Kisah Cinta
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
Kisah Cinta
No Result
View All Result

PENGALAMAN CINTA JARAK JAUH

PENGALAMAN CINTA JARAK JAUH

SAME KADE by SAME KADE
April 23, 2025
in Cinta Jarak jauh
Reading Time: 28 mins read
PENGALAMAN CINTA JARAK JAUH

Daftar Isi

  • Bab 1: Awal Perpisahan
  • Bab 2: Hari-Hari Pertama Tanpa Kehadiran
  • Bab 3: Rindu yang Tak Tersampaikan
  • Bab 4: Godaan di Antara Jarak
  • Bab 5: Kepercayaan yang Mulai Goyah
  • Bab 6: Kejutan Tak Terduga
  • Bab 7: Ujian Terberat
  • Bab 8: Jarak Bukan Akhir

Bab 1: Awal Perpisahan

Alasan mereka harus menjalani hubungan jarak jauh (pekerjaan, kuliah, keluarga, dll.).

Perasaan yang campur aduk sebelum berpisah.

Janji yang mereka buat untuk tetap bertahan.

Malam itu, di sebuah kafe kecil di sudut kota, aku dan Reza duduk berhadapan. Aku memainkan sendok kecil di dalam cangkir kopiku, sementara Reza hanya menatap kosong ke luar jendela. Aku tahu, perpisahan ini tidak akan mudah, tetapi aku juga tahu bahwa kami harus menghadapinya.

“Jadi, kamu benar-benar harus pergi?” tanyaku dengan suara yang nyaris berbisik.

Reza menghela napas panjang sebelum menjawab. “Ini kesempatan besar buat aku, Nay. Beasiswa ini impian aku sejak dulu, kamu tahu itu.”

Aku menggigit bibir, menahan perasaan yang berkecamuk di dalam hati. Tentu saja aku tahu. Sejak awal, Reza selalu ingin belajar ke luar negeri. Dan kini, saat impian itu ada di depan mata, aku tidak bisa menjadi orang yang menghalanginya. Namun, tetap saja, hatiku terasa sesak membayangkan hari-hari tanpa kehadirannya.

“Aku nggak akan melarang kamu pergi, Za,” kataku akhirnya. “Tapi… aku takut.”

Reza akhirnya menatapku. “Takut apa?”

Aku menatap matanya yang selalu memberiku ketenangan. “Takut kalau jarak bakal mengubah segalanya.”

Hari keberangkatan Reza tiba lebih cepat dari yang aku kira. Bandara pagi itu dipenuhi dengan suara panggilan penerbangan dan langkah kaki yang tergesa. Aku berdiri di samping Reza, mencoba menyimpan air mata yang sedari tadi ingin jatuh.

“Aku janji kita bakal baik-baik saja,” ucap Reza seraya menggenggam tanganku erat. “Aku akan selalu menelepon, mengirim pesan, video call, apa pun yang bisa bikin kita tetap dekat.”

Aku mengangguk, meski dalam hati aku tahu segalanya tidak akan pernah sama. Jarak ribuan kilometer akan menjadi ujian yang tidak mudah.

“Jangan lupain aku, ya,” kataku dengan suara yang nyaris pecah.

Reza tersenyum, mengusap pipiku lembut. “Aku nggak akan pernah bisa lupain kamu, Nay. Kamu bagian dari hidup aku.”

Saat pengumuman terakhir untuk penerbangan Reza terdengar, aku tahu aku harus melepaskannya. Dengan langkah berat, Reza akhirnya berjalan menuju gerbang keberangkatan, meninggalkan aku dengan hati yang terasa kosong.

Saat bayangannya menghilang, air mata yang sedari tadi kutahan akhirnya jatuh juga.

Bangun pagi tanpa pesan selamat pagi dari Reza terasa aneh. Aku menatap layar ponselku, berharap ada chat darinya, tetapi hanya ada notifikasi biasa.

Hari-hari pertama tanpanya terasa begitu sepi. Aku masih terbiasa dengan kehadirannya, dengan suara tawanya, dengan semua kebiasaan kecil yang kini hanya menjadi kenangan.

Aku menghela napas panjang, menatap ke luar jendela kamar. Aku tahu, aku harus belajar menerima kenyataan bahwa kini hubungan kami akan berbeda. Tapi satu hal yang aku yakini, aku dan Reza akan berusaha mempertahankan semua ini—sejauh apa pun jarak yang memisahkan kami.

Langit sore itu dipenuhi semburat jingga yang perlahan memudar. Di sebuah sudut bandara yang tak terlalu ramai, seorang gadis berdiri dengan tangan menggenggam erat ujung jaketnya. Nafasnya terasa berat, seolah udara di sekitarnya enggan berkompromi dengan perasaannya.

“Jadi ini benar-benar terjadi?” suara itu terdengar lirih di telinga Fira.

Dia menoleh dan menemukan mata Galang menatapnya dengan sorot yang sulit ia artikan—antara sedih, ragu, dan penuh harapan.

Fira mengangguk pelan. “Iya, kamu harus pergi, kan?”

Galang menarik nafas dalam. “Aku nggak menyangka perpisahan bakal seberat ini.”

Fira tersenyum kecil, meski matanya terasa panas. “Kamu pergi bukan untuk selamanya. Kita cuma harus belajar menjalani hubungan dengan cara yang berbeda.”

Galang mengusap tengkuknya, jelas terlihat gelisah. “Aku takut, Fir.”

“Takut apa?”

“Takut kalau nanti kita berubah.”

Fira diam sejenak. Ia paham ketakutan itu. Hubungan jarak jauh bukanlah sesuatu yang mudah, apalagi bagi mereka yang sudah terbiasa bersama setiap hari. Setahun terakhir, hampir setiap sore Galang menjemputnya dari kampus, membawanya ke kedai kopi langganan mereka, atau sekadar berbincang di taman kota.

“Kalau kita benar-benar saling mencintai, jarak nggak akan jadi masalah, kan?” Fira mencoba meyakinkan, meskipun dalam hatinya sendiri, ada ketakutan yang tak bisa ia ungkapkan.

Pengumuman keberangkatan terdengar di seluruh penjuru bandara. Galang menelan ludah. Tangannya menggenggam tangan Fira erat, seolah enggan melepaskannya.

“Aku akan kembali.”

Fira mengangguk. “Aku akan menunggu.”

Mereka tak berkata-kata lagi. Hanya saling menatap, berusaha menghafal satu sama lain sebelum jarak benar-benar memisahkan mereka. Dan ketika akhirnya Galang melepas genggaman itu untuk melangkah menuju gate keberangkatan, Fira merasa ada sesuatu yang hilang dari dirinya—sebuah bagian yang tak akan bisa tergantikan oleh apapun.

Malam itu, Fira duduk di kamarnya dengan layar ponsel menyala. Chat terakhir dari Galang masih terbuka:

“Aku sudah sampai di pesawat. Aku akan kabari kamu begitu sampai. Jangan tidur terlalu malam, oke?”

Fira mengetik balasan. “Oke, hati-hati ya.”

Namun, meski ia mencoba terlihat kuat, air matanya akhirnya jatuh juga.

Langit sore di bandara Soekarno-Hatta terlihat sendu, seakan ikut merasakan perasaan yang berkecamuk dalam hati Fira. Hawa di sekitar terasa pengap, meskipun AC bandara bekerja dengan baik. Di depannya, Galang berdiri dengan ransel di punggung dan koper besar di sampingnya.

“Aku nggak nyangka hari ini benar-benar datang,” suara Fira terdengar lirih.

Galang mengangguk, tatapannya penuh kesedihan yang tak bisa ia sembunyikan. “Aku juga, Fir. Rasanya baru kemarin kita ngobrol soal ini, dan sekarang aku beneran harus pergi.”

Fira berusaha tersenyum, meskipun hatinya terasa berat. “Ini bukan akhir, Galang. Ini cuma… awal yang baru untuk kita.”

Galang mendesah panjang. “Awal yang berat, maksudmu?”

Fira tertawa kecil, mencoba mencairkan suasana. Tapi tawa itu tak bisa menyembunyikan kesedihannya. “Kita udah sepakat buat mencoba, kan? Kamu ke Kanada buat kuliah, aku tetap di sini. Kita bisa jalanin ini, asalkan kita sama-sama percaya.”

Galang menggenggam tangan Fira erat. “Aku takut, Fir.”

Fira menatapnya dengan lembut. “Takut apa?”

“Takut kalau nanti aku terlalu sibuk dan kita jadi jarang ngobrol. Takut kalau kita mulai merasa asing satu sama lain. Takut kalau nanti kamu ketemu orang lain di sini.”

Fira terdiam sejenak. Jujur, ketakutan itu juga ada dalam dirinya. Bukan hanya soal Galang yang mungkin berubah, tapi juga dirinya sendiri.

“Aku juga takut,” akhirnya Fira mengakui. “Tapi aku nggak mau kita berhenti hanya karena ketakutan itu. Kita bisa saling berusaha, kan?”

