Kisah Cinta
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
Kisah Cinta
No Result
View All Result

MENCINTAI TANPA PILIHAN

MENCINTAI TAMPA PILIHAN

SAME KADE by SAME KADE
January 29, 2025
in Cinta Segitiga
Reading Time: 16 mins read
MENCINTAI TANPA PILIHAN

Daftar Isi

  • Bab 1: Dua Dunia yang Berbeda
  • Bab 2: Pengorbanan Cinta
  • Bab 3: Kenyataan yang Harus Diterima
  • Bab 4: Mencari Cinta yang Baru

Bab 1: Dua Dunia yang Berbeda

Rania menghela napas panjang saat melihat matahari terbenam di balik gedung-gedung pencakar langit yang menjulang tinggi. Warna oranye keemasan yang menyapu langit sore itu seolah menyelimuti rasa bingung di hati Rania, perasaan yang sudah lama ia pendam. Kembali ke kantor setelah beberapa minggu penuh tantangan, perasaan cemas dan gelisah selalu menemani hari-harinya. Meskipun dia tampak tenang, dunia dalam dirinya bertentangan.

Di luar, Rania adalah seorang wanita yang sukses di dunia karir. Dengan usia 25 tahun, dia sudah bekerja sebagai desainer interior di perusahaan ternama, tempat yang selalu ia impikan sejak kecil. Dia selalu dikenal sebagai sosok yang cerdas, pekerja keras, dan mampu menyelesaikan tugas-tugas besar dengan cepat. Karirnya sedang menanjak, dan semua orang memujinya. Di luar sana, dunia seolah berada di telapak tangannya.

Namun di dalam hatinya, ada sisi lain yang sangat berbeda. Hati Rania tidak bisa berhenti berpikir tentang Adi, sahabatnya sejak kecil yang kini menjadi rekan kerjanya. Meskipun tak pernah terucap, perasaan Rania terhadap Adi sudah melampaui sekadar pertemanan. Namun, di hadapan dunia luar, dia tak bisa menunjukkan rasa itu. Tidak ada yang tahu apa yang ada di hatinya.

Rania memandangi ponselnya yang tergeletak di atas meja. Ada pesan masuk dari Adi. Pesan singkat yang tampaknya tidak memiliki beban, tetapi bagi Rania, setiap kata yang tertulis di sana seolah mengguncang jiwanya. “Kamu sudah makan siang, belum? Kalau belum, ayo makan bareng. Aku tunggu di kafe bawah kantor.”

Rania tersenyum kecil, namun hatinya terasa seperti ada yang menekan. Dia membalas pesan itu dengan singkat. “Sudah makan. Terima kasih.”

Itu adalah bagian dari rutinitas mereka. Sejak dulu, Adi selalu ada untuk Rania. Mereka berbagi segala hal—cerita tentang keluarga, pekerjaan, bahkan kisah-kisah lucu yang hanya mereka berdua yang bisa memahami. Namun ada satu hal yang tak bisa mereka bagi, yang bahkan Rania sendiri tidak bisa mengungkapkan—perasaan cinta yang dia sembunyikan.

Mereka sering berbincang tentang banyak hal, tetapi tidak pernah tentang perasaan mereka yang lebih dalam. Adi selalu melihat Rania sebagai teman dekat, bahkan lebih dari itu, seperti seorang saudara. Rania tahu, Adi tidak akan pernah melihatnya sebagai wanita yang bisa dia cintai. Adi sudah memiliki kehidupan sendiri, pacar yang sudah lama dikenalnya, dan dunia yang berbeda dari miliknya. Itu adalah kenyataan yang sulit untuk diterima, namun harus dihadapi.

Rania kembali menatap layar ponselnya, membaca pesan dari Adi berulang kali. “Aku ingin kamu tahu bahwa aku sangat menghargai kita yang sudah lama berteman. Semoga kita tetap bisa bekerja bersama dengan baik.”

Pesan itu begitu sederhana, namun bagi Rania, itu adalah sebuah pengingat bahwa hubungan mereka tidak akan pernah berubah. Adi hanya melihatnya sebagai teman, tidak lebih. Rania harus bisa menerima kenyataan itu, meskipun hatinya terasa sakit.

Namun, apa yang bisa dia lakukan? Rania tidak bisa memaksakan perasaan yang tidak bisa diterima. Dia tidak bisa merusak persahabatan mereka hanya karena perasaan yang datang tanpa diminta. Selama ini, Rania selalu berusaha menahan perasaan itu, tapi semakin ia mencoba mengabaikannya, semakin ia merasa terperangkap dalam ketidakpastian.

Hari itu, seperti biasa, Rania bergegas menuju ruang rapat. Tidak ada yang bisa menghentikan ritme kerjanya. Dia harus menunjukkan pada dunia bahwa dia bisa sukses tanpa terpengaruh oleh perasaan pribadinya. Tetapi meskipun dia tahu bagaimana menjaga profesionalisme, ada sesuatu yang terasa semakin berat di hatinya. Mencintai dalam diam, membuatnya harus menahan banyak hal.

