Daftar Isi
- Bab 1: Awal dari Segalanya
- Bab 2: Pesona yang Menggoda
- Bab 3: Godaan di Antara Mereka
- Bab 4: Malam yang Mengubah Segalanya
- Bab 5: Rahasia di Balik Pintu Tertutup
- Bab 6: Cinta yang Tidak Seharusnya
- Bab 7: Pengakuan yang Menghancurkan
- Bab 8: Pelarian dari Takdir
- Bab 9: Keputusan yang Menyakitkan
- Bab 10: Akhir yang Tak Terduga
Bab 1: Awal dari Segalanya
Di sebuah kota yang sibuk, dengan gedung-gedung tinggi menjulang dan mobil-mobil mewah yang melintas, hiduplah seorang gadis muda bernama Nia. Ia berasal dari keluarga sederhana, namun nasibnya membawa dia ke dunia yang sangat berbeda. Nia bekerja sebagai asisten pribadi istri dari seorang pengusaha sukses yang memiliki perusahaan besar. Pekerjaan itu membawanya ke rumah yang luas dan megah, dengan taman yang asri dan fasilitas yang jauh di atas kemampuannya. Setiap harinya, Nia menjalani rutinitas yang sama: bangun pagi, menyiapkan sarapan, merapikan rumah, mengatur jadwal, dan memastikan semua kebutuhan keluarga majikannya terpenuhi dengan sempurna.
Di luar sana, banyak yang memandangnya sebagai gadis yang beruntung. Namun, Nia tahu betul bahwa keberuntungannya ini tak sebanding dengan perasaan yang ia rasakan setiap hari. Ia hanya seorang asisten, hidup dalam bayang-bayang kemewahan yang tak pernah bisa ia sentuh, menjalani kehidupan yang penuh batasan dan pengorbanan demi pekerjaan.
Pagi itu, seperti biasa, Nia sedang mempersiapkan segala sesuatunya untuk istri majikannya, Ibu Sarah. Namun, ada yang berbeda. Sebuah kabar datang bahwa anak Ibu Sarah, yang selama ini tinggal di luar negeri, akan pulang setelah bertahun-tahun menempuh pendidikan di luar negeri. Nia tak tahu apa yang membuatnya sedikit merasa cemas, mungkin karena dia penasaran dengan pria muda yang baru saja kembali dari luar negeri itu.
Namun, cemas atau tidak, Nia tahu bahwa pekerjaannya tetap harus dilakukan dengan baik. Dia mengatur segala hal dengan teliti, mempersiapkan ruang tamu dan memastikan segala kebutuhan Ibu Sarah siap. Saat Ibu Sarah datang ke ruang tamu, senyumannya yang cerah langsung menyapa Nia.
“Ah, Nia, semuanya terlihat rapi sekali seperti biasa,” puji Ibu Sarah.
Nia hanya tersenyum dengan sopan. “Terima kasih, Bu. Senang bisa membantu.”
Tak lama kemudian, suara mobil mewah terdengar dari halaman. Ibu Sarah tersenyum lebar, terlihat sangat senang. “Itu dia, anakku pulang!” ujar Ibu Sarah dengan penuh kebanggaan.
Pintu terbuka dan seorang pria muda keluar dari mobil dengan langkah percaya diri. Tubuhnya tegap, wajahnya tampan dengan mata yang tajam dan senyum yang memikat. Dia mengenakan jas rapi yang membuatnya semakin terlihat menawan. Nia, yang sebelumnya hanya mendengarkan cerita tentang anak majikannya, kini melihat sosok itu langsung di hadapannya. Pria itu bernama Arga, anak sulung Ibu Sarah.
Kali pertama mata Nia bertemu dengan Arga, ada sesuatu yang berbeda dalam dirinya. Mungkin itu karisma yang terpancar darinya, atau mungkin juga karena kenyataan bahwa dia adalah sosok yang berbeda dari siapa pun yang pernah Nia temui. Arga memiliki aura yang memikat, yang membuat semua orang di sekitarnya merasa terpesona. Tapi bagi Nia, pertemuan itu hanyalah sebuah pertemuan biasa, salah satu dari banyak kejadian dalam kehidupan sehari-hari yang sering ia jalani.
Namun, ada sesuatu yang tak biasa dalam tatapan Arga. Ketika matanya bertemu dengan Nia, senyum di wajahnya lebih lebar, seolah ia sudah lama mengenal gadis itu. Nia merasa sedikit kikuk, tidak tahu harus berbuat apa. Dia hanya bisa tersenyum kecil, menundukkan kepala sejenak, dan melanjutkan pekerjaannya. Arga, dengan langkah santainya, menghampiri ibunya.
“Nia, ini Arga, anakku. Arga, ini Nia, asisten pribadiku yang sangat membantu di rumah ini,” ujar Ibu Sarah mengenalkan mereka.
Nia memberikan senyum tulus, “Selamat datang kembali, Arga. Semoga perjalananmu lancar.”
Arga mengangguk, dan kemudian matanya kembali tertuju pada Nia. “Terima kasih, Nia. Senang akhirnya bisa bertemu denganmu. Ibuku sering bercerita tentangmu.”
Sebuah getaran aneh melintas di hati Nia. Kata-kata Arga seolah membawa perasaan yang tak bisa ia jelaskan. Ia hanya tersenyum ragu, merasa sedikit canggung, namun berusaha untuk tetap sopan.
Setelah beberapa saat berbincang-bincang ringan, Arga mengajak Nia untuk berbicara lebih lanjut tentang kehidupannya di luar negeri. Nia merasa tidak enak, karena dia hanya seorang asisten, namun Arga memintanya untuk menemani mereka saat makan malam. Tanpa sadar, Nia menemukan dirinya berada dalam percakapan yang lebih pribadi dengan Arga, jauh dari sekadar pekerjaan.
Saat malam tiba, Nia tidak bisa menepis rasa aneh yang melanda dirinya. Wajah Arga terus terbayang dalam pikirannya. Dia tidak mengerti mengapa pria itu begitu mempengaruhi dirinya. Sebagai asisten, seharusnya dia bisa menjaga jarak, namun perasaan yang tumbuh dalam dirinya sulit untuk diabaikan begitu saja.
Arga terus menunjukkan perhatian lebih pada Nia, bertanya tentang pekerjaannya, kehidupan sehari-harinya, bahkan berbagi cerita tentang kehidupannya di luar negeri. Dalam beberapa kesempatan, matanya menatap Nia dengan intens, seolah ada sesuatu yang lebih dalam antara mereka berdua. Nia pun tak bisa menghindar dari tatapan itu. Meskipun ia berusaha untuk tidak memperdulikan perasaan itu, hatinya semakin terseret ke dalam dunia yang sangat berbeda dari kehidupannya yang biasa.
Arga, dengan pesonanya yang sulit ditolak, telah memasuki pikirannya. Namun, ada sesuatu yang mengganggu pikirannya: Arga adalah anak dari majikannya. Dan meskipun dia mungkin merasa nyaman, Nia tahu betul bahwa segala perasaan yang tumbuh di hatinya adalah sesuatu yang tidak seharusnya ada.
Namun, perasaan itu terus mengganggu setiap kali ia berada di dekatnya. Di balik senyumnya yang memikat dan perhatian yang diberikan, Nia merasakan adanya godaan yang kuat. Namun, ia tak pernah membayangkan bahwa perasaan itu hanya baru saja dimulai, dan akan menjadi lebih rumit dari yang ia duga.*
Bab 2: Pesona yang Menggoda
Minggu-minggu berlalu dengan cepat, dan Nia merasa rutinitasnya semakin berubah. Kehadiran Arga di rumah majikannya memberi warna baru dalam kehidupan sehari-harinya. Setiap kali pria itu berada di rumah, ada suasana yang berbeda—suasana yang lebih hidup, lebih bersemangat, dan tanpa disadari, lebih menggoda. Meskipun ia berusaha menjaga jarak, kenyataan bahwa Arga terus berusaha dekat dengannya membuat Nia merasa terombang-ambing. Ada sesuatu dalam dirinya yang mulai merespon perhatian yang diberikan Arga, meskipun dia tahu betul bahwa perasaan itu harus segera dihentikan.
