Kisah Cinta
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
Kisah Cinta
No Result
View All Result

PELANGI SETELAH AIR MATA

PELANGI SETELAH AIR MATA

SAME KADE by SAME KADE
January 28, 2025
in Uncategorized
Reading Time: 18 mins read
PELANGI SETELAH AIR MATA

Daftar Isi

  • Bab 1: Pelangi Setelah Air Mata
  • Bab 2: Melodi Kenangan
  • Bab 3 Harapan Baru
  • Bab 4  Panggung Hidup
  • Bab 5: Melodi Pilihan

Bab 1: Pelangi Setelah Air Mata

Hujan baru saja reda, meninggalkan aroma tanah basah yang menenangkan. Di balik jendela yang berembun, Asha memandang ke luar dengan tatapan kosong. Langit di atasnya mulai berwarna oranye keemasan, tanda senja akan segera tiba. Di ujung cakrawala, pelangi yang samar-samar muncul menjadi satu-satunya pemandangan yang menghibur hatinya yang gundah.

“Asha, kamu yakin nggak mau makan?” Suara lembut ibu dari dapur menyentak lamunannya. Asha menoleh perlahan, seolah baru kembali ke dunia nyata. Mata ibunya memancarkan kekhawatiran yang mendalam.

“Nggak, Bu. Asha belum lapar,” jawabnya dengan senyum tipis yang dipaksakan. Namun, ibu tahu bahwa bukan rasa lapar yang menghalangi Asha makan, melainkan rasa sakit di hatinya yang tak kunjung hilang.

Hari itu genap satu bulan sejak kejadian yang mengubah hidup Asha. Kecelakaan itu datang begitu tiba-tiba, seperti badai di tengah laut tenang. Fajar, lelaki yang selama ini menjadi penopang semangatnya, pergi untuk selamanya. Kenangan akan senyum hangat dan suara lembutnya masih melekat, mengisi setiap sudut rumah, setiap napas, dan setiap langkah Asha.

Asha mencoba menjalani hari-harinya seperti biasa, tetapi semuanya terasa hampa. Ia tidak lagi menemukan semangat untuk bermain piano, aktivitas yang dulu menjadi pelariannya saat dunia terasa berat. Jemarinya, yang dulu lincah menari di atas tuts piano, kini hanya menggenggam kesedihan.

“Asha, kamu tahu nggak, setelah hujan biasanya ada pelangi?” Fajar pernah berkata begitu suatu hari, di tengah hujan yang turun deras. Saat itu mereka berteduh di bawah pohon besar di taman kota, hanya berdua. “Hidup itu kayak gitu juga. Kadang kita harus ngelewatin badai dulu sebelum lihat sesuatu yang indah.”

Kata-kata itu terus terngiang di kepala Asha, terutama saat ia merasa dunia begitu gelap dan sunyi. Tetapi, sekeras apapun ia mencoba mencari pelangi itu, ia hanya menemukan air mata yang terus mengalir.

Dengan berat hati, Asha berjalan menuju piano tua di sudut ruangan. Tangannya ragu-ragu menyentuh tuts pertama, dan sebuah nada lembut mengalun. Nada itu seperti membuka pintu kenangan yang selama ini ia coba tutup rapat. Ia teringat bagaimana Fajar sering duduk di sebelahnya, menyemangati setiap permainan pianonya.

“Aku nggak jago main piano, tapi aku bisa jadi penonton setiamu,” ujar Fajar sambil tersenyum, memperlihatkan lesung pipi yang selalu membuat hati Asha meleleh.

Air mata Asha jatuh tanpa bisa ia tahan. Namun, kali ini, ada kehangatan aneh yang muncul bersama air mata itu. Seolah kenangan tentang Fajar bukan hanya membawa duka, tetapi juga harapan.

“Asha, ayo makan dulu,” suara ibunya kembali terdengar, kali ini lebih tegas. Asha menghapus air matanya dan mengangguk pelan.

“Sebentar, Bu. Asha mau coba main satu lagu dulu.”

Ibunya tampak terkejut, tapi ia tersenyum dan membiarkan Asha tenggelam dalam dunianya. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Asha membiarkan jemarinya bergerak mengikuti melodi yang terlintas di pikirannya. Lagu itu terdengar sederhana, tetapi setiap notnya penuh emosi. Ia memejamkan mata, membayangkan Fajar sedang mendengarkan di dekatnya, seperti dulu.

Saat lagu itu berakhir, Asha menarik napas panjang. Ada rasa lega yang perlahan menggantikan beban di dadanya. Ia menatap keluar jendela dan melihat pelangi itu masih ada di sana, meski warnanya mulai memudar. Namun, kali ini, ia merasa ada harapan kecil yang tumbuh di dalam hatinya.

“Fajar, kamu benar. Setelah hujan, akan selalu ada pelangi,” bisiknya pelan, seolah berharap angin akan menyampaikan pesan itu kepada lelaki yang tak lagi bisa ia temui.

Hari itu, Asha mengambil langkah pertama untuk menerima kepergian Fajar. Ia tahu perjalanan ini tidak akan mudah, tetapi ia percaya bahwa di ujung kesedihan ini, ia akan menemukan pelangi yang lebih indah. Pelangi yang akan selalu mengingatkannya bahwa cinta sejati tidak pernah benar-benar pergi, melainkan tetap hidup di dalam hati.

Waktu berjalan dengan sangat lambat bagi Asha setelah kehilangan Fajar. Setiap langkahnya terasa penuh dengan beban, seolah ia harus menanggung dunia sendirian. Rumah yang dulu penuh tawa dan canda kini terasa sunyi. Setiap sudut rumahnya menyimpan kenangan yang begitu kuat, kenangan yang tak bisa ia lupakan. Seolah Fajar masih ada di sana, menunggu untuk menyapa dengan senyum manisnya.

