Daftar Isi
Bab 1: Perasaan yang Tersembunyi
Kehidupan saya berjalan dengan cukup biasa. Hari-hari saya diisi dengan rutinitas yang tidak terlalu membosankan, tetapi juga tidak terlalu menggairahkan. Saya tinggal di sebuah kota kecil, tempat di mana semuanya terasa lebih dekat, lebih akrab. Banyak yang mengatakan bahwa hidup di kota kecil itu nyaman—tidak terlalu cepat, tidak terlalu keras. Di sinilah saya bertemu dengannya.
Saya tidak tahu kapan tepatnya perasaan itu mulai tumbuh. Mungkin, pada suatu hari ketika kami bertemu secara kebetulan di perpustakaan, atau saat kami saling berbicara untuk pertama kalinya di luar kelas. Yang saya tahu, perasaan itu mulai datang begitu perlahan, dan sebelum saya sempat menyadarinya, ia sudah menguasai seluruh hati saya. Namun, seperti sebuah bisikan yang malu-malu, saya memilih untuk tidak mengakui perasaan itu. Saya memilih untuk diam.
Nama dia Arga. Seorang pria dengan kepribadian yang tenang, sedikit pemalu, tetapi sangat menyenangkan untuk diajak berbicara. Kami tidak dekat, sebenarnya. Kami hanya berteman biasa, dan kami sering berinteraksi dalam kelompok kecil atau saat acara kampus yang mengharuskan kami bertemu. Tapi entah mengapa, setiap kali saya melihatnya, hati saya berdebar-debar tanpa sebab yang jelas. Seperti ada magnet yang menarik saya ke arahnya, meskipun saya tahu, itu adalah perasaan yang salah.
Saya sadar betul bahwa kami berasal dari dua dunia yang berbeda. Arga adalah tipe orang yang populer di kalangan teman-temannya, sementara saya lebih suka menjadi pendengar yang baik daripada berbicara di depan banyak orang. Dia punya banyak teman dekat, sementara saya lebih suka sendirian. Namun, meski begitu, saya tidak bisa menepis perasaan aneh yang mulai tumbuh ini. Ada sesuatu tentang cara dia tersenyum, atau cara dia mendengarkan dengan penuh perhatian saat saya berbicara, yang membuat hati saya terasa hangat.
Hari-hari saya berlalu dengan penuh kebimbangan. Di satu sisi, saya tahu bahwa perasaan ini tidak seharusnya ada. Bagaimana mungkin seseorang seperti saya bisa mencintai Arga? Dia terlalu sempurna, terlalu jauh, dan terlalu baik untuk seseorang seperti saya. Di sisi lain, saya tidak bisa mengabaikan perasaan yang terus menggelora di dalam hati saya. Rasanya seperti sebuah rahasia yang saya simpan sendiri, perasaan yang saya coba tutupi dengan kebiasaan sehari-hari, namun semakin saya mencoba menutupinya, semakin kuat perasaan itu tumbuh.
Pernah suatu kali, saat kami sedang duduk bersama di sebuah kafe setelah acara kampus, saya mendapati diri saya hanya terdiam, memperhatikan Arga yang sedang asyik berbicara dengan teman-temannya. Dia tertawa, dan saya merasa seakan-akan dunia berhenti berputar. Rasanya seperti mimpi, namun saya tahu, ini adalah kenyataan yang harus saya hadapi. Saya merasa terasing, meskipun kami berada di ruangan yang sama. Semua orang terlihat sangat dekat dengannya, sementara saya hanya bisa menyaksikan dari jauh, tidak mampu mendekat lebih jauh.
Saya berusaha meyakinkan diri bahwa ini adalah perasaan biasa, hanya sekedar kekaguman. Tapi seiring berjalannya waktu, kekaguman itu berubah menjadi sesuatu yang lebih mendalam, dan saya mulai menyadari bahwa saya sudah jatuh cinta padanya. Namun, ada satu masalah besar—saya tidak bisa mengungkapkan perasaan itu. Saya takut, takut jika saya mengatakan sesuatu, itu akan merusak segalanya. Saya takut jika saya mengungkapkan perasaan ini, hubungan kami yang sudah ada sebagai teman akan berubah menjadi sesuatu yang canggung dan jauh. Saya tahu, cinta ini mungkin tidak akan terbalas, dan itu adalah kenyataan yang harus saya terima.
Seiring berjalannya waktu, saya mencoba untuk meredam perasaan itu. Setiap kali saya merasa perasaan saya semakin kuat, saya berusaha untuk menenangkan diri, berfokus pada hal-hal lain, seperti tugas kuliah atau kegiatan kampus yang memerlukan perhatian saya. Namun, meskipun saya mencoba untuk mengalihkan perhatian, Arga tetap ada di pikiranku, selalu mengisi ruang kosong di hati saya. Dia adalah sosok yang tidak bisa saya singkirkan begitu saja.
Kami terus berteman, seperti biasa. Terkadang kami berbicara tentang hal-hal sepele, seperti film atau buku yang baru kami baca, tetapi setiap kata yang keluar dari mulutnya terasa seperti lagu yang indah bagi saya. Saya mulai merasa nyaman di dekatnya, meskipun saya tahu bahwa perasaan saya hanya bisa disimpan dalam diam. Saya menjadi lebih sering melihatnya dari kejauhan, mengamati gerak-geriknya tanpa dia ketahui. Saya merasa seperti seorang pengamat yang terjebak dalam kisah yang tidak bisa saya sentuh.
Malam-malam saya diisi dengan perasaan rindu yang tidak bisa saya ungkapkan. Saya sering terjaga, memikirkan apakah Arga juga merasakan hal yang sama, ataukah saya hanya seorang teman biasa baginya. Kadang, saya berpikir, apakah mungkin jika saya mencoba mengungkapkan perasaan saya, dia akan merasa sama? Namun, rasa takut akan penolakan selalu menghantui saya, dan itu membuat saya memilih untuk tetap diam.
Perasaan saya semakin dalam, tetapi saya tetap berpegang pada satu keyakinan: kadang, mencintai dalam diam adalah cara terbaik untuk menjaga sesuatu tetap indah. Mungkin ini bukan cara yang paling mudah, dan ini pasti akan terasa sangat berat, tetapi saya percaya bahwa perasaan ini adalah bagian dari perjalanan saya—sebuah perjalanan yang hanya saya dan hati saya yang mengerti.
