Daftar Isi
Bab 1 Perpisahan di Pagi yang Mendung
Pagi itu terasa berbeda. Meskipun mentari sudah mulai menyembul dari balik awan yang tebal, Sari merasa dunia di sekitarnya seolah tak sepenuhnya hidup. Langit yang biasanya cerah, kini tertutup mendung. Suasana hati Sari pun ikut terpengaruh. Hatinya berdebar kencang, penuh kekhawatiran. Di luar, burung-burung masih tertidur, seolah enggan menyambut hari baru, seiring dengan kesunyian yang menyelimuti rumahnya.
Di meja makan, secangkir kopi yang baru saja diseduh terabaikan. Aroma kopinya yang harum seakan tak mampu mengusir kerisauan yang menggantung di udara. Sari duduk di kursi, menatap kosong ke arah jendela, seakan berharap langit bisa memberi petunjuk tentang apa yang akan terjadi setelah pagi ini. Pagi yang selalu menjadi simbol awal sebuah perjalanan, namun kali ini terasa seperti sebuah akhir.
Hari ini adalah hari yang sudah mereka tunggu-tunggu sekaligus mereka takuti. Pagi ini, Rio, kekasihnya, akan berangkat menuju luar negeri untuk sebuah tugas yang memaksa mereka berpisah dalam waktu yang tak menentu. Sudah berbulan-bulan mereka mempersiapkan diri, namun tetap saja perpisahan ini terasa begitu sulit. Setiap detik yang berlalu terasa begitu berat, seakan waktu sengaja berjalan lebih lambat. Tidak ada kata-kata yang bisa menenangkan hati Sari. Perasaan cemas dan rindu sudah terlalu mendalam.
Sari mengalihkan pandangannya ke arah pintu. Rio datang lebih awal pagi ini, seperti yang sudah mereka rencanakan. Setiap langkahnya yang mendekat membuat jantung Sari berdegup lebih cepat. Ketika pintu terbuka, Rio muncul dengan ransel di punggungnya dan wajah yang penuh keteguhan. Di balik senyumannya yang tampak hangat, Sari bisa melihat kekhawatiran yang sama. Mereka tahu, meskipun tak terucap, bahwa perpisahan ini adalah ujian terbesar dalam hubungan mereka.
“Sari,” Rio memanggil dengan lembut, duduk di sampingnya. “Kita sudah sampai di sini, ya?”
Sari hanya bisa mengangguk pelan. Kata-kata seolah macet di tenggorokannya. Semua yang ingin dia katakan terasa terhalang oleh kebingungannya. Apa yang bisa dia katakan pada pria yang begitu dia cintai, yang sebentar lagi akan meninggalkan dirinya untuk waktu yang tak terhitung?
Rio meraih tangan Sari, menggenggamnya erat seolah tak ingin melepaskannya. “Kamu tahu, kan? Ini bukan akhir dari segalanya. Aku akan kembali.”
Sari menatap mata Rio yang penuh harapan. Itu adalah janji yang selalu mereka ucapkan dalam setiap percakapan mereka bahwa ini hanya sementara. Namun, entah kenapa, kali ini janji itu terasa seperti beban yang begitu berat. Rindu yang tak terkatakan sudah menguasai hatinya, membuat setiap kata terasa tak cukup untuk menggambarkan betapa besar perasaannya.
“Aku tahu, Rio. Aku tahu,” jawab Sari dengan suara yang hampir pecah. “Tapi kenapa rasanya begitu sulit?”
Rio terdiam, seolah memahami perasaan yang sedang menggelora dalam diri Sari. “Karena kita saling mencintai. Tidak ada yang mudah dalam cinta, Sari. Tapi percayalah, meskipun kita terpisah, kita masih akan berbagi langit yang sama. Kita masih akan saling melihat bintang-bintang di malam hari, dan itu akan mengingatkan kita pada satu sama lain.”
Sari menatap Rio, mata mereka saling bertaut, mencoba mencari kekuatan dari tatapan itu. Meskipun mereka berdua tahu bahwa apa yang mereka hadapi bukanlah hal mudah, mereka tetap berusaha untuk saling memberi semangat. Namun, pada kenyataannya, tak ada kata-kata yang bisa menghapuskan kecemasan yang meresap dalam diri Sari. Perpisahan ini tetap terasa seperti sebuah kehilangan, meskipun itu hanya untuk sementara.
Rio berdiri dan mulai mengatur barang-barangnya yang tersebar di lantai. “Aku harus pergi sekarang, Sari. Waktunya sudah tiba.”
Sari mengangguk, meskipun rasanya seolah ada yang tertinggal di dalam dirinya. Dia ingin sekali meminta Rio untuk tetap tinggal, ingin berteriak, mengatakan bahwa dia tak siap untuk berpisah, tetapi kata-kata itu tidak keluar. Dia tahu, ini adalah bagian dari perjalanan mereka berdua. Sebuah ujian yang harus mereka jalani.
“Aku akan menunggumu, Rio. Selalu menunggumu.” Sari berkata dengan suara yang sedikit gemetar, namun penuh tekad.
Rio menatapnya lama. Wajahnya menunjukkan ekspresi campur aduk rasa cemas, rasa sayang, dan sedikit kekhawatiran. Dia tahu bahwa Sari adalah wanita yang kuat, tetapi kali ini, perpisahan ini membuat keduanya meragukan banyak hal. Setelah beberapa detik yang terasa begitu panjang, Rio akhirnya berkata, “Aku akan menghubungimu setiap saat, Sari. Dan meskipun jarak memisahkan kita, aku janji, aku akan selalu ada di sini untukmu. Kita akan melewati ini bersama.”
Sari tersenyum tipis, mencoba menahan air mata yang sudah menggenang di pelupuk matanya. “Aku tahu, Rio. Aku akan menunggu. Kita akan selalu punya langit yang sama, kan?”
Rio mengangguk pelan. Tanpa berkata lebih banyak, dia melangkah menuju pintu, namun sebelum dia keluar, dia berhenti sejenak dan berbalik. “Aku mencintaimu, Sari.”
Sari hanya bisa mengangguk, suaranya terhimpit oleh perasaan yang begitu dalam. “Aku juga mencintaimu.”
Rio membuka pintu dan melangkah keluar. Di luar, udara pagi terasa dingin, seakan menandai perpisahan yang penuh emosi ini. Sari berdiri di jendela, melihat sosok Rio yang semakin menjauh, semakin kecil hingga akhirnya menghilang dari pandangannya.
