Daftar Isi
Bab 1 Kenangan yang Terlupakan
Waktu seringkali menjadi musuh yang tak tampak, menghapus kenangan dengan cara yang tak pernah diduga. Begitu pun yang terjadi pada Alana. Beberapa tahun yang lalu, hidupnya penuh warna, dipenuhi kebahagiaan yang tak ternilai. Dia merasa dunia miliknya, begitu sempurna, begitu indah, dengan satu sosok yang menjadi segalanya bagi dirinya. Rael. Lelaki itu adalah segala-galanya bagi Alana. Cinta mereka adalah suatu kisah yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Setiap detik bersamanya adalah momen yang berharga, setiap pandangannya adalah janji tak terucap yang terjaga dalam hati mereka berdua. Namun, kenangan indah itu kini hanya menjadi bayang-bayang yang semakin kabur.
Alana duduk di tepi jendela kamar yang menghadap ke taman kecil di rumah keluarganya. Hujan rintik-rintik membasahi bumi, dan udara yang dingin menyusup ke dalam tubuhnya, seolah mengingatkannya pada masa lalu yang kini terasa begitu jauh. Dia menatap pemandangan di luar jendela, seolah mencari sesuatu, entah apa, namun tak ada yang dapat mengisi kekosongan itu. Hujan membawa banyak kenangan—kenangan yang dulu ia anggap akan menjadi kenangan terindah dalam hidupnya.
Nama itu tiba-tiba muncul dalam pikirannya, seperti bisikan yang tak bisa diabaikan. Wajahnya, senyumnya, tawanya, semuanya masih begitu jelas terbayang di benak Alana. Saat mereka pertama kali bertemu di sebuah acara keluarga, Alana masih ingat betapa hatinya berdebar-debar melihat sosok lelaki yang begitu menawan, yang kini menjadi penguasa hatinya. Rael memiliki caranya sendiri untuk membuat dunia Alana berhenti berputar. Dengan tatapan yang begitu penuh arti, dia tahu bagaimana membuat Alana merasa spesial.
Dulu, Rael adalah pria yang penuh perhatian. Setiap kali mereka berdua bersama, waktu seakan berhenti, dan dunia hanya ada mereka berdua. Rael tak pernah ragu menunjukkan cintanya, memberikan perhatian dengan cara yang tak pernah terduga, dan selalu membuat Alana merasa dia adalah satu-satunya yang berarti. Mereka berjalan bersama di bawah hujan, berlari-lari kecil di taman, tertawa lepas tanpa beban. Segala hal terasa begitu sempurna, dan Alana yakin, tak ada yang bisa merusak kebahagiaan mereka.
Namun, segala sesuatu yang indah tak pernah berlangsung selamanya. Tiba-tiba, suatu hari, segalanya berubah. Rael yang dulu selalu ada, yang selalu menguatkan, kini berubah menjadi sosok yang asing di hadapan Alana. Dia merasa ada jarak yang tak terlihat, suatu perasaan yang semakin menggerogoti kedekatan mereka. Rael semakin sering menghindar, sering tidak menjawab pesan atau telepon, dan tiba-tiba lebih sibuk dengan urusan lain yang tak pernah ia jelaskan.
Alana berusaha untuk tidak curiga, berusaha untuk memberi ruang pada Rael, tapi hatinya selalu dihantui perasaan cemas yang tak bisa dibendung. Sampai pada akhirnya, sebuah hari yang tak pernah ia duga, Rael menghilang begitu saja. Tidak ada kata perpisahan, tidak ada alasan yang jelas. Alana hanya menemukan pesan singkat di teleponnya, yang isinya sangat singkat dan tak jelas: “Aku harus pergi, maafkan aku.”
Itulah akhir dari segalanya. Tanpa penjelasan, tanpa alasan yang cukup, Rael meninggalkan Alana begitu saja. Dunia yang dulu dipenuhi dengan kebahagiaan itu runtuh dalam sekejap. Alana merasa seperti disambar petir. Apa yang salah? Mengapa dia pergi? Apa yang terjadi dengan mereka? Semua pertanyaan itu tak pernah terjawab.
Hari-hari berlalu, dan Alana mencoba untuk terus berjalan, meski dengan hati yang hancur. Dia tak pernah bisa melupakan Rael, meskipun dia mencoba sekuat tenaga. Kenangan tentang mereka selalu hadir dalam setiap sudut pikirannya, seperti bayang-bayang yang tak pernah lepas. Momen-momen bersama Rael seperti film yang terulang tanpa henti—perjalanan mereka ke pantai, makan malam di restoran favorit, tawa mereka yang seakan bisa menyembuhkan segala luka. Semua kenangan itu semakin terasa kabur, seolah terlupakan, namun di saat yang sama begitu jelas.
Rael adalah cinta pertamanya, dan kehilangan itu adalah luka yang tak akan pernah sembuh. Alana menyadari bahwa meskipun dia mencoba melanjutkan hidup, tak ada yang bisa menggantikan apa yang Rael beri padanya. Dia berusaha membuka hati untuk orang lain, tetapi tak ada yang bisa menyamai perasaan yang pernah ada. Rael meninggalkan bekas yang dalam dalam hidupnya, sebuah luka yang tak pernah bisa ia tutup.
Kini, saat ia menatap hujan yang membasahi bumi, kenangan itu terasa semakin jauh. Namun, ia tahu bahwa kenangan tentang Rael tak akan pernah benar-benar hilang. Bahkan jika waktu berlalu, bahkan jika ia mencoba untuk melupakan, bayangan tentang Rael akan tetap hidup dalam setiap helaan nafasnya.
Alana menutup matanya, merasakan setiap tetes hujan yang jatuh di jendela, seolah setiap tetes hujan itu membawa seribu kenangan yang tak bisa ia lupakan. Dan untuk pertama kalinya, setelah bertahun-tahun, dia merasakan sebuah perasaan yang menggelitik—perasaan bahwa mungkin, hanya mungkin, Rael akan kembali. Tapi apakah dia siap untuk menghadapi kenyataan itu? Ataukah kenangan itu akan tetap menjadi kenangan yang terlupakan?
