Daftar Isi
Bab 1: Perasaan yang Tersembunyi
Pagi itu, Klara duduk di meja kantornya, menatap layar komputer dengan mata yang sepertinya tak fokus. Suasana kantor yang biasa begitu riuh dengan bunyi ketikan keyboard, percakapan rekan kerja, dan telepon yang berdenting, kini terasa jauh. Pikiran Klara melayang jauh ke dalam dunia lain, dunia yang hanya dihuni oleh dua nama: **Dino** dan **dirinya sendiri**.
Dia sering mencoba untuk menyembunyikan perasaan itu, bahkan dari dirinya sendiri. Namun, semakin hari perasaan itu semakin sulit dikendalikan. Terkadang, saat Dino berbicara dengan candaannya yang khas, atau saat dia melontarkan pandangan hangatnya yang entah kenapa selalu mengarah padanya, Klara merasa seluruh tubuhnya bergetar. Hatinya berdebar tak karuan. Tetapi, ia tahu, perasaan ini adalah sesuatu yang tak bisa ia ungkapkan. Dino adalah teman dekatnya—sahabat baik yang telah ada dalam hidupnya sejak lama. Klara tak ingin merusak apa yang sudah terjalin dengan begitu baik hanya karena perasaan yang mungkin tidak akan pernah terbalas.
Setiap pagi, Klara selalu mencari alasan untuk berada lebih dekat dengan Dino. Mulai dari sekadar bertanya tentang pekerjaan, meminta pendapat tentang proyek yang sedang dikerjakannya, hingga melontarkan lelucon-lelucon kecil yang kadang membuat Dino tertawa. Namun, semuanya terasa begitu dangkal. Semuanya terbungkus dalam topeng pertemanan yang mereka bangun selama ini. Klara tahu bahwa jika dia menyentuh batas itu, dia mungkin tak akan pernah bisa kembali ke tempatnya yang dulu. Tempat di mana Dino hanya melihatnya sebagai sahabat, bukan sebagai wanita yang diam-diam mencintainya.
Pagi itu, seperti biasa, Dino datang lebih awal. Dia berdiri di pintu ruang kerja Klara, membawa dua cangkir kopi—satu untuk dirinya dan satu lagi untuk Klara. Itu adalah kebiasaan mereka, kebiasaan yang sudah berjalan sejak lama. Tanpa banyak kata, Dino menaruh kopi itu di meja Klara dan tersenyum lebar. Senyum yang selalu membuat jantung Klara berdegup kencang. “Pagi, Klara. Kopi favoritmu,” kata Dino santai, sambil duduk di kursi sebelahnya.
Klara tersenyum, mencoba menenangkan getaran di hatinya. “Terima kasih, Dino. Kamu tahu saja apa yang aku suka,” jawab Klara dengan suara yang sedikit gemetar, meskipun ia berusaha untuk terdengar tenang.
Mereka berbicara sebentar tentang pekerjaan masing-masing, namun Klara merasa seperti ada yang hilang. Ada kesenjangan yang tak bisa ia isi. Walaupun Dino berada di dekatnya, meskipun mereka duduk berdua, ada bagian dari dirinya yang terasa sangat jauh. Klara merasa seperti hanya bagian dari rutinitas Dino—seorang teman yang tidak lebih dari itu. Perasaan yang tersembunyi ini selalu mengganggunya, tapi Klara tidak tahu harus berbuat apa. Dia tahu bahwa perasaan ini tidak akan pernah bisa diungkapkan, bahkan jika itu menghancurkannya perlahan-lahan.
Setiap hari bersama Dino adalah sebuah siklus penuh kebahagiaan sekaligus penderitaan. Ada saat-saat di mana dia bisa tertawa lepas bersama, berbagi cerita tentang apa saja, dari topik paling ringan hingga masalah yang lebih berat. Dino selalu ada, memberikan perhatian penuh seperti teman yang baik, namun tidak lebih dari itu. Klara selalu memendam rasa kecewa yang dalam, merasa seperti berada di ujung tebing tanpa bisa melangkah lebih jauh, namun juga tidak bisa kembali.