Setelah Rio pergi, Sari kembali duduk di kursinya, menatap langit yang semakin mendung. Dalam hatinya, dia tahu bahwa ini adalah awal dari sebuah perjalanan panjang yang penuh dengan kerinduan dan tantangan. Namun, satu hal yang pasti—meskipun jarak dan waktu akan memisahkan mereka, cinta mereka tetap akan hidup. Dan setiap malam, saat bintang-bintang muncul di langit, Sari tahu bahwa Rio juga akan menatap bintang yang sama, merasakan kedekatan meskipun mereka jauh di luar sana.
“Aku menunggu, Rio. Di antara bintang-bintang itu.”
Dengan satu janji dalam hati, Sari kembali menatap langit yang kini gelap, berharap bahwa cinta mereka, meskipun terpisah oleh jarak, akan tetap bersinar seperti bintang-bintang yang terus bersinar di atas mereka.*
Bab 2 Kehidupan Tanpa Kehadiran Rio
Sudah dua minggu berlalu sejak Rio pergi. Dua minggu yang terasa seperti dua tahun. Sari mencoba menjalani hari-harinya, tetapi semuanya terasa berbeda. Setiap pagi, dia bangun dengan harapan, berharap bisa melihat pesan Rio di layar ponselnya. Namun, seringkali hanya ada kekosongan yang menunggu untuk diisi dengan rutinitas harian yang sama. Tanpa kehadiran Rio, semuanya terasa sepi dan sunyi.
Sari bekerja di sebuah kafe kecil di pusat kota. Tempat itu adalah dunia kecil yang penuh dengan cerita, tawa, dan suara mesin kopi yang berdengung sepanjang hari. Namun, di tengah kebisingan itu, Sari merasa begitu kesepian. Ada saat-saat ketika dia berdiri di belakang mesin espresso, mengamati tangan-tangan yang bergerak cepat menyiapkan pesanan, dan merasakan kehampaan yang semakin dalam. Setiap cangkir kopi yang dia buat seakan membawa kenangan akan Rio suara tawanya, cara dia memandang Sari dengan mata penuh cinta, dan obrolan ringan mereka saat mereka duduk berdua di sore hari setelah Sari pulang kerja.
Pagi itu, seperti biasa, Sari sudah bangun lebih awal dan berangkat menuju kafe. Langit di luar masih kelabu, membawa suasana hati yang semakin suram. Di dalam kafe, segala sesuatu tampak berjalan dengan biasa. Pelanggan datang, memesan kopi, dan pergi, sementara Sari tetap berada di belakang meja, menyapa mereka dengan senyum yang dipaksakan. Namun, setiap kali dia berjalan melewati meja, dia tidak bisa menghindari kenyataan bahwa ada sesuatu yang hilang. Ketika dia harus menyiapkan dua cangkir kopi untuk pelanggan yang duduk berdua, hatinya terasa seperti tertusuk. Dia berpikir, Rio pasti suka kopi hitam, seperti yang selalu kita minum bareng setiap pagi sebelum berangkat kerja.
Tengah hari, saat kafe mulai lebih ramai, ponsel Sari bergetar di dalam tas. Harapannya terbangun, namun begitu melihat nama yang muncul di layar, ekspresinya meredup. Itu bukan Rio. Pesan itu datang dari temannya, Maya, yang menanyakan kabar. Maya adalah sahabat lama Sari yang selalu ada, bahkan di saat-saat terbaik dan terburuk sekalipun. Meskipun Maya berusaha untuk memberikan hiburan dan dukungan, Sari merasa seperti terjebak dalam rutinitas tanpa akhir. Maya sering mengingatkan Sari untuk menjaga diri dan tak melupakan hidupnya sendiri, tapi Sari hanya bisa tersenyum tipis, merasa cemas bahwa dia terlalu tenggelam dalam kerinduannya pada Rio.
Setelah jam makan siang berakhir, Sari memutuskan untuk pergi berjalan-jalan di sekitar taman kota. Taman itu adalah tempat yang selalu dia kunjungi bersama Rio di sore hari, tempat di mana mereka saling berbagi cerita dan impian. Namun, sekarang, saat Sari duduk di bangku taman itu sendirian, perasaan kesendirian itu semakin terasa. Setiap langkah di sepanjang jalan setapak, setiap senyum ramah dari orang yang lewat, seakan membuatnya semakin teringat akan Rio. Seakan-akan, Rio selalu ada di sekitar tempat-tempat yang dulu mereka lewati bersama.
Di bangku taman yang biasa mereka duduki, Sari mengeluarkan ponselnya, berharap ada pesan yang masuk, sesuatu yang bisa mengingatkannya bahwa Rio masih ada di sana. Namun, tak ada yang muncul. Hanya notifikasi dari aplikasi sosial media, yang terkadang terasa seperti gangguan. Dengan sedikit kecewa, Sari menyandarkan kepalanya ke sandaran bangku, menatap langit yang mendung. Dia merindukan percakapan mereka—percakapan yang mengalir begitu alami, penuh tawa, dan kadang berujung pada pembicaraan serius tentang masa depan.
Saat langit semakin gelap, Sari memutuskan untuk kembali ke rumah. Sesampainya di rumah, dia duduk di meja makan, memandangi kursi kosong di seberang tempat dia biasa duduk bersama Rio. Bahkan saat makan malam, kehadiran Rio masih terasa sangat dekat. Meskipun mereka hanya makan bersama di waktu-waktu tertentu, Rio selalu membuat suasana jadi hidup dengan cerita-ceritanya tentang hari-hari yang dia jalani.
Sari menatap piring makanannya yang hanya terisi separuh. Tidak ada yang mengajak bercanda, tidak ada yang mengingatkan dia untuk makan dengan baik. Segalanya menjadi begitu sunyi, hanya suara sendok yang terkadang terdengar di ruangan kosong itu. Sebelum makan, dia sempat mengirimkan pesan kepada Rio, meskipun dia tahu dia tidak akan mendapatkan balasan secepat yang dia inginkan. Rio sibuk, dan perbedaan waktu di negara tempat Rio bekerja semakin membuatnya merasa terisolasi.
“Aku merindukanmu, Rio. Semoga hari-harimu baik di sana.”
Pesan itu terkirim begitu saja, dan Sari meletakkan ponselnya dengan harapan yang semakin memudar. Setelah makan, dia duduk di ruang tamu, membuka laptop dan mencoba mengalihkan pikirannya dengan film yang sudah lama ingin dia tonton. Namun, matanya selalu melirik ponsel di meja, berharap ada balasan. Sayangnya, tidak ada.
