Daftar Isi
Bab 1: Jarak yang Tak Terjangkau
Cinta itu selalu datang dengan cara yang tak terduga. Begitu pula dengan hubungan Nisa dan Arif. Meskipun mereka tak pernah bertemu langsung di dunia nyata, jarak yang tak terjangkau tak pernah menjadi halangan untuk mereka saling mencintai. Hubungan mereka dimulai lewat dunia maya, melalui aplikasi pesan yang mempertemukan dua hati yang berbeda dunia. Arif, pria asal Surabaya, dan Nisa, wanita dari kota kecil di Sumatera, telah lama saling mengenal lewat pertemanan di dunia maya. Mereka bertukar pesan tentang banyak hal; musik, film, bahkan impian yang tampaknya tak mungkin terwujud.
Awalnya, semuanya terasa ringan. Mereka bercerita tentang kehidupan masing-masing, tentang apa yang mereka impikan, dan terkadang, tentang hal-hal kecil yang tidak pernah bisa dibicarakan dengan orang lain. Namun, seiring berjalannya waktu, Nisa mulai merasakan sesuatu yang lebih dari sekadar pertemanan. Begitu pula dengan Arif. Ada getaran yang mengalir dalam setiap pesan yang mereka tukar, dalam setiap senyum yang mereka bagikan lewat video call yang terkadang tampak buram akibat koneksi yang kurang stabil. Tanpa mereka sadari, hubungan mereka mulai berkembang menjadi sesuatu yang lebih dalam.
Namun, meskipun jarak fisik memisahkan mereka, keduanya merasa dekat. Ada rasa yang tidak bisa dijelaskan ketika mereka berbicara, seolah dunia ini hanya milik mereka berdua. Mungkin karena perasaan itu tumbuh secara perlahan, mereka tidak menyadari bahwa akhirnya mereka telah jatuh cinta. Tidak ada yang pernah membicarakan jarak. Tidak ada yang pernah membahas betapa sulitnya jika harus menunggu berbulan-bulan untuk bisa bertemu. Yang mereka tahu hanyalah perasaan yang tumbuh setiap kali mereka saling berbicara, saling mendukung, dan saling mengenal lebih dalam.
Nisa, meskipun jauh dari keluarga dan teman-temannya di kampung halaman, merasa ada kenyamanan dalam komunikasi mereka. Dia merasa dimengerti oleh Arif lebih daripada siapa pun yang ada di dekatnya. Arif adalah orang yang bisa membuatnya tertawa di tengah hari yang sepi, yang menghiburnya saat ia merasa tertekan dengan rutinitas di kantor. Setiap kali Arif mengirimkan pesan atau membuat video call, dunia seakan berhenti sejenak untuk Nisa. Mereka berbicara tentang banyak hal, bahkan hal-hal yang tampaknya tidak penting, tetapi entah kenapa, percakapan mereka selalu terasa berarti.
Sementara itu, Arif merasakan hal yang sama. Walaupun dia tinggal di kota besar, kesibukan sehari-harinya kadang membuatnya merasa terasing. Tetapi, setiap kali ia berbicara dengan Nisa, seakan beban itu menghilang. Dia merasa ada seseorang yang benar-benar peduli dengan dirinya, meskipun mereka hanya berkomunikasi lewat layar ponsel. Arif juga merasa bahwa meskipun mereka terpisah oleh jarak yang jauh, Nisa adalah seseorang yang bisa ia percayai sepenuhnya. Ada kehangatan dalam percakapan mereka, yang tak bisa ditemukan di dunia nyata.
Namun, di balik semua kebahagiaan itu, ada satu hal yang selalu mengganggu perasaan Nisa. Ketika mereka berbicara tentang masa depan, ia selalu merasa ragu. Ia tahu, meskipun cinta mereka begitu kuat, jarak yang tak terjangkau ini adalah penghalang besar. Meskipun mereka berdua berusaha untuk tetap positif, ada ketakutan yang tak bisa ia sembunyikan. Bagaimana jika suatu saat, salah satu dari mereka merasa lelah menunggu? Bagaimana jika salah satu dari mereka merasa bahwa jarak ini terlalu sulit untuk dijalani? Nisa sering kali bertanya pada dirinya sendiri, apakah cinta mereka cukup kuat untuk mengatasi segala tantangan yang datang?
Arif pun merasakan hal yang sama. Dia tahu, semakin lama mereka bersama, semakin besar rasa cintanya kepada Nisa. Namun, ada satu kenyataan yang tak bisa dihindari: mereka berada di dua dunia yang berbeda. Arif sudah memikirkan bagaimana rasanya hidup bersama Nisa, bagaimana rasanya berdekatan tanpa jarak, tapi selalu ada perasaan khawatir yang mengusik hatinya. Apa yang akan terjadi jika perasaan itu mulai memudar, atau jika suatu saat mereka merasa tidak lagi bisa menjalani hubungan ini? Arif mencoba untuk menutupi perasaan cemasnya, namun di dalam hatinya, rasa takut itu selalu ada.
Suatu malam, mereka berdua menghabiskan waktu berbicara lewat video call. Arif sedang berada di kantornya, sementara Nisa sedang duduk di balkon apartemennya, menatap langit yang dihiasi cahaya bulan. Meskipun mereka berada di tempat yang berbeda, suasana terasa intim. Percakapan mereka ringan, penuh canda tawa, tetapi entah kenapa, Nisa merasakan ada sesuatu yang mengganjal. Ketika percakapan mulai mereda, Nisa menatap layar ponselnya dan berkata, “Arif, apakah kamu pernah merasa takut? Takut bahwa kita tidak bisa bertahan karena jarak ini?”