Saya menyadari, meskipun perasaan saya tak terungkapkan, cinta ini sudah cukup memberi warna dalam hidup saya. Saya tidak perlu memiliki semuanya untuk merasa bahagia. Terkadang, mencintai dalam diam adalah cara terbaik untuk menghargai seseorang—tanpa mengganggu kehidupannya, tanpa merusak hubungan yang ada, dan tanpa mengharapkan apa-apa. Saya hanya ingin menjadi seseorang yang selalu ada untuk Arga, meskipun itu hanya dalam diam.
Dan di sinilah saya, berdiri di depan perasaan saya sendiri, mencoba menerima bahwa cinta pertama tidak selalu harus diungkapkan, dan terkadang, cinta yang tersembunyi adalah bentuk cinta yang paling murni.
Bab 2: Pertemuan yang Tak Terduga
Hari itu dimulai seperti hari-hari biasa lainnya. Aku bangun dari tidur yang cukup larut, bergegas untuk mengikuti jadwal kuliah pagi, dan berusaha mengabaikan rasa kantuk yang menyerang. Hari itu, cuaca sedikit mendung, memberi nuansa yang agak suram pada pagi yang sebenarnya tidak terlalu istimewa. Namun, semuanya berubah ketika aku melangkah masuk ke perpustakaan kampus.
Aku selalu merasa nyaman berada di perpustakaan. Di sana, aku bisa menenangkan pikiran dan menyendiri, terisolasi dari keramaian yang ada di luar. Tak ada yang menarik perhatianku selain tumpukan buku yang menunggu untuk dibaca. Saat itu, aku datang untuk mencari bahan untuk tugas kuliah, meski sebenarnya hatiku sedang dipenuhi dengan kekhawatiran tentang presentasi yang harus aku lakukan minggu depan. Aku memilih tempat duduk di sudut dekat jendela, berharap bisa menyelesaikan tugas tanpa gangguan.
Tapi, seperti biasa, perasaan itu selalu datang tiba-tiba, tanpa peringatan. Aku mendengar suara langkah kaki mendekat, dan seketika itu juga mataku menangkap sosok yang aku kenal. Arga. Sosok yang selama ini menghiasi setiap hari-hariku tanpa aku sadar. Dia berdiri di depan rak buku, terlihat mencari sesuatu. Aku menyembunyikan wajahku di balik buku yang kubuka, berusaha menyembunyikan kegugupan yang tiba-tiba datang. Arga adalah teman sekelas, namun kami jarang berbicara. Bahkan, aku merasa lebih sering menghindarinya, meskipun aku tahu itu salah.
Saat itu, aku hanya bisa menatapnya dari jauh. Sebuah perasaan aneh muncul di dadaku, membuatku merasa terjaga dari kebingunganku sendiri. Tiba-tiba, dia menoleh dan mata kami bertemu. Detik itu juga, aku merasa dunia terhenti sejenak. Rasanya seperti sesuatu yang sangat sederhana, namun penuh dengan makna yang tidak bisa aku ungkapkan. Senyuman tipis terukir di wajahnya, seolah-olah dia juga mengenaliku lebih dari sekedar teman sekelas. Namun, aku tahu itu hanya anggapanku saja. Mungkin itu hanya senyuman biasa, senyuman ramah yang diberikan kepada orang yang tidak dikenalnya dengan dekat. Tetapi, untukku, itu lebih dari sekadar senyuman.
Arga melangkah mendekat. Aku merasa seolah-olah jantungku mulai berdebar lebih kencang, seolah-olah langkahnya terdengar lebih keras di telingaku daripada yang sebenarnya. “Hei, kamu juga cari buku?” tanyanya dengan nada santai, meski aku bisa melihat kilatan keingintahuan di matanya.
Aku mengangguk, berusaha tetap tenang meskipun hatiku berdegup sangat kencang. “Iya, cuma cari referensi buat tugas kuliah,” jawabku, berusaha menahan kegugupan yang jelas-jelas mulai terlihat. Aku bisa merasakan pandangannya masih tertuju padaku, tetapi aku mencoba fokus pada buku yang ada di depanku, meskipun sebenarnya aku tidak membaca apa-apa sama sekali.
Dia berdiri di sampingku, melihat ke arah rak buku yang ada di dekatku. “Aku juga lagi cari buku tentang sejarah seni,” katanya, dan kami berbicara sejenak tentang buku yang dia cari. Kami berbicara tentang tugas kuliah, hal yang terlihat sangat biasa, namun setiap kata yang keluar dari mulutnya terasa begitu berarti bagiku. Aku merasa seolah-olah kami terhubung, meskipun itu hanya perbincangan ringan. Suaranya yang lembut dan tenang membuatku merasa nyaman, meskipun aku tahu aku tidak bisa mengungkapkan perasaan yang tumbuh di dalam hatiku.
Namun, saat itu, sesuatu yang tak terduga terjadi. Tiba-tiba, Arga mengajakku untuk duduk bersama di meja yang lebih besar di dekat jendela. “Ayo duduk sini, aku juga butuh bantuan buat tugas ini. Mungkin kita bisa saling tukar pendapat,” katanya sambil tersenyum.
Aku terkejut. Mungkin aku terlalu sering membayangkan hal-hal yang lebih rumit, atau mungkin aku terlalu terbiasa menganggap dia sebagai seseorang yang jauh dan tak terjangkau. Tapi hari itu, dia mengajak aku untuk duduk bersamanya, berbicara, dan bahkan berbagi pendapat tentang tugas yang sedang kami kerjakan.
Aku mengangguk, sedikit canggung, namun sangat senang. Kami duduk bersama, membuka buku dan laptop, dan mulai berbicara tentang materi kuliah yang kami kerjakan. Meskipun banyak hal yang membuatku merasa kikuk, entah kenapa saat itu aku merasa lebih nyaman daripada sebelumnya. Senyumannya yang ramah dan sikapnya yang tidak terburu-buru membuatku merasa diterima, seolah-olah dia benar-benar ingin berbicara denganku, bukan hanya sekedar teman sekelas.
Selama beberapa jam berikutnya, kami berbicara banyak hal. Tentu saja, sebagian besar percakapan kami berfokus pada tugas kuliah, tetapi ada banyak momen kecil di luar itu—momen di mana kami berbagi cerita tentang hidup kami, hal-hal kecil yang ternyata membuat kami semakin mengenal satu sama lain. Aku merasa semakin terikat dengan dia, meskipun aku tahu, perasaan itu seharusnya tidak berkembang lebih jauh.