Ketika rapat selesai, Rania kembali ke mejanya. Dia mengumpulkan dokumen-dokumen yang harus dia kerjakan. Sesekali, pandangannya mengarah ke meja Adi yang ada di seberang ruangan. Adi sedang duduk bersama tim lainnya, berbicara dengan lancar. Tawa mereka terdengar jelas di ruangan terbuka itu. Rania menatapnya dalam diam, menikmati saat-saat ketika Adi tampak bahagia. Namun, di saat yang sama, ia merasa jauh, sangat jauh dari dunia Adi yang penuh dengan keceriaan itu.

Rania tahu bahwa Adi memiliki kehidupan yang berbeda. Mereka mungkin memiliki hubungan yang erat, tetapi dunia mereka tak akan pernah sama. Rania merasa dirinya terjebak antara dua dunia yang berbeda—dunia yang penuh dengan perasaan yang tak bisa diungkapkan, dan dunia nyata di mana dia harus menjadi profesional dan menjaga hubungan mereka tetap baik.

Setiap kali berpapasan dengan Adi di kantor, ada perasaan cemas yang menyelimuti. Rania tidak tahu apakah Adi merasakan ketegangan yang sama, atau apakah dia hanya melihatnya sebagai seorang teman biasa. Di luar itu, Adi memiliki pacar, seseorang yang Rania tahu sangat mencintainya. Rania bahkan sering melihat mereka pergi berdua setelah jam kantor. Melihat mereka berdua berjalan bersama, Rania merasa hancur, tetapi dia tidak bisa berbuat apa-apa. Itu adalah pilihan Adi, dan dia harus bisa menerima kenyataan itu.

Satu-satunya hal yang bisa dilakukan Rania adalah menjalani hari-hari dengan sebaik-baiknya, menyembunyikan perasaannya, dan menjaga diri agar tidak menunjukkan kerapuhannya. Setiap kali Adi mengajaknya berbicara atau memberikan perhatian lebih, hatinya berdebar, namun ia harus tetap tenang, menjaga jarak, agar tidak terlalu berharap.

Di suatu sore, setelah jam kerja, Rania duduk di kafe kecil di dekat kantor, mencoba menenangkan pikirannya. Kopi yang ia pesan terasa lebih pahit dari biasanya. Tiba-tiba, ponselnya berdering. Ada pesan masuk dari Adi.

“Rania, aku ingin bicara.”

Rania mengerutkan kening. Hanya kalimat singkat, tetapi cukup untuk membuatnya cemas. Ia tahu, Adi tidak pernah mengirim pesan seperti itu kecuali ada sesuatu yang penting. Setelah beberapa detik ragu, Rania membalas pesan itu.

“Ada apa? Apa ada masalah?”

“Aku ingin bicara tentang kita,” balasan Adi datang singkat, namun memberi kesan mendalam. Rania merasakan ada ketegangan dalam kata-kata itu, sebuah ketidakpastian yang tidak pernah mereka bicarakan sebelumnya.

Di satu sisi, Rania merasa gugup. Apakah Adi sudah tahu tentang perasaannya? Ataukah ini hanya pembicaraan biasa yang tidak ada kaitannya dengan apa pun? Tetapi, di sisi lain, Rania juga merasa bahwa ini adalah saat yang tepat untuk mendengarkan apa yang Adi ingin katakan. Ia memutuskan untuk menunggu.

Beberapa menit kemudian, Adi muncul di kafe yang sama. Saat matanya bertemu dengan mata Rania, ada sesuatu yang tak bisa ia jelaskan. Tatapan itu penuh makna, seolah membawa begitu banyak pertanyaan dan jawaban yang tak terucapkan. Mereka duduk di meja yang biasanya mereka pilih, tempat di mana mereka berbicara tentang berbagai hal—tentang pekerjaan, kehidupan, bahkan tentang masa depan.

“Rania,” kata Adi, suaranya lebih berat dari biasanya. “Aku tahu kita sudah lama saling kenal, dan aku merasa ada yang berubah antara kita belakangan ini.”

Rania menundukkan kepala, mencoba menahan gelombang perasaan yang mulai menguasai dirinya. “Apa maksudmu, Adi?”

Adi memandangnya dengan tatapan serius. “Aku merasa ada jarak antara kita, Rania. Aku merasa kamu semakin menjauh, dan aku tidak tahu kenapa. Aku ingin tahu, apakah ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu?”

Perasaan Rania campur aduk. Bagaimana mungkin Adi tidak tahu? Bagaimana bisa ia tidak merasakan perasaan yang telah lama terpendam dalam dirinya? Tetapi, Rania juga tahu, ia tidak bisa mengungkapkan perasaan itu sekarang. Terlalu banyak yang akan berubah, dan dia tidak siap untuk kehilangan apa pun yang sudah mereka miliki.

“Aku hanya sibuk, Adi,” jawab Rania dengan suara pelan, meskipun hatinya bergetar. “Mungkin aku memang sedikit tertekan dengan pekerjaan.”

Adi tampaknya tidak sepenuhnya puas dengan jawaban itu, tetapi dia tidak memaksanya lebih lanjut. Mereka melanjutkan percakapan dengan lebih santai, meskipun Rania merasa ada ketegangan yang belum terpecahkan.