Arif terdiam sejenak, terkejut dengan pertanyaan itu. Ia tahu, Nisa tidak pernah secara langsung menyatakan kekhawatirannya, tetapi dia bisa merasakannya dalam setiap kata yang terucap. Setelah beberapa detik, Arif menjawab, “Aku takut, Nisa. Tapi aku juga percaya bahwa kita bisa menghadapinya. Aku percaya kita akan selalu menemukan jalan, meskipun jarak ini terasa sulit.”
Mereka tersenyum satu sama lain, tetapi di dalam hati masing-masing, ketakutan itu tetap ada. Mereka tahu bahwa cinta mereka terhalang oleh jarak yang tak terjangkau, namun entah kenapa, perasaan itu tetap bertahan. Mereka memilih untuk terus melangkah, berharap bahwa suatu hari nanti, cinta ini akan membawa mereka melewati segala hambatan yang ada.*
Bab 2: Senyum yang Disembunyikan
Setelah malam itu, percakapan antara Nisa dan Arif terus berjalan seperti biasa. Mereka tetap berbagi cerita tentang keseharian masing-masing, berbicara tentang film yang mereka tonton, atau sekadar berbagi momen kecil yang mereka alami. Namun, meskipun keduanya terus berbicara dengan penuh semangat, ada sesuatu yang mulai terasa berbeda bagi Nisa. Senyum yang selalu ia bagikan dalam percakapan mereka mulai terasa semakin paksa. Rasa cemas yang semakin mendalam mulai menggerogoti hatinya, tetapi ia memilih untuk tetap menyembunyikannya.
Nisa, yang selalu tampak ceria dan penuh semangat, merasa ada sesuatu yang hilang dalam dirinya. Keadaan di kantor semakin menekan, deadline pekerjaan yang terus menumpuk membuatnya merasa tertekan. Ia merasa lelah, bukan hanya fisik, tetapi juga emosional. Setiap hari, ia terbangun dengan perasaan cemas tentang bagaimana ia akan menyelesaikan semua tugas yang diberikan. Namun, di luar itu, ada perasaan lain yang lebih dalam—sebuah luka yang ia coba sembunyikan, bukan hanya dari Arif, tetapi juga dari dirinya sendiri.
Saat itu, Nisa masih berusaha untuk tidak membiarkan perasaan cemasnya menguasai dirinya. Ia berusaha menjaga semangat di setiap pesan yang ia kirimkan kepada Arif, berusaha menutupi kepenatan yang semakin menghimpit. Namun, setiap kali Arif bertanya tentang kesehariannya, ia selalu menjawab dengan kalimat yang singkat dan terasa datar. “Ya, kerja lagi, seperti biasa,” jawabnya ketika Arif menanyakan bagaimana kabarnya. Meskipun ia tahu Arif tidak akan pernah merasa puas dengan jawaban itu, Nisa merasa tidak bisa lagi mengatakan lebih banyak. Ia tidak ingin Arif merasa khawatir, atau lebih buruk lagi, merasa tidak berguna karena tidak bisa membantu. Nisa tahu, Arif bukan tipe orang yang suka melihat orang lain menderita, dan ia tidak ingin membuatnya merasa tidak berdaya.
Di sisi lain, Arif mulai merasakan perbedaan dalam sikap Nisa. Terkadang, ia bisa merasakan ada jarak dalam percakapan mereka. Senyum yang dulu selalu muncul di wajah Nisa melalui video call, kini tampak lebih pudar. Kalimat-kalimat yang keluar dari mulut Nisa mulai terasa lebih singkat dan tidak sehangat sebelumnya. Arif mulai khawatir. Ia mencoba untuk mencari tahu, bertanya dengan lembut, “Nisa, ada yang salah? Kenapa kamu terlihat berbeda akhir-akhir ini?” Tetapi Nisa hanya tersenyum tipis, senyum yang bukanlah senyum yang sesungguhnya. “Tidak ada, kok. Aku cuma capek aja,” jawab Nisa, berusaha mengalihkan pembicaraan. Arif tahu, itu bukan jawaban yang jujur, tapi ia tidak ingin memaksakan keadaan. Ia memilih untuk diam, meskipun hatinya merasa gelisah.
Hari-hari berlalu, dan meskipun Nisa berusaha keras untuk menyembunyikan perasaannya, luka itu semakin dalam. Pekerjaan yang semakin menumpuk membuatnya merasa semakin terasing dari dunia sekitarnya. Ia merasa seperti tenggelam dalam rutinitas yang monoton, tanpa ada ruang untuk dirinya sendiri. Malam-malamnya dihabiskan dengan mengerjakan laporan atau menyiapkan presentasi, sementara pikirannya terus terbang melayang kepada Arif. Ia tahu, meskipun mereka terhubung melalui layar ponsel, jarak yang begitu jauh membuatnya merasa kesepian. Tak ada pelukan yang bisa ia rasakan, tak ada kehadiran fisik yang bisa menguatkannya. Hanya suara dan gambar di layar yang menemani, namun itu pun semakin terasa jauh.
Suatu sore, ketika Nisa sedang duduk di depan layar komputernya, mencoba menyelesaikan pekerjaan yang sudah menumpuk selama berhari-hari, ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari Arif. “Nisa, aku rindu senyummu yang selalu bisa membuatku merasa lebih baik. Apa kamu sedang sibuk? Aku ingin melihat wajahmu.” Pesan itu membuat hati Nisa sedikit tergerak, tetapi juga semakin membuatnya merasa tertekan. Ia merasa tidak bisa lagi tersenyum dengan tulus seperti dulu. Tidak ada senyum yang bisa ia berikan selain senyum palsu yang ia paksa untuk muncul di video call nanti. Ia takut, Arif akan melihat kelelahan yang ada di matanya. Ia takut, Arif akan mengetahui betapa kosongnya hatinya saat ini.
