Daftar Isi
Bab 1 Luka yang Menembus Hati
Pagi itu, langit tampak cerah, seolah tak tahu apa yang sedang terjadi di dalam hati Arina. Ia berdiri di depan cermin kamar tidurnya, matanya kosong menatap pantulan dirinya sendiri. Rambutnya yang panjang tergerai rapi, wajahnya yang cantik kini terlihat pucat. Semua hal yang dulu membuatnya merasa hidup dan penuh semangat kini terasa jauh dan asing. Hatinya, yang dulu dipenuhi dengan cinta dan harapan, kini hancur, retak, dan penuh dengan luka yang tak kunjung sembuh.
Tiga hari yang lalu, Arina menemukan kenyataan yang lebih pahit daripada apa pun yang bisa ia bayangkan. Alvaro, pria yang telah ia cintai selama bertahun-tahun, ternyata telah mengkhianatinya. Dengan Mira. Sahabat terdekatnya sendiri.
Arina merasa dunia di sekitarnya tiba-tiba menjadi kabur. Pikirannya buntu, tubuhnya lemas. Ia masih bisa merasakan jantungnya berdegup keras saat ia melihat pesan di ponsel Alvaro yang tanpa sengaja ia temukan. Pesan-pesan manis yang dulu hanya ia terima, kini terbalikkan Alvaro mengirimkan kata-kata itu kepada Mira, kekasihnya yang tersembunyi selama ini.
“Maaf, Arina,” pikirnya sambil berusaha menahan air matanya yang mulai merembes. “Kenapa kamu lakukan ini? Kenapa kamu hancurkan semuanya?”
Selama ini, Alvaro adalah segalanya bagi Arina. Mereka telah melalui banyak hal bersama. Dari masa kecil, hingga ke perguruan tinggi, mereka selalu ada untuk satu sama lain. Arina percaya bahwa hubungan mereka tak tergoyahkan. Cinta mereka adalah sesuatu yang terjalin begitu erat, seakan tak ada yang bisa memisahkan mereka. Tetapi, seiring berjalannya waktu, semua itu ternyata hanyalah ilusi.
Setelah menemukan pesan-pesan itu, Arina merasa seperti seluruh hidupnya hancur dalam sekejap. Malam itu, ia bertemu dengan Alvaro di apartemennya. Pria itu datang, terlihat cemas, seolah tahu bahwa saat ini adalah saat yang menentukan. Namun, apa pun yang ia katakan, semua terasa hampa. Arina sudah tahu segalanya.
“Arina, aku…” Alvaro berhenti, wajahnya penuh penyesalan. “Aku minta maaf. Aku tak tahu harus bagaimana…”
“Tak tahu harus bagaimana?” Arina memotong, suaranya bergetar. “Kamu tahu, Alvaro. Kamu tahu betul apa yang sudah kamu lakukan. Kamu berselingkuh dengan Mira, sahabatku! Ini bukan hanya tentang pengkhianatan cinta, tapi tentang pengkhianatan persahabatan!”
Alvaro terdiam. Kata-kata itu seakan menghujam hatinya. Ia tak bisa lagi berdalih, tak bisa lagi bersembunyi di balik alasan-alasan kosong. Arina tahu ia sudah terluka terlalu dalam, dan kali ini, tidak ada yang bisa memperbaiki semuanya.
Arina merasakan kepedihan yang lebih dalam daripada yang pernah ia rasakan. Ada sesuatu yang robek dalam dirinya, lebih tajam dari pisau, lebih sakit daripada apapun yang bisa ia bayangkan. Ada sesuatu yang hilang, dan itu adalah rasa percaya yang selama ini ia bangun bersama Alvaro.
“Aku tak bisa lagi melihatmu, Alvaro. Kamu bukan orang yang kukenal lagi. Aku sudah terlalu lama menutup mata terhadap apa yang jelas ada di depan mata.” Arina merasa lidahnya kelu, namun kata-kata itu keluar begitu mudah. Kata-kata yang selama ini ia tahan, kini meledak begitu saja.
Air mata yang ditahannya mulai jatuh satu per satu, tak terkendali. Dendam, kesakitan, dan kebingungan bercampur jadi satu. Ia merasa terjerat dalam emosi yang begitu kacau, tak tahu harus berbuat apa. “Aku benci kamu, Alvaro! Aku benci kamu!” teriaknya, seakan melepaskan semua beban yang selama ini ia simpan.
Alvaro terkejut, tak tahu harus berkata apa. Namun, ia bisa melihat dalam mata Arina bahwa tak ada tempat lagi baginya di dunia Arina. Pengkhianatannya telah merusak segala sesuatu yang telah mereka bangun.
Setelah pertemuan itu, Arina merasa lelah. Jiwanya lelah. Tidak hanya karena pengkhianatan itu, tetapi karena rasa sakit yang begitu dalam. Rasa sakit itu seperti api yang membakar dalam dirinya, membakar kenangan-kenangan indah yang dulu ia anggap sebagai bagian dari masa depan.
Beberapa hari setelah kejadian itu, Arina berusaha menjalani rutinitas seperti biasa, meskipun hatinya kosong. Ia bekerja, berinteraksi dengan teman-temannya, tetapi semuanya terasa begitu hambar. Dunia luar terasa jauh dan tak menyentuh. Perasaannya hancur, dan ia tidak tahu bagaimana harus melanjutkan hidupnya.
