Kisah Cinta
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
Kisah Cinta
No Result
View All Result

MENANTI DI TITIK NOL

MENANTI DI TITIK NOL

SAME KADE by SAME KADE
February 9, 2025
in Cinta Jarak jauh
Reading Time: 22 mins read
MENANTI DI TITIK NOL

Daftar Isi

  • Bab 1  Perpisahan yang Tak Terelakkan
  • Bab 2  Janji di Titik Nol
  • Bab 3  Menanti di Titik Nol
  • Bab 4  Rindu yang Membebani
  • Bab 5  Titik Nol yang Memudar
  • Bab 6  Perpisahan Sementara
  • Bab 7  Mencari Diri Sendiri
  • Dan meskipun jarak masih ada, dan masa depan masih penuh ketidakpastian, mereka tahu satu hal mereka akan terus berjuang untuk tetap bersama, melangkah maju, satu langkah kecil demi satu langkah besar.***

Bab 1  Perpisahan yang Tak Terelakkan

Alya menatap langit senja dengan tatapan kosong, seolah setiap warna yang menghiasi cakrawala itu membawa kabar duka yang semakin jelas. Hari ini, hari yang sudah mereka ketahui akan datang, akhirnya tiba juga. Hari perpisahan. Perpisahan yang tak terelakkan.

Rafi berdiri di depan gerbang bandara, dengan ransel besar di punggungnya dan wajah yang terlihat tegang. Di tangan kirinya, ia menggenggam tiket pesawat yang akan membawanya jauh dari Alya. Seharusnya, dia sudah siap. Mereka sudah berdua membicarakan hal ini berulang kali. Mereka tahu ini bukan perpisahan yang sederhana. Cinta mereka yang tumbuh begitu cepat dan mendalam kini harus diuji dengan jarak. Tapi entah kenapa, meskipun mereka sudah tahu ini akan datang, kenyataan terasa jauh lebih menyakitkan daripada yang mereka bayangkan.

Alya menghela napas panjang. Matanya yang merah karena menangis semalam masih tampak sembab, namun dia berusaha tersenyum. Menyembunyikan rasa sakit yang menggigit hatinya. “Jadi, benar-benar pergi?” tanyanya, suaranya bergetar, meskipun dia berusaha keras untuk menahan air mata yang ingin jatuh.

Rafi menatap Alya dengan tatapan yang sulit dimengerti. Ada banyak perasaan yang bergejolak di matanya—rindu, kebingungan, dan kepergian yang tidak diinginkan. “Alya, ini bukan mudah bagiku juga,” katanya, suaranya serak. “Aku harus pergi. Aku tidak bisa menunda ini lagi. Tapi aku janji, ini hanya sementara. Aku akan kembali untukmu. Kapan pun itu.”

Alya menggigit bibir bawahnya, menahan isakan. Rafi, pria yang telah mengisi setiap sudut hidupnya selama beberapa tahun terakhir, kini harus pergi jauh ke luar negeri. Untuk pekerjaan yang sangat penting. Untuk masa depannya. Untuk masa depan mereka. Itulah yang selalu mereka katakan. “Tapi… kita tidak tahu kapan. Bagaimana kalau aku tidak bisa menunggu?” Suaranya hampir tidak terdengar, begitu kecil dan rapuh.

Rafi mengangkat tangan untuk menyentuh pipi Alya, dengan lembut mengusapnya. “Kamu bisa. Aku tahu kamu bisa. Aku tidak akan pergi selamanya. Ini hanya untuk sementara waktu. Kita akan tetap berhubungan, kita akan selalu berbicara. Aku percaya kita bisa menghadapinya.”

Namun, Alya tahu betul bahwa kata-kata itu tidak bisa menghapus keraguan yang menggerogoti hatinya. Mereka berdua tahu bahwa jarak, meskipun bisa dijembatani dengan teknologi, tetap akan menjadi penghalang yang besar. Cinta jarak jauh bukanlah hal yang mudah. Mereka harus menghadapinya dengan hati yang kuat, meskipun setiap perpisahan terasa seperti pisau yang menusuk perlahan.

“Aku takut, Rafi,” kata Alya, suaranya kini pecah. “Aku takut kamu akan lupa padaku. Aku takut kita akan berubah. Aku takut aku akan kehilanganmu.” Air mata mulai jatuh, tak terbendung lagi. Rasanya terlalu berat untuk dihadapi sendirian.

Rafi menundukkan kepalanya, mencoba menahan emosinya. Matanya terlihat memerah. Dia pun merasa takut. Takut tidak bisa kembali, takut hubungan mereka akan kandas di tengah perjalanan, takut bahwa waktu dan jarak akan memisahkan mereka selamanya. Tapi dia tahu, jika dia tidak melangkah sekarang, dia akan menyesal selamanya. “Aku tidak akan lupa padamu. Aku tidak akan pernah berubah. Kamu adalah bagian dari hidupku, Alya. Aku berjanji, ini bukan akhir dari segalanya.”

“Aku… aku ingin percaya padamu,” kata Alya, meraih tangan Rafi dan menggenggamnya erat. “Tapi bagaimana jika semua ini hanya mimpi? Bagaimana jika kita tidak bisa melewati ini?”

Rafi menarik napas dalam-dalam, lalu membungkuk dan menatap mata Alya dengan tatapan yang penuh harapan. “Kamu harus percaya padaku. Kamu harus percaya pada kita. Cinta kita cukup kuat untuk menghadapinya.”

Perpisahan mereka semakin mendekat. Panggilan terakhir diumumkan di bandara. Rafi harus segera naik ke pesawat. Alya merasa seluruh dunia seakan runtuh di sekelilingnya. Semua kenangan indah bersama Rafi berputar-putar di kepalanya. Tertawa bersama, berbicara hingga larut malam, berbagi mimpi tentang masa depan yang mereka buat bersama. Kini, semua itu seolah hilang dalam sekejap. Rafi harus pergi. Dan yang bisa mereka lakukan hanyalah menunggu waktu yang entah kapan.

“Jangan lupakan aku,” kata Alya, suaranya hampir tak terdengar. “Aku akan menunggumu, Rafi. Aku akan menunggu di sini, sampai kamu kembali.”

Rafi menundukkan kepalanya, berusaha menahan air mata yang hampir tumpah. “Aku tidak akan pernah lupa. Aku akan kembali. Janji.”

Dengan satu ciuman ringan di dahi Alya, Rafi berbalik dan mulai melangkah menjauh, menuju gerbang keberangkatan. Alya tetap berdiri di sana, menatapnya pergi dengan perasaan yang begitu berat. Ia tahu bahwa perpisahan ini bukanlah akhir, namun ia juga tahu bahwa setiap detik yang berlalu akan menguji seberapa kuat cintanya terhadap Rafi.