Namun, ia tahu, Arif sangat peduli padanya. Ia tidak bisa terus menyembunyikan perasaannya begitu saja. Ia memutuskan untuk menjawab pesan Arif, meskipun dengan hati yang berat. “Aku rindu kamu juga, Arif. Maaf kalau aku belakangan ini agak berbeda. Aku cuma… merasa capek dan banyak pikiran.” Nisa menatap pesan itu sesaat sebelum mengirimkannya. Ia tahu, itu adalah langkah pertama untuk membuka dirinya kepada Arif, meskipun ia merasa takut akan reaksi yang mungkin muncul.
Beberapa detik kemudian, pesan balasan dari Arif muncul. “Nisa, aku tidak ingin kamu merasa sendirian. Aku tahu kita terpisah jauh, tapi aku akan selalu ada untuk mendengarkanmu. Kamu tidak perlu menahan semuanya sendirian. Kalau kamu merasa capek, ceritakan padaku. Aku akan selalu mendengarkan.” Nisa merasakan hati yang sedikit lebih ringan setelah membaca pesan itu. Ia tahu Arif benar-benar peduli padanya, namun ia masih merasa takut untuk benar-benar membuka diri. Ia takut, jika ia menceritakan semua yang ada di hatinya, itu akan terlalu berat untuk Arif. Ia tidak ingin membebani orang yang begitu ia cintai dengan masalahnya.
Namun, malam itu, saat mereka berbicara lewat video call, ada sesuatu yang berbeda. Nisa melihat mata Arif yang penuh perhatian, yang seakan menunggu kata-kata yang ingin ia ucapkan. Ia tahu, inilah saatnya untuk membuka diri, meskipun itu akan sulit. Dengan hati yang berdegup kencang, Nisa akhirnya berkata, “Arif, aku merasa… aku merasa seperti kehilangan diriku sendiri. Semuanya terasa begitu berat akhir-akhir ini, dan aku tidak tahu bagaimana menghadapinya.”
Arif terdiam sejenak, kemudian berkata dengan lembut, “Nisa, kamu tidak sendiri. Aku ada di sini, selalu ada untukmu. Jangan takut untuk berbagi perasaanmu. Kita akan melalui ini bersama.”
Nisa menatap mata Arif yang penuh kehangatan dan cinta. Untuk pertama kalinya dalam beberapa minggu terakhir, ia merasa sedikit lega. Ia tahu, meskipun luka yang ia sembunyikan begitu dalam, bersama Arif, ia bisa menemukan kekuatan untuk sembuh.*
Bab 3: Pergulatan dalam Diam
Hari-hari berlalu dengan cepat, namun perasaan Nisa semakin lama semakin sulit untuk ia pendam. Meskipun dia berusaha menjaga komunikasi dengan Arif agar tetap berjalan seperti biasa, hatinya terasa semakin berat. Setiap kali berbicara dengannya, Nisa merasa ada jarak yang tak bisa dijelaskan. Arif, dengan segala perhatian dan kasih sayangnya, seolah menjadi satu-satunya hal yang mampu mengingatkannya bahwa masih ada cinta yang bisa ia pegang. Namun, di sisi lain, ia merasa semakin terperangkap dalam perasaan cemas dan kesepian yang tak dapat ia ungkapkan.
Pekerjaannya di kantor semakin menuntut, dan seiring berjalannya waktu, Nisa merasa bahwa ia semakin tenggelam dalam rutinitas yang monoton. Setiap hari, ia terbangun dengan kecemasan akan tugas-tugas yang belum terselesaikan, berlarut-larut dalam rapat yang membosankan, dan kembali pulang larut malam, hanya untuk kembali terjebak dalam pekerjaan yang tak pernah ada habisnya. Ia merasa seperti mesin yang terus berjalan tanpa bisa berhenti. Waktu untuk dirinya sendiri semakin berkurang, dan dalam kesibukan itu, ia semakin jauh dari dirinya yang sebenarnya.
Nisa tahu, Arif selalu berusaha membuatnya merasa lebih baik. Setiap kali mereka berbicara lewat pesan atau video call, Arif selalu mencoba untuk menghiburnya dengan cerita lucu, memberi semangat, atau sekadar mendengarkan keluh kesah Nisa. Namun, meskipun ia tahu Arif tidak pernah bermaksud menambah bebannya, ia tetap merasa bahwa ada sesuatu yang hilang. Nisa merasa terisolasi, terperangkap dalam dunia yang penuh tuntutan namun kosong akan perhatian nyata. Ia merasa seolah-olah Arif adalah satu-satunya orang yang bisa membuatnya merasa dihargai, tetapi juga satu-satunya orang yang tak bisa dia raih untuk mendapatkan pelukan nyata.
Malam-malamnya dihabiskan dengan perasaan yang semakin sulit dibendung. Nisa duduk di balkon apartemennya, memandang langit malam yang gelap. Suara angin yang sejuk seakan mengingatkannya pada kenyataan bahwa jarak antara mereka begitu jauh. Jarak itu bukan hanya jarak fisik, tetapi juga jarak emosional yang semakin terasa. Ia merasa bahwa meskipun Arif ada di sana, di balik layar ponselnya, mereka semakin jauh dalam arti sebenarnya. Setiap pesan yang dikirim terasa seperti sekadar kewajiban, bukan lagi ungkapan cinta yang tulus.
