Kisah Cinta
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
Kisah Cinta
No Result
View All Result

milik yang terlarang

FASA KEDJA by FASA KEDJA
April 12, 2025
in Cinta Terlarang
Reading Time: 27 mins read
milik yang terlarang

 

Daftar Isi

  • Bab 1: Pertemuan yang Tak Seharusnya
  • Bab 2: Godaan yang Menggila
  • Bab 3: Dosa dalam Hati
  • Bab 4: Menjalani Kepura-puraan
  • Bab 5: Pergi untuk Melupakan
  • Bab 6: Kembali ke Realitas
  • Bab 7: Mencari Pelarian
  • Bab 8: Hati yang Masih Terikat
  • Bab 9: Dosa yang Kembali Menghantui
  • Bab 10: Mengikhlaskan yang Tak Bisa Dimiliki

Bab 1: Pertemuan yang Tak Seharusnya

Musik mengalun pelan di sudut ruangan, bercampur dengan suara gelas-gelas beradu dan tawa tamu yang mengisi aula megah itu. Lampu kristal yang menggantung di langit-langit memantulkan cahaya lembut, menambah suasana elegan dalam pesta ulang tahun pernikahan orang tua Alya dan Nadia. Malam itu seharusnya menjadi malam yang penuh kebahagiaan, malam di mana keluarga berkumpul, berbincang, dan mengenang perjalanan cinta orang tua mereka. Namun, bagi Alya, malam itu menjadi awal dari sesuatu yang tak seharusnya terjadi.

Alya menyesap jus jeruk di tangannya, mencoba mengusir kegelisahan yang sejak tadi menghantuinya. Ia tak tahu pasti apa yang membuatnya merasa seperti ini. Mungkin karena ia sudah lama tidak menghadiri acara keluarga sebesar ini, atau mungkin karena matanya tanpa sadar terus mencari sosok yang tak seharusnya ia pikirkan—Revan.

Alya menarik napas dalam-dalam dan menegakkan punggungnya. Ia tidak boleh membiarkan pikirannya melayang ke arah yang salah. Revan adalah suami Nadia, kakak kandungnya sendiri. Sejak awal, ia sudah tahu batasannya. Namun, yang menjadi masalah adalah… ia tidak bisa mengendalikan apa yang hatinya rasakan.

Saat sedang berusaha mengalihkan perhatian, suara bariton yang familiar menyapa dari belakangnya.

**”Alya, sudah lama tidak bertemu.”**

Suara itu. Suara yang seharusnya biasa saja, tapi entah mengapa selalu bisa membuat dadanya berdebar lebih kencang. Alya menoleh perlahan, dan di sana, berdiri sosok yang sudah berusaha ia hindari sejak tadi—Revan.

Dengan jas hitam yang rapi membalut tubuhnya, Revan tampak begitu karismatik seperti biasanya. Senyum tipis menghiasi wajahnya, menciptakan aura misterius yang selalu berhasil menarik perhatian. Matanya menatap Alya dengan cara yang sulit dijelaskan, seolah-olah ia sedang menyelidiki setiap emosi yang berusaha Alya sembunyikan.

**”Kak Revan…”** Alya berusaha tersenyum, tapi ia yakin senyumnya tidak benar-benar terlihat natural.

**”Kamu kelihatan berbeda,”** kata Revan, menyesap minuman di tangannya. **”Sudah lama kita tidak mengobrol. Kamu sibuk sekali, ya?”**

Alya mengangguk pelan. **”Ya… pekerjaan cukup menyita waktu. Aku jarang bisa pulang.”**

Revan mengangguk, tatapannya masih tertuju pada Alya. **”Sayang sekali. Nadia sering bilang kalau dia merindukanmu.”**

Alya menunduk, merasa sedikit bersalah. Ia memang jarang pulang, bukan hanya karena pekerjaan, tapi juga karena alasan yang lebih dalam—ia tidak ingin berhadapan dengan perasaannya sendiri.

Hening sesaat. Keduanya hanya berdiri di sana, di tengah hiruk-pikuk pesta, tapi seolah berada di dunia yang berbeda. Hingga akhirnya, Revan kembali bersuara.

**”Alya…”** panggilnya pelan.

Alya mengangkat wajahnya. Ada sesuatu di mata Revan yang sulit diartikan. Sebuah tatapan yang membuat jantungnya semakin berdetak tak karuan.

**”Jangan menghindariku.”**

Dada Alya sesak.

**”Aku tidak menghindari siapa-siapa,”** jawabnya cepat, meski dalam hati ia tahu ia sedang berbohong.

Revan tersenyum miring, seolah tidak percaya dengan jawaban Alya. Namun, sebelum ia sempat mengatakan sesuatu lagi, suara Nadia tiba-tiba menyela dari kejauhan.

**”Alya! Kak Revan! Apa yang kalian bicarakan?”**

Alya tersentak dan buru-buru memalingkan wajah. Nadia berjalan mendekat dengan gaun indah yang melingkupi tubuhnya. Wajahnya cerah, matanya berbinar penuh kebahagiaan. Ia menggenggam lengan Revan dengan penuh kasih, tanpa menyadari bagaimana Alya berusaha menelan kepahitan yang mulai merayapi hatinya.

**”Aku hanya berbincang dengan Alya. Lama tidak bertemu,”** jawab Revan santai, memasang ekspresi tenang yang membuat Alya bertanya-tanya bagaimana pria itu bisa begitu lihai menyembunyikan sesuatu.

**”Bagus! Alya jarang pulang, jadi aku senang kalau kalian bisa ngobrol. Kalian kan dulu akrab banget,”** ujar Nadia sambil tersenyum.

Dulu.

Ya, dulu.

Dulu sebelum semuanya menjadi serumit ini. Dulu sebelum Alya mulai menyadari bahwa perasaannya terhadap Revan bukan hanya sebatas rasa hormat kepada suami kakaknya.

Alya tersenyum tipis. **”Iya, Kak. Aku juga senang bisa ngobrol dengan Kak Revan lagi.”**

**”Kalau begitu, ayo gabung dengan yang lain. Ayah dan Ibu pasti ingin bicara lebih lama denganmu,”** ajak Nadia.

Alya mengangguk dan mengikuti langkah kakaknya, tapi ia bisa merasakan tatapan Revan masih tertuju padanya. Ia tahu bahwa ia seharusnya mengabaikan semua ini, seharusnya melupakan perasaan yang tidak seharusnya ada.

Tapi mengapa hatinya justru semakin berdebar?

Dan mengapa tatapan Revan seolah berkata bahwa ia juga merasakan hal yang sama?

Alya menelan ludah. Malam ini, sebuah batas telah mulai kabur. Dan ia tidak tahu apakah ia bisa tetap bertahan… atau justru akan terseret lebih jauh ke dalam godaan yang terlarang.*

Bab 2: Godaan yang Menggila

Alya menatap bayangannya di cermin kamar hotel tempat ia menginap sementara selama berada di kota ini. Malam yang panjang itu telah usai, tetapi pikirannya masih dipenuhi oleh pertemuan dengan Revan.

Ia memejamkan mata dan menarik napas dalam-dalam. **”Ini salah, Alya. Kamu harus berhenti memikirkannya.”**

Namun, semakin ia mencoba menepis, semakin pikirannya mengingat setiap detail tentang pria itu—cara Revan berbicara, caranya menatap, dan yang paling berbahaya, caranya membuat Alya merasa diperhatikan lebih dari sekadar adik ipar.

Alya menggigit bibirnya, lalu meraih ponselnya. Ada pesan dari Nadia.

> *”Besok sempatkan makan siang dengan kami, ya! Aku dan Revan mau ajak kamu ke tempat favorit kami dulu. Jangan menolak!”*

Alya menghela napas. Ia ingin menolak, tetapi tahu itu hanya akan menimbulkan kecurigaan. Bagaimana mungkin ia menolak ajakan Nadia tanpa alasan yang masuk akal?

—

### **Siang yang Berbahaya**

Restoran tempat mereka bertemu adalah restoran kecil di tepi danau, tempat yang dulu sering mereka kunjungi sebagai keluarga. Alya ingat bagaimana dulu ia dan Nadia selalu bercanda di sini, berbagi cerita tentang banyak hal—termasuk tentang cinta.

Dan kini, di meja yang sama, ia duduk berhadapan dengan Nadia dan Revan.

**”Masih ingat tempat ini, Alya?”** tanya Nadia dengan senyum lebar. **”Dulu kita sering makan di sini setelah pulang dari kampus. Aku ingat kamu selalu pesan pasta yang sama.”**

Alya memaksakan senyum. **”Iya, Kak. Tempat ini masih seindah dulu.”**

Pelayan datang, mencatat pesanan mereka, lalu meninggalkan meja. Suasana hening sesaat, hanya ada suara gemericik air dan burung-burung di kejauhan.

Revan membuka percakapan. **”Bagaimana pekerjaanmu di luar kota, Alya?”**

Alya meliriknya sekilas. **”Baik. Cukup sibuk, tapi aku menikmatinya.”**

Nadia tertawa kecil. **”Aku tidak bisa bayangkan bagaimana kamu betah jauh dari keluarga. Kalau aku sih, pasti kesepian.”**

**”Terkadang kesibukan membuatku lupa soal kesepian,”** jawab Alya pelan.

Revan menatapnya dalam, tetapi Alya mengalihkan pandangannya ke danau. Ia bisa merasakan bagaimana udara di antara mereka perlahan berubah.