Satu hal yang pasti, meskipun hujan berhenti, kenangan tentang Rael tidak akan pernah berhenti menggema dalam hatinya.
Bab 2 Dendam yang Tertanam
Sejak kepergian Rael, dunia Alana seakan berubah menjadi kelabu. Setiap sudut rumah yang dulu dipenuhi tawa dan kebahagiaan bersama kekasihnya itu kini terasa hampa dan menyesakkan. Kenangan-kenangan indah mereka yang dulu seolah terjebak dalam ruang yang tak bisa dijangkau, menguap perlahan menjadi bayangan yang kian pudar. Alana berusaha keras untuk menghapus jejak Rael dalam hidupnya, tetapi semakin keras ia berusaha, semakin dalam luka itu menganga.
Rasa sakit yang ia rasakan akibat pengkhianatan Rael seperti racun yang menyusup ke dalam nadinya, membuat hatinya membeku, dan pikirannya gelap. Keputusan Rael untuk meninggalkannya tanpa kata, tanpa penjelasan, tanpa sedikit pun niat untuk berjuang untuk hubungan mereka, adalah luka yang sulit ia sembuhkan. Ada sesuatu yang lebih dari sekadar cinta yang hilang, ada perasaan dikhianati yang menggerogoti setiap sel dalam tubuhnya.
Alana mencoba untuk melanjutkan hidup. Ia kembali bekerja dengan penuh fokus, berusaha menyibukkan diri agar tak terjebak dalam kenangan. Namun, dalam setiap kesibukannya, hatinya selalu berteriak, menyebut nama Rael dalam diam. Mungkin saja, sebagian dari dirinya masih mencintainya. Namun, rasa itu kini tercampur dengan kebencian yang membara. Bagaimana mungkin ia bisa memaafkan seseorang yang begitu mudah meninggalkannya, sementara ia sendiri rela bertahan dalam hubungan yang penuh harapan dan janji?
Hari-hari berlalu, dan dalam sunyi malam, ketika dunia terlelap, Alana sering kali terbangun dengan mata yang basah, bukan karena air mata, tetapi karena amarah yang belum terungkapkan. Pikirannya sering kembali kepada saat-saat terakhir bersama Rael. Saat mereka berjalan berdua di taman yang penuh dengan bunga-bunga indah, tertawa bersama di bawah langit biru, dan berbicara tentang masa depan yang penuh harapan. Rael telah mengingkari segala yang mereka impikan.
Namun, ada satu hal yang tak pernah bisa ia lupakan—Rael pernah berkata, *”Aku tidak bisa hidup tanpamu, Alana. Kau adalah segalanya bagiku.”* Kata-kata itu terus terngiang dalam ingatannya. Bagaimana mungkin seseorang yang mengatakan hal itu, tiba-tiba meninggalkannya begitu saja? Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa Rael memilih untuk menghilang tanpa memberi penjelasan apa pun?
Alana merasa terperangkap dalam lingkaran pertanyaan yang tak pernah menemukan jawaban. Dan di situlah dendamnya mulai tumbuh. Dendam itu bukan hanya tentang pengkhianatan yang ia terima, tetapi juga tentang kehilangan dirinya sendiri dalam proses cinta yang telah berakhir dengan begitu brutal. Rael telah menghancurkan dirinya, menghancurkan impian dan harapan mereka, dan membuatnya merasa tidak berharga. Semakin lama ia merenung, semakin ia menyadari bahwa pengkhianatan itu bukan hanya mengubah hidupnya, tetapi juga cara pandangnya terhadap cinta itu sendiri.
Dendam Alana tidak hanya berakar dari rasa sakit yang ditinggalkan Rael, tetapi juga dari rasa kehilangan kontrol atas hidupnya. Rael telah merenggut haknya untuk mengetahui kebenaran, dan untuk itu, ia merasa dipermainkan. Ia ingin Rael merasakan apa yang ia rasakan—rasa hampa, sakit, dan kebingungan yang tak pernah berakhir.
Ia tahu, untuk menyembuhkan luka itu, ia harus membuat Rael merasakan ketidakberdayaannya, harus membuatnya tahu bahwa ia, Alana, yang dulu begitu penuh kasih, kini telah berubah menjadi sosok yang tak dapat dikenali. Dengan hati yang penuh kebencian, Alana mulai merencanakan langkah-langkah untuk membalas dendam. Ia akan membuat Rael merasakan apa yang telah ia rasakan—kesendirian yang tak tertahankan.
Tapi balas dendam bukanlah hal yang mudah. Alana menyadari bahwa itu bukan sekadar tentang melukai Rael, tetapi tentang menghancurkan segala sesuatu yang pernah menjadi milik mereka bersama. Ia harus masuk ke dalam dunia Rael dengan cara yang tak terduga, menyusup ke dalam kehidupannya dengan ketenangan yang menipu, sampai akhirnya dia dapat menghancurkan segala sesuatu yang telah Rael banggakan.
Namun, di balik dendam yang tumbuh dalam dirinya, ada suara kecil yang mengatakan bahwa ini semua bisa diselesaikan dengan cara yang berbeda. Suara yang mencoba meyakinkan Alana bahwa ada lebih banyak hal dalam hidup ini daripada sekadar membalas rasa sakit dengan rasa sakit. Tapi suara itu selalu dibungkam oleh amarah yang menggelegak di dalam dada Alana. Dendamnya sudah terlalu dalam, terlalu kuat untuk dilawan.
Hingga suatu malam, Alana memutuskan untuk kembali bertemu dengan Rael, untuk pertama kalinya sejak kepergiannya. Ia tahu bahwa ini adalah langkah pertama dari permainan yang telah ia rencanakan. Rael harus merasakan ketidakberdayaannya, harus merasakan bagaimana rasanya kehilangan segalanya, termasuk dirinya. Dan Alana akan menjadi orang yang memberi pelajaran itu kepadanya, dengan cara yang sangat menyakitkan.