Arga tidak hanya sekadar anak yang baru pulang dari luar negeri. Dia adalah sosok yang cerdas, penuh percaya diri, dan memiliki daya tarik yang sulit dijelaskan. Setiap gerak-geriknya terasa penuh pesona, setiap kata yang diucapkannya seolah dirancang untuk memikat siapa pun yang mendengarnya. Bahkan Nia, yang berusaha keras untuk tetap profesional, tak bisa menahan diri dari rasa kagum yang mulai tumbuh dalam hatinya.
Pada suatu sore, Arga mengundang Nia untuk menemani dirinya berjalan-jalan di sekitar taman rumah mereka. Nia merasa sedikit canggung, namun ia tak bisa menolak ajakan itu. Mereka berjalan berdampingan di sepanjang jalan setapak yang dihiasi bunga-bunga indah. Udara sore itu segar, dan angin sepoi-sepoi berhembus lembut di antara mereka.
“Bagaimana rasanya bekerja di sini?” Arga bertanya sambil memandang ke depan.
“Baik, Tuan Arga. Pekerjaan saya biasa saja, tidak ada yang istimewa,” jawab Nia, berusaha terdengar biasa saja meskipun hatinya berdebar-debar.
“Tapi kamu pasti punya banyak cerita menarik, kan?” Arga terus menggali, tidak membiarkan pembicaraan berhenti begitu saja.
Nia menoleh ke arah Arga. Wajahnya yang tampan itu tampak begitu dekat, dan senyumnya semakin membuat hati Nia gelisah. “Mungkin ada beberapa cerita, tapi saya lebih suka bekerja dengan tenang,” jawabnya sambil mencoba tetap fokus pada percakapan, meskipun dalam hatinya, berbagai perasaan bercampur aduk.
Arga menatapnya lebih lama dari yang diinginkannya. Matanya penuh perhatian, dan Nia merasa seolah-olah ia sedang diperhatikan lebih dari sekadar seorang asisten. “Kamu tahu,” Arga berkata, suaranya lebih lembut, “Ibuku selalu bercerita tentang kamu. Dia bilang kamu sangat berdedikasi dan selalu melakukan segala sesuatunya dengan baik. Itu sesuatu yang jarang ditemukan di tempat seperti ini.”
Nia merasa tersentuh mendengar pujian itu, tetapi juga merasa tidak nyaman. “Terima kasih, Tuan Arga. Itu hanya pekerjaan saya,” jawabnya, meskipun di dalam hati, dia mulai merasakan kebingungannya semakin dalam.
Malam itu, setelah makan malam bersama, Nia kembali ke kamarnya dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Ketika dia menatap bayangannya di cermin, ia merasa semakin terperangkap dalam perasaan yang tidak seharusnya ada. Di satu sisi, ia tahu bahwa ia hanyalah seorang asisten di rumah ini, dan perasaannya terhadap Arga adalah hal yang tidak bisa diterima. Tetapi di sisi lain, ia tidak bisa memungkiri bahwa perasaan itu semakin menguat. Arga begitu menarik—pesona yang dimilikinya begitu kuat, hampir seperti daya tarik magnet yang tak bisa dihindari.
Di tengah kebingungannya, Nia mencoba mengalihkan pikirannya dengan pekerjaan yang harus diselesaikan. Namun, pikirannya kembali kepada Arga. Suaranya, senyumnya, dan tatapan penuh perhatian itu terus berputar di kepalanya. Bahkan saat sedang bekerja, ia merasakan kehadiran Arga di sekitar dirinya, seolah-olah pria itu selalu mengawasinya.
Beberapa hari kemudian, pertemuan mereka semakin sering. Arga mulai lebih sering berbicara dengannya, baik itu tentang pekerjaan, kehidupan pribadinya, atau bahkan hal-hal kecil yang terjadi di rumah. Tidak jarang Arga mengajaknya berbincang panjang lebar tentang topik-topik yang membuat Nia merasa lebih dekat dengannya. Setiap percakapan membuat Nia merasa seolah mereka memiliki ikatan khusus, sebuah kedekatan yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.
Nia mencoba menahan perasaan itu, tetapi semakin ia berusaha untuk mengabaikannya, semakin kuat perasaan yang tumbuh di hatinya. Arga tampaknya tidak menganggap hubungan mereka sebagai sesuatu yang aneh. Justru sebaliknya, ia semakin menunjukkan minat dan perhatian, bahkan pada hal-hal kecil yang sebelumnya tidak pernah diperhatikan orang lain. Setiap kali Arga mengajaknya berbicara, Nia merasa seolah dunia mereka berdua saja yang ada.
Suatu hari, saat Nia sedang merapikan buku-buku di ruang tamu, Arga datang mendekat. “Nia,” panggilnya dengan suara lembut, “kamu suka membaca?”
Nia sedikit terkejut, tetapi tersenyum dan mengangguk. “Ya, saya suka. Saya hanya membaca buku-buku ringan, sih.”
Arga mendekatkan dirinya sedikit lagi. “Mungkin kamu bisa merekomendasikan saya beberapa buku? Aku selalu mencari bacaan baru.”
Nia hanya bisa tersenyum ragu. “Tentu, saya akan mencarikannya.”
Tapi saat itu, pandangan Arga yang dalam menembus matanya, seolah mengungkapkan sesuatu yang lebih dari sekadar obrolan biasa. Nia merasa cemas, takut jika dia terlalu lama terjebak dalam tatapan itu, dia akan kehilangan kendali atas perasaannya sendiri. Arga, dengan pesonanya yang tak terbantahkan, semakin menggoda dan membuat hati Nia semakin kalut.
Sampai pada akhirnya, Nia tidak bisa lagi mengabaikan kenyataan—ia telah jatuh dalam tarikannya. Dan meskipun perasaan itu salah, ia tahu bahwa godaan yang datang dari Arga begitu kuat, begitu sulit untuk dihindari. Namun, Nia berusaha untuk tidak membiarkan perasaan itu menguasai dirinya. Dia tahu bahwa ini bukan jalan yang benar untuknya, tetapi hati dan pikirannya seolah saling bertentangan, membuatnya terombang-ambing dalam dilema yang tak kunjung usai.*
Bab 3: Godaan di Antara Mereka
Hari-hari berlalu dengan cepat, dan semakin lama Nia semakin merasa terperangkap dalam permainan tak terlihat yang melibatkan dua pria dalam hidupnya. Arga, dengan pesonanya yang tak terbantahkan, terus menunjukkan perhatian yang lebih dari sekadar teman biasa. Setiap kali mereka berbicara, ada sesuatu yang tak bisa ia abaikan, sesuatu yang lebih dari sekadar percakapan biasa. Sementara itu, sang ayah, Pak Arman, mulai menunjukkan perhatian yang lebih intens terhadap dirinya. Nia merasa kebingungannya semakin dalam, terjebak dalam dua perasaan yang saling bersaing.
Pak Arman, seorang pria paruh baya yang telah sukses besar, memiliki segala yang diinginkan banyak orang—kekayaan, kekuasaan, dan karisma yang memikat. Namun, di balik semua itu, ada sisi lain yang tak banyak orang ketahui. Ia adalah seorang pria yang sangat memperhatikan setiap detail, dan ia tahu bagaimana cara membuat orang di sekitarnya merasa dihargai. Nia merasakan hal itu setiap kali berada di dekatnya. Pak Arman selalu memberi perhatian yang lebih padanya, dari mulai memberi pujian atas pekerjaannya hingga memberikan hadiah kecil yang tak terduga. Meski seringkali merasa canggung dengan sikap Pak Arman, Nia tak bisa menepis perasaan yang mulai tumbuh dalam hatinya.
Suatu sore, setelah Nia menyelesaikan pekerjaan rumah tangga, Pak Arman memanggilnya ke ruang kerjanya. Nia merasa sedikit gugup, meskipun ia berusaha untuk tetap tenang. Ketika dia memasuki ruang kerjanya, Pak Arman sedang duduk di kursi kantornya, dengan sebuah senyuman tipis yang menghiasi wajahnya.
“Nia, ada yang ingin aku bicarakan,” kata Pak Arman, suaranya dalam dan penuh wibawa.
Nia berdiri di depan meja, menunduk sedikit, mencoba menjaga jarak dan sikap profesional. “Tentu, Pak Arman. Ada yang bisa saya bantu?”
Pak Arman menatapnya, matanya penuh perhatian. “Kamu tahu, aku sangat menghargai kerja kerasmu selama ini. Istriku juga selalu memuji kerjamu. Kamu sangat berdedikasi, dan itu membuatku sangat terkesan.”