Alya menundukkan kepalanya, berusaha menenangkan diri. “Aku akan menunggu,” gumamnya pada dirinya sendiri, meskipun dalam hatinya, keraguan itu terus mengganggu. “Aku akan menunggu, sampai titik nol itu tiba.”

Dengan perasaan campur aduk, Alya akhirnya berbalik dan berjalan keluar dari bandara, meninggalkan tempat yang kini terasa asing dan sepi. Ia tahu bahwa perpisahan ini akan sangat berat, namun ia juga tahu bahwa cintanya untuk Rafi adalah sesuatu yang tidak akan mudah padam, meskipun jarak akan memisahkan mereka untuk sementara waktu.*

Bab 2  Janji di Titik Nol

Pagi itu, Alya duduk di balkon apartemennya, menatap langit yang masih cerah meskipun pagi baru saja dimulai. Setiap sinar matahari yang menyentuh kulitnya terasa sejuk, namun hatinya tetap terasa berat. Sudah dua minggu sejak perpisahan mereka di bandara, dan meskipun sudah berusaha keras untuk melanjutkan hidup, kenyataan bahwa Rafi kini ada begitu jauh darinya masih menghantui setiap langkahnya.

“Janji itu…” Alya bergumam pada dirinya sendiri, menyentuh kalung kecil berbentuk hati yang diberikan oleh Rafi sebelum ia pergi. Kalung itu adalah simbol dari janji mereka janji untuk tetap setia, untuk menunggu sampai mereka bisa bertemu kembali di tempat yang mereka sebut “titik nol”. Titik nol itu adalah sebuah tempat imajiner, sebuah titik pertemuan yang mereka tentukan untuk bertemu kembali setelah semua halangan dan jarak memisahkan mereka.

Alya menarik napas dalam-dalam dan membuka ponselnya. Pesan terakhir dari Rafi masih ada di sana, terhapus dalam kepingan waktu yang terus berjalan. “Aku akan kembali, Alya. Tunggu aku di titik nol kita.”

Titik nol. Mungkin bagi orang lain, itu hanya sekadar kata-kata kosong. Tapi bagi Alya dan Rafi, itu adalah harapan yang menggantung di antara mereka, yang mengikat cinta mereka meskipun terpisah oleh ribuan kilometer. Titik nol adalah simbol dari keteguhan mereka untuk tidak menyerah, meskipun jarak dan waktu semakin memperpanjang perjalanan mereka.

Namun, semakin lama, semakin sulit bagi Alya untuk menjaga harapan itu tetap hidup. Rutinitasnya kini terasa kosong tanpa kehadiran Rafi. Setiap kali ia pergi ke kafe yang biasa mereka kunjungi, atau berjalan di taman yang mereka datangi bersama, ia merasakan kekosongan yang begitu dalam. Tidak ada lagi canda tawa mereka, tidak ada lagi obrolan ringan tentang masa depan, tentang impian yang mereka buat bersama. Semua itu kini hanya kenangan yang semakin jauh, seperti bayangan yang semakin pudar seiring berlalunya waktu.

Di sisi lain, Rafi juga merasa terasing. Setiap malam ia menatap langit di luar jendelanya, mencari bintang yang sama yang pernah mereka pandangi bersama. Namun, bintang-bintang itu terasa begitu jauh dan tidak lagi memancarkan cahaya yang sama. Kehidupan barunya di luar negeri penuh dengan tantangan, dengan pekerjaan yang menyita waktunya, dan dengan lingkungan yang begitu berbeda dari rumah. Setiap hari, ia terjaga dengan kesibukan dan perasaan rindu yang datang begitu mendalam. Namun, pada saat yang sama, ia tahu bahwa ia harus fokus pada tujuannya.

“Aku harus berhasil, agar aku bisa kembali padamu,” begitu kata Rafi dalam hati. Dan meskipun itu adalah keyakinan yang kuat, ada keraguan yang kadang muncul. Apakah jarak ini bisa bertahan lebih lama? Apakah ia dan Alya akan tetap sama saat bertemu nanti?

Rafi tahu bahwa untuk bisa kembali, ia harus menyelesaikan banyak hal terlebih dahulu. Masa depan mereka membutuhkan lebih dari sekadar janji. Tapi setiap kali ia berusaha menghapus kerinduan yang datang, bayangan Alya tetap ada di pikirannya. Setiap kali ia merasa lelah atau kesepian, suara Alya seakan terdengar di telinganya, mengingatkannya untuk tidak menyerah.

Hari-hari terus berlalu, dan meskipun mereka berdua saling berusaha untuk tetap terhubung, kesulitan dan jarak mulai menciptakan celah di antara mereka. Komunikasi yang dulunya lancar kini mulai terganggu oleh perbedaan waktu dan kesibukan masing-masing. Percakapan mereka mulai terasa kaku. Pesan-pesan yang dulu begitu penuh makna kini terasa seperti kewajiban. Mereka berdua mulai merasakan bagaimana jarak ini menuntut banyak pengorbanan.

Namun, di tengah semua keraguan dan kesulitan itu, satu hal tetap tak berubah: janji mereka di titik nol.

Alya masih memegang teguh janji itu, meskipun setiap hari terasa semakin berat. Dalam hatinya, ia berjanji untuk tidak menyerah, untuk tetap setia menunggu, meskipun ada perasaan takut yang mulai merayap. “Aku harus bertahan,” pikirnya, memejamkan mata sejenak dan membayangkan Rafi yang sedang tersenyum di ujung sana, di tempat yang mereka sebut titik nol.

Di suatu malam yang sunyi, Alya duduk di tempat tidur sambil menatap layar ponselnya. Ketika ia hendak menutup aplikasi pesan, sebuah notifikasi muncul. Itu dari Rafi.

“Alya, aku tahu ini tidak mudah. Aku tahu jarak ini mulai menguji kita. Tapi aku ingin kamu tahu, aku tidak akan menyerah. Kita akan bertemu di titik nol kita. Aku percaya itu. Jangan biarkan jarak membuat kita terpisah. Aku mencintaimu.”

Alya membaca pesan itu berulang kali. Hatinya terasa hangat, meskipun air mata sudah menggenang di matanya. “Titik nol.” Itu masih ada. Janji itu masih ada, dan ia harus terus menunggu.

Esoknya, Alya menulis surat untuk Rafi. Sebuah surat yang tidak pernah dikirim, tapi menjadi cara baginya untuk mengungkapkan perasaan yang terpendam. Ia menulis tentang semua perasaannya—tentang rindu, tentang keraguan, dan tentang harapan yang masih menyala di dalam hatinya.

“Rafi, aku tidak tahu apakah aku bisa menunggu sepertimu. Tapi aku berjanji, aku akan mencoba. Aku akan menunggu di titik nol kita, walaupun aku tidak tahu berapa lama lagi aku bisa bertahan. Aku hanya ingin kita bertemu, dan kita akan membuat kenangan baru bersama. Aku ingin kita bisa berbagi hidup lagi, seperti dulu.”

