? Enggak. Aku di kantor terus. Kenapa nanya gitu?”

Jantung Liana berdegup lebih cepat.

Aidan berbohong.

Kenapa dia tidak cerita tentang kafe? Kenapa dia harus bilang kalau dia di kantor terus?

“Gak apa-apa,” jawab Liana akhirnya, mencoba menyembunyikan kekecewaannya.

Ketika Kepercayaan Mulai Goyah

Liana ingin percaya bahwa Aidan tidak akan melakukan hal yang menyakitinya.

Tapi setelah panggilan itu berakhir, ia tidak bisa menahan diri untuk melihat foto yang dikirim temannya tadi.

Wajah Aidan terlihat santai, duduk di seberang perempuan itu. Mereka terlihat sedang mengobrol serius.

Dan itu bukan di kantor.

Liana menatap layar ponselnya lama.

Kenapa dia tidak cerita?

Tangan Liana gemetar saat ia mengetik pesan.

Liana: “Aidan, aku cuma mau nanya satu hal. Kamu yakin tadi seharian di kantor?”

Pesan itu terkirim.

Aidan membaca pesannya, tapi tidak langsung membalas.

Satu menit. Dua menit.

Kemudian akhirnya, balasan itu datang.

Aidan: “Kenapa kamu tanya kayak gitu?”

Liana merasa ada sesuatu yang aneh. Jika memang tidak ada yang ia sembunyikan, seharusnya Aidan bisa langsung menjawab, bukan balik bertanya.

Ia mengetik lagi.

Liana: “Aku cuma ingin tahu. Karena tadi temanku lihat kamu di kafe sama seseorang.”

Pesan itu terkirim.

Liana menunggu.

Dan entah kenapa, dada Liana mulai terasa sesak.

Kejujuran yang Tertunda

Sepuluh menit berlalu sebelum akhirnya Aidan membalas.

Aidan: “Oh, itu… Iya, aku tadi ke kafe. Sama kolega kerja, cuma ngobrol biasa.”

Liana membaca pesan itu, tapi entah kenapa, perasaannya tetap tidak tenang.

Jika memang hanya ngobrol biasa, kenapa harus disembunyikan? Kenapa tidak langsung cerita?

Liana: “Kenapa kamu nggak bilang dari tadi?”

Aidan: “Aku lupa. Lagipula, aku nggak merasa itu sesuatu yang penting untuk diceritakan.”

Liana memejamkan mata.

Bukan tentang pergi ke kafe. Bukan tentang siapa yang bersamanya.

Tapi tentang bagaimana Aidan mulai menyembunyikan hal-hal kecil.

Tentang bagaimana ia harus tahu dari orang lain, bukan dari Aidan sendiri.

Tentang bagaimana kepercayaan mulai terasa rapuh.

Cinta yang Harus Dipertahankan atau Dilepaskan?

Malam itu, Liana tidak bisa tidur.

Ia terus memikirkan, apakah ini hanya kesalahpahaman kecil? Atau ini adalah tanda awal bahwa hubungan mereka mulai berubah?

Ia ingin percaya bahwa Aidan tidak akan menyakitinya.

Tapi bagaimana caranya mempertahankan hubungan jika kepercayaan mulai terasa samar?

Liana menghela napas, menatap layar ponselnya.

Ia tahu, cinta saja tidak cukup.

Dan mungkin, inilah saatnya ia dan Aidan benar-benar berbicara dari hati ke hati.

Liana menatap layar ponselnya yang masih gelap. Sudah dua jam sejak ia mengirim pesan terakhir ke Aidan, tapi belum ada balasan.

Dulu, mereka bisa berbicara berjam-jam tanpa lelah. Kini, bahkan untuk mendapatkan balasan singkat pun terasa seperti sebuah perjuangan.

Sebenarnya, ini bukan pertama kalinya. Sejak beberapa minggu lalu, Aidan mulai sering sulit dihubungi. Pesannya hanya dibalas dengan satu atau dua kata, panggilannya sering diabaikan, dan alasannya selalu sama—sibuk.

Liana ingin percaya, ingin berpikir positif bahwa semua ini hanya karena pekerjaan Aidan yang semakin menumpuk. Tapi hati kecilnya tidak bisa menepis perasaan bahwa ada sesuatu yang berubah.

Jarak yang Membuat Ragu

Malam itu, setelah berkali-kali menunggu, akhirnya ponselnya bergetar.

Aidan menelepon.

Tanpa ragu, Liana langsung mengangkatnya.

“Halo?” suara Aidan terdengar lelah di ujung telepon.

“Kamu sibuk?” tanya Liana hati-hati.

“Iya, tadi ada meeting panjang banget. Habis itu langsung tepar.”

Liana menggigit bibirnya. Ingin rasanya percaya pada kata-kata Aidan, tapi suara di kepalanya terus bertanya.

“Aidan, aku mau tanya sesuatu,” ujarnya akhirnya.

“Apa?”

Liana menarik napas dalam.

“Kamu masih serius sama hubungan ini?”

Hening.

Aidan butuh beberapa detik sebelum menjawab. “Kenapa kamu nanya kayak gitu?”

“Karena aku ngerasa ada yang berubah. Dulu kamu selalu semangat cerita, selalu ada waktu buat aku. Sekarang, kamu sibuk terus. Pesanku dibalas lama, telepon jarang diangkat, dan…” Liana terdiam sejenak, “kadang aku ngerasa kita bukan pacaran lagi, tapi cuma dua orang yang sesekali ngobrol.”

Aidan menghela napas panjang. “Liana, aku nggak berubah. Aku cuma benar-benar sibuk. Kamu tahu sendiri gimana pekerjaanku.”

“Iya, aku tahu. Tapi apa sesibuk itu sampai nggak bisa kasih kabar? Sampai harus aku duluan yang selalu memulai percakapan?”

Lagi-lagi hening.

Liana menunggu, berharap Aidan punya jawaban yang bisa menenangkan hatinya.

Tapi yang keluar dari mulut Aidan justru, “Kamu nggak percaya sama aku?”

Liana terdiam.

Kepercayaan yang Mulai Retak

Kepercayaan itu adalah pondasi sebuah hubungan, tapi bagaimana jika pondasi itu mulai rapuh?

Liana bukan tipe orang yang mudah curiga. Tapi ketika perubahan Aidan semakin terasa, ia tak bisa mengabaikannya begitu saja.

Dan kecurigaannya semakin kuat ketika suatu hari, seorang teman mengirim foto ke ponselnya.

Foto Aidan, duduk di sebuah kafe bersama seorang perempuan yang tidak ia kenal.

Liana menatap foto itu lama. Dadanya terasa sesak.

Ia ingin percaya bahwa itu hanya pertemuan biasa. Tapi mengapa Aidan tidak pernah menyebutkan ini?

Malam itu, Liana kembali menghubungi Aidan.

Nada sambung berbunyi lama sebelum akhirnya tersambung.

“Halo?” suara Aidan terdengar sedikit terkejut.

“Aidan, aku mau nanya sesuatu,” suara Liana terdengar bergetar.

“Apa?”

Liana menggigit bibirnya.

“Siapa perempuan yang ada di kafe sama kamu tadi?”

Sejenak, Aidan terdiam.

Kemudian ia tertawa kecil. “Oh, itu? Cuma teman kerja, kok. Kita meeting di luar kantor.”

Liana menghela napas. “Kenapa kamu nggak cerita?”

“Aku nggak kepikiran buat cerita, karena memang nggak ada yang perlu diceritain.”

Liana menutup matanya.

“Aidan, masalahnya bukan tentang perempuan itu. Tapi tentang kenapa kamu nggak pernah cerita lagi. Kenapa aku harus tahu dari orang lain, bukan dari kamu sendiri?”

Hening.

Aidan tidak langsung menjawab.

Setelah beberapa detik, ia berkata, “Liana, kamu nggak percaya sama aku?”

Liana tersenyum miris.

“Aku percaya. Tapi semakin lama, aku merasa kepercayaan itu cuma datang dari aku. Aku nggak tahu apakah kamu juga masih punya perasaan yang sama.”

Aidan menghela napas. “Liana, aku capek. Aku nggak mau terus-terusan merasa harus membuktikan sesuatu ke kamu. Kalau kamu nggak percaya, aku nggak bisa maksa.”

Jawaban itu menusuk hati Liana lebih dari yang ia bayangkan.

Apakah ini akhir dari hubungan mereka?

alam itu, Liana tidak bisa tidur.

Ia menatap layar ponselnya yang gelap, bertanya-tanya apakah masih ada jalan untuk memperbaiki hubungan ini.

Ataukah ini adalah tanda bahwa mereka harus berhenti berusaha?

Satu hal yang ia tahu pasti—cinta saja tidak pernah cukup.

Kepercayaanlah yang membuat cinta tetap bertahan.