Saat kami berpisah, aku merasa sedikit canggung, seolah-olah ada hal yang belum selesai. Namun, senyuman Arga saat mengucapkan selamat tinggal terasa hangat dan membuat hati ini sedikit lega. “Sampai nanti, ya. Terima kasih sudah membantu,” katanya dengan tulus.
Aku hanya bisa mengangguk, masih terhanyut dalam percakapan tadi. Ketika dia pergi, aku duduk sebentar, membiarkan pikiranku melayang. Apa yang baru saja terjadi? Kami baru saja berbicara selama berjam-jam, tetapi itu terasa seperti momen yang sudah lama dinanti. Perasaan itu semakin sulit untuk aku pendam. Arga bukan hanya teman biasa. Ia telah menjadi seseorang yang sangat berarti bagiku, meskipun aku masih terlalu takut untuk mengakui perasaanku yang sesungguhnya.
Hari itu, aku kembali ke kamar dengan hati yang penuh dengan pertanyaan. Apa yang sebenarnya aku rasakan? Apakah mungkin ini adalah perasaan yang lebih dari sekedar teman? Namun, satu hal yang pasti, hari itu adalah awal dari sesuatu yang tak terduga, sesuatu yang tidak bisa aku kontrol, namun tetap membuatku merasa hidup dan penuh harapan.
Bab 3: Cinta yang Tumbuh dalam Diam
Seiring berjalannya waktu, aku mulai merasa bahwa perasaan yang tumbuh dalam hatiku tidak lagi bisa disebut sekadar rasa suka. Arga bukan hanya teman yang aku kenal di kampus. Dia lebih dari itu. Setiap kali aku melihatnya, hatiku berdebar lebih cepat, dan aku mulai merasakan betapa kuatnya perasaan itu. Namun, aku tetap memilih untuk diam, untuk tidak mengungkapkan apapun. Aku takut jika aku mengatakannya, semuanya akan berubah. Takut jika perasaan ini justru akan merusak hubungan yang kami miliki, meskipun hubungan itu hanya sekadar persahabatan yang masih rapuh.
Hari-hari kami di kampus berjalan dengan normal. Kami saling menyapa ketika bertemu di koridor, berbicara beberapa kalimat tentang tugas kuliah atau kegiatan kampus, namun semuanya tetap terjaga dalam batas-batas yang aman. Namun, di dalam hatiku, perasaan itu semakin dalam. Setiap senyuman Arga, setiap kata yang keluar dari mulutnya, terasa seperti hadiah yang sangat berharga. Aku mulai terobsesi dengan setiap gerak-geriknya, walaupun aku tahu bahwa itu salah. Aku tidak boleh terlalu mengharapkannya. Dia tidak tahu apa-apa tentang perasaanku, dan aku berusaha meyakinkan diriku bahwa sebaiknya aku tetap menjaga jarak, tidak mengungkapkan apapun.
Kami terus menjalani rutinitas yang hampir sama. Namun, ada satu momen yang terasa berbeda. Suatu malam, saat aku sedang duduk di kafe kampus, Arga datang menghampiriku. Kami biasanya hanya bertegur sapa atau berbicara tentang hal-hal ringan, tapi kali ini berbeda. Dia duduk di meja yang sama, dan kami mulai berbicara lebih banyak, lebih dalam. Tanpa sadar, perasaan itu semakin kuat. Aku merasa seperti ada sesuatu yang lebih di antara kami, meskipun aku tidak bisa benar-benar mengungkapkannya.
“Kenapa kamu selalu terlihat serius saat belajar? Padahal, seharusnya kamu bisa lebih santai,” kata Arga dengan senyum kecil di wajahnya, membuatku sedikit terkejut. “Kadang, kamu terlihat terlalu fokus, sampai-sampai aku merasa kamu tidak ingin diganggu.”
Aku terkekeh, berusaha terlihat santai meskipun dalam hatiku, aku merasa gugup. “Mungkin aku terlalu terobsesi dengan tugas. Aku selalu ingin memberikan yang terbaik.”
Arga tersenyum lagi, dan aku bisa merasakan ketulusan di balik senyumannya. “Aku paham. Tapi jangan lupa untuk menikmati waktu juga. Jangan hanya fokus pada hal-hal yang harus selesai,” katanya, memberi nasihat yang terasa sederhana namun mendalam.
Aku hanya mengangguk, merasa terharu. Rasanya seperti setiap perkataan Arga masuk ke dalam hatiku, menyentuh bagian-bagian yang selama ini aku sembunyikan. Aku merasa ada koneksi yang lebih dalam antara kami, meskipun aku tahu itu mungkin hanya aku yang merasakannya. Di dalam hatiku, aku mulai berharap, walaupun aku tahu itu tidak mungkin, bahwa Arga juga merasakan hal yang sama.
Setelah pertemuan itu, aku merasa semakin terjebak dalam perasaanku sendiri. Setiap kali aku melihat Arga, hatiku berdebar lebih kencang. Senyumnya, tawanya, bahkan cara dia berbicara, semuanya terasa begitu berharga. Namun, aku tetap memilih untuk diam. Aku berusaha meyakinkan diriku bahwa mungkin perasaan ini hanya sementara, bahwa suatu saat perasaan itu akan memudar. Tapi semakin aku mencoba menepisnya, semakin kuat perasaan itu tumbuh.
Aku menyadari, bahwa mencintai dalam diam bukanlah hal yang mudah. Setiap kali kami berbicara, aku merasa bahagia, tetapi juga merasa cemas. Apakah aku bisa terus seperti ini? Apakah aku bisa menahan perasaan ini tanpa mengungkapkannya? Aku tahu, jika aku mengungkapkan apa yang aku rasakan, itu bisa merusak segalanya. Tapi aku juga tidak tahu berapa lama aku bisa bertahan dalam diam.
Suatu hari, saat kami sedang duduk bersama di taman kampus, aku melihat Arga melirikku dengan tatapan yang berbeda. Aku merasa ada sesuatu yang tidak biasa, sesuatu yang mungkin hanya aku yang bisa merasakannya. Namun, aku berusaha tetap tenang, berusaha mengendalikan perasaanku. Dia mulai bercerita tentang kehidupannya, tentang hal-hal yang dia sukai, dan aku mendengarkan dengan penuh perhatian. Setiap kata yang dia ucapkan terasa begitu penting bagiku, meskipun aku tahu itu adalah obrolan biasa.