Malam semakin larut, dan Sari akhirnya memutuskan untuk tidur. Namun, tidur tidak datang dengan mudah. Setiap kali matanya terpejam, dia teringat akan Rio senyumnya, caranya meraih tangannya, bahkan cara dia berbicara dengan lembut. Semua itu terasa seperti mimpi, sebuah kenangan yang tidak bisa dia sentuh lagi. Kelelahan fisik membuatnya terlelap, tetapi hatinya tetap gelisah.
Malam itu, Sari kembali terjaga di tengah tidur yang gelisah. Dia melihat jam di meja samping tempat tidur. Waktu itu sudah hampir tengah malam, dan dia tahu bahwa Rio mungkin sedang tidur, beristirahat setelah hari yang panjang. Sejenak, Sari merasa ada sedikit kehangatan dalam hatinya, meskipun dia tahu jarak yang memisahkan mereka begitu besar. Mereka mungkin terpisah oleh ribuan kilometer, namun perasaan mereka tetap saling terhubung, meskipun tidak ada komunikasi langsung.
“Aku menunggumu, Rio.”
Sari berbisik dalam hati sebelum kembali mencoba tidur. Meski tanpa kehadiran Rio di sampingnya, Sari tahu satu hal: dia akan menunggu. Menunggu hingga waktu membawa mereka kembali bersama. Karena meskipun kehidupan tanpa Rio terasa kosong dan penuh kesepian, Sari percaya bahwa cinta mereka, meskipun terpisah, tak akan pernah pudar.
Dan di antara keheningan malam itu, sebuah janji dalam hati Sari mulai tumbuh bahwa dia akan terus berjuang. Karena cinta, meskipun terhalang jarak, selalu menemukan cara untuk bertahan.*
Bab 3 Pesan-Pesan yang Tertunda
Hari-hari Sari semakin berlalu tanpa banyak perubahan. Setiap pagi dia bangun dengan rutinitas yang sama—mempersiapkan diri untuk bekerja, menyapa pelanggan di kafe, dan kembali ke rumah setelah hari yang panjang, selalu berharap ada pesan dari Rio yang menunggu di layar ponselnya. Namun, setiap kali membuka ponsel, yang ada hanya notifikasi kosong. Pesan dari teman-temannya, dari Maya, atau berita-berita yang tidak terlalu menarik perhatian. Tapi Rio? Tidak ada. Hanya dua minggu sejak kepergiannya, tapi rasanya sudah bertahun-tahun.
Setiap kali dia mencoba menghubungi Rio, selalu ada penundaan. Ada perbedaan waktu yang sangat besar, dan Rio yang sibuk dengan pekerjaannya sering kali tak bisa menjawab pesan-pesan Sari tepat waktu. Sari mencoba bersabar, tetapi di dalam hatinya, rasa cemas itu terus tumbuh. Apa Rio baik-baik saja? Apakah dia masih memikirkan Sari? Atau apakah pekerjaan dan dunia baru yang dia jalani membuatnya semakin jauh? Setiap kali pikiran itu muncul, Sari cepat-cepat menepisnya. “Jangan berlebihan, Sari. Kamu tahu Rio mencintaimu,” dia selalu meyakinkan dirinya sendiri. Namun, meskipun keyakinan itu ada, rasa rindu dan kecemasan tetap menggantung di hati.
Pagi itu, seperti biasa, Sari sedang menyapu lantai kafe saat ponselnya bergetar. Cepat-cepat dia mengambilnya dan membuka layar, berharap itu adalah pesan dari Rio. Tetapi, ternyata, itu hanya pesan dari Maya, temannya yang selalu berusaha menghibur. “Gimana, Sari? Masih bisa tahan tanpa Rio?”
Sari tersenyum miris membaca pesan itu. Maya selalu menanyakan kabar, tetapi dia tidak pernah benar-benar mengerti apa yang Sari rasakan. Meski Maya adalah sahabat terbaiknya, ada kalanya Sari merasa bahwa Maya tak bisa memahami betapa beratnya hidup tanpa Rio.
“Tahan, kok. Cuma terasa sedikit kosong tanpa dia.” Sari membalas pesan itu dengan cepat, mencoba menyembunyikan perasaan yang sebenarnya.
Namun, setelah itu, Sari kembali menatap ponselnya, menunggu pesan dari Rio. “Pagi ini masih sama,” pikirnya. “Tapi… apakah Rio baik-baik saja?” Setiap kali menulis pesan untuk Rio, Sari merasakan ketegangan di dadanya. Tidak ada kata yang cukup untuk mewakili rindu yang begitu besar, yang bahkan dia sendiri tak tahu bagaimana harus mengungkapkannya.
“Rio, bagaimana hari-harimu? Aku merindukanmu.” Pesan itu diketik dengan hati yang penuh perasaan. Sari menekan tombol kirim, menunggu dengan harap-harap cemas. Beberapa detik berlalu, dan layar ponselnya tetap kosong. Hatinya sedikit tergores, namun dia mencoba menenangkan diri. “Mungkin dia sibuk,” pikirnya, meski tetap ada kekhawatiran yang terus menggantung.
Jam makan siang berlalu. Di tengah keramaian kafe, Sari tetap menatap ponselnya dengan harapan yang semakin memudar. Sudah hampir empat hari sejak pesan terakhir Rio, dan dia merasa semakin terisolasi. Bahkan teman-temannya mulai memperhatikannya. “Kenapa kamu tampak berbeda, Sari?” tanya Maya, ketika mereka duduk di luar kafe beberapa hari lalu.
“Aku baik-baik saja, Maya,” jawabnya, meski dia tahu itu bohong. Hatinya terasa kosong tanpa Rio, dan dia merasa seperti kehilangan bagian dari dirinya.
Hari berlalu begitu saja, dan malam tiba. Sari duduk di kursi ruang tamu rumahnya, menatap langit gelap melalui jendela. Di luar, bintang-bintang mulai muncul satu per satu, namun semuanya terasa jauh dan asing. “Apa Rio juga melihat bintang yang sama?” pikirnya, mencoba mencari kedamaian dalam pikirannya yang kacau. Meski demikian, tidak ada ketenangan yang dia temukan. Setiap bintang yang bersinar mengingatkannya pada perasaan rindu yang tak tertahankan.
Sari mengeluarkan ponselnya, berharap ada notifikasi yang masuk. Namun, tetap saja kosong. Tidak ada pesan dari Rio. Hatinya mulai resah, dan dia tak bisa menghindari perasaan cemas itu. Apa yang sedang terjadi dengan Rio? Apakah dia baik-baik saja di sana? Apakah hubungan ini akan bertahan?