Dan saat ini, kepercayaan itu mulai goyah.

Hari itu, Liana merasa cemas saat membuka pesan dari Aidan. Sudah beberapa hari sejak mereka terakhir berbicara secara terbuka, dan ia merasakan ada sesuatu yang tidak beres. Aidan biasanya sangat komunikatif, tetapi belakangan ini, ia lebih sering mengabaikan pesan-pesan Liana atau hanya memberikan jawaban singkat yang terasa tidak tulus.

Liana sudah lama menduga bahwa ada sesuatu yang sedang disembunyikan, tetapi ia tidak pernah cukup berani untuk mengonfrontasi Aidan secara langsung. Kini, dengan perasaan gelisah yang semakin kuat, Liana merasa tidak ada lagi yang bisa disembunyikan di antara mereka.

Saat akhirnya mereka berbicara di video call, wajah Aidan terlihat lebih lelah dari biasanya.

“Aidan, ada yang bisa kita bicarakan?” tanya Liana dengan suara yang terdengar lebih lembut dari biasanya.

Aidan mengangguk, namun ada jarak yang terasa dalam sikapnya.

“Apa yang salah? Kamu tampak jauh akhir-akhir ini,” lanjut Liana, mencoba menyelami mata Aidan untuk mencari tahu apakah ada sesuatu yang ia sembunyikan.

Aidan menunduk sejenak, lalu menarik napas panjang.

“Liana, aku… aku tidak tahu bagaimana harus mengatakannya. Ada hal yang terjadi di sini, dan aku takut itu akan mempengaruhi hubungan kita.”

Liana menunggu, hatinya berdebar.

“Apa maksudmu, Aidan?” tanyanya, suara mulai bergetar.

Aidan tidak segera menjawab. Ia terlihat bingung, seolah-olah sedang mencari kata-kata yang tepat untuk mengungkapkan kekhawatirannya.

“Aku merasa kita semakin jauh, Liana. Setiap kali aku mencoba menghubungimu, aku merasa seperti ada tembok di antara kita. Aku tidak tahu apakah itu hanya perasaan aku atau memang benar adanya.”

Liana terdiam. Itu adalah perasaan yang ia juga rasakan—rasa keterasingan yang tiba-tiba muncul meskipun mereka berada di dunia yang sama. Tetapi mendengar Aidan mengatakannya, membuatnya merasa lebih sakit.

“Kamu merasa kita semakin jauh? Tapi kita selalu berusaha menjaga komunikasi, Aidan. Apa yang membuatmu merasa seperti itu?”

Aidan menatapnya, matanya mengandung keteguhan, tetapi juga keraguan.

“Aku merasa kamu mulai berubah, Liana. Ada hal-hal yang tidak aku tahu, dan aku merasa takut jika kita tidak bisa kembali seperti dulu lagi.”

Liana merasakan sebuah ketegangan yang membekap dadanya. Ia bisa merasakan ketidakpastian di dalam diri Aidan, tetapi ia juga tahu bahwa perasaan itu datang dari kebingungannya sendiri, bukan karena Liana berubah.

“Aku tidak berubah, Aidan,” katanya perlahan, berusaha meyakinkan dirinya sendiri lebih dulu. “Aku masih di sini, sama seperti dulu. Hanya saja, kita berdua sudah berubah karena jarak dan waktu.”

Aidan mengangguk, seolah menyadari kebenaran dalam perkataan Liana. Namun, di matanya, Liana bisa melihat rasa takut yang sangat dalam—takut kehilangan orang yang sangat ia cintai, dan takut bahwa semuanya yang mereka bangun akan runtuh begitu saja.

Beberapa hari setelah percakapan itu, Liana merasa semakin cemas. Aidan menjadi lebih tertutup, lebih sering menghindar saat ia mencoba menghubunginya. Meski ia sudah berusaha untuk tidak menganggapnya sebagai hal yang terlalu serius, perasaan cemas yang terus berkembang membuatnya tidak bisa menahan diri untuk tidak curiga.

Apakah Aidan mulai kehilangan minat padanya? Apakah dia bertemu dengan seseorang yang lebih baik di sana?

Ia memutuskan untuk berbicara langsung dengan Aidan tentang apa yang dirasakannya. Malam itu, mereka akhirnya bertemu melalui video call lagi.

“Aidan, aku merasa ada yang salah. Kamu tidak seperti biasanya. Jangan bohongi aku, Aidan. Aku berhak tahu apa yang terjadi,” kata Liana dengan nada yang lebih tegas daripada sebelumnya.

Aidan terdiam, wajahnya terlihat bingung dan sedikit gelisah.

“Liana, aku nggak tahu harus mulai dari mana… Aku merasa sudah berusaha, tapi aku nggak bisa menjelaskan apa yang ada di kepala aku.”

Liana menghela napas panjang, matanya menatap Aidan dengan harapan. “Jangan bilang aku harus menebak, Aidan. Aku sudah cukup ragu dengan apa yang terjadi antara kita. Aku tidak ingin terjebak dalam ketidakpastian seperti ini.”

Aidan akhirnya mengakui, “Aku merasa aku tidak bisa terus berbohong. Ada seseorang yang mencoba mendekatiku di sini, Liana.”

Mendengar itu, hati Liana terasa teriris. Seketika, seolah ada kekosongan yang begitu dalam.

“Kamu… kamu serius?” suara Liana hampir tidak terdengar, tertahan oleh kesedihan yang tiba-tiba muncul.

Aidan menunduk, tidak bisa melihat wajah Liana.

“Aku nggak mau melukai kamu, Liana. Aku nggak pernah berniat untuk menjalin hubungan dengan orang lain, tapi kadang, aku merasa kesepian dan bingung. Dan orang itu memberi perhatian padaku.”

Liana merasa dunia seperti berhenti berputar. Semua perasaan yang selama ini ia pendam mulai meledak—marah, kecewa, dan takut.

“Jadi kamu ingin meninggalkan aku untuk dia?” tanya Liana, air matanya sudah menggenang di mata.

Aidan langsung menggelengkan kepala. “Tidak, Liana. Aku tidak ingin kehilangan kamu. Aku hanya bingung dengan perasaan aku sendiri. Aku tidak ingin kamu merasa terluka, tapi aku juga tidak ingin menyakiti diriku sendiri dengan terus berbohong.”

Liana menatapnya dengan tajam. “Aku tidak tahu harus percaya atau tidak, Aidan. Apa yang kita miliki itu begitu berharga bagiku. Tapi aku juga nggak bisa menerima kebohongan.”

Keesokan harinya, Liana tidak bisa tidur nyenyak. Ia terus memikirkan percakapan mereka semalam, mempertimbangkan semua yang sudah terjadi. Apakah hubungan mereka bisa bertahan setelah semua yang telah diungkapkan?

Pagi itu, Aidan mengirimkan pesan kepadanya, meminta maaf dan berharap bisa berbicara lebih lanjut. Liana merasa bingung. Di satu sisi, ia ingin segera mengakhiri hubungan ini karena rasa sakit yang ditimbulkan, tetapi di sisi lain, ia masih mencintai Aidan dengan segenap hatinya.

Aidan memintanya untuk bertemu di sebuah kafe. Liana akhirnya setuju.

Di sana, setelah duduk di meja mereka, Aidan terlihat lebih tertekan daripada sebelumnya.

“Liana, aku nggak pernah bermaksud untuk membuatmu merasa terkhianati. Aku tahu aku telah melukai kamu, dan aku sangat menyesal. Aku berharap kamu bisa memaafkanku.”

Liana menatapnya dengan hati yang penuh pertanyaan. “Aku ingin memaafkanmu, Aidan. Tapi aku butuh waktu untuk mempercayaimu lagi. Tidak ada yang lebih sakit daripada merasa dikhianati oleh orang yang kita percayai.”

Aidan menunduk, matanya penuh penyesalan. “Aku mengerti, Liana. Dan aku akan melakukan apa saja untuk mendapatkan kepercayaanmu kembali. Aku tidak ingin kehilanganmu.”

Liana merasakan beban yang berat di dadanya. Bagaimana mungkin ia bisa kembali mempercayai Aidan setelah semua ini? Tetapi, dalam hatinya, ia juga merasa bahwa hubungan mereka masih layak untuk diperjuangkan.

“Aku ingin kita coba lagi, Aidan. Tapi itu berarti kamu harus menunjukkan dengan tindakan, bukan hanya kata-kata.”

Aidan mengangguk dengan penuh tekad. “Aku akan buktikan bahwa aku bisa jadi pria yang layak untuk kamu.”

Waktu berlalu, dan meskipun masih ada luka yang tersisa, Liana dan Aidan berusaha memperbaiki hubungan mereka. Kepercayaan yang pernah retak kini harus dibangun kembali, tetapi keduanya menyadari bahwa cinta yang mereka miliki masih memiliki kekuatan untuk menyembuhkan segala luka.