Namun, Asha tahu bahwa hidup harus terus berjalan. Ia tidak bisa membiarkan dirinya terperangkap dalam kesedihan yang tak berujung. Pelangi yang ia lihat di luar jendela itu menjadi simbol bahwa setelah setiap hujan, ada harapan yang menanti. Ia tidak bisa terus terpuruk dalam kesedihan, karena ada banyak hal indah yang masih bisa ia capai.

Di balik rasa kehilangan yang mendalam, Asha mulai mencoba untuk kembali bangkit. Ia mulai mencari kegiatan-kegiatan yang bisa membantunya melupakan kesedihan. Salah satu hal yang ia coba adalah kembali menulis. Ia selalu menyukai menulis, dan Fajar dulu sering memujinya karena keterampilannya itu. Menulis menjadi cara Asha untuk menyalurkan perasaan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata lisan.

Setiap malam, Asha menulis di jurnal pribadinya. Ia mencurahkan segala perasaan yang ada dalam hatinya—rindu, kesedihan, dan juga harapan. Melalui tulisan, ia merasa bisa berbicara dengan Fajar, meskipun pria itu sudah tiada. Tulisan-tulisan itu menjadi tempat baginya untuk mengenang Fajar, tetapi juga untuk melepaskan kenangan yang terkadang terasa terlalu berat.

Suatu hari, ketika Asha sedang duduk di teras rumahnya, ia merasakan angin sepoi-sepoi yang lembut. Ia menatap langit yang mulai gelap, seakan menyambut malam dengan penuh harapan. Pelangi yang dulu tampak samar-samar di ujung cakrawala kini sudah hilang, tetapi Asha merasa ada sesuatu yang lebih kuat daripada pelangi itu. Sesuatu yang memberi dia kekuatan untuk melangkah lebih jauh.

Ia memutuskan untuk melanjutkan hidupnya. Meskipun hati masih terasa perih, Asha tahu bahwa ia harus menjalani hidup tanpa Fajar di sisinya. Namun, itu tidak berarti bahwa kenangan tentang Fajar akan hilang. Cinta mereka akan selalu hidup dalam setiap langkah Asha. Dan meskipun Fajar tidak lagi ada secara fisik, ia akan selalu ada di dalam hati Asha, seperti pelangi yang tetap meninggalkan warna meskipun hujan telah reda.

Pelangi itu mengajarkan Asha bahwa setelah setiap badai, ada keindahan yang menanti. Ia mungkin belum sepenuhnya sembuh, tetapi setidaknya ia sudah mulai menerima kenyataan dan membuka hatinya untuk masa depan. Pelangi itu adalah simbol bagi perjalanan baru Asha—perjalanan yang penuh dengan harapan dan kemungkinan baru, meskipun masih ada rasa sakit yang harus ia hadapi.

Asha tahu bahwa ia tidak akan pernah bisa melupakan Fajar. Namun, ia juga tahu bahwa hidup harus terus berjalan. Ia akan terus mencari pelangi-pelangi baru di sepanjang perjalanannya, dan ia percaya bahwa suatu saat nanti, ia akan menemukan kebahagiaan yang sejati. Sebuah kebahagiaan yang tidak lagi bergantung pada orang lain, tetapi kebahagiaan yang datang dari dalam dirinya sendiri.*

Bab 2: Melodi Kenangan

Malam itu, langit begitu cerah, seperti menanggapi lamunan Asha dengan keindahan yang menenangkan. Ribuan bintang berkelip di atas sana, bersaing untuk memperlihatkan sinarnya yang lembut, menciptakan pemandangan yang tak tergantikan. Asha duduk di teras rumahnya, menggenggam secangkir teh hangat yang semakin mendingin. Angin malam bertiup lembut, membawa aroma melati yang tumbuh di taman kecil di depan rumah. Ia menatap langit malam yang luas, seolah berusaha mencari ketenangan yang akhir-akhir ini terasa semakin sulit ia temukan.

Kenangan tentang Fajar kembali menyeruak dalam pikirannya, hadir dalam setiap detik yang berlalu. Senyum hangatnya, tawa riangnya, dan cara Fajar selalu bisa membuatnya merasa bahwa semua yang buruk pun dapat menjadi baik, kini hanya tinggal bayang-bayang. Tanpa kehadirannya, dunia Asha terasa kosong, hampa, dan terputus dari realitas yang ada. Fajar, yang selama ini menjadi penopang semangat dan pelita dalam kegelapan, kini telah pergi, meninggalkan kekosongan yang tak bisa diisi oleh apapun. Asha merasa kehilangan yang begitu mendalam, seolah ia terjebak dalam kenangan yang tak pernah berakhir.

“Apa aku bisa terus begini, Fajar?” gumam Asha lirih, seolah berbicara kepada bayangan yang ada di langit malam. Namun, seperti biasa, jawabannya hanya kesunyian. Tidak ada yang bisa menggantikan Fajar, tidak ada kata-kata yang bisa menghapus luka di hatinya.

Di sudut ruang tamu, piano tua yang dulu menjadi pusat kebahagiaan mereka berdiri dalam keheningan. Asha masih ingat jelas bagaimana Fajar selalu menyemangatinya untuk bermain, bahkan ketika ia merasa permainan pianonya tidak cukup baik. Sebuah kenangan yang begitu hidup, meskipun kini terasa seperti sebuah mimpi yang sulit dijangkau.

“Nggak ada yang namanya permainan buruk, Sha,” ujar Fajar suatu hari dengan senyum lebar, tatapan matanya yang penuh percaya pada kemampuan Asha. “Yang ada cuma permainan yang penuh perasaan. Itu yang bikin setiap nada jadi hidup.” Kata-kata itu kini bergema di telinganya, seperti angin yang membawa pesan-pesan cinta dan semangat untuk tidak menyerah.