Hari itu berakhir dengan perasaan yang lebih berat dari sebelumnya. Adi tidak pernah tahu, dan Rania tidak akan pernah memberi tahu. Mereka berada di dunia yang berbeda, dan mungkin, seperti itulah seharusnya. Mereka terjebak dalam dunia masing-masing, berusaha menjalani hidup mereka, sementara perasaan Rania tetap tersembunyi dalam diam, tak pernah terungkapkan.*

Bab 2: Pengorbanan Cinta

Hari-hari berlalu dengan cepat, tetapi perasaan yang tersembunyi di dalam hati Rania seolah mengikatnya dalam lingkaran tak berujung. Semakin ia mencoba untuk melupakan, semakin perasaan itu semakin menguat, merasuk jauh ke dalam dirinya. Cinta tanpa harapan, mencintai tanpa pilihan, dan mencintai dalam diam—semuanya terasa begitu membebani hatinya. Tetapi di luar sana, di dunia yang tampak sempurna, Rania harus berjuang untuk tetap kuat. Dunia profesional menuntutnya untuk menjaga sikap, untuk tetap tampil sempurna, sementara hati kecilnya semakin merasa tercekik oleh kenyataan yang tak bisa ia ubah.

Rania melangkah menuju kantor pagi itu dengan langkah yang lebih berat dari biasanya. Pikirannya sudah penuh dengan berbagai hal yang harus ia selesaikan, namun perasaan terhadap Adi kembali mengusik. Seperti biasa, mereka bekerja bersama di perusahaan desain interior tempat mereka berdua berkarir. Namun, belakangan ini ada sesuatu yang berubah, meski tidak terlihat oleh orang lain. Adi semakin sering menghabiskan waktu bersama Maya, pacarnya yang telah lama dikenalnya. Rania merasa cemburu, meskipun dia tahu dirinya tidak berhak untuk merasakannya.

Sore itu, di ruang rapat, Rania duduk di kursi depan sambil memperhatikan papan presentasi yang dipenuhi dengan sketsa desain terbaru. Namun, pikirannya masih jauh. Sesekali, pandangannya melintas ke arah meja Adi yang duduk di belakangnya, berbicara dengan seorang klien penting. Adi selalu terlihat begitu percaya diri, memiliki aura yang memikat. Sejak kecil, Rania sudah tahu bahwa Adi adalah orang yang tak akan pernah melihatnya lebih dari sekadar sahabat. Mereka berbagi masa kecil bersama, tumbuh bersama, namun dunia mereka tidak sama.

“Rania, kamu baik-baik saja?” tanya Dian, teman kerja sekaligus sahabat Rania yang duduk di sebelahnya. “Kamu terlihat seperti sedang berada di tempat lain.”

Rania tersentak, kembali ke kenyataan. Ia tersenyum tipis, berusaha menyembunyikan kegelisahannya. “Iya, hanya sedikit kelelahan,” jawabnya sambil mengerlingkan mata ke layar proyektor. “Lanjutkan saja presentasinya.”

Dian mengangguk, namun Rania bisa melihat tatapan penuh curiga di matanya. Dian tahu bahwa ada sesuatu yang tidak beres, meskipun Rania berusaha sekuat tenaga untuk menutupi perasaannya.

Setelah rapat selesai, Rania kembali ke mejanya. Ada pesan dari Adi di ponselnya. Hatinya berdebar ketika membaca pesan itu. Terkadang, hal-hal sederhana seperti ini bisa menghangatkan hatinya, meskipun itu hanya sebuah pesan singkat.

“Rania, aku sudah selesai dengan tugas. Kalau ada waktu, kita makan malam?”** pesan itu bertuliskan begitu santai, tanpa ada beban.

Rania menatap layar ponselnya beberapa detik. Apa yang harus ia lakukan? Di satu sisi, ia ingin sekali bertemu Adi, tetapi di sisi lain, ia tahu bahwa dia tidak bisa berharap lebih dari itu. Jika dia mulai berharap, dia takut akan semakin terluka. Setiap kali bersama Adi, ada perasaan bahagia yang datang, tetapi juga perasaan yang tak bisa ia ungkapkan. Cinta itu hanya bisa tumbuh dalam diam.

Akhirnya, ia membalas pesan itu dengan cepat. “Mungkin lain waktu, aku ada urusan di rumah.”

Rania tahu, jawabannya tidak terlalu meyakinkan. Tetapi dia tidak ingin Adi mengetahui betapa besar ketertarikannya. Rania takut jika ia mengungkapkan perasaannya, semua akan berubah. Persahabatan mereka yang selama ini terjalin erat, bisa berantakan begitu saja. Dan itu lebih menakutkan baginya dibandingkan dengan perasaan yang ia pendam.

Namun, malam itu, saat Rania duduk sendirian di apartemennya, perasaan kosong menguasainya. Di luar jendela, lampu-lampu kota berkelap-kelip, namun hatinya terasa sepi. Rania merasa seperti kehilangan arah, terjebak dalam perasaan yang tidak bisa ia kendalikan. Mengapa perasaan ini harus datang pada saat yang salah? Mengapa ia harus mencintai seseorang yang tidak akan pernah bisa menjadi miliknya?