Bab 3 Pertemuan Kembali
Hari itu, langit cerah tanpa awan, tetapi hati Alana terasa begitu berat. Sudah bertahun-tahun sejak dia terakhir kali bertemu dengan Rael, dan saat ini, nasib seolah mempertemukan mereka kembali. Dia tidak pernah mengharapkan hal itu terjadi, tetapi ketika undangan untuk menghadiri acara amal yang diselenggarakan oleh Rael datang ke mejanya, entah mengapa dia merasa harus hadir. Mungkin untuk melihat sejauh mana pria itu telah berubah, atau sekadar untuk melampiaskan rasa dendam yang telah lama tertanam. Namun, apapun alasannya, yang jelas hari ini adalah hari yang tak akan terlupakan.
Alana berdiri di depan cermin besar di apartemennya, mengamati penampilannya yang tampak tenang dan anggun. Gaun hitam elegan yang dipilihnya memberi kesan percaya diri yang menutupi gejolak emosi di dalam hatinya. Rambutnya disisir rapi, dan wajahnya dihiasi riasan minimalis yang menunjukkan ketegasan tanpa sedikit pun menunjukkan kegelisahan. Namun di balik penampilannya yang tenang, hatinya bergejolak. Setiap detik menuju acara itu, pikirannya dipenuhi bayang-bayang masa lalu—kenangan manis yang kini terasa sangat pahit.
Sampai akhirnya, dia tiba di gedung acara. Bangunan megah itu dipenuhi cahaya hangat yang menyilaukan mata, menciptakan kesan kemewahan yang tak terhingga. Alana melangkah memasuki aula dengan langkah mantap, meski di dalam dadanya perasaan cemas mulai merayap. Acara amal ini adalah ajang bagi orang-orang berkelas untuk menunjukkan status mereka, dan Rael tentu saja menjadi pusat perhatian. Alana sudah tahu bahwa pria itu akan hadir, karena ini adalah proyek besar yang sangat dia banggakan. Seiring dengan langkahnya, Alana bisa merasakan aura Rael di antara kerumunan orang—kehadirannya yang memancarkan pesona dan kekuatan yang luar biasa.
Saat matanya mencari-cari di antara tamu yang hadir, tak disangka, Rael tiba-tiba muncul di hadapannya. Pandangan mereka bertemu, dan Alana merasakan sesuatu yang aneh. Rael terlihat tak banyak berubah. Pria itu tetap tampan, dengan potongan rambut yang rapi dan senyum tipis yang sering kali ia tunjukkan. Namun, ada sesuatu yang berbeda—ada penyesalan yang terpancar jelas di mata pria itu. Meski begitu, Alana tidak ingin memberi ruang untuk perasaan itu. Baginya, semua yang terjadi di masa lalu sudah berlalu, dan ia lebih memilih untuk menjaga jarak daripada memperbaiki hubungan yang sudah lama hancur.
Rael berjalan mendekatinya, dan Alana merasa jantungnya berdetak lebih cepat. Bagaimana mungkin begitu banyak emosi datang begitu saja, setelah semua waktu yang telah berlalu? Namun, dia berusaha untuk tetap tenang, menyembunyikan perasaan yang mungkin dapat melukai dirinya sendiri.
“Alana,” suara Rael terdengar rendah, hampir seperti bisikan. “Aku tidak pernah menyangka akan bertemu denganmu di sini.”
Alana menatapnya dengan dingin. “Kau benar. Aku pun tidak menyangka akan bertemu denganmu setelah semua yang terjadi,” jawabnya tegas, walaupun di dalam hatinya ada kekosongan yang sulit untuk dijelaskan.
Rael terdiam sejenak, seolah mencoba mencari kata-kata yang tepat. “Aku… aku minta maaf atas segala yang terjadi. Aku tahu kata-kata tidak bisa menghapus apa yang sudah terjadi, tapi aku ingin kamu tahu, aku benar-benar menyesal.”
Alana terkekeh pelan. “Menyesal? Apa itu yang kau rasakan sekarang? Setelah bertahun-tahun, setelah semua yang kau lakukan, kau baru merasa menyesal?”
Rael menggigit bibirnya, wajahnya penuh kesakitan. “Aku tidak pernah bermaksud untuk melukai hatimu, Alana. Keputusan itu… keputusan yang aku buat, itu bukan yang aku inginkan. Tapi aku terjebak dalam situasi yang tidak bisa aku hindari.”
Alana memandangnya dengan tajam, tubuhnya terasa kaku oleh kata-kata Rael. “Situasi yang tidak bisa kamu hindari? Apakah itu alasan untuk menghancurkan hidupku? Apakah itu alasan untuk meninggalkanku begitu saja tanpa penjelasan?”
Rael menggelengkan kepala, jelas kesulitan untuk menyampaikan kata-kata yang bisa menjelaskan semua yang telah terjadi. “Aku tahu tidak ada kata-kata yang bisa memperbaiki ini. Tapi aku berharap, jika ada kesempatan, aku ingin menjelaskan semuanya kepadamu. Apa yang terjadi padaku waktu itu…”
Alana menatapnya dengan tatapan kosong. “Rael, sudah cukup. Aku tidak butuh penjelasan dari seseorang yang meninggalkanku tanpa alasan. Aku tidak butuh janji-janji kosong. Aku sudah cukup terluka.”