Saat makanan datang, Nadia asyik berbicara tentang banyak hal—tentang keluarga, pekerjaannya, bahkan tentang rencana liburan mereka berdua. Alya berusaha fokus pada makanan di depannya, tetapi ada satu momen yang membuatnya nyaris kehilangan kendali.

Saat ia meraih garpu, tanpa sengaja tangannya bersentuhan dengan tangan Revan.

Sekilas, hanya satu detik, tetapi waktu seolah berhenti. Jantung Alya berdetak lebih cepat, dan ketika ia memberanikan diri untuk menatap Revan, pria itu juga sudah menatapnya—diam, tetapi penuh arti.

Alya buru-buru menarik tangannya, merasa gugup. Ia berharap Nadia tidak memperhatikan, dan untungnya kakaknya masih sibuk berbicara. Namun, Alya tahu bahwa Revan menyadarinya.

Seolah ingin membuktikan sesuatu, pria itu kembali berbicara padanya, kali ini dengan nada lebih lembut.

**”Jangan bekerja terlalu keras, Alya. Kamu perlu istirahat juga.”**

Alya meneguk airnya cepat-cepat, mencoba mengusir panas yang mulai menjalari tubuhnya. Ia tidak boleh membiarkan pikirannya terbawa lebih jauh.

Setelah makan siang berakhir, Nadia mendapat telepon dari kantor dan terpaksa pergi lebih dulu.

**”Aku harus ke kantor sebentar, tapi kalian bisa pulang duluan. Revan, kamu bisa antar Alya, kan?”**

**”Tentu,”** jawab Revan tanpa ragu.

Alya ingin menolak, tetapi terlambat. Nadia sudah pergi. Kini, ia hanya berdua dengan Revan.

—

### **Dalam Perjalanan Pulang**

Mobil melaju dengan tenang di jalanan yang mulai lengang. Alya duduk diam di kursinya, menatap ke luar jendela, berusaha mencari topik untuk mengalihkan pikirannya.

Namun, Revan yang pertama kali memecah keheningan.

**”Kamu menghindariku.”**

Alya mengerjap, lalu menoleh. **”Apa?”**

**”Kamu tahu maksudku, Alya.”**

Suara Revan dalam dan tenang, tetapi menyimpan sesuatu yang lebih dari sekadar pernyataan biasa.

**”Aku tidak menghindarimu,”** jawab Alya, meski dalam hati ia tahu itu tidak sepenuhnya benar.

Revan tersenyum miring. **”Benarkah? Lalu kenapa kamu selalu menunduk saat berbicara denganku?”**

Alya terdiam. Ia tidak tahu harus berkata apa.

Mobil berhenti di lampu merah, dan saat itulah Revan menoleh ke arahnya. Tatapan itu membuatnya semakin gelisah.

**”Aku tahu ini sulit, Alya. Tapi aku juga tahu kamu merasakan hal yang sama.”**

Napas Alya tercekat.

**”Jangan bicara seperti itu,”** katanya cepat.

**”Kenapa? Karena ini salah?”**

**”Ya! Karena ini salah, Kak Revan!”**

Sejenak, keduanya hanya saling menatap. Revan menghela napas panjang, lalu mengusap wajahnya.

**”Aku tidak meminta apa pun darimu, Alya. Aku hanya ingin kau tahu bahwa… aku juga merasa terjebak dalam perasaan yang tidak seharusnya ada ini.”**

Jantung Alya semakin berdebar. Ia ingin marah, ingin mengatakan bahwa ini semua hanya delusi, tetapi ia tahu itu bohong.

Lampu lalu lintas berubah hijau, dan mobil kembali melaju. Kali ini, dalam diam yang lebih berat daripada sebelumnya.

—

### **Malam yang Menyiksa**

Setelah sampai di hotel, Alya langsung masuk ke kamarnya dan mengunci pintu. Ia duduk di tepi tempat tidur, menatap kosong ke dinding.

Tangannya masih sedikit gemetar, pikirannya masih berantakan.

Ia merasakan ketertarikan yang kuat pada Revan, tetapi ia tahu ia tidak boleh membiarkan dirinya tenggelam lebih dalam. Ini salah.

Tapi…

Mengapa bagian kecil dalam dirinya berharap bahwa Revan akan mencarinya lagi?

Malam itu, Alya tidak bisa tidur. Ia terus memikirkan bagaimana semuanya telah berubah. Bagaimana seorang pria yang seharusnya hanya menjadi kakak iparnya kini telah menjadi godaan terbesar dalam hidupnya.

Dan ia tidak tahu apakah ia akan mampu bertahan lebih lama… atau akhirnya menyerah pada perasaan yang semakin menggilas logikanya.*

Bab 3: Dosa dalam Hati

Alya mengusap wajahnya dengan kedua tangan, mencoba menghilangkan kantuk yang masih menggantung di kelopak matanya. Semalaman ia tidak bisa tidur dengan tenang. Bayangan Revan terus menghantuinya, membuat pikirannya semakin kacau.

Ia mencoba menenangkan diri dengan berendam di air hangat, berharap bisa sedikit mengusir kegelisahan yang menguasai hatinya. Tapi tetap saja, ingatan akan perbincangan mereka di mobil kemarin terus terngiang di kepalanya.

*”Aku juga merasa terjebak dalam perasaan yang tidak seharusnya ada ini.”*

Revan mengatakan itu dengan suara yang begitu dalam dan jujur. Seolah ia benar-benar mengakui bahwa ada sesuatu di antara mereka yang tak bisa diabaikan.

Alya menggelengkan kepalanya keras. Tidak. Ia tidak boleh membiarkan pikirannya berlarut-larut dalam delusi ini. Ini bukan kisah cinta, ini dosa. Ini adalah sesuatu yang tidak seharusnya ada.

Tapi mengapa hatinya berkata sebaliknya?

—

### **Pesan Tak Terduga**

Siang itu, saat sedang bersiap untuk pergi ke rumah orang tuanya, ponselnya bergetar. Ada pesan dari nomor yang tidak tersimpan.

> *”Alya, aku bisa bicara denganmu sebentar?”*

Alya mengernyit. Ia mengenali nomor itu. Tanpa berpikir panjang, ia langsung membalas.

> *”Kak Revan, kita tidak seharusnya saling menghubungi.”*

Tak sampai semenit, balasan datang.

> *”Aku hanya ingin bicara. Lima menit saja.”*

Alya menggigit bibirnya, ragu. Ia tahu ia seharusnya tidak menanggapi. Tapi tangannya tetap mengetik balasan.

> *”Di mana?”*

Ia menyesali pesan itu begitu terkirim, tapi terlambat.

> *”Aku sudah di kafe dekat hotelmu. Aku tunggu.”*

Alya menutup mata, mengutuk dirinya sendiri. Seharusnya ia tidak ke sana. Seharusnya ia langsung mengabaikannya. Tapi entah kenapa, kakinya tetap melangkah keluar, seolah tubuhnya memiliki kehendak sendiri.

—

### **Pertemuan yang Salah**

Saat Alya masuk ke dalam kafe, ia langsung melihatnya. Revan duduk di sudut ruangan, mengenakan kemeja putih yang lengannya tergulung hingga siku. Ada cangkir kopi di depannya yang belum disentuh.

Revan mengangkat wajahnya saat melihat Alya datang. Ada sedikit kelegaan di matanya, tapi juga kebingungan. Alya menarik napas panjang sebelum berjalan ke arahnya.

**”Kak Revan, aku tidak bisa lama-lama.”**

Revan mengangguk. **”Aku tahu. Aku hanya ingin memastikan satu hal.”**

Alya duduk di kursi di depannya, berusaha menjaga jarak. **”Apa?”**

Revan menatapnya lama sebelum akhirnya berkata, **”Aku ingin tahu apa yang sebenarnya kamu rasakan.”**

Dada Alya berdesir. Ia tidak siap dengan pertanyaan itu.

**”Aku… aku tidak tahu.”**

**”Benarkah?”** Revan mengangkat alisnya. **”Lalu kenapa kamu datang ke sini?”**

Alya menggigit bibirnya, tidak bisa menjawab. Ia tahu jawabannya. Ia datang karena hatinya menginginkannya.

Revan menghela napas, lalu mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan. **”Alya, aku tidak ingin menyakitimu. Aku juga tidak ingin menyakiti Nadia. Tapi aku juga tidak bisa berbohong pada diriku sendiri.”**

Alya mengalihkan pandangannya. **”Jangan katakan ini, Kak.”**

**”Kenapa? Karena kita harus pura-pura tidak merasakan apa pun?”**

**”Ya!”** Alya berkata sedikit lebih keras dari yang ia maksudkan. Beberapa orang di meja lain menoleh, membuatnya sadar bahwa ia harus menurunkan suaranya. **”Karena kita tidak bisa seperti ini, Kak. Aku adik iparmu. Kakak sudah menikah dengan Nadia.”**

Revan tersenyum miris. **”Aku tahu. Dan aku mencintai Nadia, Alya. Tapi perasaan ini… aku tidak bisa mengabaikannya begitu saja.”**

Hati Alya mencelos. Kata-kata itu seharusnya tidak pernah diucapkan. Tapi sudah terlambat.