Di tengah kebingungannya, Arina menemukan sebuah pesan lagi kali ini dari Mira. Sahabatnya. Tulisannya singkat, tapi jelas: “Aku menyesal. Aku sangat menyesal, Arina. Aku minta maaf.”
Mira, yang dulu begitu dekat dengannya, kini telah menjadi bagian dari luka terbesar dalam hidupnya. Arina merasa bingung marah pada Mira, tetapi juga bingung dengan perasaannya yang masih ada untuknya sebagai sahabat. Apakah ini benar-benar pengkhianatan? Apakah persahabatan mereka akan hancur begitu saja karena cinta yang berbelok?
Arina melempar ponselnya ke kasur, meremas bantal, dan berteriak keras dalam hati. “Kenapa ini harus terjadi? Kenapa aku yang harus merasakannya?”
Ia duduk di tepi tempat tidur, tangannya menggenggam erat lengan baju, mencoba untuk menahan rasa sakit yang terus menggerogoti hatinya. Pada saat itu, perasaan yang datang bukan hanya kesedihan, melainkan rasa dendam yang perlahan tumbuh dalam dirinya. Dendam yang mengalir dalam darahnya, yang seolah memanggilnya untuk membalas pengkhianatan ini.
Luka ini terlalu dalam untuk dibiarkan begitu saja. Luka ini tak akan sembuh dengan mudah. Arina tahu, ia harus melakukan sesuatu. Ia harus menghadapinya, tidak hanya dengan air mata, tetapi dengan kekuatan untuk mengubah rasa sakit itu menjadi sesuatu yang lebih besar—dendam yang akan membuatnya lebih kuat. Dendam yang akan membalas semua pengkhianatan yang telah ia terima.
Hari demi hari, dendam itu tumbuh, menyusup ke dalam dirinya. Arina tahu, ia tidak bisa lagi menjadi wanita yang lemah, yang menerima begitu saja semua pengkhianatan ini. Ia harus mengubah perasaannya menjadi kekuatan kekuatan untuk melawan, kekuatan untuk bangkit dari kehancuran. Kekuatan untuk membuat Alvaro dan Mira merasakan apa yang ia rasakan.
Namun, satu hal yang Arina belum tahu dendam itu tak selalu membebaskan. Terkadang, ia malah menjebak.
Arina menatap dirinya di cermin lagi. Kali ini, ada sorot mata yang berbeda. Matanya tak lagi penuh dengan kebingungan dan kesedihan. Ada kilatan api yang menunggu untuk menyala. Api yang akan membakar segala sesuatu yang menghalangi jalannya.
“Ini baru permulaan,” gumamnya pelan, dan untuk pertama kalinya dalam beberapa hari, Arina merasa seperti dirinya kembali. Hanya saja, kali ini, ia lebih keras. Lebih marah. Dan lebih siap untuk menghadapi kenyataan yang harus ia jalani.*
Bab 2 Membalas yang Menanti
Hari-hari berlalu dengan berat bagi Arina. Sejak pertemuan dengan Alvaro, ia merasa seolah dunia di sekitarnya terus bergerak tanpa peduli pada luka di dalam hatinya. Setiap kali ia berusaha menjalani rutinitasnya, bayang-bayang pengkhianatan itu kembali menghantui. Tidak ada yang bisa mengisi kekosongan yang ditinggalkan oleh Alvaro dan Mira. Tidak ada yang bisa menggantikan rasa sakit itu.
Namun, semakin lama, rasa sakit itu berubah menjadi sesuatu yang lain—sesuatu yang lebih gelap, lebih membakar. Dendam. Dendam yang menyusup ke dalam setiap bagian dirinya, menggantikan semua perasaan yang dulu ia kenal. Cinta yang hancur kini tergantikan oleh keinginan untuk membalas.
Pagi itu, Arina duduk di meja makan, menatap secangkir kopi yang hampir tak tersentuh. Matanya memandang kosong ke luar jendela, tetapi pikirannya sedang berpacu jauh di luar sana, jauh dari apartemennya yang sepi. Alvaro. Mira. Mereka berdua telah membuat hidupnya hancur, dan kini saatnya untuk mengambil kendali. Tidak ada lagi yang bisa ia percayai selain dirinya sendiri.
Ponselnya bergetar. Arina menatap layar, melihat nama yang muncul di sana. Mira.
Untuk sesaat, Arina terhenti. Ia sudah lama tidak berhubungan dengan Mira, meskipun gadis itu beberapa kali mencoba menghubunginya. Arina tak tahu harus berbuat apa, namun hari ini, entah mengapa, ia merasa waktunya telah tiba. Tanpa pikir panjang, ia membuka pesan itu.
“Arina, aku tahu aku tak pantas meminta maaf, tapi aku benar-benar menyesal. Aku minta maaf dengan segenap hati. Aku berharap suatu hari nanti kita bisa berbicara lagi. Tolong, beri aku kesempatan untuk menjelaskan.”