Setelah menulis surat itu, Alya menatap langit luar jendela kamarnya, mengingat janji yang mereka buat. Rafi mungkin tidak tahu betapa beratnya perasaan yang ia simpan, tetapi ia percaya bahwa Rafi merasakannya. Janji di titik nol adalah harapan yang mereka pegang, meskipun dunia seakan terus berputar dan membuat segala sesuatunya semakin tidak pasti.

Pagi berikutnya, ia membalik halaman kalender, menandai tanggal-tanggal yang akan datang, berharap suatu saat mereka benar-benar bisa bertemu di titik yang telah mereka tentukan. Titik nol tempat di mana semuanya akan mulai kembali. Mungkin suatu hari, saat mereka sudah siap, saat mereka sudah cukup kuat, mereka akan menjemput kembali cinta yang sempat terhalang oleh jarak.

Dan sampai saat itu datang, Alya akan tetap menunggu, di titik nol.*

Bab 3  Menanti di Titik Nol

Alya memandangi layar ponselnya dengan mata setengah terpejam, seolah mencoba mencari kejelasan dalam pesan-pesan yang tersisa. Semua percakapan di antara mereka hanya terhenti di titik yang sama harapan yang tak tersampaikan. Pesan terakhir yang dikirim Rafi beberapa hari lalu masih tertera jelas di layar ponselnya.

“Aku akan datang. Tunggu aku di titik nol, Alya. Aku tidak akan pernah lupa janji kita.”

Kalimat itu kembali berputar di kepalanya, berulang kali, seolah-olah waktu yang terbuang hanya untuk menunggu pertemuan yang belum terjadi. Waktu yang menunggu itu yang selalu menjadi musuh dalam hubungan jarak jauh mereka. Terkadang, waktu terasa begitu lama, seperti menunggu musim berganti, dan terkadang terasa begitu singkat, seperti sekejap ketika kita tak bisa lagi mengulangnya.

Alya meletakkan ponselnya di atas meja, lalu berjalan ke jendela kamar. Di luar, kota Jakarta terlihat ramai seperti biasa, dengan mobil-mobil yang melintas, suara klakson yang bersahutan, dan orang-orang yang hilir mudik. Semua terasa hidup, namun hatinya terasa kosong. Kehidupan sepertinya terus bergerak maju, tanpa menunggu siapa pun. Begitu banyak hal yang sudah terjadi, namun masih ada satu hal yang belum ia pahami: pertemuan ini. Apakah mereka benar-benar siap? Apakah janji yang mereka buat dulu masih relevan sekarang, ketika jarak dan waktu telah menguji segalanya?

Alya menarik napas panjang, kemudian kembali duduk di tepi tempat tidurnya. Pandangannya tertuju pada kalender dinding, dan di sana, tanda tanggal yang ia tandai dengan lingkaran merah itu semakin mendekat. Tanggal yang sudah ia tunggu selama berbulan-bulan. Setiap detiknya, setiap menitnya, seolah-olah ada beban yang semakin berat menumpuk di pundaknya. Rafi akan datang, ia tahu itu. Namun, bagaimana jika pertemuan itu malah mengungkapkan kenyataan pahit yang selama ini ia coba tutupi?

Sudah terlalu lama mereka berdua terpisah. Sebelumnya, mereka berbicara tentang masa depan dengan begitu mudah—tentang hidup bersama, tentang rencana-rencana yang penuh harapan, tentang bagaimana mereka akan mengatasi setiap rintangan yang ada di depan mereka. Namun, di tengah perjalanan, kenyataan selalu datang dengan cara yang tak terduga. Rafi bekerja di luar negeri, dan Alya harus tetap tinggal di Jakarta untuk mengejar impian kariernya. Mereka berjanji untuk tetap berkomunikasi, untuk tetap menjaga hubungan ini meski dunia di antara mereka begitu luas dan terpisah oleh jarak. Tapi, apakah jarak ini telah mengubah segalanya?

“Apakah aku bisa kembali ke pelukannya?” pikir Alya dalam hati.

Tak terasa, sudah hampir setengah tahun sejak mereka terakhir bertemu langsung. Hanya percakapan lewat layar ponsel, suara-suara yang ditransmisikan lewat internet, dan kata-kata yang semakin terasa dingin seiring berjalannya waktu. Hari-hari berlalu, dan semakin lama, semakin banyak hal yang tidak bisa mereka ungkapkan. Rindu yang menyakitkan, kesepian yang terus membayangi, dan keraguan yang perlahan-lahan merayap masuk ke dalam setiap percakapan. Bahkan, janji mereka di titik nol pun mulai memudar, seolah-olah sulit untuk dipercayai lagi.

Alya menggenggam erat cangkir teh hangat yang ada di tangan kanannya. Uap yang keluar dari cangkir itu menghangatkan wajahnya yang mulai terasa dingin. Ia merindukan kehangatan itu. Keberadaan Rafi yang selalu membuatnya merasa aman. Namun, apakah perasaan itu masih ada? Ataukah mereka berdua sudah berubah, bahkan sebelum kesempatan untuk bertemu itu datang?

Di luar jendela, hujan mulai turun perlahan. Suara rintikannya menyatu dengan detak jantungnya yang semakin kencang. Hujan, bagi Alya, selalu membawa perasaan yang aneh. Terkadang ia merasa hujan itu mencuci segala keraguan yang ada, namun terkadang juga hujan itu mengingatkan pada kenangan-kenangan yang harus ia tinggalkan. Hujan itu adalah simbol dari perasaan yang tertahan, dan sekarang, dengan pertemuan yang menanti, hujan seolah menjadi lambang dari semua yang ingin ia ungkapkan. Semua yang selama ini ia pendam.

“Rafi, apakah kau masih sama?” gumam Alya, suaranya pelan namun jelas.

Alya menarik napas dalam-dalam dan memejamkan mata. Ia tahu, menunggu adalah ujian terbesar dalam hubungan ini. Tetapi, ada sesuatu yang lebih menakutkan dari itu takut akan kenyataan yang bisa terjadi setelah mereka bertemu. Bagaimana jika perasaan itu sudah tidak ada lagi? Bagaimana jika mereka berdua sudah berubah, dan tidak ada lagi ruang untuk cinta seperti dulu?

Ponselnya bergetar, dan Alya segera meraihnya. Pesan dari Rafi.

“Aku sudah di bandara, Alya. Tunggu aku di titik nol. Hanya tinggal beberapa jam lagi.”

Mata Alya terasa panas saat membaca pesan itu. Entah mengapa, kata-kata yang sederhana itu terasa begitu berat. Rafi sudah di bandara. Perjalanan itu hampir selesai. Mereka hampir bertemu. Namun, perasaan Alya campur aduk. Ia merasa seperti seseorang yang terjebak dalam antara dua dunia. Dunia di mana mereka dulu sangat bahagia, dan dunia sekarang yang penuh dengan keraguan dan ketakutan akan perubahan.