Dengan kata-kata itu, Alana berbalik dan melangkah pergi, meninggalkan Rael yang masih berdiri terdiam di tempatnya. Di dalam hatinya, Alana tahu bahwa pertemuan ini hanyalah awal dari sebuah perjalanan yang panjang. Dendam yang ia simpan selama bertahun-tahun tidak akan begitu saja padam. Sebuah pelukan dingin yang ia berikan pada Rael adalah cermin dari betapa dalam luka yang ada dalam hatinya. Namun, dalam diamnya, Alana juga merasa sebuah keinginan yang menggelora—apakah mungkin ada cara untuk melupakan semuanya? Ataukah pertemuan ini hanya akan memperburuk segala sesuatunya
Dengan langkah yang mantap, Alana melangkah keluar dari aula, meninggalkan segala kenangan dan perasaan yang berkecamuk di dalam hatinya.
Bab 4 Permainan Balas Dendam
Alana berjalan menyusuri lorong kantor yang sibuk, matanya terpaku pada layar ponselnya, meskipun di sekitarnya banyak orang yang berlalu-lalang. Hatinya penuh dengan rasa yang sulit diungkapkan—campuran antara kemarahan dan kebencian yang semakin memuncak. Setiap langkah yang ia ambil menuju ruang rapat, dia merasakan beban yang lebih berat, bukan hanya karena rencananya yang akan segera dimulai, tetapi juga karena setiap kenangan tentang Rael yang kembali mengemuka.
Dendam ini bukan hanya tentang pengkhianatan yang ia rasakan di masa lalu, tetapi juga tentang luka yang tak pernah sembuh. Wajah Rael, senyumnya, dan cara dia meninggalkannya dengan begitu saja, tanpa memberi penjelasan apapun, membekas begitu dalam dalam diri Alana. Ia menyimpan rasa sakit itu dengan rapat, menunggu saat yang tepat untuk membalaskan semuanya. Kini saat itu telah tiba.
Ketika Rael datang ke perusahaan tempat Alana bekerja untuk urusan bisnis, Alana melihatnya hanya sebagai alat. Sebuah kesempatan yang harus dia manfaatkan untuk menghancurkan segala hal yang Rael bangun selama ini. Ia tahu betul bagaimana cara membuat Rael merasa terpojok, bagaimana cara merusak citra baik yang selama ini dia bangun. Semua itu bukan hanya untuk membalaskan dendam pribadi, tetapi juga untuk membuatnya merasakan ketidakberdayaan yang sama seperti yang Alana rasakan dulu.
Hari itu, ketika Rael masuk ke ruang rapat dengan wajah penuh percaya diri, Alana sudah siap dengan strategi yang matang. Ia memandang pria itu dengan tatapan tajam, meskipun di dalam hatinya ada rasa getir yang sulit ia tahan. Rael menatapnya dengan senyum tipis, seakan mengingatkan Alana bahwa dia masih mengenalnya, masih ingat akan masa lalu mereka. Namun, senyum itu hanya menyakiti Alana lebih dalam. Rael tak tahu apa yang telah dia lakukan padanya.
“Alana,” ujar Rael, dengan nada yang terlalu ramah. “Sudah lama sekali kita tidak bertemu.”
Alana tersenyum kecut, suaranya tenang namun penuh dengan aura kebencian yang terpendam. “Iya, Rael. Sudah lama sekali. Saya rasa banyak yang sudah berubah,” jawabnya, menekankan kata ‘berubah’ dengan sengaja.
Rael hanya tersenyum lebih lebar, tidak menyadari bahwa setiap kata yang keluar dari bibir Alana semakin mengikis sedikit rasa hormatnya terhadapnya. Di dalam hati Alana, ada api yang membakar, dan ia tahu bahwa kali ini Rael tidak akan mudah lepas dari balas dendamnya. Alana memutuskan untuk memulai permainan ini dengan hal-hal kecil yang akan memukul telak Rael tanpa dia sadari.
Selama pertemuan itu, Alana tidak menunjukkan ketertarikan pada apa yang dibicarakan. Dia lebih fokus pada cara dia bisa memanfaatkan segala informasi dan peluang untuk menjatuhkan Rael. Dia menyelingi rapat dengan pertanyaan yang tampaknya tidak penting, namun sebenarnya adalah jebakan halus yang membuat Rael harus menjelaskan hal-hal yang tidak perlu. Di sisi lain, ia mencatat kekurangan-kekurangan dalam proyek yang dibawa oleh Rael, mempersiapkan diri untuk membuatnya terlihat lemah di hadapan rekan-rekannya.
Namun, permainan balas dendamnya baru dimulai. Setelah rapat, Alana membuat rencana untuk menebar keraguan di antara para kolega Rael. Ia menyebarkan desas-desus tentang proyek Rael yang sedang berlangsung—menggali lebih dalam tentang potensi kegagalan yang bisa saja terjadi jika Rael tidak melakukan revisi besar. Ia melibatkan pihak-pihak yang bisa memberikan kesaksian palsu tentang ketidakmampuan Rael, menciptakan celah kecil yang bisa menyusup menjadi lubang besar.
Setiap hari, Alana terus mengerjakan rencananya dengan sabar, bermain dengan kecerdikannya untuk merusak Rael perlahan-lahan. Dia tahu betul cara merusak kepercayaan diri seseorang dengan menyuntikkan ketidakpastian. Dan Rael, yang dulunya begitu yakin akan segalanya, kini mulai merasakan ada yang tidak beres. Ia merasakan adanya tekanan yang semakin berat dalam pekerjaannya, namun tidak bisa menemukan sumber dari masalah itu. Semakin banyak orang yang memberikan saran untuknya, semakin dia merasa dikelilingi oleh keraguan. Padahal, semua itu adalah hasil dari permainan licik Alana.
Namun, di tengah semua permainan ini, ada sesuatu yang mulai Alana rasakan. Setiap kali dia melihat wajah Rael, ada sesuatu yang menggugah hatinya. Rasa sakit yang dulu pernah ia rasakan kini berubah menjadi semacam penyesalan, meskipun ia berusaha keras untuk menolaknya. Alana mulai meragukan apakah balas dendam ini benar-benar akan membuatnya bahagia. Tetapi rasa sakitnya terlalu dalam, dan dia tidak bisa menghentikan apa yang sudah dimulai.