Kenangan itu kembali terngiang di benaknya, mendorongnya untuk bangkit. Dengan hati-hati, Asha berjalan mendekati piano dan menyentuh tuts pertama. Jemarinya ragu-ragu, seolah takut untuk membangunkan kenangan yang terlalu menyakitkan. Namun, tanpa bisa ia hindari, sebuah melodi mengalun, lembut namun penuh perasaan. Lagu itu sederhana, melodi yang biasa ia mainkan bersama Fajar di bawah pohon besar di taman kota, tempat mereka sering berteduh saat hujan turun deras. Lagu itu membawa kenangan manis sekaligus pahit, seperti dua sisi mata uang yang tak bisa dipisahkan.

Air mata Asha mengalir perlahan di pipinya. Ia membiarkan dirinya tenggelam dalam musik, membiarkan setiap nada mengalir dengan bebas, mencurahkan semua perasaannya yang terkumpul dalam hati. Setiap nada adalah sebuah pesan, sebuah bentuk perasaan yang lebih sulit untuk diungkapkan dengan kata-kata. Ketika lagu itu berakhir, Asha menarik napas panjang, merasa sedikit lega meskipun hanya sedikit. Ada rasa kosong yang masih mengisi ruang hatinya, tetapi ada juga rasa yang perlahan mengalir, sebuah rasa yang mengingatkannya bahwa Fajar tetap hidup dalam kenangan dan setiap melodi yang ia mainkan.

“Fajar, aku akan coba. Aku akan terus bermain untuk mengenangmu,” bisiknya dengan penuh keyakinan, meski hatinya masih terombang-ambing di antara kenangan dan realitas yang begitu berat.

Keesokan paginya, Asha memutuskan untuk keluar rumah. Sudah terlalu lama ia mengurung diri, membatasi dirinya dari dunia luar yang terasa asing. Ia berjalan tanpa tujuan yang jelas, membiarkan kakinya melangkah ke arah mana pun. Langkahnya membawa Asha ke taman kota, tempat yang dulu menjadi favoritnya dan Fajar. Taman itu kini terasa sunyi, meskipun ada sekelompok anak kecil yang sedang bermain bola di sudut lain, tawa mereka memenuhi udara yang hening. Namun, Asha hanya melihat mereka dengan pandangan kosong, tak bisa merasakan kebahagiaan yang terpancar dari keceriaan mereka.

Pohon besar di tengah taman masih berdiri kokoh, seperti menyaksikan perjalanan waktu yang tak bisa diputar kembali. Daun-daunnya bergoyang pelan tertiup angin, seolah meresapi setiap perasaan yang ada di sekelilingnya. Asha duduk di bangku kayu di bawah pohon itu, membiarkan pikirannya melayang jauh, mencoba mencerna segala yang telah terjadi. Ada rasa rindu yang mendalam, tetapi juga rasa kesal yang sulit dijelaskan. “Hidup terus berjalan, ya,” pikirnya. “Tapi kenapa aku masih merasa terjebak di masa lalu? Kenapa aku merasa tak bisa melangkah maju?”

Tiba-tiba, suara gitar terdengar dari kejauhan, memecah lamunan Asha. Nada-nada yang dimainkan begitu lembut, penuh dengan perasaan, seolah bercerita tentang kerinduan yang mendalam dan perasaan yang sulit diungkapkan. Asha menoleh, mencari sumber suara itu. Di sudut taman, seorang lelaki muda dengan rambut acak-acakan duduk di atas tikar, memainkan gitarnya dengan penuh perasaan. Matanya tertutup, namun jemarinya bergerak lincah di atas senar gitar, menciptakan melodi yang menggugah hati.

Asha terpaku. Ada sesuatu dalam melodi itu yang menarik hatinya, seolah melodi tersebut menghubungkannya dengan perasaan yang selama ini ia coba lupakan. Tanpa sadar, ia melangkah mendekat, seperti tertarik oleh sebuah kekuatan yang tak bisa dijelaskan. Ketika jaraknya cukup dekat, lelaki itu menghentikan permainannya dan tersenyum hangat.

“Suka lagunya?” tanya lelaki itu dengan suara ramah, meski ada kesan misterius yang sulit dijelaskan dalam tatapan matanya. Ia meletakkan gitarnya di sampingnya, menatap Asha dengan penuh rasa ingin tahu.

Asha mengangguk pelan, terpesona oleh melodi yang baru saja ia dengar. “Lagu yang indah. Kamu buat sendiri?” tanyanya, masih terkesima oleh kemampuan lelaki itu memainkan gitar dengan begitu indah.

“Iya,” jawab lelaki itu dengan senyuman tulus. “Kadang, musik adalah cara terbaik untuk mengungkapkan apa yang nggak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Lagu-lagu itu berbicara lebih dari apa yang bisa kuungkapkan dengan lidah.”

Asha terdiam sejenak, merasa seolah ada hubungan tak terucapkan yang menghubungkan dirinya dengan lelaki itu. “Aku Adrian,” lanjut lelaki itu, “kalau boleh tahu, siapa namamu?”

“Asha,” jawabnya singkat, masih sedikit ragu meskipun ada rasa nyaman yang perlahan tumbuh di dalam dirinya.

Adrian mengangguk, lalu menatap Asha dengan mata yang penuh rasa ingin tahu. “Kelihatannya kamu punya banyak hal yang ingin disampaikan, tapi nggak tahu bagaimana caranya. Apa aku salah?”

Pertanyaan itu membuat Asha tertegun. Bagaimana mungkin seseorang yang baru saja ia temui bisa membaca isi hatinya dengan begitu tepat? Ia merasa ada sebuah kedalaman dalam diri Adrian yang sulit ia pahami, namun sekaligus menarik untuk diketahui lebih lanjut.