Alya menyandarkan kepala di sandaran kursi. Ia menutup matanya dan mencoba menenangkan diri. Semua perasaan yang bercampur aduk ini harus diselesaikan dengan cara yang benar. Ia tidak bisa membiarkan rindu itu menghancurkan segalanya. Ia harus kuat. Jika hubungan ini masih punya kesempatan, ia harus memberi segalanya.

Beberapa jam kemudian, waktu yang terasa begitu lambat akhirnya bergerak maju. Saat ia memandang jam di tangannya, hati Alya mulai berdegup kencang. Ia sudah siap. Tidak ada lagi keraguan yang bisa menghalangi langkahnya. Ia tahu, setelah berbulan-bulan menunggu, saatnya untuk bertemu di titik nol telah tiba. Waktu tidak bisa diputar kembali. Semua yang telah terjadi akan tetap menjadi bagian dari mereka. Tapi pertemuan ini pertemuan yang selama ini mereka harapkan akan menjadi titik balik, apakah mereka akan melangkah bersama ke depan, atau apakah semuanya akan berakhir di sini.

Alya berdiri dan menatap cermin. Ia melihat refleksi dirinya yang tampak lebih tegar, meskipun hatinya masih berdebar kencang. “Aku akan menunggumu, Rafi,” bisiknya dalam hati, menguatkan diri.

Langkah Alya terasa mantap ketika ia melangkah keluar dari rumah menuju tempat yang telah mereka sepakati. Titik nol. Tempat yang akan menjadi saksi pertemuan mereka, dan mungkin, tempat untuk memulai babak baru dalam hidup mereka. Tak peduli apapun yang akan terjadi, di titik ini, Alya memutuskan untuk tetap menanti, untuk bertemu, untuk menjalani perjalanan bersama—meski semuanya tidak lagi seindah dulu, dan meskipun jalan ini penuh dengan ketidakpastian.*

Bab 4  Rindu yang Membebani

Alya menatap ponselnya dengan mata yang sudah lelah. Pesan dari Rafi masih belum dibalas, dan jari-jarinya terhenti di atas layar, seolah berusaha mencari kata-kata yang tepat. Sudah berjam-jam ia menunggu kabar darinya, berharap bahwa hari ini mereka bisa berbicara lebih lama, lebih dekat, namun kenyataan selalu datang dengan cara yang berbeda. Sejak Rafi berangkat, semakin hari semakin sulit bagi Alya untuk merasakan kedekatan itu. Meskipun mereka tetap berbicara setiap hari, jarak yang semakin membentang seakan membuat segala sesuatu terasa jauh lebih berat.

Dua bulan sudah berlalu sejak mereka berpisah. Dua bulan di mana jarak yang dulu terasa bisa diatasi oleh kata-kata manis dan panggilan telepon, kini berubah menjadi beban yang semakin berat untuk dipikul. Rindu itu membebani Alya, menghimpit dadanya setiap saat, menyisakan ruang kosong yang sulit diisi dengan apa pun. Kadang ia merasa bahwa perasaan ini terlalu besar untuk dibiarkan tumbuh, tetapi di lain waktu, ia merasa bahwa itulah satu-satunya yang masih bisa ia pegang—rindu yang tak pernah terobati.

Hari ini, seharusnya menjadi hari yang penuh kebahagiaan. Pagi tadi, Rafi mengirimkan pesan singkat yang berisi kata-kata manis, namun setelah itu, tidak ada lagi kabar yang datang. Alya tahu betul bahwa Rafi sibuk dengan pekerjaannya, tetapi tidak bisa dipungkiri, ada perasaan kesepian yang menyelimutinya. Ia merindukan suara Rafi, tawa mereka yang dulu selalu mewarnai hari-hari mereka, dan pelukan yang selalu membuatnya merasa aman.

“Aku rindu kamu, Raf,” gumam Alya pelan, meskipun hanya angin yang mendengar. Ia berbaring di tempat tidur, menggulung selimut ke tubuhnya, dan memejamkan mata, mencoba membayangkan sosok Rafi yang selalu ada di sisinya. Tapi yang ada hanya bayangan samar, begitu jauh.

Seiring berjalannya waktu, rindu itu semakin mengikis kekuatannya. Rafi tidak selalu bisa ada ketika ia membutuhkan, dan hal itu perlahan-lahan menambah rasa frustasi. Setiap pesan yang terlambat, setiap panggilan yang tidak terjawab, semua itu menambah beban yang semakin berat di hati Alya. Meskipun ia tahu bahwa Rafi tidak bisa selalu ada untuknya, perasaan itu tetap saja datang—rindu yang tak terjawab, kerinduan yang terus menggerogoti.

Di sisi lain, Rafi juga merasakan hal yang sama. Meskipun ia berada jauh di luar negeri, hatinya selalu terikat dengan Alya. Ia tahu bahwa hidupnya kini penuh dengan kesibukan dan tantangan baru, tetapi ia juga tidak bisa mengabaikan rasa rindunya yang semakin dalam. Setiap kali ia menatap layar ponselnya, ia merasa cemas dan khawatir apakah Alya merasa terlupakan, apakah ia merasa kesepian.

Namun, ada kalanya Rafi merasa tidak tahu harus berbuat apa. Keterbatasan waktu, pekerjaan yang menumpuk, dan dunia yang begitu berbeda dengan yang ia tinggalkan, membuatnya merasa terasing. Ia tahu bahwa Alya juga berjuang, tetapi ia tidak tahu bagaimana cara membuatnya merasa dekat lagi. Setiap kali ia berniat untuk menelepon, ada rasa takut yang muncul—takut bahwa percakapan mereka akan terasa canggung, takut bahwa perasaan mereka akan semakin jauh, meskipun sebenarnya mereka berdua sama-sama merindukan satu sama lain.

Hari itu, Rafi menulis pesan singkat kepada Alya, berusaha untuk mengungkapkan apa yang ia rasakan. “Alya, maaf jika aku tidak bisa selalu ada. Aku tahu kamu merasa kesepian, dan aku benci bahwa aku tidak bisa menghiburmu. Tapi percayalah, aku merindukanmu lebih dari apa pun.”

Alya membaca pesan itu, matanya berkilau dengan air mata yang hampir jatuh. Ia membalasnya dengan cepat, namun kalimat yang ia ketik terasa begitu sulit. “Aku rindu kamu, Raf. Tapi aku juga lelah. Setiap hari semakin berat. Aku merasa seakan kita semakin jauh.”