Nia hanya tersenyum kecil. “Terima kasih, Pak. Itu hanya pekerjaan saya.”
Pak Arman memandangnya lebih lama dari yang Nia harapkan, seolah mencari sesuatu di balik pandangannya. “Kamu tahu, kadang-kadang aku merasa kamu lebih dari sekadar asisten. Ada banyak hal yang bisa kamu capai jika kamu ingin lebih.”
Nia merasa jantungnya berdebar cepat. Kata-kata Pak Arman membuatnya merasa cemas. “Pak Arman, saya hanya seorang asisten. Saya tidak ingin mengganggu apa pun di sini.”
Pak Arman tersenyum lagi, senyuman yang semakin membuat Nia merasa tak nyaman. “Tidak ada yang mengganggu. Justru, aku merasa kamu memiliki potensi lebih, Nia. Jika kamu ingin berbicara lebih lanjut tentang masa depan, aku selalu ada untuk mendengarkan.”
Perasaan Nia semakin tak karuan. Apa maksud semua ini? Mengapa Pak Arman begitu perhatian padanya? Ia merasa bingung, namun tetap berusaha menjaga profesionalisme. “Terima kasih, Pak. Saya akan memikirkannya.”
Setelah beberapa detik yang terasa panjang, Nia pun keluar dari ruang kerja Pak Arman dengan perasaan campur aduk. Di satu sisi, ia merasa tersanjung dengan perhatian yang diberikan, namun di sisi lain, ia semakin terperangkap dalam perasaan yang tak seharusnya ada. Perasaan itu semakin rumit ketika ia harus berhadapan dengan Arga, yang juga terus menunjukkan perhatian yang tak kalah besar.
Pada suatu malam, ketika Nia sedang bekerja di ruang makan, Arga tiba-tiba datang menghampirinya. “Nia, kamu sibuk?” tanya Arga dengan nada yang santai, tetapi ada sesuatu yang berbeda dalam suaranya.
Nia menoleh, sedikit terkejut, namun tetap berusaha menjaga sikap profesional. “Tidak terlalu. Ada yang bisa saya bantu, Tuan Arga?”
Arga tersenyum dan duduk di kursi di sebelahnya. “Aku hanya ingin mengobrol sebentar. Aku merasa kita jarang berbicara, hanya berdua.”
Nia merasa sedikit canggung, tetapi ia tahu bahwa menolak ajakan Arga akan terasa kurang sopan. “Tentu, ada yang ingin Tuan bicarakan?”
Arga menatapnya dengan tatapan yang penuh makna, seolah ia ingin mengatakan sesuatu yang lebih pribadi. “Nia, aku ingin tahu lebih banyak tentangmu. Tentang kehidupanmu, tentang apa yang kamu suka. Aku merasa ada banyak hal yang belum aku ketahui tentang kamu.”
Nia terdiam sejenak. Arga benar, mereka memang jarang berbicara lebih dalam tentang kehidupan pribadi masing-masing. Namun, perasaan canggung dan ketakutannya membuatnya ragu untuk membuka diri.
“Kenapa kamu tertarik untuk tahu?” tanya Nia dengan hati-hati.
Arga tersenyum lebih lebar, matanya semakin tajam. “Karena kamu berbeda, Nia. Aku merasa kamu lebih dari sekadar asisten. Kamu punya kepribadian yang menarik, dan aku ingin mengenalmu lebih dekat.”
Nia merasa ada sesuatu yang tak biasa dalam kata-kata Arga. Rasanya, ia tidak bisa menghindar dari tatapan dan perhatian yang begitu kuat. “Tapi, kita hanya teman kerja, Tuan Arga,” jawab Nia dengan suara gemetar, meskipun ia tahu bahwa kata-kata itu hanya sebuah pembelaan diri.
Arga mendekat sedikit, tidak mengurangi intensitas pandangannya. “Aku tahu, Nia. Tapi aku tidak bisa membohongi perasaan ini. Aku merasa ada ikatan di antara kita yang lebih dari sekadar hubungan profesional.”
Perasaan Nia semakin kacau. Arga, dengan segala pesonanya, seolah menggoda hatinya tanpa memberi kesempatan untuk menolaknya. Ia ingin menjauh, tapi setiap kali berhadapan dengan Arga, godaan itu semakin besar.
Di sisi lain, perhatian Pak Arman semakin intens. Semakin hari, ia semakin sering memberi pujian, bahkan memberikan perhatian lebih pada Nia yang semakin sulit ia abaikan. Dua pria dalam satu keluarga, dengan daya tarik yang luar biasa, kini membuat Nia terjebak dalam godaan yang tak bisa ia hindari.
Nia merasa bingung dan terombang-ambing. Di satu sisi, ia merasa terhormat dengan perhatian yang diberikan oleh Pak Arman dan Arga, namun di sisi lain, ia tahu bahwa hubungan semacam ini adalah kesalahan yang besar. Namun, semakin ia berusaha menghindar, semakin besar godaan itu, dan semakin dalam ia terperangkap dalam dilema yang tak bisa ia selesaikan sendiri.*
Bab 4: Malam yang Mengubah Segalanya
Nia mencoba untuk menjaga jarak dari godaan yang terus mengelilinginya. Namun, semakin ia berusaha menahan perasaannya, semakin tak terhindarkan perasaan itu menguat. Arga dan Pak Arman, keduanya terus menunjukkan perhatian yang sulit diabaikan. Dalam kekacauan perasaannya, Nia mulai merasakan ketegangan yang semakin kuat antara dirinya dan dua pria tersebut. Ia ingin tetap profesional, tetapi perasaan itu mulai menguasai dirinya.
Suatu malam, setelah selesai bekerja dan rumah telah sepi, Nia memutuskan untuk berjalan-jalan di taman belakang rumah untuk menenangkan pikirannya. Udara malam itu terasa sejuk, dan sinar bulan menyinari setiap sudut taman, menciptakan suasana yang tenang namun penuh misteri. Langkah kakinya perlahan, namun hatinya dipenuhi dengan kebingungannya. Ia tahu dirinya sedang berada di jalan yang salah, tetapi tak bisa mengelak dari godaan yang datang begitu kuat.
Tanpa disadari, Arga muncul di hadapannya. “Nia, kamu sedang apa di sini?” tanya Arga dengan suara lembut, tetapi ada sesuatu yang berbeda dalam cara ia menatapnya.
Nia terkejut dan hampir terjatuh karena tidak melihat ke sekeliling. “Tuan Arga! Saya hanya… hanya ingin berjalan-jalan sebentar,” jawab Nia gugup, berusaha menyembunyikan kekhawatirannya.
Arga tersenyum, langkahnya mendekat. “Tidak perlu merasa canggung, Nia. Aku tahu kamu butuh waktu untuk dirimu sendiri. Tapi, kalau boleh tahu, apa yang sedang mengganggu pikiranmu?”
Nia menghindari tatapan Arga. Ia merasa semakin terjebak dalam situasi yang semakin rumit. “Tidak ada yang mengganggu. Hanya, banyak yang harus saya pikirkan,” jawabnya pelan, mencoba menghindar dari percakapan yang lebih dalam.
Arga berhenti di depan Nia, tatapannya semakin intens. “Kamu tahu, aku tidak suka melihatmu merasa terbebani. Ada sesuatu yang aku rasakan, Nia. Sesuatu yang lebih dari sekadar perasaan biasa.”
Nia merasa jantungnya berdegup kencang. Arga semakin mendekat, dan Nia merasa dunia seakan hanya ada mereka berdua. Ada semacam magnet yang menarik mereka lebih dekat, meskipun ia tahu bahwa ini adalah hal yang sangat salah. Hatinya mulai berdetak tidak teratur, perasaan yang sudah sejak lama ia tahan mulai meledak begitu saja.
Tanpa berkata apa-apa, Arga melangkah lebih dekat, hingga hanya beberapa inci memisahkan wajah mereka. Nia merasa cemas, namun di sisi lain, ada perasaan yang sulit dijelaskan yang membuatnya tak ingin melangkah mundur. Arga meraih tangannya dengan lembut, dan seketika itu pula, Nia merasakan getaran yang mengguncang dirinya.