Galang tersenyum kecil. “Iya… Kita bisa.”

Suara pengumuman keberangkatan terdengar di seluruh penjuru bandara. Galang menarik napas dalam, lalu melepaskan genggaman tangannya dengan enggan.

“Ini waktunya,” katanya pelan.

Fira mengangguk, matanya mulai berkaca-kaca. “Jaga diri di sana, ya.”

“Kamu juga.”

Mereka saling menatap untuk terakhir kali sebelum Galang benar-benar melangkah pergi. Fira menatap punggungnya yang menjauh, hingga akhirnya hilang di balik pintu keberangkatan.

Saat itu, air mata yang ia tahan sejak tadi akhirnya jatuh.

Malamnya, Fira duduk di tempat tidurnya sambil menatap ponsel. Chat dari Galang muncul di layar.

Galang: “Aku sudah sampai di pesawat. Begitu sampai di Toronto, aku bakal kabari kamu. Jangan tidur terlalu malam, ya.”

Fira tersenyum tipis, meskipun matanya masih sedikit sembab.

Fira: “Oke. Hati-hati di perjalanan.”

Ponselnya ia letakkan di samping bantal. Kamarnya terasa lebih sepi dari biasanya. Biasanya, malam-malam seperti ini ia habiskan dengan video call atau bertemu langsung dengan Galang. Sekarang, semua itu harus berubah.

Fira menarik napas panjang. Ini baru awal, dan ia harus siap menghadapi semua tantangan yang ada.

Bab 2: Hari-Hari Pertama Tanpa Kehadiran

Tantangan awal dalam menjalani hubungan jarak jauh.

Rindu yang mulai menyiksa.

Upaya menjaga komunikasi meskipun ada perbedaan waktu dan kesibukan.

Pagi pertama tanpa Galang terasa aneh bagi Fira. Biasanya, sebelum berangkat kuliah, ada chat pagi dari Galang yang berisi pesan sederhana seperti:

“Jangan lupa sarapan ya, Fir.”

Namun, hari ini tidak ada pesan apa pun. Fira melirik layar ponselnya, berharap ada notifikasi dari Galang. Tapi hanya ada pesan dari grup kuliahnya yang sedang membahas tugas.

Fira menghela napas panjang. “Dia pasti masih di pesawat,” gumamnya mencoba meyakinkan diri sendiri.

Dia mencoba mengalihkan pikirannya dengan menyibukkan diri. Sarapan sendirian di meja makan, sesuatu yang dulu terasa biasa saja, kini terasa begitu sunyi. Bahkan secangkir teh yang biasanya ia nikmati bersama Galang di kedai favorit mereka kini hanya tersisa sebagai kenangan.

Di kampus, Fira berharap kesibukan bisa membuatnya lupa sejenak. Namun, bayangan Galang tetap muncul di kepalanya—di koridor kampus tempat mereka biasa berjalan bersama, di kantin tempat mereka berbagi camilan, bahkan di perpustakaan tempat Galang sering membantunya belajar.

“Sadar, Fir. Dia cuma pergi sementara, bukan hilang selamanya,” Fira menguatkan diri. Tapi hatinya tetap terasa kosong.

2. Menunggu Kabar

Pukul 11 malam, akhirnya pesan dari Galang masuk.

Galang: “Aku sudah sampai di Toronto! Maaf baru kabar sekarang. Perjalanan panjang banget, aku langsung tepar pas nyampe apartemen. Kamu gimana?”

Fira tersenyum tipis. Setidaknya, dia sudah sampai dengan selamat.

Fira: “Aku baik-baik aja. Gimana tempatnya? Dingin nggak?”

Galang: “Dingin banget! Udah beda jauh sama Jakarta. Aku juga masih jet lag, nih.”

Percakapan mereka berjalan sebentar, tapi tak sehangat biasanya. Fira tahu, mungkin karena Galang masih lelah.

Tapi tetap saja, ada perasaan yang mengganjal di hatinya.

Mereka biasanya bisa ngobrol berjam-jam tanpa henti, tapi sekarang… hanya beberapa pesan singkat sebelum akhirnya Galang pamit tidur.

Dan saat itu, Fira sadar—ini adalah awal dari perubahan besar dalam hubungan mereka.

3. Rutinitas Baru

Hari-hari berikutnya, Fira mulai terbiasa dengan rutinitas baru.

Pagi hari, ia tetap pergi ke kampus seperti biasa. Bedanya, tidak ada lagi pesan “Jangan lupa sarapan” dari Galang.

Siang hari, ia makan siang dengan teman-temannya, tapi tetap merasa ada yang kurang. Biasanya, saat makan, Galang selalu ada di seberang meja, menggodanya dengan mencuri makanannya atau sekadar bercerita tentang hal-hal sepele.

Malam hari, ia menunggu pesan dari Galang. Tapi dengan perbedaan waktu 12 jam antara Jakarta dan Toronto, mereka semakin sulit berkomunikasi.

Galang sering sibuk dengan tugas kuliahnya, sementara Fira mulai merasa seperti menunggu sesuatu yang tidak pasti.

Ada saat-saat di mana Fira ingin menelepon, tapi ia ragu. “Jangan sampai aku ganggu dia,” pikirnya.

Namun, seiring waktu, perasaan itu semakin mengganggu.

4. Ketakutan yang Mulai Muncul

Suatu malam, Fira melihat Galang sedang online, tapi tidak mengirim pesan lebih dulu.

Biasanya, sebelum tidur, Galang selalu menyempatkan diri untuk menghubunginya, meskipun hanya sebentar.

Namun malam itu, tidak ada pesan sama sekali.

Dengan ragu, Fira akhirnya mengirim chat lebih dulu.

Fira: “Hai, lagi sibuk ya?”

Lima menit berlalu. Tidak ada balasan.

Sepuluh menit… masih tidak ada.

Setengah jam kemudian, akhirnya Galang membalas.

Galang: “Maaf Fir, tadi aku lagi keluar sama teman-teman kampus.”

Fira membaca pesan itu berulang kali. Ada rasa tak nyaman yang mulai menjalar di hatinya.

Dulu, Galang selalu memberi tahu lebih dulu kalau ia sedang sibuk. Tapi sekarang… semuanya terasa berbeda.

Fira menekan dadanya yang terasa sesak. Ia mencoba berpikir positif, tapi ketakutan itu sudah mulai tumbuh dalam dirinya.

5. Pertanyaan Tanpa Jawaban

Seminggu setelah kepergian Galang, Fira merasa ada sesuatu yang berubah.

Mereka masih berkomunikasi, tapi tidak seintens dulu. Percakapan mereka terasa lebih formal, lebih singkat, lebih… jauh.

Dulu, Galang selalu bertanya banyak hal—tentang hari Fira, tentang makan siangnya, tentang hal-hal kecil yang terjadi dalam hidupnya.

Sekarang?

Galang hanya sekadar bertanya, “Gimana hari ini?” lalu percakapan berhenti begitu saja.

Fira mulai bertanya-tanya, Apakah dia mulai terbiasa tanpa aku?

Hubungan jarak jauh ini baru saja dimulai, tapi Fira sudah merasakan betapa sulitnya menjaga sesuatu yang perlahan-lahan mulai berubah.

Dan saat itu, ia mulai bertanya dalam hati—Apakah kami bisa benar-benar bertahan?

Pagi pertama tanpa Galang terasa lebih berat dari yang Fira bayangkan. Biasanya, sebelum berangkat kuliah, ada pesan dari Galang yang selalu membangunkannya dengan kata-kata sederhana seperti:

“Bangun, sayang. Jangan lupa sarapan. Aku jemput jam delapan, ya.”

Namun pagi ini, tidak ada notifikasi apa pun dari Galang. Tidak ada panggilan, tidak ada chat. Hanya suara jam dinding yang berdetak pelan, mengisi keheningan kamar Fira.

Dengan enggan, Fira meraih ponselnya dan membuka aplikasi chat. Percakapan terakhir mereka semalam masih terpampang di layar:

Galang: “Aku udah sampai di Toronto. Maaf baru kabar, aku capek banget. Kamu gimana?”

Fira: “Aku baik. Dingin nggak di sana?”

Galang: “Banget. Suhu di bawah nol, aku sampai kaget. Oke, aku mau tidur dulu ya. Capek banget.”

Setelah itu, tidak ada lagi pesan dari Galang.

Fira menghela napas panjang. “Wajar kalau dia masih jet lag,” gumamnya, mencoba meyakinkan diri sendiri.

Namun, meski ia paham, hatinya tetap terasa kosong.

Di meja makan, Fira duduk sendirian. Biasanya, ia dan Galang sering sarapan bersama sebelum berangkat ke kampus, entah itu hanya sekadar roti panggang atau nasi uduk dari warung dekat rumah. Kini, ia hanya menatap piringnya dengan lesu.

Ibunya yang memperhatikannya dari dapur akhirnya membuka suara.

“Kamu kenapa, Nak? Kok nggak semangat gitu?”

Fira tersenyum tipis. “Nggak apa-apa, Ma. Masih ngantuk aja.”