Setiap hari mereka berusaha lebih terbuka satu sama lain, lebih jujur, dan lebih sabar. Mereka tahu bahwa ini bukanlah perjalanan yang mudah, tetapi mereka siap untuk melewatinya bersama.

Mereka berdua menyadari bahwa ujian kepercayaan adalah bagian dari setiap hubungan yang akan memperkuat ikatan mereka jika mereka saling berjuang untuk itu.

Bab 4: Mencari Jalan Tengah

Liana dan Aidan mencari jalan tengah untuk mempertahankan hubungan mereka

Mereka harus menghadapi tantangan jarak jauh dan perbedaan waktu.

Liana menatap layar ponselnya yang masih gelap. Sudah hampir satu jam sejak ia mengirim pesan terakhir ke Aidan, tapi belum ada balasan.

Waktu di jam tangannya menunjukkan pukul 10 malam di Jakarta, sementara di London, tempat Aidan sekarang berada untuk urusan pekerjaan, baru sekitar pukul 3 sore.

Dulu, mereka selalu bisa berbicara kapan saja. Tapi sekarang, perbedaan waktu membuat segalanya menjadi lebih sulit.

Terkadang, ketika Liana ingin bercerita tentang harinya, Aidan justru masih sibuk dengan pekerjaannya. Dan ketika Aidan akhirnya punya waktu untuk menghubunginya, sering kali Liana sudah terlalu lelah dan ingin tidur.

Mereka masih saling mencintai. Itu tidak pernah berubah.

Tapi akhir-akhir ini, hubungan mereka terasa semakin jauh—bukan hanya karena jarak, tetapi juga karena komunikasi yang semakin sulit.

Malam itu, Aidan akhirnya menelepon.

“Hai,” suaranya terdengar pelan.

Liana menghela napas lega. “Hai. Aku kirim pesan tadi, kamu baca?”

“Maaf, aku tadi ada meeting dadakan. Baru bisa lihat sekarang.”

Liana menggigit bibirnya.

“Kamu tahu, Aidan? Aku merasa kita semakin jauh. Dulu kita selalu ada waktu untuk satu sama lain, tapi sekarang rasanya susah banget cuma buat sekadar ngobrol.”

Aidan terdiam.

“Liana, ini cuma sementara. Aku cuma butuh waktu buat menyelesaikan semua pekerjaanku di sini. Setelah itu, kita bisa seperti dulu lagi.”

Liana tersenyum miris. “Kamu selalu bilang ‘cuma sementara’. Tapi semakin lama, aku merasa hubungan ini jadi makin berat buat aku.”

Aidan menghela napas panjang. “Jadi… maksudmu apa? Kamu mau menyerah?”

“Aku nggak bilang aku mau menyerah, Aidan. Tapi aku juga nggak bisa terus merasa seperti ini. Aku merasa berjuang sendirian.”

Mendengar itu, Aidan langsung menyela. “Kamu pikir aku nggak berjuang juga? Aku di sini bekerja keras untuk masa depan kita, Liana. Aku ingin kita punya kehidupan yang lebih baik. Aku ingin bisa membangun sesuatu untuk kita.”

“Tapi apa gunanya semua itu kalau kita malah kehilangan satu sama lain dalam prosesnya?” suara Liana mulai bergetar.

Lagi-lagi hening.

Lalu Aidan berkata, “Kita butuh jalan tengah.”

Liana menatap ponselnya, mencoba memahami maksud Aidan.

“Apa maksudmu?”

“Aku nggak mau kehilangan kamu, Liana. Tapi kalau kita terus begini, kita hanya akan terus saling menyalahkan. Kita harus cari cara supaya hubungan ini bisa tetap berjalan tanpa harus menyakiti satu sama lain.”

Percakapan mereka malam itu berakhir tanpa kesimpulan yang jelas.

Namun, keesokan harinya, Aidan menghubungi Liana lagi.

“Aku sudah berpikir semalaman,” kata Aidan. “Aku ingin kita tetap bersama, jadi kita harus mencari cara supaya hubungan ini tetap sehat untuk kita berdua.”

Liana mengangguk, meskipun Aidan tidak bisa melihatnya. “Oke. Aku juga nggak mau kita terus-terusan begini. Jadi, apa yang bisa kita lakukan?”

Mereka mulai membicarakan hal-hal yang selama ini menjadi masalah dalam hubungan mereka.Mereka sepakat untuk menetapkan jadwal komunikasi yang lebih fleksibel.Liana akan berusaha untuk bangun lebih pagi agar bisa berbicara dengan Aidan sebelum ia mulai bekerja.Aidan akan mencoba mengatur waktunya agar bisa menelepon Liana sebelum tidur.Mereka sepakat untuk selalu memberi kabar, meskipun hanya sekadar pesan singkat.Tidak harus selalu berbicara lama, tapi cukup untuk menunjukkan bahwa mereka masih ada untuk satu sama lain.

Mereka berjanji untuk lebih terbuka. Jika ada sesuatu yang mengganggu pikiran mereka, mereka harus mengatakannya secara langsung.

Tidak ada lagi hal-hal yang disembunyikan, sekecil apa pun itu.

Liana merasa sedikit lega setelah pembicaraan itu.

Mungkin ini tidak akan langsung menyelesaikan semua masalah mereka.

Tapi setidaknya, mereka berusaha.

Dan mungkin, itu sudah cukup untuk saat ini.

Malam itu, sebelum tidur, Liana menerima pesan dari Aidan.

Aidan: “Aku tahu ini nggak akan mudah, tapi aku ingin kita tetap bersama. Kita akan menemukan cara untuk melewati semua ini, oke?”

Liana tersenyum, lalu membalas.

Liana: “Oke. Kita akan berusaha bersama.”

Karena bagi mereka, cinta bukan hanya tentang rasa, tapi juga tentang bagaimana mereka tetap memilih satu sama lain—meskipun jarak dan waktu berusaha memisahkan mereka.

Dan selama mereka masih berusaha, hubungan ini masih layak untuk diperjuangkan.

Liana menatap layar ponselnya dengan perasaan campur aduk. Pesan terakhir yang ia kirim ke Aidan masih belum dibalas sejak tiga jam yang lalu.

“Aidan, kita harus bicara. Tolong angkat teleponku.”

Tapi pesan itu hanya dibaca, tanpa ada balasan.

Dulu, ia tidak perlu menunggu lama hanya untuk mendapatkan satu kata balasan dari Aidan. Sekarang, semuanya berubah.

Hubungan mereka yang dulu terasa penuh semangat, kini terasa seperti beban yang harus mereka pertahankan.

Apakah ini hanya fase? Atau apakah ini pertanda bahwa semuanya akan berakhir?

Saat jam di ponselnya menunjukkan pukul 2 pagi, akhirnya panggilan dari Aidan masuk.

“Liana, maaf aku baru bisa menelepon sekarang,” suara Aidan terdengar lelah.

“Aku sudah menunggumu sejak tadi, Aidan. Apa sesibuk itu sampai kamu nggak bisa sekadar mengabariku?”

Aidan menghela napas. “Aku baru selesai kerja. Aku tahu kamu marah, tapi aku benar-benar nggak ada waktu tadi.”

Liana menutup matanya, mencoba mengendalikan emosinya.

“Aku nggak minta kamu telepon setiap saat. Aku cuma ingin kamu nggak mengabaikanku seperti ini. Aku merasa seperti orang asing dalam hidupmu sekarang.”

Aidan terdiam.

Setelah beberapa detik, ia berkata pelan, “Aku juga nggak mau kita begini terus, Liana.”

Liana mengangguk pelan. “Lalu, apa yang harus kita lakukan?”

Mereka saling diam.

Keduanya tahu bahwa hubungan ini tidak bisa bertahan jika mereka terus saling menyalahkan. Mereka butuh jalan tengah—sesuatu yang bisa membuat mereka tetap bertahan tanpa harus saling menyakiti.

Keesokan harinya, Liana dan Aidan kembali berbicara. Kali ini, mereka berusaha lebih tenang.

“Kita butuh aturan dalam hubungan ini,” kata Aidan.

“Aturan seperti apa?”

“Kita harus menetapkan jadwal komunikasi yang lebih jelas. Aku tahu perbedaan waktu membuat semuanya sulit, tapi kalau kita punya kesepakatan, mungkin ini bisa membantu.”

Liana mengangguk. “Aku setuju. Tapi aku nggak mau jadwal ini malah jadi beban buat kita. Aku cuma ingin kita tetap saling terhubung tanpa harus merasa terpaksa.”

Mereka pun menyusun beberapa hal yang bisa membantu menjaga hubungan mereka:Liana dan Aidan sepakat untuk saling mengirim pesan setiap pagi dan malam.Mereka juga menetapkan waktu khusus untuk melakukan video call, minimal dua kali seminggu.Mereka berjanji untuk tidak menyembunyikan apa pun. Jika ada sesuatu yang mengganggu perasaan mereka, mereka harus membicarakannya langsung.