Alya berdiri, ingin pergi. Tapi Revan menggenggam pergelangan tangannya, menghentikannya.

**”Jangan pergi.”**

Suaranya pelan, hampir seperti bisikan. Alya merasakan hangatnya sentuhan itu, dan ia benci bagaimana tubuhnya bereaksi terhadapnya.

Dengan gemetar, ia menarik tangannya. **”Aku harus pergi.”**

Revan tidak menahannya lagi, hanya menatapnya dengan ekspresi yang sulit diartikan. **”Aku tidak akan memaksamu, Alya. Tapi aku ingin kamu tahu bahwa aku ada di sini, jika suatu saat kamu siap untuk bicara.”**

Alya menelan ludahnya, lalu berbalik dan melangkah keluar dari kafe secepat mungkin.

—

### **Perasaan yang Tak Bisa Dipadamkan**

Di dalam taksi menuju rumah orang tuanya, Alya merasa dadanya sesak. Ia tidak bisa menahan air mata yang akhirnya jatuh tanpa bisa dikendalikan.

Apa yang telah ia lakukan? Mengapa ia pergi menemui Revan?

Ini tidak boleh terjadi. Ia harus segera keluar dari kota ini. Semakin lama ia di sini, semakin besar kemungkinan ia kehilangan kendali atas perasaannya.

Namun, jauh di lubuk hatinya, ada suara kecil yang berbisik.

*”Benarkah kau ingin pergi? Atau kau hanya takut mengakui bahwa kau menginginkannya?”*

Alya menutup matanya erat-erat.

Tidak. Ia tidak boleh membiarkan ini berkembang lebih jauh. Ia harus menutup perasaannya, sebelum semuanya terlambat.

—

### **Titik Balik**

Malam itu, Alya kembali ke rumah orang tuanya dan mencoba bersikap normal di depan semua orang. Nadia terlihat begitu bahagia, tidak menyadari badai yang sedang berkecamuk di hati adiknya.

Saat makan malam bersama keluarga, Nadia bercerita tentang bagaimana ia dan Revan berencana memiliki anak dalam waktu dekat.

**”Aku ingin segera punya bayi, Alya! Aku ingin melihat Revan jadi ayah. Aku yakin dia akan jadi ayah yang hebat!”**

Alya merasakan matanya panas, tapi ia menahannya. Ia tersenyum dan berkata, **”Itu kabar yang luar biasa, Kak.”**

Di seberang meja, Revan menatapnya. Tatapan itu tidak bisa disembunyikan, meski hanya sedetik.

Dan saat itu, Alya menyadari sesuatu.

Tidak peduli bagaimana perasaannya. Tidak peduli bagaimana Revan memandangnya.

Pada akhirnya, ia hanyalah wanita yang mencintai seseorang yang tak boleh ia cintai.

Dan itu adalah luka yang harus ia tanggung sendirian.

Bab 4: Menjalani Kepura-puraan

Alya menatap bayangan dirinya di cermin. Matanya tampak lelah, wajahnya sedikit pucat. Semalaman ia kembali tak bisa tidur. Sejak pertemuannya dengan Revan di kafe kemarin, pikirannya tak pernah berhenti memutar kembali setiap kata, setiap tatapan, setiap sentuhan singkat yang terjadi di antara mereka.

Ia tidak bisa terus seperti ini.

Ia harus mengakhiri semuanya sebelum hatinya semakin tenggelam dalam perasaan yang salah.

Namun, berkata jauh lebih mudah daripada melakukannya.

Suara ketukan di pintu membuyarkan lamunannya. Dengan cepat, Alya menyesap udara dan mencoba menenangkan diri sebelum melangkah ke pintu dan membukanya.

Di depan pintu, Nadia berdiri dengan senyum cerah, tangannya membawa nampan berisi secangkir teh dan beberapa potong roti.

**”Kakak bawakan sarapan untukmu,”** kata Nadia riang. **”Kamu terlihat lelah. Kamu baik-baik saja?”**

Alya memaksakan senyum. **”Aku baik-baik saja, Kak. Hanya kurang tidur.”**

Nadia mengangguk, lalu melangkah masuk tanpa diminta. Ia meletakkan nampan di meja dekat tempat tidur Alya dan duduk di tepinya.

**”Aku senang kamu bisa pulang, Alya. Rasanya sudah lama sekali kita tidak menghabiskan waktu bersama.”**

Alya mengangguk, berusaha menahan rasa bersalah yang menggerogoti hatinya. Nadia tidak tahu apa yang sedang ia rasakan. Nadia tidak tahu bahwa adik yang begitu ia cintai menyimpan rahasia besar yang bisa menghancurkan semuanya.

**”Aku juga senang bisa pulang, Kak,”** jawab Alya pelan.

Nadia menatapnya sejenak, lalu tersenyum. **”Oh ya, nanti malam kita akan makan malam bersama lagi. Ayah dan Ibu ingin menghabiskan waktu lebih lama dengan kita sebelum kamu kembali ke kota.”**

Alya menegang. **”Aku belum tahu kapan akan kembali, Kak.”**

**”Maksudmu kamu akan tinggal lebih lama?”**

Alya ragu-ragu sebelum akhirnya mengangguk. **”Ya… mungkin beberapa hari lagi.”**

Nadia menghela napas lega. **”Bagus! Aku pikir kamu akan pergi begitu saja. Rasanya baru kemarin kita berkumpul, dan aku sudah takut kehilanganmu lagi.”**

Alya tersenyum tipis. Ia ingin mengatakan bahwa ia memang seharusnya pergi secepatnya, bahwa jarak adalah satu-satunya cara agar ia bisa melupakan perasaan ini. Tapi ia tidak ingin mengecewakan Nadia.

Setelah mengobrol sebentar, Nadia akhirnya pergi meninggalkan Alya sendirian. Ia menghela napas panjang.

**”Bagaimana aku bisa berpura-pura lebih lama lagi?”**

—

### **Kebersamaan yang Menyiksa**

Malam itu, keluarga Alya berkumpul di restoran yang cukup mewah untuk makan malam bersama. Semua orang tampak bahagia, menikmati momen kebersamaan ini. Hanya Alya yang merasa gelisah sepanjang malam.

Bukan hanya karena ia harus terus tersenyum dan berpura-pura baik-baik saja, tetapi karena setiap kali ia menoleh, ia bisa merasakan tatapan Revan mengarah padanya.

Tatapan itu bukan tatapan biasa. Ada sesuatu di dalamnya yang membuat Alya semakin sulit bernapas.

Saat hidangan penutup disajikan, Nadia bertepuk tangan dengan semangat. **”Aku punya kabar baik!”**

Semua orang menoleh ke arahnya dengan penuh perhatian.

Nadia menoleh pada Revan, lalu menggenggam tangannya erat. **”Aku dan Revan akan mulai program kehamilan bulan depan!”**

Ibunya langsung berseru gembira, begitu pula ayahnya. Semua orang tampak bahagia.

Semua orang, kecuali Alya.

Dunia Alya seolah runtuh saat mendengar kabar itu.

Tangannya di bawah meja mengepal erat. Ia berusaha sekuat tenaga untuk tidak menunjukkan ekspresi apa pun.

Sementara itu, Revan tetap diam. Matanya masih menatap Alya, seolah ingin mengetahui reaksinya.

Alya berdeham, mencoba mengendalikan suaranya. **”Itu kabar yang luar biasa, Kak Nadia. Aku senang untuk kalian.”**

Nadia tersenyum lebar. **”Terima kasih, Alya. Aku harap kamu tetap dekat dengan kami saat bayi ini lahir nanti. Aku ingin anakku punya bibi yang baik seperti kamu.”**

Alya memaksakan senyum. **”Tentu, Kak.”**

Namun, jauh di lubuk hatinya, ia tahu bahwa ini adalah peringatan terakhir.

Ia tidak boleh terus seperti ini.

Ia harus pergi.

—

### **Percakapan Terakhir?**

Setelah makan malam usai, semua orang mulai beranjak dari tempat duduk mereka. Nadia sibuk berbicara dengan ibunya, sementara ayah mereka pergi lebih dulu ke mobil.

Alya juga hendak pergi ketika tiba-tiba suara pelan menghentikannya.

**”Alya.”**

Jantungnya mencelos saat mendengar suara itu. Ia tahu siapa yang memanggilnya tanpa perlu menoleh.

Perlahan, ia berbalik.

Revan berdiri tidak jauh darinya, wajahnya terlihat sedikit tegang.

**”Bisa kita bicara sebentar?”** tanyanya pelan.

Alya menggeleng tanpa ragu. **”Tidak ada yang perlu dibicarakan, Kak.”**

Revan menghela napas. **”Tolong, Alya. Lima menit saja.”**

Alya ingin menolak, tapi melihat ekspresi pria itu membuatnya ragu. Tanpa berkata apa-apa, ia mengikuti langkah Revan menuju area taman kecil di belakang restoran.

Begitu sampai di sana, Revan langsung berbicara.

**”Kamu baik-baik saja?”**

Alya tertawa kecil, tapi tanpa humor. **”Kenapa Kak Revan masih bertanya seperti itu?”**

Revan menatapnya dalam. **”Karena aku peduli.”**

**”Kak Revan tidak perlu peduli,”** kata Alya dingin. **”Kakak sudah memiliki Nadia. Kakak akan punya anak. Fokuslah pada itu.”**

Revan terdiam. Ekspresinya sulit ditebak.