Suatu malam, ketika mereka berbicara lewat video call, Arif menanyakan dengan lembut, “Nisa, kenapa akhir-akhir ini kamu terasa berbeda? Kamu tidak seperti biasanya. Ada yang mengganggumu, ya?” Arif mengamati wajah Nisa dengan perhatian yang mendalam, seolah berusaha membaca setiap ekspresi yang tersembunyi di balik senyum palsunya. Nisa menundukkan kepala, merasa terjebak antara keinginan untuk menjaga perasaan Arif dan dorongan untuk mengungkapkan perasaannya yang sesungguhnya.
“Aku… aku cuma capek, Arif,” jawab Nisa, suara yang terdengar lebih lemah dari biasanya. Ia tahu Arif tidak akan pernah puas dengan jawaban itu, tetapi ia takut jika ia mengungkapkan lebih banyak, Arif akan merasa terbebani. Mereka sudah terpisah begitu jauh, dan Nisa merasa bahwa beban yang ia rasakan akan terlalu berat untuk Arif tanggung.
Arif tidak langsung menjawab. Ia hanya memandang wajah Nisa dalam diam, mencoba mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Ada kerutan di dahi Nisa yang menunjukkan betapa stres dan lelahnya dia, meskipun ia berusaha menutupi semuanya dengan senyuman kecil. Arif merasa cemas, namun ia tahu bahwa Nisa membutuhkan waktu untuk berbicara, dan ia tidak bisa memaksanya. “Kalau kamu merasa capek, jangan ragu untuk cerita, Nisa. Aku ada di sini, untuk kamu,” ujar Arif dengan lembut, mencoba memberi ruang agar Nisa merasa aman untuk berbagi.
Namun, Nisa hanya mengangguk pelan, mengalihkan pembicaraan ke topik lain. Meski Arif terus berusaha menunjukkan dukungan, Nisa merasa semakin terjebak dalam perasaannya sendiri. Ia tahu, perasaan ini bukan hanya tentang pekerjaan atau stres yang menumpuk, tetapi lebih dari itu. Ia merasa terisolasi dalam hubungan yang seharusnya penuh dengan cinta dan dukungan. Ada sesuatu yang tidak bisa ia ungkapkan, meskipun ia ingin sekali berbagi semuanya dengan Arif.
Keesokan harinya, Nisa merasa sangat lelah, baik secara fisik maupun emosional. Pekerjaan yang terus menumpuk dan perasaan yang semakin membebani membuatnya merasa seperti terjebak dalam kehidupan yang tidak ia inginkan. Ia berjalan melewati meja kerjanya, melihat tumpukan dokumen yang belum terselesaikan, dan merasa cemas. Setiap hari terasa seperti sebuah perjuangan yang tak ada habisnya. Ia ingin beristirahat, ingin merasakan kebebasan, tetapi tuntutan yang ada menghalangi semua itu.
Di luar kantornya, cuaca mendung, seakan mencerminkan perasaannya yang penuh keraguan dan kekhawatiran. Nisa memutuskan untuk mengirim pesan singkat kepada Arif. “Aku merasa seperti tidak bisa menghadapinya lagi, Arif. Semua terasa begitu berat. Aku tidak tahu bagaimana cara keluar dari semua ini.” Ia menatap pesan itu sesaat sebelum menekan tombol kirim. Meskipun ia takut akan reaksi Arif, ia merasa harus memberi tahu Arif bahwa ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar rasa capek.
Beberapa menit kemudian, pesan balasan dari Arif muncul. “Nisa, aku tahu kamu merasa tertekan. Aku tidak bisa membayangkan betapa beratnya beban yang kamu rasakan sekarang. Tapi aku ingin kamu tahu bahwa kamu tidak sendirian. Aku akan selalu ada untuk mendengarkanmu, meskipun kita terpisah jarak yang jauh. Kamu bisa bercerita kapan saja.” Nisa merasa sedikit lega membaca pesan itu, meskipun hatinya masih dipenuhi dengan kekhawatiran. Ia tahu bahwa meskipun Arif berusaha mendukungnya, perasaan terasing itu masih ada, dan ia tidak bisa menghindarinya.
Dalam perjalanan pulang, Nisa merenung. Ia tahu bahwa perasaan ini tidak bisa terus disembunyikan. Ada pergulatan dalam dirinya yang semakin hari semakin mempengaruhi hubungan mereka. Meskipun cinta mereka kuat, Nisa merasa bahwa mereka berdua terjebak dalam lingkaran ketidakmampuan untuk benar-benar berhadapan dengan kenyataan. Jarak yang begitu jauh bukan hanya memisahkan tubuh mereka, tetapi juga membuat mereka terpisah dalam cara yang lebih dalam lagi—dalam cara mereka merasakan dan mengungkapkan cinta. Nisa tahu, suatu saat, ia harus menghadapi kenyataan ini, meskipun itu akan terasa sangat sulit.*
Bab 4: Titik Balik
Malam itu, Nisa duduk di depan jendela apartemennya, memandangi cahaya kota yang menyinari kegelapan. Hatinya terasa hampa, seakan beratnya dunia ini hanya bisa ia tanggung sendirian. Setiap kali ia mencoba menceritakan rasa lelahnya kepada Arif, ia selalu merasa seperti mengabaikan perasaan Arif yang selalu penuh perhatian dan kasih sayang. Namun, ada saat-saat ketika ia merasa kesepian, meskipun suara Arif terdengar begitu dekat di telinganya. Hubungan mereka, meskipun penuh dengan cinta dan pengertian, terasa semakin jauh. Jarak yang tak terjangkau antara mereka semakin memperburuk perasaannya, dan meskipun ia tahu Arif akan selalu ada untuknya, Nisa merasa semakin terperangkap dalam perasaan cemas dan ketidakpastian.