Tanpa sadar, air mata menetes di pipinya. Sari merasa seperti menunggu sesuatu yang tak pasti, dan meskipun dia tahu Rio sangat mencintainya, ketidakpastian ini membuat hatinya terhimpit. Seharusnya mereka bisa berbicara lebih sering, seharusnya mereka bisa saling memberi kabar, meski hanya sesekali. Tetapi kenyataannya, pesan-pesan mereka selalu tertunda. Kadang Rio membalas, kadang tidak.
Sari membuka galeri ponselnya, mencari foto-foto lama mereka bersama. Ada foto mereka berdua saat mereka berjalan di taman, tertawa di kafe, atau hanya duduk bersama di sofa. Setiap foto itu membawa kembali kenangan manis yang membuatnya merasa lebih dekat dengan Rio. Namun, di saat yang sama, kenangan itu juga menambah rasa sakit yang dia rasakan.
“Aku harus kuat,” bisiknya pada dirinya sendiri. “Rio pasti punya alasan untuk tidak membalas, mungkin dia sibuk. Aku harus bisa mengerti itu.” Tapi meskipun dia mencoba untuk bersikap rasional, hatinya tetap merindukan Rio dengan sangat dalam.
Lalu, seperti sebuah keajaiban, ponsel Sari bergetar. Ketika dia membuka layar, ada satu pesan baru. Nama yang tertera adalah Rio. Hatinya berdegup kencang. Sari membuka pesan itu dengan cepat, berharap itu akan memberikan sedikit kelegaan.
“Sari, maaf banget baru balas. Hari-hariku benar-benar padat, dan waktu di sini sedikit kacau. Aku rindu kamu.”
Pesan singkat itu cukup untuk membuat Sari tertegun sejenak. Meskipun hanya kalimat sederhana, ada sesuatu dalam kata-kata Rio yang membuat hatinya lega. “Aku rindu kamu juga, Rio,” Sari membalas pesan itu secepat mungkin, berharap Rio bisa merasakan betapa besar perasaannya.
“Kamu baik-baik saja di sana?” Sari melanjutkan mengetik, merasa sedikit lebih tenang setelah mendapatkan kabar dari Rio.
“Aku baik-baik saja, cuma agak kewalahan dengan pekerjaan. Tapi aku selalu ingat kamu, Sari. Selalu.” Balasan dari Rio kali ini lebih panjang, dan meskipun dia tak bisa ada di samping Sari, kata-kata itu memberikan sedikit ketenangan di hati Sari.
Sari tersenyum tipis, menghapus air mata yang masih menetes di pipinya. “Aku menunggu kamu, Rio. Selalu menunggu.” Dia menekan tombol kirim, kali ini lebih yakin bahwa meskipun jarak memisahkan mereka, cinta mereka tidak akan pernah berakhir.
Malam itu, untuk pertama kalinya setelah beberapa hari, Sari bisa tidur dengan sedikit kedamaian. Meskipun pesan-pesan mereka sering tertunda, dan meskipun ada banyak hal yang tidak pasti, satu hal yang pasti Sari dan Rio masih saling merindukan. Dan itu, bagi Sari, sudah cukup untuk membuatnya bertahan. Karena, meskipun pesan-pesan itu tertunda, cinta mereka tidak akan pernah pudar.*
Bab 4 Tumpukan Kenangan dalam Sepucuk Surat
Hari-hari tanpa Rio sudah mulai terasa seperti rutinitas yang monoton. Pagi, siang, dan malam berlalu begitu saja dengan kesendirian yang semakin menekan. Meski Sari berusaha menyibukkan diri dengan pekerjaan di kafe, hatinya tak bisa menahan rindu yang terus mengganggu. Rasanya seperti ada ruang kosong di dalam dirinya yang tidak bisa diisi dengan apa pun, kecuali kehadiran Rio. Terkadang, saat dia merasa sangat lelah, dia duduk di kursi ruang tamu dan membiarkan pikirannya mengembara, memikirkan masa-masa indah yang telah mereka lewati bersama. Kenangan-kenangan itu datang begitu saja, seolah-olah Rio baru saja berada di sampingnya, tertawa bersama, berbagi cerita.
Pada suatu sore yang cerah, ketika matahari mulai merendah di ufuk barat, Sari duduk di meja kerjanya. Di depannya, sebuah tumpukan surat-surat lama yang belum sempat dibaca sejak Rio pergi. Surat-surat itu adalah kenangan kenangan yang selalu dia simpan dengan rapi dalam sebuah kotak kayu di lemari. Surat-surat yang datang setiap kali Rio kembali dari perjalanan dinas, atau hanya sekadar mengirimkan kata-kata cinta melalui tulisan tangan yang penuh kasih. Setiap surat itu membawa sedikit kebahagiaan, meski sekarang rasanya seperti menambah beban di dalam hati. Surat-surat itu seakan menjadi saksi bisu dari perjalanan cinta mereka yang tertunda.
Sari memegang salah satu surat yang sudah agak usang di sudutnya, mengusapnya dengan lembut. Surat itu, ditulis dua bulan lalu, sebelum Rio berangkat. “Sari, aku akan sangat merindukanmu. Tapi percayalah, setiap jarak yang memisahkan kita hanya akan membuat cintaku untukmu semakin kuat. Aku tahu, kita akan mampu melewati semua ini.” Kalimat itu masih terngiang dalam ingatannya, seperti janji yang selalu dia pegang.
Dia membuka surat itu perlahan, merasakan aroma kertas yang sudah mulai pudar. Rio selalu menulis dengan tangan, memilih kata-kata dengan hati-hati, seolah setiap kalimat adalah potongan dari hatinya yang paling dalam. Sari membaca ulang setiap kata, berusaha membenamkan dirinya dalam kenangan. Namun, meskipun dia tahu Rio mencintainya, setiap kata itu terasa semakin jauh seiring berjalannya waktu. Rindu itu semakin membuncah di dadanya, seakan-akan Rio semakin jauh dari jangkauan meskipun surat ini berada di tangannya.
“Sari, aku tahu kamu kuat. Kita akan bertahan, walau jarak memisahkan kita. Dan aku janji, aku akan selalu menulis kepadamu. Setiap saat.”
Sari menutup surat itu, menyelipkannya kembali ke dalam tumpukan, lalu menatap ke luar jendela. Langit sore itu mulai berubah menjadi oranye keemasan, cahaya matahari yang lemah tampak menyelusup melalui tirai jendela. Namun, meskipun keindahan itu ada, semuanya terasa begitu jauh. Seperti bintang-bintang yang tampak sangat dekat, tetapi tak pernah bisa dijangkau. Rasa rindu itu sudah menguasai seluruh pikirannya, membuat setiap kenangan terasa lebih tajam, lebih menyakitkan.