**”Aku tahu ini salah,”** katanya akhirnya. **”Aku tahu aku seharusnya tidak merasa seperti ini. Tapi aku juga tidak bisa mengabaikannya, Alya.”**

**”Kita harus mengakhirinya di sini,”** potong Alya cepat.

Revan mengernyit. **”Mengakhirinya?”**

**”Ya. Aku akan segera kembali ke kotaku, dan aku harap Kak Revan tidak menghubungiku lagi.”**

Suara Alya terdengar tegas, tapi di dalam hatinya, ia hancur berkeping-keping.

Revan mengepalkan tangannya di sisi tubuhnya. **”Jadi, ini keputusanmu?”**

Alya mengangguk. **”Ya. Ini keputusan terbaik untuk kita semua.”**

Hening sejenak.

Lalu, tanpa diduga, Revan melangkah lebih dekat. Jarak di antara mereka begitu dekat hingga Alya bisa merasakan napasnya.

**”Kalau begitu, biarkan aku melakukan ini untuk terakhir kalinya,”** bisiknya.

Sebelum Alya bisa bereaksi, Revan meraih tangannya dan mengecup punggung tangannya lembut.

Alya membeku.

Air matanya hampir jatuh, tapi ia menahannya.

Lalu, dengan sekuat tenaga, ia menarik tangannya dan berbalik pergi.

Meninggalkan Revan.

Meninggalkan perasaannya.

Dan meninggalkan cinta yang tidak seharusnya ada.*

Bab 5: Pergi untuk Melupakan

Alya mengepak barang-barangnya dengan tergesa. Tangannya gemetar, tapi ia memaksakan dirinya untuk tetap bergerak. Setiap lipatan pakaian yang ia masukkan ke dalam koper terasa seperti beban yang semakin berat di hatinya.

Ia harus pergi.

Ia tidak bisa tinggal lebih lama di rumah ini. Tidak bisa berada lebih lama di dekat Revan.

Setelah percakapan tadi malam, Alya tahu tidak ada jalan lain selain menjauh. Semakin lama ia bertahan, semakin besar kemungkinan hatinya akan goyah.

Sebuah ketukan di pintu membuatnya berhenti sejenak.

**”Alya?”**

Itu suara Nadia.

Alya mengusap wajahnya cepat sebelum berjalan ke pintu dan membukanya. Nadia berdiri di sana dengan ekspresi bingung.

**”Kamu mau pergi hari ini?”** tanyanya, matanya melirik ke koper yang sudah hampir penuh di atas tempat tidur.

Alya tersenyum, meskipun terasa begitu dipaksakan. **”Ya, Kak. Aku pikir aku sudah cukup lama di sini. Aku harus kembali ke kota.”**

Nadia terlihat kecewa. **”Aku pikir kamu akan tinggal lebih lama.”**

**”Aku ingin, Kak. Tapi aku ada pekerjaan yang harus kuselesaikan,”** jawab Alya, mencoba memberi alasan yang masuk akal.

Nadia menghela napas pelan, lalu tiba-tiba memeluknya erat. **”Aku akan merindukanmu, Alya.”**

Pelukan itu membuat Alya semakin merasa bersalah.

Jika saja Nadia tahu perasaan yang ia sembunyikan selama ini.

Jika saja Nadia tahu bahwa hatinya telah berkhianat.

**”Aku juga akan merindukan Kakak,”** bisiknya pelan.

Saat Nadia melepaskan pelukannya, ia tersenyum hangat. **”Aku akan mengantarmu ke stasiun.”**

Alya ingin menolak, tapi ia tahu Nadia akan bersikeras. Jadi, ia hanya mengangguk. **”Baiklah.”**

—

### **Tatapan Perpisahan**

Perjalanan menuju stasiun di dalam mobil terasa begitu sunyi. Nadia mencoba mengobrol seperti biasa, tetapi Alya lebih banyak diam, menjawab seadanya.

Dan yang membuatnya semakin gelisah adalah kenyataan bahwa Revan duduk di kursi kemudi, mengendarai mobil ini.

Nadia yang memintanya mengantar Alya. Dan pria itu sama sekali tidak menolak.

Dari kaca spion, Alya beberapa kali menangkap tatapan Revan yang sesekali mencuri pandang ke arahnya. Tapi ia tidak membalasnya.

Ia tidak bisa.

Ia takut jika ia menatap mata itu terlalu lama, keinginannya untuk pergi akan menghilang.

Dan itu adalah hal terakhir yang ia inginkan.

Saat mobil berhenti di depan stasiun, Alya menghela napas panjang. Ini saatnya pergi.

Nadia turun lebih dulu, membantu Alya menarik kopernya dari bagasi. Sementara itu, Revan tetap di belakang kemudi, tidak bergerak.

Alya tahu mereka tidak bisa berbicara. Tidak boleh berbicara.

Tapi sebelum ia melangkah pergi, tiba-tiba suara berat itu memanggilnya.

**”Alya.”**

Alya menoleh pelan.

Revan masih duduk di kursinya, tetapi tatapannya lurus ke arahnya.

Seolah berbicara melalui mata.

Seolah ada begitu banyak hal yang ingin ia katakan, tetapi tidak bisa diungkapkan.

Nadia sibuk dengan ponselnya, memberi mereka momen singkat untuk bertukar tatapan tanpa kata.

Lalu, dengan suara yang hampir tak terdengar, Revan berbisik:

**”Jangan lupakan aku.”**

Alya merasa dadanya sesak.

Dengan cepat, ia mengalihkan pandangannya dan meraih koper yang ada di sebelahnya. **”Aku pergi dulu, Kak Nadia,”** katanya, mencoba mengabaikan suara Revan yang masih terngiang di telinganya.

Nadia memeluknya sekali lagi sebelum akhirnya melepasnya. **”Hati-hati di jalan, ya. Jangan lupa kabari kakak kalau sudah sampai.”**

Alya mengangguk, lalu berbalik dan berjalan menuju dalam stasiun tanpa menoleh lagi.

Jika ia menoleh, ia takut hatinya akan berubah.

Dan ia tidak bisa membiarkan itu terjadi.

—

### **Kembali ke Kehampaan**

Sesampainya di kota, Alya merasa hampa.

Apartemen kecil yang selama ini menjadi tempat tinggalnya terasa begitu sepi.

Ia melemparkan tubuhnya ke tempat tidur, menatap langit-langit dengan kosong.

Ia berhasil pergi. Ia berhasil menjauh.

Tapi kenapa rasanya tidak lebih baik?

Kenapa setiap kali ia menutup mata, bayangan Revan masih ada di sana?

Kenapa suara pria itu masih bergaung di kepalanya?

**”Jangan lupakan aku.”**

Alya menggigit bibirnya keras.

**”Aku harus melupakannya,”** bisiknya pelan, seolah meyakinkan dirinya sendiri.

Ia harus melupakan perasaan ini.

Ia harus menjalani hidupnya tanpa bayang-bayang pria itu.

Tapi bisakah ia benar-benar melakukannya?

—

### **Pesan yang Mengguncang**

Malam itu, ponselnya berbunyi.

Alya baru saja selesai mandi dan hendak tidur ketika ia melihat layar ponselnya menyala dengan sebuah pesan masuk.

Dari Revan.

Tangannya gemetar saat membuka pesan itu.

> *”Alya, aku merindukanmu.”*

Alya membeku.

Jantungnya berdetak kencang, napasnya tercekat.

Ia menutup mata erat-erat, berusaha menahan air mata yang tiba-tiba menggenang.

Ini tidak boleh terjadi.

Ia tidak boleh membalas pesan itu.

Tangannya bergerak, mengetik balasan.

> *”Kak, tolong jangan hubungi aku lagi.”*

Ia menekan tombol kirim sebelum ia bisa mengubah pikirannya.

Lalu, tanpa pikir panjang, ia mematikan ponselnya dan meletakkannya di laci.

Ia harus menghentikan ini sekarang.

Ia harus memilih jalan yang benar.

Meskipun itu berarti membiarkan hatinya hancur berkeping-keping.

Meskipun itu berarti mengubur perasaannya selamanya.

Dan meskipun ia tahu, bagian terdalam di hatinya masih menginginkan pria yang tak bisa ia miliki.*

Bab 6: Kembali ke Realitas

Alya menatap layar ponselnya yang masih mati. Sudah dua hari sejak ia menerima pesan dari Revan, dan sejak itu, ia tidak berani menyalakan ponselnya lagi. Ia takut. Takut jika ada pesan lain yang masuk. Takut jika suara hatinya kembali goyah.

Ia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk melupakan pria itu. Tapi semakin ia mencoba, semakin bayangannya menghantuinya.

Dengan menghela napas panjang, Alya akhirnya meraih ponselnya dan menyalakannya. Butuh beberapa detik sebelum notifikasi mulai bermunculan. Matanya menelusuri daftar pesan yang masuk.

Ada beberapa dari Nadia, menanyakan kabarnya dan memastikan ia baik-baik saja. Ada juga pesan dari rekan kerjanya.

Tapi tidak ada pesan lain dari Revan.

Alya menghela napas lega sekaligus kecewa. Ia seharusnya merasa lebih baik karena Revan tidak menghubunginya lagi. Seharusnya.