“Aku cuma…” Asha berhenti sejenak, mencari kata-kata yang tepat untuk menggambarkan perasaannya. “Aku kehilangan seseorang yang sangat berarti dalam hidupku,” lanjutnya perlahan, suara yang hampir tercekat di tenggorokannya.

Adrian mengangguk pelan, seolah mengerti tanpa perlu penjelasan lebih lanjut. Ia kembali mengambil gitarnya dan mulai memainkan melodi baru. Kali ini, nada yang keluar lebih ceria, lebih ringan, namun tetap sarat dengan emosi.

“Kadang, kehilangan itu seperti hujan,” kata Adrian sambil terus memainkan gitarnya. “Awalnya dingin dan menyakitkan, tapi setelah itu, selalu ada kesempatan untuk melihat pelangi.”

Kata-kata itu mengingatkan Asha pada ucapan Fajar. Senyumnya mengembang pelan, seolah ada sebuah pesan yang tersembunyi dalam setiap kata yang Adrian ucapkan. Ia menatap Adrian dengan mata yang mulai berkaca-kaca, tetapi kali ini bukan karena kesedihan semata. Ada sesuatu dalam diri Adrian yang memberinya harapan baru, sebuah cahaya di ujung terowongan gelap yang selama ini menutup hatinya.

Mereka menghabiskan sore itu berbicara tentang banyak hal. Adrian bercerita tentang perjalanan hidupnya, tentang bagaimana ia menemukan kedamaian melalui musik meskipun hidupnya tak selalu mudah. Asha, yang biasanya pendiam dan tertutup, merasa bahwa untuk pertama kalinya setelah kehilangan Fajar, ia bisa membuka dirinya kepada seseorang selain Fajar.

Ketika matahari mulai tenggelam, Adrian berdiri dan menyandang gitarnya. “Aku senang bisa ngobrol sama kamu, Asha,” katanya sambil tersenyum hangat. “Kalau kamu butuh teman atau butuh seseorang untuk dengar, aku sering ada di sini.”

Asha hanya mengangguk, merasa ada banyak kata-kata yang ingin ia ucapkan, tetapi tak tahu harus mulai dari mana. Namun, dalam hatinya, ia merasa bahwa pertemuan ini adalah awal dari sesuatu yang baru, sesuatu yang memberi harapan bagi hidupnya yang telah kehilangan arah.

Saat Asha berjalan pulang, ia merasa ada beban yang sedikit terangkat dari dadanya. Kenangan tentang Fajar tetap ada, tetap hidup dalam setiap langkahnya, namun ia mulai merasa bahwa ia bisa melangkah maju. Fajar akan selalu menjadi bagian dari dirinya, tetapi itu tidak berarti ia harus berhenti menjalani hidup. Dalam hati Asha, ada sebuah pelangi kecil yang perlahan mulai muncul setelah hujan yang begitu panjang.

Malam itu, Asha duduk di depan pianonya lagi. Ia memainkan melodi baru, sebuah lagu yang terinspirasi dari pertemuannya dengan Adrian. Lagu itu terasa berbeda dari yang sebelumnya. Ada harapan di setiap nadanya, seperti sinar matahari yang perlahan mengintip di balik awan gelap.

“Fajar, aku nggak akan melupakanmu,” bisiknya pelan, “Tapi aku akan mencoba melanjutkan hidup, seperti yang kamu inginkan.” Dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Asha merasa bahwa ia benar-benar siap untuk melangkah maju.*

Bab 3 Harapan Baru

Pagi itu, sinar matahari menerobos jendela kamar Asha, menyapa wajahnya yang masih terpejam. Ia membuka matanya perlahan, membiarkan cahaya itu menghangatkan kulitnya. Hari ini terasa berbeda. Entah mengapa, ada semangat baru yang berdenyut pelan di dalam dadanya. Semalam, setelah memainkan lagu barunya, ia merasa bahwa hidupnya mulai menemukan ritme yang lama hilang.

Setelah membersihkan diri, Asha memutuskan untuk berjalan-jalan ke taman kota. Tempat yang dulu selalu menjadi pelarian saat pikirannya penuh kini seperti memiliki daya tarik tersendiri. Ada harapan samar yang ia rasakan, sesuatu yang membuat langkah kakinya terasa lebih ringan.

Ketika ia tiba di taman, suasananya begitu hidup. Anak-anak berlarian mengejar layang-layang, sekelompok lansia bercanda di bawah pohon rindang, dan para pedagang sibuk melayani pembeli. Asha memilih duduk di bangku yang biasa ia tempati bersama Fajar. Pohon besar itu masih berdiri kokoh, menjadi saksi bisu semua kenangan yang pernah mereka ukir di tempat ini.

“Asha!” Sebuah suara memanggil namanya. Ia menoleh dan melihat Adrian berdiri tidak jauh darinya, membawa gitar yang selalu setia menemani.

“Adrian?” Asha tersenyum kecil. Ada rasa nyaman yang tiba-tiba mengisi ruang kosong di hatinya. “Pagi-pagi sudah di sini?”

Adrian tertawa sambil mendekat. “Aku memang sering main di sini, ingat?” Ia duduk di samping Asha, lalu meletakkan gitarnya di pangkuan. “Aku nggak nyangka bakal ketemu kamu lagi. Gimana? Sudah lebih baik dari kemarin?”

Asha mengangguk pelan. “Sedikit demi sedikit. Aku mencoba untuk menerima semuanya.”

Adrian tersenyum, lalu mulai memetik senar gitarnya. Melodi yang ia mainkan lembut dan menenangkan, seolah membawa Asha ke dunia yang berbeda. Tanpa sadar, Asha menutup matanya, menikmati setiap nada yang mengalun.