Sari berdiri, berjalan menuju lemari kayu tempat dia menyimpan kotak kenangan mereka. Kotak itu tidak terlalu besar, hanya cukup untuk menampung benda-benda kecil yang memiliki arti penting bagi mereka foto-foto, tiket bioskop yang mereka tonton bersama, bahkan bunga kecil yang pernah Rio beri padanya di hari ulang tahunnya yang ke-25. Dia membuka kotak itu perlahan, merasakan kegelisahan yang semakin mendalam. Di dalamnya, ada tumpukan kenangan yang mulai pudar, tetapi tetap terasa sangat hidup di dalam hatinya.
Di antara benda-benda itu, dia menemukan sesuatu yang lain sebuah surat yang belum pernah dia baca. Surat itu terbungkus rapi dalam amplop biru, tanpa ada nama pengirim di atasnya. Sari tertegun. Tidak ada satu pun surat dari Rio yang pernah dia simpan seperti ini. Dengan tangan gemetar, dia membuka amplop itu, dan sebuah kertas putih bergulung jatuh ke tangannya.
“Sari,” tulisan tangan Rio yang tertata rapih itu langsung mengenang dirinya dalam satu hembusan napas. “Jika kamu membaca surat ini, berarti aku sudah pergi lebih lama dari yang kita harapkan. Aku minta maaf. Sungguh, aku tidak ingin meninggalkanmu seperti ini. Tetapi aku harus pergi, dan kamu harus tahu, meskipun aku jauh, meskipun kita terpisah oleh lautan dan waktu, cintaku untukmu tidak akan pernah berkurang. Percayalah, kita akan bertemu lagi. Waktu hanya akan membuat kita lebih kuat, lebih siap. Aku selalu mencintaimu, lebih dari yang bisa diungkapkan dengan kata-kata.”
Sari membaca surat itu dengan hati yang berdebar. Kata-kata itu walaupun singkat meresap dalam sanubarinya. “Aku minta maaf,” itu adalah kalimat yang paling Sari ingat. Apakah Rio merasa bersalah karena harus pergi? Kenapa dia menulis surat ini, seperti ada perasaan yang belum dia ungkapkan sebelumnya? Hatinya dipenuhi rasa haru dan sekaligus kebingungannya. Kenapa Rio tidak pernah mengatakan hal ini secara langsung?
Sari merasakan air mata mulai menggenang. “Kenapa semua ini terasa begitu sulit?” pikirnya. Semua yang mereka rencanakan, semua yang mereka impikan, kini hanya ada dalam bentuk kenangan yang tertinggal di dalam surat ini. Surat-surat itu kini seperti tumpukan harapan yang belum tercapai, mengingatkan pada impian yang mungkin tak akan pernah terwujud dengan mudah.
Namun, di balik air mata itu, ada juga sebuah keyakinan yang mulai tumbuh. “Rio mencintaiku. Dan aku akan selalu menunggunya.” Kenangan itu meskipun terasa menyakitkan adalah bagian dari perjalanan mereka yang tak akan pernah hilang.
Sari meletakkan surat itu kembali di dalam kotak, menatap kotak kayu itu sejenak. Ada perasaan hangat yang menyelimutinya, meski diiringi kesedihan. Di balik tumpukan kenangan yang terpendam, ada sebuah keyakinan yang semakin kuat bahwa cinta mereka, meskipun terhalang jarak dan waktu, tidak akan pernah pudar.
Dengan perlahan, Sari menutup kotak kenangan itu dan menyimpannya kembali di lemari. “Aku akan menunggu, Rio,” bisiknya dengan suara yang penuh tekad. “Kita akan bertemu lagi. Suatu hari nanti.”
Malam itu, Sari tidur dengan pikiran yang lebih tenang, meskipun kenangan tentang Rio masih mengisi setiap sudut hatinya. Namun, dia tahu bahwa meskipun waktu dan jarak memisahkan mereka, surat-surat dan kenangan itu akan selalu ada, menjadi pengingat bahwa cinta mereka tidak pernah hilang, bahkan dalam keheningan yang terpendam.*
Bab 5 Berjuang Melawan Kerinduan
Hari-hari yang dilalui Sari semakin terasa berat tanpa kehadiran Rio. Waktu berjalan, namun perasaan rindu itu tak kunjung surut. Setiap sudut kota, setiap jalan yang dilalui, dan setiap benda di sekitarnya mengingatkan pada sosok Rio. Dia merasa seperti terjebak dalam kenangan yang terus berputar, dan meskipun dia berusaha sekuat tenaga untuk melupakan, kerinduan itu tetap hadir setiap saat, setiap detik. Semua yang dilakukan terasa tidak lengkap tanpa Rio di sisinya.
Pagi itu, seperti biasa, Sari bangun dengan perasaan cemas yang menggelayuti hatinya. Sambil menyisir rambut di depan cermin, pikirannya melayang kembali pada Rio. “Bagaimana dia di sana?” pikirnya, menyeka tetes air mata yang tiba-tiba saja muncul di pelupuk mata. Sudah beberapa minggu sejak Rio pergi, namun kerinduan itu terasa semakin mendalam. Sari tak tahu bagaimana harus menghadapinya. Apakah ada cara untuk mengatasi perasaan ini? Apakah ada cara untuk membuatnya tidak terlalu terbebani dengan jarak yang memisahkan mereka?
Setelah menyiapkan sarapan dan bersiap untuk bekerja, Sari berjalan menuju kafe. Udara pagi yang segar sedikit mengusir gelisahnya, namun pikiran tentang Rio tetap menghantuinya. Di kafe, suasana terasa biasa. Pelanggan datang, memesan kopi, dan berlalu. Namun, bagi Sari, semuanya terasa kosong. Bahkan percakapan ringan dengan teman-teman kerjanya tidak bisa mengusir bayangan Rio yang terus menempel di pikirannya.
Hari demi hari, Sari mencoba bertahan. Di sela-sela pekerjaan, dia mencoba untuk mengalihkan pikirannya dengan membaca buku atau mendengarkan musik. Namun, setiap kali lagu tertentu mengalun, kenangan tentang Rio datang begitu saja. Suatu kali, sebuah lagu yang pernah mereka dengarkan bersama di suatu sore yang tenang tiba-tiba diputar di kafe. Sari berhenti sejenak, merasa seperti seluruh dunia terhenti di sekelilingnya. Lagu itu mengingatkannya pada saat-saat indah bersama Rio saat mereka duduk di taman, berbicara tentang mimpi-mimpi mereka, dan saling berbagi cerita kecil. Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya.
“Mengapa rasanya begitu sulit?” pikirnya. “Kenapa kerinduan ini seolah tak bisa dihilangkan?”