Arina menatap pesan itu lama. Setiap kata yang tertulis hanya menambah rasa panas dalam dadanya. Ia tahu Mira menyesal, tetapi apakah penyesalan itu akan membuat luka di hatinya sembuh? Tidak. Semua sudah terlambat. Tak ada yang bisa menghapus pengkhianatan itu. Tidak dari Mira, dan tentu saja, tidak dari Alvaro.
Tapi di balik rasa sakit itu, ada sesuatu yang lebih gelap, lebih dalam. Keinginan untuk membalas. Arina tahu apa yang harus dilakukannya. Ia sudah terlalu lama diam, terlalu lama membiarkan dirinya menjadi korban. Waktunya untuk membalikkan keadaan.
Sore hari, Arina duduk di kafe favoritnya. Di sana, ia memandang langit yang mulai gelap, menunggu kedatangan seseorang yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya Alvaro. Setelah beberapa hari menghindarinya, Arina merasa kini saat yang tepat untuk berbicara dengan pria itu. Tidak ada lagi yang tersisa antara mereka selain perasaan sakit, tetapi Arina ingin melihat bagaimana Alvaro menghadapi kenyataan dari apa yang telah ia lakukan.
Alvaro datang beberapa menit kemudian, tampak canggung dan terkejut melihat Arina menunggunya di meja kafe. Matanya terlihat lelah, namun ada keinginan kuat untuk berbicara. Namun, Arina hanya duduk diam, menatapnya tajam, menunggu pria itu membuka mulutnya terlebih dahulu.
“A-aku tahu ini tak akan mudah untukmu, Arina,” kata Alvaro pelan, suara seraknya menandakan betapa dia masih merasa bersalah. “Tapi aku… aku sangat menyesal. Apa yang aku lakukan tidak bisa dimaafkan, dan aku tidak berharap kamu memaafkanku. Tapi aku ingin kamu tahu, aku benar-benar menyesal.”
Arina menatapnya dengan tatapan kosong. “Penyesalanmu tak akan mengembalikan apa yang sudah hilang, Alvaro,” jawabnya, suaranya dingin dan keras. “Kau pikir, permintaan maaf ini bisa menyembuhkan semuanya? Kamu merusak segalanya. Kamu menghancurkan aku.”
“Arina, aku tahu aku salah. Aku tak tahu bagaimana bisa melakukan itu padamu… dan aku tak tahu apa yang bisa memperbaiki semuanya. Tapi, aku benar-benar mencintaimu,” katanya dengan tatapan penuh harapan, seolah-olah kata-kata itu bisa menghapus semua rasa sakit.
“Cinta?” Arina tertawa sinis, “Cinta apa yang kamu bicarakan, Alvaro? Cinta yang mengkhianati? Cinta yang menghancurkan? Apa artinya cinta jika itu hanya menyakiti?”
Alvaro terdiam, seolah kata-katanya tak mampu menembus benteng kebencian yang telah dibangun Arina. Ia merasa tak berdaya, tak tahu lagi apa yang harus ia katakan.
Namun, dalam diamnya, Arina merasa ada sesuatu yang berubah di dalam dirinya. Ketika ia menatap Alvaro, ia tidak lagi merasa cemas atau bingung. Tidak ada lagi kebingungan antara cinta dan benci. Kini, hanya ada satu hal yang ia rasakan dendam. Dan dendam itu adalah kekuatan yang akan membimbing langkahnya ke depan.
Di malam yang sama, Arina membuka laptopnya dan mulai mengetik pesan. Pesan yang akan mengubah segalanya. Pesan untuk Mira, yang selama ini bersembunyi di balik penyesalannya, mencoba mencari jalan keluar dari kekeliruan yang ia buat.
“Mira, aku tidak tahu apa yang kamu harapkan dariku. Tapi apa yang telah terjadi antara kamu dan Alvaro tak akan pernah bisa diperbaiki. Kita tak akan pernah kembali menjadi sahabat seperti dulu. Kamu tahu kenapa? Karena aku tahu semua yang telah kalian lakukan. Dan aku akan memastikan bahwa kalian merasakannya.”
Arina menatap pesan itu sejenak, merasa sebuah kepuasan yang asing di dalam dirinya. Ia tahu, balas dendam bukanlah jalan yang benar, tetapi perasaan yang membara di dalam dirinya tak bisa dibendung. Saat ini, itu adalah satu-satunya cara untuk mengeluarkan semua perasaan yang tertahan.
Dengan sekali tekan, pesan itu terkirim.
Arina menatap layar dengan perasaan campur aduk. Bagaimana ia merasa? Lega? Marah? Atau justru kosong? Semua perasaan itu bercampur aduk, namun satu hal yang pasti: dendamnya telah dimulai. Dan ia tidak akan berhenti sampai balas dendam itu terlaksana.
Malam itu, Arina tertidur dengan perasaan yang jauh berbeda dari sebelumnya. Ia tahu apa yang ia lakukan tidak akan membawa kedamaian, tetapi itu adalah keputusan yang telah ia buat. Langkah pertama menuju pemulihan—meskipun pemulihan itu berarti menghancurkan orang yang pernah ia cintai.*
Bab 3 Api Dendam yang Berkobar
Arina merasa seperti ada api yang terus berkobar di dalam dirinya. Semakin lama, api itu semakin membesar, menghanguskan setiap bagian dari dirinya yang dulu penuh dengan harapan. Rencana balas dendam yang ia mulai susun kini telah menemukan bentuknya yang lebih nyata. Ia tak lagi hanya menyimpan perasaan luka, melainkan membiarkannya berkembang menjadi kekuatan yang tak terkendali. Dendam ini adalah api yang tak akan padam begitu saja.