Rania berpikir tentang pengorbanan. Cinta yang tidak bisa terbalas seringkali memaksa seseorang untuk berkorban—baik itu waktu, energi, bahkan perasaan. Adi adalah seseorang yang sangat berarti baginya, tetapi Rania tahu bahwa untuk menjaga hubungan mereka tetap baik, ia harus mengorbankan kebahagiaannya sendiri. Ia harus menerima kenyataan bahwa Adi memiliki pilihan lain, dan dia bukanlah pilihan itu. Maya, pacar Adi, adalah seseorang yang sudah berada di hidupnya jauh sebelum Rania masuk. Rania tahu betul bahwa Maya adalah bagian dari dunia Adi, dan dia harus bisa menerima hal itu dengan lapang dada.

Namun, kenapa hati ini terasa begitu sulit untuk menerima kenyataan itu? Rania menghapus air mata yang tanpa sadar mengalir di pipinya. Dia tidak bisa terus seperti ini. Dia harus menjaga diri agar tidak terluka lebih dalam. Setiap hari, ia menahan perasaan itu, mengunci rapat-rapat cinta yang tidak bisa ia ungkapkan. Ini adalah harga yang harus dibayar untuk menjaga persahabatan mereka. Rania tahu, tidak ada pilihan lain. Ia harus berkorban demi kebahagiaan orang lain, bahkan jika itu berarti ia harus menutup pintu hatinya selamanya.

Beberapa hari kemudian, Rania kembali bekerja dengan tekun, meskipun hatinya masih terombang-ambing. Pagi itu, Adi datang menghampirinya di meja kerja. Ada sesuatu yang berbeda di wajahnya, sesuatu yang membuat Rania merasa cemas.

“Rania, aku butuh bicara denganmu,” kata Adi dengan nada serius.

Rania menatapnya, mencoba untuk tetap tenang. “Ada apa, Adi?”

Adi duduk di kursi di samping meja Rania. “Aku ingin kamu tahu, aku merasa ada yang berubah di antara kita belakangan ini. Aku tidak tahu apa yang terjadi, tapi aku merasa kita mulai menjauh. Apa ada yang salah?”

Rania menahan napas. Dia tahu, saat ini adalah saat yang paling menentukan. Inilah saat yang bisa mengubah segalanya. Jika dia mengungkapkan perasaannya, apakah itu akan merusak hubungan mereka? Apakah Adi akan mengerti? Atau justru menjauh darinya?

“Aku hanya sedikit lelah, Adi,” jawab Rania dengan suara pelan, berusaha menenangkan dirinya. “Pekerjaan semakin menumpuk, dan aku merasa sedikit tertekan.”

Adi mengangguk, tetapi masih ada keraguan di matanya. “Kamu yakin? Aku merasa ada yang mengganjal di sini. Kamu bisa cerita padaku, Rania. Aku ingin kamu merasa nyaman, seperti dulu.”

Rania menelan ludah. Sebuah godaan besar untuk mengungkapkan segalanya menggelayuti hatinya. Tetapi, seiring dengan kata-kata itu, sebuah suara di dalam dirinya berteriak keras. **Jangan lakukan itu. Jangan berikan harapan yang tidak bisa dia penuhi.**

“Adi, aku baik-baik saja,” jawabnya, suaranya mulai tenggelam dalam perasaan yang sulit dijelaskan. “Aku hanya perlu waktu untuk diri sendiri. Ini hanya masalah pekerjaan. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan.”

Adi tampaknya masih ragu, tetapi dia akhirnya bangkit dan tersenyum kecil. “Baiklah. Kalau begitu, jangan ragu untuk bilang kalau kamu butuh bantuan. Aku selalu ada untukmu, Rania.”

Mendengar kalimat itu, Rania merasa hatinya semakin berat. Di satu sisi, dia ingin sekali mengatakan yang sebenarnya—bahwa dia mencintainya, bahwa dia ingin lebih dari sekadar teman. Tetapi, di sisi lain, dia tahu itu adalah pengorbanan yang harus dia buat. Jika dia mengatakan yang sebenarnya, semua akan berubah. Persahabatan mereka akan hancur. Cinta yang ia sembunyikan mungkin akan menghancurkan semua yang telah mereka bangun bersama. Dan itu adalah sesuatu yang Rania tak sanggup untuk hadapi.

Hari itu, Rania kembali ke rumah dengan perasaan yang semakin sesak. Dia tahu bahwa perasaan ini tidak akan hilang begitu saja. Cinta yang terpendam ini, meskipun ia coba untuk menahannya, tetap menggerogoti hatinya. Namun, pengorbanan cinta ini adalah jalan yang harus dia pilih. Untuk Adi, untuk persahabatan mereka, dan untuk kebahagiaan Maya, Rania harus tetap diam. Walaupun terkadang, diam itu terasa lebih menyakitkan dari apapun.*

Bab 3: Kenyataan yang Harus Diterima

Rania berdiri di balkon apartemennya, menatap ke luar jendela dengan pandangan kosong. Langit malam yang gelap seolah mengundang perenungannya yang mendalam. Di kejauhan, lampu-lampu kota berkilauan seperti bintang yang tersebar di langit, namun hatinya terasa semakin terperangkap dalam kegelapan yang lebih dalam. Semua perasaan itu kembali datang, berputar-putar dalam dirinya. Perasaan yang harus ia sembunyikan, namun semakin hari semakin sulit untuk ditahan.

