Daftar Isi
Bab 1: Di Antara Notifikasi yang Sunyi
Awal masa hubungan jarak jauh yang masih penuh semangat.
Komunikasi lewat pesan, video call, dan media sosial.
Euforia dalam setiap pesan yang masuk, tetapi mulai muncul kesenjangan waktu dan kesibukan masing-masing.
Malam sudah larut, tapi Liana masih menatap layar ponselnya dengan penuh harap. Jemarinya berulang kali menyegarkan halaman chat, menunggu tanda pesan baru dari Aidan. Namun, tidak ada apa-apa. Hanya centang satu yang seolah menatapnya dengan dingin. Sudah hampir tiga jam sejak pesan terakhirnya terkirim, tapi belum juga ada balasan.
Sebelumnya, hubungan mereka terasa begitu hangat meski terpisah jarak ribuan kilometer. Aidan yang sedang menyelesaikan studinya di luar negeri selalu berusaha menyempatkan waktu untuk menghubungi Liana. Mereka memiliki kebiasaan video call sebelum tidur, saling bertukar cerita tentang hari mereka. Namun, akhir-akhir ini, semuanya mulai berubah.
Liana menghela napas panjang dan meletakkan ponselnya di atas meja. Ia mencoba menghibur dirinya sendiri dengan pikiran bahwa Aidan mungkin sedang sibuk. Namun, bayangan-bayangan ketakutan mulai mengusik pikirannya. Apakah Aidan mulai terbiasa tanpa dirinya? Apakah hubungan mereka masih memiliki arti yang sama bagi Aidan seperti dulu?
Saat ia tiba di kantor, Rina, sahabatnya, langsung menyadari perubahan raut wajahnya.
“Kenapa mukamu kayak orang kurang tidur?” tanya Rina sambil meletakkan secangkir kopi di meja Liana.
Liana tersenyum tipis. “Enggak apa-apa. Cuma kepikiran sesuatu.”
Rina menaikkan alisnya. “Aidan lagi, ya?”
Liana tak menjawab, hanya menghela napas panjang. Rina mengerti, lalu duduk di kursi sebelahnya.
“Kamu harus tenang, Li. Hubungan jarak jauh itu nggak gampang. Kadang kita harus percaya tanpa perlu bukti setiap saat.”
Liana tersenyum, meski hatinya masih diliputi ragu. Kepercayaan, ya? Ia ingin percaya, tapi bagaimana jika yang ia percaya justru perlahan-lahan melepaskannya?
Aidan: “Maaf, tadi sibuk banget. Gimana harimu?”
Liana menatap pesan itu cukup lama sebelum akhirnya membalas.
Liana: “Nggak apa-apa. Hari ini cukup sibuk juga. Kamu kenapa lama banget balesnya?”
Beberapa menit berlalu tanpa jawaban. Liana mulai menyesali pertanyaannya. Mungkin Aidan benar-benar sibuk. Namun, sebelum ia bisa menghapus pesannya, sebuah balasan masuk.
Aidan: “Lagi banyak tugas dan rapat. Maaf, ya. Aku capek banget.”
Liana tersenyum kecil. Setidaknya, Aidan masih berusaha membalas meski singkat.
Liana: “Nggak apa-apa. Jangan lupa makan, ya.”
Tidak ada balasan setelah itu. Liana menatap layar ponselnya cukup lama, berharap setidaknya ada emoji atau kalimat tambahan, tetapi tidak ada. Sepertinya obrolan mereka sudah selesai malam ini.
Malam itu, sebelum tidur, Liana menatap layar ponselnya sekali lagi. Ia menuliskan sebuah pesan panjang, tetapi akhirnya menghapusnya. Ia takut terlihat terlalu menuntut. Dengan berat hati, ia memilih untuk tidur lebih dulu, tanpa menunggu notifikasi dari Aidan yang biasanya mengakhiri harinya dengan kata-kata manis.
Namun, di balik layar ponselnya yang kini tergeletak diam di meja, hatinya tetap berisik dengan pertanyaan-pertanyaan yang belum menemukan jawaban.
Bab 2: Jarak yang Tak Hanya Soal Kilometer
Momen pertama saat komunikasi mulai berkurang.
Munculnya rasa rindu yang tak terbalas.
Kecemburuan dan ketidakpastian mulai mengganggu.