“Jangan takut, Nia. Aku tidak akan menyakitimu,” bisik Arga, suaranya begitu dekat di telinganya. “Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku peduli padamu. Lebih dari sekadar perasaan biasa.”
Nia terdiam, hatinya berperang. Di satu sisi, ia tahu bahwa apa yang sedang terjadi adalah sebuah kesalahan besar. Namun, di sisi lain, ada perasaan yang begitu kuat, yang membuatnya merasa seolah-olah ia tidak bisa lagi menahan godaan yang datang dari Arga. Perasaan itu begitu memabukkan, dan ia tak bisa lagi menolak.
Tiba-tiba, Arga menariknya sedikit lebih dekat dan menatapnya dengan penuh intensitas. Dalam keheningan malam, Arga mencium bibir Nia dengan lembut. Nia terkejut, namun tubuhnya seakan merespon secara otomatis. Rasa cemas, bingung, dan keinginan bercampur menjadi satu, membuatnya terombang-ambing. Hatinya mengatakan untuk berhenti, namun tubuhnya seakan menuntut untuk terus terhanyut dalam perasaan ini.
Perasaan yang tercipta dalam sekejap itu begitu kuat dan membingungkan. Nia merasa seolah-olah dunia berhenti berputar saat itu juga. Ketika Arga akhirnya melepaskan ciumannya, Nia hanya berdiri kaku, menatapnya dengan napas yang terengah-engah. Ia tidak tahu harus berkata apa. Semua perasaan yang tertahan begitu lama kini meledak begitu saja.
Arga menatapnya dengan ekspresi yang sulit dibaca. “Kamu tahu, Nia, aku tidak akan pernah bisa melupakanmu begitu saja,” katanya dengan suara yang lebih serius. “Aku sudah terlalu lama memendam perasaan ini.”
Nia merasa dunia seakan runtuh di sekitarnya. “Arga… Ini salah. Kita tidak bisa seperti ini,” kata Nia dengan suara bergetar, meskipun di dalam hatinya, ia tahu bahwa ia tidak bisa lagi menghindar dari perasaan ini.
Arga menghela napas, namun tatapannya tetap lembut. “Aku tahu ini tidak mudah. Tapi aku ingin kamu tahu bahwa aku serius, Nia. Aku tidak akan pergi.”
Kata-kata Arga terus bergema di telinganya, membuat Nia semakin bingung dan terperangkap dalam dilema yang tak bisa ia pecahkan. Sesaat, ia merasakan kebingungan yang mendalam. Apa yang terjadi malam ini? Apa yang sebenarnya ia rasakan? Apakah perasaan ini benar, atau hanya sebuah godaan yang membuatnya kehilangan kendali?
Malam itu, setelah kejadian yang mengguncang perasaannya, Nia merasa kosong dan bingung. Ia tidak tahu lagi apakah ia bisa melanjutkan hubungan ini atau pergi menjauh. Namun, satu hal yang ia tahu dengan pasti—keputusan yang harus diambil sangatlah sulit, dan perasaan yang ia rasakan tidak akan pernah mudah untuk dilupakan.*
Bab 5: Rahasia di Balik Pintu Tertutup
Keesokan harinya, Nia merasa seperti terjebak dalam mimpi buruk yang tak kunjung berakhir. Kejadian semalam terus menghantui pikirannya, dan ia merasa seolah-olah dunia di sekitarnya telah berubah. Arga dan Pak Arman, keduanya masih ada di dalam hidupnya, namun perasaan yang tercipta antara mereka semakin rumit. Setiap kali Nia berusaha untuk fokus pada pekerjaan, bayangan ciuman itu dan tatapan penuh makna dari Arga menghantuinya.
Hari itu, setelah makan siang, Nia kembali dipanggil oleh Pak Arman ke ruang kerjanya. Suasana di ruang itu terasa berbeda dari biasanya—lebih tegang, lebih berat. Pak Arman duduk di balik mejanya, menatap Nia dengan ekspresi serius yang tak pernah ia tunjukkan sebelumnya.
“Nia, ada sesuatu yang perlu kita bicarakan,” kata Pak Arman dengan suara yang lebih dalam dari biasanya. “Aku merasa sudah waktunya kita membicarakan hal yang lebih serius.”
Nia merasakan ketegangan yang semakin meningkat di antara mereka. “Tentu, Pak Arman. Ada yang bisa saya bantu?” jawabnya dengan suara yang sedikit gemetar, meskipun ia berusaha untuk tetap tenang.
Pak Arman mengangguk perlahan. “Aku ingin kamu tahu bahwa aku sangat menghargai pekerjaan dan dedikasi yang kamu tunjukkan selama ini. Tapi ada hal lain yang lebih penting yang perlu kita bahas. Aku tahu kamu merasa canggung dengan sikapku belakangan ini, tetapi izinkan aku untuk menjelaskan.”
Nia merasa perasaannya semakin tidak menentu. Ia sudah mulai menyadari bahwa sikap Pak Arman bukan hanya sebagai majikan. Ada sesuatu yang lebih dalam, yang mulai terbuka seiring berjalannya waktu. “Pak Arman, saya… saya tidak tahu apa yang Anda maksud,” kata Nia dengan hati-hati, berusaha menghindari kenyataan yang mulai terasa semakin dekat.
Pak Arman menatapnya tajam, seolah sedang membaca perasaan Nia. “Aku tahu kamu tahu apa yang sedang terjadi, Nia. Aku bisa melihatnya dalam tatapanmu. Aku ingin kamu tahu bahwa aku merasa lebih dari sekadar seorang atasan untukmu. Aku… aku tertarik padamu, Nia.”
Nia terdiam, hatinya seakan berhenti berdetak. Kata-kata Pak Arman terdengar seperti petir yang menghancurkan ketenangannya. Ia tidak tahu harus berkata apa, karena sejujurnya, perasaannya juga mulai berubah—meskipun itu adalah hal yang tak seharusnya ia rasakan. Namun, kenyataan yang begitu pahit itu menghimpitnya, dan ia merasa terperangkap.
“Pak Arman, saya…” Nia terputus oleh kata-katanya sendiri. Ia ingin menolak, tetapi kata-kata itu tak kunjung keluar. Perasaan bingung dan takut membuatnya terdiam.
Pak Arman berdiri dari kursinya dan mendekatinya. “Nia, aku tahu ini sulit. Aku tahu kamu merasa terjebak. Tetapi aku ingin kamu tahu bahwa aku serius. Aku ingin kamu mempertimbangkan ini, meskipun aku tahu itu sangat berat. Aku tidak akan memaksamu, tetapi aku ingin kamu tahu bahwa aku ingin lebih dari sekadar hubungan atasan dan asisten.”
Nia merasa dunia seakan menghilang di sekitarnya. Ia merasa terombang-ambing antara perasaan yang tidak bisa ia kontrol dan kesadaran bahwa hubungan semacam ini sangat salah. Namun, di sisi lain, perhatian dan pengakuan dari Pak Arman begitu menggoda, dan ia merasa dirinya mulai terjerat dalam perangkap yang telah dibangun perlahan-lahan.
Malam itu, Nia kembali merasa bingung. Setelah pertemuan dengan Pak Arman, pikirannya semakin kacau. Apa yang harus ia lakukan? Bagaimana cara ia keluar dari situasi ini tanpa menghancurkan semuanya? Ia merasa terperangkap dalam dunia yang sama sekali berbeda, di antara dua pria yang sangat ia hormati dan merasa sangat dekat dengannya, namun juga menyadari bahwa hubungan ini adalah dosa besar.
Di saat yang sama, perasaan lain yang lebih rumit muncul. Ketika Nia kembali ke kamarnya malam itu, pintu kamarnya terbuka dengan pelan. Di ambang pintu, Arga berdiri dengan tatapan yang tidak bisa dihindari. Nia merasa jantungnya berdegup kencang, tahu bahwa segala sesuatu yang ia coba hindari akhirnya sampai juga ke titik ini.
“Kenapa kamu terlihat bingung, Nia?” tanya Arga, suaranya lembut namun penuh makna.
Nia menunduk, tidak tahu bagaimana menjelaskan kebingungannya. “Tidak ada, Tuan Arga. Hanya… ada banyak hal yang harus saya pikirkan.”
Arga melangkah masuk ke dalam kamar tanpa menunggu persetujuan. “Aku tahu kamu merasa cemas, Nia. Aku juga merasa seperti itu. Tapi kamu harus tahu, aku tidak bisa terus seperti ini. Aku tidak bisa terus memendam perasaan ini.”