Liana berjanji untuk tidak terlalu cepat berpikiran negatif jika Aidan sulit dihubungi.

Aidan berjanji untuk lebih aktif memberi kabar agar Liana tidak merasa diabaikan.

Mereka sepakat untuk tetap merayakan momen-momen kecil dalam hubungan mereka, meskipun hanya lewat pesan atau video call.

Meskipun sederhana, aturan-aturan ini memberi mereka harapan bahwa hubungan ini masih bisa diperjuangkan.

Tentu saja, mengubah kebiasaan tidak mudah.

Hari-hari pertama setelah kesepakatan mereka, Aidan masih beberapa kali lupa mengirim pesan lebih awal.

Namun, kali ini, Liana mencoba untuk tidak langsung marah. Ia memberi Aidan waktu untuk menyesuaikan diri.

Di sisi lain, Aidan juga mulai berusaha lebih keras. Setiap kali ia punya waktu luang, ia selalu menyempatkan diri untuk sekadar mengirim pesan atau mengirim voice note untuk Liana.

“Aku lagi di kantor, tapi aku mau bilang kalau aku kangen sama kamu.”

Pesan singkat seperti itu membuat Liana tersenyum.

Mereka masih berjauhan, tapi setidaknya, mereka tidak lagi merasa sendirian.

Suatu malam, ketika Liana hampir tertidur, ponselnya berbunyi.

Video call dari Aidan.

Ketika ia mengangkatnya, wajah Aidan muncul di layar, tersenyum kecil.

“Hai,” kata Aidan. “Aku tahu ini di luar jadwal kita, tapi aku cuma mau bilang kalau aku bersyukur kita masih bertahan sampai sekarang.”

Liana tersenyum. “Aku juga, Aidan. Aku juga bersyukur.”

Jarak dan perbedaan waktu mungkin tidak akan pernah hilang dari hubungan mereka.

Namun, selama mereka masih mau mencari jalan tengah dan memperjuangkan satu sama lain, hubungan ini masih layak untuk dipertahankan.

Bab 5: Kejutan dalam Kedatangan

Liana dan Aidan menghadapi kejutan dalam kedatangan Aidan ke Indonesia
Mereka harus mempertahankan cinta mereka dalam menghadapi kejutan ini.

Pagi itu, Liana sedang duduk di kedai kopi favoritnya. Tangannya menggenggam secangkir kopi hangat, tapi pikirannya melayang ke tempat lain—ke seseorang yang berada ribuan kilometer jauhnya.

Sudah berbulan-bulan sejak terakhir kali ia melihat Aidan secara langsung. Hubungan jarak jauh ini bukan sesuatu yang mudah, tapi mereka sudah berusaha sebisa mungkin untuk tetap bertahan.

Saat sedang sibuk dengan pikirannya, notifikasi pesan masuk di ponselnya. Dari Aidan.

Aidan: “Jangan ada rencana hari Sabtu. Aku mau kamu datang ke bandara.”

Liana mengernyit. Apa maksudnya?

Liana: “Kenapa? Ada sesuatu?”

Aidan: “Kamu akan tahu nanti. Jangan tanya apa-apa, cukup datang.”

Jantung Liana mulai berdetak lebih cepat.

Aidan tidak pernah berbicara seperti ini sebelumnya.

Apakah ini berarti… dia akan pulang?

Hari Sabtu, Liana tiba di bandara lebih awal dari jadwal penerbangan internasional yang biasanya datang dari London.

Matanya terus mencari sosok yang ia rindukan.

Setelah sekian lama, akhirnya, di antara para penumpang yang keluar dari gerbang kedatangan, ia melihatnya.

Aidan.

Dengan kemeja putih dan koper di tangannya, pria itu tersenyum ke arahnya.

Liana terdiam beberapa detik, memastikan bahwa ini bukan hanya imajinasinya saja. Tapi ketika Aidan melangkah semakin dekat, ia tahu ini nyata.

Tanpa berpikir panjang, Liana berlari dan memeluknya erat.

“Kamu pulang!” suaranya bergetar.

“Aku pulang,” Aidan membalas sambil membalas pelukannya.

Semua orang di sekitar mereka menjadi samar. Saat itu, yang ada hanyalah mereka berdua—dua hati yang akhirnya bertemu kembali setelah sekian lama terpisah oleh jarak.

Setelah mereka keluar dari bandara, Liana menatap Aidan dengan penuh tanya.

“Jadi, ini kejutan yang kamu maksud? Kamu pulang tanpa bilang apa-apa dulu?”

Aidan tertawa kecil. “Sebagian dari kejutan, iya. Tapi ada yang lebih besar lagi.”

Liana mengernyit. “Apa maksudmu?”

Aidan mengeluarkan amplop dari tasnya dan menyerahkannya pada Liana.

Dengan sedikit ragu, Liana membuka amplop itu. Di dalamnya ada selembar surat resmi.

Matanya membaca cepat, lalu terbelalak.

“Aidan, ini… ini surat pengunduran diri?”

Aidan mengangguk. “Aku sudah mengajukan resign dari pekerjaanku di London. Aku tidak akan kembali ke sana lagi.”

Liana menatap Aidan dengan campuran perasaan terkejut dan bingung.

“Kenapa? Bukankah itu pekerjaan impianmu?”

Aidan tersenyum, lalu menggenggam tangan Liana. “Pekerjaan itu memang baik, tapi aku sadar sesuatu. Apa gunanya semua kesuksesan kalau aku tidak bisa berbagi hidupku dengan orang yang aku cintai?”

Liana tidak tahu harus berkata apa.

Di satu sisi, ia merasa bahagia karena Aidan memilih untuk pulang. Tapi di sisi lain, ia takut Aidan akan menyesali keputusannya.

“Kamu yakin ini keputusan yang tepat?” tanyanya pelan.

Aidan mengangguk. “Aku sudah memikirkannya matang-matang. Aku ingin membangun hidupku di sini, bersamamu.”

Liana menatap mata Aidan, mencari kepastian. Dan di sana, ia melihat ketulusan.

Meski kedatangan Aidan membawa kebahagiaan, itu juga membawa tantangan baru.

Selama ini, mereka sudah terbiasa menjalani hubungan jarak jauh. Kini, mereka harus menyesuaikan diri dengan kehidupan yang berbeda—kehidupan di mana mereka bisa bertemu setiap hari, bukan hanya lewat layar ponsel.

Beberapa hari setelah kepulangan Aidan, mereka mulai menyadari bahwa hubungan mereka juga harus beradaptasi.

Aidan masih mencari pekerjaan baru di Jakarta, sementara Liana sudah nyaman dengan kehidupannya yang stabil di sini.

Kadang, Aidan merasa frustrasi karena harus memulai dari nol lagi.

“Aku merasa seperti orang asing di kota ini, Liana,” kata Aidan suatu malam. “Aku sudah lama tinggal di London, dan sekarang semuanya terasa berbeda.”

Liana menggenggam tangan Aidan. “Aku tahu ini tidak mudah, tapi kamu tidak sendiri. Aku di sini, kita bisa melewati semuanya bersama-sama.”

Aidan tersenyum tipis. “Aku hanya ingin memastikan bahwa aku bisa memberimu kehidupan yang layak. Aku tidak ingin kamu menyesal telah memilihku.”

Liana menatapnya dalam-dalam. “Aku tidak pernah menyesal, Aidan. Aku hanya ingin kita tetap bersama. Itu sudah cukup bagiku.”

Meskipun tidak mudah, Liana dan Aidan berusaha untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan baru mereka.

Mereka belajar bahwa cinta bukan hanya tentang momen-momen manis, tapi juga tentang bagaimana mereka menghadapi perubahan bersama.

Suatu malam, saat mereka duduk berdua di sebuah taman kota, Aidan meraih tangan Liana dan menggenggamnya erat.

“Terima kasih karena tetap di sini, Liana. Aku tahu ini perjalanan yang panjang, tapi aku ingin kita menjalaninya bersama.”

Liana tersenyum. “Aku juga, Aidan. Aku juga ingin kita tetap bersama, apa pun yang terjadi.”

Mereka saling tersenyum, merasakan hangatnya kebersamaan yang telah lama mereka rindukan.

Jarak mungkin telah memisahkan mereka sebelumnya, tetapi cinta mereka selalu menemukan jalan untuk menyatukan kembali.

Dan kali ini, mereka siap menghadapi segalanya—bersama.

Liana sudah menunggu di bandara selama hampir dua jam, tidak bisa menutupi kecemasannya. Hatinya berdebar-debar, berpadu dengan kegugupan yang tak bisa ia sembunyikan. Aidan akhirnya akan tiba di Indonesia—setelah sekian lama mereka menjalani hubungan jarak jauh yang penuh tantangan, kini akhirnya saatnya mereka bertemu lagi, dalam dunia nyata.