Pernah suatu waktu, saat makan siang bersama, Klara melihat Dino berbicara dengan seorang wanita di meja sebelah mereka. Wanita itu tampak tertawa terbahak-bahak, dan Dino juga terlihat nyaman, membalas tawa itu dengan senyum yang lebih lebar dari biasanya. Saat itu, sesuatu dalam hati Klara pecah, meskipun ia berusaha untuk tetap tenang. Perasaan cemburu datang begitu mendalam, namun dia memilih untuk menutupinya dengan canda. “Kamu punya banyak penggemar, ya, Dino?” canda Klara, meski hatinya sudah penuh dengan sesak.
Dino tertawa, “Ah, itu cuma teman lama. Mereka cuma iseng saja.” Tapi kata-kata itu tidak bisa menenangkan hati Klara. Kenapa dia merasa seperti itu? Kenapa dia merasa tidak cukup untuk Dino? Kenapa ia harus menghadapinya sendirian, tanpa bisa mengungkapkan apa yang sesungguhnya ia rasakan?
Hari-hari terus berlalu dengan perasaan yang semakin menggerogoti hati Klara. Setiap kali mereka berbicara, dia merasa ada sesuatu yang ingin ia katakan, namun kata-kata itu selalu terjebak di tenggorokannya. Ada begitu banyak hal yang ingin ia bagi dengan Dino—perasaan yang selalu dipendam, harapan yang tak bisa diungkapkan, ketakutan akan kehilangan yang semakin mendalam. Tapi Klara tahu, jika dia berbicara, semuanya akan berubah. Mungkin Dino akan menjauh, atau mungkin pertemanan mereka akan hancur. Dan itu adalah sesuatu yang tak bisa dia pertaruhkan.
Klara menyadari bahwa ia bukan satu-satunya yang merasa canggung. Kadang, Dino juga memperlakukannya dengan cara yang sedikit berbeda. Meskipun dia selalu bersikap ramah dan hangat, Klara bisa merasakan sedikit keengganan dalam setiap percakapan. Seakan-akan, Dino juga sadar ada sesuatu yang berbeda, meski dia tak pernah membicarakannya. Klara merasa seolah ada dinding tipis yang terbentuk di antara mereka, dinding yang tidak terlihat, tetapi terasa begitu nyata.
Kadang, Klara berharap ada kesempatan—kesempatan untuk membuka hati, untuk memberi tahu Dino betapa dalamnya perasaannya, betapa dia ingin lebih dari sekadar sahabat. Tapi dia tahu, itu hanya akan menjadi harapan kosong. Dino sudah memiliki kehidupannya sendiri, mungkin bahkan seseorang yang lebih pantas untuk mendapatkan cintanya. Sementara Klara? Dia hanya bisa diam dan menunggu, seperti biasa.
Pada malam hari, saat Klara berbaring di tempat tidurnya, ia sering memikirkan Dino. Ia membayangkan bagaimana hidupnya jika Dino tahu perasaannya. Tetapi imajinasi itu selalu berakhir dengan sebuah kepahitan. Bagaimana jika Dino tidak merasakan hal yang sama? Bagaimana jika perasaan itu justru menghancurkan segalanya? Klara merasa terjebak dalam perasaan yang tak bisa ia ungkapkan. Cinta yang diam-diam, yang membuatnya merasa hidup, tetapi juga membuatnya merasa mati.
Sementara itu, Dino tetap menjadi bagian dari dunia Klara. Teman baik, sahabat sejati. Namun, Klara tahu, ada bagian dari dirinya yang akan selalu kosong—perasaan yang tak akan pernah terbalas, yang hanya bisa ia simpan dalam hati. Untuk sementara, itu adalah harga yang harus dia bayar. Mencintai dalam diam, meskipun itu menyakitkan, adalah satu-satunya cara untuk tetap dekat dengan Dino tanpa kehilangan apapun. Mungkin ini adalah cinta yang tak terungkap, tetapi bagi Klara, itu adalah cinta yang tak bisa dilepaskan. Cinta yang tak pernah bisa dimiliki, tetapi tetap ada di dalam hati, bersembunyi dengan penuh kesedihan.*
Bab 2: Menghindari Hati
Hari-hari berlalu dengan keheningan yang menyesakkan, seolah Klara terjebak dalam perasaan yang tak bisa diungkapkan. Rasanya seperti ada dinding tak terlihat yang memisahkan dirinya dari dunia luar, terutama dunia yang ada di dekat Dino. Keadaan ini, meskipun tak pernah terucap dengan kata-kata, semakin menguatkan rasa canggung yang tumbuh di antara mereka. Setiap kali Dino tersenyum, Klara merasakan seakan-akan hatinya terjepit oleh emosi yang sulit untuk dijelaskan. Ada keinginan yang begitu besar untuk mendekat, untuk berbicara lebih banyak, namun ada juga ketakutan yang menggerogoti setiap detik kebersamaan mereka.