“Kadang aku merasa seperti ada banyak hal yang belum aku capai,” kata Arga, sedikit melamun. “Tapi aku juga sadar, bahwa hidup itu bukan hanya tentang mengejar tujuan. Terkadang, kita hanya perlu menikmati perjalanan.”
Aku menatapnya, mencoba menangkap makna dari kata-katanya. Arga selalu terlihat tenang, selalu punya pandangan hidup yang bijaksana, dan aku merasa terinspirasi oleh cara dia berpikir. Namun, di dalam hatiku, aku tahu bahwa aku menyimpan perasaan yang jauh lebih besar. Perasaan yang semakin sulit untuk aku pendam, yang semakin sulit untuk aku sembunyikan.
Pada malam hari, ketika aku berada di kamar, aku duduk di depan jendela, menatap bintang-bintang yang ada di langit. Perasaan itu kembali datang. Cinta yang tumbuh dalam diam ini mulai membuatku merasa tertekan. Aku merasa seperti ada sesuatu yang harus aku ungkapkan, tetapi aku takut jika aku melakukannya, semuanya akan hancur. Aku tidak ingin merusak hubungan kami yang sudah cukup baik, meskipun hanya sebatas persahabatan.
Aku teringat akan kata-kata Arga, bahwa kadang kita harus menikmati perjalanan hidup, bukan hanya fokus pada tujuan. Mungkin itu yang harus aku lakukan. Mungkin aku hanya perlu menikmati setiap momen bersama Arga, meskipun itu hanya dalam diam. Mungkin aku harus belajar menerima kenyataan bahwa cinta pertama tidak selalu harus terungkap, dan kadang, mencintai dalam diam adalah cara terbaik untuk menghargai seseorang.
Namun, satu hal yang pasti, perasaan ini tidak akan pernah pudar. Aku tahu bahwa meskipun aku memilih untuk tetap diam, cinta ini akan selalu ada, tumbuh dalam setiap detik yang aku jalani bersamanya, meskipun aku tidak pernah mengungkapkannya. Cinta ini adalah bagian dari perjalanan hidupku, sebuah perjalanan yang hanya aku yang mengerti.
Bab 4: Menyembunyikan Perasaan
Semakin lama, semakin sulit untuk menyembunyikan perasaan ini. Mencintai Arga dalam diam terasa seperti menjalani kehidupan ganda—di satu sisi, aku berusaha menjadi teman yang biasa, tetapi di sisi lain, hatiku terus berdebar setiap kali dia berada di dekatku. Rasanya seperti ada sesuatu yang berat yang mengganjal di dada, namun aku tidak bisa mengungkapkannya. Setiap kali kami berbicara, aku berusaha menyembunyikan perasaan itu, berusaha tetap terlihat biasa, tetapi semakin aku berusaha menutupinya, semakin terasa perasaan itu tumbuh lebih besar.
Aku selalu menganggap diriku cukup pandai menyembunyikan perasaan. Di luar, aku terlihat seperti teman yang baik, yang tidak lebih dari itu. Namun, di dalam hatiku, ada hal yang terus-menerus menggerogoti. Setiap detik aku bertemu Arga, aku merasa seperti ada angin yang berbisik tentang perasaan yang tak terucapkan. Senyuman, kata-kata lembut, atau bahkan tatapan singkat yang kami saling tukar—semuanya terasa lebih dari sekadar interaksi biasa. Namun, aku memilih untuk tidak mengungkapkannya, memilih untuk tetap diam dan menjaga jarak, meskipun itu semakin membuatku merasa terperangkap.
Pernah, suatu hari, kami bertemu di ruang kuliah yang agak sepi setelah kelas selesai. Aku sedang merapikan buku-buku di meja, ketika Arga menghampiriku dengan senyuman yang hangat. “Kamu sudah selesai tugas yang kemarin?” tanyanya dengan nada yang penuh perhatian. Aku merasa seperti dunia hanya ada kami berdua pada saat itu. Senyumannya yang tulus membuat hatiku berdegup kencang. Aku berusaha mengatur napasku, mencoba agar tidak terlihat gugup.
“Iya, aku sudah selesai, tinggal revisi sedikit. Kamu?” jawabku sambil tersenyum, walau dalam hati aku merasa seperti ada yang tidak beres. Ada perasaan yang ingin aku ungkapkan, tetapi aku tahu, tak seharusnya. Aku hanya bisa berusaha menekan segala yang ada dalam hatiku.
Kami berbicara sedikit lebih lama tentang tugas kuliah, tapi aku bisa merasakan sesuatu yang tidak biasa di udara. Arga lebih terbuka hari itu. Ada sesuatu dalam cara dia berbicara yang membuatku merasa dia ingin lebih dekat denganku, namun aku tahu itu hanyalah perasaan subjektifku. Aku takut jika aku menganggapnya terlalu serius, perasaan itu bisa merusak semua yang kami miliki.
Setiap kali aku melihat Arga, aku merasa ada getaran yang aneh di dalam diriku. Namun, aku tidak bisa membiarkan perasaan itu menguasai. Aku berusaha tetap menjaga sikap, tetap menjadi teman yang baik, yang tidak pernah menunjukkan bahwa di dalam hatiku ada sesuatu yang lebih dari sekadar persahabatan. Aku takut, jika aku terlalu jujur dengan perasaanku, semua ini akan berakhir buruk.
Suatu sore, saat aku berjalan keluar dari kelas, aku melihat Arga sedang berdiri di dekat pintu, berbicara dengan teman-temannya. Aku mempercepat langkah, berusaha untuk tidak terlihat gelisah. Namun, tiba-tiba dia melihatku dan tersenyum. “Eh, kamu mau kemana?” tanyanya, suaranya penuh keingintahuan. Aku berhenti sejenak, merasa terjebak oleh tatapan mata yang hangat itu. Jantungku berdebar lebih cepat, dan aku mencoba menenangkan diri.
“Aku mau pulang, ada tugas yang harus diselesaikan,” jawabku singkat, mencoba menghindar. Namun, Arga memanggilku lagi. “Eh, tunggu dulu, aku bisa antarkan kamu kalau mau,” katanya dengan senyum yang manis. Aku terkejut dengan tawarannya, tetapi juga merasa senang. Ada perasaan yang tidak bisa dijelaskan setiap kali dia berbicara denganku, namun aku memilih untuk mengabaikannya. Aku tahu kalau aku menerima tawarannya, aku akan semakin dekat dengan perasaan itu, dan aku belum siap untuk itu.