Sang ibu menatapnya dengan penuh pengertian. “Kamu kangen Galang, ya?”

Fira tidak langsung menjawab. Ia hanya mengaduk-aduk teh di cangkirnya, lalu mengangguk pelan.

“Dia cuma pergi sementara, kok. Kamu harus tetap jalani harimu seperti biasa,” ujar ibunya sambil tersenyum lembut.

Fira mengangguk lagi, tapi dalam hatinya, ia tahu bahwa tidak akan semudah itu.

Di kampus, segalanya terasa berbeda.

Biasanya, Galang selalu menunggunya di depan gerbang dengan senyum khasnya. Kini, ia harus berjalan sendirian.

Biasanya, di sela-sela jam kuliah, mereka duduk bersama di taman kampus, berbincang tentang segala hal, dari tugas kuliah hingga mimpi-mimpi mereka. Kini, hanya ada bangku kosong di sampingnya.

Sahabatnya, Rina, menyadari perubahan itu.

“Kamu kenapa, Fir? Sejak Galang pergi, kamu jadi sering bengong,” ujarnya saat mereka duduk di kantin.

Fira mencoba tersenyum. “Nggak apa-apa. Cuma butuh waktu buat terbiasa aja.”

Rina menatapnya lekat-lekat. “Kamu yakin bakal kuat LDR?”

Fira terdiam sejenak. “Aku harus kuat,” jawabnya akhirnya.

Namun, jauh di dalam hatinya, ada ketakutan yang mulai menjalar.

Malam itu, Fira menunggu pesan dari Galang. Ia tahu perbedaan waktu antara Jakarta dan Toronto adalah 12 jam, jadi saat ini mungkin Galang sedang sibuk dengan aktivitasnya.

Tapi tetap saja, ia berharap Galang akan mengirim pesan lebih dulu.

Namun, hingga pukul 11 malam, layar ponselnya tetap sunyi.

Akhirnya, dengan sedikit ragu, Fira mengirim chat lebih dulu.

Fira: “Hai, lagi sibuk?”

Lima menit berlalu. Tidak ada balasan.

Sepuluh menit… masih tidak ada.

Setengah jam kemudian, akhirnya pesan dari Galang masuk.

Galang: “Maaf, Fir. Lagi di luar sama teman-teman kampus. Baru sempet pegang HP.”

Fira membaca pesan itu berulang kali.

Biasanya, Galang selalu memberi tahu lebih dulu kalau dia sedang keluar. Tapi sekarang… dia hanya mengabari setelah Fira bertanya lebih dulu.

Fira mencoba berpikir positif. “Mungkin dia cuma butuh waktu buat beradaptasi,” gumamnya pelan.

Tapi tetap saja, ada perasaan tak nyaman yang mulai mengganggunya.

Seiring berjalannya waktu, Fira mulai menyadari bahwa percakapan mereka tidak lagi seperti dulu.

Dulu, Galang selalu menanyakan banyak hal—tentang hari Fira, tentang apa yang dia makan, bahkan tentang hal-hal sepele seperti buku apa yang sedang dia baca.

Sekarang?

Percakapan mereka hanya sesekali. Kadang Galang membalas dengan singkat, seperti “Hari ini sibuk banget. Kamu gimana?” atau “Tadi habis ada tugas kelompok, capek banget.”

Fira merasa ada jarak yang mulai tumbuh di antara mereka, bukan hanya secara fisik, tapi juga secara emosional.

Saat malam semakin larut, Fira menatap ponselnya yang tak lagi sering berbunyi.

Dulu, setiap malam sebelum tidur, mereka selalu menelepon satu sama lain, berbicara hingga salah satu dari mereka tertidur lebih dulu.

Kini, bahkan sekadar chat saja terasa sulit.

Suatu malam, saat Fira sedang membaca buku, ia tanpa sadar membuka Instagram.

Ia melihat Galang mengunggah story—foto bersama beberapa teman barunya di Toronto, mereka terlihat duduk di sebuah kafe, tertawa bersama.

Fira menatap foto itu lama.

Ia seharusnya senang melihat Galang bisa beradaptasi dengan baik di sana.

Tapi di sisi lain, ada rasa cemas yang mulai menghantuinya.

“Apakah dia mulai terbiasa tanpa aku?”

“Apakah aku masih menjadi bagian dari dunianya?”

Fira menutup ponselnya dan menatap langit-langit kamar.

Ini baru minggu pertama, dan ia sudah merasakan betapa sulitnya hubungan jarak jauh.

Mampukah mereka bertahan?

Bab 3: Rindu yang Tak Tersampaikan

Masalah pertama dalam hubungan: komunikasi yang mulai renggang.

Salah satu pihak mulai sibuk dan sulit dihubungi.

Muncul rasa curiga atau takut kehilangan.

Malam ini, seperti malam-malam sebelumnya, Fira terjaga lebih lama dari biasanya. Ia menatap layar ponselnya yang masih sepi dari notifikasi. Sudah hampir dua minggu sejak Galang pergi ke Toronto, dan semakin hari, komunikasi mereka terasa semakin jauh.

Dulu, sebelum tidur, Galang selalu meneleponnya, mengobrol tentang apa saja, dari hal serius hingga hal sepele yang hanya mereka pahami. Tapi sekarang? Sekalipun mereka berkomunikasi, hanya ada percakapan singkat yang penuh dengan jeda.

Fira menghela napas dan membuka aplikasi chat.

Fira: “Hai, kamu udah makan?”

Beberapa menit berlalu tanpa balasan. Fira melirik jam—di Toronto sekarang siang, Galang seharusnya sedang istirahat.

Hampir satu jam kemudian, barulah balasan masuk.

Galang: “Udah. Tadi makan sandwich doang. Kamu gimana?”

Fira tersenyum tipis, lalu membalas cepat.

Fira: “Aku makan soto tadi. Kamu lagi apa?”

Galang tidak langsung membalas. Lima menit… sepuluh menit… akhirnya, setelah hampir setengah jam, balasannya masuk.

Galang: “Lagi ada tugas kelompok, Fir. Nanti aku chat lagi, ya?”

Percakapan berakhir begitu saja.

Fira menggigit bibirnya, menahan perasaan yang berkecamuk di dadanya. Sejak kapan mereka hanya berbicara sebentar seperti ini? Sejak kapan ada begitu banyak jeda dalam percakapan mereka?

Dulu, Galang selalu semangat bercerita. Sekarang, semuanya terasa… hambar.

Dan malam ini, untuk kesekian kalinya, Fira tidur dengan rindu yang menggantung tanpa jawaban.

2. Rutinitas yang Menyakitkan

Hari-hari berlalu, tetapi rindu yang Fira rasakan semakin menumpuk. Ia mencoba menyibukkan diri, tapi setiap sudut kehidupannya mengingatkan pada Galang.

Di kampus, ia melewati tempat-tempat yang dulu sering mereka kunjungi bersama—kantin, taman kampus, bahkan bangku di perpustakaan tempat mereka pernah duduk berdua.

Di rumah, Fira sering menemukan dirinya membuka galeri ponsel, melihat foto-foto mereka. Ada foto mereka di taman hiburan, foto saat Galang diam-diam memotret Fira yang sedang sibuk membaca, dan video Galang yang tertawa ketika Fira salah menyebut nama aktor favoritnya.

Kenangan itu terasa begitu dekat, tapi Galang terasa begitu jauh.

Rina, sahabatnya, memperhatikan perubahan Fira.

“Kamu makin sering melamun,” komentar Rina saat mereka duduk di taman kampus.

Fira tersenyum kecil. “Aku cuma… kangen.”

Rina menatapnya dengan prihatin. “Kamu udah cerita ke Galang soal perasaan kamu?”

Fira menggeleng pelan. “Aku nggak mau bikin dia tambah terbebani. Dia udah cukup sibuk di sana.”

“Tapi Fir, kalau kamu terus memendamnya, kamu bakal makin sakit sendiri.”

Fira tahu Rina benar. Tapi ia juga takut. Takut bahwa jika ia mengungkapkan betapa ia merindukan Galang, ia hanya akan dianggap berlebihan.

3. Percakapan yang Semakin Sepi

Malam itu, Fira memutuskan untuk mencoba sesuatu.

Ia menelepon Galang.

Nada sambung berbunyi cukup lama sebelum akhirnya tersambung.

“Halo, Fir,” suara Galang terdengar di seberang.

Fira tersenyum. “Hai… kamu lagi apa?”

“Aku lagi di luar, nongkrong sama teman-teman. Kamu kenapa?”

Fira menggigit bibirnya. “Nggak papa. Aku cuma… kangen ngobrol sama kamu.”

Galang terdiam sejenak sebelum menjawab, “Oh, ya… maaf, ya. Aku agak sibuk belakangan ini.”

Fira mencoba terdengar ceria. “Aku ngerti kok. Kamu udah makan?”

“Udah. Eh, Fir, aku nggak bisa lama-lama ya. Udah ditungguin teman-teman.”