Jarak sejatinya bukan hanya tentang angka di peta atau kilometer yang terbentang antara dua kota. Terkadang, jarak yang paling menyakitkan adalah yang tak terlihat—yang muncul dari kesibukan, dari keheningan yang terlalu lama, dan dari ketidaksepahaman yang semakin menjalar.
Lana dan Reza selalu berpikir bahwa hubungan mereka cukup kuat untuk menghadapi segalanya. Mereka sudah bersama selama lima tahun, dan ketika Reza harus pindah ke negeri seberang demi pekerjaannya, mereka yakin semuanya bisa tetap berjalan seperti biasa. Namun, satu bulan berlalu, dan segalanya tak lagi sesederhana yang mereka kira.
Rutinitas yang Berubah
Sebelum Reza berangkat, mereka memiliki rutinitas yang tak pernah berubah. Setiap malam, Lana selalu menerima telepon dari Reza, entah hanya untuk membahas hal-hal sepele atau sekadar mendengar suara satu sama lain sebelum tidur. Namun, setelah beberapa minggu, panggilan itu mulai berkurang.
Awalnya, Lana mengerti. Reza bekerja di perusahaan multinasional dengan jadwal yang padat. Ada banyak hal yang harus ia pelajari dan adaptasi dengan lingkungan barunya. Tapi seiring waktu, Lana mulai merasa seperti orang asing dalam kehidupan Reza.
Hari itu, setelah tiga hari tanpa kabar, Lana memberanikan diri menelepon lebih dulu. Suara Reza terdengar lelah, dan ia terdengar terburu-buru.
“Maaf, aku sibuk banget, Na. Kayaknya nanti aja ya kita teleponnya?”
Lana menggigit bibir. “Oke, tapi nanti itu jam berapa?”
Sejenak, hening. Reza seperti sedang mencari jawaban yang tak bisa ia temukan. “Nggak tahu, Na. Aku masih harus menyelesaikan beberapa laporan. Nanti aku kabarin, ya.”
Lana ingin protes, ingin mengatakan bahwa ia hanya ingin lima menit saja berbicara dengan Reza. Tapi ia juga tak mau terlihat seperti pasangan yang terlalu menuntut. Maka, dengan suara kecil, ia hanya berkata, “Oke.”
Namun, kabar yang dijanjikan tak pernah datang.
Percakapan yang Tak Lagi Sama
Jika dulu setiap panggilan telepon diwarnai dengan tawa dan cerita panjang tentang hari mereka masing-masing, kini percakapan terasa canggung.
“Hari ini gimana?” tanya Lana saat akhirnya Reza menelepon seminggu kemudian.
“Biasa aja, kerjaan banyak. Kamu gimana?”
“Aku… ya, gitu aja. Nggak banyak yang berubah,” jawab Lana.
Dulu, Reza akan bertanya lebih lanjut, akan menggali lebih dalam, bahkan mungkin menggoda Lana karena rutinitasnya yang itu-itu saja. Tapi kali ini, ia hanya menggumamkan “Oh, gitu ya.” Seolah-olah tidak ada yang penting dalam jawaban itu.
Lana mulai bertanya-tanya: apakah ini semua hanya karena kesibukan? Atau ada sesuatu yang lebih dalam dari itu?
Waktu yang Tak Pernah Sinkron
Perbedaan zona waktu memang hanya beberapa jam, tapi ternyata itu cukup untuk membuat segalanya terasa semakin sulit. Ketika Lana ingin bercerita tentang harinya, Reza sudah kelelahan. Ketika Reza akhirnya punya waktu, Lana sudah tertidur.
Suatu malam, Lana menunggu. Ia menolak tidur meskipun matanya sudah terasa berat. Ia ingin berbicara dengan Reza, ingin memastikan semuanya masih baik-baik saja.
Pukul dua dini hari, akhirnya sebuah pesan masuk.
“Maaf ya, aku ketiduran tadi. Besok aja ya kita telepon?”
Lana menatap layar ponselnya lama. Rasa kecewa menjalar di hatinya, tapi ia hanya membalas, “Iya, nggak apa-apa.”
Namun, esoknya, telepon itu tak pernah datang.
Pertanyaan yang Muncul
Setiap kali Reza menghilang lebih lama dari biasanya, pikiran Lana mulai dipenuhi berbagai kemungkinan. Apakah Reza mulai bosan? Apakah ada seseorang yang lebih menarik perhatiannya di sana?