Pesan itu menggantung di antara mereka. Rafi membacanya beberapa kali, merasa terluka melihat betapa dalamnya perasaan yang Alya simpan. Ia tahu betul bahwa jarak bukan hanya menguji kekuatan mereka, tetapi juga membawa beban yang tak terucapkan. Rindu bukanlah sesuatu yang bisa diabaikan, apalagi ketika perasaan itu semakin menggerogoti, membebani setiap detik yang berlalu. Rafi tahu bahwa mereka harus bertahan, tetapi ia juga tahu bahwa untuk bisa bertahan, mereka harus menemukan cara untuk mengatasi beban ini.

Alya menatap layar ponselnya, matanya mulai kabur karena air mata. “Apa yang harus kita lakukan?” tanya Alya pada dirinya sendiri, berbisik pelan. “Bagaimana kita bisa bertahan?”

Rindu yang semakin membebani hati mereka bukanlah sesuatu yang bisa diatasi dengan mudah. Setiap kali Alya merasa lebih kuat, ada saat-saat di mana ia merasa begitu rapuh. Seakan rindu itu adalah bayangan gelap yang selalu mengikuti setiap langkahnya. Di setiap kesempatan yang ia punya, ia merasakan perasaan yang menyesakkan—keinginan untuk merasa dekat, untuk bisa saling mendengar dan merasakan kehadiran satu sama lain.

Namun, di saat yang sama, Alya juga tahu bahwa ini adalah bagian dari ujian besar mereka. Mereka tidak bisa hanya mengandalkan pesan-pesan singkat atau percakapan di telepon untuk menyembuhkan rasa rindu yang begitu dalam. Mereka harus menghadapi kenyataan bahwa cinta jarak jauh memerlukan lebih banyak keteguhan hati, kesabaran, dan kepercayaan.

Alya menarik napas dalam-dalam, lalu memejamkan mata sejenak, berusaha mengusir perasaan sesak di dadanya. “Aku akan bertahan,” gumamnya pada diri sendiri. “Aku akan bertahan, meskipun ini sulit.”

Di luar jendela, langit malam mulai temaram. Lampu-lampu jalan bersinar redup, dan angin malam menyapu lembut. Rindu itu mungkin terasa seperti beban yang berat, tetapi Alya tahu bahwa dengan setiap rindu yang datang, ada harapan yang tak pernah pudar. Rafi adalah bagian dari hidupnya, dan meskipun jarak memisahkan mereka, cinta itu akan tetap ada—menunggu untuk bertemu di suatu titik, di saat yang tepat.

Seperti halnya perasaan yang terus tumbuh meskipun tertahan, rindu itu pun tak akan pernah menghilang. Tapi untuk saat ini, Alya tahu bahwa ia harus melangkah maju, meskipun perasaan itu semakin membebani.*

Bab 5  Titik Nol yang Memudar

Alya duduk di meja kerjanya, menatap layar komputer dengan pandangan kosong. Ada begitu banyak pekerjaan yang harus diselesaikan, tapi pikirannya terjebak di tempat lain. Di tempat yang jauh, di ujung dunia yang tak bisa ia jangkau. Rafi.

Pagi tadi, ia baru saja menerima pesan singkat dari Rafi. Tidak ada yang salah dengan pesan itu—hanya sekedar sapaan ringan dan ucapan semangat untuk hari yang baru. Tapi entah kenapa, setelah membaca pesan itu, Alya merasa lebih kosong daripada sebelumnya. Ada sesuatu yang hilang. Sesuatu yang dulu selalu ada di antara mereka, yang menghubungkan mereka meskipun terpisah ribuan kilometer. Janji mereka untuk bertemu di titik nol.

Titik nol. Itu adalah kata-kata yang dulu selalu membuat hati Alya berdebar. Tempat yang mereka pilih sebagai simbol dari harapan dan cinta yang tak lekang oleh waktu. Titik di mana mereka akan bertemu kembali, meskipun terpisah oleh jarak dan waktu. Titik itu seakan menjadi pelabuhan terakhir bagi cinta mereka yang terus menanti.

Namun belakangan ini, titik nol itu terasa semakin memudar. Janji yang dulu begitu jelas kini terasa samar. Semakin lama, semakin sulit untuk memvisualisasikan tempat itu, apalagi untuk percaya bahwa mereka akan benar-benar sampai di sana suatu hari nanti.

Alya menghapus pesan yang baru saja ia terima dari Rafi dan menatap kalender di dindingnya. Bulan demi bulan berlalu, dan waktu seakan berjalan begitu cepat. Tetapi jarak di antara mereka tidak kunjung berkurang. Malahan, semakin hari, semakin terasa semakin jauh.

Pikiran Alya mulai teralihkan ke percakapan yang terakhir kali ia lakukan dengan Rafi—sebuah percakapan yang terasa begitu berbeda. Biasanya, mereka akan bercanda, berbicara tentang rencana masa depan, dan mengingat kenangan indah yang mereka buat bersama. Tetapi kini, percakapan mereka sering kali terasa hampa. Seperti dua orang asing yang saling mencoba berbicara, namun kata-kata yang diucapkan tidak bisa lagi mengisi kekosongan yang ada.

“Aku merindukanmu, Alya.” Begitu Rafi mengatakan itu beberapa hari yang lalu, suara yang dulunya begitu menyenangkan kini terdengar seperti sebuah kewajiban. Seperti kata-kata yang diulang terus menerus, tanpa benar-benar berarti apa-apa.

Alya tahu bahwa Rafi sibuk dengan pekerjaannya di luar negeri. Ia tahu bahwa segala sesuatunya tidak mudah untuk mereka berdua. Namun, semakin lama, semakin sulit untuk mempertahankan semangat itu. Janji di titik nol yang dulu menyala terang kini seperti bintang yang mulai redup. Meskipun Alya masih berusaha untuk percaya, ada rasa keraguan yang semakin besar menggerogoti hati kecilnya.

“Titik nol itu… apakah itu masih ada?” gumamnya pelan. Alya merasakan ada semacam kekosongan yang besar, bukan hanya dalam hidupnya, tapi juga dalam hubungan mereka. Rafi dan dirinya dulu selalu berbicara tentang impian mereka—bahwa suatu saat, mereka akan kembali bersama. Mereka akan bertemu di titik nol, di tempat yang mereka buat sendiri. Tapi sekarang, impian itu mulai terasa seperti ilusi. Semakin mereka berbicara tentang masa depan, semakin banyak hal yang menjadi penghalang.

Setiap percakapan terasa seperti janji yang belum bisa ditepati. Mereka berbicara tentang waktu yang akan datang, tentang bagaimana segalanya akan berubah. Namun, semakin lama, Alya merasa bahwa waktu itu semakin jauh, semakin tak terjangkau. Rafi kini tidak lagi berbicara tentang pertemuan mereka dengan semangat yang sama. Ia sibuk dengan pekerjaannya, dengan kehidupan barunya yang semakin menyita perhatian.