Setelah beberapa hari penuh kecanggungan, Klara memutuskan untuk lebih banyak menghindar. Dia mulai mencari alasan untuk menjauh, untuk tidak bertemu dengan Dino sebanyak dulu. Saat Dino datang ke kantor dengan senyum cerah, membawa secangkir kopi untuknya seperti biasa, Klara hanya bisa memaksakan senyum. “Terima kasih,” katanya pelan, meski hatinya berbicara hal lain. Kopi itu sekarang hanya terasa pahit di lidahnya.
Klara memutuskan untuk lebih sibuk dengan pekerjaannya. Setiap kali Dino mengajaknya berbicara atau mengajak makan siang, ia selalu memberi alasan yang terlihat masuk akal. “Maaf, aku ada deadline,” atau “Aku harus cepat menyelesaikan laporan ini.” Ketika Dino terlihat sedikit kecewa, Klara berusaha menenangkan dirinya dengan mengatakan bahwa dia hanya ingin fokus pada pekerjaannya. Namun, semakin sering dia menghindar, semakin terasa perasaan bersalah yang menghantui setiap malam. Perasaan itu adalah rasa takut akan kehilangan, kehilangan Dino sebagai teman, sebagai sahabat yang selama ini menjadi bagian terpenting dalam hidupnya.
Sebenarnya, Klara tahu betul mengapa dia mulai menghindar. Semakin dekat dia dengan Dino, semakin kuat perasaan itu, dan semakin sulit baginya untuk mengendalikan hatinya. Perasaan yang selama ini terpendam semakin meluap, dan Klara tahu, jika dia tidak berhati-hati, perasaan itu bisa menghancurkan semuanya. Dia takut kalau Dino tahu betapa dalamnya rasa itu, dia takut bahwa segalanya akan berubah. Mereka mungkin tidak akan bisa kembali seperti semula—pertemanan mereka akan terganggu, atau bahkan berakhir.
Klara memandang layar komputernya, berusaha mengalihkan perhatian dari suara langkah kaki yang semakin mendekat. Itu adalah langkah Dino. Dia bisa merasakannya, meskipun tidak melihatnya. Hanya dengan langkah itu, Klara tahu siapa yang datang. Namun kali ini, dia tidak bisa menghadapinya. Dia menunduk, berharap Dino tidak melihat kecanggungan yang jelas di wajahnya.
Dino berdiri di samping meja Klara, menatapnya dengan heran. “Klara, kamu lagi sibuk banget ya? Aku pikir kita bisa istirahat sebentar, makan siang?” katanya, sambil tersenyum lebar, tanpa ada kecurigaan sama sekali. Klara merasa hatinya seperti terjepit. Dia ingin sekali mengangguk, mengatakan bahwa dia ingin makan siang bersamanya. Tetapi, kata-kata itu tidak keluar. Alih-alih itu, yang keluar hanya senyum tipis.
“Maaf, Dino. Aku harus menyelesaikan beberapa laporan untuk atasan. Mungkin lain kali,” jawab Klara, berusaha terdengar sebaik mungkin, meskipun suara di hatinya menggelora dengan penolakan. Setiap detik yang berlalu setelah itu terasa sangat lama. Dino mengangguk pelan, tampaknya sedikit kecewa, tapi dia tidak mengungkitnya lagi. Dia hanya tersenyum tipis dan melangkah pergi. Langkah kaki Dino yang menjauh itu mengiris hati Klara, seolah-olah dia telah kehilangan kesempatan lain untuk berada lebih dekat dengannya.
Klara merasa sangat bingung. Kenapa dia bisa merasa begitu tercekik oleh kebersamaan mereka yang begitu sederhana? Kenapa perasaan ini, yang awalnya hanya sebuah kilasan, kini menjadi sebuah beban yang sangat berat? Setiap kali dia berusaha menghindari Dino, perasaan bersalah itu semakin menghantui. Namun, di sisi lain, dia juga merasa bahwa ini adalah satu-satunya cara untuk melindungi dirinya sendiri. Menghindar adalah cara satu-satunya untuk tidak terlalu terluka. Jika dia tetap dekat dengan Dino, jika dia terus berbicara dengannya, semakin lama, perasaan itu akan semakin kuat. Dan akhirnya, dia tahu, dia akan terjatuh lebih dalam ke dalam jurang cinta yang tidak akan pernah terbalas.