“Tidak usah, aku bisa pulang sendiri. Terima kasih ya,” jawabku sambil tersenyum, meskipun hatiku terasa berat. Arga menatapku sebentar, lalu mengangguk. “Baiklah, hati-hati di jalan,” katanya, sebelum melangkah pergi. Aku menghela napas panjang. Kenapa semuanya terasa begitu rumit? Kenapa aku merasa harus menyembunyikan perasaan yang semakin besar ini? Rasanya aku sudah tidak tahan lagi.
Malam itu, aku duduk di kamarku, memikirkan percakapan yang baru saja terjadi. Kenapa aku merasa begitu cemas? Kenapa perasaan itu selalu muncul setiap kali Arga berada di dekatku? Aku merasa seperti sebuah kebohongan besar, hidup dengan perasaan yang tidak bisa aku ungkapkan. Aku takut jika aku mengatakannya, Arga akan menjauh. Aku takut jika perasaanku mengganggu hubunganku dengannya.
Aku mulai menyadari bahwa menyembunyikan perasaan ini tidaklah mudah. Aku terus bertanya-tanya dalam hati, apakah perasaanku ini benar-benar hanya aku yang merasakannya, atau apakah Arga juga merasakan hal yang sama? Tapi aku takut untuk menanyakan hal itu. Takut jika aku mendapatkan jawaban yang tidak aku harapkan. Takut jika perasaan ini hanya akan menjadi beban bagi kami berdua.
Setiap kali kami bertemu, aku merasa seperti ada sebuah dunia yang hanya kami berdua yang mengerti. Arga selalu tersenyum padaku, memperlakukanku dengan baik, dan aku merasa seperti dia mengerti lebih dari yang terlihat. Namun, di balik itu, aku tahu aku harus menjaga jarak. Aku harus tetap menjadi teman yang baik, yang tidak pernah menunjukkan perasaan yang lebih dari itu.
Aku tahu, menyembunyikan perasaan ini tidak akan mudah. Tetapi, aku merasa inilah pilihan terbaik. Terkadang, cinta harus disimpan dalam hati, tidak untuk diumbar atau diperlihatkan. Mungkin ini adalah cara terbaik untuk mencintainya, meskipun aku tidak bisa mengungkapkannya. Aku hanya bisa berharap, suatu hari nanti, perasaan ini akan menemukan jalan untuk keluar dengan cara yang tepat, tanpa merusak apa yang sudah ada antara kami.
Namun, sampai saat itu tiba, aku akan terus menyembunyikan perasaanku. Aku akan terus hidup dengan perasaan ini, berusaha menjadi teman yang baik, walaupun hatiku terus terjerat dalam rasa yang tak terungkapkan. Cinta ini akan tetap tumbuh, meski dalam diam, meski aku harus menahannya dengan segenap hati.
Bab 5: Penerimaan Cinta Pertama
Waktu berlalu, dan perasaan itu tidak juga mereda. Cinta pertama, meskipun aku berusaha untuk menutupinya, tetap ada di sana, seperti bayangan yang tak pernah bisa aku singkirkan. Semakin lama, aku menyadari satu hal penting: mencintai dalam diam bukanlah pilihan yang bisa terus aku jalani. Ada saatnya perasaan itu harus diterima, meskipun itu berarti aku harus melepaskan harapan bahwa Arga akan merasakan hal yang sama. Penerimaan, meskipun pahit, adalah langkah yang harus aku ambil untuk melangkah maju.
Hari itu, seperti hari-hari lainnya, aku bertemu dengan Arga di kampus. Kami berbicara seperti biasa, tanpa ada yang spesial, namun entah mengapa, ada rasa berbeda yang mengalir di antara kami. Mungkin ini adalah titik balikku, saat aku merasa perasaan ini harus aku hadapi dengan cara yang lebih realistis. Aku mulai bertanya pada diriku sendiri, apakah aku bisa terus hidup dalam bayang-bayang cinta yang tak terungkapkan ini?
Ketika aku pulang malam itu, pikiran itu terus mengganggu. Aku duduk di depan meja belajarku, menatap bayangan diriku di kaca. Mengapa aku tidak bisa melupakan perasaan ini? Mengapa hati ini begitu keras kepala, tak mau melepaskan apa yang sudah lama terpendam? Aku tahu jawabannya, tapi aku enggan untuk menghadapinya. Mencintai Arga tidak akan pernah mudah, apalagi jika aku hanya berperan sebagai seorang teman yang setia, tanpa pernah berharap lebih.
Hari-hari berikutnya, aku mulai mencoba untuk menerima kenyataan. Aku tahu bahwa perasaan ini mungkin takkan pernah terbalas, dan itu adalah bagian dari kenyataan yang harus aku terima. Tidak semua cinta berakhir dengan bahagia. Tidak semua perasaan yang tumbuh di dalam hati dapat menjadi kenyataan. Arga adalah seseorang yang baik, yang selalu memperlakukanku dengan penuh perhatian, namun aku tahu bahwa dia tidak melihatku lebih dari sekadar teman.
Aku merasa lebih tenang dengan keputusan itu. Setiap kali aku berbicara dengannya, ada sedikit rasa sakit yang menggores hatiku, tapi juga ada kelegaan. Aku mulai sadar bahwa tidak perlu terus-menerus menahan perasaan ini. Mencintainya tanpa mengungkapkan cinta itu sudah cukup membuatku merasa dekat dengan dia. Aku belajar bahwa terkadang, cinta yang tak terbalas bisa menjadi hal yang indah, asalkan kita bisa menerima kenyataan bahwa perasaan itu tidak harus selalu terbalas.
Suatu sore, ketika kami sedang duduk bersama di taman kampus setelah kuliah, Arga bertanya sesuatu yang membuatku terkejut. “Kamu kelihatan beda akhir-akhir ini,” katanya, sambil memandangku dengan tatapan penuh perhatian. “Ada yang salah?”
Aku menatapnya sejenak, mencoba menyembunyikan segala perasaan yang bergejolak di dalam hati. Aku tidak ingin Arga tahu bahwa aku sedang berjuang untuk melepaskan perasaan ini. Aku hanya tersenyum, meskipun senyumku terasa dipaksakan. “Tidak ada, aku hanya sedikit capek dengan tugas kuliah,” jawabku sambil mengalihkan pandangan. Aku merasa sangat tidak nyaman dengan perasaan yang mulai aku pendam.