Setelah mengirim pesan kepada Mira, yang telah ia anggap sebagai sahabat, dan berbicara dengan Alvaro di kafe, Arina merasa seolah-olah ia berada di ujung jurang. Di satu sisi, ada dorongan untuk melanjutkan hidupnya, untuk mencoba mencari kebahagiaan meski tanpa mereka berdua. Namun di sisi lain, dendam itu terus mengusik pikirannya, memaksanya untuk melangkah lebih jauh, untuk memastikan bahwa pengkhianatan yang telah ia terima tidak akan dibiarkan begitu saja.
Beberapa hari setelah pesan itu dikirim, Arina masih merasa gelisah. Setiap kali ia melihat ponselnya, ia merasakan kegelisahan yang tak terungkapkan. Tidak ada jawaban dari Mira. Arina mulai bertanya-tanya, apakah Mira benar-benar menyesal, atau apakah semua itu hanyalah basa-basi untuk menenangkan dirinya sendiri? Alvaro juga tidak menghubunginya lagi, meskipun ia tahu pria itu pasti masih mencoba mencari cara untuk mendekatinya.
Namun, malam itu, ketika Arina sedang duduk di ruang tamunya, sebuah pesan masuk. Bukan dari Alvaro. Bukan dari Mira. Tetapi dari nomor yang tak ia kenal.
“Aku tahu apa yang kamu lakukan, Arina. Dan aku ingin kamu tahu, aku ada di sini. Jika kamu ingin benar-benar membalas, aku tahu cara melakukannya.”
Pesan itu terasa seperti sengatan listrik yang menyetrum seluruh tubuh Arina. Ia langsung merasa ada sesuatu yang salah. Dendarnya semakin menguat. Siapa yang mengirimkan pesan ini? Kenapa orang ini seolah-olah tahu apa yang sedang ia pikirkan? Arina merasa hatinya mulai berdetak lebih cepat, namun tidak ada rasa takut yang ia rasakan. Yang ada hanya rasa ingin tahu yang semakin menggelora. Apakah ini jalan yang selama ini ia cari?
Arina segera membalas pesan itu.
“Siapa kamu? Apa yang kamu tahu tentang aku?”
Pesan balasan datang cepat, seolah-olah pengirim itu sudah menunggu.
“Aku hanya tahu satu hal, Arina. Dendammu bisa mengubah segalanya. Jika kamu ingin merasakan kepuasan yang sesungguhnya, aku bisa membantu. Aku tahu bagaimana cara membuat mereka merasakannya. Cara yang akan membuat mereka menyesal atas segalanya.”
Arina merasa sejenak terdiam, perasaannya campur aduk. Di satu sisi, ada rasa was-was yang muncul, namun di sisi lain, dendam yang membara dalam dirinya membuatnya semakin tertarik untuk mengikuti jejak ini. Siapa pun orang ini, ia tahu apa yang Arina inginkan. Ini bukan sekadar pembalasan kecil. Ini adalah kesempatan untuk membuat Alvaro dan Mira merasakan perasaan yang sama—perasaan yang sudah menghancurkannya selama ini.
Tanpa berpikir panjang, Arina memutuskan untuk membalas.
“Apa yang harus aku lakukan?”
Pesan itu hanya membutuhkan beberapa detik untuk mendapat balasan.
“Temui aku di tempat yang akan kuberitahukan besok. Kita akan mulai dari sana. Kamu akan mendapatkan apa yang kamu inginkan, Arina. Jangan khawatir.”
Keesokan harinya, Arina tidak bisa berhenti berpikir tentang pertemuan yang akan datang. Setiap detik terasa penuh ketegangan. Ia tahu, ini adalah langkah yang besar, dan kemungkinan besar tak akan ada jalan kembali setelahnya. Namun, rasa dendam yang semakin membara mengalahkan semua keraguan. Ia merasa telah berada di jalur yang benar. Alvaro dan Mira harus merasakan akibat dari tindakan mereka.
Ketika waktu yang ditentukan tiba, Arina datang ke lokasi yang diberi alamat oleh pengirim pesan tersebut. Tempat itu adalah sebuah kafe kecil yang tersembunyi di ujung jalan. Suasana di dalam kafe gelap, hanya diterangi cahaya lilin yang redup. Seorang pria duduk di meja pojok, mengenakan jaket hitam dan topi yang menutupi sebagian wajahnya.
Arina menghampirinya, langkahnya mantap meski ada sedikit keraguan yang menggelayuti hati. Pria itu menatapnya sekilas, lalu memberi isyarat agar ia duduk.
“Duduklah, Arina,” pria itu berkata, suaranya tenang dan penuh keyakinan. “Kita punya banyak yang harus dibicarakan.”
Arina duduk, menatap pria itu tanpa berbicara, menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya. Pria itu mulai membuka percakapan.