Lana tahu bahwa kecurigaan ini tidak sehat, tapi ia tak bisa mengabaikan perasaan kosong yang semakin hari semakin besar.
Hingga suatu hari, ia melihat sesuatu yang membuat hatinya semakin tak menentu.
Reza baru saja mengunggah sebuah foto di media sosialnya—sebuah foto di restoran bersama teman-temannya. Di antara mereka, ada seorang perempuan yang tak dikenalnya.
Lana ingin percaya bahwa itu hanya teman biasa. Tapi mengapa Reza tak pernah bercerita tentangnya?
Ketika akhirnya mereka berbicara, Lana mencoba untuk tidak terdengar terlalu curiga. “Tadi aku lihat postingan kamu. Lagi makan malam sama teman-teman ya?”
“Iya, tadi abis kerja diajak makan. Kenapa?” suara Reza terdengar biasa saja.
“Nggak, cuma nanya. Seru ya?”
Reza menghela napas. “Lana, kalau kamu mau nanya sesuatu, tanya aja. Jangan muter-muter kayak gini.”
Lana tercekat. Reza tak pernah berbicara dengan nada seperti itu sebelumnya.
“Aku cuma pengen tahu, siapa perempuan yang di sebelah kamu itu?” tanyanya akhirnya.
Sejenak, hening.
“Oh, dia? Itu Ana, teman kantor. Baru aja pindah ke sini juga.”
Lana menggigit bibirnya. “Kenapa kamu nggak pernah cerita?”
Reza tertawa kecil, tapi terdengar hambar. “Karena aku pikir nggak penting, Lana. Dia cuma teman.”
Tapi bagi Lana, itu lebih dari sekadar “nggak penting”. Itu adalah bukti bahwa ada bagian dari kehidupan Reza yang kini terasa semakin jauh darinya.
Mencoba Bertahan atau Melepaskan?
Malam itu, Lana duduk di ranjangnya, memandangi layar ponsel yang tetap sunyi.
Ia tak tahu harus bagaimana.
Hubungan ini masih ada, tapi apakah masih sama?
Jarak yang mereka hadapi bukan lagi sekadar angka di peta. Ini adalah jarak yang lebih dalam—jarak yang tak terlihat, tapi terasa semakin nyata.
Dan pertanyaan yang kini menghantuinya adalah: apakah cinta mereka cukup kuat untuk menjembatani jarak ini?
Banyak orang berpikir bahwa hubungan jarak jauh hanya tentang rindu dan kesabaran. Namun, Lana baru menyadari bahwa jarak lebih dari itu. Jarak bukan hanya soal ratusan atau ribuan kilometer yang memisahkan dua orang, tetapi juga tentang bagaimana kehadiran seseorang perlahan-lahan berubah menjadi sekadar nama di layar ponsel.
Hubungan ini dulu terasa begitu kuat, begitu nyata. Namun, kini, setiap percakapan dengan Reza terasa seperti percakapan dengan seseorang yang semakin asing.
Keheningan yang Mulai Menghantui
Lana masih ingat malam sebelum Reza pergi. Mereka duduk di mobil, di parkiran bandara, enggan untuk berpisah meskipun keberangkatan Reza semakin dekat.
“Aku bakal tetap ada buat kamu, Na,” kata Reza, menggenggam tangan Lana erat. “Aku janji, kita nggak akan berubah.”
Saat itu, Lana percaya. Tapi sekarang, beberapa bulan setelahnya, ia mulai meragukan janji itu.
Reza masih ada—setidaknya secara teknis. Namanya masih ada di daftar kontak Lana. Sesekali pesan darinya masih masuk. Namun, semuanya terasa berbeda.
Seperti malam ini.
Lana menatap layar ponselnya. Percakapan terakhir mereka terjadi dua hari lalu, dan itu pun hanya sebatas:
Reza: Maaf ya, sibuk banget. Nanti aku kabarin.
Lana: Iya, nggak apa-apa. Jangan lupa makan, ya.
Reza: Iya, kamu juga.
Dan setelah itu? Tidak ada apa-apa lagi.
Tidak ada kabar, tidak ada telepon, bahkan tidak ada emoji kecil yang biasanya selalu menyertai pesan mereka dulu.
Lana mendesah. Apakah ia harus menghubungi lebih dulu?