Namun, Arga tidak berhenti di situ. “Jika kamu butuh waktu atau tempat untuk bercerita, aku selalu ada kok,” katanya dengan lembut. Mendengar kata-katanya itu, hatiku seakan terhentak. Aku tahu dia bermaksud baik, tapi kata-katanya justru membuat perasaan ini semakin sulit untuk aku sembunyikan.
Aku hanya mengangguk, mencoba menjaga jarak, meskipun hatiku berontak. “Terima kasih, Arga. Aku tahu kamu teman yang baik,” jawabku dengan suara yang bergetar, berusaha tidak membiarkan perasaan itu terlihat.
Malam itu, aku merenung lama di kamarku. Mengapa aku harus begitu keras kepala untuk menyembunyikan perasaan ini? Kenapa aku merasa harus terus mencintainya dalam diam, meskipun aku tahu bahwa itu takkan pernah bisa menjadi kenyataan? Aku mulai merenung tentang apa arti cinta pertama bagiku. Cinta pertama bukanlah tentang memiliki, melainkan tentang pengalaman yang mengajarkan kita banyak hal. Cinta pertama mengajarkan kita tentang kerentanan, tentang bagaimana kita bisa begitu terbuka, meskipun itu menyakitkan. Mencintai dalam diam mengajarkan kita untuk menghargai kehadiran seseorang tanpa harus mengharapkan balasan. Itu adalah pelajaran besar yang harus aku terima.
Aku mulai memahami bahwa meskipun perasaan ini tidak akan pernah terbalas seperti yang aku harapkan, itu tidak mengurangi nilainya. Cinta pertama adalah bagian dari perjalanan hidupku, yang akan membentuk siapa aku nantinya. Tidak ada yang sia-sia dalam mencintai, meskipun itu dalam diam. Perasaan ini tetap berharga. Aku merasa bangga bisa mencintai seseorang dengan tulus, meskipun tak pernah mendapatkan apa yang aku inginkan.
Hari-hari berlalu dengan lebih tenang setelah aku menerima kenyataan itu. Setiap kali aku bertemu Arga, aku tidak lagi merasa cemas atau terluka. Perasaan itu masih ada, tetapi aku tidak lagi terikat oleh harapan. Aku belajar untuk menikmati momen-momen kecil yang kami bagikan, tanpa merasa harus mengubah apa pun. Aku belajar bahwa cinta pertama bukanlah tentang memiliki, melainkan tentang menghargai setiap detik yang kita miliki bersama orang yang kita cintai, meskipun itu hanya dalam bentuk persahabatan.
Suatu hari, ketika aku sedang duduk di perpustakaan, Arga datang dan duduk di sebelahku. Kami berbicara seperti biasa, dan aku merasa lebih nyaman daripada sebelumnya. Tiba-tiba, Arga menatapku dengan serius, dan aku merasakan ada sesuatu yang berbeda. “Aku ingin kamu tahu, bahwa kamu adalah teman yang sangat berharga bagi aku,” katanya, suaranya penuh kehangatan. “Terima kasih sudah selalu ada.”
Aku terdiam sejenak, mencoba menahan air mata yang hampir keluar. Kata-katanya itu seperti sebuah penutup untuk perjalanan perasaan yang panjang. Aku tahu, meskipun perasaan ini tak pernah terbalas, aku tetap merasa bersyukur pernah mencintainya, bahkan jika itu hanya dalam diam. Aku mengangguk, mencoba tersenyum. “Aku juga merasa sama, Arga. Terima kasih sudah menjadi teman yang baik.”
Hari itu, aku merasa sebuah kedamaian dalam hatiku. Penerimaan datang bukan karena aku menyerah, tetapi karena aku belajar untuk melihat cinta dari sudut pandang yang berbeda. Aku mencintai dalam diam, dan itu cukup untuk membuatku merasa lengkap. Cinta pertama, meskipun tak terbalas, tetap akan selalu menjadi bagian penting dari kisah hidupku.
Bab 6: Melangkah ke Depan
Setelah sekian lama berjuang dengan perasaan yang tak terungkapkan, aku mulai merasakan sebuah kedamaian yang datang secara perlahan. Setiap langkah yang kuambil semakin terasa ringan, dan hatiku yang sebelumnya dipenuhi dengan kegelisahan kini mulai merasakan ketenangan yang lama aku cari. Menerima bahwa cinta pertama tidak selalu berakhir dengan bahagia, dan bahwa aku harus melepaskannya, memberi ruang bagi aku untuk melangkah ke depan.
Malam itu, aku duduk di balkon kamar sambil memandangi langit yang gelap, dihiasi oleh bintang-bintang yang berkilauan. Udara malam yang sejuk menyentuh wajahku, membawa ketenangan yang aku butuhkan. Sudah lama sekali aku tidak merasa tenang seperti ini. Selama ini, aku terjebak dalam bayang-bayang perasaan yang tidak terbalas, tetapi sekarang, untuk pertama kalinya, aku merasa siap untuk melangkah maju.
Mungkin saat-saat seperti ini memang diperlukan untuk belajar bagaimana melepaskan. Tidak ada yang bisa aku lakukan untuk mengubah kenyataan bahwa Arga dan aku hanya akan menjadi teman. Namun, aku merasa bersyukur karena aku bisa mencintainya dengan tulus, meskipun dalam diam. Cinta pertama adalah pengalaman berharga yang mengajarkan aku banyak hal—tentang kesabaran, tentang ketulusan, dan tentang menerima kenyataan meskipun itu menyakitkan.
Seiring berjalannya waktu, aku mulai lebih sering fokus pada diri sendiri. Aku menyadari bahwa hidup tidak hanya tentang mencintai orang lain, tetapi juga tentang mencintai diri sendiri. Aku mulai mengejar impian-impian yang selama ini terabaikan, menjalani kegiatan yang aku nikmati, dan lebih banyak berinteraksi dengan teman-teman yang selalu mendukungku. Aku menemukan kembali gairah hidup yang dulu sempat hilang karena aku terlalu terfokus pada perasaan yang tak terbalas. Ternyata, hidup memiliki banyak keindahan yang bisa aku nikmati, bahkan tanpa cinta yang aku harapkan.