Nia mengangkat kepala dan menatap Arga dengan mata yang penuh kebingungan. “Arga, ini salah. Apa yang terjadi antara kita, ini tidak bisa dibiarkan begitu saja.”
Arga mendekat, dan Nia bisa merasakan ketegangan di udara. “Aku tahu itu salah, Nia. Tapi kita berdua tahu, ada sesuatu di antara kita yang tak bisa diabaikan. Aku ingin kamu tahu bahwa aku tidak akan mundur begitu saja. Aku akan berjuang untukmu.”
Nia merasa hatinya terombang-ambing. Ia ingin mundur, tetapi Arga semakin mendekat, semakin memaksanya untuk menghadapi perasaan yang selama ini ia coba hindari. Tiba-tiba, perasaan bersalahnya semakin besar. Ia merasa seperti seorang wanita yang terjebak di antara dua dunia yang tidak bisa ia pilih tanpa merusak segalanya.
“Arga, tolong. Kita tidak bisa melanjutkan ini,” kata Nia, suaranya hampir terdengar memohon.
Namun, Arga hanya menggelengkan kepala. “Aku tidak bisa melepaskanmu, Nia. Tidak sekarang.”
Tegangan antara mereka semakin meningkat. Di luar sana, Pak Arman mungkin merasa kehilangan kendali atas apa yang terjadi. Sementara Nia, yang selalu berusaha menjaga jarak dan menghindari perasaan ini, kini terjebak dalam perangkap yang semakin sulit untuk keluar.
Perasaan Nia semakin kacau. Di antara keduanya, ia merasa seperti sudah terjerumus jauh ke dalam hubungan yang berbahaya dan tak mungkin keluar tanpa melukai semua orang yang terlibat. Namun, satu hal yang ia ketahui dengan pasti—keputusan yang harus ia ambil sekarang akan mengubah hidupnya selamanya.*
Bab 6: Cinta yang Tidak Seharusnya
Hari demi hari, Nia merasa semakin terjerat dalam jaring perasaan yang tak seharusnya ia rasakan. Kehidupan sehari-harinya semakin sulit dijalani, antara rasa bersalah yang semakin dalam dan dorongan kuat yang datang dari kedua pria tersebut. Arga, dengan pesona dan kehangatan yang tidak bisa ia tolak, dan Pak Arman, dengan perhatian yang begitu tulus, keduanya memberikan godaan yang begitu besar. Nia berusaha untuk menepisnya, tetapi setiap kali mereka ada di dekatnya, ia merasa seolah-olah tidak bisa melawan.
Perasaan bersalah semakin menguasainya, apalagi setelah kejadian-kejadian yang semakin intim dengan keduanya. Ia merasa terjebak dalam hubungan yang tidak hanya merusak dirinya, tetapi juga hubungan keluarga yang seharusnya tidak bisa ia ganggu. Namun, hati dan pikirannya terus berperang. Kadang ia merasa tidak ingin melanjutkan semuanya, tetapi kadang-kadang perasaan itu datang kembali dengan kekuatan yang lebih besar.
Suatu malam, setelah bekerja lembur, Nia kembali ke kamarnya. Keletihan dan kebingungannya semakin besar. Tiba-tiba, pintu kamarnya terbuka dengan pelan. Arga masuk tanpa mengetuk, seperti sudah tahu bahwa Nia sedang membutuhkan seseorang.
“Nia,” kata Arga dengan suara rendah dan lembut. “Kenapa kamu selalu menghindar dariku? Aku bisa melihatnya dalam matamu.”
Nia terdiam, merasa hatinya semakin berat. Ia tidak bisa menatap Arga. “Arga, tolong… ini salah. Kita tidak bisa seperti ini.”
Arga mendekat, duduk di tepi tempat tidurnya. “Aku tahu ini salah, Nia. Tapi aku tidak bisa membohongi perasaanku. Aku sudah terlalu lama memendam perasaan ini, dan aku tidak ingin melanjutkan hidup tanpa kamu.”
Nia menggigit bibirnya, berusaha menahan air mata yang sudah hampir jatuh. “Tapi, kamu tahu, kita tidak bisa melanjutkan ini. Ini akan merusak semuanya, Arga. Semua yang sudah ada, semuanya yang telah terbangun di sini.”
Arga meraih tangan Nia dengan lembut, matanya menatapnya dengan intens. “Aku tidak peduli, Nia. Aku sudah cukup lama berada dalam bayang-bayang. Aku ingin kamu tahu bahwa aku serius. Aku ingin lebih dari sekadar ini.”
Nia merasakan gemuruh dalam dadanya. Rasa takut dan kebingungannya semakin besar. “Arga, ini tidak benar. Kita tidak bisa melanjutkan hubungan seperti ini. Aku tidak ingin menjadi bagian dari… kehancuran.”
Namun, Arga tetap bertahan, dan untuk sesaat, Nia merasa terperangkap dalam dunia yang semakin sempit. Ada perasaan yang terus menariknya lebih dalam, dan meskipun ia tahu bahwa ia seharusnya melawan, ia tidak bisa menahan diri.
Di sisi lain, Pak Arman juga tidak tinggal diam. Setelah beberapa hari, ia mulai mendekati Nia lebih sering. Tindakan kecil seperti mengajak makan malam atau berbicara berdua dalam situasi yang lebih pribadi semakin sering terjadi. Meskipun mereka selalu berusaha untuk menjaga jarak, tak bisa dipungkiri bahwa perasaan itu tetap tumbuh.
Suatu malam, Pak Arman mengajak Nia untuk berbicara di ruang tamu setelah makan malam. “Nia, ada yang ingin aku katakan,” kata Pak Arman dengan suara yang tegas, namun ada keraguan yang terselip di sana.
Nia menatapnya dengan gugup. “Tentu, Pak Arman. Ada yang bisa saya bantu?”
Pak Arman menghela napas panjang, kemudian duduk di sebelah Nia. “Aku tahu ini mungkin akan mengejutkanmu, tapi aku ingin kamu tahu bahwa aku serius dengan apa yang aku rasakan. Aku tidak hanya melihatmu sebagai asisten, Nia. Aku merasa ada sesuatu yang lebih dalam di antara kita.”
Nia terdiam, jantungnya berdegup kencang. “Pak Arman, saya… saya tidak tahu harus berkata apa,” kata Nia dengan suara pelan, berusaha menahan perasaan yang semakin mengguncangnya.
Pak Arman menatapnya dengan lembut, namun juga penuh keyakinan. “Aku tahu ini sulit, Nia. Tapi aku ingin kamu tahu bahwa aku tak bisa terus hidup dalam kebingungan ini. Aku sudah terlalu lama menahan perasaan ini, dan aku ingin kamu tahu bahwa aku peduli padamu lebih dari yang kamu kira.”
Nia merasa dunia seakan terbalik. Keputusan yang ia coba hindari selama ini seakan tidak bisa ditunda lagi. Di satu sisi, ia merasa terhormat dengan perhatian dari Pak Arman, tetapi di sisi lain, ia tahu bahwa ini adalah sesuatu yang tidak seharusnya terjadi. Hubungan ini bisa menghancurkan segala yang ada—bukan hanya kariernya, tetapi juga keluarga mereka.
Pagi berikutnya, Nia merasa seperti hidup dalam mimpi yang buruk. Ia tidak tahu harus memilih siapa, atau bahkan jika ia harus memilih sama sekali. Arga dan Pak Arman, keduanya menginginkannya, dan meskipun ia tahu itu adalah jalan yang penuh dengan kesalahan, perasaan itu semakin menguasainya.
Di tengah kebingungannya, Nia mulai merasa bahwa ia terjebak dalam hubungan yang tidak hanya membahayakan dirinya, tetapi juga hubungan keluarga yang rapuh. Ia harus memilih, tetapi memilih siapa? Setiap kali ia mencoba untuk menjauh, semakin kuat tarikannya. Setiap kali ia ingin mundur, semakin besar dorongan itu untuk bertahan.