“Oh… iya, nggak apa-apa,” jawab Fira pelan.

Setelah itu, panggilan berakhir.

Fira menatap layar ponselnya yang kembali gelap.

Dulu, mereka bisa menghabiskan waktu berjam-jam hanya untuk mengobrol. Sekarang, satu menit saja terasa seperti gangguan bagi Galang.

Dan saat itu, Fira mulai bertanya-tanya—apakah ia yang merindukan terlalu dalam, ataukah Galang yang sudah mulai lupa bagaimana rasanya rindu?

4. Keraguan yang Mulai Muncul

Seminggu setelah percakapan singkat itu, Galang semakin jarang menghubungi lebih dulu.

Fira mencoba mengerti. Ia tahu Galang memiliki kehidupan baru di sana—kuliah, tugas, teman-teman baru.

Tapi tetap saja, ada pertanyaan yang terus mengganggunya.

“Kalau aku nggak chat duluan, apakah dia akan tetap menghubungiku?”

Fira memutuskan untuk mencoba.

Hari itu, ia tidak mengirim pesan lebih dulu.

Satu jam… dua jam… setengah hari berlalu.

Tidak ada kabar dari Galang.

Bahkan hingga malam tiba, Galang tidak menghubunginya sama sekali.

Fira menatap layar ponselnya dengan perasaan campur aduk. Ia bisa saja mengirim pesan sekarang, tapi ia ingin tahu… apakah Galang juga merindukannya?

Pukul 11 malam, akhirnya sebuah pesan masuk.

Galang: “Hei, kamu kemana aja hari ini? Kok nggak chat?”

Fira menatap pesan itu lama.

Jadi, selama ini, jika ia tidak menghubungi lebih dulu, Galang bahkan tidak akan menyadari ketidakhadirannya?

Dengan hati yang berat, ia membalas.

Fira: “Aku cuma pengen tahu… kalau aku nggak chat duluan, kamu bakal kangen nggak?”

Lama tidak ada balasan.

Lalu akhirnya…

Galang: “Fira, aku bukan nggak kangen. Aku cuma… sibuk. Kita harus mulai terbiasa dengan ini.”

Fira menelan ludah. Kata-kata itu menusuknya lebih dalam dari yang ia bayangkan.

“Kita harus mulai terbiasa dengan ini.”

Jadi, apakah itu berarti Galang sudah terbiasa tanpa dirinya?

5. Rindu yang Tak Tersampaikan

Malam itu, Fira menangis dalam diam.

Ia tidak ingin mengekang Galang. Ia ingin mendukungnya, membiarkannya berkembang di sana.

Tapi di sisi lain, ia juga manusia. Ia juga merindukan seseorang yang dulu selalu ada untuknya.

Namun, semakin ia merindukan Galang, semakin jauh rasanya mereka berdua.

Rindu yang ia rasakan begitu besar, tapi tidak pernah benar-benar tersampaikan.

Dan untuk pertama kalinya sejak Galang pergi, Fira bertanya-tanya dalam hati…

“Apakah aku sedang memperjuangkan sesuatu yang perlahan-lahan akan hilang?”

Fira duduk di sudut tempat tidurnya, menatap langit-langit kamar yang terasa semakin sunyi. Sudah hampir satu bulan sejak Galang pergi, dan setiap harinya, rindu yang ia rasakan semakin menyesakkan.

Ia menarik selimutnya erat-erat, mencoba mengusir rasa dingin yang menyelimutinya—bukan dingin dari udara malam, tetapi dingin yang berasal dari kehilangan rutinitas yang dulu begitu hangat.

Dulu, setiap malam sebelum tidur, Galang selalu mengirim pesan terakhir, sekadar mengucapkan, “Good night, sayang. Mimpi indah.”

Sekarang?

Fira membuka ponselnya. Tidak ada pesan dari Galang. Sudah hampir 24 jam sejak mereka terakhir berbicara.

Hatinya mulai dipenuhi pertanyaan.

“Apakah dia juga merindukanku seperti aku merindukannya?”

“Atau dia mulai terbiasa tanpaku?”

Fira berusaha mengalihkan pikirannya dengan berbagai aktivitas—belajar, berkumpul dengan teman, bahkan mencoba hobi baru seperti menulis jurnal. Tapi di sela-sela semua itu, pikirannya tetap kembali ke satu hal: Galang.

Ia tahu perbedaan zona waktu 12 jam antara mereka adalah tantangan besar. Saat Fira bangun pagi, Galang baru saja tidur. Saat Fira hendak tidur, Galang baru memulai harinya.

Namun, dulu hal itu tidak pernah menjadi masalah. Dulu, mereka selalu mencari celah untuk berkomunikasi, meski hanya beberapa menit.

Sekarang?

Komunikasi mereka terasa semakin jarang.

Setiap kali Fira menghubungi Galang, jawabannya selalu sama.

“Maaf, Fir. Lagi banyak tugas.”
“Nanti aku telepon kalau udah ada waktu, ya?”
“Baru pulang dari kampus, capek banget. Tidur dulu, ya?”

Dan “nanti” itu sering kali tak pernah datang.

Suatu malam, Fira membuka Instagram tanpa berpikir. Saat menggulir feed, ia tiba-tiba melihat sebuah foto yang diunggah oleh seorang perempuan asing.

Dalam foto itu, ada Galang.

Ia sedang duduk bersama beberapa orang di sebuah kafe, tertawa lepas. Di sebelahnya, seorang perempuan berambut panjang tampak tersenyum ke arahnya.

Fira menahan napas.

Di caption, tertulis:

“Study group turned into a fun night! Toronto is treating us well.”

Jari-jari Fira gemetar saat ia menyentuh layar ponselnya.

Galang tidak pernah bercerita bahwa ia pergi keluar malam ini. Bahkan, pesan terakhirnya kepada Fira hanya: “Sibuk tugas, nanti kabarin lagi.”

Fira menggigit bibirnya. Dadanya terasa sesak.

Bukan karena ia tidak percaya pada Galang, tetapi karena kenyataan bahwa Galang terlihat begitu bahagia tanpa perlu memberitahunya.

“Apakah aku masih menjadi bagian dari dunianya?”

Malam itu, dengan hati yang masih berat, Fira akhirnya memberanikan diri menghubungi Galang.

Setelah beberapa kali nada sambung, suara Galang terdengar.

“Halo, Fir?”

Fira menarik napas dalam-dalam. “Hai… kamu sibuk?”

“Enggak juga. Kenapa?”

“Aku lihat foto kamu di Instagram temen kamu. Kamu nggak cerita kalau tadi malam keluar?”

Hening.

“Oh… iya, aku lupa bilang. Cuma nongkrong sebentar sama teman-teman setelah tugas kelompok,” jawab Galang ringan.

Fira menggigit bibir. Ia tidak ingin terlihat cemburu atau posesif, tapi hatinya sudah terlanjur terluka.

“Kamu nggak sempat bilang ke aku?” tanyanya hati-hati.

Galang menghela napas. “Fir, aku nggak mungkin ngabarin kamu setiap aku keluar. Aku juga butuh waktu sama teman-teman di sini.”

Fira terdiam. Ia tahu Galang tidak bermaksud menyakitinya, tapi kata-kata itu terasa begitu menyayat.

“Jadi… aku nggak masuk prioritas lagi?”

“Jangan gitu, Fir. Aku juga masih menyesuaikan diri di sini. Aku nggak bisa selalu ada setiap saat kayak dulu,” ujar Galang dengan nada lelah.

Fira ingin berkata banyak hal, ingin mengungkapkan betapa ia merindukan Galang, betapa ia ingin hubungan mereka tetap seperti dulu.

Tapi lidahnya terasa kelu.

Pada akhirnya, hanya satu kalimat yang keluar dari bibirnya.

“Baiklah… aku ngerti.”

Dan setelah itu, percakapan berakhir.

Namun, di dalam hati Fira, ada sesuatu yang mulai retak.

Malam semakin larut, tetapi Fira tetap tidak bisa memejamkan mata. Ia memeluk ponselnya erat-erat, seolah-olah benda itu bisa menghubungkannya kembali dengan Galang yang terasa semakin jauh.

Ia menuliskan pesan di notes ponselnya, sesuatu yang sebenarnya ingin ia kirimkan pada Galang, tetapi ia ragu.

“Galang… aku kangen.”
“Aku kangen kita yang dulu.”
“Aku kangen percakapan kita yang nggak pernah ada jedanya.”
“Aku kangen kamu yang selalu semangat cerita tentang harimu.”
“Aku kangen pelukanmu, senyumanmu, tatapan matamu.”
“Tapi aku nggak bisa bilang itu semua, karena aku takut jadi beban buatmu.”

Pesan itu tidak pernah terkirim.

Dan malam itu, untuk pertama kalinya, Fira mulai bertanya pada dirinya sendiri.

“Apakah rindu ini hanya satu arah?”

“Apakah aku yang terlalu bertahan, sementara dia sudah perlahan melepaskan?”