“Aku tahu, kamu ingin membalas mereka. Kamu ingin melihat mereka merasakan sakit yang kamu rasakan. Aku bisa membantumu, Arina. Aku tahu banyak hal tentang mereka yang tidak kamu ketahui.” Pria itu memandangnya dalam-dalam, seolah membaca setiap inci perasaan yang ada dalam diri Arina.
Arina menatapnya tajam. “Apa yang kamu tahu tentang mereka?”
“Aku tahu tentang hubungan mereka,” jawab pria itu dengan tenang. “Aku tahu bahwa Mira telah berencana sejak lama untuk mengambil Alvaro darimu. Aku tahu bahwa Alvaro meskipun dia mencintaimu. juga merasa bosan dengan hubungan ini. Dia tidak pernah benar-benar menghargaimu, Arina.”
Arina menahan napas. Setiap kata yang diucapkan pria itu seperti menusuk jantungnya. Ia merasa seperti ada seseorang yang melihat dan memahami semua luka di dalam dirinya. Setiap kata yang keluar dari pria itu membuat api dalam dirinya semakin besar, semakin membakar.
“Lalu, apa yang harus aku lakukan?” tanyanya, suaranya sedikit gemetar, tetapi semangatnya semakin menyala.
Pria itu tersenyum tipis. “Semuanya dimulai dengan sebuah pilihan. Pilihan untuk membuat mereka merasakan sakit yang kamu rasa. Pilihan untuk menghancurkan hubungan mereka, seperti yang mereka hancurkan milikmu. Tapi, ingat, Arina—setelah kamu memilih jalan ini, tidak ada jalan kembali.”
Arina menatap pria itu dengan penuh tekad. “Aku siap.”
Hari-hari berikutnya, Arina semakin tenggelam dalam api dendamnya. Ia mulai melangkah lebih jauh, menyusun strategi untuk membuat Alvaro dan Mira merasakan apa yang ia rasakan. Ia tahu ini bukan hanya tentang balas dendam, tetapi juga tentang mengembalikan kendali atas hidupnya yang telah hilang. Dalam prosesnya, ia merasa bahwa api yang membakar hatinya itu bukan hanya membawa rasa sakit, tetapi juga memberi kekuatan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
Namun, Arina juga tahu satu hal bahwa semakin dalam ia terjun ke dalam permainan ini, semakin sulit untuk keluar. Dendam ini telah mengubahnya. Tidak lagi hanya seorang wanita yang terluka, tetapi kini ia adalah seseorang yang tak lagi takut untuk menghadapi dunia dengan cara apapun, bahkan jika itu berarti menghancurkan apa yang ia cintai.
Api dendam ini telah berkobar, dan kini tidak ada yang bisa menghentikannya.*
Bab 4 Dendam yang Menjadi Berat
Arina tidak lagi mengenali dirinya sendiri. Dulu, ia adalah sosok yang ceria, penuh harapan, dan selalu melihat dunia dengan pandangan optimis. Namun, sejak ia memutuskan untuk menempuh jalan ini, jalan yang penuh dengan dendam dan pembalasan, semuanya berubah. Setiap langkah yang ia ambil kini terasa lebih berat, seperti ada beban yang terus-menerus menekan dadanya, membuat napasnya sesak.
Semakin ia mendalami perasaan dendam itu, semakin ia merasa dirinya terjerat dalam jaring-jaring yang ia buat sendiri. Setiap rencana yang ia jalankan, setiap tindakan yang ia lakukan untuk menghancurkan Alvaro dan Mira, terasa seperti pedang yang tidak hanya melukai mereka, tetapi juga dirinya. Dendam ini menjadi semakin berat, dan Arina merasa semakin jauh dari orang yang dulu ia kenal.
Pagi itu, Arina duduk di meja kerjanya, menatap layar komputer dengan tatapan kosong. Pikirannya melayang jauh, mengingat kembali semua langkah yang telah ia ambil untuk merusak hubungan Alvaro dan Mira. Ia telah memanfaatkan setiap celah yang ia temukan untuk mengguncang dunia mereka, menggali rahasia-rahasia yang tak mereka ingin dunia ketahui. Foto-foto intim, pesan-pesan tersembunyi, dan kebohongan-kebohongan yang selama ini mereka tutupi, kini menjadi senjata yang ia gunakan untuk membuat mereka merasa dihancurkan.
Namun, semakin ia menatap foto-foto itu, semakin ia merasa hatinya kosong. Semua itu tidak memberinya kepuasan yang ia harapkan. Bahkan, ada rasa hampa yang tumbuh di dalam dirinya, seperti sesuatu yang telah hilang dan tak bisa digantikan. Arina meraih cangkir kopinya dengan tangan gemetar, lalu meneguknya dengan cepat, berharap bisa menenangkan diri, meskipun ia tahu bahwa yang ia rasakan lebih dari sekadar kegelisahan. Dendam ini mulai membebaninya, mulai merasuki setiap aspek kehidupannya.
Ia merasa seperti terperangkap dalam lingkaran yang tak berujung. Setiap kali ia mengingat Alvaro dan Mira, ada rasa sakit yang menyiksa, namun juga ada kepuasan samar yang membuatnya ingin terus melangkah lebih jauh. Ia merasa seperti kehilangan kendali atas diri sendiri. Sejak pesan pertama yang ia terima dari orang misterius itu, semuanya berubah. Ia merasa seperti boneka yang ditarik oleh tali, dan ia tidak tahu siapa yang memegang tali itu. Namun, yang lebih mengerikan adalah kenyataan bahwa ia sendiri merasa semakin tak berdaya untuk melepaskan diri dari kontrol ini.