Rael, yang merasa dikhianati dalam pertemuan-pertemuan bisnis mereka, mencoba mencari tahu siapa yang telah mengatur semuanya. Dia mulai mengingat kembali masa lalu mereka, mencoba menyusun potongan-potongan kenangan yang dulu tak terungkap. Hatinya penuh dengan penyesalan, dan dia tahu bahwa dia harus meminta maaf kepada Alana, meskipun itu terasa mustahil. Namun, Alana yang dingin dan penuh perhitungan tak memberi ruang bagi penyesalan Rael.
Ketika mereka kembali bertemu di sebuah acara perusahaan, Rael mencoba berbicara dengan Alana, namun dia hanya tersenyum dingin, menunjukkan ketegaran yang lebih dalam daripada sebelumnya. “Rael, kamu sudah terlambat,” katanya, suaranya tidak bergetar sedikit pun. “Sekarang, kamu hanya bagian dari masa lalu yang harus dilupakan.”
Dan di balik setiap kata itu, Rael merasakan kekosongan yang semakin mengancam. Alana bukan hanya telah menjauh, tetapi dia juga sudah menutup pintu hati mereka untuk selamanya.
Dendam ini belum selesai, dan Alana tahu betul bahwa ia masih memiliki banyak langkah untuk membuat Rael merasakan seluruh sakit yang ia rasakan dulu. Tetapi, di saat yang sama, ia juga mulai merasa terjebak dalam permainan ini—terjebak antara kebencian yang tak kunjung padam dan perasaan yang semakin sulit ia kontrol.
Bab 5 Pelukan Dingin
Rael berdiri di hadapan pintu yang kokoh, dengan perasaan yang berat. Ia menatap pintu rumah yang familiar—rumah yang pernah mereka tinggali bersama, rumah yang penuh dengan kenangan indah yang kini terasa seperti kenangan asing. Hati Rael berdebar kencang, setiap detak terasa seperti suara petir yang mengoyak ketenangan. Ini adalah pertemuan yang tidak bisa ia hindari, namun ia juga tak pernah benar-benar siap untuknya.
Dua tahun berlalu sejak dia meninggalkan Alana dengan alasan yang belum sempat dia jelaskan. Rael tahu bahwa saat itu adalah saat yang tepat untuk memperbaiki segala kesalahannya. Setiap malam, wajah Alana menghantui mimpinya, dan rasa bersalah terus merongrongnya. Bagaimana bisa dia begitu mudah meninggalkan wanita yang begitu ia cintai? Tapi, tak ada pilihan lain pada saat itu. Semua keputusan yang ia ambil terpaksa untuk melindungi orang yang ia sayangi, meski itu berarti harus mengorbankan dirinya sendiri dan menyakiti Alana.
Kini, saat Alana hadir kembali dalam hidupnya, Rael merasa seperti pria yang terpenjara dalam kesalahannya sendiri. Dia tahu bahwa dia tidak layak untuk meminta pengampunan, namun hatinya tetap berteriak untuk mendapatkan kesempatan itu. Rael melangkah maju, mengetuk pintu dengan lembut, dan menunggu sejenak. Tidak ada suara yang datang, namun ia merasa ada sesuatu yang mengganjal di dalam dirinya.
Pintu akhirnya terbuka perlahan, dan Alana muncul di ambang pintu. Penampilannya tidak banyak berubah, meski ada kesan yang berbeda—sikapnya yang lebih dingin, matanya yang menyimpan luka yang mendalam. Rael bisa merasakannya, dan hatinya terasa sesak. Alana memandangnya tanpa ekspresi, matanya yang tajam menatapnya seakan tidak mengenali siapa dirinya lagi.
“Rael,” suara Alana terdengar datar, namun dalam nada itu tersirat begitu banyak pertanyaan yang belum terjawab. “Apa yang kamu inginkan?”
Rael menatapnya dalam-dalam, mencoba menemukan kata-kata yang tepat untuk membuka percakapan ini. Rasa takut menguasai dirinya, takut jika setiap kata yang keluar malah semakin menyakitkan Alana. Namun, dia tahu, ini adalah satu-satunya kesempatan untuk mengungkapkan segalanya.
“Aku… aku ingin meminta maaf,” ujar Rael terbata, suaranya terdengar serak. “Aku tahu, aku tidak berhak untuk meminta maaf setelah apa yang telah kulakukan, tapi Alana, aku… aku benar-benar menyesal. Aku tidak pernah bermaksud untuk menyakitimu. Setiap detik tanpa kamu, aku merasa kosong.”
Alana tidak segera menjawab. Hanya ada hening yang melingkupi mereka berdua. Rael bisa merasakan ketegangan yang mengalir di udara, sebuah ketidaknyamanan yang begitu tebal. Alana menghela napas, lalu menatap Rael dengan pandangan yang sulit untuk dibaca. Wajahnya keras, tak menunjukkan emosi apapun, seolah dia sudah mengubur perasaannya jauh di bawah permukaan.
“Apa yang kamu harapkan, Rael?” Alana akhirnya berbicara, suaranya penuh dengan kepedihan yang tak terucapkan. “Apa yang kamu pikirkan bisa terjadi sekarang? Setelah semua yang telah terjadi, setelah kamu pergi tanpa jejak, setelah semua waktu yang terbuang sia-sia, kamu datang dan meminta maaf begitu saja?”
Rael terdiam, hatinya semakin terhimpit. Ia tahu, kata-katanya tidak akan bisa menghapus luka yang telah ia sebabkan. Tetapi, dia harus mencoba. Dia harus melawan rasa takutnya, karena ini adalah kesempatan terakhir untuk menjelaskan semuanya.
“Aku tahu aku tidak berhak untuk meminta apapun darimu,” kata Rael dengan suara yang sedikit bergetar. “Tapi aku tidak bisa hidup dengan rasa bersalah ini lebih lama lagi. Alana, aku tidak pernah berhenti mencintaimu. Aku mungkin telah mengkhianatimu, tapi aku… aku tidak pernah berhenti berharap kita bisa bersama lagi.”