Bab 4: Godaan di Antara Jarak

Adanya pihak ketiga yang mulai mendekati salah satu tokoh.

Perasaan bimbang dan kesetiaan diuji.

Konflik mulai memanas.

Hari itu, Fira sedang menggulir layar ponselnya tanpa tujuan saat sebuah pesan masuk dari Galang.

Galang: “Pagi, Fir. Kamu sibuk hari ini?”

Fira tersenyum tipis. Akhir-akhir ini, pesan dari Galang semakin jarang, jadi setiap kali ia menghubungi lebih dulu, Fira selalu merasa sedikit lebih baik.

Fira: “Nggak terlalu. Ada apa?”

Galang: “Nggak ada apa-apa sih. Cuma pengen cerita, tadi habis kerja kelompok bareng teman-teman.”

Fira terkejut. Sudah lama Galang tidak bercerita inisiatif seperti ini.

Fira: “Oh ya? Seru?”

Galang: “Lumayan. Kita brainstorming sampai malam. Untung ada Clara, dia jago banget bikin presentasi. Jadi kerjaan kita lebih ringan.”

Fira berhenti sejenak.

Clara?

Ini pertama kalinya Galang menyebut nama perempuan lain dalam obrolan mereka.

Hatinya mencelos, tapi ia mencoba tetap berpikir positif. Galang tentu boleh berteman dengan siapa saja. Tidak ada yang salah dengan itu.

Namun, perasaan aneh tetap muncul dalam hatinya.

Dan itu hanya permulaan.

Seiring waktu, nama Clara mulai semakin sering muncul dalam percakapan mereka.

“Hari ini aku makan siang bareng Clara dan yang lain.”
“Clara ngajakin aku ikut volunteering event. Seru banget!”
“Kemarin Clara bantuin aku ngerjain tugas sampai malam.”

Fira selalu berusaha tersenyum dan merespons dengan tenang setiap kali Galang menyebut nama itu.

Tapi jauh di dalam hatinya, ia merasa cemas.

Bukan karena ia tidak percaya pada Galang, tapi karena ia tahu bagaimana jarak bisa mengubah segalanya.

Ia tahu bagaimana seseorang bisa tiba-tiba menemukan kenyamanan baru dalam kehadiran orang lain, terutama ketika hubungan yang jauh mulai terasa melelahkan.

Dan yang paling menyakitkan adalah, ketika Galang berbicara tentang Clara, ia terdengar lebih bersemangat dibanding saat berbicara dengannya.

Beberapa minggu kemudian, Fira mulai merasakan perubahan yang semakin nyata.

Galang mulai lebih sering telat membalas pesan. Kadang, ia baru membalas setelah berjam-jam, bahkan seharian penuh.

Saat Fira mengeluh, jawabannya selalu sama:

“Maaf, Fir. Aku sibuk.”

Tapi suatu hari, sesuatu terjadi yang membuat Fira semakin yakin bahwa ada sesuatu yang berubah.

Saat sedang berbincang lewat video call, tiba-tiba seseorang terdengar memanggil Galang dari kejauhan.

“Galang, kamu nggak ikut makan sama kita?”

Suara perempuan.

Galang menoleh ke samping, lalu cepat-cepat menutup mikrofonnya.

Setelah beberapa detik, ia kembali menatap layar dan berkata, “Eh, Fir, aku harus pergi dulu ya. Ada acara makan bareng.”

Fira menelan ludah. “Oh… sama siapa?”

Galang tersenyum tipis. “Sama teman-teman… sama Clara juga.”

Hati Fira mencelos.

Lagi-lagi nama itu.

Setelah menutup video call, Fira berbaring di kasurnya, menatap langit-langit dengan tatapan kosong.

Ia merasa bodoh.

Bodoh karena terus berpura-pura tidak ada apa-apa.

Bodoh karena mengabaikan perasaannya sendiri.

Dan lebih dari itu, bodoh karena ia mulai merasa bahwa ia bukan lagi orang yang paling Galang prioritaskan.

Ia mencoba menenangkan dirinya dengan berpikir logis.

“Galang hanya berteman dengannya.”
“Galang tetap mencintaiku.”
“Aku harus percaya.”

Tapi suara kecil di dalam hatinya berkata lain.

“Apa benar hanya sebatas teman?”

Beberapa hari kemudian, Fira sedang bersantai di rumah ketika Rina mengirim pesan padanya.

Rina: “Fir, kamu lihat ini?”

Rina mengirimkan sebuah tangkapan layar.

Tangan Fira bergetar saat membukanya.

Itu adalah foto yang diunggah oleh seseorang di Instagram—foto Galang dan Clara, duduk berdua di sebuah kafe.

Clara tersenyum manis, dan Galang…

Fira tidak bisa mendeskripsikannya, tapi ada sesuatu dalam ekspresi Galang yang membuat dadanya terasa sakit.

Ia terlihat nyaman. Terlalu nyaman.

Seolah-olah… ia bukan lagi laki-laki yang terikat dalam hubungan jarak jauh dengan seseorang yang menunggunya di sini.

Air mata Fira jatuh tanpa bisa ia tahan.

Ia ingin menghubungi Galang saat itu juga, ingin bertanya, ingin memastikan segalanya.

Tapi di saat yang bersamaan, ia takut.

Takut akan jawaban yang mungkin akan ia dapatkan.

Malam itu, dengan hati yang penuh keberanian dan keraguan sekaligus, Fira akhirnya menelepon Galang.

Nada sambung berbunyi beberapa kali sebelum Galang akhirnya menjawab.

“Halo, Fir? Kok nelpon malam-malam?”

Fira menghela napas dalam-dalam. “Aku cuma mau tanya satu hal, Galang.”

Galang terdiam sejenak. “Apa?”

Fira menggigit bibirnya. Suaranya bergetar saat akhirnya ia berkata,

“Kamu masih mencintaiku?”

Galang tak langsung menjawab.

Hening.

Satu detik. Dua detik. Tiga detik.

Dan di dalam keheningan itu, hati Fira hancur lebih dulu, bahkan sebelum Galang sempat membuka mulutnya.

Bab 5: Kepercayaan yang Mulai Goyah

Pertengkaran yang muncul akibat rasa curiga dan kurangnya komunikasi.

Salah satu tokoh merasa lelah dengan hubungan ini.

Muncul pertanyaan: “Apakah kita masih bisa bertahan?”

Pertengkaran yang muncul akibat rasa curiga dan kurangnya komunikasi.

Salah satu tokoh merasa lelah dengan hubungan ini.

Muncul pertanyaan: “Apakah kita masih bisa bertahan?”

Sudah beberapa minggu sejak Fira terakhir berbicara terbuka dengan Galang tentang perasaannya. Setiap harinya, ia merasa seperti berada di tengah lautan yang tenang, namun sesekali diterjang ombak yang membuat hatinya goyah.

Setiap kali Galang mengirim pesan atau menelepon, Fira merasa rindu yang begitu mendalam, tetapi ada juga kekhawatiran yang semakin menggerogoti. Apakah Galang masih merasa sama seperti dulu? Apakah dia merasa tertekan dengan hubungan jarak jauh ini?

Hari-hari yang dulunya penuh dengan percakapan hangat kini terasa semakin sepi. Fira tidak tahu apakah itu karena kesibukan Galang yang semakin padat atau karena dia sendiri yang semakin ragu.

Pagi itu, Fira sedang duduk di meja makan, memeriksa ponselnya dengan harapan menemukan pesan dari Galang. Namun yang ia temui hanyalah pesan lama yang belum dibalas, sudah beberapa hari berlalu.

Ia menarik napas dalam-dalam dan mulai mengetik pesan.

Fira: “Galang, kenapa kita jarang ngobrol belakangan ini? Aku merasa ada yang berubah.”

Fira menatap layar ponselnya, ragu sejenak. Namun ia akhirnya menekan tombol kirim.

Beberapa menit berlalu, dan pesan itu tetap tidak dibalas. Fira menunggu dengan cemas, menatap layar, berharap ada notifikasi masuk. Tetapi yang datang hanya kesunyian yang semakin mencekam.

Sudah hampir tiga jam sejak Fira mengirim pesan, namun Galang belum juga membalas. Ini bukan pertama kalinya, tetapi kali ini terasa berbeda. Fira merasa jantungnya berdegup lebih kencang, dan ketidakpastian semakin menyelimuti pikirannya.

Ia tahu bahwa kehidupan di luar sana—kehidupan Galang—mungkin semakin penuh dengan aktivitas dan pertemanan baru, sementara di sini, ia hanya bisa menunggu dalam kesendirian.

Fira mencoba menghubungi Galang melalui video call. Berulang kali ia menekan tombol panggilan, tetapi tidak ada jawaban. Tidak ada yang menjawab, hanya suara nada sambung yang terus berbunyi.

Hatinya semakin berat. Seperti ada sesuatu yang hilang—sesuatu yang dulu selalu ada, yaitu perhatian dan komunikasi yang membuat semuanya terasa lebih dekat.