Tapi hatinya justru terasa kosong.

Sebelum pikirannya kembali dipenuhi Revan, Alya memutuskan untuk membalas pesan dari Nadia.

> *”Aku baik-baik saja, Kak. Baru sempat menyalakan ponsel. Maaf kalau membuatmu khawatir.”*

Tidak butuh waktu lama sebelum Nadia membalas.

> *”Syukurlah. Kakak dan Ibu terus membicarakanmu. Kapan kamu akan pulang lagi?”*

Alya menatap pesan itu lama.

Kembali?

Mungkin tidak dalam waktu dekat.

> *”Belum tahu, Kak. Tapi pasti nanti aku pulang.”*

Nadia membalas dengan emoji senyum. Alya menghela napas. Ia tahu cepat atau lambat ia harus pulang lagi. Tapi tidak sekarang. Tidak saat perasaannya masih kacau.

**”Aku harus fokus pada kehidupanku di sini,”** gumamnya pada diri sendiri.

Ia harus kembali ke rutinitasnya. Harus sibuk dengan pekerjaannya agar pikirannya tidak kembali ke Revan.

—

### **Menenggelamkan Diri dalam Kesibukan**

Alya bekerja sebagai desainer interior di sebuah perusahaan ternama di Jakarta. Biasanya, ia sangat mencintai pekerjaannya. Merancang konsep, memilih warna dan tekstur, serta melihat hasil akhirnya adalah sesuatu yang selalu membuatnya bahagia.

Tapi tidak kali ini.

Hari itu, Alya berusaha fokus pada pekerjaannya. Ia duduk di hadapan laptopnya, menatap desain yang sedang ia kerjakan. Namun, pikirannya terus melayang ke tempat lain.

Sebuah suara menyadarkannya.

**”Alya, kamu tidak fokus.”**

Ia menoleh dan melihat Rian, sahabat sekaligus rekan kerjanya, menatapnya dengan alis terangkat.

**”Aku baik-baik saja,”** kata Alya buru-buru.

Rian mendengus. **”Jangan bohong. Aku sudah kerja bareng kamu bertahun-tahun, dan aku tahu kapan kamu sedang ada masalah.”**

Alya hanya tersenyum tipis.

**”Mau cerita?”** tanya Rian, nada suaranya lembut.

Alya menggeleng. **”Bukan sesuatu yang bisa kuceritakan begitu saja.”**

Rian menatapnya sejenak, lalu mengangkat bahu. **”Oke. Tapi kalau kamu butuh seseorang untuk mendengarkan, aku selalu ada.”**

Alya tersenyum sedikit lebih tulus kali ini. **”Terima kasih, Rian.”**

Meskipun ia tidak bisa menceritakan semuanya, setidaknya ia merasa sedikit lebih ringan karena tahu ada seseorang yang peduli padanya.

Tapi tetap saja, beban ini masih belum hilang.

—

### **Godaan yang Kembali**

Malam harinya, setelah seharian bekerja, Alya akhirnya kembali ke apartemennya. Ia baru saja ingin mandi ketika ponselnya kembali berbunyi.

Sebuah panggilan masuk.

Dari nomor yang tidak dikenal.

Namun, entah kenapa, Alya tahu siapa yang menelepon.

Ia ragu. Haruskah ia mengangkatnya?

Jari-jarinya gemetar saat melayang di atas tombol jawab.

Tapi pada akhirnya, ia memilih menekan tombol merah.

Ia tidak boleh goyah.

Namun, beberapa detik kemudian, sebuah pesan masuk.

> *”Aku hanya ingin mendengar suaramu sekali saja.”*

Alya menutup matanya erat-erat.

Kenapa Revan terus melakukan ini?

Kenapa pria itu tidak bisa melepaskannya?

Dan yang lebih penting, kenapa ia sendiri juga tidak bisa?

—

### **Melawan Diri Sendiri**

Malam itu, Alya tidak bisa tidur.

Ia berbaring di tempat tidur, menatap langit-langit, sementara pikirannya terus dipenuhi dengan pertanyaan yang sama.

Seharusnya ia bisa mengabaikan Revan.

Seharusnya ia bisa tetap teguh pada keputusannya.

Tapi semakin ia berusaha menjauh, semakin hatinya terasa terikat.

Sampai kapan ia bisa bertahan?

Alya menghela napas dalam-dalam.

Ia harus membuat keputusan yang lebih besar.

Ia tidak bisa terus berlari. Tidak bisa terus menyiksa dirinya sendiri.

Mungkin, satu-satunya cara untuk benar-benar melupakan Revan adalah dengan membiarkan orang lain masuk ke dalam hidupnya.

Seseorang yang bisa menggantikannya.

Seseorang yang bisa mengisi hatinya yang kosong.

Tapi, apakah ada orang yang bisa membuatnya melupakan pria yang sudah begitu dalam tertanam di jiwanya?

Alya tidak tahu.

Namun, ia harus mencoba.

Karena jika tidak, ia akan terus terjebak dalam cinta yang seharusnya tidak pernah ada.*

Bab 7: Mencari Pelarian

Alya menatap dirinya di cermin. Wajahnya tampak lebih segar hari ini, atau setidaknya itulah yang ingin ia percayai. Dengan mengenakan blouse putih dan rok panjang berwarna pastel, ia berusaha terlihat seperti dirinya yang dulu—Alya yang selalu ceria dan penuh semangat.

Tapi di balik riasan tipis dan senyuman kecil yang ia paksakan, hatinya masih terasa kosong.

Sudah seminggu sejak terakhir kali Revan menghubunginya, dan meskipun ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa ini adalah hal yang baik, tetap saja ada bagian dalam dirinya yang kecewa.

Namun, ia tidak boleh terus terjebak dalam perasaan ini.

Ia harus maju.

Dan malam ini, ia akan memulai langkah pertamanya.

**”Oke, kamu sudah siap?”**

Suara Rian dari luar apartemen membuat Alya tersadar dari lamunannya. Ia menarik napas dalam dan mengangguk meskipun Rian tidak bisa melihatnya.

**”Ya, aku siap.”**

Malam ini, Rian mengajaknya ke sebuah acara networking di sebuah kafe rooftop. Awalnya Alya ragu, tapi kemudian ia berpikir, mungkin inilah yang ia butuhkan—bersosialisasi, bertemu orang baru, dan mencoba membuka hati.

Mungkin dengan cara ini, ia bisa melupakan seseorang yang tidak seharusnya ia cintai.

—

### **Pertemuan Baru**

Kafe rooftop tempat acara berlangsung memiliki suasana yang hangat dan nyaman. Cahaya lampu kuning yang temaram, suara musik jazz yang lembut, dan gemerlap lampu kota di kejauhan menciptakan atmosfer yang menyenangkan.

Alya mengikuti Rian ke sebuah meja di mana beberapa rekan kerja mereka sudah berkumpul. Mereka berbincang tentang proyek baru, perkembangan industri desain, dan hal-hal ringan lainnya.

Awalnya, Alya hanya menjadi pendengar. Tapi seiring berjalannya waktu, ia mulai ikut berbicara, tertawa, dan menikmati suasana. Untuk sesaat, ia merasa normal kembali.

Kemudian, seseorang datang dan duduk di sampingnya.

**”Halo, perkenalkan, aku Arsen.”**

Alya menoleh dan melihat seorang pria dengan senyum ramah. Penampilannya rapi, dengan kemeja biru muda yang digulung hingga siku. Matanya tajam, tapi tatapannya lembut.

Alya tersenyum kecil. **”Alya.”**

Arsen mengulurkan tangan, dan Alya menyambutnya. Ada sesuatu dalam genggamannya yang terasa hangat, membuat Alya sedikit lebih rileks.

**”Kamu bekerja di bidang apa?”** tanya Arsen setelah mereka melepas jabatan tangan.

**”Aku desainer interior,”** jawab Alya.

**”Wah, menarik. Aku arsitek.”**

Alya mengangguk. Mereka kemudian berbincang tentang dunia desain, tentang tren arsitektur, tentang proyek yang sedang mereka kerjakan.

Alya merasa nyaman.

Untuk pertama kalinya dalam beberapa bulan terakhir, ia berbicara dengan seorang pria tanpa ada rasa bersalah yang menghantuinya.

Dan itu terasa menyenangkan.

—

### **Malam yang Berbeda**

Percakapan mereka terus berlanjut, dan tanpa sadar waktu sudah menunjukkan hampir tengah malam.

**”Kamu sering datang ke acara seperti ini?”** tanya Arsen.

Alya menggeleng. **”Tidak juga. Aku hanya ikut karena Rian mengajakku.”**

Arsen tersenyum. **”Beruntung sekali aku bisa bertemu kamu, kalau begitu.”**

Alya tertawa kecil, sedikit tersipu. **”Kamu terlalu berlebihan.”**

**”Tidak. Aku serius.”** Arsen menatapnya dengan penuh perhatian. **”Aku ingin mengenalmu lebih jauh, Alya.”**

Alya terdiam.

Bagian dalam dirinya ingin menerima ajakan itu, ingin mencoba memberi kesempatan pada seseorang yang baru. Tapi bagian lain dalam dirinya masih ragu.

Bisakah ia benar-benar membiarkan orang lain masuk?

Atau ini hanya sekadar pelarian?