Beberapa hari kemudian, Klara mulai menyadari bahwa menghindar tidak hanya melukai dirinya sendiri, tetapi juga membuat Dino merasa bingung. Mereka mulai berbicara lebih sedikit. Meskipun mereka masih saling memberi salam pagi, atau saling bertukar pesan singkat, ada jarak yang tak bisa dijelaskan. Bahkan dalam percakapan sehari-hari, Klara merasa ada ketegangan yang mengambang di udara. Dino tidak lagi mengajak makan siang, tidak lagi menanyakan kabarnya, tidak lagi menatapnya dengan perhatian seperti dulu. Semua itu berubah seiring dengan kebiasaannya menghindar.
Suatu pagi, Klara tiba-tiba terbangun dari tidur panjangnya dengan perasaan yang berat. Pagi ini dia merasa begitu tertekan. Ada sesuatu yang tak bisa dia hindari lebih lama. Dia merasa seperti ada kekosongan yang semakin besar dalam dirinya, sebuah kekosongan yang hanya bisa diisi oleh keberanian untuk menghadapi kenyataan. Apa yang sebenarnya dia hindari? Perasaannya sendiri. Cinta yang selama ini ia coba sembunyikan, cinta yang ia tolak untuk diakui, dan cinta yang ia takutkan akan merusak segala yang ada.
Klara pun mulai merenung, apakah ini yang terbaik untuk dirinya? Menghindari Dino berarti menghindari dirinya sendiri. Menghindari perasaan yang sudah begitu lama dipendam. Menghindari perasaan yang sesungguhnya sangat kuat, tetapi ia tidak pernah berani menghadapinya. Setiap kali perasaan itu datang, dia hanya bisa menahannya, menahannya dengan sekuat tenaga, seolah-olah itu adalah hal yang terburuk yang bisa terjadi. Tapi justru, semakin dia menghindar, semakin ia merasa kehilangan bagian dari dirinya sendiri.
Pada suatu sore yang mendung, Klara akhirnya memutuskan untuk bertemu dengan Dino. Dia tahu, ini mungkin saat yang tepat untuk berhenti menghindar. Tetapi ketika mereka duduk berhadapan, Klara masih merasa takut. Takut akan kata-kata yang akan keluar, takut akan perasaan yang akan ia ungkapkan. Tetapi, di dalam hatinya, ia tahu bahwa dia tidak bisa menghindari perasaan ini selamanya. Suatu saat, dia harus berbicara. Suatu saat, dia harus menghadapi kenyataan.
“Dino, aku ingin bicara,” kata Klara, suaranya gemetar sedikit.
Dino menatapnya dengan penuh perhatian, seolah tahu ada sesuatu yang besar yang sedang Klara pikirkan. “Tentu, Klara. Apa yang ingin kamu bicarakan?” jawabnya, dengan senyum yang tetap hangat.
Klara menarik napas dalam-dalam. Ini adalah saat yang menentukan. Saat di mana dia tidak bisa lagi menghindar. Namun, saat itu, kata-kata tak kunjung keluar. Hanya ada keheningan yang begitu dalam, sebuah keheningan yang penuh dengan perasaan yang tak terungkapkan. Klara tahu, menghindari hatinya bukanlah solusi. Tetapi, apakah dia siap untuk menghadapi kenyataan yang datang bersama perasaan itu?*
Bab 3: Ketegangan yang Terpendam
Hari-hari berlalu dengan rasa cemas yang semakin mendalam. Klara merasa seolah ada sebuah tekanan yang terus menerus menguat dalam hatinya, sebuah ketegangan yang tak bisa ia ungkapkan, namun sangat nyata. Keadaan antara dirinya dan Dino kini semakin sulit dijelaskan. Mereka berdua, yang dulunya selalu mudah berbicara tentang apa saja, kini seperti dua orang asing yang berusaha menjaga jarak, meskipun berada dalam ruang yang sama. Suasana di kantor pun semakin tegang. Klara merasa begitu cemas saat mereka harus berinteraksi. Setiap kali Dino berbicara padanya, kata-kata yang seharusnya ringan, kini terasa seperti beban yang sangat berat. Begitu banyak yang ingin ia katakan, namun tak ada satu pun kata yang bisa keluar dengan lancar.