Kemudian, Fira membuka akun Instagramnya dan mencari nama Galang. Di sana, ia melihat beberapa foto terbaru Galang bersama teman-temannya, termasuk Clara. Mereka terlihat sangat akrab, tertawa bersama, menikmati waktu tanpa beban. Ada satu foto yang membuat Fira merasa semakin terasing, foto Galang dan Clara duduk berdampingan, tersenyum bahagia, dengan caption:

“Kehidupan baru, teman baru, banyak hal yang menunggu.”

Fira menatap foto itu lama. Hatinya seperti tercekat. Ada rasa cemas yang mulai tumbuh, seperti ada sesuatu yang mulai terbuka di hadapannya, tetapi ia takut untuk menghadapinya.

Beberapa hari setelah itu, Fira semakin merasakan bahwa hubungan mereka semakin menjauh. Galang semakin sering tidak membalas pesan, dan ketika ia akhirnya membalas, jawabannya selalu singkat dan terkesan terburu-buru.

Pada suatu malam, Fira memutuskan untuk menghubungi Galang lagi. Tetapi kali ini, ia merasa berbeda. Ia merasa bahwa ada banyak hal yang harus ia ungkapkan.

Ketika panggilan video akhirnya tersambung, Galang muncul di layar dengan senyum yang sedikit dipaksakan. Fira bisa melihat mata Galang yang lelah, dan ekspresinya terlihat lebih jauh.

“Halo, Fir,” suara Galang terdengar agak terputus-putus.

Fira mencoba tersenyum, meskipun hatinya terasa begitu berat. “Hai, Galang. Aku… kita perlu bicara.”

Galang mengangguk pelan, tetapi ada keraguan dalam tatapannya. “Apa yang ingin kamu bicarakan?”

Fira menggigit bibir, berusaha menahan air mata yang mulai menggenang di pelupuk matanya. “Aku merasa kita semakin jauh, Galang. Apa kamu juga merasakannya?”

Galang terdiam lama, dan Fira bisa melihat keraguan yang tergambar di wajahnya. “Fir, aku… aku juga merasa hal yang sama. Tapi, aku nggak tahu bagaimana menjelaskannya.”

Fira merasa hatinya semakin tercekik. Ia bisa merasakan bahwa Galang sedang berjuang untuk mengungkapkan perasaannya. Namun, yang membuatnya semakin cemas adalah, apakah perasaan itu masih ada? Apakah cinta itu masih cukup kuat untuk mempertahankan hubungan ini?

“Apa kita bisa bertahan seperti ini?” Fira bertanya pelan, hampir tidak terdengar.

Galang menarik napas panjang. “Aku ingin kita bertahan, Fir. Tapi aku nggak bisa janji kalau semuanya akan sama seperti dulu.”

Fira menunduk, merasa dunia seakan runtuh di sekelilingnya. “Aku nggak bisa terus berharap kalau aku nggak tahu apa yang kamu inginkan. Aku nggak bisa terus menunggu tanpa kepastian.”

Galang terdiam, dan untuk pertama kalinya, Fira merasa bahwa mereka sedang berada di dua dunia yang sangat berbeda.

Beberapa minggu berlalu tanpa ada perkembangan berarti. Fira merasa semakin bingung dan terluka, sementara Galang tampaknya lebih fokus pada kehidupannya di luar negeri, semakin jauh dari Fira.

Suatu hari, Fira mendapat telepon dari teman lama, Della. Mereka berbicara panjang lebar tentang kehidupan masing-masing, hingga akhirnya Della bertanya, “Kamu masih sama Galang, kan?”

Fira menghela napas. “Aku nggak tahu, Del. Rasanya seperti ada tembok besar antara kita. Aku nggak tahu apakah kita bisa terus seperti ini.”

Della diam sejenak, kemudian berkata, “Kadang, kepercayaan itu memang harus diuji. Tapi kalau kamu merasa sudah tidak ada lagi yang bisa dipertahankan, mungkin sudah saatnya untuk berpikir ulang.”

Fira merasa hatinya semakin berat. Apakah memang kepercayaan itu bisa kembali? Atau mungkin, ini adalah saatnya untuk melepaskan?

Fira memutuskan untuk menghadapinya langsung. Ia menulis surat panjang yang berisi semua perasaannya, keraguan, dan harapan-harapannya tentang hubungan mereka. Ia mengirimkan surat itu kepada Galang, berharap bisa mendapat jawaban yang jelas.

Namun, yang datang hanya kesunyian. Tidak ada jawaban, tidak ada pembicaraan lebih lanjut.

Fira merasa kecewa, tetapi di sisi lain, ia juga merasa lega. Keputusan sudah diambil, dan meskipun hatinya hancur, ia tahu bahwa ia tidak bisa terus hidup dalam ketidakpastian.

Bab 6: Kejutan Tak Terduga

Mungkin salah satu tokoh datang secara tiba-tiba untuk memberikan kejutan.

Momen bahagia setelah sekian lama berpisah.

Harapan kembali tumbuh untuk tetap bertahan.

Fira duduk di depan jendela kamar, memandangi hujan yang turun dengan deras. Udara malam terasa dingin, namun jauh di dalam hatinya, ada perasaan yang semakin membeku.

Setelah berbulan-bulan menunggu, berkomunikasi dengan hati yang penuh keraguan, dan mengorbankan banyak hal, ia masih merasa ada sesuatu yang hilang. Meski sudah mencoba mengungkapkan perasaannya pada Galang, segala sesuatunya tampaknya masih belum berubah.

“Apa yang harus kulakukan, Galang?” Fira bergumam pelan. Ia merasa lelah, tidak hanya secara fisik, tetapi juga emosional. Cinta mereka terasa semakin tipis di antara jarak dan waktu yang memisahkan.

Namun, hidup terkadang tidak sesuai dengan yang kita rencanakan. Ada kalanya, kejutan tak terduga datang membawa perubahan yang tak pernah terbayangkan sebelumnya.

Pagi itu, saat Fira sedang mempersiapkan diri untuk pergi ke kampus, ponselnya berdering. Sebuah pesan dari Galang masuk.

Galang: “Fir, ada yang harus aku ceritakan. Bisa kita bicara nanti malam?”

Fira menatap pesan itu dengan ragu. Ada sesuatu dalam kata-kata Galang yang membuatnya merasa cemas. Namun, ia mencoba berpikir positif dan membalas pesan itu.

Fira: “Tentu, aku tunggu. Semoga baik-baik saja.”

Hari itu berjalan seperti biasa, meski ada perasaan tidak tenang yang terus menghantui Fira. Malam harinya, Fira memutuskan untuk menunggu di kamar, mempersiapkan dirinya menghadapi pembicaraan yang akan datang.

Saat Galang akhirnya menelepon, Fira merasakan ketegangan yang tidak biasa.

“Halo, Fir,” suara Galang terdengar agak berat. “Aku harus memberitahumu sesuatu yang penting.”

Fira menelan ludah, hatinya berdegup kencang. “Apa itu, Galang?”

“Aku baru saja mendapat kesempatan untuk melanjutkan studi ke luar negeri. Semuanya berjalan sangat cepat, dan aku harus berangkat bulan depan.”

Fira terdiam sejenak. Mendengar kalimat itu, jantungnya serasa berhenti berdetak. “Kamu… akan pergi?”

Galang mengangguk pelan meskipun mereka hanya berbicara melalui telepon. “Iya, Fir. Aku tidak ingin ini mengejutkanmu, tapi kesempatan ini datang begitu mendesak.”

Fira merasa tubuhnya lemas. Semuanya terasa seperti mimpi buruk yang nyata. Dalam sekejap, dunia yang mereka bangun bersama rasanya runtuh.

“Apa kita… bisa bertahan?” tanya Fira pelan, merasa hampir tidak bisa berkata-kata.

Galang terdiam beberapa saat sebelum menjawab, “Aku berharap kita bisa. Tapi, aku juga nggak bisa janji kalau semuanya akan seperti dulu.”

Fira merasakan keheningan yang berat. Itu adalah keputusan besar bagi Galang, dan meskipun ia tahu ini adalah kesempatan yang tak bisa dilewatkan, hatinya tetap hancur.

Malam itu, setelah percakapan yang mengejutkan itu, Fira merasa sepi. Meskipun ia mencoba untuk mengerti, ada banyak keraguan yang menggerogoti pikirannya. Keputusan Galang untuk melanjutkan studi ke luar negeri adalah sebuah langkah yang besar, dan ia tahu itu akan mengubah banyak hal.

Namun, keesokan harinya, Fira mendapat kejutan lain. Saat sedang memeriksa media sosialnya, sebuah postingan dari Clara muncul di feed-nya.

Clara, teman dekat Galang yang sering ia dengar namanya akhir-akhir ini, mengunggah sebuah foto mereka bertiga—Fira, Galang, dan Clara—dengan caption:

“Satu langkah baru dalam hidup, dengan dua orang yang sangat berarti.”

Foto itu diambil di sebuah kafe, dan di sana ada Galang yang tersenyum lebar, diapit oleh Clara dan Fira. Wajahnya tampak bahagia, namun ada sesuatu yang membuat Fira merasakan perasaan yang sulit dijelaskan.