“Kamu tahu,” kata Adrian setelah menyelesaikan lagu, “aku percaya kalau musik punya kekuatan untuk menyembuhkan. Kadang, saat kata-kata nggak cukup, musik bisa bicara lebih banyak.”

Asha membuka matanya dan menatap Adrian. “Aku setuju. Musik selalu jadi pelarianku, tapi setelah kehilangan Fajar, aku bahkan nggak bisa menyentuh piano.”

“Tapi sekarang kamu sudah mulai bermain lagi, kan?” Adrian menatapnya penuh perhatian. “Itu langkah besar, Asha. Kamu harus bangga sama dirimu sendiri.”

Asha hanya tersenyum. Ada rasa hangat yang menjalar di hatinya. Adrian tidak hanya menjadi teman bicara, tetapi juga pengingat bahwa ia tidak sendirian dalam perjalanan ini.

Hari-hari berikutnya, Asha mulai rutin mengunjungi taman. Ia dan Adrian sering menghabiskan waktu bersama, berbicara tentang musik, kehidupan, dan mimpi-mimpi yang sempat terkubur. Adrian bercerita bahwa ia bermimpi menjadi musisi profesional, tapi perjalanan hidupnya tidak pernah mudah. Ia kehilangan orangtuanya di usia muda dan harus berjuang sendiri untuk bertahan hidup.

“Musik adalah satu-satunya hal yang membuatku tetap berdiri,” ujar Adrian suatu hari. “Aku percaya, selama kita punya sesuatu yang kita cintai, kita bisa melewati apa pun.”

Kata-kata Adrian menggema di hati Asha. Ia mulai merasa bahwa ia juga harus menemukan kembali apa yang ia cintai, sesuatu yang bisa memberinya alasan untuk melangkah maju.

Suatu sore, Adrian membawa sebuah ide yang mengejutkan. “Asha, bagaimana kalau kita bermain musik bersama di taman ini? Aku main gitar, kamu main piano. Aku yakin orang-orang akan suka.”

Asha terdiam, mencoba mencerna usulan itu. “Aku belum yakin. Rasanya aku belum cukup baik untuk tampil di depan orang banyak.”

“Nggak ada yang sempurna, Asha,” Adrian menatapnya penuh keyakinan. “Tapi kalau kita nggak pernah mencoba, kita nggak akan tahu sejauh mana kita bisa melangkah.”

Setelah berpikir panjang, Asha akhirnya setuju. Ia memutuskan untuk membawa keyboard portabelnya ke taman. Meski penuh keraguan, ia tahu bahwa ini adalah langkah yang harus ia ambil untuk keluar dari zona nyamannya.

Hari pertama mereka tampil, hanya segelintir orang yang memperhatikan. Namun, itu tidak membuat Asha mundur. Adrian terus menyemangatinya, dan bersama-sama mereka menciptakan harmoni yang indah. Lagu demi lagu mereka mainkan, dan perlahan, lebih banyak orang mulai berkumpul.

“Lihat? Aku bilang juga apa,” bisik Adrian di sela-sela lagu. “Kamu hebat, Asha. Kamu cuma perlu percaya sama dirimu sendiri.”

Asha tersenyum, merasakan dorongan semangat yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Hari itu, ia merasa bahwa ia telah melangkah lebih jauh dari yang pernah ia bayangkan.

Kegiatan mereka bermain musik di taman menjadi rutinitas baru. Setiap kali mereka tampil, Asha merasa lebih percaya diri. Ia juga mulai menulis lagu-lagu baru, terinspirasi oleh perjalanannya menerima kehilangan dan menemukan harapan.

Suatu hari, setelah selesai bermain, seorang wanita paruh baya mendekati mereka. “Kalian luar biasa,” katanya sambil tersenyum. “Lagu-lagu kalian begitu menyentuh. Apa kalian pernah berpikir untuk tampil di acara yang lebih besar?”

Asha dan Adrian saling berpandangan. “Kami belum pernah,” jawab Adrian. “Tapi itu ide yang menarik.”

Wanita itu mengeluarkan kartu nama dan menyerahkannya kepada Adrian. “Saya punya kenalan di sebuah kafe seni di pusat kota. Mereka sering mengadakan malam musik akustik. Jika kalian tertarik, coba hubungi mereka.”

Setelah wanita itu pergi, Adrian menatap kartu nama itu dengan antusias. “Asha, ini kesempatan besar. Kita harus mencobanya!”

Asha merasa gugup, tapi ia juga tidak bisa menahan rasa penasaran. Mungkin ini adalah langkah berikutnya dalam perjalanannya. Mungkin inilah yang ia butuhkan untuk benar-benar menemukan kembali dirinya.

Dengan dorongan Adrian, Asha setuju untuk mencoba. Mereka mulai berlatih lebih serius, mempersiapkan diri untuk penampilan pertama mereka di luar taman. Setiap nada yang mereka mainkan adalah cerita, dan setiap lagu adalah langkah menuju harapan baru.

Malam yang ditunggu pun tiba. Asha dan Adrian berdiri di atas panggung kecil di kafe itu, di hadapan puluhan orang yang tidak mereka kenal. Hati Asha berdebar kencang, tapi ketika ia mulai memainkan keyboardnya, semua rasa takut itu perlahan menghilang. Musik mengambil alih, membawanya ke dunia yang hanya diisi oleh harmoni dan melodi.

Ketika lagu terakhir selesai, ruangan dipenuhi tepuk tangan meriah. Asha menatap Adrian, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa benar-benar bahagia.

“Terima kasih, Adrian,” bisik Asha setelah mereka turun dari panggung. “Kalau bukan karena kamu, aku nggak akan bisa sampai di sini.”

Adrian tersenyum. “Aku cuma teman perjalanan, Asha. Kamu yang memutuskan untuk melangkah.”