Namun, ada sesuatu yang terasa berbeda. Setelah semua pembicaraan tentang kepercayaan yang mulai mereda, setelah melewati ujian-ujian yang cukup berat, Liana merasa ada sebuah harapan yang hampir terlupakan. Bagaimana jika pertemuan ini tidak berjalan sebagaimana yang ia bayangkan? Bagaimana jika kenyataan tidak seindah harapan?

Pikirannya terus menggelisahkan hal-hal yang tak terduga, tetapi akhirnya langkah kaki Aidan terdengar di pintu keluar terminal. Liana menegakkan tubuhnya dan langsung memusatkan perhatian pada sosok yang muncul di antara kerumunan penumpang. Aidan.

Pria itu berjalan dengan langkah penuh keyakinan, matanya langsung mencari Liana di tengah keramaian. Begitu mereka saling bertatapan, Liana merasa seolah dunia berhenti sejenak. Segala keraguan yang selama ini mengendap di hatinya langsung terhapus dengan satu tatapan itu.

Aidan tersenyum, senyum yang dulu selalu bisa membuat Liana merasa tenang dan aman. Namun, kali ini senyumnya terasa berbeda, ada keheningan di antara mereka yang tiba-tiba menyelimuti suasana. Aidan langsung menghampiri Liana dan memeluknya, tetapi Liana bisa merasakan ada sesuatu yang tak terungkap dalam pelukan itu. Sesuatu yang tidak sama seperti dulu.

“Aidan…” suara Liana terhenti di tenggorokan, tidak tahu harus berkata apa.

Aidan memisahkan diri sedikit, menatapnya dengan tatapan penuh harapan dan rasa ingin tahu. “Aku kangen kamu, Liana.”

Kata-kata itu seharusnya bisa menenangkan Liana, tetapi entah kenapa, ada kecemasan yang menggelayuti hatinya. Apa yang sebenarnya terjadi di antara mereka selama ini?

Setelah meninggalkan bandara, mereka menuju hotel tempat Aidan menginap. Liana sudah merasa kelelahan, namun perasaan itu tak bisa mengalahkan rasa ingin tahu yang terus menggelisahkan hatinya.

Sesampainya di hotel, Aidan langsung mengajak Liana untuk duduk di ruang tamu. Aidan terlihat lebih tenang, tetapi ada ketegangan yang mengiringi setiap kata yang ia ucapkan.

“Liana, ada sesuatu yang perlu aku katakan,” ujar Aidan, suara serius yang membuat Liana merasa gelisah.

“Ada apa, Aidan?” Liana bertanya dengan cemas, tubuhnya sedikit tegang.

Aidan menarik napas dalam-dalam, lalu menatap Liana dengan penuh ketulusan. “Aku tahu kita sudah melewati banyak hal. Aku ingin kita memperbaiki semuanya. Tapi ada satu hal yang harus kamu ketahui.”

Liana merasa perasaan aneh itu kembali muncul—ketakutan yang tiba-tiba menyeruak. Apa lagi yang akan Aidan ungkapkan kali ini?

“Tidak ada yang lebih penting bagiku selain kita, Liana. Tapi aku juga harus jujur denganmu. Selama aku di sini, ada seseorang yang… mencoba mendekatiku,” kata Aidan, ragu-ragu.

Liana merasa seolah-olah dunia kembali menghilang. Kejutan yang baru saja Aidan ungkapkan kembali mengusik kedamaian yang baru mereka temui. Seharusnya kedatangan Aidan menjadi momen bahagia, tetapi sekarang, ia merasa seperti kembali ke titik awal—takut, ragu, dan bingung.

“Kenapa ini harus terjadi, Aidan?” Liana berkata dengan suara pelan, tetapi jelas terdengar keresahan yang menggelora dalam kalimat itu.

Aidan memegang tangan Liana dengan lembut. “Aku tidak ingin kehilanganmu. Aku tidak tahu bagaimana cara menjelaskan ini, tetapi aku ingin kamu tahu, hanya kamu yang ada di hatiku.”

Liana merasa perasaan campur aduk—marah, kecewa, tetapi juga takut kehilangan Aidan lagi. Apa yang harus ia lakukan? Seharusnya ini adalah saat yang penuh kebahagiaan, tetapi kini semuanya terasa lebih sulit dari yang ia bayangkan.

Hari-hari berikutnya berjalan dengan sangat lambat. Setiap kali mereka bertemu, Liana merasa cemas. Aidan berusaha keras untuk meyakinkannya bahwa tidak ada yang perlu dikhawatirkan, namun Liana tak bisa mengabaikan perasaan aneh yang terus menghantuinya.

Sebuah percakapan panjang di tengah malam akhirnya menjadi titik balik bagi keduanya. Aidan ingin menjelaskan lebih dalam tentang perasaan yang telah mengganggunya selama berada di Jakarta. “Liana, aku ingin kamu tahu bahwa meskipun ada seseorang yang mendekatiku, itu tidak ada artinya bagiku. Aku hanya merasa terasing di tempat yang baru ini, dan dia memberi perhatian yang aku butuhkan.”

Liana menatap Aidan dengan penuh pengertian. “Aku tahu perasaan itu, Aidan. Aku tahu betapa sulitnya menjalani hubungan jarak jauh. Tapi, ini bukan tentang orang lain. Ini tentang kita. Aku tidak bisa terus merasa tidak aman. Aku ingin kita saling percaya.”

Aidan mengangguk, wajahnya menunjukkan penyesalan yang mendalam. “Aku akan buktikan padamu, Liana. Aku tidak ingin kita berakhir begitu saja. Kamu lebih dari segalanya bagiku.”

Namun, di balik semua itu, Liana tidak bisa menahan perasaan terluka yang masih tertinggal. Setiap kali ia melihat Aidan, ia merasa ada tembok yang terbentuk di antara mereka, meskipun hanya sekecil mungkin.

Minggu-minggu berikutnya menjadi ujian bagi hubungan mereka. Aidan berusaha menunjukkan komitmennya, tetapi Liana merasa perlu waktu untuk memulihkan kepercayaan yang telah retak. Mereka berbicara lebih banyak, saling terbuka, dan mencoba menyelesaikan perbedaan yang ada.

Namun, kedatangan Aidan bukan hanya tentang ujian-ujian itu. Ada sesuatu yang lebih besar—sesuatu yang bisa memperkuat hubungan mereka. Liana mulai menyadari bahwa meskipun segala sesuatu tampak sulit dan penuh ketegangan, ia tidak bisa menutup hatinya untuk Aidan.

Di hari terakhir kedatangan Aidan, mereka berdua duduk di tepi pantai Jakarta, menikmati senja yang indah. Meskipun banyak keraguan yang belum sepenuhnya hilang, mereka merasa lebih kuat dalam menghadapi apa pun yang akan datang.

“Aidan, aku tidak tahu apa yang akan terjadi ke depannya, tapi aku ingin kita terus berjuang. Aku ingin kita lebih saling memahami,” ujar Liana, suaranya lembut tetapi penuh keyakinan.

Aidan tersenyum, kali ini senyumnya lebih tulus. “Aku juga, Liana. Kita sudah menjalani begitu banyak, dan aku yakin kita bisa melewati semua ini bersama.”

Mereka duduk diam, menikmati keheningan yang nyaman. Liana merasa bahwa, meskipun perjalanan ini tidak mudah, ada kemungkinan untuk masa depan yang lebih baik bagi mereka berdua. Kejutan dalam kedatangan Aidan mungkin telah mengubah banyak hal, tetapi mereka tetap memiliki satu sama lain untuk dipertahankan.

Bab 6: Menghadapi Tantangan Bersama

Liana dan Aidan menghadapi tantangan bersama dalam hubungan mereka
Mereka harus mempertahankan cinta mereka dalam menghadapi tantangan ini.

Setelah sekian lama menjalani hubungan jarak jauh yang dipenuhi dengan ketegangan dan kegelisahan, Liana dan Aidan akhirnya menyadari bahwa mereka harus lebih terbuka satu sama lain. Mereka telah saling berjanji untuk tidak menyembunyikan apapun, namun kenyataannya adalah bahwa mereka masih menahan perasaan masing-masing demi menjaga kedamaian.

Namun, semakin lama mereka terlibat dalam percakapan-percakapan ini, semakin mereka menyadari bahwa jika mereka ingin hubungan ini bertahan, mereka harus menghadapi kebenaran yang selama ini mereka hindari.

Pada suatu sore, setelah melewati hari yang penuh rutinitas yang sibuk, Liana memutuskan untuk mengungkapkan sesuatu yang telah lama ia simpan dalam hatinya. Mereka duduk di ruang tamu hotel tempat Aidan menginap, dengan secangkir teh hangat di depan mereka.