Sudah berbulan-bulan sejak mereka terakhir kali bertemu, dan meskipun mereka terus berusaha menjaga komunikasi, Nisa merasa bahwa waktu semakin menjadi musuh mereka. Setiap kali Arif mengirimkan pesan atau meneleponnya, Nisa merasa bahwa ada sesuatu yang hilang dalam percakapan itu. Ia merasa terperangkap dalam rutinitas yang monoton, dan di balik setiap senyuman yang ia tunjukkan kepada Arif, ada kesedihan yang tak bisa ia sembunyikan. Namun, meskipun semua itu membebani hatinya, ia terus berjuang untuk menjaga hubungan ini. Ia tahu, Arif adalah orang yang tepat, dan ia tidak ingin menyerah begitu saja.
Namun, malam itu, ada perasaan yang berbeda dalam diri Nisa. Perasaan yang mengalir seperti arus sungai yang tidak bisa ia bendung. Ia merasa bahwa sudah waktunya untuk mengambil langkah besar, untuk menghadapi kenyataan, dan untuk memutuskan apa yang benar-benar ia inginkan dalam hidup ini. Ia tahu, perasaan terperangkap ini tidak bisa berlanjut selamanya. Ia harus memutuskan apakah akan terus berjuang atau mengakhiri hubungan yang telah tumbuh begitu dalam di hatinya.
Pada saat itu, ponselnya bergetar. Sebuah pesan dari Arif masuk, dan tanpa ragu, Nisa membuka pesan itu. “Nisa, aku rindu kamu. Aku tahu kita sudah lama tidak bertemu, tapi aku merasa kita semakin jauh. Apakah kamu merasa hal yang sama?” Nisa menatap pesan itu lama. Kata-kata Arif terasa seperti guratan luka yang dalam. Ia tahu, Arif merasakan ketidakpastian yang sama. Mereka berdua terjebak dalam lingkaran rasa takut dan ragu, tetapi tidak ada yang berani mengungkapkan itu secara langsung. Ia merasa bahwa inilah saatnya untuk menghadapi perasaan mereka yang tak terungkapkan.
Nisa menatap layar ponselnya sejenak, mencoba merangkai kata-kata yang tepat untuk membalas pesan Arif. Setelah beberapa detik, ia akhirnya mengetik balasan yang sudah ia tahan selama ini: “Arif, aku merasa kita semakin jauh. Aku tidak tahu bagaimana lagi harus melanjutkan ini. Rasanya kita seperti terjebak dalam dunia kita masing-masing, dan aku tidak bisa terus seperti ini. Aku merasa kehilangan diriku sendiri.” Nisa menekan tombol kirim dengan perasaan campur aduk, antara lega dan cemas. Ia tahu, setelah ini, semuanya akan berubah. Ia tidak bisa lagi bersembunyi di balik kata-kata manis dan senyuman palsu.
Beberapa menit kemudian, pesan balasan dari Arif muncul. “Nisa, aku juga merasakan hal yang sama. Aku tahu kita terpisah jarak yang jauh, tetapi aku tidak ingin kita berdua merasa seperti ini. Aku cinta kamu, Nisa. Aku ingin kita bisa bertemu, tapi aku juga tahu, ini bukan hanya tentang pertemuan fisik. Kita perlu menemukan cara untuk menghadapinya bersama.” Kata-kata Arif membuat Nisa terdiam sejenak. Ia merasakan kehangatan yang sama yang ia rasakan pertama kali ketika berbicara dengan Arif. Namun, kali ini, ada kejelasan dalam pesan itu. Arif tidak hanya ingin berbicara tentang cinta mereka, tetapi juga tentang bagaimana mereka bisa menyelesaikan masalah ini bersama-sama.
Setelah membaca pesan itu, Nisa merasa ada beban yang sedikit terangkat dari pundaknya. Meskipun ia tahu bahwa jalan yang mereka pilih tidak akan mudah, ia merasa bahwa inilah titik balik yang ia tunggu-tunggu. Mereka tidak bisa terus berlarut-larut dalam ketidakpastian ini. Mereka harus mengambil keputusan besar, apakah mereka akan terus berjuang untuk hubungan ini, ataukah mereka akan membiarkannya berakhir begitu saja.
Nisa menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya sebelum membalas pesan Arif. “Arif, aku tahu kita sudah lama tidak bertemu, dan aku merasa cemas tentang masa depan kita. Aku ingin kita terus bersama, tapi aku juga merasa takut. Aku takut jika jarak ini akan memisahkan kita lebih jauh lagi. Aku ingin kita berbicara secara jujur tentang apa yang kita rasakan dan apa yang kita inginkan. Mungkin ini saatnya untuk kita mengambil langkah baru, entah itu bersama atau terpisah. Tapi aku tidak bisa terus seperti ini.”
Setelah menekan tombol kirim, Nisa merasa hatinya berdebar kencang. Ia tahu, apa yang baru saja ia katakan akan menentukan masa depan mereka. Ia tidak bisa terus bersembunyi di balik perasaan takut dan ragu. Ia harus membuka dirinya kepada Arif, meskipun itu berarti mereka harus menghadapi kenyataan yang sulit.