Perasaan bersalah semakin menghantuinya. Rasa ingin menikmati perhatian yang diberikan oleh keduanya, tetapi juga rasa takut akan konsekuensinya, membuat Nia berada dalam dilema yang semakin tak terpecahkan. Dalam hati, Nia tahu bahwa apa pun yang ia pilih, akan ada hati yang hancur.*
Bab 7: Pengakuan yang Menghancurkan
Malam itu, Nia tidak bisa tidur. Pikirannya penuh dengan kekacauan, perasaan yang tumpang tindih, dan ketakutan akan apa yang akan terjadi. Sejak pertemuan dengan Pak Arman dan Arga, ia merasa semakin terjebak. Hari demi hari, ia merasa semakin kehilangan kendali atas dirinya. Semua yang ia tahu tentang benar dan salah terasa kabur, seolah-olah dunia di sekitarnya berubah menjadi permainan yang sangat berbahaya. Ia tidak bisa menahan perasaannya lebih lama lagi, tetapi ia tahu bahwa tidak ada jalan keluar yang mudah.
Pagi itu, Nia bangun dengan rasa cemas yang menyelimutinya. Ia tahu bahwa suatu hari kebenaran akan terungkap, dan ia tidak bisa terus menyembunyikan perasaannya lebih lama lagi. Ketika ia berjalan ke ruang makan, ada sesuatu yang berbeda di udara. Ada ketegangan yang begitu kuat, seakan-akan seluruh rumah bisa merasakannya. Arga dan Pak Arman ada di sana, duduk dengan diam, seolah-olah mereka menunggu sesuatu yang penting untuk terjadi.
Nia mencoba untuk tidak memikirkan apa yang sedang terjadi. Ia menyapa mereka dengan senyum canggung, mencoba bertindak seolah-olah tidak ada yang berubah. Namun, dalam hati, ia tahu semuanya sudah berbeda. Suasana pagi itu terasa lebih berat daripada biasanya.
Setelah makan, Pak Arman memanggil Nia ke ruang kerjanya. Kali ini, tidak ada senyum ramah atau percakapan ringan. Ada sesuatu yang lebih serius yang sedang terjadi.
“Nia, duduklah,” kata Pak Arman dengan suara yang lebih serius dari biasanya. “Aku tahu sudah lama kita menghindari pembicaraan ini, tetapi sekarang sudah waktunya untuk menghadapinya.”
Nia merasa jantungnya berdebar kencang. “Pak Arman, saya tidak tahu apa yang harus saya katakan,” jawab Nia, mencoba untuk tetap tenang meskipun ia merasa cemas.
Pak Arman menatapnya dengan tatapan yang tajam dan penuh perasaan. “Kamu tahu, bukan, Nia? Kami semua tahu tentang apa yang terjadi di antara kita. Aku tahu bahwa kamu tidak hanya merasa sesuatu untuk Arga, tetapi juga untukku. Kami berdua telah melihatnya dalam sikapmu, dalam matamu. Tidak ada yang bisa disembunyikan lagi.”
Nia merasa seluruh tubuhnya lemas. Kata-kata Pak Arman seperti sabetan pedang yang memotong perasaan bersalah yang selama ini ia coba sembunyikan. Ia tidak tahu harus berkata apa. Keheningan yang tercipta di antara mereka semakin menyakitkan.
“Pak Arman, saya… saya tidak tahu bagaimana ini bisa terjadi,” kata Nia, suaranya hampir tenggelam dalam rasa malu yang luar biasa. “Ini bukan sesuatu yang saya inginkan, dan saya merasa sangat bingung.”
Namun, Pak Arman tidak menunjukkan rasa marah. Sebaliknya, ia menatap Nia dengan ekspresi yang lebih lembut, seolah-olah ia bisa memahami kebingungannya. “Aku tahu, Nia. Aku tahu ini sulit. Tetapi kamu harus tahu bahwa kami berdua, Arga dan aku, kami tidak bisa terus hidup dalam kebohongan ini. Aku tidak bisa terus berpura-pura tidak tahu.”
Nia merasa seperti dunia di sekitarnya runtuh. Ia sudah mencoba menghindari kenyataan ini, tetapi sekarang kebenaran itu ada di hadapannya. Perasaan yang selama ini ia coba tutupi, perasaan yang selama ini membuatnya bingung dan terjebak, akhirnya terungkap.
Saat itulah Arga masuk ke ruang kerja, wajahnya terlihat lebih serius dari biasanya. Tanpa berkata sepatah kata pun, ia menatap Nia dengan tatapan yang penuh perasaan. Ia tidak perlu banyak bicara. Semua yang ada di matanya sudah cukup menjelaskan segala sesuatu yang selama ini tersembunyi.
“Nia, aku tidak bisa terus menyembunyikan perasaanku,” kata Arga akhirnya, suaranya tegas namun penuh keraguan. “Aku mencintaimu. Aku tahu ini salah, tetapi aku tidak bisa mengabaikan perasaan ini. Kami berdua, aku dan ayah, telah melihat apa yang terjadi di antara kita, dan kami tidak bisa terus berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja.”
Nia terdiam, perasaan takut dan bersalah semakin menyesakkan dadanya. Ia merasa terperangkap dalam kebohongan yang semakin besar. Bagaimana bisa ia menghadapi kenyataan bahwa keduanya, ayah dan anak, kini tahu tentang perasaannya? Dan yang lebih mengerikan, mereka siap untuk menghadapinya, siap untuk mengubah segala sesuatu.
“Arga… Pak Arman,” suara Nia terhenti, tidak tahu bagaimana melanjutkan kalimatnya. “Saya tidak tahu harus bagaimana lagi. Saya… saya tidak bisa memilih di antara kalian berdua. Ini semua… sangat salah.”
Pak Arman menatapnya dengan tatapan penuh pengertian. “Aku mengerti, Nia. Aku tahu ini bukan pilihan yang mudah. Tetapi kamu harus tahu bahwa perasaan ini bukan sesuatu yang bisa kita abaikan begitu saja.”
Arga mendekat, matanya tidak pernah lepas dari Nia. “Nia, aku tahu kamu merasa terjebak. Tetapi aku ingin kamu tahu bahwa aku siap untuk berjuang untukmu. Aku tidak akan mundur.”
Nia merasa hatinya bergejolak. Kedua pria ini, yang selama ini menjadi sosok yang sangat ia hormati, kini menjadi pusat dari perasaannya yang kacau. Setiap kata yang keluar dari mulut mereka semakin memaksanya untuk menghadapi kenyataan yang selama ini ia hindari. Ia merasa sangat bingung, sangat cemas. Tidak ada lagi jalan untuk mundur.
Di tengah ketegangan itu, Nia menyadari satu hal yang sangat jelas: apa pun yang terjadi setelah ini, semuanya akan berubah. Ia tidak bisa melanjutkan hidupnya seperti sebelumnya. Pilihan yang harus ia ambil akan menentukan takdirnya, dan tak ada yang bisa menghindari konsekuensinya.
Dengan suara pelan, Nia akhirnya berkata, “Saya tidak tahu apa yang harus saya pilih. Saya sangat bingung. Tetapi saya tahu, apapun yang saya pilih, hidup kita semua tidak akan pernah sama lagi.”
Ketika kata-kata itu keluar dari bibir Nia, ia tahu bahwa ini adalah titik balik dalam hidupnya. Apa yang akan terjadi selanjutnya, ia tidak bisa prediksi, tetapi satu hal yang pasti—kehidupan yang ia kenal sebelumnya kini telah hilang, digantikan oleh kenyataan yang lebih gelap dan lebih sulit dari yang bisa ia bayangkan.*
Bab 8: Pelarian dari Takdir
Nia berdiri di depan cermin kamarnya, menatap bayangannya sendiri dengan tatapan kosong. Matanya sembab karena menangis semalaman, dan tubuhnya terasa begitu lelah, seolah-olah jiwanya telah terhisap habis oleh kebingungan dan rasa bersalah. Kebenaran telah terungkap—Pak Arman dan Arga sama-sama mengetahui bahwa mereka bukan satu-satunya pria yang ada di hatinya. Kini, ia harus menghadapi kenyataan yang menyakitkan, bahwa tidak ada jalan keluar yang mudah.
Tiba-tiba, suara ketukan pintu membuyarkan lamunannya. Dengan tangan gemetar, Nia membuka pintu dan melihat Arga berdiri di ambang pintu dengan ekspresi serius.
“Kita perlu bicara,” kata Arga dengan suara tenang, tetapi jelas mengandung ketegangan.