Namun, perasaan ragu menahannya.
Ia takut. Takut jika ia yang selalu berusaha, tetapi Reza tak lagi peduli. Takut jika ia menelepon, tapi suara di seberang terdengar lelah, terdengar ingin segera mengakhiri percakapan.
Maka, malam itu, ia hanya berbaring di ranjangnya, memeluk ponselnya erat-erat, berharap ada pesan yang masuk. Tapi tidak ada.
Alasan yang Kian Rapuh
Hari itu, Lana akhirnya memberanikan diri menelepon.
Nada sambung terdengar cukup lama sebelum akhirnya suara Reza muncul.
“Halo?”
“Hai,” suara Lana terdengar lebih pelan dari yang ia harapkan. “Kamu sibuk?”
Reza menghela napas pelan. “Iya, tadi habis meeting. Ada apa?”
Ada apa? Pertanyaan itu membuat Lana sedikit terdiam.
Dulu, ia tak perlu punya ‘alasan’ untuk menelepon Reza. Mereka bisa berbicara berjam-jam tanpa harus menjelaskan kenapa.
Tapi kini, seolah-olah teleponnya adalah gangguan.
“Nggak ada apa-apa,” jawab Lana akhirnya. “Aku cuma kangen.”
Hening beberapa detik sebelum akhirnya Reza berkata, “Oh… iya, aku juga kangen.”
Tapi suaranya datar. Tidak ada antusiasme, tidak ada rindu yang sama.
Lana merasakan sesuatu di hatinya retak pelan-pelan.
“Aku ganggu ya? Kalau sibuk, aku bisa telepon nanti.”
“Iya, kayaknya nanti aja ya, Na? Aku masih harus balas email dulu. Nanti aku kabarin.”
Dan seperti biasa, kabar itu tak pernah datang.
Seseorang yang Tidak Lagi Sama
Hubungan mereka kini terasa seperti tanaman yang layu. Jika dulu penuh dengan warna dan kehangatan, kini rasanya semakin redup.
Lana mencoba memahami. Reza ada di tempat baru, dengan lingkungan baru, kesibukan baru. Mungkin ini hanya masa transisi, mungkin ia hanya butuh waktu.
Namun, ada sesuatu yang lebih mengganggu—perasaan bahwa Reza tidak hanya sibuk, tetapi juga tidak lagi menjadikan Lana sebagai prioritas.
Lana mulai memperhatikan kebiasaan kecil yang berubah.
Jika dulu Reza selalu mengirimkan foto-foto hariannya—secangkir kopi pagi, langit senja, atau sekadar selfie konyol—kini ponselnya sepi. Jika dulu ia selalu membalas pesan dengan cepat, kini balasannya singkat dan lama.
Yang lebih menyakitkan, Lana menyadari bahwa Reza masih aktif di media sosial.
Ia melihatnya mengunggah foto bersama teman-teman barunya, tertawa, menikmati hidup. Tapi tidak ada satu pun dari mereka yang Reza ceritakan pada Lana.
Lana tidak cemburu pada mereka. Ia hanya takut. Takut bahwa perlahan-lahan, ia bukan lagi bagian dari kehidupan Reza.
Ketakutan yang Lama Terpendam
Malam itu, Lana duduk di kamarnya, memandangi layar ponsel dengan jantung berdebar. Ia ingin bertanya sesuatu yang sudah lama mengganggunya.
Ketika akhirnya Reza membalas pesannya, ia mengetik dengan hati-hati.
Lana: Aku mau tanya sesuatu. Tapi aku takut jawabannya.
Reza: Tanya aja, Na. Jangan kayak gini.
Lana menarik napas panjang sebelum mengetik pertanyaan yang menghantuinya selama ini.
Lana: Kamu masih mau lanjut nggak sama aku?
Pesannya terkirim.
Lama sekali sebelum akhirnya ada tanda bahwa Reza sedang mengetik.
Namun, yang muncul bukanlah jawaban yang ia harapkan.
Reza: Kenapa tiba-tiba nanya kayak gitu?
Lana menelan ludah. Tangannya gemetar saat mengetik.
Lana: Karena aku nggak tahu lagi kita ini masih sama atau nggak. Kamu berubah, Za. Aku tahu kita jauh, aku tahu kamu sibuk. Tapi rasanya kayak… kita nggak lagi ada di halaman yang sama.