“Aidan,” suara Liana terdengar agak serak, menahan perasaan yang telah lama terpendam. “Aku merasa ada banyak hal yang tidak pernah kita bicarakan, hal-hal yang tak terungkap, dan aku merasa kita harus membicarakannya sekarang.”

Aidan menatapnya dengan mata penuh perhatian, wajahnya tampak serius namun penuh pengertian. “Apa itu, Liana? Kita sudah melalui banyak hal, dan aku rasa sekarang adalah saat yang tepat untuk jujur satu sama lain.”

Liana menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri sebelum berbicara lebih lanjut. “Aku merasa terkadang kita lebih menghindari masalah daripada menyelesaikannya. Aku tahu jarak itu sulit, tapi aku mulai merasa kesepian. Aku merasa tidak cukup diperhatikan, meskipun aku tahu kamu juga sedang berjuang dengan hal yang sama.”

Aidan terdiam, matanya menunduk sejenak. Liana bisa melihat betapa beratnya hal ini bagi Aidan, tetapi itu juga yang ia butuhkan. Kejujuran. Mereka harus membuka luka mereka dan membiarkan perasaan itu mengalir agar bisa disembuhkan bersama.

“Aku juga merasakannya, Liana,” akhirnya Aidan berkata. “Aku tahu aku sering kali tidak cukup hadir, terutama saat kamu membutuhkan aku. Aku terlalu terfokus pada pekerjaanku dan hal-hal lain yang membuatku teralihkan. Aku ingin kita berjuang bersama, bukan sendirian.”

Percakapan itu membuka banyak hal yang sebelumnya terpendam. Liana dan Aidan mulai membicarakan kekhawatiran masing-masing, tentang rasa takut yang mereka rasakan selama ini. Namun, meskipun perasaan itu telah mereka ungkapkan, mereka tahu bahwa kepercayaan bukanlah sesuatu yang bisa dibangun hanya dalam semalam.

Hari demi hari, mereka berusaha mengisi kekosongan yang selama ini menghantui hubungan mereka. Liana belajar untuk lebih menerima kenyataan bahwa Aidan adalah seseorang yang juga memiliki kekurangan, sama seperti dirinya. Tidak ada hubungan yang sempurna, dan keduanya harus terus belajar untuk menerima kelemahan masing-masing.

Namun, itu bukan berarti segalanya menjadi mudah. Tantangan demi tantangan mulai muncul kembali, terutama saat mereka terpaksa berhadapan dengan masalah lain yang muncul dari pekerjaan, keluarga, dan kehidupan sosial mereka masing-masing. Aidan sering kali merasa terjebak antara komitmennya untuk Liana dan tuntutan yang datang dari lingkungan di sekitarnya.

“Liana, aku tahu aku tidak bisa selalu ada di sana setiap saat, tapi aku ingin kamu tahu bahwa aku akan selalu berusaha memberikan yang terbaik. Aku ingin kita tetap bertahan bersama,” kata Aidan pada suatu malam ketika mereka sedang berbicara lewat video call.

Liana mengangguk, tetapi hatinya penuh dengan kebingungan. Meskipun ia merasa Aidan berusaha, kadang-kadang ia merasa terabaikan. Pekerjaan Aidan yang menuntutnya untuk sering bepergian membuat Liana merasa kesepian. Meskipun mereka masih bisa saling berbicara, kadang-kadang perasaan itu tetap menggerogoti.

“Aku tahu, Aidan. Aku hanya… kadang merasa seperti kita hanya berkomunikasi lewat layar. Itu bukan hal yang sama dengan berada di dekatmu,” jawab Liana, suaranya penuh kerinduan.

Aidan menatap layar, lalu tersenyum lembut. “Aku paham, Liana. Aku merasa hal yang sama. Tapi, ini adalah ujian bagi kita, bukan? Kita harus belajar untuk menghargai momen-momen kecil yang kita punya, meskipun itu hanya beberapa menit dalam sehari.”

Minggu-minggu berlalu, dan Liana dan Aidan mulai terbiasa dengan dinamika baru dalam hubungan mereka. Mereka tahu bahwa tidak akan ada solusi instan untuk masalah-masalah yang mereka hadapi, dan kadang-kadang mereka harus menghadapi kenyataan bahwa mereka harus saling mengalah.

Namun, meskipun mereka menghadapi kesulitan, mereka terus berusaha menjaga komunikasi. Mereka saling memberikan dukungan emosional dalam bentuk kata-kata yang penuh pengertian dan perhatian. Liana mulai merasa bahwa Aidan semakin memahami apa yang ia butuhkan, dan begitu juga sebaliknya.

Pada suatu malam, ketika Aidan menghubungi Liana setelah perjalanan panjang, ia mengungkapkan sesuatu yang sangat berarti bagi Liana. “Aku ingin kamu tahu, Liana, setiap kali aku merasa lelah, aku hanya memikirkan kita—memikirkan bagaimana kita akan melalui semuanya bersama. Itu memberiku kekuatan untuk terus maju.”

Liana tersenyum mendengarnya, meskipun ada air mata yang menggenang di matanya. “Aku juga merasa begitu, Aidan. Kita sudah melalui begitu banyak, dan aku tahu kita bisa menghadapinya bersama. Aku percaya pada kita.”

Menghadapi tantangan bersama bukan hanya tentang mengatasi masalah praktis seperti jarak atau waktu, tetapi juga tentang bagaimana mereka tumbuh sebagai individu dan sebagai pasangan. Liana dan Aidan mulai belajar lebih banyak tentang diri mereka masing-masing, dan tentang bagaimana mereka bisa saling mendukung untuk menjadi versi terbaik dari diri mereka sendiri.

“Aku pikir kita sudah belajar banyak, Aidan,” kata Liana di akhir percakapan mereka suatu malam. “Terkadang, kita tidak bisa mengendalikan apa yang terjadi, tapi kita bisa memilih bagaimana meresponsnya. Dan aku memilih untuk percaya padamu.”

Aidan mengangguk, hatinya penuh rasa syukur. “Aku juga, Liana. Aku tahu perjalanan kita masih panjang, tetapi aku yakin kita bisa menghadapinya, asal kita terus bersama.”

Seiring berjalannya waktu, mereka mulai merencanakan masa depan bersama. Meskipun mereka masih menghadapi banyak tantangan, Liana dan Aidan tahu bahwa mereka tidak bisa hanya mengandalkan kebetulan atau harapan kosong. Mereka harus berusaha lebih keras, dan saling mendukung untuk mencapai tujuan mereka.

Setiap malam, mereka berbicara tentang impian dan harapan mereka untuk masa depan. Mereka berbicara tentang tempat-tempat yang ingin mereka kunjungi bersama, tentang keluarga yang ingin mereka bangun, dan tentang kehidupan yang ingin mereka jalani. Kepercayaan yang terbangun perlahan menjadi pondasi yang kuat untuk hubungan mereka.

Bab 7: Membangun Masa Depan

Liana dan Aidan membangun masa depan mereka bersama
Mereka harus mempertahankan cinta mereka dalam membangun masa depan ini.

Setelah melewati banyak tantangan, Liana dan Aidan kini merasa bahwa hubungan mereka telah menemukan pijakan yang lebih kokoh. Jarak yang semula menjadi penghalang, kini menjadi ujian yang semakin mempererat ikatan mereka. Berbagai perbedaan, rasa cemburu, ketidakpastian, dan keraguan mulai teratasi dengan komunikasi yang semakin terbuka dan penuh kepercayaan.

Namun, meskipun banyak yang telah mereka lalui, mereka tahu bahwa perjalanan mereka belum selesai. Masa depan mereka masih memerlukan banyak keputusan yang harus diambil bersama. Kini, Liana dan Aidan memulai babak baru dalam hubungan mereka—merencanakan masa depan yang tidak hanya menyatukan mereka secara emosional, tetapi juga secara praktis.

“Kadang-kadang aku berpikir, bagaimana kita bisa sampai di titik ini,” ujar Aidan suatu malam, saat mereka duduk bersama di taman kota, berbicara tentang segala hal yang telah mereka jalani. “Aku rasa kita sudah banyak berubah, Liana. Kita mulai dengan langkah kecil, dan sekarang kita bisa melihat gambaran yang lebih besar.”

Liana tersenyum, meskipun matanya sedikit berkaca-kaca. “Aku juga merasa begitu, Aidan. Dulu, aku tidak pernah benar-benar tahu apakah kita bisa melewati semua ini. Tapi sekarang, aku merasa kita sudah cukup kuat. Kita sudah menghadapi cukup banyak rintangan bersama, dan itu hanya memperkuat rasa cinta kita.”