Satu minggu setelah pertemuan yang canggung itu, Klara duduk di kursinya, menatap layar komputer dengan kosong. Pekerjaan yang biasanya bisa ia selesaikan dengan mudah kini terasa begitu sulit. Setiap kali ia memandang ke luar jendela kantor, pikirannya kembali melayang pada Dino. Kenapa semuanya terasa begitu berbeda? Kenapa, meskipun mereka hanya berjarak beberapa meter, Klara merasa seolah dunia mereka begitu terpisah? Ketegangan yang semakin terasa ini semakin membuatnya sulit bernafas. Semua hal yang dulunya biasa, kini terasa penuh dengan arti yang tersembunyi. Bahkan senyum Dino yang tulus pun, yang dulu mampu membuatnya merasa hangat, kini terasa seperti sekadar formalitas.
Klara melirik jam dinding, menghitung detik demi detik. Sudah saatnya makan siang, namun ia tidak ingin pergi bersama Dino. Ia tidak ingin berada dalam satu ruangan bersamanya, terlalu dekat. Bahkan saat Dino menghampirinya dengan senyum cerah dan mengajaknya makan, Klara hanya bisa membalas dengan senyum tipis dan berkata, “Aku belum lapar. Terima kasih, Dino. Aku ingin menyelesaikan beberapa pekerjaan.”
Dino mengangkat alisnya, jelas terlihat kecewa, namun dia tidak memaksanya. “Baiklah, Klara. Nanti kalau kamu sudah selesai, kabari aku ya. Aku di luar.” Dengan itu, Dino pergi meninggalkan ruangan, dan Klara merasakan sebuah kelegaan yang aneh. Ia merasa bebas sejenak, tapi di sisi lain, perasaan kosong itu kembali menghantui.
Klara tahu, dia tidak bisa terus menghindari Dino seperti ini. Namun, ketegangan yang terpendam di dalam dirinya membuatnya tidak tahu harus berbuat apa. Perasaan yang sudah sangat dalam, yang sejak awal ia coba sembunyikan, kini terasa begitu sulit dikendalikan. Semua perasaan itu terkunci rapat dalam dadanya, namun setiap kali Dino mendekat, hati Klara seakan-akan berontak, ingin keluar dari penjara yang dia buat sendiri. Dan itulah yang menakutkannya—dia takut jika dia membiarkan perasaan itu keluar, semuanya akan berubah. Mungkin Dino akan pergi menjauh, atau lebih buruk lagi, mereka akan menjadi orang asing yang saling menghindar. Klara tidak ingin itu terjadi. Tidak bisa.
Malam itu, setelah pulang dari kantor, Klara duduk sendirian di apartemennya. Dinding-dinding yang seharusnya memberikan rasa aman kini terasa semakin menekan. Pikirannya kembali pada percakapan singkatnya dengan Dino tadi siang. Betapa mudahnya Dino menerima penolakan itu. Betapa biasa saja dia memperlakukan Klara seakan-akan tidak ada yang aneh dengan sikapnya. Padahal, bagi Klara, itu adalah sebuah ketegangan yang semakin memuncak. Kenapa semuanya terasa begitu sulit? Apakah Dino benar-benar tidak tahu apa yang Klara rasakan? Apakah dia benar-benar tidak merasakan apa-apa?
Klara menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. Terkadang, ia berpikir bahwa mungkin ini semua hanya dalam pikirannya. Mungkin perasaan itu hanyalah khayalan yang ia buat-buat, sebuah harapan kosong yang terus menghantuinya. Namun, setiap kali ia melihat Dino, perasaan itu semakin nyata. Senyum Dino, cara dia menatapnya, cara dia mendengarkan dengan penuh perhatian—semuanya terasa begitu nyata, seperti sebuah pertanda bahwa ada sesuatu lebih dari sekadar pertemanan yang mereka jalani. Tapi Klara tahu, perasaan itu tidak bisa diungkapkan. Ia harus menjaga jarak, menjaga perasaan itu tetap tersembunyi di dalam hati.
Tiba-tiba, ponsel Klara bergetar. Itu adalah pesan dari Dino.