Mungkin itu adalah ekspresi kebahagiaan yang terlalu terbuka. Mungkin itu adalah perasaan yang ia takutkan—bahwa ada sesuatu yang lebih dari sekadar persahabatan di antara mereka.

Fira menatap foto itu dengan cemas. Apakah Clara punya perasaan lebih terhadap Galang? Dan jika benar begitu, apakah kesempatan Galang untuk pergi ke luar negeri adalah jalan untuk melepaskan diri dari hubungan yang jauh ini?

Hari-hari berikutnya, Fira semakin gelisah. Keputusan Galang untuk melanjutkan studi keluar negeri membawa begitu banyak pertanyaan yang belum terjawab. Ia ingin sekali berbicara lebih lanjut dengan Galang, tapi entah mengapa, perasaan ragu semakin mendalam.

Saat Fira memutuskan untuk menghubungi Galang, yang ia harapkan adalah sebuah percakapan yang bisa memberi jawaban pasti tentang masa depan mereka. Tetapi yang terjadi justru sebaliknya.

“Galang,” kata Fira dengan suara yang bergetar. “Aku nggak tahu apa yang harus aku rasakan sekarang. Kamu akan pergi, dan aku masih di sini, sendirian dengan semua pertanyaan ini.”

Galang terlihat bingung, tetapi ia tetap mencoba menenangkan Fira. “Fir, aku tahu ini berat. Aku juga nggak tahu harus gimana, tapi aku ingin kamu tahu bahwa ini bukan berarti aku ingin mengakhiri semuanya.”

Namun, kata-kata itu terasa semakin kabur di telinga Fira. Ia tidak bisa membedakan apakah itu adalah kenyataan atau sekadar penghiburan belaka.

Pada suatu hari, Fira akhirnya mendapat kabar dari teman-teman kampus Galang bahwa ia telah benar-benar diberangkatkan ke luar negeri. Semua berjalan begitu cepat, lebih cepat dari yang pernah mereka bicarakan sebelumnya.

Galang mengirimkan pesan terakhir kepada Fira sebelum berangkat.

Galang: “Fir, aku berangkat malam ini. Aku tahu ini keputusan besar, dan mungkin kamu merasa bingung. Aku cuma ingin kamu tahu bahwa aku masih memikirkan kita. Jangan pernah merasa sendirian.”

Fira membaca pesan itu berulang kali, namun perasaan di dalam hatinya tetap bimbang. Sebuah langkah besar yang bisa menjadi akhir dari hubungan mereka, atau justru menjadi awal dari sesuatu yang baru.

Namun, keesokan harinya, Fira mendapat kejutan yang lebih besar. Sebuah surat tiba di rumahnya, dari Galang.

Surat itu mengungkapkan semua perasaan Galang yang selama ini ia pendam. Ia mengungkapkan bahwa perjalanan ini bukan hanya untuk mengejar impian, tetapi juga untuk menemukan jawaban tentang hubungan mereka. Apakah mereka bisa bertahan, atau apakah ini adalah saatnya untuk melepaskan.

Surat itu membuat Fira menangis. Tidak hanya karena ketidakpastian yang mereka hadapi, tetapi karena dalam setiap kalimatnya, ia bisa merasakan betapa besar cinta Galang yang tetap ada, meski jarak memisahkan mereka.

Bab 7: Ujian Terberat

Masalah besar yang membuat hubungan di ambang perpisahan.

Apakah ini akhirnya?

Salah satu tokoh mungkin menyerah dan meminta perpisahan.

Setelah Galang pergi ke luar negeri, hidup Fira berubah drastis. Setiap hari, ia bangun dengan perasaan kosong. Kehadiran Galang yang dulu selalu ada dalam setiap percakapan, tawa, dan kebersamaan, kini hanya bisa ia rasakan dalam ingatannya.

Hari-hari yang penuh dengan rutinitas menjadi semakin sunyi tanpa ada kabar darinya. Setiap pagi, Fira menatap ponselnya, berharap ada pesan atau panggilan video yang akan menghidupkan kembali suasana hati. Tapi semakin lama, semakin jarang pesan dari Galang yang ia terima.

Pagi itu, Fira duduk di meja makan, memandangi secangkir kopi yang mulai dingin. Hatinya terasa berat, namun ia mencoba untuk tetap positif. Ia tahu, ini adalah bagian dari proses yang harus ia jalani. Namun, ada keraguan yang terus menggoda. Apakah cinta ini bisa bertahan dalam jarak yang begitu jauh?

Tentu saja, awalnya mereka masih sering berkomunikasi. Pesan-pesan manis dari Galang selalu datang, memberikan Fira semangat untuk melanjutkan hari-harinya. Namun, semakin lama, komunikasi mereka mulai berkurang. Galang sibuk dengan studi dan kehidupan barunya, sementara Fira merasa semakin terabaikan.

Pernah suatu malam, Fira mencoba menghubungi Galang untuk bercerita tentang sesuatu yang menyentuh hatinya. Namun, ia tidak mendapat respons yang ia harapkan. Hanya ada balasan singkat yang membuatnya merasa semakin jauh.

Galang: “Maaf, Fir. Aku lagi sibuk. Nanti kita bicarakan.”

Fira menatap pesan itu dengan tatapan kosong. Setiap kata terasa seperti jarak yang semakin menjauhkan mereka. Ia merasa ditinggalkan, meski secara fisik, Galang berada di sisi lain dunia.

Ia tak bisa lagi menghubungi Galang sesering dulu. Fira merasa seperti seorang yang terjebak dalam kehampaan, merindukan seseorang yang seharusnya selalu berada di dekatnya. Tetapi kenyataannya, Galang semakin sibuk dan jarak antara mereka semakin terasa.

Hari-hari berlalu, dan Fira mulai merasakan beban yang semakin berat. Ia mulai bertanya pada dirinya sendiri, apakah ia bisa terus bertahan dengan hubungan ini. Kepercayaan dan harapan yang dulu begitu kuat, kini mulai goyah.

Ia ingin berbicara dengan Galang tentang perasaannya, tapi setiap kali mencoba, ia merasa ragu. Tak ingin menambah beban Galang yang sudah begitu banyak, ia memutuskan untuk menahan perasaan itu sendiri. Namun, semakin lama, ia merasa seperti tenggelam dalam kesedihan yang mendalam.

Suatu hari, Fira menerima kabar yang membuat hatinya semakin berat. Teman-teman kampus Galang mengirimkan pesan yang mengungkapkan bahwa Galang telah menjalin hubungan dekat dengan seorang teman baru di sana. Fira merasa bingung dan terluka, meskipun ia tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi.

Fira merasa tersesat dalam kebingungannya. Dalam sekejap, ia merasa segala harapan dan impian yang ia bangun bersama Galang runtuh. Ia bertanya pada dirinya sendiri, apakah mungkin Galang benar-benar melupakan mereka, atau apakah ia hanya terjebak dalam perasaan sementara.

Namun, ketika ia mencoba untuk menjauhkan diri dan menghindari komunikasi dengan Galang, hatinya justru semakin cemas. Ia merasa bingung, di satu sisi ia ingin melanjutkan hubungan ini, tapi di sisi lain, ia merasa terhimpit oleh keraguan dan rasa sakit.

Keputusan besar yang akhirnya Fira buat adalah untuk berbicara jujur dengan Galang. Ia memutuskan untuk mengungkapkan segala perasaan yang selama ini ia pendam. Ia ingin tahu apakah hubungan mereka masih memiliki masa depan ataukah sudah selesai.

Suatu malam, setelah beberapa minggu tidak ada komunikasi yang berarti, Fira akhirnya menghubungi Galang. Suara Galang terdengar sedikit asing di telinga Fira, namun ia tetap memberanikan diri untuk berbicara.

“Galang, aku perlu tahu,” kata Fira, suaranya bergetar. “Apa yang terjadi antara kita? Aku merasa semakin jauh dari kamu. Kita bahkan jarang berbicara sekarang.”

Galang terdiam sejenak sebelum akhirnya menjawab, “Fir, aku nggak tahu harus gimana. Semua ini terjadi begitu cepat. Aku terjebak dalam banyak hal baru di sini.”

Fira menatap langit malam dengan mata yang basah. “Aku ingin tahu, Galang, apakah kamu masih mencintaiku? Karena aku merasa seperti kamu sudah melupakan kita.”

Setelah beberapa detik keheningan, Galang akhirnya berkata, “Aku masih mencintaimu, Fir. Aku nggak pernah melupakan kita. Tapi aku juga nggak bisa bohong, aku juga butuh waktu untuk beradaptasi dengan kehidupanku di sini.”

Fira merasa seperti ada batu besar yang terangkat dari dadanya. Namun, di sisi lain, ia merasa cemas. “Tapi apakah itu cukup? Waktu… apakah kita bisa menunggu dan bertahan?”