Mencintai tanpa harapan adalah keadaan yang paling menyesakkan. Sejak lama, Rania sudah tahu bahwa perasaannya terhadap Adi adalah sesuatu yang tidak mungkin terbalas. Namun, kenyataan yang datang belakangan ini semakin menguatkan bahwa dia harus benar-benar melepaskan harapan itu, meskipun tidak ada yang bisa menghapuskan perasaan yang sudah tumbuh begitu dalam.

Hari ini, setelah seharian bekerja keras, Rania kembali pulang dengan kepala penuh. Setiap detik yang ia lewati bersama Adi terasa begitu berharga, namun juga semakin membuatnya sadar akan batasan-batasan yang ada. Mereka telah mengenal satu sama lain sejak kecil, dan rasa sayang itu begitu kuat. Namun, seiring berjalannya waktu, rasa sayang itu berkembang menjadi sesuatu yang lebih. Sayangnya, Adi tidak pernah melihatnya lebih dari sekadar sahabat. Dia sudah memiliki Maya, pacarnya yang cantik dan penuh perhatian. Dan Rania? Rania hanyalah seorang sahabat yang selalu ada di sisi Adi, yang tak pernah bisa lebih dari itu.

Rania menundukkan kepala dan meremas ponselnya yang tergeletak di atas meja. Ada pesan dari Adi yang baru saja masuk.

**”Rania, aku baru saja selesai meeting, tapi aku masih harus ke kantor sebentar. Setelah itu, kita makan malam yuk?”**

Rania menatap pesan itu, hatinya terasa seperti tertusuk. Seberapa sering pesan-pesan seperti ini datang? Seberapa sering mereka berbicara tanpa ada rasa yang lebih dari sekadar persahabatan? Makan malam bersama, tertawa bersama, namun selalu ada jarak yang tak bisa dijembatani oleh Rania.

Rania tidak bisa menjawab pesan itu dengan semangat seperti biasanya. Ada perasaan yang semakin mengganggu, perasaan yang membebani. Dia tidak bisa terus begini, terjebak dalam harapan yang tidak pernah bisa ia wujudkan. Ia tahu, seiring berjalannya waktu, perasaan ini hanya akan menyakitkan.

Namun, meskipun perasaan itu menyakitkan, Rania juga sadar bahwa ini adalah kenyataan yang harus ia terima. Perasaan cinta itu adalah sesuatu yang harus dipendam, sesuatu yang harus ia sembunyikan jauh di dalam hatinya. Mencintai Adi, sahabatnya, adalah pilihan yang harus ia jalani dengan lapang dada. Ini adalah pengorbanan yang harus ia lakukan demi kebahagiaan orang lain. Cinta itu tidak selalu berakhir indah, dan kadang, kita harus belajar untuk melepaskan.

Rania duduk di sofa dan menatap langit-langit apartemennya, mencoba menenangkan pikirannya. Di luar sana, Adi sedang menikmati kebahagiaan bersama Maya. Rania tahu, itu adalah kehidupan yang pantas untuk Adi—kehidupan penuh cinta dan kasih sayang, sesuatu yang tidak bisa ia beri. Dan meskipun hatinya terasa hancur setiap kali melihat mereka berdua bersama, ia tahu bahwa itu adalah kenyataan yang harus ia terima. Adi bahagia, dan Rania harus bisa menerima bahwa dia tidak akan pernah menjadi bagian dari kebahagiaan itu.

Malam itu, setelah beberapa jam berpikir dan merenung, Rania memutuskan untuk keluar rumah. Ia tahu, ia tidak bisa terus-menerus terjebak dalam pikirannya sendiri. Rania butuh udara segar, butuh untuk menyegarkan dirinya sejenak dari segala perasaan yang menyakitkan. Ia keluar dari apartemen dan berjalan kaki menuju taman kota yang tak jauh dari tempat tinggalnya.

Saat tiba di taman, Rania duduk di bangku panjang yang menghadap ke danau kecil. Udara malam yang sejuk menyentuh kulitnya, membuatnya sedikit merasa lebih tenang. Rania menatap air danau yang tenang, seolah mencerminkan pikirannya yang sedang gelisah. Kenyataan yang begitu menyakitkan harus diterima. Adi adalah bagian dari dunia yang berbeda, dan ia hanya berada di pinggiran dunia itu, terjebak dalam perasaan yang tidak bisa ia ungkapkan.

Beberapa saat kemudian, Rania mendapat telepon. Nama yang muncul di layar ponselnya membuat hatinya berdebar. Itu adalah Adi. Tanpa berpikir panjang, Rania segera mengangkatnya.

“Halo, Adi?” jawab Rania dengan suara yang sedikit terputus.

“Rania, kamu di mana? Aku baru selesai urusan di kantor. Kalau kamu masih di taman, aku ingin datang ke sana. Mau ngobrol sebentar,” suara Adi terdengar begitu hangat dan lembut, seperti biasa.

Rania menghela napas pelan. “Aku di taman. Tapi, aku rasa aku tidak bisa lama-lama. Aku sedang berpikir.”

“Pikirkan apa?” tanya Adi, terdengar cemas.