“Apakah ini akan bertahan?” tanya Alya pada dirinya sendiri, merasakan keraguan yang begitu dalam. Apa yang dulu terasa jelas dan pasti kini terasa kabur, seperti awan yang menutupi matahari. Rafi masih ada di sana, namun di mana hati mereka sebenarnya?

Alya memutuskan untuk mengirim pesan kepada Rafi. Ia tahu ini mungkin tidak akan menyelesaikan apa-apa, tetapi setidaknya ia ingin menyampaikan apa yang ada di pikirannya.

“Rafi, aku ingin kita bicara serius.” Begitu Alya mengetikkan kata-kata itu, jantungnya berdebar. Seiring pesan itu terkirim, ia merasa seolah membuka kotak pandora, membawa keraguan dan ketakutan yang ia coba sembunyikan.

Beberapa jam kemudian, Rafi membalas pesan itu, namun tidak dengan percakapan yang diharapkan Alya. “Maaf, aku sedang sangat sibuk dengan pekerjaan. Kita bicarakan nanti, oke?”

Itu saja. Tidak ada lagi kata-kata manis, tidak ada lagi janji-janji untuk bertemu. Hanya kalimat pendek yang terasa semakin membekukan perasaannya. Alya meletakkan ponselnya di meja dengan tangan yang gemetar. Ia tahu Rafi sibuk, tetapi perasaan kosong itu semakin kuat. Setiap percakapan yang tertunda, setiap janji yang tidak ditepati, semakin mengikis harapan yang dulunya sangat besar.

Alya merasa ada sesuatu yang hilang. Ada rasa kekosongan yang tak bisa ia jelaskan. Titik nol, yang dulu menjadi tempat penuh harapan, kini terasa semakin jauh. Seperti cahaya yang mulai meredup, hilang di balik awan.

Beberapa hari kemudian, saat Alya sedang duduk di balkon apartemennya, ia menatap langit senja yang merah jambu, berharap menemukan jawaban dari keraguannya. Angin sepoi-sepoi menerpa wajahnya, membawa sensasi hangat yang mengingatkannya pada kenangan bersama Rafi. Dulu, mereka sering duduk di tempat ini, berbicara tentang masa depan, tentang rencana mereka untuk bersama. Tapi kini, segala sesuatu terasa begitu jauh.

“Aku masih menunggu, Rafi. Tapi apakah kamu masih ingat?” Alya bertanya pada diri sendiri. Pertanyaan yang tak terjawab, tapi yang selalu menghantui setiap detik kehidupannya.

Titik nol yang dulu menjadi lambang kekuatan dan harapan kini terasa memudar, seperti bayangan yang hilang ditelan waktu. Meskipun ia berusaha keras untuk menjaga harapan itu, perasaan itu mulai semakin sulit dipegang. Apakah ada kemungkinan mereka bisa kembali seperti dulu? Atau, apakah jarak ini akan terus menciptakan celah yang semakin besar di antara mereka?

Alya menarik napas panjang dan memejamkan mata, merasakan rindu yang semakin dalam. Titik nol itu masih ada, namun kini terasa seperti tempat yang semakin jauh dan terlupakan.*

Bab 6  Perpisahan Sementara

Alya duduk diam di ruang tamunya, mata terfokus pada ponsel di tangan, namun pikirannya jauh melayang ke tempat yang jauh. Sebuah pesan singkat dari Rafi mengisi layar ponselnya, namun rasa yang datang setelah membaca pesan itu jauh lebih besar daripada kata-kata yang tertulis di dalamnya.

“Alya, aku butuh waktu. Aku merasa kita harus memberi ruang untuk diri kita masing-masing.”

Kalimat itu seakan menghancurkan segala hal yang telah mereka bangun bersama. Mereka berdua sudah lama merasa terjebak dalam hubungan jarak jauh ini, dan meskipun mereka sudah mencoba untuk mempertahankannya, kini terasa seperti segala sesuatu mulai runtuh perlahan. Alya menatap layar ponselnya lebih lama, seolah berharap ada kalimat lain yang menyusul—sesuatu yang bisa menjelaskan lebih banyak, sesuatu yang bisa memberinya harapan, bahwa ini bukan akhir dari segalanya. Namun, tidak ada. Hanya kalimat pendek yang menyatakan bahwa Rafi butuh waktu untuk dirinya sendiri.

“Aku butuh waktu…” kalimat itu berulang-ulang di dalam kepala Alya, seperti mantra yang tak bisa ia hindari. Rafi, yang dulu selalu ada, yang dulu selalu memberikan rasa aman dan kebahagiaan, kini meminta ruang. Dan Alya, yang selalu percaya bahwa cinta mereka akan mengatasi segala rintangan, merasa hatinya retak perlahan.

Ia mencoba untuk tetap tenang, mencoba untuk mencerna kata-kata itu, namun semakin lama, perasaan itu semakin sulit untuk ia tahan. Apakah ini benar-benar akhir? Apakah jarak ini, yang sudah cukup panjang, kini membuat mereka tak bisa lagi melangkah bersama? Alya merasa seperti kehilangan pegangan. Semua rencana yang dulu mereka buat, semua janji yang mereka ucapkan di tengah malam, semua mimpi mereka tentang masa depan, seakan runtuh dalam sekejap.

Rafi memintanya untuk memberi ruang. Tapi apa itu berarti? Perpisahan? Atau hanya jeda sementara dalam hubungan mereka? Rasa bingung itu menghantui Alya sepanjang hari. Ia mencoba mencari jawaban di dalam dirinya, namun hanya kekosongan yang ia temukan. Tidak ada kata-kata yang bisa menjelaskan mengapa ini terjadi, dan tidak ada cara untuk menghindari perasaan pahit yang kini melingkupi dirinya.

Malam itu, Alya memutuskan untuk menulis sebuah pesan balasan. Tanganya gemetar ketika ia mengetikkan kata-kata itu. “Rafi, aku mengerti jika kamu merasa perlu waktu. Tapi aku tidak tahu apakah aku bisa menunggu, atau apakah aku bisa terus bertahan dengan perasaan ini. Aku hanya ingin kita bisa berbicara, bisa menyelesaikan ini. Apa yang sebenarnya terjadi?”

Pesan itu terasa begitu berat, seperti sebuah beban yang ia letakkan di dunia maya, berharap Rafi bisa merasakannya. Ia tahu tidak ada jawaban instan, dan mungkin jawaban itu tidak akan datang secepat yang ia inginkan, tapi perasaan itu tak bisa ia pendam lebih lama. Rindu yang ia rasakan semakin menghimpit, dan saat ini, ia hanya ingin tahu apa yang ada di hati Rafi.