_”Klara, kamu di rumah? Aku harus bicarakan sesuatu.”_
Klara membaca pesan itu beberapa kali, perasaan heran bercampur cemas. Ada sesuatu yang berbeda dari nada pesan tersebut. Biasanya, Dino tidak pernah begitu mendesak, tidak pernah merasa perlu mengirimkan pesan yang begitu serius. Klara ragu sejenak, berpikir apakah ia harus segera membalasnya atau tidak. Namun, rasa penasaran mengalahkan segala pertimbangan. Klara membalas dengan cepat, meskipun hatinya berdebar-debar.
_”Ada apa, Dino? Kamu baik-baik saja?”_
Tak lama, ponsel Klara bergetar lagi. Pesan berikutnya datang.
_”Aku ingin bicara. Tentang kita.”_
Klara merasa seolah-olah jantungnya berhenti berdetak. Tentang mereka? Apa maksudnya dengan “kita”? Apa yang ingin Dino bicarakan? Pikirannya semakin kacau, dan perasaan cemas itu semakin mendalam. Ia tahu bahwa perasaan yang selama ini ia pendam tidak mungkin disimpan selamanya. Mungkin Dino merasa hal yang sama. Atau mungkin, Dino sudah tahu, dan kini dia ingin berbicara tentang itu. Klara merasa terjepit antara keinginan untuk mendengarnya dan ketakutan akan apa yang akan terjadi setelah percakapan itu.
Setengah jam kemudian, Dino tiba di depan pintu apartemen Klara. Klara membuka pintu dengan tangan yang sedikit gemetar. Dino berdiri di sana dengan ekspresi serius yang belum pernah Klara lihat sebelumnya. Senyum hangat yang selalu mengiringi setiap langkahnya kini hilang, digantikan oleh sebuah ketegangan yang sama seperti yang Klara rasakan.
“Dino, ada apa?” Klara bertanya, mencoba untuk tidak menunjukkan betapa gugupnya dia.
Dino melangkah masuk dan menutup pintu di belakangnya. “Klara, kita harus bicara,” katanya lagi, nada suaranya tegas. “Aku merasa ada sesuatu yang berubah di antara kita.”
Klara menelan ludahnya, mencoba mengumpulkan kekuatan. “Apa maksudmu?” tanyanya, suaranya serak, hampir tak terdengar.*
Bab 4: Realisasi dan Pengorbanan
Klara menatap langit malam yang gelap, seolah ingin menenangkan pikirannya yang kian kacau. Bintang-bintang yang bersinar di atas sana tampak begitu jauh, seperti harapan-harapannya yang kini mulai pudar, terkubur dalam kesulitan yang ia hadapi. Malam itu, dia merasa seperti ada dua sisi dalam dirinya yang berperang—satu yang ingin terus berjuang, dan satu lagi yang merasa lelah dan ingin menyerah. Setiap langkah yang ia ambil semakin terasa berat, dan setiap keputusan yang ia buat seakan membawa beban yang semakin besar.
Setelah percakapan dengan Dino beberapa hari yang lalu, Klara merasa hidupnya berubah. Semua yang ia pendam, semua perasaan yang selama ini ia coba sembunyikan, kini terungkap, meski dengan cara yang penuh keraguan. Dino telah mengetahui bahwa ada sesuatu yang berbeda dalam dirinya, tetapi entah kenapa, meskipun sudah terbuka, semuanya tidak terasa lebih baik. Bahkan, perasaan cemas dan ketegangan itu semakin menguat. Ada sesuatu yang mengganjal di hati Klara, sesuatu yang sulit untuk dijelaskan dengan kata-kata.
Dino, meskipun sudah mengetahui perasaannya, tetap berusaha untuk menjaga hubungan mereka tetap berjalan seperti biasa. Namun, Klara tahu bahwa ini tidak akan bisa bertahan selamanya. Di satu sisi, ia ingin bersama Dino—melalui segala suka dan duka—tapi di sisi lain, ia tahu bahwa ada sesuatu yang lebih besar yang harus ia hadapi, sesuatu yang lebih penting daripada sekadar mempertahankan hubungan yang bisa saja menyesatkan dirinya.
“Dino tidak layak untuk berada dalam posisi ini,” pikir Klara, memejamkan matanya. “Dia tidak harus terjebak dalam ketidakpastian yang aku buat.”