Rania terdiam sejenak. Ada begitu banyak hal yang ingin ia katakan, namun ia tidak bisa mengungkapkan semuanya. Ia tidak bisa membuat Adi tahu tentang perasaan yang selama ini ia pendam. Dia tidak ingin merusak persahabatan mereka. Maka dari itu, ia memilih untuk berkata, “Aku hanya merasa sedikit lelah dengan segala hal, Adi. Kadang, hidup ini terasa begitu rumit.”

Adi terdiam sejenak, seolah mencoba memahami apa yang sebenarnya Rania rasakan. “Kamu tahu, Rania, aku selalu ada di sini untuk kamu. Kalau ada apa-apa, kamu bisa cerita, kan?”

Rania menundukkan kepala, hatinya terasa begitu berat. “Iya, aku tahu. Terima kasih, Adi,” jawabnya pelan.

Setelah beberapa detik hening, Adi berkata, “Aku akan datang, Rania. Kita bicara langsung saja. Jangan terlalu banyak berpikir sendirian.”

Rania merasa tersentuh dengan kata-kata Adi, namun di sisi lain, ia juga tahu bahwa perasaan itu hanya akan menambah beban dalam hatinya. Adi tidak akan pernah tahu apa yang sesungguhnya ia rasakan. Dan seiring berjalannya waktu, Rania harus menerima kenyataan bahwa tidak ada yang bisa mengubah perasaannya.

Tak lama kemudian, Adi tiba di taman. Mereka duduk di bangku yang sama, di bawah pohon yang besar, dengan danau di depan mereka. Adi tersenyum hangat, meskipun Rania bisa merasakan ada kegelisahan yang ada di dalam dirinya. Mereka berbicara seperti biasanya, tentang pekerjaan, tentang keluarga, tentang kehidupan sehari-hari. Namun, Rania merasakan ada sesuatu yang berbeda. Ada jarak yang semakin terasa antara mereka, meskipun mereka mencoba untuk berbicara dengan santai.

“Ada yang ingin kamu bicarakan lebih lanjut, Rania?” tanya Adi setelah beberapa saat.

Rania menatap wajah Adi, mencoba mencari kata-kata yang tepat. Namun, kata-kata itu terasa begitu sulit untuk keluar. “Tidak ada, Adi. Aku hanya ingin semuanya berjalan dengan baik,” jawabnya sambil memaksakan senyum. “Kita sudah cukup banyak melewati banyak hal bersama. Aku rasa kita baik-baik saja.”

Adi menatapnya lama, seolah mencoba membaca apa yang sebenarnya ada di balik kata-katanya. Namun, ia tidak memaksa. “Aku berharap begitu,” jawabnya pelan.

Kenyataan yang harus diterima semakin jelas di depan mata Rania. Tidak ada lagi ruang untuk berharap, tidak ada lagi tempat untuk mengungkapkan perasaan yang selama ini terpendam. Cinta itu adalah sebuah kenyataan yang tidak bisa ia ubah. Tidak ada cara untuk memaksa Adi mencintainya, tidak ada cara untuk mengubah pilihan Adi. Dia adalah seseorang yang sudah berada di dunia yang berbeda. Maya adalah pilihannya, dan Rania hanya bisa menjadi bagian dari dunia itu sebagai seorang sahabat.

Malam itu berakhir dengan langkah yang berat. Mereka berdua berjalan keluar dari taman bersama, tetapi Rania merasa seolah-olah berjalan sendirian. Di dalam hatinya, perasaan itu terus menggelora, namun Rania tahu, ia harus mengubur perasaan itu dalam-dalam. Inilah kenyataan yang harus diterima.

Rania tahu, dia harus belajar untuk melepaskan. Cinta itu bukan tentang memiliki, tetapi tentang memberikan yang terbaik untuk orang yang kita cintai, meskipun kita tidak bisa mendapatkan apa yang kita inginkan. Cinta dalam diam adalah pilihan yang harus ia jalani, meskipun itu menyakitkan. Karena kadang, kita harus menerima kenyataan bahwa kita tidak selalu mendapatkan apa yang kita inginkan.*

Bab 4: Mencari Cinta yang Baru

Setiap langkah terasa lebih ringan. Udara pagi yang segar dan matahari yang mulai terbit seolah menyambut Rania dengan kehangatan yang baru. Setiap pagi baru adalah kesempatan untuk memperbaiki diri, untuk memulai perjalanan yang lebih baik, dan untuk melupakan masa lalu yang selama ini membebani hati. Setelah bertahun-tahun mencintai dalam diam, akhirnya Rania memutuskan bahwa sudah saatnya bagi dirinya untuk mencari cinta yang baru, meskipun itu berarti melepaskan cinta yang selama ini ia sembunyikan.

Namun, apakah itu mudah? Tentu saja tidak. Cinta yang sudah terpendam begitu lama tidak akan menghilang dalam semalam. Perasaan itu, meskipun terasa menyakitkan, tetap menjadi bagian dari dirinya. Rania tahu bahwa ia perlu memberi waktu pada dirinya untuk benar-benar sembuh dan membuka hati kembali. Tetapi di sisi lain, ia juga merasa lelah terperangkap dalam perasaan yang tidak pernah bisa ia wujudkan.