Beberapa saat kemudian, Arif membalas pesan Nisa dengan kalimat yang penuh pengertian. “Nisa, aku juga takut. Tapi aku tidak ingin kita merasa terjebak dalam ketakutan ini. Kita harus membuat keputusan bersama, dan aku yakin kita bisa menghadapi semuanya. Kita sudah cukup kuat untuk melangkah bersama, meskipun jarak ini menjadi tantangan. Aku cinta kamu, dan aku ingin berjuang untuk kita.”
Membaca balasan itu, Nisa merasa ada harapan yang kembali tumbuh dalam dirinya. Meskipun jalan mereka tidak akan mudah, mereka kini telah membuka diri satu sama lain. Mereka telah mengungkapkan perasaan yang selama ini terpendam, dan kini saatnya bagi mereka untuk menentukan langkah selanjutnya. Ini adalah titik balik mereka, titik di mana mereka harus memilih apakah akan terus berjuang untuk cinta mereka atau menerima kenyataan bahwa terkadang, meskipun cinta begitu kuat, ada saatnya kita harus melepaskan.*
Bab 5: Menghadapi Luka
Setelah percakapan malam itu, segalanya berubah. Tidak ada lagi kata-kata yang terbungkus dalam kebohongan atau kebisuan. Nisa dan Arif, meskipun masih terpisah oleh jarak ribuan kilometer, akhirnya memutuskan untuk menghadapi kenyataan yang selama ini mereka hindari. Luka yang tersembunyi di hati masing-masing mulai terungkap, dan dengan itu datanglah sebuah keputusan besar: mereka harus memilih, antara melanjutkan hubungan yang sudah tercabik oleh jarak, atau menerima kenyataan pahit bahwa cinta mereka mungkin sudah tidak bisa bertahan lagi.
Hari-hari berikutnya terasa berbeda bagi Nisa. Pekerjaan yang biasanya menjadi fokus utamanya kini terasa semakin berat untuk dihadapi. Setiap detik di kantor hanya mengingatkannya pada betapa kosongnya hidupnya tanpa kehadiran Arif yang sesungguhnya. Ia merasa terperangkap dalam sebuah rutinitas yang tak bisa menghilangkan kegelisahan di hatinya. Namun, di sisi lain, ada perasaan lega yang aneh. Percakapan terakhir dengan Arif telah memberikan titik terang, meskipun itu berarti harus menghadapinya secara langsung. Mereka sudah mulai berbicara tentang luka yang selama ini mereka coba sembunyikan—tentang perasaan yang terus menggerogoti mereka tanpa mereka sadari.
Arif pun merasa perubahan itu. Meskipun mereka masih berbicara setiap hari, ada ketegangan yang tak bisa disangkal. Dulu, percakapan mereka dipenuhi dengan lelucon ringan, berbagi cerita harian, atau merencanakan masa depan bersama. Namun, kini, percakapan itu menjadi lebih serius. Setiap kata yang diucapkan seolah mengandung harapan dan ketakutan yang sama. Mereka berdua tahu bahwa sesuatu harus diubah, tetapi perubahan itu terasa begitu menakutkan. Arif tidak pernah tahu bahwa Nisa merasa terperangkap dalam rasa cemas yang mendalam, terperangkap dalam ketidakpastian yang kini mengusik setiap harinya. Begitu juga dengan Nisa, ia tidak pernah tahu betapa Arif juga merasa kesepian dan takut kehilangan. Mereka hanya terjebak dalam diam, dalam upaya untuk menyembunyikan perasaan mereka demi menjaga hubungan yang mereka cintai.
Namun, semakin mereka berusaha untuk tidak mengungkapkan perasaan yang sebenarnya, semakin luka itu berkembang. Nisa merasa terasing, bukan hanya dari Arif, tetapi juga dari dirinya sendiri. Ketika ia melihat cermin, ia tidak mengenali dirinya yang dulu penuh semangat dan tawa. Kini, ia merasa seakan-akan telah kehilangan bagian dari dirinya yang paling penting. Pekerjaan yang menumpuk, hubungan yang semakin jauh, dan perasaan cemas yang tak kunjung reda, semuanya membentuk sebuah badai dalam dirinya yang membuatnya merasa hancur.
Suatu malam, ketika mereka kembali berbicara melalui video call, Arif menyadari bahwa ada sesuatu yang berbeda pada Nisa. Wajahnya tampak lelah, matanya kosong, dan senyumnya tidak lagi tulus. “Nisa, apa yang sebenarnya terjadi?” tanya Arif dengan suara lembut, berusaha menghapus ketegangan yang menguar di antara mereka. Nisa terdiam, mengumpulkan keberanian untuk akhirnya membuka diri. “Arif, aku… aku merasa kehilangan diriku sendiri,” kata Nisa, suara yang hampir tak terdengar. “Aku merasa terjebak dalam semua ini. Pekerjaan yang terus menumpuk, jarak yang semakin membuat kita terpisah, dan aku merasa… aku merasa aku tidak bisa lagi bertahan seperti ini.”
Kata-kata itu keluar dengan begitu mudah, namun berat. Untuk pertama kalinya, Nisa mengungkapkan apa yang selama ini ia sembunyikan, dan meskipun hatinya terasa sesak, ia merasa ada beban yang terangkat. Ia tidak tahu bagaimana Arif akan merespon, tetapi ia tahu ini adalah langkah yang harus ia ambil. Ia harus menghadapinya.
Arif terdiam sejenak, seolah mencoba mencerna apa yang baru saja Nisa katakan. Nisa bisa melihat ada kekhawatiran yang muncul di wajah Arif. Setelah beberapa saat, Arif akhirnya berbicara dengan nada yang penuh empati. “Aku mengerti, Nisa. Aku juga merasa seperti itu. Aku tahu kita berdua terjebak dalam rasa takut dan ketidakpastian. Tapi aku tidak ingin kamu merasa sendirian. Aku ingin kita mencari cara untuk melalui semua ini bersama-sama.”