Malam itu, Asha menyadari bahwa ia telah menemukan kembali harapannya. Meski kenangan tentang Fajar tetap menjadi bagian dari dirinya, ia tahu bahwa hidupnya masih memiliki banyak bab yang belum ia tulis. Dan kali ini, ia siap untuk menghadapi apa pun yang ada di depan.*

Bab 4  Panggung Hidup

Hiruk-pikuk suasana kafe seni perlahan mereda ketika Asha dan Adrian turun dari panggung. Sorak sorai penonton dan tepuk tangan yang menggema masih terngiang di telinga Asha. Perasaan bahagia bercampur takjub membuncah di dadanya. Ia menatap Adrian yang berdiri di sebelahnya, tersenyum lebar sambil menyeka peluh di dahinya.

“Kamu luar biasa, Asha,” ujar Adrian penuh semangat. “Aku tahu kamu bisa melakukannya.”

Asha menghela napas panjang, berusaha menenangkan debaran jantungnya. “Aku nggak percaya aku benar-benar melakukannya. Semua ini seperti mimpi.”

“Tapi ini nyata,” Adrian menjawab sambil menepuk bahu Asha. “Dan ini baru permulaan.”

Setelah penampilan mereka selesai, beberapa orang datang menghampiri untuk memberi selamat. Seorang pria paruh baya dengan kemeja kotak-kotak dan senyum ramah memperkenalkan dirinya sebagai pemilik kafe.

“Nama saya Pak Rizal. Penampilan kalian luar biasa. Musik kalian punya jiwa,” katanya sambil menjabat tangan Asha dan Adrian. “Kalau kalian tertarik, aku ingin kalian jadi pengisi tetap malam akustik di sini.”

Adrian menatap Asha dengan antusias, seolah meminta persetujuan. “Bagaimana, Asha? Ini kesempatan yang bagus.”

Asha merasa ragu sejenak, tapi sorot mata Adrian memberinya keberanian. “Kami akan pertimbangkan, Pak Rizal. Terima kasih banyak atas kesempatannya.”

Setelah Pak Rizal pergi, mereka duduk di salah satu meja kosong di sudut ruangan. Asha memainkan gelas kopinya, matanya menatap kosong ke meja.

“Apa yang kamu pikirkan?” tanya Adrian, membuyarkan lamunannya.

“Aku hanya… takut,” jawab Asha pelan. “Aku takut nggak cukup baik. Takut kalau aku nggak bisa memenuhi ekspektasi mereka.”

Adrian tersenyum lembut. “Rasa takut itu wajar, Asha. Tapi ingat, kamu sudah melewati langkah besar. Kamu bisa melakukannya lagi. Lagipula, aku akan selalu ada untuk mendukungmu.”

Kata-kata Adrian menenangkan hati Asha. Ia mengangguk pelan, merasa bahwa ia tidak sendirian dalam perjalanan ini.

Hari-hari berikutnya, Asha dan Adrian mulai mempersiapkan diri untuk penampilan tetap mereka di kafe. Mereka menghabiskan waktu berjam-jam di studio kecil milik Adrian, menciptakan aransemen baru dan menyempurnakan lagu-lagu yang sudah mereka tulis. Setiap sesi latihan dipenuhi tawa dan canda, membuat proses yang melelahkan terasa lebih menyenangkan.

Asha juga mulai menemukan kembali semangatnya untuk menulis lagu. Ia menuangkan perasaan dan pikirannya ke dalam melodi dan lirik, menjadikan musik sebagai medium untuk menyembuhkan luka hatinya. Salah satu lagu yang ia tulis, “Jejak Rindu”, menjadi favorit Adrian.

“Lagu ini punya kekuatan yang luar biasa,” kata Adrian suatu hari. “Kamu benar-benar mencurahkan jiwa ke dalamnya. Aku yakin penonton akan merasakan hal yang sama.”

Mendengar pujian itu, Asha merasa lebih percaya diri. Ia mulai melihat bahwa musiknya bukan hanya tentang dirinya, tetapi juga tentang menyentuh hati orang lain.

Malam pertama penampilan tetap mereka di kafe tiba. Kafe itu penuh sesak dengan pengunjung yang antusias. Asha mengenakan gaun sederhana berwarna pastel, rambutnya diikat rapi. Meski berusaha tampil tenang, ia tidak bisa menyembunyikan kegugupan yang membayangi.

“Kamu siap?” tanya Adrian sambil menyandarkan gitarnya di pundak.

Asha mengangguk pelan. “Aku akan mencoba.”

Ketika mereka naik ke panggung, gemuruh tepuk tangan menyambut. Lampu panggung menerangi wajah mereka, dan suasana berubah hening saat Asha mulai memainkan intro pada keyboardnya. Lagu pertama mereka adalah “Jejak Rindu”, sebuah lagu yang menjadi cerminan perjalanan Asha menghadapi kehilangan dan menemukan harapan.

Nada demi nada mengalun indah, mengisi ruangan dengan kehangatan. Suara Asha yang lembut namun penuh emosi menyentuh setiap hati yang mendengarnya. Adrian mengiringinya dengan permainan gitar yang harmonis, menciptakan perpaduan yang sempurna.

Saat lagu berakhir, ruangan dipenuhi tepuk tangan dan sorakan. Asha merasa dadanya menghangat. Untuk pertama kalinya, ia benar-benar menikmati berada di atas panggung.

Penampilan mereka malam itu berjalan lancar. Setelah menyelesaikan beberapa lagu, mereka turun dari panggung dengan senyum puas di wajah. Beberapa pengunjung mendekati mereka untuk memberikan pujian, termasuk seorang wanita muda yang membawa buket bunga mawar putih.

“Lagu kalian begitu menyentuh,” katanya sambil menyerahkan bunga itu kepada Asha. “Terima kasih telah berbagi keindahan ini.”