Sejam berlalu, namun tidak ada balasan. Alya menatap layar ponselnya, menunggu dengan cemas, tetapi hatinya sudah lelah. Ia tahu, di dalam hati, bahwa ini mungkin bukanlah perpisahan selamanya. Namun, perpisahan sementara ini, yang datang tanpa peringatan, terasa begitu sulit untuk diterima. Ini bukan hanya tentang jarak yang memisahkan mereka, tetapi juga tentang ketidakpastian yang muncul ketika satu-satunya yang pernah mereka yakini mulai goyah.

Alya memutuskan untuk tidur. Mungkin tidur bisa memberinya sedikit pelarian dari kenyataan ini. Namun, meskipun matanya terpejam, pikirannya tidak bisa berhenti berputar. Semua kenangan bersama Rafi muncul dalam benaknya—senyuman pertama mereka, percakapan panjang hingga tengah malam, perjalanan-perjalanan yang mereka rencanakan untuk masa depan. Semua itu terasa begitu nyata, seolah-olah baru kemarin mereka masih berbicara tentang bagaimana mereka akan mengatasi setiap rintangan yang ada.

Namun sekarang, semuanya terasa begitu rapuh.

Keputusan Rafi untuk memberi ruang benar-benar menghancurkan segala harapan yang selama ini ia pegang. Selama ini, mereka selalu berbicara tentang bagaimana mereka akan menghadapinya bersama, bagaimana cinta mereka akan mengatasi segala halangan. Tetapi sekarang, perasaan itu terasa tidak cukup lagi. Rafi butuh waktu, dan Alya tidak tahu harus bagaimana. Apa yang seharusnya ia lakukan sekarang?

Pagi datang dengan lambat, dan Alya merasa kelelahan. Ia berusaha untuk menjalani hari seperti biasa, mencoba untuk menutup perasaan yang terus mengguncang hatinya. Namun, setiap kali ia memikirkan Rafi, perasaan itu kembali datang. Rindu, kekhawatiran, dan ketidakpastian. Apa yang harus ia lakukan jika mereka tidak bisa bertemu lagi? Apa yang harus ia lakukan jika ini benar-benar berakhir?

Hari-hari berlalu, dan Alya mulai merasa ada jarak yang lebih dalam daripada sekadar fisik antara mereka. Mereka tetap berkomunikasi sesekali, namun percakapan itu terasa semakin kering dan terbatas. Rafi seakan menjauh, dan Alya merasa semakin terasing. Rindu yang dulu bisa diobati dengan suara dan kata-kata manis kini semakin sulit untuk ditahan. Waktu berjalan, dan jarak yang dulu terasa bisa diatasi dengan sedikit usaha kini menjadi sesuatu yang tak bisa lagi mereka abaikan.

Titik nol, tempat yang dulu menjadi simbol janji mereka, kini terasa semakin jauh. Alya bertanya-tanya, apakah mereka masih akan sampai di sana suatu hari nanti? Atau apakah titik nol itu hanya sebuah kenangan, sebuah mimpi yang tak pernah terwujud?

Ia duduk di balkon, menatap langit yang gelap. Hembusan angin malam membawa rasa kesendirian yang semakin dalam. Meskipun Rafi berkata bahwa ia hanya membutuhkan waktu, Alya tidak bisa menahan perasaan bahwa mungkin, perpisahan sementara ini adalah sesuatu yang lebih besar daripada yang ia bayangkan.

Namun, dalam diam, Alya tahu satu hal: ia tidak bisa memaksakan waktu. Ia tidak bisa memaksa Rafi untuk kembali ke tempat yang mereka tinggalkan. Mungkin, perpisahan ini hanya sebuah jeda—sebuah waktu untuk masing-masing dari mereka menemukan kembali siapa diri mereka. Tetapi, apakah perpisahan sementara ini akan membawa mereka kembali lebih kuat, atau justru semakin jauh?

Itulah yang kini menjadi pertanyaan besar di hati Alya. Apapun jawabannya, ia harus tetap melangkah, meskipun langkah itu terasa lebih berat dari sebelumnya.*

Bab 7  Mencari Diri Sendiri

Alya menatap cermin di depan kamar hotel kecil yang ia sewa. Cermin itu tidak terlalu besar, tapi cukup untuk membuatnya melihat dengan jelas setiap detail wajahnya. Ada garis-garis halus di bawah matanya yang semakin terlihat, kulit yang tampaknya lebih pucat dari biasanya, dan bibir yang lebih jarang tersenyum. Ia merasa jauh berbeda dari gadis yang dulu begitu penuh semangat, penuh harapan, dan percaya bahwa semuanya akan baik-baik saja. Kini, setelah berbulan-bulan menjalani hubungan jarak jauh yang penuh keraguan, ia merasa seperti seseorang yang hilang.

“Apa yang terjadi padaku?” tanyanya pada diri sendiri dengan suara hampir tak terdengar. Selama ini, hidupnya hanya berputar di sekitar Rafi. Meskipun ia tahu betul bahwa dirinya harus tetap mandiri, tak bisa dipungkiri bahwa Rafi adalah bagian dari identitasnya. Tetapi, sekarang? Perasaan itu mulai meredup. Tidak hanya hubungan mereka, tetapi juga rasa cinta yang ia miliki untuk dirinya sendiri. Bagaimana bisa ia terus berharap pada sesuatu yang tak pasti, ketika dirinya sendiri mulai lupa apa yang ia inginkan?

Ia menarik napas panjang dan berbalik dari cermin, berjalan ke jendela. Langit sore di luar sangat indah, berwarna jingga dengan awan yang perlahan bergerak. Alya memutuskan untuk keluar dan berjalan-jalan di sekitar kota. Rasanya sudah lama sekali ia tidak hanya berjalan tanpa tujuan, tanpa melibatkan pikirannya dalam hal-hal yang berat. Mungkin, dengan berjalan kaki, ia bisa menemukan sedikit kedamaian.

Di sepanjang jalan, Alya terjebak dalam pikirannya sendiri. Ia mengenakan hoodie dan kacamata hitam, berharap tidak ada orang yang mengenalinya. Ia ingin merasa anonim, ingin bisa menyatu dengan dunia tanpa beban. Tanpa sadar, kakinya membawa langkahnya ke taman kota. Di sana, udara segar dan pepohonan hijau memberikan sedikit kenyamanan.

Alya duduk di bangku taman yang menghadap ke danau kecil. Ia memandangi air yang tenang, hanya sesekali digoyang oleh angin yang datang perlahan. Begitu banyak pertanyaan yang mengguncang pikirannya. Apa yang sebenarnya ia cari dalam hidup? Apa yang membuatnya merasa hidup, selain Rafi? Berbulan-bulan ia berusaha menjaga hubungan yang jauh dan penuh keraguan ini, tapi ia lupa untuk merawat dirinya sendiri. Seperti danau itu, ia merasa ada sesuatu yang tidak tenang dalam dirinya. Ia tidak tahu lagi apa yang membuatnya bahagia. Apa yang ia inginkan dari kehidupan ini?