Galang menghela napas panjang. “Aku nggak tahu, Fir. Tapi aku ingin berusaha. Aku ingin kita terus berjuang bersama.”

Setelah percakapan itu, Fira merasa ada secercah harapan yang kembali muncul. Meskipun masih ada banyak ketidakpastian, ia mulai merasakan bahwa hubungan mereka belum sepenuhnya berakhir.

Namun, ujian terbesar belum berakhir. Fira dan Galang harus berjuang lebih keras untuk mempertahankan hubungan ini, terutama dengan jarak yang terus menjadi penghalang. Tetapi di saat-saat penuh keraguan ini, mereka mulai menemukan kembali arti dari cinta yang sesungguhnya—tentang kepercayaan, pengertian, dan kesetiaan yang diuji oleh waktu.

Fira menyadari bahwa cinta sejati bukanlah tentang berapa banyak waktu yang mereka habiskan bersama, tetapi tentang bagaimana mereka memilih untuk tetap mencintai meskipun segala tantangan menghadang.

Bab 8: Jarak Bukan Akhir

Perjuangan untuk memperbaiki hubungan.

Mungkin ada surat, pesan panjang, atau video call penuh emosi.

Keputusan akhir yang akan menentukan nasib hubungan mereka.

Fira duduk di teras rumahnya, memandangi langit yang mulai gelap. Ia merasa sedikit cemas, namun di sisi lain, ada kedamaian yang datang dari pemikirannya yang lebih jernih. Beberapa minggu terakhir, perasaan yang begitu berat kini mulai berkurang. Ia dan Galang telah menjalani masa-masa sulit, namun mereka juga mulai menemukan cara untuk menyesuaikan diri dengan jarak yang memisahkan mereka.

Meskipun begitu, Fira tahu, jalan ini tidak akan selalu mudah. Ada banyak hal yang harus mereka hadapi, banyak ketidakpastian yang masih harus dihadapi, namun ia mulai percaya bahwa jarak bukanlah akhir dari segalanya. Mereka mungkin terpisah, tetapi hati mereka tetap terhubung.

Galang juga merasakan perubahan dalam dirinya. Ia tahu bahwa perasaan yang sempat meragukan, kini semakin jelas. Ia mencintai Fira lebih dari apa pun, dan meskipun ia berada jauh di sana, ia merasa bahwa ia ingin memberikan yang terbaik untuk hubungan mereka.

Suatu malam, setelah berhari-hari tidak ada percakapan mendalam, Galang menghubungi Fira melalui video call. Wajahnya terlihat serius, namun matanya penuh dengan keyakinan.

“Fir,” katanya dengan lembut, “Aku sudah memikirkan ini matang-matang. Aku ingin kita memiliki masa depan bersama, meskipun jarak memisahkan kita.”

Fira terdiam sejenak, mendengarkan setiap kata yang keluar dari mulut Galang. Ia merasa hati kecilnya berbunga, namun ia juga tahu bahwa ini bukanlah keputusan yang mudah.

“Bagaimana kita bisa mewujudkannya, Galang?” tanya Fira dengan ragu, meskipun hatinya penuh dengan harapan.

“Aku ingin kita merencanakan masa depan kita bersama. Aku akan bekerja keras di sini, dan ketika waktu yang tepat tiba, aku akan kembali. Kita bisa membangun hidup bersama.”

Fira bisa merasakan ketulusan dalam suara Galang. Ia tahu bahwa ini bukan sekadar janji kosong. Ini adalah komitmen yang ingin mereka bangun bersama, meskipun banyak hal yang masih harus dipertaruhkan.

Namun, tidak mudah untuk sepenuhnya menghilangkan keraguan yang ada di hati Fira. Meski ia ingin percaya pada Galang dan pada hubungan ini, ada banyak hal yang masih mengganggunya. Beberapa kali, Fira merasa cemas ketika mendengar kabar dari teman-temannya tentang hubungan lain yang menjanjikan. Ia mulai bertanya pada dirinya sendiri, apakah ia bisa tetap setia pada Galang, sementara dunia di sekitarnya terus berubah.

Di saat-saat seperti ini, Fira mencari penghiburan dalam dirinya sendiri. Ia belajar untuk lebih percaya pada hatinya, dan pada cinta yang telah mereka bangun selama ini. Meskipun sulit, ia tahu bahwa jika ia terus menggantungkan harapannya pada ketakutan dan keraguan, ia tidak akan pernah bisa melangkah maju.

Seiring berjalannya waktu, Fira mulai belajar untuk menghargai jarak yang ada. Jarak ini, meskipun sering terasa menyakitkan, ternyata mengajarkan mereka banyak hal tentang cinta, kesabaran, dan kepercayaan.

Fira mulai menemukan kebahagiaan dalam hal-hal kecil, seperti mengirimkan pesan di pagi hari untuk mengingatkan Galang betapa ia mencintainya, atau sekadar berbagi cerita tentang hari-harinya. Begitu pula dengan Galang, ia mulai lebih berkomunikasi dengan Fira, memastikan bahwa meskipun mereka terpisah jarak, ia tidak pernah merasa jauh di hati.

“Aku selalu ada untukmu, Fir. Walaupun tidak di sini, aku akan selalu mendukungmu,” kata Galang dalam salah satu percakapan mereka.

Fira tersenyum mendengar itu. Ia merasa yakin, bahwa hubungan mereka bisa bertahan, bukan karena mereka tidak pernah ada masalah, tetapi karena mereka memilih untuk terus berjuang bersama, apapun yang terjadi.

Meskipun masa depan mereka penuh dengan ketidakpastian, Fira dan Galang mulai merencanakan langkah-langkah kecil yang akan membawa mereka lebih dekat. Mereka mulai berbicara tentang kapan waktu yang tepat bagi Galang untuk kembali, dan bagaimana mereka akan memulai hidup baru bersama. Fira ingin memastikan bahwa, meskipun perjalanan mereka panjang dan penuh rintangan, akhirnya mereka akan berada di tempat yang sama—bersama.

Galang merencanakan untuk mengunjungi Fira pada liburan musim panas. Fira sangat menantikan momen itu, karena meskipun mereka telah melalui banyak hal bersama jarak dan waktu yang memisahkan mereka, bertemu langsung akan menjadi ujian nyata bagi hubungan mereka.

“Sabar ya, Fir,” kata Galang dengan penuh keyakinan, “Aku akan segera kembali. Kita akan melalui ini bersama.”

Fira hanya bisa mengangguk. Ia tahu, perjalanan ini belum selesai. Mereka masih harus berjuang, tetapi untuk pertama kalinya, ia merasa yakin bahwa mereka bisa melewati semua ujian ini. Jarak tidak lagi terasa sebagai penghalang, tetapi sebagai tantangan yang harus mereka hadapi bersama.

Ketika akhirnya tiba saatnya, Fira merasa hatinya dipenuhi dengan kebingungan. Apakah ini benar-benar waktu yang tepat untuk memulai segalanya? Tetapi saat Galang kembali ke kota, mereka bertemu, dan di sana, Fira merasakan kembali kekuatan dari cinta mereka. Meski ada banyak hal yang harus mereka atasi, mereka yakin bahwa jarak ini telah menguatkan mereka, bukan melemahkan.

Mereka saling berpelukan, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Fira merasa bahwa ini adalah awal baru bagi hubungan mereka.***

 

Source: ASIFA HIDAYATI
Tags: #cintajarakjauh#cintasejati#JarakBukanAkhir#Kepercayaan#Keraguan
Previous Post

SELAMANYA MILIKMU

Next Post

LUKA YANG KAMU BERI

Related Posts

JIKA RINDU BISA TERBANG

JIKA RINDU BISA TERBANG

May 11, 2025
“MENJAGA CINTA DI ANTARA KILOMETER”

“MENJAGA CINTA DI ANTARA KILOMETER”

May 10, 2025
SELAMANYA MILIKMU: LANGIT YANG SAMA, CINTA YANG BERBEDA

SELAMANYA MILIKMU: LANGIT YANG SAMA, CINTA YANG BERBEDA

May 9, 2025
KISAH DI BALIK LAYAR

KISAH DI BALIK LAYAR

May 8, 2025
“JARAK MENGUJI, HATI BERTAHAN”

“JARAK MENGUJI, HATI BERTAHAN”

May 7, 2025
RINDU YANG TAK TERUCAP

RINDU YANG TAK TERUCAP

May 6, 2025
Next Post
LUKA YANG KAMU BERI

LUKA YANG KAMU BERI

Saudara Ipar, Kekasih Gelapku

Saudara Ipar, Kekasih Gelapku

cinta yg menghancur kan hati ku

cinta yg menghancur kan hati ku

Top Stories

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

May 17, 2025
KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

May 16, 2025
KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

May 15, 2025

Tentang Kisah Cinta

Kami menyajikan kumpulan novel dan cerpen cinta yang menggambarkan berbagai sisi cinta, dari yang manis hingga yang pahit, dari yang bahagia hingga yang menyayat hati

Connect on Social

© 2024 Kisahcinta.id

No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta

© 2024 Kisahcinta.id