Pulang dari kafe, Sari memutuskan untuk berjalan-jalan di taman, berharap bisa menemukan sedikit ketenangan. Dia menyusuri jalan setapak yang sudah familiar, tempat di mana Rio dan dia sering duduk bersama, berbincang-bincang tentang segala hal. Angin sore berhembus lembut, menyapa wajahnya, namun tidak bisa menyembuhkan luka di hatinya. Setiap langkah terasa begitu berat, dan setiap sudut taman itu mengingatkan pada Rio. Semuanya terlalu terasa nyata.
Sari berhenti di bangku yang biasa mereka duduki. Dulu, bangku ini penuh dengan tawa dan cerita-cerita ringan yang menghangatkan hati. Namun, kini, bangku itu terasa kosong, dan angin yang berhembus seolah membawa kesunyian yang lebih dalam. Sari duduk di sana, memandang langit yang mulai gelap, seolah ingin mengusir semua perasaan yang membebaninya.
“Rio…” bisiknya, memanggil nama itu pelan, seperti berharap suara hatinya bisa sampai ke tempat di mana Rio berada.
Dia mengeluarkan ponselnya dan melihat daftar pesan yang belum terbalas dari Rio. Sudah beberapa hari sejak pesan terakhir yang dia terima, dan meskipun dia tahu Rio sibuk, rasa cemas dan rindu itu tak bisa dibendung. Ada pesan yang sudah dia kirimkan, namun balasan yang ditunggu tak kunjung datang. Dalam keheningan itu, Sari menulis sebuah pesan lagi, kali ini dengan penuh harapan.
“Aku merindukanmu, Rio. Sangat merindukanmu. Semoga kamu baik-baik saja di sana. Aku hanya ingin tahu bahwa kamu sedang memikirkan aku juga.”
Setelah menekan tombol kirim, Sari merasa sedikit lebih lega, meskipun hatinya tahu bahwa dia tidak bisa berharap banyak. Waktu di antara mereka terlalu berbeda, dan Rio mungkin terlalu sibuk untuk memberikan kabar secara rutin. Namun, rasa rindu itu tetap ada. Kerinduan yang tak dapat dihindari.
Ketika dia kembali ke rumah, Sari mencoba menenangkan pikirannya. Dia tahu, berjuang melawan kerinduan bukanlah hal yang mudah. Tetapi, dia juga tahu bahwa dia harus tetap bertahan. Hidupnya tidak hanya terhubung dengan Rio. Ada banyak hal yang harus dia lakukan, dan meskipun terasa sulit, dia harus menemukan cara untuk tetap kuat, untuk melanjutkan hidup, dan tidak tenggelam dalam perasaan rindu yang tiada akhir.
Setiap malam, setelah pekerjaan selesai, Sari duduk di sofa, memikirkan apa yang bisa dia lakukan untuk melawan perasaan ini. “Aku tidak bisa hanya menunggu,” pikirnya, sambil menatap langit malam yang dihiasi bintang-bintang. “Aku harus belajar untuk hidup tanpa dia, meskipun itu sangat sulit.”
Pada suatu malam, Sari memutuskan untuk menulis surat untuk Rio surat yang tidak pernah dikirimkan. Surat yang hanya berisi perasaan hati, tanpa ada harapan untuk mendapatkan balasan. Dia menulis tentang kerinduannya, tentang semua hal yang dia rasakan sejak Rio pergi. Dia menulis tentang hari-hari yang terasa lebih sepi tanpa kehadiran Rio, dan bagaimana dia berusaha untuk tetap kuat meskipun semuanya terasa sulit. Di akhir surat itu, dia menulis kalimat yang sudah lama ingin dia ucapkan.
“Rio, meskipun aku merasa kehilangan, aku tahu kita bisa melewati ini. Aku akan berjuang melawan kerinduanku, untuk kita. Aku akan terus menunggu, sampai kita bisa bertemu lagi.”
Surat itu tidak pernah dimaksudkan untuk dikirim. Itu hanya sebuah pelepasan, sebuah cara untuk melepaskan sedikit beban yang selama ini dia simpan. Setelah menulis surat itu, Sari merasa sedikit lebih tenang. Mungkin, inilah cara dia untuk berjuang melawan kerinduan. Untuk menerima kenyataan bahwa meskipun jarak memisahkan mereka, hatinya tetap milik Rio, dan Rio akan selalu ada di dalam setiap langkah hidupnya.
Keesokan harinya, saat Sari membuka ponselnya, ada sebuah pesan dari Rio. “Aku merindukanmu juga, Sari. Terima kasih sudah menunggu. Kita pasti akan bersama lagi.”
Sari tersenyum tipis. Pesan itu, meskipun sederhana, memberi kekuatan yang dia butuhkan. “Kita akan bersama lagi, Rio,” bisiknya pelan. Dan untuk pertama kalinya dalam beberapa minggu, dia merasa bahwa meskipun jarak memisahkan mereka, cinta mereka tetap ada, tak tergoyahkan.*
Bab 6 Cinta di Ujung Waktu
Pagi itu, Sari merasa seolah waktu telah berhenti. Langit yang mendung dan gerimis yang turun membuat suasana kota terasa lebih kelabu, mirip dengan hatinya yang semakin berat. Hari-hari terus berjalan, tetapi kerinduan yang melingkupi dirinya seperti tak pernah beranjak. Setiap detik terasa melambat, menambah panjang jarak yang memisahkan dirinya dengan Rio. Cinta mereka, yang semula terasa begitu kuat dan tak terhalangi oleh apapun, kini harus melawan waktu yang semakin terbatas. Seperti dua dunia yang terus berjauhan, meskipun mereka berusaha untuk tetap terhubung.
Sari duduk di meja kerjanya, menatap layar ponsel dengan mata yang kosong. Tidak ada pesan baru dari Rio. Sudah dua hari sejak terakhir kali mereka berkomunikasi, dan meskipun dia tahu Rio sibuk dengan pekerjaannya, rasa cemas itu kembali menghantuinya. “Apakah dia baik-baik saja?” pertanyaan itu selalu menghantui, mengusik pikirannya tanpa henti. Rio sering bercerita bahwa jadwalnya padat dan dunia barunya di luar negeri membuatnya kesulitan untuk berbicara lebih sering. Tetapi tetap saja, Sari merasakan sebuah kekosongan. Ada bagian dari dirinya yang merasa hilang tanpa kehadiran Rio, dan meskipun dia tahu hubungan mereka kuat, jarak ini membuat semuanya terasa semakin rapuh.