Asha menerima bunga itu dengan mata berkaca-kaca. “Terima kasih. Itu berarti banyak untukku.”

Seiring berjalannya waktu, nama Asha dan Adrian mulai dikenal di kalangan pecinta musik lokal. Penampilan mereka di kafe menjadi salah satu acara yang paling dinantikan. Asha mulai merasa bahwa ia telah menemukan tempatnya di dunia, sesuatu yang selama ini ia cari.

Namun, di balik kesuksesan itu, Asha tidak bisa sepenuhnya menghilangkan bayangan Fajar. Setiap kali ia memainkan piano, kenangan tentang Fajar selalu muncul, mengingatkannya pada masa lalu yang indah sekaligus menyakitkan.

Suatu malam, setelah selesai tampil, Asha duduk sendirian di bangku taman. Adrian, yang menyadari perubahan suasana hati Asha, mendekatinya.

“Apa yang terjadi?” tanya Adrian dengan nada lembut.

Asha menghela napas. “Aku merasa bersalah. Seolah-olah aku mengkhianati Fajar dengan melanjutkan hidup.”

Adrian duduk di sampingnya, menatap langit malam yang dipenuhi bintang. “Asha, melanjutkan hidup bukan berarti melupakan. Fajar akan selalu menjadi bagian dari dirimu. Tapi aku yakin, dia ingin kamu bahagia. Dia ingin kamu menemukan alasan baru untuk tersenyum.”

Kata-kata Adrian membuat Asha merenung. Ia menyadari bahwa selama ini ia terlalu terjebak dalam rasa bersalah, sehingga lupa bahwa hidupnya masih memiliki banyak bab yang harus ia tulis.

Malam itu, Asha berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak lagi membiarkan rasa bersalah menghentikannya. Ia akan menjalani hidupnya dengan sepenuh hati, sambil terus membawa kenangan tentang Fajar sebagai bagian dari perjalanan itu.

Dalam bulan-bulan berikutnya, Asha dan Adrian semakin berkembang. Mereka mulai tampil di berbagai acara, dari festival kecil hingga konser komunitas. Musik mereka tidak hanya membawa kebahagiaan bagi orang lain, tetapi juga menyembuhkan luka di hati mereka sendiri.

Asha belajar bahwa hidup adalah tentang menerima dan melangkah maju, tentang menemukan harapan di tengah kehilangan. Dan dengan musik sebagai panduannya, ia tahu bahwa ia akan selalu menemukan jalan, tidak peduli seberapa gelap perjalanan itu.

“Hidup adalah panggung, Asha,” kata Adrian suatu hari. “Dan kita adalah pemainnya. Selama kita terus memainkan peran kita dengan sepenuh hati, semuanya akan baik-baik saja.”

Asha tersenyum, merasa bahwa ia telah menemukan kembali makna hidupnya. Kini, ia siap menghadapi babak baru dalam perjalanan ini, dengan hati yang lebih kuat dan semangat yang tak pernah padam.

Bab 5: Melodi Pilihan

Pagi itu, Asha duduk di ruang tamu dengan tumpukan kertas di sekitarnya. Beberapa lembar di antaranya berisi notasi musik yang setengah selesai, sementara yang lain dipenuhi coretan lirik yang ia tulis semalam. Aroma teh melati yang mengepul dari cangkir di meja kecil di sebelahnya sedikit membantu menenangkan pikirannya yang gelisah.

Sudah beberapa minggu sejak ia dan Adrian mulai tampil di berbagai acara. Popularitas mereka semakin meningkat, tetapi di balik itu semua, Asha merasa ada tekanan yang mulai menggerogotinya. Ia tidak pernah membayangkan musik yang dulunya menjadi tempat pelarian kini membawa tuntutan dan ekspektasi yang tinggi.

“Aku nggak tahu harus mulai dari mana,” gumamnya sambil menatap notasi musik yang seolah menatap balik dengan penuh pertanyaan.

Ponselnya bergetar di atas meja, memunculkan nama Adrian di layar. Ia segera mengangkatnya.

“Halo, Adrian,” sapanya dengan suara lemah.

“Asha, kamu sibuk?” suara Adrian terdengar ceria di ujung sana. “Aku dapat kabar bagus! Kita diundang untuk tampil di acara amal besar minggu depan. Banyak musisi terkenal juga akan tampil di sana. Ini kesempatan besar buat kita!”

Asha terdiam sejenak. Ia tahu bahwa ini adalah peluang yang tidak boleh dilewatkan, tetapi di sisi lain, ia merasa belum siap untuk melangkah lebih jauh.

“Itu kabar yang luar biasa, Adrian,” jawabnya akhirnya. “Tapi… aku butuh waktu untuk memikirkan ini.”

“Tentu, aku mengerti. Kita bisa bicara lebih lanjut nanti. Kalau kamu butuh apa-apa, kabari aku ya,” balas Adrian dengan nada mendukung sebelum menutup telepon.

Asha meletakkan ponselnya kembali ke meja dan menghela napas panjang. Ia menatap tumpukan kertas di hadapannya. Semua ini dulu terasa menyenangkan, tetapi sekarang ia merasa seperti sedang berjalan di atas tali yang rapuh, di antara keinginannya untuk terus maju dan ketakutannya untuk gagal.

Malam itu, Asha memutuskan untuk berjalan-jalan ke taman kota. Angin malam yang sejuk dan suara dedaunan yang bergesekan membantu meredakan kekacauan di pikirannya. Ia duduk di bangku favoritnya di bawah pohon besar yang biasa ia kunjungi bersama Fajar. Tempat ini selalu memberinya ketenangan.

Saat sedang tenggelam dalam pikirannya, ia mendengar suara gitar yang familiar. Adrian muncul dari arah yang berlawanan, membawa gitarnya sambil tersenyum lebar.