Keputusan itu datang begitu saja, tanpa peringatan. Klara tahu bahwa selama ini, dia terlalu sering menghindar, terlalu sering berlarian dari kenyataan. Tetapi, kali ini dia tidak bisa melanjutkan kebingungan ini lebih lama lagi. Cinta yang selama ini ia pendam, cinta yang tak pernah terucap, tidak hanya membuat dirinya terbelenggu, tetapi juga membuat Dino terperangkap dalam ketidakpastian yang tidak adil.
Setelah beberapa hari berpikir, Klara memutuskan untuk menemui Dino. Dia tahu bahwa pertemuan ini akan menentukan segalanya. Pertemuan ini mungkin akan mengubah arah hidup mereka, mengubah jalan yang selama ini mereka jalani. Namun, dalam hati Klara, dia sudah tahu—ini adalah pengorbanan yang harus ia buat untuk kebaikan mereka berdua.
Pada sore yang suram itu, Klara mengirimkan pesan singkat kepada Dino. _”Dino, aku ingin bicara. Ada yang perlu kita selesaikan.”_
Beberapa detik kemudian, balasan datang. _”Tentu, Klara. Aku akan ke rumahmu sebentar lagi.”_
Klara menghela napas panjang. Dia tahu ini bukanlah percakapan yang mudah. Mereka berdua sudah terlalu lama terjebak dalam perasaan yang tidak bisa diungkapkan, terlalu lama berputar-putar dalam kebingungan. Mungkin sudah waktunya bagi mereka untuk menghadapi kenyataan, untuk mengakui apa yang sebenarnya ada di hati masing-masing, meskipun kenyataan itu akan terasa sangat menyakitkan.
Setelah beberapa menit, terdengar suara ketukan di pintu. Klara berdiri, lalu membuka pintu itu. Di hadapannya berdiri Dino dengan tatapan penuh perhatian, seolah tahu bahwa sesuatu yang serius akan dibicarakan malam ini.
“Klara, ada apa? Kamu terlihat tegang,” kata Dino, suaranya lembut, tapi penuh kecemasan.
Klara hanya bisa tersenyum tipis, berusaha menenangkan dirinya sendiri sebelum berbicara. “Masuklah, Dino,” ujarnya dengan suara rendah, mengajak Dino masuk ke ruang tamunya.
Mereka duduk di sofa yang selama ini menjadi tempat mereka berbincang-bincang ringan. Suasana yang biasanya penuh tawa kini terasa begitu hening, seperti ada awan gelap yang menggantung di atas mereka. Klara menatap Dino, lalu menundukkan kepala, berusaha mengumpulkan kekuatan. “Dino,” ujarnya, “aku… aku ingin kamu tahu bahwa aku sangat menghargai persahabatan kita. Kamu sudah menjadi teman terbaik yang pernah aku miliki. Tapi aku harus jujur dengan diriku sendiri. Ada sesuatu yang selama ini aku sembunyikan.”
Dino menatapnya dengan serius, menunggu kelanjutan kata-kata Klara. Namun, ia tidak berkata apa-apa, hanya diam, memberi ruang bagi Klara untuk melanjutkan.
“Aku tidak bisa terus seperti ini,” lanjut Klara, suaranya hampir terputus-putus. “Aku tidak bisa terus menghindari perasaan ini. Aku tidak bisa terus memendamnya. Aku… aku mencintaimu, Dino. Sudah lama sekali, lebih lama dari yang kamu bayangkan. Dan aku takut kalau aku terus berada di dekatmu, aku akan semakin terjebak dalam perasaan ini. Aku… aku takut, Dino.”
Dino terdiam, seolah mencoba mencerna setiap kata yang baru saja keluar dari mulut Klara. Matanya yang biasanya penuh keceriaan kini terlihat serius dan sedikit terkejut. Ada keheningan yang panjang setelah Klara mengungkapkan perasaannya. Klara menundukkan kepala, tak berani menatap Dino, takut jika ia melihat kekecewaan atau kebingungan di wajahnya.
“Aku tahu ini sulit, Dino,” lanjut Klara dengan suara bergetar, “dan aku juga tahu ini mungkin akan membuat segala sesuatunya menjadi rumit. Tapi, aku tidak bisa terus berlari dari kenyataan ini. Aku tidak bisa terus mempertahankan hubungan ini sebagai teman, sementara di dalam hati aku merasa jauh lebih dari itu.”