Liana dan Aidan kini mulai merancang masa depan mereka, merencanakan kehidupan bersama yang tidak hanya melibatkan satu orang, tetapi dua orang yang memiliki impian dan tujuan hidup yang berbeda. Mereka menyadari bahwa untuk bisa bersama, mereka perlu saling menyesuaikan diri, dan kadang-kadang harus berkompromi.

Membangun masa depan bersama tentu tidak lepas dari tantangan besar. Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi oleh Liana dan Aidan adalah keputusan mengenai tempat tinggal dan pekerjaan. Liana masih sangat terikat dengan kehidupannya di Jakarta, dengan karir yang telah ia bangun selama bertahun-tahun. Sementara itu, Aidan seringkali dituntut untuk bepergian ke luar negeri untuk pekerjaannya, yang membuatnya sulit untuk menetap di satu tempat.

Pada suatu malam, mereka berdiskusi serius tentang hal ini. Aidan duduk di meja makan, membuka laptopnya dan menunjukkan beberapa pilihan kota yang dapat mereka pilih untuk tinggal bersama. Liana duduk di hadapannya, meremas secangkir kopi hangat yang mulai mendingin.

“Aidan, aku tahu kamu ingin kita tinggal bersama, tapi bagaimana dengan pekerjaanku di Jakarta? Aku merasa jika aku pindah ke luar negeri, aku akan meninggalkan semua yang telah aku bangun,” kata Liana dengan suara sedikit tegang.

Aidan mengangguk, mencoba memahami perasaan Liana. “Aku mengerti, Liana. Ini bukan keputusan yang mudah. Tapi kita harus memikirkan masa depan kita sebagai pasangan. Jika kita terus terpisah karena pekerjaan, kita hanya akan semakin jauh. Aku ingin kita bisa berbagi kehidupan bersama, bukan hanya sebagai pasangan yang saling mengunjungi.”

Liana terdiam sejenak, merenung. “Tapi, bagaimana jika aku tidak bisa menyesuaikan diri? Bagaimana jika aku merasa terjebak di tempat yang baru?”

Aidan menatap Liana dengan lembut. “Aku tidak ingin memaksakanmu, Liana. Tapi aku juga tidak bisa terus jauh darimu. Kita harus mencari jalan tengah, sebuah tempat yang bisa menjadi rumah kita bersama.”

Diskusi panjang ini menjadi titik balik bagi keduanya untuk mencari solusi yang terbaik. Mereka mulai merencanakan langkah-langkah kecil yang akan membawa mereka pada keputusan besar, seperti mencari peluang pekerjaan yang bisa menyesuaikan dengan kehidupan baru mereka dan menentukan tempat yang bisa mereka sebut rumah bersama.

Selain keputusan besar tentang tempat tinggal dan pekerjaan, Liana dan Aidan juga menyadari bahwa mereka harus lebih memberi perhatian kepada hubungan mereka. Mereka tahu bahwa kesibukan masing-masing terkadang membuat mereka melupakan pentingnya waktu berkualitas bersama. Untuk itu, mereka memutuskan untuk merencanakan perjalanan bersama, meskipun hanya dalam waktu yang singkat, sebagai bentuk komitmen untuk mempererat hubungan mereka.

Liana, yang awalnya sering merasa terjebak dalam rutinitas, mulai menyadari pentingnya momen kebersamaan. Mereka merencanakan perjalanan ke Bali, tempat yang memiliki makna khusus bagi mereka, tempat pertama kali mereka menghabiskan waktu bersama tanpa gangguan dunia luar.

“Ini hanya beberapa hari, Liana. Tapi aku ingin kita memanfaatkan setiap detik yang ada,” kata Aidan saat mereka sedang duduk di tepi pantai, menikmati matahari terbenam.

Liana tersenyum lembut, menggenggam tangan Aidan. “Aku sangat membutuhkan waktu ini, Aidan. Kadang-kadang aku lupa bagaimana rasanya hanya menikmati momen bersama tanpa harus memikirkan pekerjaan atau masalah lainnya.”

Di Bali, mereka menjelajahi tempat-tempat baru, mencoba berbagai makanan, dan menikmati kebersamaan tanpa terbebani oleh tuntutan kehidupan sehari-hari. Perjalanan ini tidak hanya menguatkan hubungan mereka, tetapi juga memberi mereka ruang untuk saling memahami lebih dalam, membicarakan harapan dan ketakutan mereka tentang masa depan.

Saat Liana dan Aidan kembali dari perjalanan mereka, mereka merasa bahwa hubungan mereka telah berkembang pesat. Mereka tidak lagi hanya berfokus pada apa yang tidak mereka miliki, tetapi lebih pada bagaimana mereka bisa tumbuh bersama. Mereka saling mendukung dalam mengejar impian masing-masing, tanpa mengorbankan kebersamaan mereka.

“Kadang-kadang aku berpikir, apakah kita bisa benar-benar menghadapi semuanya bersama,” kata Liana, merenung. “Ada begitu banyak hal yang perlu kita atur, dan kadang aku merasa cemas tentang masa depan.”

Aidan merangkulnya dengan lembut. “Aku tahu kita bisa, Liana. Mungkin ini bukan perjalanan yang mudah, tapi kita sudah melewati banyak hal bersama. Kita sudah membuktikan bahwa kita bisa menghadapi tantangan dan tetap bertahan. Itu sudah cukup untuk aku yakin kita bisa menghadapi masa depan.”

Liana mengangguk, merasakan ketenangan yang datang dari kata-kata Aidan. Mereka mulai merencanakan lebih banyak hal—pernikahan, rumah impian, dan bahkan kemungkinan untuk memiliki anak suatu hari nanti. Mereka tahu bahwa jalan di depan mereka tidak akan selalu mulus, tetapi mereka berdua siap untuk membangun masa depan yang mereka impikan.

Meskipun masa depan mereka masih penuh dengan ketidakpastian, Liana dan Aidan belajar untuk menjalani setiap langkah dengan penuh cinta dan komitmen. Mereka tahu bahwa hubungan mereka tidak hanya dibangun di atas perasaan cinta, tetapi juga di atas usaha, pengertian, dan kerja keras.

“Aidan, aku tahu perjalanan kita masih panjang, tapi aku percaya kita akan selalu menemukan jalan bersama,” kata Liana, matanya berbinar.

Aidan membalas tatapannya dengan senyuman. “Aku juga, Liana. Kita sudah melalui banyak hal, dan aku yakin kita akan terus bertumbuh bersama. Apa pun yang terjadi, aku akan selalu ada untukmu.”

Dengan komitmen yang kuat dan cinta yang tak tergoyahkan, Liana dan Aidan siap membangun masa depan mereka bersama, menghadapinya dengan keyakinan bahwa selama mereka bersama, tidak ada yang tidak mungkin.

Bab 8: Pengorbanan Cinta

Liana dan Aidan menghadapi pengorbanan cinta dalam hubungan mereka
Mereka harus mempertahankan cinta mereka dalam menghadapi pengorbanan ini.

Liana dan Aidan sudah melalui banyak hal bersama—uji kepercayaan, jarak yang membentang antara mereka, perbedaan waktu yang kadang menguji kesabaran, dan bahkan keputusan-keputusan besar yang membentuk masa depan mereka. Namun, mereka belum menghadapi ujian yang paling besar dalam hubungan mereka: pengorbanan cinta.

Pengorbanan adalah kata yang sering mereka dengar dalam cerita-cerita romantis, namun kini mereka mulai merasakannya sendiri. Bukan pengorbanan kecil yang hanya mempengaruhi sedikit aspek dalam hidup mereka, tetapi pengorbanan yang menyentuh setiap bagian kehidupan mereka—karir, impian pribadi, dan bahkan waktu yang harus mereka bagi satu sama lain.

Liana baru saja mendapatkan tawaran pekerjaan yang sangat besar di Jakarta, yang merupakan pencapaian besar dalam karirnya. Namun, tawaran itu datang dengan sebuah konsekuensi: jika Liana menerima pekerjaan tersebut, maka ia akan harus bekerja lebih lama dan lebih keras, yang berarti lebih sedikit waktu untuk Aidan. Pekerjaan itu bisa membuatnya semakin dekat dengan kesuksesan, tetapi juga bisa membuat hubungan mereka semakin jauh.

“Aidan, aku… aku nggak tahu apa yang harus aku pilih,” Liana berkata, suara terdengar rapuh. “Pekerjaan ini adalah kesempatan yang nggak akan datang dua kali. Tapi aku tahu artinya aku harus mengorbankan waktu kita berdua. Aku nggak tahu apakah aku bisa melakukan ini.”

Aidan terdiam sejenak, menatap Liana dengan penuh perhatian. “Liana, aku tahu betapa pentingnya pekerjaan ini bagimu. Aku nggak ingin menghalangimu untuk meraihnya. Tapi kita juga perlu tahu bahwa hubungan ini membutuhkan waktu dan perhatian. Aku ingin kita selalu bersama, tapi aku juga tahu bahwa kita harus bisa saling mendukung dalam mengejar impian masing-masing.”