Arina mulai menyadari bahwa ia tidak bisa terus seperti ini. Dendam yang ia pelihara tidak memberinya kebahagiaan. Bahkan, kebahagiaan yang dulu ia rasakan bersama Alvaro kini terasa jauh, seolah itu adalah kenangan dari kehidupan orang lain. Tidak ada lagi rasa cinta yang tulus, hanya ada kebencian dan luka yang membekas begitu dalam. Setiap kali ia memikirkan masa lalunya bersama Alvaro, ia merasa seperti ada sesuatu yang robek dalam dirinya, dan ia tidak tahu bagaimana cara untuk menjahitnya kembali.
Namun, ia juga tahu satu hal: jika ia berhenti sekarang, jika ia melepaskan semua ini, maka ia akan merasa seperti ia telah mengorbankan semuanya. Arina merasa ia sudah terlalu jauh untuk mundur. Dendam ini sudah menjadi bagian dari dirinya. Setiap rencana yang ia jalankan, setiap langkah yang ia ambil, memberikan perasaan seolah ia sedang meraih keadilan, meskipun ia tahu di dalam hatinya bahwa itu bukanlah keadilan yang sesungguhnya.
Malam itu, ketika Arina pulang ke rumah setelah bekerja, ia merasa tubuhnya lelah, namun pikirannya masih berputar-putar. Ada sebuah pesan di ponselnya—dari Alvaro. Pesan yang sudah lama ia tunggu-tunggu, meskipun ia tahu itu tidak akan mengubah apa pun.
“Arina, aku tahu aku telah melakukan kesalahan besar, dan aku tak bisa meminta maaf cukup untuk menebus semuanya. Tapi aku ingin kamu tahu, aku sangat menyesal. Aku masih mencintaimu. Aku ingin kita kembali. Aku ingin memperbaiki semuanya.”
Arina menatap pesan itu dalam diam. Suasana hatinya yang semakin berat bertambah lebih gelap dengan kata-kata Alvaro. Ia tahu, ini adalah salah satu dari banyak upaya Alvaro untuk meraih kembali perhatian Arina. Namun, kini tidak ada lagi cinta dalam dirinya untuk Alvaro. Yang ada hanyalah kebencian yang semakin menggebu. Ia bisa merasakan dendam itu membakar setiap perasaan yang pernah ia rasakan untuknya.
Namun, meskipun ia tahu bahwa ia tak akan kembali kepada Alvaro, pesan itu tetap memberikan dampak yang tak terduga. Entah mengapa, seakan ada sesuatu yang menekan dirinya untuk membalas pesan itu. Rasa marah, rasa sakit, dan rasa ingin membalas semakin menggila. Alvaro tidak bisa begitu saja kembali dan mengharapkan segalanya kembali seperti semula. Tidak setelah semuanya yang telah terjadi. Tidak setelah pengkhianatannya dengan Mira.
“Kamu terlambat, Alvaro,” jawab Arina dengan tangan gemetar. “Terlalu terlambat untuk meminta maaf. Kamu sudah menghancurkan semuanya. Dan aku tak akan pernah bisa kembali lagi.”
Setelah mengirim pesan itu, Arina merasa hatinya bergejolak. Ia tahu ia baru saja menutup pintu yang tak bisa dibuka lagi. Namun, di sisi lain, ada perasaan aneh yang muncul—sebuah perasaan yang memberatkan dadanya, membuat napasnya terasa sesak. Apakah ia benar-benar bisa melupakan semuanya? Apakah dendam ini akan benar-benar membebaskannya, seperti yang ia harapkan? Ataukah, pada akhirnya, dendam ini hanya akan mengurungnya lebih dalam lagi dalam kesedihan dan penyesalan?
Keesokan harinya, Arina menerima sebuah panggilan telepon tak terduga—dari Mira. Awalnya, Arina merasa tak ingin mengangkatnya, tetapi akhirnya ia memutuskan untuk menjawab, meskipun ia tahu bahwa percakapan ini akan mengungkapkan banyak hal yang ingin ia hindari.
“Arina, aku tahu aku tak pantas memintamu untuk mendengarkan, tapi aku benar-benar menyesal. Aku… aku tak tahu bagaimana bisa melakukan itu padamu. Aku sangat mencintaimu, dan aku tak tahu bagaimana kita bisa kembali seperti dulu,” suara Mira terdengar begitu penuh penyesalan.
Arina terdiam. Telinganya seperti tertutup oleh gelombang emosi yang datang begitu cepat. Dendam yang telah ia pelihara untuk Mira terasa semakin berat. Meskipun ia tahu bahwa semua ini adalah kebohongan, ia merasa seperti ada sesuatu yang mengikatnya, membuatnya tak bisa sepenuhnya melepaskan rasa benci itu.
“Aku sudah tak ingin mendengarnya lagi, Mira,” jawab Arina dengan suara yang tegas, meskipun ada rasa sesak di dadanya. “Semua sudah selesai. Kamu dan Alvaro telah membuat keputusan kalian sendiri, dan aku sudah membuat keputusan saya.”