Hari-hari berlalu, dan Rania mencoba untuk melanjutkan hidupnya dengan cara yang baru. Ia mulai fokus pada pekerjaannya yang semakin berkembang. Berbeda dengan sebelumnya, ketika hatinya selalu terbagi antara pekerjaan dan perasaan terhadap Adi, kini ia mulai menemukan kebahagiaan dalam setiap proyek yang ia kerjakan. Setiap pencapaian kecil memberikan rasa puas yang cukup untuk menggantikan kekosongan yang selama ini ia rasakan.

Namun, di balik itu semua, Rania tidak bisa menipu dirinya sendiri. Hatinya masih ada ruang kosong yang tidak bisa diisi dengan segala hal yang ia lakukan. Terkadang, ketika malam datang dan kesibukan hari mulai memudar, ia merasa kesepian. Rasa kesepian itu datang, tidak pernah terlambat, dan selalu mengingatkannya pada Adi. Pada cinta yang tidak terbalas.

Suatu sore, saat Rania pulang kerja, ia bertemu dengan seseorang yang tak pernah ia duga. Pria itu bernama Dimas, seorang teman lama yang kebetulan sedang mengunjungi perusahaan tempat Rania bekerja. Mereka sempat berbincang-bincang beberapa kali di acara perusahaan, namun tak ada ikatan lebih dari itu. Dimas terlihat berbeda kali ini. Ada sesuatu dalam tatapannya yang tidak bisa diabaikan, seperti ada sesuatu yang ia ingin katakan. Tetapi, entah mengapa, Rania merasa ada sesuatu yang menarik dalam diri pria ini, yang membuatnya ingin mengenalnya lebih jauh.

“Rania, apa kabar? Lama nggak ketemu!” sapa Dimas dengan senyum yang hangat.

Rania sedikit terkejut. Meskipun mereka pernah bertemu beberapa kali di acara perusahaan, ia tidak menyangka akan bertemu lagi di luar pekerjaan. “Oh, Dimas. Baik-baik saja, kok. Kamu sendiri?”

“Lancar, ya. Ngomong-ngomong, aku dengar kamu baru selesai proyek besar di perusahaan. Keren, ya,” ujar Dimas, lalu melanjutkan dengan nada lebih santai, “Gimana kalau kita ngopi bareng? Lama nggak ngobrol-ngobrol.”

Rania merasa terkejut, tetapi ada rasa nyaman yang tiba-tiba datang. Sebelumnya, ia tak pernah berpikir untuk membuka hati bagi orang lain, tetapi kini, entah mengapa, tawaran Dimas terasa begitu ringan. Ia belum pernah merasakan hal seperti ini sebelumnya. Ada sesuatu dalam diri Dimas yang membuatnya merasa aman.

“Aku sebenarnya baru pulang dari kerja, tapi nggak ada salahnya kalau ngopi dulu sebentar,” jawab Rania sambil tersenyum kecil.

Sejak saat itu, mereka mulai sering bertemu. Saling bertukar cerita tentang kehidupan masing-masing, berbicara tentang karier, mimpi-mimpi, dan segala hal yang mereka sukai. Dimas, yang ternyata lebih terbuka dan humoris dari yang Rania kira, membuat Rania merasa nyaman. Berbeda dengan Adi yang selalu menjadi pusat perhatian tanpa sadar, Dimas adalah pria yang lebih tenang dan penuh perhatian. Rania mulai merasakan kenyamanan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Mungkin inilah saatnya untuk melepaskan masa lalu dan mencoba memulai sesuatu yang baru.

Namun, meskipun begitu, Rania tidak bisa menipu dirinya sendiri. Perasaan itu—perasaan yang selama ini ia pendam untuk Adi—masih ada. Setiap kali ia tertawa bersama Dimas, setiap kali mereka mengobrol tentang topik-topik ringan, ada bagian dari dirinya yang bertanya-tanya, apakah ini benar-benar cinta, atau hanya cara ia mengalihkan perhatian dari perasaan yang lebih dalam dan lebih lama terhadap Adi. Bahkan, ketika Dimas meraih tangannya untuk menyentuh lembut, hati Rania sempat ragu. Cinta yang baru itu mungkin akan datang, tetapi perasaan terhadap Adi masih membayangi.

Suatu malam, Dimas mengajaknya untuk makan malam di sebuah restoran baru yang sedang hits di kota. Suasana restoran itu begitu romantis, dengan pencahayaan temaram dan musik lembut yang mengalun. Dimas memesan makanan mereka dan membawa anggur merah yang rasanya cukup enak. Selama makan malam, mereka banyak tertawa dan saling berbagi cerita. Namun, setelah beberapa saat, Rania merasa bahwa ada sesuatu yang ingin diungkapkan oleh Dimas.

“Rania,” kata Dimas tiba-tiba, setelah beberapa detik keheningan yang terasa cukup lama. “Aku nggak tahu bagaimana cara bilangnya, tapi aku merasa kita sudah cukup mengenal satu sama lain. Aku suka kamu, Rania. Aku merasa nyaman denganmu, dan aku ingin kita bisa lebih dekat lagi.”

Rania terdiam. Kata-kata itu datang begitu mendalam, seakan mencabik-cabik dinding pertahanannya yang selama ini begitu rapat. Bagaimana bisa? Bagaimana bisa seorang Dimas yang baru beberapa bulan ini ia kenal, membuat perasaan yang sudah begitu lama terpendam bergejolak begitu kuat? Dia merasa seperti terombang-ambing antara rasa takut untuk membuka hati dan keinginan untuk menerima cinta baru ini.