Perlahan, matanya mulai terasa berat. Alya teringat kembali pada saat-saat bahagia bersama Rafi—waktu mereka pertama kali bertemu, saat mereka tertawa bersama tanpa beban, merencanakan masa depan mereka yang penuh dengan impian. Namun, semakin lama hubungan itu berlangsung, semakin banyak ketidakpastian yang muncul. Rafi dengan pekerjaan dan dunia barunya, sementara Alya terjebak dalam rutinitas yang semakin membosankan dan hampa. Mereka berbicara tentang masa depan, tetapi tidak ada tindakan nyata untuk mengarah ke sana.

Alya merasa seperti ia sudah terlalu lama menunggu. Menunggu untuk kembali ke titik nol yang dulu mereka impikan. Menunggu untuk bisa bertemu di tempat yang sama, namun waktu terasa semakin panjang, semakin tidak pasti. Kini, ia sadar bahwa yang ia tunggu bukan hanya pertemuan dengan Rafi, tetapi juga pertemuan dengan dirinya sendiri. Ia ingin menemukan siapa dirinya sebenarnya, tanpa harus bergantung pada siapa pun, tanpa harus menunggu sesuatu yang belum pasti.

“Aku harus mencari diriku sendiri.” Ia berbicara pelan, seolah kata-kata itu baru benar-benar terdengar. Alya menatap cakrawala di depan, merenung tentang apa yang harus ia lakukan. Mungkin inilah waktu yang tepat untuk berhenti sejenak dari segala hal yang mengikat dirinya. Mungkin inilah waktu yang tepat untuk menyembuhkan diri, mencari tahu apa yang benar-benar ia inginkan.

Dengan perlahan, ia bangkit dari bangku dan melangkah menjauh dari danau, mengambil langkah pertama untuk meraih kebebasan yang sudah lama ia rindukan. Tidak ada yang bisa menjamin apa yang akan terjadi dalam hidupnya. Tidak ada yang tahu pasti apa yang akan datang di masa depan. Namun, yang pasti, ia harus mulai melangkah dengan kaki sendiri, tanpa bayang-bayang orang lain yang selalu ada dalam pikirannya.

Beberapa hari ke depan, Alya memutuskan untuk menjelajahi kota kecil ini lebih dalam. Ia mengunjungi berbagai tempat yang belum pernah ia datangi sebelumnya—taman, kafe, bahkan toko buku kecil yang selalu ia lewatkan. Tanpa tujuan khusus, ia hanya ingin merasakan kedamaian dalam dirinya, tanpa ada tekanan atau ekspektasi dari orang lain. Ia ingin merasa bebas untuk menjadi dirinya sendiri, tanpa harus berusaha memenuhi harapan orang lain.

Suatu pagi, Alya pergi ke pantai. Ombak yang berdebur dan pasir yang hangat di bawah kakinya membuatnya merasa sedikit lebih hidup. Ia duduk di pasir, membiarkan angin menyapu wajahnya, dan menutup matanya. Selama ini, ia merasa terlalu sibuk untuk berhenti dan menikmati hidup. Tetapi kini, dalam kesendirian ini, ia merasa menemukan sesuatu yang hilang dalam dirinya. Ia merasa lebih ringan. Tidak ada lagi keraguan yang menghantui pikirannya. Ia hanya ada di sini, di momen ini, merasakan segala sesuatu yang ada di sekitarnya.

Hari-hari berlalu, dan meskipun ia masih merasa rindu kepada Rafi, Alya mulai menemukan keseimbangan dalam dirinya. Ia sadar bahwa dirinya tidak bisa sepenuhnya bergantung pada orang lain untuk merasa lengkap. Cinta itu penting, tetapi ia harus belajar untuk mencintai dirinya sendiri terlebih dahulu. Bagaimana bisa ia mengharapkan seseorang untuk mencintainya dengan sepenuh hati jika ia sendiri tidak mencintai diri sendiri dengan cara yang sama?

Alya tahu bahwa perjalanan ini bukanlah perjalanan yang mudah. Mencari diri sendiri adalah proses yang panjang dan penuh dengan rintangan. Tapi, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa ada secercah harapan. Mungkin Rafi dan dirinya akan bertemu kembali di titik nol yang dulu mereka impikan. Atau mungkin, jalan hidup mereka akan membawa mereka ke arah yang berbeda. Tetapi satu hal yang pasti: Alya sekarang tahu, bahwa ia tidak perlu menunggu siapa pun untuk merasa utuh. Ia sudah cukup, bahkan ketika ia merasa sendiri.

Di ujung perjalanannya kali ini, Alya tidak hanya menemukan kedamaian dalam diri, tetapi juga kekuatan untuk melangkah ke depan—terlepas dari apapun yang terjadi dengan Rafi atau hubungan mereka. Ia adalah dirinya sendiri, dan itu sudah cukup.

Dan meskipun jarak masih ada, dan masa depan masih penuh ketidakpastian, mereka tahu satu hal mereka akan terus berjuang untuk tetap bersama, melangkah maju, satu langkah kecil demi satu langkah besar.***

————–THE END———–

 

 

Source: ASIFA HIDAYATI
Tags: #cintajarakjauh#perpisahan#RinduYangTertunda#TitikNolMenanti
Previous Post

CINTA YANG TERHALANG LAUT

Next Post

Ketika Hati Berbicara Pertama Kali

Related Posts

JIKA RINDU BISA TERBANG

JIKA RINDU BISA TERBANG

May 11, 2025
“MENJAGA CINTA DI ANTARA KILOMETER”

“MENJAGA CINTA DI ANTARA KILOMETER”

May 10, 2025
SELAMANYA MILIKMU: LANGIT YANG SAMA, CINTA YANG BERBEDA

SELAMANYA MILIKMU: LANGIT YANG SAMA, CINTA YANG BERBEDA

May 9, 2025
KISAH DI BALIK LAYAR

KISAH DI BALIK LAYAR

May 8, 2025
“JARAK MENGUJI, HATI BERTAHAN”

“JARAK MENGUJI, HATI BERTAHAN”

May 7, 2025
RINDU YANG TAK TERUCAP

RINDU YANG TAK TERUCAP

May 6, 2025
Next Post
Ketika Hati Berbicara Pertama Kali

Ketika Hati Berbicara Pertama Kali

DUA HATI SATU ARAH

DUA HATI SATU ARAH

KISAH MANIS DI MASA LALU

KISAH MANIS DI MASA LALU

Top Stories

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

May 17, 2025
KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

May 16, 2025
KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

May 15, 2025

Tentang Kisah Cinta

Kami menyajikan kumpulan novel dan cerpen cinta yang menggambarkan berbagai sisi cinta, dari yang manis hingga yang pahit, dari yang bahagia hingga yang menyayat hati

Connect on Social

© 2024 Kisahcinta.id

No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta

© 2024 Kisahcinta.id