Dengan itu, Arina memutuskan sambungan telepon itu, namun perasaan yang mengikutinya terasa semakin membebaninya. Dendam yang selama ini ia kira bisa membebaskannya kini mulai terasa seperti rantai yang semakin menekan. Arina tahu, ia telah melangkah terlalu jauh. Namun, apakah ia bisa berhenti sekarang? Atau apakah dendam ini akan terus menjadi beban yang tak akan pernah lepas?
Dendam ini telah menjadi bagian dari hidup Arina, dan ia tahu bahwa, seperti api yang terus membakar, ia harus menemukan cara untuk memadamkannya. Tetapi, semakin lama ia berpikir, semakin ia merasa bahwa mungkin sudah terlambat. Dendam ini telah terlalu lama ada, terlalu dalam tertanam di dalam hatinya.
Dan Arina tahu satu hal: terkadang, dendam bukanlah jalan keluar—dendam justru bisa menjadi beban yang paling berat.*
Bab 5 Mengubur Dendam, Menyembuhkan Luka
Arina duduk di tepi jendela kamar tidurnya, menatap langit yang mulai berubah warna menjadi oranye keemasan saat matahari terbenam. Ia tidak tahu berapa lama sudah ia berada dalam posisi ini, melamun tanpa arah, hanya ditemani oleh pikirannya yang semakin kacau. Luka di hatinya, yang dulu ia kira bisa disembuhkan dengan membalas dendam, kini terasa seperti beban yang terus menekannya. Semakin ia mendalam dalam proses pembalasan, semakin ia merasa semakin terperangkap dalam labirin yang ia buat sendiri.
Dendam yang dulu terasa seperti kekuatan yang bisa menggerakkan dunia kini berubah menjadi sesuatu yang menggerogoti dirinya. Setiap langkah yang ia ambil untuk menghancurkan hidup Alvaro dan Mira, setiap kata yang ia ucapkan dengan penuh kebencian, hanya membuatnya semakin jauh dari kedamaian yang ia inginkan. Api dendam itu telah membakar begitu banyak bagian dari dirinya, dan kini, yang ia rasakan hanyalah kehampaan.
Tangan Arina gemetar saat ia meraih ponselnya. Pesan dari Mira yang belum terbaca masih terngiang di benaknya. “Aku minta maaf, Arina. Aku tahu aku tidak berhak meminta ini, tapi aku ingin kamu tahu betapa menyesalnya aku. Aku harap suatu hari nanti kamu bisa memaafkanku.” Pesan itu mengganggu pikirannya. Ia tahu bahwa Mira meminta maaf, dan meskipun itu sudah terlambat, rasa sesal dalam suara Mira seolah merobek luka lama yang belum sembuh.
Apa yang sebenarnya ia inginkan? Keinginan untuk balas dendam sudah lama menjadi inti dari kehidupannya, tetapi kini semuanya terasa seperti mimpi buruk yang tak bisa ia bangunkan. Arina mengerti, bahwa meskipun ia mendapatkan semua yang ia inginkan, itu tidak akan pernah mengembalikan kebahagiaan yang dulu ada. Semua yang ia lakukan hanya semakin memperburuk keadaan.
Keesokan harinya, Arina memutuskan untuk mengunjungi tempat yang selama ini ia hindari—rumah orangtuanya. Rumah itu, yang dulu penuh dengan tawa dan kehangatan, kini terasa asing dan dingin. Arina tidak pernah benar-benar merasakan rumah itu lagi sejak ia terperangkap dalam perasaan dendam yang tak kunjung padam. Namun, kini ia merasakan kebutuhan yang mendalam untuk kembali ke sana. Ia membutuhkan sesuatu yang nyata untuk mengingatkan dirinya bahwa ada hidup di luar api dendam yang membara.
Saat ia melangkah masuk ke ruang tamu, ibunya yang sedang duduk di sofa menyambutnya dengan senyum lembut. Wajah ibu Arina tidak banyak berubah—tetap penuh kasih dan kehangatan yang selalu menenangkan hati Arina. Namun, ada sesuatu di mata ibu yang membuat Arina merasa cemas. Ibunya tahu, pasti tahu, bahwa ada sesuatu yang sedang terjadi dalam hidupnya.
“Ibu, aku… aku merasa seperti kehilangan arah,” kata Arina dengan suara yang hampir tak terdengar. “Aku merasa… terperangkap dalam sesuatu yang tidak bisa kujelaskan.”
Ibu Arina mengangkat wajahnya, menatap anaknya dengan penuh perhatian. “Dendam itu, Nak… memang bisa membuat kita merasa seolah-olah kita sedang mengendalikan sesuatu. Tetapi, kadang-kadang, kita justru merasa semakin hilang. Dendam itu hanya akan mengubah kita, dan bukan orang lain.”
Arina menunduk, mencoba menahan air matanya yang hampir keluar. Kata-kata ibu itu menyentuh hatinya lebih dalam daripada yang ia harapkan. Ia merasa seperti ada tembok besar yang selama ini menutupi matanya, dan sekarang, perlahan-lahan, tembok itu mulai runtuh. Arina tidak bisa terus seperti ini, mengejar sesuatu yang hanya menguras energi dan membuatnya semakin terluka.