Nia mengangguk, lalu mengikuti Arga ke taman belakang, tempat mereka sering menghabiskan waktu bersama. Suasana di antara mereka begitu sunyi, hanya ditemani angin malam yang berembus pelan.
“Apa yang ingin kamu lakukan sekarang, Nia?” tanya Arga akhirnya, suaranya bergetar.
Nia menggigit bibirnya, hatinya terasa berat. “Aku tidak tahu, Arga. Aku benar-benar tidak tahu. Aku mencintaimu, tapi aku juga…”
Arga mengepalkan tangannya. “Tapi kamu juga mencintai ayahku.”
Nia mengangguk perlahan, rasa bersalah semakin menggerogoti dirinya.
“Aku tidak bisa menerimanya, Nia,” kata Arga dengan nada yang lebih tegas. “Aku bisa menerima jika kamu memilih pergi daripada terus menyakiti kami berdua, tapi aku tidak bisa menerima jika kamu tetap ada di sini dan terus membagi perasaanmu.”
Nia terdiam. Kata-kata Arga benar. Tidak adil bagi mereka semua jika ia terus berada dalam situasi ini.
Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar mendekat. Pak Arman muncul dengan wajah tegang, tatapannya langsung tertuju pada Nia.
“Kamu akan pergi?” tanyanya dengan suara berat.
Nia menatapnya, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. “Aku harus, Pak. Aku tidak bisa terus seperti ini. Aku tidak bisa menyakiti kalian lebih jauh.”
Pak Arman menghela napas panjang, lalu mendekat dan mengangkat dagu Nia dengan lembut. “Aku tidak bisa membiarkanmu pergi begitu saja, Nia.”
Nia menggeleng pelan. “Tapi ini satu-satunya cara agar semuanya tidak semakin kacau.”
“Tidak,” suara lain terdengar dari belakang mereka.
Nia menoleh dan melihat seorang wanita berdiri di dekat pintu teras. Wajahnya dipenuhi kemarahan, matanya menyipit tajam menatap mereka bertiga.
Itu adalah Ny. Rina—istri Pak Arman.
“Dugaan saya benar,” katanya dengan suara bergetar. “Selama ini saya sudah mencium ada yang aneh, dan ternyata memang benar! Kalian bertiga terlibat dalam sesuatu yang sangat menjijikkan!”
Nia merasakan tubuhnya menegang. Jantungnya berdebar kencang, sementara Arga dan Pak Arman juga tampak terkejut.
“Kamu, perempuan tidak tahu diri!” bentak Ny. Rina sambil melangkah maju. “Aku menerima kamu di rumah ini, mempercayaimu, dan ini balasan yang kudapatkan?”
Nia membuka mulutnya untuk berbicara, tetapi tidak ada kata-kata yang keluar.
“Apa aku salah dengar?” Ny. Rina menoleh ke suaminya. “Arman, kamu benar-benar jatuh cinta pada asisten rumah tangga kita? Dan Arga… Kamu juga?”
Pak Arman tidak menjawab. Arga hanya menunduk, rahangnya mengeras.
Ny. Rina tertawa sinis. “Kalian benar-benar keterlaluan.”
Lalu, dengan gerakan cepat, Ny. Rina mengangkat tangannya dan menampar Nia dengan keras.
Plaaak!
Suara tamparan itu menggema di udara, membuat Nia sedikit terhuyung ke belakang. Arga langsung berdiri di hadapannya, melindunginya dari ibunya.
“Cukup, Bu!” seru Arga.
“Cukup?!” Ny. Rina menatap putranya dengan tajam. “Perempuan ini telah menghancurkan keluarga kita, dan kamu masih membelanya?”
Pak Arman akhirnya berbicara, suaranya dingin. “Rina, kita bisa menyelesaikan ini dengan kepala dingin.”
“Tidak, Arman! Aku tidak akan membiarkan ini berlalu begitu saja! Perempuan ini harus pergi! Sekarang juga!”
Nia menggigit bibirnya. Ia memang berniat pergi, tetapi bukan dengan cara seperti ini. Ia ingin pergi dengan damai, bukan diusir dengan hinaan dan kebencian.
“Aku akan pergi, Bu,” ucapnya dengan suara pelan.
Ny. Rina mendengus. “Bagus! Dan jangan pernah kembali!”
Air mata mulai mengalir di pipi Nia. Arga menggenggam tangannya, seolah-olah tidak ingin melepaskannya, tetapi Nia menarik tangannya perlahan.
“Aku harus pergi, Arga,” bisiknya.
Pak Arman mengusap wajahnya dengan frustasi, lalu menatapnya dengan mata yang penuh kesedihan. “Kalau ini yang kamu pilih, aku tidak bisa menghentikanmu, Nia. Tapi aku ingin kamu tahu… aku benar-benar mencintaimu.”
Nia tersenyum tipis di balik air matanya. “Aku juga mencintai kalian berdua. Tapi cinta ini… salah.”
Dengan langkah berat, Nia berjalan menuju kamarnya, mengemas barang-barangnya secepat mungkin. Suasana rumah terasa begitu mencekam, seakan-akan kehancuran telah menyelimuti tempat itu.
Saat ia keluar dari rumah itu untuk terakhir kalinya, ia merasa hatinya hancur berkeping-keping. Ia meninggalkan dua pria yang begitu ia cintai, meninggalkan kebahagiaan yang sempat ia rasakan, dan memilih untuk menghadapi takdirnya sendiri.
Namun, ia tidak tahu bahwa perjalanannya belum berakhir. Bahwa kepergiannya bukanlah akhir dari segalanya, melainkan awal dari sesuatu yang lebih besar… Sesuatu yang akan mengubah hidupnya selamanya.*
Bab 9: Keputusan yang Menyakitkan
Langit masih gelap ketika Nia melangkah keluar dari gerbang rumah megah yang selama ini menjadi tempatnya bernaung. Tangannya gemetar saat menggenggam koper kecil berisi beberapa helai pakaian dan barang-barang yang bisa ia bawa. Hatinya terasa hancur, seolah-olah sebagian jiwanya tertinggal di sana—bersama dua pria yang ia cintai.
Namun, sebelum ia sempat benar-benar pergi, sebuah tangan mencengkeram pergelangannya dengan kuat.
“Nia, jangan pergi!” suara Arga penuh dengan keputusasaan. Nafasnya memburu, matanya merah, seolah ia habis berlari mengejarnya.
Nia menoleh, menatap lelaki yang telah mengisi relung hatinya dengan penuh perasaan. Tapi sebelum ia sempat berkata-kata, suara lain memecah keheningan.
“Kalau dia ingin pergi, biarkan dia pergi,” ujar Pak Arman, yang kini berdiri di dekat teras. Wajahnya tenang, tetapi matanya penuh luka.
Nia menoleh ke arahnya. “Pak…”
“Aku tidak akan menghalangimu, Nia,” lanjutnya. “Tapi aku hanya ingin tahu satu hal. Siapa yang sebenarnya ada di hatimu?”
Pertanyaan itu menusuk tepat ke dalam sanubarinya. Nia menggigit bibirnya, tak sanggup menjawab.
Arga melangkah maju. “Pilih aku, Nia. Aku ingin bersamamu. Kita bisa pergi ke mana pun kau mau, meninggalkan semua kekacauan ini. Aku mencintaimu.”
Pak Arman menatap Nia dengan sorot yang sulit diartikan. “Dan aku juga mencintaimu, Nia. Tapi jika memilihku adalah sebuah beban, maka pergilah. Aku tidak ingin membuat hidupmu lebih sulit.”
Air mata mengalir di pipi Nia. Kenapa semuanya menjadi serumit ini? Kenapa cinta harus sesakit ini?
“Aku…” suaranya bergetar. “Aku tidak bisa memilih di antara kalian.”
Arga tertegun. “Apa maksudmu?”
Nia menghela napas panjang. “Aku mencintai kalian berdua dengan cara yang berbeda. Arga, kau adalah kebahagiaan dan harapan. Bersamamu, aku merasa hidupku berwarna dan penuh gairah. Tapi Pak Arman…” ia menoleh ke pria yang lebih tua itu, “denganmu aku merasa tenang, terlindungi. Aku mencintai kalian, dan justru karena itu aku harus pergi. Aku tidak ingin menghancurkan kalian lebih jauh.”
Pak Arman menundukkan kepala, sementara Arga memejamkan matanya dengan wajah penuh luka.
Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar dari dalam rumah. Ny. Rina muncul dengan ekspresi penuh amarah, membawa sebuah amplop di tangannya.
“Kamu pikir bisa pergi begitu saja setelah menghancurkan keluargaku?” suaranya bergetar menahan emosi.
Nia menatapnya dengan penuh penyesalan. “Saya tidak pernah berniat menghancurkan apa pun, Bu.”
Ny. Rina tertawa sinis. “Jangan pura-pura polos! Aku sudah menyelidikimu, dan aku tahu segalanya!” Ia melemparkan amplop itu ke arah Nia. Dengan tangan gemetar, Nia mengambilnya dan membuka isinya.
Matanya membesar saat membaca isi dokumen itu.
“Apa ini?” suaranya hampir tak terdengar.
Ny. Rina menyeringai. “Hasil penyelidikanku. Kamu bukan hanya wanita penggoda, tapi kau juga… saudara tiri Arga!”
Jantung Nia seakan berhenti berdetak.
“Apa…?” Arga terbelalak. “Bu, ini pasti lelucon, kan?”
Pak Arman tampak lebih pucat dari sebelumnya. Ia meraih dokumen itu dan membacanya dengan cepat, lalu wajahnya berubah tegang.
“Ini tidak mungkin…” gumamnya.
Ny. Rina melipat tangan di dadanya. “Oh, ini mungkin sekali! Gadis ini adalah anak dari perempuan yang dulu pernah kau kencani sebelum kita menikah, Arman. Dan sekarang, lihat apa yang terjadi! Kau mencintai anakmu sendiri!”
Nia mundur beberapa langkah, merasa dunianya runtuh. Tidak… ini pasti mimpi buruk. Tidak mungkin dia adalah saudara tiri Arga. Tidak mungkin!
Arga memandang Nia dengan mata penuh kesakitan. “Nia, ini… ini tidak benar, kan?”
Pak Arman menutup matanya dan menghela napas panjang. “Aku… aku tidak tahu.”
Ny. Rina tersenyum penuh kemenangan. “Jadi, bagaimana sekarang? Masih ingin melanjutkan hubungan terlarang ini?”
Nia tak sanggup berkata apa pun. Pikirannya kalut, tubuhnya lemas. Semua yang ia rasakan selama ini, cinta yang ia perjuangkan, kini berubah menjadi sesuatu yang mengerikan.
Tanpa berkata apa pun, Nia berbalik dan berlari meninggalkan rumah itu. Ia tidak tahu ke mana ia akan pergi, yang jelas ia tidak bisa lagi tinggal di sana.
Arga berteriak memanggilnya, tetapi Nia tidak berhenti. Air matanya terus mengalir, membasahi pipinya.
Di belakangnya, Pak Arman hanya bisa menatap punggungnya yang semakin jauh, sementara Ny. Rina tersenyum puas.
Malam itu, keputusan telah dibuat. Cinta telah berubah menjadi luka. Dan Nia, kini hanyalah seorang wanita yang kehilangan segalanya…
Bab 10: Akhir yang Tak Terduga
Nia berjalan tanpa arah, angin malam menusuk kulitnya yang dingin. Langkah kakinya gontai, pikirannya berantakan. Semuanya terasa seperti mimpi buruk yang tidak ada akhirnya. Cinta yang ia jaga, perasaan yang ia genggam erat, kini berubah menjadi sesuatu yang memuakkan.
Ia terus berjalan hingga tiba di sebuah halte kosong. Tubuhnya lelah, jiwanya hampir menyerah. Bagaimana bisa hidupnya berubah begitu cepat? Bagaimana bisa ia mencintai dua pria dalam satu keluarga, dan lebih parahnya, mengetahui bahwa salah satunya adalah saudara tirinya sendiri?
Tiba-tiba, suara mobil berhenti di dekatnya. Nia menoleh dan melihat Arga keluar dengan wajah penuh kecemasan.
“Nia! Tolong jangan seperti ini. Aku mohon, kita bisa mencari tahu kebenarannya bersama,” ujar Arga, suaranya serak.
Nia menggeleng, air matanya masih mengalir. “Apa lagi yang perlu dicari, Arga? Semua sudah jelas. Aku dan kamu tidak mungkin bisa bersama.”
Arga mendekat, menggenggam kedua bahu Nia. “Tapi aku mencintaimu, Nia. Aku tidak peduli dengan apa pun! Aku akan melawan semua orang jika itu berarti bisa bersamamu.”
Nia menatapnya dengan pandangan sendu. “Bagaimana kalau benar aku ini saudara tirimu, Arga?”
Arga terdiam. Rahangnya mengeras, ekspresinya berkecamuk.
“Itu… tidak akan mengubah perasaanku,” ujarnya lirih.
Nia tersenyum pahit. “Tapi itu mengubah segalanya.”
Sebelum Arga sempat membalas, sebuah suara berat memecah suasana.
“Pergilah denganku, Nia.”
Pak Arman berdiri di sana, tatapannya penuh dengan sesuatu yang sulit diartikan.
Arga menoleh dengan geram. “Ayah! Kenapa kau selalu menghalangi?”
Pak Arman menghela napas. “Aku tidak menghalangi. Aku hanya ingin Nia memilih jalan yang terbaik untuknya.”
Nia menggigit bibirnya. “Apa maksud Bapak?”
Pak Arman mendekat, berdiri di hadapan Nia. “Aku sudah menyelidikinya sendiri, Nia. Dan hasilnya…” Ia mengulurkan sebuah amplop lain ke tangan Nia.
Dengan jantung berdegup kencang, Nia membuka amplop itu. Di dalamnya ada hasil tes DNA—tes yang membandingkan DNA-nya dengan Arga. Matanya bergerak cepat membaca hasilnya, dan saat ia sampai pada kesimpulan akhirnya, tubuhnya melemas.
“Ini…” Nia menatap Pak Arman dengan tatapan tak percaya. “Ini tidak mungkin.”
Arga yang penasaran merebut kertas itu dan membaca isinya. Matanya melebar. “Nia bukan anak Ayah?”
Pak Arman mengangguk pelan. “Dia bukan anakku, Arga. Aku pernah bersama ibunya, tapi ternyata ibunya sudah mengandung dari pria lain sebelum kami bertemu. Itu berarti…”
Arga menatap Nia dengan harapan baru. “Itu berarti kita bukan saudara, Nia! Kita bisa bersama!”
Nia menatap kertas di tangannya, lalu kembali menatap Arga dan Pak Arman. Seharusnya ia merasa lega. Seharusnya ini menjadi jawaban dari dilema yang selama ini menghantuinya.
Namun, di dalam hatinya, segalanya terasa lebih rumit.
Ia menatap Arga, pria yang memberinya kebahagiaan dan kegembiraan, lalu menatap Pak Arman, pria yang membuatnya merasa aman dan dicintai.
Dan saat itu juga, ia tahu jawabannya.
Nia menghela napas panjang. Ia menggenggam tangan Arga dan tersenyum lembut. “Arga… aku menyayangimu. Tapi aku tidak bisa bersamamu.”
Arga terbelalak. “Apa? Tapi… kita tidak sedarah! Kita bisa bersama, Nia!”
Nia menggeleng, matanya berkaca-kaca. “Cinta ini sudah terlalu jauh melukai banyak orang. Jika aku memilihmu, aku akan selalu merasa bersalah. Aku akan terus dihantui oleh apa yang sudah terjadi.”
Arga menggenggam tangan Nia lebih erat. “Tapi aku tidak peduli! Aku mencintaimu!”
Nia melepaskan genggaman Arga dengan lembut. “Aku juga mencintaimu, Arga. Tapi aku harus pergi.”
Arga terdiam, wajahnya hancur.
Pak Arman menatap Nia dengan ekspresi yang sulit diartikan. “Kau yakin, Nia?”
Nia tersenyum tipis. “Aku harus yakin.”
Ia melangkah mundur, meninggalkan keduanya yang masih terpaku di tempat.
Langkahnya mantap, meski hatinya berantakan. Ia tidak tahu ke mana ia akan pergi, tetapi satu hal yang pasti—ia tidak bisa lagi terjebak di antara dua pria yang sama-sama ia cintai.
Ia harus mencari jalannya sendiri.
Dan mungkin, suatu hari nanti, ia akan menemukan cinta yang tidak lagi melukai…***
—-the end—–