Setelah beberapa detik yang terasa seperti berjam-jam, Dino akhirnya berbicara. “Klara,” katanya pelan, “Aku… aku tidak tahu harus berkata apa. Tapi aku tahu, kita sudah cukup lama saling mengenal untuk bisa merasakan ada sesuatu yang lebih dari sekadar persahabatan antara kita. Tapi, kita harus jujur satu sama lain. Aku… aku tidak tahu apa yang aku rasakan. Aku takut, Klara. Aku takut kalau aku merespons perasaanmu, semuanya akan berubah, dan aku tidak ingin kehilanganmu.”
Klara menggigit bibirnya, menahan air mata yang mulai menggenang di matanya. “Aku juga takut kehilanganmu, Dino. Tapi mungkin ini adalah saat yang tepat untuk melepaskan perasaan ini. Aku harus pergi, pergi dari perasaan ini. Aku harus fokus pada diriku sendiri, dan aku tidak ingin terus menyakiti dirimu. Aku tahu, jika kita terus seperti ini, kita berdua hanya akan semakin terluka. Jadi, aku memutuskan untuk pergi. Pergi dari perasaan ini. Aku tidak bisa terus mencintaimu dalam diam, Dino.”
Dino menunduk, dan Klara bisa melihat bahwa dia sangat terluka dengan apa yang baru saja dikatakan. Namun, di matanya, Klara juga melihat pemahaman yang mendalam, seolah Dino tahu betul bahwa ini adalah keputusan yang tidak mudah bagi Klara. “Klara,” katanya, suaranya berat, “Jika ini yang terbaik untuk kita berdua, aku akan mendukung keputusanmu. Aku akan selalu menghargai kamu, Klara, tidak peduli apapun yang terjadi.”
Klara menatapnya, dengan air mata yang kini mulai mengalir. “Terima kasih, Dino,” ucapnya pelan. “Aku akan selalu ingat semua kenangan kita bersama. Kamu adalah orang yang sangat berarti bagi aku.”
Dino tersenyum, meskipun senyum itu tidak secerah biasanya. “Aku juga, Klara. Semoga suatu hari nanti, kita bisa menemukan kebahagiaan kita masing-masing. Jangan lupakan aku, ya?”
Klara mengangguk, walaupun hatinya terasa sangat berat. Ia tahu, ini adalah pengorbanan yang harus ia lakukan. Mencintai dalam diam memang menyakitkan, tetapi melepaskan cinta yang tak terbalas mungkin akan memberi mereka kebebasan untuk menemukan jalan mereka sendiri.
Setelah malam itu, mereka berdua pergi dengan perasaan yang hancur, namun juga dengan sebuah pemahaman yang mendalam bahwa kadang-kadang, melepaskan adalah hal yang paling baik untuk semua pihak. Keputusan Klara untuk mengorbankan perasaannya bukanlah akhir dari segalanya, tetapi awal dari perjalanan untuk menemukan kedamaian dalam diri mereka masing-masing.
menjauh. Kamu sering menghindar dari aku, Klara. Aku tahu kamu tidak seperti biasanya. Dan aku harus tahu, apa yang terjadi?” Dino bertanya langsung, menatapnya dengan tatapan yang penuh perhatian dan kekhawatiran.
Klara terdiam, tidak tahu harus berkata apa. Ketegangan yang sudah terpendam begitu lama kini pecah. Rasa takutnya akan kehilangan, rasa bingungnya tentang perasaan yang tidak bisa ia ungkapkan, semua itu terpendam begitu dalam di dadanya.
Klara membuka mulutnya, namun kata-kata itu tidak kunjung keluar. Semuanya terasa begitu sulit. “Aku… aku tidak tahu,” akhirnya Klara mengakui dengan suara yang hampir tak terdengar.
Dino menatapnya dengan serius, seolah menunggu penjelasan lebih lanjut, tetapi Klara tidak bisa memberinya jawaban yang ia harapkan. Hatinya terasa sesak, dan akhirnya, hanya ada keheningan yang menyesakkan di antara mereka.
Ketegangan yang terpendam begitu lama kini akhirnya mencapai titik puncaknya, dan Klara tahu bahwa ini adalah saat yang menentukan. Mungkin setelah ini, semuanya akan berubah—entah menjadi lebih baik, atau mungkin lebih buruk. Namun satu hal yang pasti, perasaan yang ia sembunyikan selama ini tidak akan bisa dibiarkan begitu saja. Dan sekarang, Dino sudah mengetahuinya.***