Alana tertawa, namun tawa itu terasa lebih seperti perasaan pahit yang menyakitkan daripada kebahagiaan. “Cinta?” Alana mengulangi kata itu dengan nada yang kecut. “Cinta itu sudah mati, Rael. Kamu sudah membunuhnya dengan keputusanmu. Dengan kepergianmu yang tidak memberi penjelasan apapun. Kamu hanya pergi, meninggalkan aku dengan segala harapan kosong.”
Rael merasa tubuhnya bergetar mendengar kata-kata Alana. Kata-kata itu seperti pisau yang menusuk langsung ke jantungnya. Dendam yang terbakar di dalam diri Alana bukan hanya berasal dari pengkhianatan yang dia lakukan, tapi juga dari kebisuan yang dia pilih ketika pergi. Tidak ada alasan, tidak ada penjelasan. Hanya kepergian yang meninggalkan luka.
Rael ingin mengulurkan tangan untuk menyentuh Alana, berharap dia bisa merasakan sedikit saja kehangatan yang dulu pernah ada. Namun, Alana mundur selangkah, menjaga jarak yang tidak bisa ia jembatani. Mata Alana menatapnya dengan tajam, seolah menilai apakah dia benar-benar layak untuk mendapatkan maafnya.
“Aku tidak ingin mendengar kata-kata kosong dari kamu, Rael,” kata Alana, suaranya seperti es yang membeku. “Aku sudah cukup menderita. Kamu menginginkan pengampunan, tapi kamu tahu apa yang kamu lakukan padaku lebih kejam daripada pengkhianatan itu sendiri. Kamu meninggalkan aku dalam kegelapan, dan sekarang, kamu ingin datang dan mengharapkan segalanya kembali normal? Tidak, Rael. Itu tidak akan pernah terjadi.”
Alana menatapnya satu kali lagi, lalu menambahkan, “Pelukanmu tidak akan bisa menghangatkanku lagi. Pelukanmu itu dingin, sama seperti hatimu.”
Rael merasa dirinya terdiam. Apa yang bisa dia katakan lagi? Kata-kata itu telah mengubur semua harapan yang sempat ia bangun. Pelukan dingin Alana—begitulah yang dia rasakan. Dia tidak bisa lagi memaksa diri untuk mendapatkan sesuatu yang tidak mungkin terjadi. Dendam Alana bukan hanya soal apa yang ia lakukan, tetapi juga bagaimana ia membiarkan Alana merasakan kesakitan yang tak terhingga.
Akhirnya, dengan perlahan, Rael mundur. Tidak ada kata yang keluar lagi dari mulutnya. Hanya ada kesunyian yang menggantung di udara. Pelukan dingin itu telah menutup pintu bagi masa depan mereka. Sebuah akhir yang mungkin terlalu pahit untuk diterima, namun juga terlalu nyata untuk dilawan.
Bab 6 Mengungkap Kebenaran
Alana berjalan perlahan menyusuri koridor rumah besar yang kini terasa asing baginya. Suasana sepi, hanya terdengar langkah sepatu hak tinggi yang beradu dengan lantai marmer. Sejak kecil, rumah ini adalah tempatnya bertumbuh, penuh dengan kenangan indah bersama orang-orang yang dia cintai, terutama Rael. Namun, setiap sudut kini terasa seperti lukisan yang kabur, seolah-olah dunia yang dulu dia kenal telah menghilang. Rael, yang dulu begitu dekat dengannya, kini hanya sosok yang menghantui setiap langkahnya, menyisakan luka yang begitu dalam.
Ketika dia membuka pintu ruang tamu, Alana melihat Rael duduk di sudut ruangan, menatap lurus ke luar jendela besar, dengan ekspresi wajah yang kosong. Sudah bertahun-tahun sejak pertemuan terakhir mereka, namun wajahnya masih sama. Hanya matanya yang terlihat lebih lelah, lebih banyak menanggung beban yang tak terucapkan. Rael yang dulu penuh semangat kini tampak seperti bayangan dari pria yang dia kenal.
“Alana,” Rael akhirnya memecah keheningan, suaranya rendah dan penuh penyesalan. “Kau datang.”
Alana menatapnya dengan tatapan tajam, tidak berkata-kata. Hatinya bergejolak, tetapi dia berusaha menahan emosi yang hampir pecah. Dia tidak bisa melupakan betapa dalamnya luka yang ditinggalkan Rael, bagaimana pengkhianatan itu telah menghancurkan segalanya—cinta, harapan, dan masa depan yang mereka impikan bersama. Dia ingin Rael merasakan apa yang dia rasakan, ingin Rael tahu betapa sakitnya kehilangan.
“Apa yang kau inginkan dariku, Rael?” Suara Alana terketar-ketar, meskipun dia berusaha keras untuk terdengar tegas. “Setelah semua yang kau lakukan, apa yang bisa kau katakan untuk membuat semuanya kembali seperti semula?”
Rael menghela napas panjang, seolah-olah beban yang ada di pundaknya terlalu berat untuk ditanggung sendirian. “Aku tahu aku tidak bisa mengubah masa lalu,” katanya pelan, wajahnya penuh penyesalan. “Tapi aku ingin kau tahu, aku tidak pernah berniat menyakitimu.”
Alana menyeringai sinis. “Tidak berniat?” Dia mendekat, berdiri tepat di depan Rael. “Lalu apa yang kau sebut dengan meninggalkanku tanpa kata, tanpa alasan? Apa yang kau sebut dengan menghilang begitu saja dari hidupku, membuatku bertanya-tanya apa yang salah dengan diriku?”