Alya menghela napas pelan. **”Arsen, aku tidak tahu apakah aku siap untuk sesuatu yang serius sekarang.”**

Arsen tidak terlihat terkejut. Ia justru tersenyum lembut. **”Tidak apa-apa. Kita bisa mulai dari berteman dulu. Aku hanya ingin mengenalmu lebih baik.”**

Alya menatap pria itu lama, lalu akhirnya mengangguk.

**”Baiklah. Kita bisa mulai dari berteman.”**

Arsen tersenyum puas. **”Itu sudah cukup untukku.”**

Dan untuk pertama kalinya, Alya merasa ada harapan baru yang muncul dalam hidupnya.

—

### **Kenangan yang Kembali**

Setelah malam yang menyenangkan itu, Alya pulang dengan perasaan campur aduk.

Di satu sisi, ia merasa lebih baik. Mungkin benar, membuka hati untuk orang lain bisa membantunya melupakan Revan.

Tapi di sisi lain, saat ia duduk di ranjang dan menatap langit-langit, kenangan tentang pria itu kembali menghantamnya.

Bayangan senyumnya.

Suara beratnya saat memanggil namanya.

Tatapan penuh arti yang selalu membuat hatinya bergetar.

Dan kata-kata terakhir yang dikirimkan Revan padanya.

**”Aku hanya ingin mendengar suaramu sekali saja.”**

Alya menutup matanya erat-erat, mencoba mengusir bayangan itu.

Tidak. Ia tidak boleh kembali terjebak.

Arsen adalah kesempatan baginya untuk memulai lembaran baru.

Ia harus bergerak maju.

Tapi kenapa hatinya masih terasa begitu sakit?

—

### **Godaan yang Belum Usai**

Ponselnya berbunyi.

Alya membuka matanya dan menoleh ke arah layar yang menyala.

Dan jantungnya seketika berdetak lebih kencang.

Sebuah pesan baru.

Dari Revan.

Tangannya gemetar saat mengambil ponsel dan membaca isi pesan itu.

> *”Alya, apakah kamu benar-benar ingin melupakanku?”*

Alya membeku.

Tuhan, kenapa pria ini terus menguji hatinya?

Apakah ia benar-benar ingin melupakan Revan?

Ya. Itu yang harus ia lakukan.

Tapi, kenapa ia tidak bisa meyakinkan dirinya sendiri?

Dan kenapa, setelah membaca pesan itu, hatinya justru semakin berdebar kencang?

—

### **Pilihan yang Sulit**

Alya menatap layar ponselnya lama.

Ia bisa saja mengabaikan pesan itu. Bisa saja tidak membalasnya, seperti yang seharusnya ia lakukan.

Tapi jari-jarinya justru mulai mengetik sesuatu.

> *”Kenapa Kakak masih menghubungiku?”*

Pesan itu terkirim sebelum Alya sempat menghentikan dirinya.

Dan saat ia menyadarinya, semuanya sudah terlambat.

Dalam beberapa detik, balasan dari Revan muncul.

> *”Karena aku tidak bisa melupakanmu, Alya.”*

Alya merasa dunianya kembali runtuh.

Ia pikir ia sudah cukup kuat untuk meninggalkan perasaan ini.

Tapi nyatanya, satu pesan dari pria itu saja sudah cukup untuk membuatnya goyah lagi.

Dan ia benci pada dirinya sendiri karena masih mengizinkannya*

Bab 8: Hati yang Masih Terikat

Alya duduk di sofa dengan ponsel masih dalam genggamannya. Dadanya bergemuruh, tangannya terasa dingin, dan pikirannya penuh dengan berbagai kemungkinan.

> *”Karena aku tidak bisa melupakanmu, Alya.”*

Pesan dari Revan masih terpampang jelas di layar ponselnya, seakan menertawakan usahanya untuk move on.

Kenapa pria itu terus mengganggu pikirannya?

Kenapa, setelah sekian lama berusaha menjauh, hanya satu kalimat darinya bisa menghancurkan semua pertahanannya?

Alya menatap layar itu lama, lalu akhirnya menghela napas dan meletakkan ponselnya di meja. Tidak, ia tidak boleh terjebak dalam emosi ini.

Ia harus tetap kuat.

Tapi, apakah ia benar-benar ingin tetap kuat?

—

### **Godaan Rindu**

Beberapa menit berlalu, dan Alya masih belum bisa mengalihkan pikirannya dari pesan itu. Jantungnya berdebar kencang, bukan karena ketakutan, tapi karena ada sesuatu yang diam-diam ia rindukan.

Suara Revan.

Tatapan matanya.

Kehangatan saat mereka berbicara.

Alya merutuki dirinya sendiri. Ia sudah memutuskan untuk melupakan pria itu. Ia bahkan mencoba membuka hati untuk Arsen. Tapi kenapa perasaannya masih saja tertinggal di masa lalu?

Tangannya kembali meraih ponsel.

Ia mengetik sesuatu, lalu menghapusnya.

Mengetik lagi, menghapus lagi.

Lalu akhirnya, dengan napas tertahan, ia mengetik satu kalimat:

> *”Jangan hubungi aku lagi.”*

Ia menatap pesan itu lama, sebelum akhirnya menekan tombol kirim.

Dan begitu pesan itu terkirim, Alya langsung mematikan ponselnya dan melemparkannya ke ujung sofa, seolah dengan begitu, ia bisa benar-benar mengabaikan perasaannya sendiri.

Tapi jantungnya tetap berdebar.

Dan hatinya terasa semakin hampa.

—

### **Mengalihkan Diri**

Esok harinya, Alya memutuskan untuk mengalihkan pikirannya dengan kembali fokus bekerja. Ia datang lebih awal ke kantor, menenggelamkan dirinya dalam desain dan tumpukan pekerjaan.

Tapi meskipun ia berusaha keras, pikirannya tetap kembali pada pesan itu.

Pada Revan.

Pada perasaan yang belum sepenuhnya bisa ia hilangkan.

Saat jam makan siang, Rian datang dan duduk di sampingnya. **”Kenapa kamu kelihatan nggak fokus hari ini?”** tanyanya.

Alya menggeleng cepat. **”Nggak apa-apa. Aku cuma sedikit lelah.”**

Rian mengerutkan kening. **”Alya, aku tahu ada sesuatu yang mengganggumu. Aku kenal kamu terlalu lama untuk nggak menyadarinya.”**

Alya menatap sahabatnya itu, lalu akhirnya menghela napas. **”Aku dapat pesan dari seseorang. Dan itu mengacaukan pikiranku.”**

Rian mengangkat alis. **”Seseorang? Maksudmu mantan?”**

Alya tersenyum pahit. **”Lebih rumit dari sekadar mantan.”**

Rian tidak bertanya lebih jauh. Ia hanya menepuk pundak Alya dengan lembut. **”Dengar, kalau seseorang itu cuma bikin kamu bingung dan terluka, mungkin dia memang bukan orang yang tepat buat kamu.”**

Kata-kata itu sederhana, tapi menohok.

Alya tahu Rian benar. Tapi yang membuat semuanya lebih sulit adalah… perasaan ini tidak bisa dihapus begitu saja.

—

### **Arsen dan Harapan Baru**

Malam harinya, Arsen mengirim pesan.

> *”Hei, Alya. Aku ada waktu besok sore. Mau ngopi bareng?”*

Alya menatap pesan itu.

Arsen adalah pria yang baik. Ia menyenangkan, perhatian, dan yang terpenting, ia adalah seseorang yang mungkin bisa membantunya melupakan masa lalunya.

Alya menghela napas.

Mungkin inilah yang ia butuhkan.

Sebuah awal yang baru.

Tangannya bergerak mengetik balasan:

> *”Boleh. Sampai jumpa besok.”*

—

### **Pertemuan yang Mengejutkan**

Keesokan harinya, Alya bertemu dengan Arsen di sebuah kafe kecil yang tenang. Mereka berbincang, tertawa, dan untuk pertama kalinya dalam beberapa hari terakhir, Alya merasa sedikit lebih ringan.

Arsen bukan tipe pria yang memaksa. Ia tidak menuntut Alya untuk terbuka sepenuhnya, dan itulah yang membuat Alya merasa nyaman.

Tapi semua ketenangan itu hancur ketika seseorang masuk ke dalam kafe.

Revan.

Jantung Alya seketika berdebar kencang.

Pria itu berdiri di dekat pintu, matanya langsung tertuju padanya.

Tatapan mereka bertemu.

Dan di sana, di dalam tatapan itu, Alya bisa melihat sesuatu yang begitu dalam—sesuatu yang selama ini ia coba hindari.

Rindu.

Dan sebelum Alya sempat mengalihkan pandangannya, Revan mulai melangkah mendekat.

—

### **Konfrontasi Tak Terduga**

Arsen menyadari perubahan ekspresi Alya dan ikut menoleh.

**”Alya?”** tanyanya pelan, bingung dengan sikapnya yang tiba-tiba tegang.

Tapi Alya tidak bisa menjawab.

Karena beberapa detik kemudian, Revan sudah berdiri di depan mereka.

**”Alya, kita perlu bicara.”**

Arsen melirik Revan, lalu kembali menatap Alya seakan bertanya siapa pria ini.