“Ibu,” Arina memulai dengan suara yang lebih tenang, “apa yang harus aku lakukan untuk melepaskan semua ini? Aku merasa sudah terlalu lama membiarkan dendam ini menguasai hidupku.”
Ibu Arina mendekat, memegang tangan Arina dengan lembut. “Arina, melepaskan dendam bukan berarti kamu membiarkan orang lain yang menyakitimu pergi begitu saja. Itu berarti kamu memberi dirimu kesempatan untuk hidup tanpa beban itu. Kamu berhak bahagia, Nak, dan kamu berhak untuk sembuh. Tidak ada yang bisa mengubah masa lalu, tetapi kamu bisa memilih untuk tidak membiarkan masa lalu itu merusak masa depanmu.”
Arina menatap ibunya dengan mata yang berkaca-kaca. Kata-kata itu begitu sederhana, tetapi sangat dalam. Bagaimana bisa ia tidak melihatnya sebelumnya? Dendam yang selama ini ia pegang erat-erat ternyata bukanlah cara untuk menyembuhkan lukanya. Dendam itu hanya membuat luka semakin dalam dan semakin sulit untuk sembuh.
Hari-hari setelah itu terasa seperti perjalanan panjang menuju pemulihan. Arina mulai melepaskan kontrolnya atas dendam yang telah ia rawat begitu lama. Ia berhenti menghubungi orang misterius yang selama ini memberinya rencana balas dendam. Ia memblokir pesan-pesan yang datang dari Alvaro dan Mira, bukan karena ia membenci mereka, tetapi karena ia tahu bahwa untuk sembuh, ia harus berhenti mengingat semua hal yang menyakitkan.
Malam-malam yang dulu ia habiskan dengan membayangkan skenario balas dendam kini mulai diisi dengan waktu yang lebih tenang. Arina mulai kembali ke rutinitas lamanya, meskipun kali ini dengan hati yang lebih ringan. Ia mulai berlatih yoga untuk menenangkan pikirannya dan berfokus pada dirinya sendiri. Ia kembali melukis, sesuatu yang dulu selalu memberinya kebahagiaan, dan seiring berjalannya waktu, ia merasa ada sesuatu yang mulai sembuh dalam dirinya.
Satu hal yang Arina pelajari dalam perjalanan ini adalah bahwa untuk melepaskan dendam, ia tidak harus memaafkan orang-orang yang telah menyakitinya. Memaafkan tidak berarti melupakan atau membenarkan apa yang telah terjadi, tetapi berarti memberi ruang untuk dirinya sendiri untuk bebas dari beban yang tidak perlu. Hanya dengan begitu ia bisa memulai langkah baru dalam hidupnya.
Suatu hari, ketika Arina sedang berjalan di taman sambil mendengarkan lagu favoritnya, ia melihat seorang pria berdiri di kejauhan, memandang ke arah dirinya. Tanpa disadari, Arina mengenali pria itu—Alvaro. Dia berdiri di sana, dengan wajah yang penuh penyesalan, menunggu untuk dihampiri.
Arina berhenti sejenak, menarik napas dalam-dalam. Ia bisa merasakan detak jantungnya yang semakin cepat. Tetapi, kali ini, ia tidak merasa marah. Tidak ada dendam yang membakar. Ia merasa tenang, bahkan meskipun melihat Alvaro di hadapannya. Terkadang, ketika seseorang datang untuk meminta maaf, kita tidak perlu menyambutnya dengan kebencian. Kita bisa memilih untuk menerima permintaan maaf itu, atau cukup membiarkannya pergi tanpa perlu terikat lagi.
“Arina, aku tahu aku tidak berhak meminta apapun darimu,” suara Alvaro terdengar pelan namun penuh penyesalan. “Aku sangat menyesal atas semuanya. Aku tahu aku telah membuatmu terluka.”
Arina memandangnya dengan tatapan yang lembut, meskipun hatinya masih tersisa sedikit rasa sakit. “Alvaro, aku sudah lama memaafkanmu. Tapi aku tidak bisa kembali ke masa lalu. Aku telah memilih untuk melepaskan semuanya. Dan aku ingin kamu tahu, aku baik-baik saja sekarang.”
Alvaro terdiam, menatapnya dengan tatapan penuh rasa hormat. Arina merasa ada sesuatu yang berbeda dalam dirinya—sesuatu yang akhirnya mulai sembuh. Ia tidak lagi terbelenggu oleh masa lalu, dan itu memberinya kebebasan yang luar biasa.
“Aku berharap kamu bahagia, Arina,” kata Alvaro, sebelum berbalik pergi.
Arina hanya tersenyum kecil, kemudian melangkah maju. Langit sore itu begitu indah, dan Arina tahu, walaupun jalan menuju pemulihan tak mudah, ia akhirnya bisa mengubur dendamnya dan menyembuhkan luka yang selama ini menghambatnya.
Kini, ia bebas. Bebas untuk memilih kebahagiaan, bebas untuk melangkah tanpa beban. Dan itu, lebih dari apa pun, adalah hadiah terbesar yang bisa ia beri untuk dirinya sendiri.***
———-THE END————