Rael menundukkan kepala, seolah tak mampu menatapnya lebih lama. “Aku terpaksa, Alana.” Suaranya terdengar rapuh, seakan setiap kata yang keluar dari bibirnya adalah beban yang sangat berat. “Aku terpaksa meninggalkanmu karena… karena ada hal-hal yang tidak bisa aku katakan.”
Alana merasa jantungnya berdetak lebih cepat. Sebuah kilasan rasa penasaran mulai muncul, menyusup ke dalam pikirannya yang keras dan tertutup. “Apa maksudmu dengan itu?” tanyanya tajam. “Apa yang lebih penting dari diriku, Rael? Apa yang lebih penting dari cinta yang kita miliki?”
Rael mengangkat wajahnya, matanya yang dulu penuh gairah kini dipenuhi dengan kesedihan. “Ada orang yang mengancam keluargaku, Alana. Mereka mengancam akan menghancurkan semuanya—orang tuaku, adikku, semuanya—jika aku tidak meninggalkanmu. Mereka mengancam akan membunuh mereka semua. Aku tidak punya pilihan selain untuk pergi.”
Alana terdiam, mulutnya terasa kering. Rasa kebingungan dan rasa sakit yang mendalam bercampur aduk di hatinya. “Kenapa kau tidak memberitahuku, Rael?” Dia melangkah mundur, merasakan dadanya sesak. “Kenapa kau tidak memberitahuku apa yang sedang terjadi? Aku bersedia melawan bersama denganmu. Kita bisa melewati apapun, asal kita bersama.”
Rael menggigit bibir bawahnya, menahan air mata yang hampir jatuh. “Aku tidak ingin kau terlibat. Aku tidak ingin kau terjerat dalam dunia yang gelap ini, Alana. Aku mencintaimu, dan aku pikir aku bisa melindungimu dengan cara itu. Aku pikir, jika aku pergi, kau akan aman.”
Alana tertunduk, hatinya dipenuhi rasa campur aduk yang tak bisa dia ungkapkan. Dia merasa marah, tapi di sisi lain, ada rasa simpati yang mulai tumbuh, meskipun itu terasa sangat kecil dan rapuh. “Jadi… selama ini aku hidup dalam kebohongan, Rael?” Suaranya bergetar, tapi dia berusaha untuk tetap tegas. “Selama ini, aku berpikir kau hanya mengkhianatiku tanpa alasan. Aku bahkan mengutuk diriku sendiri karena mencintaimu.”
Rael menunduk lagi, air mata mulai membasahi pipinya. “Aku tidak ingin kau merasa seperti itu. Aku menderita lebih dari yang bisa kau bayangkan. Setiap hari, aku berpikir tentangmu, tentang apa yang kita miliki. Tapi aku takut, Alana. Aku takut kehilanganmu, aku takut kau akan menjadi sasaran dari semua yang sedang terjadi.”
Alana menutup matanya sejenak, mencoba untuk menenangkan dirinya. Segala rasa marah dan kecewa yang selama ini dia pendam mulai mencair sedikit demi sedikit, meskipun luka itu masih dalam dan perih. “Kenapa baru sekarang kau menceritakan semua ini?” tanyanya, suara serak. “Kenapa kau tidak memberitahuku sejak dulu?”
Rael mengangkat wajahnya, menatapnya dengan penuh harapan. “Karena aku tidak ingin mengingatkanmu pada penderitaan itu. Aku hanya ingin kau tahu, bahwa aku selalu mencintaimu. Mungkin aku telah salah dalam banyak hal, tapi satu hal yang pasti—aku tidak pernah menginginkan semua ini terjadi.”
Alana menghela napas panjang, hatinya bergejolak. Dia merasa bingung, terperangkap antara rasa sakit yang mendalam dan kenyataan yang baru saja terungkap. “Aku tidak tahu apa yang harus aku rasakan, Rael. Aku merasa seperti… aku telah membuang waktuku untuk kebencian ini. Tapi di sisi lain, aku merasa seperti hatiku terlalu rusak untuk bisa memaafkanmu.”
Rael menatapnya dengan penuh kesedihan. “Aku mengerti, Alana. Aku tidak berharap untuk mendapatkan maaf darimu. Aku hanya ingin kau tahu kebenarannya.”
Alana terdiam, merenung dalam-dalam. Saat itu, dia tahu bahwa kebenaran ini tidak akan membuat segalanya kembali seperti semula. Namun, setidaknya dia tidak lagi hidup dalam bayang-bayang kebohongan yang selama ini mengurungnya. Mungkin, suatu hari nanti, dia bisa menemukan cara untuk menyembuhkan luka-luka di hatinya. Tapi itu tidak akan mudah.
Bab 7 Menyembuhkan Luka
Hari itu, angin sore menghembuskan sejuk yang berbeda. Alana berjalan pelan di sepanjang jalan setapak yang biasa ia lalui ketika masih bersama Rael. Sekarang, setiap langkahnya terasa seperti beban, setiap detik berlalu membawa kenangan yang terpendam jauh di dalam hati. Luka itu masih ada, meskipun sudah bertahun-tahun berlalu. Namun, hari ini sesuatu terasa berbeda. Mungkin karena kesunyian yang sudah terlalu lama menemaninya, atau karena pertemuan itu dengan Rael beberapa waktu lalu, yang kini membuat hatinya semakin terombang-ambing.
Alana menatap langit yang mulai memerah, menyadari betapa banyak waktu yang telah ia lewatkan dalam keputusasaan. Dendam yang selama ini ia pelihara ternyata tidak memberikan kedamaian. Sebaliknya, ia merasa semakin kosong. Sebagai seorang wanita yang dulu mencintai Rael dengan seluruh jiwanya, Alana tak pernah menyangka bahwa proses penyembuhan akan menjadi perjalanan yang lebih panjang dan lebih sulit daripada yang ia bayangkan.