Hari-hari yang berlalu memberi aku waktu untuk tumbuh dan belajar. Setiap kali aku bertemu Arga, kami tetap bisa bercanda, berbicara, dan tertawa bersama. Tidak ada lagi rasa canggung yang dulu selalu mengganggu. Kami hanya menjadi dua teman yang saling memahami, tanpa ada beban di hati. Aku merasa bangga bisa melewati semua perasaan itu dengan cara yang sehat, tanpa merusak hubungan yang kami miliki. Kami tidak harus menjadi lebih dari teman untuk merasa bahagia, dan itu adalah pelajaran besar yang aku terima.
Di tengah perjalanan hidupku, ada suatu pertemuan yang tak terduga. Suatu sore, aku bertemu dengan seseorang yang membuatku melihat dunia dari sudut pandang yang berbeda. Namanya Dimas, seorang teman lama yang baru saja kembali ke kota setelah menyelesaikan studi di luar negeri. Kami bertemu di sebuah acara reuni kecil yang diadakan oleh teman-teman lama. Saat aku melihat Dimas, sesuatu yang berbeda terasa di dalam diriku. Aku tidak tahu mengapa, tetapi ada perasaan yang hangat setiap kali aku berbicara dengannya. Dia tidak membuatku merasa cemas seperti yang dulu aku rasakan dengan Arga. Sebaliknya, aku merasa nyaman dan rileks.
Dimas adalah tipe orang yang mudah bergaul, selalu membawa energi positif ke dalam setiap percakapan. Ketika kami berbicara, aku merasa seperti sudah lama mengenalnya. Dia penuh perhatian, tetapi tidak mengintimidasi. Kami mengobrol panjang lebar, membahas berbagai hal, mulai dari kehidupan kuliah hingga rencana-rencana masa depan. Tak terasa, waktu berlalu begitu cepat.
Sebelum acara selesai, Dimas memberiku nomor teleponnya dan mengajak untuk bertemu lagi. “Kapan-kapan, kita ngobrol-ngobrol lagi. Aku senang bisa bertemu denganmu,” katanya dengan senyum yang tulus. Aku tersenyum dan menerima ajakannya. Tidak ada rasa terburu-buru atau ketegangan yang biasanya muncul saat bertemu dengan seseorang yang baru. Aku merasa ini adalah langkah kecil yang tepat untuk melangkah maju.
Beberapa minggu setelah itu, kami mulai lebih sering berkomunikasi. Dimas tidak pernah memaksaku untuk terbuka atau menceritakan semua perasaan yang ada di dalam diriku. Dia cukup sabar dan memahami. Kami berbicara tentang banyak hal, tentang hidup, tentang impian, dan tentang segala hal yang membuat kami tertarik satu sama lain. Tanpa kusadari, perasaan itu mulai tumbuh, meskipun aku belum sepenuhnya yakin apakah ini yang aku cari. Namun, satu hal yang pasti, aku merasa lebih hidup dan lebih bahagia daripada sebelumnya.
Aku tidak bisa menyangkal bahwa aku mulai tertarik padanya. Dimas membuatku merasa dihargai dan dicintai tanpa harus mengungkapkan kata-kata yang indah. Kami menghabiskan waktu bersama, menonton film, makan malam di tempat yang sederhana, dan berbicara tentang masa depan. Setiap detik yang kami habiskan bersama semakin membuatku merasa lebih dekat padanya, dan aku tahu, ini adalah sesuatu yang berbeda. Aku merasa lebih siap untuk membuka hatiku lagi, meskipun itu bukan hal yang mudah.
Namun, aku juga menyadari satu hal penting—perasaan terhadap Dimas bukanlah pengganti dari perasaan yang pernah aku rasakan pada Arga. Cinta pertama tetaplah menjadi bagian dari perjalanan hidupku, dan aku tidak akan pernah bisa melupakan pengalaman itu. Tetapi, aku juga tahu bahwa hidup harus terus berjalan. Cinta pertama mungkin hanya datang sekali, tetapi kesempatan untuk merasakan cinta yang lebih matang dan lebih dalam datang lebih banyak dalam hidup kita. Aku tidak bisa terus terjebak pada masa lalu. Aku harus memberi kesempatan pada diriku sendiri untuk merasakan cinta yang baru, yang mungkin akan mengajarkan aku lebih banyak tentang hidup dan kebahagiaan.
Suatu malam, setelah kami menghabiskan waktu bersama, aku duduk dengan Dimas di sebuah kafe yang tenang. Kami berbicara tentang banyak hal, dan saat itu aku merasa nyaman. Tanpa banyak rencana atau harapan, aku mulai merasa ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar persahabatan. Dimas tidak terburu-buru, dan aku merasa tidak ada yang perlu aku khawatirkan. Kami berbicara tentang perasaan kami dengan cara yang santai, tanpa ada tekanan.
“Mungkin kita memang belum tahu ke mana arah hubungan ini, tapi aku senang bisa mengenalmu lebih dekat,” kata Dimas, sambil memandangku dengan serius. Aku tersenyum, merasakan kedamaian dalam hatiku. “Aku juga merasa sama, Dimas. Terima kasih sudah datang pada waktunya,” jawabku, merasa sebuah beban besar terlepas dari pundakku.
Pada malam itu, aku akhirnya bisa mengatakan dengan penuh keyakinan bahwa aku siap untuk melangkah ke depan. Tidak ada lagi perasaan tertahan, tidak ada lagi penyesalan. Aku siap membuka lembaran baru dalam hidupku, dengan semua pengalaman yang telah aku lalui. Aku tahu, bahwa masa depan selalu penuh dengan kemungkinan, dan aku siap untuk mengejarnya.
Bab 7: Penutupan dan Refleksi
Setelah melewati perjalanan panjang yang penuh dengan perasaan yang tidak terungkapkan, tantangan, dan banyak pelajaran hidup, akhirnya aku sampai pada titik yang kini terasa begitu damai. Aku duduk di tepi jendela kamar, memandang keluar ke malam yang tenang. Lampu-lampu kota terlihat berkelip di kejauhan, dan angin malam yang sejuk membawa ketenangan yang kurindukan selama ini. Hidupku kini terasa lebih jelas, lebih ringan, dan lebih berwarna, meskipun jalan yang kutempuh penuh dengan liku dan pelajaran berharga.