Hari-hari berlalu, dan Sari merasa seolah-olah waktu dan jarak bukanlah satu-satunya ujian dalam hubungan mereka. Ketidakpastian akan masa depan semakin membuatnya merasa terjepit. Apa yang akan terjadi jika waktu semakin terbatas? Apa yang akan terjadi jika Rio semakin sibuk dan dia semakin terasingkan? Apakah cinta mereka bisa bertahan dalam kondisi seperti ini?
Pikirannya melayang ke masa lalu, ke saat pertama kali mereka bertemu. Saat itu, semuanya terasa begitu mudah. Setiap percakapan yang mereka lakukan, setiap tawa yang mereka bagi, semuanya terasa penuh warna dan harapan. Tak ada yang menyangka bahwa suatu hari mereka harus berpisah, bahwa cinta mereka akan diuji oleh jarak yang begitu besar.
Namun, Sari juga tahu bahwa meskipun perasaan itu terus membara, realita kehidupan sering kali membawa tantangan yang tak terduga. “Mungkin ini memang ujian untuk kita,” bisiknya pelan, menenangkan dirinya sendiri. Namun, semakin dia memikirkannya, semakin besar rasa takut itu menghampiri. “Apakah kita akan bisa melewatinya?”
Seolah menjawab kekhawatirannya, ponselnya bergetar. Sebuah pesan dari Rio muncul di layar. “Sari, aku rindu kamu. Waktu kita terbatas, aku tahu itu. Tapi aku ingin kamu tahu bahwa aku tidak pernah berhenti memikirkanmu, meskipun jarak dan waktu sering kali membuat kita sulit untuk berkomunikasi. Aku akan selalu berjuang untuk kita.”
Mata Sari berkaca-kaca membaca pesan itu. “Aku juga rindu kamu, Rio. Sangat rindu,” balasnya dengan cepat, meskipun dalam hati ada rasa takut yang mulai menjalar. “Tapi… bagaimana kita bisa melanjutkan ini, Rio? Kita semakin terpisah oleh waktu, dan aku takut aku akan kehilanganmu.”
Beberapa detik berlalu, dan balasan dari Rio pun datang. “Aku tahu ini sulit, Sari. Aku juga takut. Tetapi, aku ingin kamu tahu bahwa meskipun kita terpisah oleh waktu dan jarak, aku akan selalu ada untukmu. Cinta kita lebih besar daripada batasan apapun. Dan aku akan terus berjuang untuk itu.”
Sari menundukkan kepala, merasakan berat di dadanya. Cinta mereka adalah sesuatu yang luar biasa, dan itu memberi kekuatan yang tak terbayangkan. Namun, di sisi lain, waktu semakin terbatas. Pekerjaan Rio, tanggung jawab yang terus berkembang, semuanya mengingatkan Sari bahwa hubungan mereka mungkin akan berubah seiring berjalannya waktu. “Apa yang harus aku lakukan, Rio?” dia bertanya dalam hati. “Bisakah aku bertahan dalam cinta ini meskipun waktu terus berjalan, meskipun kita terpisah lebih jauh dari hari-hari sebelumnya?”
Malam itu, Sari merenung, duduk di sofa ruang tamu dengan lampu redup yang menyinari buku-buku yang berbaris rapi di rak. Semua kenangan indah bersama Rio kembali mengalir begitu saja. Mereka pernah bercita-cita untuk melakukan banyak hal bersama, untuk melihat dunia bersama, dan kini, meskipun jarak memisahkan mereka, masih ada secercah harapan di hati Sari bahwa mereka akan bisa mewujudkan semuanya. “Kita hanya perlu bertahan,” pikirnya, sambil menyentuh ponselnya. “Cinta ini tidak akan pudar, selama kita terus berjuang.”
Pagi berikutnya, Sari menerima pesan lain dari Rio, kali ini lebih panjang. “Sari, aku tahu kita sedang berada di ujung waktu, tetapi aku ingin kamu tahu bahwa aku tidak akan pernah menyerah. Waktu yang terbatas ini akan berlalu, tetapi aku berjanji bahwa aku akan selalu mencintaimu. Aku ingin kita tetap bersama, meskipun dunia ini penuh dengan tantangan. Kita akan menemukan jalan untuk bertahan. Aku percaya itu.”
Sari membaca pesan itu berulang kali. Setiap kata yang ditulis Rio seakan membangkitkan harapan baru dalam dirinya. Cinta mereka bukan hanya soal waktu dan jarak, tapi tentang tekad dan kesetiaan untuk tetap bersama, meskipun segalanya tampak semakin sulit. “Aku percaya kita bisa melewati ini,” bisik Sari pelan, merasakan ketenangan mulai meresap ke dalam dirinya.
Pada malam hari, ketika langit dipenuhi dengan bintang-bintang yang bersinar terang, Sari duduk di balkon rumahnya. “Cinta kita mungkin memang berada di ujung waktu,” pikirnya, menatap bintang-bintang di atas sana. “Namun selama kita bersama, meskipun terpisah jarak, cinta ini tak akan pernah berakhir. Kita akan menemukan cara untuk bersama, walaupun waktu dan jarak selalu menguji kita.”
Sari memejamkan mata sejenak, merasakan angin malam yang sejuk menerpa wajahnya. Di balik semua kerinduan, di balik segala rasa takut akan kehilangan, dia tahu satu hal cinta mereka adalah sesuatu yang tidak bisa dihancurkan oleh waktu. Mereka hanya perlu terus berjuang, meskipun itu berarti harus menghadapi banyak ketidakpastian. Dan meskipun waktu terus berlalu, cinta mereka akan tetap hidup, tak terbatas oleh waktu, tak terhalang oleh jarak.
“Aku menunggumu, Rio,” bisik Sari dalam hati, membiarkan kata-kata itu terbang bersama angin malam. “Dan aku akan selalu mencintaimu, sampai waktu dan jarak tidak lagi menghalangi kita.”
Malam itu, Sari merasa sedikit lebih tenang. Meski perjalanan cinta mereka masih panjang dan penuh tantangan, dia yakin bahwa selama ada cinta, tidak ada yang mustahil. Cinta mereka akan bertahan di ujung waktu.*
Bab 7 Menanti di Bawah Langit yang Sama
Sari duduk di balkon rumahnya, memandangi langit malam yang terbentang luas. Di atas sana, bintang-bintang bersinar dengan tenang, seakan memberi cahaya di tengah kegelapan. Dalam sepi, Sari merasakan getar halus di dalam hatinya. “Kita mungkin terpisah oleh ribuan kilometer, Rio,” pikirnya, “tapi kita selalu berada di bawah langit yang sama.”