Alya menelan ludah. **”Revan, aku sedang bersama seseorang sekarang.”**

**”Aku tahu,”** jawab Revan tenang, tapi matanya tidak bisa menyembunyikan ketegangan yang terselubung.

Arsen akhirnya angkat bicara. **”Maaf, tapi Alya bersamaku sekarang. Mungkin lain kali?”**

Revan menatap Arsen tajam. **”Maaf, tapi ini penting.”**

Alya merasa seluruh tubuhnya menegang.

Ia harus menghentikan ini.

Ia tidak boleh terus membiarkan dirinya goyah.

Tapi saat ia melihat tatapan Revan yang penuh dengan sesuatu yang tidak bisa ia abaikan, hatinya kembali bergetar.

Dan pada akhirnya, kata-kata yang keluar dari bibirnya adalah:

**”Maaf, Arsen. Aku harus bicara dengan dia.”**

Arsen terdiam sejenak, lalu mengangguk pelan. **”Aku mengerti.”**

Alya menatapnya dengan penuh penyesalan, tapi Arsen hanya tersenyum tipis sebelum berdiri. **”Aku akan menunggumu kalau kamu masih mau bicara setelah ini.”**

Setelah itu, ia pergi.

Dan sekarang, hanya ada Alya dan Revan.

Hanya mereka berdua.

Dan di antara mereka, ada perasaan yang tak bisa diabaikan.

—

### **Pengakuan yang Menyakitkan**

Alya menatap Revan dengan mata penuh emosi.

**”Kenapa kamu terus muncul dalam hidupku?”** tanyanya dengan suara bergetar.

Revan menatapnya dalam. **”Karena aku tidak bisa hidup tanpa kamu, Alya.”**

Kata-kata itu menghantamnya begitu keras.

**”Kamu tidak boleh mengatakannya, Kak.”**

**”Tapi itu kenyataannya,”** Revan balas. **”Aku mencoba menjauh. Aku mencoba melupakan. Tapi semakin aku mencoba, semakin aku sadar bahwa aku tidak bisa. Aku mencintaimu, Alya.”**

Air mata menggenang di mata Alya.

**”Kamu sudah terlambat.”**

Tapi bahkan saat ia mengucapkan itu, hatinya berkata sebaliknya.

Dan di antara kebisuan yang menyakitkan itu, mereka berdua tahu…

Cinta ini tidak akan pernah benar.

Tapi juga tidak akan pernah benar-benar hilang.*

Bab 9: Dosa yang Kembali Menghantui

Alya berdiri di depan Revan, jantungnya berdetak begitu kencang hingga ia hampir tidak bisa bernapas dengan normal. Kata-kata yang baru saja diucapkan pria itu masih bergema di kepalanya.

> *”Aku mencintaimu, Alya.”*

Kata-kata itu adalah impian dan mimpi buruknya dalam satu waktu yang sama.

Di satu sisi, ia ingin mendengarnya. Ia ingin tahu bahwa Revan juga merasakan hal yang sama. Tapi di sisi lain, kata-kata itu justru menghancurkan seluruh pertahanan yang dengan susah payah ia bangun.

**”Kamu sudah terlambat.”**

Alya kembali mengulang kata-kata itu dalam benaknya, tapi semakin ia mencoba meyakinkan dirinya sendiri, semakin hatinya berontak.

Revan menatapnya lekat. **”Apa aku benar-benar terlambat?”** suaranya lebih lembut kali ini, nyaris seperti bisikan.

Alya mengepalkan tangannya. **”Ya.”**

**”Kamu berbohong.”**

Kata-kata itu membuat Alya mengangkat wajahnya, menatap Revan dengan mata berkaca-kaca.

**”Aku mencoba melupakanmu,”** lanjut Revan, suaranya terdengar lelah, **”tapi aku tidak bisa. Setiap kali aku mencoba, aku justru semakin menyadari betapa aku tidak bisa hidup tanpamu.”**

**”Kak, jangan lakukan ini,”** Alya berbisik, suaranya hampir patah.

Revan mendekat, hanya beberapa inci darinya. **”Kenapa? Karena kita tidak seharusnya saling mencintai?”**

Alya menahan napasnya.

Ya. Itu alasannya.

Mereka tidak seharusnya saling mencintai.

Tapi hati mereka tetap saja melanggar aturan.

**”Ini salah, Kak.”**

Revan tertawa kecil, tapi ada kepedihan dalam suaranya. **”Kalau memang salah, kenapa rasanya begitu benar?”**

Alya tidak bisa menjawab.

Karena jauh di lubuk hatinya, ia tahu—meskipun cinta mereka adalah dosa, perasaannya untuk Revan selalu terasa seperti satu-satunya kebenaran dalam hidupnya.

—

### **Malam yang Membuai**

Alya seharusnya meninggalkan kafe itu. Ia seharusnya pergi setelah mengucapkan selamat tinggal pada Revan.

Tapi entah bagaimana, ia justru berada di dalam mobil pria itu, membiarkan dirinya tenggelam dalam malam yang membawa mereka kembali ke dalam pusaran yang seharusnya sudah berakhir.

Mereka tidak berbicara sepanjang perjalanan. Tidak ada yang berani memecah keheningan.

Tapi saat Revan mengarahkan mobilnya ke tepi pantai dan mematikan mesin, Alya tahu—ini adalah saat di mana mereka akan menghadapi perasaan mereka yang sebenarnya.

Mereka duduk dalam diam, hanya suara ombak yang menemani.

**”Kenapa kamu tetap datang padaku, Kak?”** Alya akhirnya bertanya, suaranya terdengar putus asa.

Revan menghela napas, menatap lurus ke depan. **”Karena aku tidak bisa berpura-pura bahagia tanpamu.”**

Alya meremas ujung rok yang ia kenakan. **”Kamu tahu kita tidak mungkin bersama.”**

Revan menoleh, matanya penuh luka. **”Siapa yang menentukan itu, Alya?”**

**”Kenyataan.”**

Revan mengusap wajahnya. **”Aku tidak peduli dengan kenyataan.”**

Alya tersenyum kecil, getir. **”Tapi kenyataan tetap ada, Kak. Kita tidak bisa menutup mata.”**

Revan menatapnya lama, sebelum akhirnya berkata, **”Alya, kalau aku meminta kamu untuk ikut denganku, apakah kamu akan pergi bersamaku?”**

Jantung Alya seakan berhenti berdetak.

**”Apa?”**

Revan meraih tangannya, menggenggamnya erat. **”Kita bisa pergi. Ke tempat di mana tidak ada yang bisa menghakimi kita. Ke tempat di mana kita bisa mencintai satu sama lain tanpa takut akan dunia.”**

Alya menatap Revan, mencari kesungguhan dalam matanya.

Dan ia menemukannya.

Revan benar-benar mengatakannya dengan serius.

Ia benar-benar ingin Alya pergi bersamanya.

Dan untuk sesaat, Alya tergoda.

Membayangkan dunia di mana ia dan Revan bisa bersama tanpa rasa bersalah.

Tapi dunia seperti itu tidak ada.

Dan mereka berdua tahu itu.

Alya menutup matanya, mencoba mengabaikan sakit yang menghantam dadanya.

**”Aku tidak bisa.”**

Revan menggenggam tangannya lebih erat. **”Kenapa tidak? Kamu mencintaiku, Alya. Aku tahu itu.”**

Alya menahan isakannya. **”Ya. Aku mencintaimu.”**

Revan tampak sedikit terkejut mendengar Alya mengakuinya dengan begitu gamblang.

Tapi sebelum pria itu bisa berkata apa pun, Alya melanjutkan, **”Tapi aku tidak bisa membiarkan cinta ini menghancurkan kita.”**

**”Alya—”**

**”Jangan, Kak.”** Alya menarik tangannya dari genggaman Revan. **”Jangan buat aku memilih antara cinta dan harga diriku sendiri.”**

Revan tampak terluka. **”Ini bukan tentang harga diri, Alya. Ini tentang kita.”**

Alya menggeleng. **”Tidak, Kak. Ini tentang bagaimana aku tidak bisa terus hidup dalam ketakutan dan dosa.”**

Hening.

Revan menundukkan kepala, seolah sedang mencoba memahami kata-kata Alya.

Lalu, dengan suara yang nyaris seperti bisikan, ia berkata, **”Jadi ini akhirnya?”**

Alya mengusap air mata yang mulai jatuh. **”Ya.”**

Revan menatapnya dengan mata yang dipenuhi kesedihan. **”Aku benci ini.”**

Alya tersenyum lemah. **”Aku juga.”**

Tapi hanya karena mereka membenci kenyataan, bukan berarti mereka bisa mengubahnya.

Cinta mereka tetaplah cinta yang terlarang.

Dan sekeras apa pun mereka mencoba, dunia tidak akan pernah mengizinkan mereka bersama.

—

### **Perpisahan yang Menyakitkan**

Setelah beberapa menit dalam keheningan, Revan akhirnya menghidupkan mesin mobil.

Perjalanan kembali terasa begitu panjang dan menyakitkan.

Ketika mereka sampai di depan apartemen Alya, Revan tidak mengatakan apa pun.

Alya juga tidak.

Ia hanya menatap pria itu untuk terakhir kalinya, menghafalkan setiap detail wajahnya, sebelum akhirnya membuka pintu dan melangkah keluar.

Tapi sebelum ia menutup pintu, suara Revan menahannya.