“Aku… aku nggak tahu harus bilang apa,” kata Rania, menghindari tatapan Dimas. “Aku baru saja… baru saja melewati banyak hal. Dan aku tidak ingin terburu-buru.”

Dimas menatapnya dengan lembut, seakan memahami. “Aku tahu. Aku nggak ingin memaksakan apa-apa, Rania. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku ada di sini, dan jika suatu saat kamu siap untuk membuka hati, aku akan ada di sana untukmu.”

Kata-kata Dimas seperti angin sejuk yang menyentuh hati Rania. Ia tahu, Dimas bukanlah Adi, dan cinta yang baru ini mungkin membutuhkan waktu untuk tumbuh. Namun, jika ada satu hal yang bisa ia yakini, itu adalah kenyataan bahwa cinta tidak harus datang dalam bentuk yang sama. Mencintai dalam diam memang sulit, tetapi terkadang, untuk melangkah maju, kita harus memberi kesempatan untuk cinta baru datang dalam bentuk yang berbeda.

Rania menyadari bahwa mencari cinta yang baru bukanlah berarti melupakan cinta yang lama. Tetapi, itu adalah langkah untuk menerima kenyataan bahwa perasaan yang dulu terpendam tidak bisa lagi mengikatnya. Perasaan terhadap Adi adalah bagian dari masa lalu, dan meskipun itu akan selalu ada di hatinya, ia tidak bisa membiarkan cinta itu menghalangi kebahagiaannya. Mencari cinta yang baru adalah cara untuk menemukan kebahagiaan kembali, meskipun itu tidak mudah.

Selama beberapa bulan berikutnya, Rania semakin terbuka dengan Dimas. Mereka mulai menjalin hubungan yang lebih dekat, meskipun masih dalam tahap saling mengenal. Rania belajar untuk membuka hati lagi, meskipun itu tidak pernah mudah. Ia tahu bahwa meskipun perasaan terhadap Adi masih ada, hidup harus terus berjalan. Cinta tidak bisa dipaksakan, dan kadang, ketika kita berhenti berharap, cinta akan datang dengan cara yang tidak terduga.

Pada suatu sore, Rania dan Dimas berjalan berdua di taman yang sama tempat ia dulu sering datang untuk merenung. Angin sepoi-sepoi mengusap wajah mereka, dan senja mulai menyelimuti langit dengan warna oranye yang indah. Dimas menggenggam tangannya dengan lembut, dan Rania merasakannya untuk pertama kalinya tanpa rasa takut. Mungkin, inilah saatnya untuk membuka lembaran baru dalam hidupnya.

“Aku senang bisa bersama kamu, Rania,” kata Dimas, menatapnya dengan penuh harapan. “Aku tahu, kita masih dalam perjalanan panjang, tapi aku ingin selalu ada untukmu.”

Rania menatap Dimas, dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia merasa ada secercah cahaya di dalam hatinya. “Aku juga senang bisa mengenalmu, Dimas,” jawabnya dengan senyum yang tulus. “Mungkin ini adalah awal dari sesuatu yang baik.”

Di sana, di bawah langit yang mulai gelap, Rania tahu bahwa meskipun cinta Adi tidak bisa ia miliki, cinta yang baru akan datang dengan cara yang tak terduga. Cinta itu mungkin berbeda, tetapi itu adalah cinta yang layak untuk diperjuangkan.***

—————-THE END—————

 

Source: DELA SAYFA
Tags: #CintaTakTerbalas #PengorbananCinta #CintaDalamDiam #CintaYangTersembunyi #PersahabatanYangBerubah
Previous Post

JARAK YANG MEMBAWA RINDU

Next Post

MELANGKAH BERSAMA WALAU BERBEDA DUNIA

Related Posts

” RUANG RINDU DI ANTARA KITA “

” RUANG RINDU DI ANTARA KITA “

April 30, 2025
ANTARA KAMU, DIA DAN LUKA YANG TERTINGGI

ANTARA KAMU, DIA DAN LUKA YANG TERTINGGI

April 29, 2025
CINTA SEGITIGA

CINTA SEGITIGA

April 28, 2025
pilihan sulit

pilihan sulit

April 26, 2025
CINTA TERBELAH DUA

CINTA TERBELAH DUA

April 25, 2025
DILEMA CINTA SEGITIGA

DILEMA CINTA SEGITIGA

April 16, 2025
Next Post
RASA YANG TUMBUH PERLAHAN

MELANGKAH BERSAMA WALAU BERBEDA DUNIA

KASIH YANG TERKADANG

KASIH YANG TERKADANG

DENDAM TAK TERUCAP

DENDAM TAK TERUCAP

Top Stories

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

May 17, 2025
KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

May 16, 2025
KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

May 15, 2025

Tentang Kisah Cinta

Kami menyajikan kumpulan novel dan cerpen cinta yang menggambarkan berbagai sisi cinta, dari yang manis hingga yang pahit, dari yang bahagia hingga yang menyayat hati

Connect on Social

© 2024 Kisahcinta.id

No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta

© 2024 Kisahcinta.id