Nisa menatap mata Arif yang penuh perhatian. Terkadang, ia merasa bahwa Arif adalah satu-satunya yang bisa melihat sisi dirinya yang tersembunyi, sisi yang penuh dengan luka dan ketakutan yang selama ini ia sembunyikan. “Aku merasa… aku takut, Arif. Aku takut jika kita terus seperti ini, kita akan semakin jauh. Aku takut kita akan kehilangan cinta ini hanya karena jarak dan waktu,” ujar Nisa, suaranya sedikit bergetar.
Arif menarik napas dalam-dalam, kemudian berkata dengan penuh keyakinan, “Aku tahu kita sudah melalui banyak hal bersama, Nisa. Jarak ini memang sulit, tapi kita tidak bisa biarkan itu menghancurkan kita. Kita harus menghadapi luka-luka ini, bersama. Kalau kita tetap diam, kita hanya akan semakin terluka. Aku tidak ingin itu terjadi. Aku cinta kamu, Nisa, dan aku ingin kita berjuang untuk kita.”
Perkataan Arif itu menyentuh hati Nisa. Ada kehangatan yang membuatnya merasa lebih tenang, tetapi ia juga tahu bahwa mengatasi luka ini tidak akan semudah yang mereka bayangkan. Cinta mereka memang kuat, namun luka yang mereka bawa masing-masing sudah terlalu dalam. Mereka harus berani membuka diri dan saling memahami. Mereka harus berani menghadapi kenyataan bahwa hubungan ini membutuhkan lebih dari sekadar kata-kata manis dan janji-janji kosong.
Beberapa hari setelah percakapan itu, Nisa mulai merasakan perubahan dalam dirinya. Ia memutuskan untuk berbicara lebih terbuka dengan Arif, untuk mengungkapkan perasaannya yang selama ini terpendam. Ia mulai mencoba untuk mencari cara agar bisa lebih seimbang antara pekerjaan dan kehidupan pribadinya. Ia mulai memberi ruang bagi dirinya sendiri untuk beristirahat dan merawat dirinya. Setiap malam sebelum tidur, ia merenung dan memikirkan apa yang sebenarnya ia inginkan dalam hidup ini—apakah terus berjuang untuk hubungan ini, ataukah ia harus melepaskan semuanya demi mencari kedamaian dalam dirinya sendiri.
Suatu malam, setelah berbicara dengan Arif, Nisa merasa ada sedikit harapan yang kembali tumbuh dalam dirinya. Mereka mungkin tidak bisa mengubah kenyataan bahwa jarak memisahkan mereka, tetapi mereka bisa memilih untuk tidak membiarkan jarak itu menguasai hidup mereka. Mereka bisa memilih untuk tetap bersama, untuk saling mendukung dan memahami, meskipun itu berarti harus menghadapi banyak luka yang harus sembuh.
Menghadapi luka bukanlah hal yang mudah, dan Nisa tahu bahwa perjalanan mereka masih panjang. Namun, satu hal yang ia sadari adalah bahwa luka itu bisa sembuh jika mereka berani menghadapinya bersama. Dengan cinta dan kepercayaan satu sama lain, Nisa yakin mereka bisa melewati segala rintangan yang ada di depan mereka.*
Bab 6: Menyembuhkan Bersama
Malam-malam yang dulu terasa begitu panjang kini perlahan berubah menjadi lebih ringan. Setelah perbincangan jujur mereka tentang perasaan yang selama ini terpendam, Nisa mulai merasakan sebuah perubahan yang lembut di dalam dirinya. Meski tidak ada yang bisa menghapus luka yang telah terbentuk akibat jarak dan waktu, ada perasaan baru yang mulai tumbuh di antara mereka—perasaan bahwa mereka bisa menghadapinya bersama. Dengan tekad itu, mereka mulai mengambil langkah kecil untuk menyembuhkan luka yang selama ini menghalangi hubungan mereka.
Setiap hari, Nisa berusaha untuk lebih terbuka kepada Arif. Meskipun mereka terpisah jauh, komunikasi mereka menjadi lebih intens, namun kali ini dengan lebih banyak kejujuran. Mereka tidak lagi hanya berbicara tentang hal-hal ringan atau masa depan yang tampaknya jauh. Mereka mulai saling berbagi tentang perasaan mereka yang terdalam—tentang ketakutan, kecemasan, dan bahkan kebimbangan yang mereka rasakan tentang masa depan. Namun, di tengah-tengah percakapan mereka yang lebih mendalam itu, ada rasa kedekatan yang tidak bisa digambarkan dengan kata-kata. Mereka mulai belajar untuk mendengarkan satu sama lain dengan lebih penuh perhatian, tanpa menghakimi, hanya berusaha memahami.
Pagi itu, Nisa duduk di meja kerjanya, menatap layar komputer yang penuh dengan tumpukan pekerjaan yang belum selesai. Namun, kali ini hatinya tidak seberat sebelumnya. Setelah beberapa minggu berbicara lebih terbuka dengan Arif, ia merasa ada sedikit kedamaian yang kembali hadir dalam hidupnya. Tugas-tugas yang dulu terasa sangat menekan kini bisa ia hadapi dengan pikiran yang lebih jernih. Ia tahu, meskipun pekerjaan itu tetap ada, ia tidak lagi merasa sendirian dalam perjuangannya.