Aku memejamkan mata sejenak, mengingat kembali perjalanan yang telah kulalui—mulai dari perasaan yang dulu tersembunyi, pertemuan-pertemuan yang tak terduga, hingga akhirnya aku belajar menerima kenyataan dan melepaskan perasaan yang tidak terbalas. Cinta pertama adalah pengalaman yang takkan pernah bisa dilupakan. Itu adalah perasaan yang begitu murni dan tulus, tetapi juga penuh dengan keraguan dan kebingungan. Mencintai dalam diam, meskipun tidak mudah, mengajarkan aku tentang kesabaran, tentang keikhlasan, dan tentang pentingnya menerima kenyataan, meskipun itu menyakitkan.
Kini, ketika aku memandang ke belakang, aku menyadari bahwa semua yang terjadi adalah bagian dari perjalanan hidupku yang membentuk siapa aku sekarang. Aku tidak menyesal telah mencintai Arga dengan tulus, meskipun itu dalam diam dan tanpa harapan. Cinta pertama adalah pengalaman yang memberi aku banyak pembelajaran—tentang diri sendiri, tentang orang lain, dan tentang bagaimana kita harus menghargai setiap momen yang ada. Mencintai dalam diam bukanlah sesuatu yang sia-sia. Itu adalah bagian dari proses pemahaman diri yang akhirnya membawaku ke tempat ini, di mana aku bisa benar-benar menerima perasaan dan belajar untuk melepaskannya dengan lapang dada.
Namun, perjalanan ini tidak berhenti di sana. Seiring berjalannya waktu, aku mulai membuka hatiku kembali untuk cinta yang baru. Dimas, yang hadir dengan cara yang begitu sederhana namun penuh perhatian, mulai mengisi ruang kosong yang dulu dihuni oleh bayang-bayang Arga. Meskipun perasaan terhadap Arga tetap ada di dalam hatiku, aku mulai menyadari bahwa mencintai Dimas bukanlah pengkhianatan terhadap perasaan yang dulu, melainkan langkah maju yang sehat. Aku mulai menikmati setiap momen yang kami habiskan bersama, tanpa terbebani oleh perasaan yang tidak terungkapkan.
Aku berpikir tentang pentingnya memberi kesempatan pada diri sendiri untuk tumbuh dan berkembang, baik dalam hal perasaan maupun dalam kehidupan secara keseluruhan. Terkadang, kita terjebak dalam masa lalu, terlalu takut untuk melangkah maju karena takut melupakan orang atau perasaan yang pernah kita cintai. Namun, hidup mengajarkan kita bahwa untuk berkembang, kita harus berani melepaskan yang lama dan memberi ruang untuk yang baru. Perasaan terhadap Dimas tidak menghapus kenangan indah tentang Arga, tetapi justru melengkapi perjalanan hidupku dengan cara yang berbeda.
Di sisi lain, aku juga belajar untuk lebih mencintai diri sendiri. Sebelumnya, aku selalu terlalu fokus pada orang lain, pada perasaan yang tidak terbalas, sehingga aku lupa untuk memberikan perhatian yang sama pada diriku sendiri. Aku lupa bahwa untuk bisa mencintai orang lain dengan tulus, kita harus terlebih dahulu mencintai diri kita sendiri. Proses itu bukanlah sesuatu yang instan. Itu adalah perjalanan panjang yang melibatkan kesadaran, pemahaman, dan penghargaan terhadap diri sendiri. Kini, aku merasa lebih kuat, lebih yakin, dan lebih siap menghadapi segala kemungkinan yang datang.
Selama perjalanan ini, aku juga belajar bahwa cinta bukanlah sesuatu yang harus dipaksakan. Cinta datang dengan cara yang alami dan tidak bisa dipaksakan. Terkadang, kita harus menerima kenyataan bahwa seseorang mungkin tidak akan pernah mencintai kita dengan cara yang sama seperti yang kita inginkan. Itu adalah kenyataan yang harus diterima, meskipun itu menyakitkan. Namun, aku juga belajar bahwa ada banyak bentuk cinta di dunia ini—bukan hanya cinta yang berakhir dengan pasangan yang bahagia, tetapi juga cinta dalam bentuk persahabatan, cinta untuk diri sendiri, dan cinta untuk dunia sekitar kita.
Saat ini, aku merasa lebih siap untuk menghadapi masa depan. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi besok, tetapi aku yakin bahwa setiap langkah yang kuambil akan membawaku ke tempat yang lebih baik. Aku juga belajar bahwa hidup tidak selalu berjalan sesuai dengan rencana kita, tetapi setiap kejadian memiliki tujuan dan makna yang lebih besar. Terkadang, kita hanya perlu memberi waktu untuk melihat dan merasakannya. Setiap perasaan, setiap pengalaman, mengajarkan kita untuk lebih menghargai hidup dan orang-orang yang ada di dalamnya.
Dengan segala pengalaman dan pembelajaran ini, aku merasa lebih bijaksana dalam menghadapi perasaan dan kehidupan. Aku tidak lagi terbebani oleh perasaan yang tak terbalas, atau berharap pada hal-hal yang tidak bisa kuubah. Aku menerima semua itu dengan lapang dada dan hati yang penuh rasa syukur. Kini, aku tahu bahwa cinta pertama hanyalah bagian dari perjalanan hidup yang lebih besar. Cinta itu tetap ada, namun aku tidak lagi terikat padanya. Aku siap untuk melangkah maju, untuk mencari kebahagiaan baru, dan untuk membuka hati bagi cinta yang datang dengan cara yang lebih matang dan lebih memadai.
Setiap langkah ke depan membawa aku lebih dekat dengan diriku yang sejati. Aku belajar bahwa hidup bukan hanya tentang apa yang kita harapkan, tetapi tentang bagaimana kita menerima kenyataan dan terus berjalan, meskipun jalan yang kita tempuh tidak selalu mulus. Perjalanan ini mengajarkan aku bahwa setiap momen, setiap perasaan, dan setiap pengalaman berharga adalah bagian dari kisah hidup kita yang harus kita hargai.
Aku menatap langit malam dengan senyum kecil di wajahku. Kini, aku merasa damai. Aku tidak lagi terperangkap dalam kenangan, dan aku siap untuk menyambut hari-hari yang baru. Dengan hati yang lapang, aku melangkah maju, siap untuk menghadapi masa depan dengan segala kemungkinan yang ada. Karena aku tahu, hidup selalu memberi kita kesempatan kedua, dan aku siap untuk mengambil kesempatan itu.
—THE END—