Liana merasa terperangkap dalam dilema. Jika ia menerima tawaran pekerjaan itu, ia merasa seakan harus memilih antara karir impian dan cinta yang telah ia perjuangkan selama ini. Namun, Aidan tidak terlihat menghakimi, malah ia memberikan dukungan yang penuh kasih.

“Jangan merasa terbebani, Liana. Apapun keputusanmu, aku akan mendukungmu. Ini adalah jalan yang harus kita pilih bersama. Kita harus bisa menemukan cara untuk tetap bersama meskipun tantangan semakin berat,” Aidan berkata dengan penuh keyakinan.

Namun, meskipun Aidan memberikan dukungan, Liana merasakan beban berat di pundaknya. Ia tahu bahwa keputusan ini akan membawa perubahan besar dalam hidup mereka berdua. Bahkan jika ia berhasil menyeimbangkan pekerjaan dan hubungan, ia tahu akan ada banyak hal yang harus dikorbankan. Waktu untuk bersama, kebersamaan dalam merayakan momen-momen kecil, dan kesempatan untuk saling mendukung di setiap langkah—semua itu harus menghadapi kenyataan yang sulit.

Setelah berpikir panjang, Liana akhirnya memutuskan untuk menerima pekerjaan tersebut. Ia merasa bahwa itu adalah langkah besar dalam karirnya, dan meskipun berat, ia tahu bahwa itu adalah kesempatan yang tidak bisa dilewatkan. Namun, keputusan ini membawa pengorbanan besar bagi hubungan mereka.

Liana harus bekerja jauh lebih banyak dari sebelumnya. Proyek besar, rapat yang tidak ada habisnya, dan tenggat waktu yang terus mendekat membuatnya hampir tidak punya waktu untuk Aidan. Setiap kali mereka berbicara lewat video call, Liana selalu merasa cemas karena tidak bisa memberikan perhatian penuh kepada Aidan. Ia merindukan momen-momen sederhana bersama Aidan, seperti jalan-jalan malam bersama atau sekedar duduk berdua tanpa kata-kata, namun kini semuanya terasa begitu jauh.

“Aidan, aku minta maaf. Aku… aku merasa sudah terlalu sibuk dengan pekerjaan ini,” Liana berkata pada suatu malam, setelah beberapa minggu sejak ia mulai bekerja di proyek besar tersebut.

Aidan mendengarkan dengan sabar, meskipun ia merasakan kesedihan yang mendalam. “Aku tahu, Liana. Aku tahu ini berat untukmu. Aku tidak ingin kamu merasa tertekan. Tapi aku juga merasakan kekosongan ini. Aku merindukanmu.”

Liana menghela napas panjang, merasakan beban yang semakin berat. “Aku juga merindukanmu, Aidan. Tapi aku harus melakukannya. Aku ingin memberikan yang terbaik untuk kita, untuk masa depan kita.”

Namun, semakin lama hubungan mereka terasa semakin rapuh. Setiap kali mereka mencoba untuk bertemu, waktu yang mereka miliki selalu terbatas. Ada perasaan cemas yang menghantui mereka—apakah mereka masih bisa mempertahankan cinta mereka dalam kondisi seperti ini? Mereka mulai meragukan apakah mereka bisa tetap bersama meskipun kedua hati saling mencintai, tetapi jarak dan pengorbanan yang begitu besar terus menghalangi.

Waktu berlalu, dan pengorbanan yang semakin besar mulai mempengaruhi kualitas hubungan mereka. Liana merasa terisolasi, sementara Aidan mulai merasakan ketidakpastian. Mereka berdua mencoba untuk bertahan, tetapi semakin lama, semakin sulit untuk melihat apakah mereka bisa kembali ke tempat yang mereka inginkan.

Suatu malam, setelah beberapa hari berturut-turut Liana tidak dapat menjawab pesan atau menerima video call dari Aidan, ia merasa hancur. “Aidan, aku merasa aku sudah kehilanganmu. Aku begitu sibuk dengan pekerjaan ini dan aku hampir tidak punya waktu untuk kita. Aku takut kita akan semakin jauh,” kata Liana dengan suara yang penuh kekhawatiran.

Aidan tidak segera menjawab. Ia memahami perasaan Liana, namun hatinya juga dipenuhi dengan keraguan. “Liana, aku juga merasa seperti itu. Aku merasa seperti aku hanya menunggu sesuatu yang tidak pasti. Aku mencintaimu, tetapi aku tidak tahu apakah kita bisa terus begini.”

Perasaan kehilangan, ketidakpastian, dan kecemasan melanda keduanya. Mereka berdua merasa seperti sedang berjuang sendirian dalam hubungan ini, dan pengorbanan yang mereka lakukan malah membuat mereka semakin terpisah. Namun, mereka tahu bahwa mereka tidak bisa menyerah begitu saja. Mereka berdua memiliki komitmen yang kuat untuk saling mendukung dan bertahan, meskipun situasi semakin sulit.

Liana dan Aidan akhirnya memutuskan untuk berbicara lebih dalam tentang apa yang mereka inginkan dari hubungan ini. Mereka tidak ingin hubungan mereka hancur hanya karena beban pekerjaan dan pengorbanan yang tak terelakkan. Mereka berbicara tentang apa yang penting bagi mereka, dan bagaimana mereka bisa mengatur ulang prioritas dalam hidup mereka.

“Aidan, aku tidak ingin kita kehilangan satu sama lain,” kata Liana dengan penuh ketulusan. “Aku tahu aku sudah banyak berubah, dan aku tahu pekerjaan ini mempengaruhi kita, tapi aku ingin kita menemukan cara untuk tetap bersama.”

Aidan mengangguk, meraih tangan Liana. “Aku juga tidak ingin kehilanganmu, Liana. Kita harus bisa saling mendukung tanpa membuat kita terpisah. Kita harus menemukan cara untuk saling menghargai waktu kita bersama.”

Dengan hati yang lebih terbuka, mereka mulai merancang jalan tengah. Mereka memutuskan untuk menyusun waktu khusus di setiap bulan untuk bertemu, mengatur jadwal video call lebih teratur, dan bahkan mempertimbangkan untuk mencari kesempatan pekerjaan di tempat yang lebih dekat satu sama lain.

Pengorbanan cinta bukanlah akhir dari segalanya. Liana dan Aidan belajar bahwa pengorbanan yang mereka lakukan, meskipun sulit dan penuh rasa sakit, justru menguatkan mereka. Mereka belajar untuk saling mendukung, menghargai ruang masing-masing, dan berkompromi demi cinta yang mereka jaga bersama.

Dengan semangat baru, mereka melanjutkan perjalanan mereka, dengan pengorbanan sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kisah cinta mereka. Mereka tahu bahwa selama mereka bersama, pengorbanan itu akan selalu terasa, tetapi mereka juga tahu bahwa setiap pengorbanan yang dilakukan dengan cinta akan selalu berbuah manis pada akhirnya.***

 

Source: ASIFA HIDAYATI
Tags: #Hubungan Jarak Jauh#Komitmen#Sejati#Ujian CintaCintaPengorbanan
Previous Post

DI UJUNG SENYUMMU, CINTA PERTAMA

Next Post

SAYANG, KAMU NAPAS HIDUPKU

Related Posts

JIKA RINDU BISA TERBANG

JIKA RINDU BISA TERBANG

May 11, 2025
“MENJAGA CINTA DI ANTARA KILOMETER”

“MENJAGA CINTA DI ANTARA KILOMETER”

May 10, 2025
SELAMANYA MILIKMU: LANGIT YANG SAMA, CINTA YANG BERBEDA

SELAMANYA MILIKMU: LANGIT YANG SAMA, CINTA YANG BERBEDA

May 9, 2025
KISAH DI BALIK LAYAR

KISAH DI BALIK LAYAR

May 8, 2025
“JARAK MENGUJI, HATI BERTAHAN”

“JARAK MENGUJI, HATI BERTAHAN”

May 7, 2025
RINDU YANG TAK TERUCAP

RINDU YANG TAK TERUCAP

May 6, 2025
Next Post
SAYANG, KAMU NAPAS HIDUPKU

SAYANG, KAMU NAPAS HIDUPKU

rahasia dibalik senja

rahasia dibalik senja

AIR MATA YANG MENJADI SENJATA

AIR MATA YANG MENJADI SENJATA

Top Stories

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

May 17, 2025
KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

May 16, 2025
KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

May 15, 2025

Tentang Kisah Cinta

Kami menyajikan kumpulan novel dan cerpen cinta yang menggambarkan berbagai sisi cinta, dari yang manis hingga yang pahit, dari yang bahagia hingga yang menyayat hati

Connect on Social

© 2024 Kisahcinta.id

No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta

© 2024 Kisahcinta.id