Setiap kali ia merasa lelah atau cemas, Nisa mulai meluangkan waktu untuk berbicara dengan Arif. Tak lagi terbatas pada pesan singkat atau panggilan video rutin, mereka mulai merencanakan lebih banyak waktu untuk benar-benar berbicara, untuk saling mendengarkan dan mendukung satu sama lain. Arif, meskipun sibuk dengan pekerjaannya di sana, selalu berusaha menyempatkan diri untuk memberi perhatian lebih kepada Nisa. Setiap kata yang ia ucapkan terasa penuh dengan kasih sayang, dan itu membuat Nisa merasa lebih kuat.
Namun, perjalanan untuk menyembuhkan luka ini tidak selalu mulus. Ada kalanya, perasaan kesepian datang lagi, meskipun mereka telah berbicara panjang lebar tentang perasaan mereka. Ada kalanya, ketika Nisa sedang mengerjakan pekerjaan yang menumpuk, ia merasa terjebak dalam rutinitas yang kembali membuatnya terisolasi. Ada kalanya pula, Arif merasakan kesulitan yang sama. Terkadang, ia merasa seperti tidak bisa memberikan perhatian yang cukup kepada Nisa karena jarak yang semakin terasa. Tetapi, kali ini, mereka lebih bijaksana dalam menyikapi perasaan itu. Mereka tidak membiarkan kesepian atau ketidakpastian menguasai mereka, tetapi memilih untuk bersama-sama mencari jalan keluar.
Suatu malam, ketika Nisa sedang duduk di balkon apartemennya, menghirup udara segar, ia menerima pesan dari Arif. “Nisa, aku tahu kita masih berjuang dengan banyak hal, dan aku juga merasa kita belum sepenuhnya sembuh dari luka-luka kita. Tapi aku ingin kamu tahu, aku berterima kasih karena kamu bersedia berjuang bersama. Aku merasa lebih kuat setiap hari, karena aku tahu aku tidak sendirian. Aku akan terus berusaha, meskipun kita terpisah jauh.”
Membaca pesan itu, hati Nisa terasa hangat. Kata-kata Arif memberi ketenangan yang dalam. Ada rasa aman yang datang dari perasaan bahwa mereka sedang berjuang bersama, bukan sendirian. Sebelum membalas pesan itu, Nisa merenung sejenak. Betapa berharga hubungan ini, dan betapa mereka berdua sudah melangkah jauh untuk mencapai titik ini—titik di mana mereka bisa berbicara tanpa takut, tanpa perasaan terpendam yang bisa menghancurkan mereka.
Beberapa hari kemudian, mereka berdua sepakat untuk merencanakan pertemuan pertama setelah sekian lama. Meskipun Nisa masih merasa ragu tentang bagaimana pertemuan itu akan berlangsung, ia tahu bahwa ini adalah langkah besar untuk mereka. Mereka tidak hanya ingin berbicara melalui layar, tetapi juga bertatap muka dan merasakan kehadiran satu sama lain secara nyata. Nisa merencanakan perjalanan ke kota tempat Arif bekerja. Meskipun itu hanya beberapa hari, ia merasa bahwa ini adalah kesempatan untuk benar-benar menyembuhkan luka yang telah lama menghalangi hubungan mereka.
Saat hari pertemuan tiba, Nisa merasa cemas, namun juga bersemangat. Ia tahu bahwa ini adalah ujian bagi mereka, untuk melihat apakah mereka bisa mengatasi segala keraguan yang ada dan melangkah maju bersama. Ketika ia tiba di bandara, ia melihat Arif menunggu di depan pintu kedatangan. Wajah Arif tampak sedikit gugup, namun ketika mata mereka bertemu, ada senyum yang tulus dan penuh harapan di wajah masing-masing. Mereka berdua berjalan saling mendekat, dan ketika akhirnya mereka berpelukan, ada perasaan hangat yang memenuhi hati Nisa. Itulah perasaan yang selama ini ia rindukan—perasaan yang membawa ketenangan, kepercayaan, dan harapan.
Setelah berpelukan, mereka berjalan keluar dari bandara, berbicara dengan lebih santai dan penuh tawa. Mereka berbicara tentang segala hal—tentang pekerjaan, tentang masa depan, dan tentang perasaan mereka yang selama ini disimpan dalam-dalam. Arif mengajak Nisa makan malam di sebuah restoran yang tenang, jauh dari keramaian. Di sana, mereka berbicara tentang segala yang telah terjadi, tentang luka-luka yang mereka hadapi, dan tentang bagaimana mereka bisa saling mendukung.
Malam itu, mereka berdua merasa seperti kembali menemukan satu sama lain. Meski banyak hal yang belum sepenuhnya diselesaikan, mereka tahu bahwa langkah pertama untuk menyembuhkan luka mereka telah mereka ambil bersama. Mereka tahu bahwa perjalanan ini tidak akan mudah, dan akan ada tantangan lain yang harus dihadapi. Tetapi mereka juga tahu, selama mereka terus berusaha dan saling mendukung, mereka bisa menghadapinya bersama.
Setelah malam itu, Nisa dan Arif merasa lebih kuat. Jarak dan waktu masih menjadi tantangan besar dalam hubungan mereka, tetapi mereka tahu bahwa mereka tidak lagi hanya berjuang sendirian. Mereka kini memiliki kekuatan untuk menghadapi segala sesuatu bersama, dan dengan cinta yang tumbuh lebih dalam, mereka percaya bahwa luka-luka itu akan sembuh, sedikit demi sedikit. Perjalanan mereka untuk menyembuhkan luka-luka itu baru saja dimulai, tetapi mereka sudah tahu bahwa bersama, mereka bisa melewati segala rintangan yang ada di depan mereka.***
———–THE END——–