Di balik semua rasa sakit yang ia rasakan, ada satu hal yang mulai muncul di dalam hatinya: pertanyaan yang tak pernah ia jawab. **Apakah aku benar-benar ingin melanjutkan hidup ini dengan membawa beban kebencian yang tak pernah selesai?**
Beban itu mulai terasa semakin berat, tak hanya di tubuhnya, tetapi juga di pikirannya. Alana tahu, hidupnya telah dibangun atas batu-batu dendam yang rapuh. Begitu banyak energi yang telah ia habiskan untuk membenci Rael, untuk merasa lebih kuat dari pengkhianatannya. Namun, ia mulai merasa lelah dengan rasa itu—rasa yang hanya memberinya kesakitan dan penyesalan.
“Rael… apakah kau tahu betapa sakitnya kehilanganmu?” gumam Alana pelan, menatap langit yang semakin gelap. “Aku ingin melupakanmu, tapi sepertinya, aku tidak bisa.”
Saat itu, sebuah suara lembut terdengar di belakangnya. Alana menoleh, dan di sana, berdiri Rael dengan tatapan yang penuh kejujuran. Wajahnya tampak lebih matang, lebih dalam, dan lebih penuh penyesalan daripada yang ia ingat. Tapi, meskipun dia sudah berubah, rasa sakit yang terpendam dalam hati Alana masih terlalu kuat untuk bisa dengan mudah dilupakan.
“Alana,” suara Rael menggetarkan, seakan menembus kesunyian yang ada di antara mereka. “Aku tahu aku telah mengkhianatimu, dan aku tahu aku tidak pantas mendapatkan maafmu. Tapi aku datang bukan untuk memaksamu memaafkan aku. Aku datang untuk mengatakan bahwa aku menyesal, lebih dari apapun.”
Rael melangkah lebih dekat, namun Alana mundur sedikit, menghindari tatapannya. Ia tahu, kata-kata itu tidak bisa begitu saja menghapus semua luka yang sudah terlanjur menganga. Alana memejamkan matanya, berusaha menenangkan hatinya. Namun, semakin ia mencoba, semakin dalam rasa sakit itu terasa.
“Rael, kau tidak mengerti,” suara Alana terdengar lebih tegang dari yang ia harapkan. “Kau pergi begitu saja, tanpa penjelasan. Aku merasa dikhianati, dihancurkan, dan tak ada satu pun alasan yang bisa membenarkan itu.”
Rael mengangguk pelan, seakan mengerti apa yang dirasakan Alana. “Aku tahu, dan aku tidak berharap kau memaafkanku begitu saja. Aku hanya ingin kau tahu bahwa aku menyesal. Aku memilih untuk meninggalkanmu karena aku tidak bisa menghadapi kenyataan saat itu. Aku terlalu takut untuk menghadapimu, Alana.”
Mendengar kata-kata itu, Alana merasa hatinya bergejolak. Tidak ada lagi kebencian yang membara seperti dulu, namun juga tidak ada kepastian. Apa yang Rael katakan adalah sebuah alasan yang menguak lebih banyak luka daripada yang ia bayangkan. Ketakutan—itulah yang membuat Rael pergi. Alana merasa sakit, tetapi di sisi lain, ia merasa seperti ada sebuah kebenaran yang perlahan mulai membuka dirinya.
“Kenapa sekarang? Kenapa setelah semua ini?” tanya Alana dengan suara yang bergetar.
Rael menatapnya dengan kesedihan yang mendalam. “Karena aku tidak bisa hidup dengan menanggung rasa bersalah ini. Aku tahu aku telah melukai hati seseorang yang sangat aku cintai, dan itu terus menggerogoti hidupku.”
Alana terdiam. Kata-kata Rael seperti sebuah pisau yang menembus dinding pertahanannya. Dulu, ia merasa Rael telah menutup pintu hatinya begitu saja, tanpa kesempatan untuk memperbaiki semuanya. Namun, sekarang ia menyadari bahwa Rael juga terperangkap dalam penyesalan yang tidak pernah bisa ia ungkapkan.
“Rael,” Alana berkata dengan suara pelan, “kau telah meninggalkanku. Aku belajar untuk hidup tanpa dirimu, dan sekarang kau datang dengan penyesalanmu. Tapi apakah itu cukup untuk menyembuhkan luka yang ada di hati ini?”
Rael menatapnya dengan mata penuh harap. “Aku tidak tahu, Alana. Aku hanya ingin berusaha. Aku tahu aku tidak pantas mendapatkan apapun darimu, tapi aku ingin mencoba.”
Alana menundukkan kepalanya, menahan air mata yang mulai menggenang di pelupuk matanya. Ia ingin menghapus semua rasa sakit ini, tapi setiap kali ia berusaha, kenangan tentang Rael datang kembali—kenangan tentang cinta mereka yang dulu begitu indah. Tetapi, apakah cinta yang lama hilang bisa dibangkitkan kembali? Apakah pengkhianatan ini bisa benar-benar dilupakan?
“Aku tidak bisa memaafkanmu begitu saja,” Alana akhirnya berkata dengan suara yang penuh kejujuran. “Tapi aku juga tidak bisa terus hidup dalam kebencian ini. Aku ingin sembuh, Rael. Aku ingin belajar melepaskan semuanya, meskipun itu sulit.”
Rael mengangguk, menerima setiap kata yang keluar dari bibir Alana. Dia tahu, tidak ada jalan pintas untuk memperbaiki semua yang telah rusak. Tetapi, dalam hati, ia percaya bahwa kesempatan untuk menyembuhkan luka itu masih ada, asalkan mereka mau berjuang bersama-sama.
Untuk pertama kalinya dalam bertahun-tahun, Alana merasakan sedikit kedamaian dalam dirinya. Mungkin proses penyembuhan itu tidak akan mudah, tetapi setidaknya ia tidak lagi terperangkap dalam kegelapan dendam. Ia tahu bahwa melepaskan masa lalu bukan berarti melupakan, melainkan memberi kesempatan pada diri sendiri untuk mencintai lagi, meskipun itu adalah perjalanan yang panjang.