**”Aku mencintaimu, Alya. Dan aku tidak akan pernah berhenti.”**

Air mata Alya jatuh semakin deras.

Tapi ia tidak menoleh.

Ia tidak bisa.

Ia hanya menutup pintu mobil, berjalan masuk ke dalam apartemen, dan membiarkan dirinya menangis dalam diam.

Karena ia tahu…

Meski mereka saling mencintai, beberapa cinta memang ditakdirkan untuk tidak pernah bersatu.*

Bab 10: Mengikhlaskan yang Tak Bisa Dimiliki

Hujan turun deras malam itu, seakan langit menangisi kisah yang tak pernah bisa menemukan akhir yang bahagia. Alya duduk di tepi ranjangnya, memeluk dirinya sendiri sambil menatap jendela yang dipenuhi butiran air.

Kepalanya masih dipenuhi bayangan Revan. Kata-kata terakhir pria itu terus terngiang di telinganya.

> *”Aku mencintaimu, Alya. Dan aku tidak akan pernah berhenti.”*

Alya menutup matanya, membiarkan air matanya jatuh satu per satu.

Kalimat itu seharusnya membuatnya bahagia. Seharusnya menjadi alasan untuk kembali berlari ke pelukan pria itu. Tapi kenyataan berkata sebaliknya.

Cinta mereka adalah kesalahan.

Dan sebesar apa pun rasa yang mereka miliki satu sama lain, itu tidak akan mengubah apa pun.

Mereka tidak akan pernah bisa bersama.

—

### **Pagi yang Pahit**

Saat pagi menjelang, Alya mencoba menata dirinya. Ia tidak boleh larut dalam kesedihan. Ia harus bangkit.

Tapi ketika ia melangkah keluar dari apartemen dan menatap jalanan yang basah setelah hujan semalam, hatinya kembali terasa kosong.

Langkah kakinya terasa berat saat memasuki kantor. Setiap sudut ruangan terasa lebih suram dari biasanya.

Rian, yang sudah menyadari perubahan Alya sejak beberapa hari lalu, menatapnya penuh perhatian.

**”Kamu baik-baik saja?”** tanyanya pelan.

Alya mencoba tersenyum. **”Aku baik.”**

Tapi tentu saja, Rian tidak percaya. Ia sudah cukup lama mengenal Alya untuk tahu bahwa senyum itu hanya kedok.

**”Kalau kamu mau bicara, aku di sini.”**

Alya menatapnya sejenak sebelum mengangguk kecil. **”Terima kasih, Rian.”**

Tapi meskipun ia tahu Rian tulus, ia juga tahu… ini adalah pertempuran yang harus ia selesaikan sendiri.

—

### **Keputusan yang Menyakitkan**

Malamnya, Alya duduk di sofa dengan ponselnya di genggaman. Ia sudah membuka kontak Revan berkali-kali, tapi selalu ragu untuk menghubunginya.

Ia ingin mendengar suara pria itu.

Ia ingin mengatakan bahwa ia merindukannya.

Tapi itu hanya akan membuat segalanya lebih sulit.

Alya menarik napas panjang, lalu akhirnya mengetik pesan:

> *”Kak, aku ingin kita berhenti sampai di sini. Aku mohon, jangan cari aku lagi.”*

Tangannya gemetar saat ia menatap kalimat itu.

Bagaimana jika Revan tidak menerima keputusannya?

Bagaimana jika pria itu kembali berusaha meyakinkannya?

Tapi ia harus tetap kuat.

Dengan sisa keberanian yang ia miliki, ia menekan tombol *kirim.*

Dan begitu pesan itu terkirim, Alya menutup matanya, menahan air mata yang ingin jatuh lagi.

—

### **Jawaban dari Revan**

Ponselnya tidak bergetar selama beberapa menit. Alya mulai berpikir bahwa mungkin Revan memilih untuk mengabaikannya.

Tapi kemudian, sebuah pesan masuk.

> *”Baik, Alya. Jika itu yang kamu inginkan.”*

Jawaban itu pendek, sederhana, tanpa emosi.

Dan itu justru terasa lebih menyakitkan daripada jika Revan memohon padanya untuk tetap tinggal.

Karena itu berarti… Revan benar-benar akan pergi.

Alya menatap layar ponselnya lama.

Apakah ini yang benar-benar ia inginkan?

Ataukah ini hanya sesuatu yang ia lakukan untuk menyelamatkan dirinya sendiri dari luka yang lebih besar?

Tapi tidak ada waktu untuk ragu.

Keputusan sudah diambil.

Dan sekarang, ia harus belajar untuk menerima kenyataan itu.

—

### **Melangkah Maju**

Beberapa minggu berlalu, dan perlahan-lahan, Alya mulai terbiasa dengan hidup tanpa bayang-bayang Revan.

Ia mulai membiasakan dirinya untuk tidak menunggu pesan atau panggilan dari pria itu.

Ia mulai menerima bahwa beberapa cinta memang tidak ditakdirkan untuk bersatu.

Rian dan Arsen membantunya melalui hari-hari sulit. Mereka tidak banyak bertanya, hanya tetap berada di sampingnya, memberikan kehangatan saat ia merasa hampa.

Hingga suatu hari, Arsen mengajaknya bertemu.

Di sebuah kafe kecil, pria itu duduk di depannya, menatapnya dengan mata yang lembut.

**”Alya, aku nggak akan memaksamu untuk cerita, tapi aku ingin kamu tahu bahwa aku ada di sini.”**

Alya tersenyum tipis. **”Terima kasih, Arsen.”**

Arsen menghela napas, lalu menatapnya lebih dalam. **”Aku nggak akan berbohong. Aku menyukaimu, Alya.”**

Alya terdiam.

**”Tapi aku juga tahu kalau hati kamu masih ada di tempat lain,”** lanjut Arsen. **”Dan aku nggak mau memaksa sesuatu yang belum siap.”**

Alya menggigit bibirnya. **”Aku nggak ingin menyakiti kamu, Arsen.”**

Arsen tersenyum, lalu meraih tangannya sebentar sebelum melepasnya lagi. **”Aku tahu. Karena itu, aku akan menunggumu sampai kamu benar-benar siap.”**

Alya menatapnya, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, hatinya merasa sedikit lebih ringan.

Mungkin, ia masih butuh waktu.

Mungkin, luka ini masih belum sepenuhnya sembuh.

Tapi setidaknya, ia tahu bahwa ia tidak sendirian.

Dan mungkin, suatu hari nanti, ia akan benar-benar bisa melangkah maju.

Tanpa bayangan masa lalu yang terus menghantuinya.

Tanpa rasa bersalah yang terus menjerat hatinya.

Dan tanpa cinta yang tak seharusnya ia miliki.

—

### **Epilog: Mengikhlaskan**

Beberapa bulan kemudian, Alya berjalan sendirian di tepi pantai—tempat terakhir ia dan Revan bertemu.

Angin menerpa rambutnya, membawa kenangan yang masih melekat dalam dirinya.

Tapi kali ini, ia tidak menangis.

Ia hanya tersenyum, menatap lautan luas di depannya, dan berbisik pada dirinya sendiri,

**”Aku melepaskanmu, Kak. Semoga kamu juga bisa menemukan kebahagiaan.”**

Dan dengan itu, Alya melangkah pergi.

Meninggalkan masa lalu.

Meninggalkan cinta yang terlarang.

Dan memilih untuk menjalani hidupnya dengan lebih tenang.

Karena ia tahu…

Cinta sejati bukan hanya tentang memiliki.

Tapi juga tentang melepaskan, jika itu adalah hal yang terbaik.

—–THE END——

Source: YONGKI
Tags: #cintaterlarang#Kehilangandramaticromancehujandankenangankisahsedihmelangkahmajumengikhlaskanrinduyangtakterbalas
Previous Post

DEMI KAMU AKU BERTAHAN

Next Post

SETIAP DETIK UNTUK KAMU

Related Posts

Cinta Berbahaya dengan Suami Tanteku

Cinta Berbahaya dengan Suami Tanteku

May 2, 2025
Iparku, Kekasih dalam Bayangan:

Iparku, Kekasih dalam Bayangan:

May 1, 2025
Milik Ayah dan Anaknya”

Milik Ayah dan Anaknya”

April 30, 2025
Saat Suami Sahabatku Menginginkanku

Saat Suami Sahabatku Menginginkanku

April 29, 2025
Menjadi Milik Suami Sahabatku

Menjadi Milik Suami Sahabatku

April 28, 2025
Terjerat Nafsu Sang Guru

Terjerat Nafsu Sang Guru

April 27, 2025
Next Post
SETIAP DETIK UNTUK KAMU

SETIAP DETIK UNTUK KAMU

JANJI YANG BERUBAH MENJADI KENANGAN

JANJI YANG BERUBAH MENJADI KENANGAN

JEJAK PERTAMA DIHATIMU

JEJAK PERTAMA DIHATIMU

Top Stories

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

May 17, 2025
KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

May 16, 2025
KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

May 15, 2025

Tentang Kisah Cinta

Kami menyajikan kumpulan novel dan cerpen cinta yang menggambarkan berbagai sisi cinta, dari yang manis hingga yang pahit, dari yang bahagia hingga yang menyayat hati

Connect on Social

© 2024 Kisahcinta.id

No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta

© 2024 Kisahcinta.id