“Aku tahu aku akan menemukanmu di sini,” katanya sambil duduk di samping Asha.

Asha hanya tersenyum kecil. “Kamu kenapa di sini? Bukannya sudah malam?”

Adrian mengangkat bahu. “Aku khawatir sama kamu. Kamu kelihatan sedikit tertekan belakangan ini.”

Asha tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap tanah di depannya, mencoba merangkai kata-kata yang tepat.

“Aku merasa seperti kehilangan arah,” akhirnya ia berkata. “Aku mulai merasa bahwa musik ini bukan lagi tentang aku. Semua tuntutan dan ekspektasi ini membuatku bertanya-tanya, apa aku benar-benar ingin melanjutkan?”

Adrian terdiam sejenak, lalu mulai memetik gitar di pangkuannya. Melodi yang ia mainkan lembut dan menenangkan. Setelah beberapa saat, ia berkata, “Asha, musik itu seperti kehidupan. Kadang, kita harus berhenti sejenak dan bertanya pada diri sendiri, untuk siapa kita bermain? Kalau jawabanmu bukan untuk dirimu sendiri, mungkin kamu perlu menemukan kembali alasanmu.”

Asha menatap Adrian, matanya berkaca-kaca. Kata-kata itu begitu sederhana, tetapi langsung menyentuh hatinya. Ia menyadari bahwa selama ini ia terlalu terjebak dalam ekspektasi orang lain, sehingga lupa alasan sebenarnya ia bermain musik.

“Aku hanya ingin musikku menjadi bagian dari diriku,” kata Asha pelan. “Aku ingin berbagi cerita, bukan memenuhi ekspektasi.”

Adrian tersenyum. “Kalau begitu, lakukanlah dengan caramu. Jangan biarkan tekanan dari luar membuatmu lupa siapa dirimu.”

Malam itu, Asha pulang dengan perasaan yang lebih tenang. Ia merasa bahwa ia telah menemukan kembali pijakannya. Musik bukan tentang kesempurnaan atau popularitas, tetapi tentang cerita yang ingin ia sampaikan.

—

Hari-hari berikutnya, Asha mulai menulis lagu baru dengan semangat yang berbeda. Ia tidak lagi memikirkan bagaimana orang lain akan menilai musiknya, melainkan fokus pada kejujuran dan perasaannya sendiri. Lagu-lagu yang ia tulis menjadi lebih personal, mencerminkan perjalanan emosionalnya selama ini.

Ketika hari acara amal tiba, Asha merasa lebih siap. Ia mengenakan gaun sederhana berwarna biru tua, dan senyumnya terlihat lebih percaya diri. Adrian, seperti biasa, ada di sisinya, memberikan semangat sebelum mereka naik ke panggung.

Penampilan mereka malam itu dimulai dengan lagu baru yang berjudul “Pilihan Hati”. Lagu ini bercerita tentang perjuangan untuk tetap setia pada diri sendiri di tengah badai ekspektasi. Suara Asha yang lembut namun penuh emosi menyentuh hati setiap penonton yang hadir. Tepuk tangan meriah mengiringi akhir penampilan mereka, tetapi kali ini, Asha tidak merasa gugup atau terbebani. Ia merasa damai.

Setelah acara selesai, seorang produser musik mendekati mereka. “Kalian luar biasa,” katanya. “Aku ingin mengajak kalian untuk merekam lagu ini di studio kami. Aku yakin, lagu ini akan menyentuh banyak orang.”

Asha menatap Adrian, yang balas tersenyum lebar. Mereka tahu bahwa ini adalah kesempatan besar, tetapi yang terpenting, ini adalah langkah lain dalam perjalanan mereka untuk terus menciptakan musik yang jujur.

—

Malam itu, Asha duduk di balkon kamarnya, memandangi bintang-bintang yang bertaburan di langit. Ia merenungkan perjalanan yang telah ia lalui sejauh ini. Meski penuh liku, setiap langkah membawanya lebih dekat pada dirinya yang sebenarnya.

“Terima kasih, Fajar,” bisiknya pelan, seolah berbicara pada angin. “Aku tahu, kamu selalu ada di sini, mendukungku. Aku akan terus melangkah, membawa kenangan kita sebagai bagian dari perjalananku.”

Asha menutup matanya, merasakan kedamaian yang perlahan mengalir di hatinya. Ia tahu bahwa perjalanan ini masih panjang, tetapi dengan musik sebagai panduannya, ia siap menghadapi apa pun yang ada di depan.***

———– THE END——-

 

 

Source: DELA SAYFA
Tags: #MusikSebagaiPenyembuh #PerjalananHati #KeberanianUntukMelangkah #MelodiKehidupan #TemukanDiriSendiri
Previous Post

CINTA DI UJUNG DUNIA

Next Post

DI ANTARA DUA DUNIA

Related Posts

TAK BISA HIDUP TANPAMU

TAK BISA HIDUP TANPAMU

January 28, 2025

3 Ways to Make Date Night For Your Relationship

November 25, 2024
Next Post
DI ANTARA DUA DUNIA

DI ANTARA DUA DUNIA

ANTARA RINDU DAN KENANGAN

JARAK,RINDU DAN HARAPAN

CINTA BUTA LOGIKA HILANG

CINTA BUTA LOGIKA HILANG

Top Stories

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

May 17, 2025
KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

May 16, 2025
KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

May 15, 2025

Tentang Kisah Cinta

Kami menyajikan kumpulan novel dan cerpen cinta yang menggambarkan berbagai sisi cinta, dari yang manis hingga yang pahit, dari yang bahagia hingga yang menyayat hati

Connect on Social

© 2024 Kisahcinta.id

No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta

© 2024 Kisahcinta.id