Hari-hari yang ditempuh Sari semakin terasa berat. Setiap kali dia melihat ponsel, dia berharap ada pesan dari Rio, tetapi sering kali yang muncul hanyalah keheningan yang membuatnya merasa semakin jauh dari dunia yang dulu mereka jalani bersama. Meski begitu, Sari berusaha untuk tetap sabar. Setiap pesan yang datang, meskipun jarang, adalah angin segar yang menyegarkan hatinya yang mulai lelah. Setiap kata Rio adalah pelipur lara, tetapi di saat yang sama, juga menjadi pengingat bahwa mereka berada dalam keadaan yang sangat berbeda—terpisah oleh jarak dan waktu, namun saling merindukan.
Pagi itu, Sari terbangun dengan perasaan yang campur aduk. Ada kegelisahan yang menggelayuti pikirannya. Sudah hampir enam bulan sejak Rio pergi, dan meskipun dia berusaha keras untuk terus bertahan, rasa rindu itu kerap kali menghantuinya, terutama saat malam hari. “Apa yang harus aku lakukan untuk membuat waktu ini terasa lebih singkat?” pikirnya, menggulung selimut dan duduk di tepi tempat tidur. “Apakah semua ini akan terus berlanjut seperti ini?”
Terkadang, dia merasa lelah dengan kenyataan ini. Hidupnya terasa seperti terbagi menjadi dua dunia yang berbeda dunia yang dia jalani sekarang, dengan segala rutinitas dan pekerjaan yang harus diselesaikan, dan dunia yang berisi kenangan tentang Rio, tentang semua momen yang pernah mereka lalui bersama. Setiap kali dia berjalan ke tempat-tempat yang dulu mereka kunjungi, seperti kafe yang mereka sukai atau taman yang sering mereka datangi, perasaan itu kembali hadir perasaan tentang betapa hidup terasa lebih lengkap ketika Rio ada di sana. Tetapi kini, semuanya hanya ada dalam kenangan, dan kenangan itu seakan semakin kabur.
Hari itu, seperti biasa, Sari menghabiskan waktu di kafe, tempat dia bekerja. Namun kali ini, pikirannya tidak bisa tenang. Dia merindukan Rio, ingin sekali bisa mendengar suaranya atau sekadar membaca pesan darinya. “Aku harus lebih sabar,” Sari berusaha meyakinkan dirinya sendiri. “Aku tidak boleh menyerah pada kerinduan ini.” Namun, semakin dia mencoba mengalihkan pikirannya, semakin kuat perasaan kosong itu menjalar. Seolah-olah ada bagian dari dirinya yang hilang, dan tidak ada yang bisa mengisinya selain Rio.
Ketika dia menatap ponselnya, sebuah notifikasi masuk pesan dari Rio. “Sari, maaf aku baru bisa menghubungimu. Aku tahu kita jarang berbicara belakangan ini, tetapi aku ingin kamu tahu bahwa meskipun aku jauh, aku selalu memikirkanmu. Aku merindukanmu lebih dari yang bisa aku ungkapkan.”
Sari tersenyum kecil membaca pesan itu, tetapi hatinya tetap diliputi rasa haru. “Aku merindukanmu juga, Rio,” balasnya dengan cepat, meskipun kata-kata itu terasa begitu sederhana untuk menggambarkan perasaannya yang sebenarnya. “Setiap detik tanpamu terasa sangat lama.”
Beberapa detik kemudian, Rio membalas. “Aku tahu ini sulit, Sari. Aku juga merasakannya. Tapi kita akan bertahan, kan? Kita akan tetap di bawah langit yang sama, meskipun jarak memisahkan kita.”
Sari menutup matanya sejenak, menghapus air mata yang jatuh tanpa disadari. “Di bawah langit yang sama,” kata-kata itu seperti mantra yang menenangkan hatinya. Ya, meskipun mereka terpisah oleh lautan dan benua, langit yang sama masih menjadi penghubung antara mereka. Sari membayangkan Rio di tempatnya, menatap bintang yang sama di langit yang sama, merasakan hal yang sama meski mereka tidak bisa bertatap muka.
Setelah membaca pesan itu, Sari merasa sedikit lebih tenang. Tidak ada yang bisa mengubah kenyataan bahwa mereka terpisah oleh jarak, tetapi setidaknya ada kenyamanan dalam mengetahui bahwa Rio merasakan hal yang sama bahwa mereka berada di bawah langit yang sama, terhubung oleh rindu yang mendalam, meski fisik mereka terpisah jauh.
Malam itu, Sari kembali duduk di balkon rumahnya, memandang langit yang semakin gelap. Bintang-bintang mulai bermunculan, satu per satu, memenuhi ruang angkasa. Sari menarik napas dalam-dalam, merasakan angin malam yang sejuk menerpa wajahnya. “Rio, aku di sini. Menunggumu. Di bawah langit yang sama.”
Saat itu, Sari menyadari satu hal penting. Meskipun waktu dan jarak membuatnya merasa terpisah, cinta mereka tidak pernah pudar. Tidak ada yang bisa menghalangi ikatan yang terjalin begitu kuat di antara mereka. Mungkin mereka tidak bisa bertemu sekarang, mungkin masa depan masih kabur, tetapi yang pasti selama mereka berada di bawah langit yang sama, mereka tetap terhubung.
Sari menatap bintang-bintang itu lebih lama, mencoba merasakan kehadiran Rio meskipun jarak memisahkan mereka. Dia tidak tahu berapa lama lagi mereka akan terpisah, atau kapan mereka akan bisa bertemu kembali. Tetapi dia tahu satu hal selama cinta itu ada, selama mereka terus saling mengingat, mereka akan selalu berada di bawah langit yang sama. “Aku akan menunggu, Rio,” bisiknya pelan, melepaskan rindu yang terkumpul di dalam hati. “Menunggu di bawah langit yang sama.”
Dengan perasaan yang lebih tenang, Sari berdiri dan masuk ke dalam rumah. Meskipun esok masih penuh ketidakpastian, dia tahu bahwa langit malam itu adalah bukti bahwa meskipun mereka berada jauh di dunia yang berbeda, mereka tetap di bawah langit yang sama. Dan cinta yang mereka miliki, meskipun tersembunyi dalam waktu yang panjang, tetap akan bertahan.
Pada akhirnya, cinta mereka adalah sebuah perjalanan yang tidak terukur oleh jarak. Ia adalah ikatan yang tak tergoyahkan, bahkan di bawah langit yang berbeda. Sari menutup mata, membayangkan suatu hari nanti ketika waktu dan jarak tidak lagi menjadi penghalang mereka akan bertemu kembali, berjalan bersama di bawah langit yang sama, dengan hati yang penuh cinta.***
———THE END——–