Sejenak, tidak ada balasan.
Sampai akhirnya, Reza membalas.
Reza: Aku nggak berubah, Na. Aku cuma… mungkin aku lelah. Ini bukan hal yang gampang buat aku juga. Aku nggak mau menyakiti kamu. Aku cuma butuh waktu buat mikir.
Lana terpaku menatap layar.
Butuh waktu?
Apakah itu berarti Reza memang merasa ada yang berubah?
Apakah itu berarti Reza tidak lagi yakin pada hubungan mereka?
Jarak yang Sebenarnya
Malam itu, Lana menangis tanpa suara.
Bukan karena ia marah, bukan karena ia merasa dikhianati. Tapi karena ia sadar bahwa ini bukan sekadar tentang jarak geografis lagi.
Ini tentang hati yang mulai kehilangan arah. Tentang dua orang yang berjalan ke arah yang berbeda, meski masih berusaha berpegangan.
Dan yang lebih menyakitkan dari sebuah perpisahan adalah saat kau tahu perpisahan itu perlahan-lahan terjadi, tapi kau tidak bisa melakukan apa pun untuk menghentikannya.
Bab 3: Love in Airplane Mode
Liana merasa Aidan mulai berubah dan sering “airplane mode” tanpa kabar.
Liana berusaha memahami, tetapi rasa takut kehilangan makin menguat.
Aidan akhirnya memberi penjelasan—apakah dia benar-benar sibuk atau ada alasan lain?
Jarak bukan satu-satunya hal yang memisahkan mereka. Kadang, lebih dari sekadar kilometer, hubungan ini terasa seperti sinyal yang hilang—seperti ponsel dalam mode pesawat. Ada di sana, tapi tak bisa terhubung. Ada sinyal, tapi tak bisa menyampaikan pesan.
Lana selalu percaya bahwa cinta bisa bertahan dengan komunikasi. Tapi bagaimana jika komunikasi itu sendiri mulai terasa mustahil?
Pesan yang Tak Terbalas
Sudah tiga hari sejak Reza mengirim pesan terakhirnya.
“Maaf ya, sibuk banget. Aku kabarin nanti.”
Lana memandangi ponselnya untuk kesekian kali. Ia mencoba menahan diri agar tidak terlihat seperti pacar yang terlalu menuntut. Tapi, seberapa lama seseorang bisa menunggu tanpa merasa diabaikan?
Ia mengetik sebuah pesan, lalu menghapusnya.
Dua jam kemudian, ia mencoba lagi.
Lana: Hei, kamu sibuk banget ya? Gimana harimu?
Dikirim pukul 19.45.
Centang satu.
Pukul 22.00, masih centang satu.
Pukul 00.30, ia mengecek lagi. Masih centang satu.
Lana mencoba berpikir positif. Mungkin Reza sedang tidur. Mungkin ponselnya mati.
Tapi kemudian, entah bagaimana, ia justru membuka Instagram.
Dan di sana, ia melihatnya.
Sebuah Insta Story dari Reza. Sebuah foto secangkir kopi dan laptop, dengan tulisan: Late night grind.
Online. Tapi tidak membalas pesannya.
Jantungnya terasa seperti diremas.
Airplane Mode
Dulu, setiap kali mereka bertemu di akhir pekan, ada satu kebiasaan kecil yang mereka lakukan.
Reza selalu berkata, “Oke, airplane mode on.”
Lalu ia akan menonaktifkan internet di ponselnya, meletakkannya jauh dari jangkauan, dan fokus hanya pada Lana.
“Biar kita nggak diganggu notif-notif nggak penting,” katanya sambil tersenyum.
Saat itu, Lana menyukai kebiasaan itu.
Tapi sekarang, ia merasa seperti dialah yang berada dalam airplane mode—terabaikan, seperti pesan yang tak terkirim.
Sebuah Keputusan
Lana tahu ia tidak bisa terus seperti ini. Ia tidak bisa terus menunggu dalam ketidakpastian.
Malam itu, ia menelepon Reza.
Nada sambung terdengar lama sebelum akhirnya tersambung.
“Halo?” suara Reza terdengar lelah.
“Hai. Kamu sibuk?” Lana mencoba terdengar tenang, meskipun hatinya tidak.
Reza menghela napas. “Iya, tadi habis kerja. Ada apa?”
Ada apa?
Pertanyaan itu membuat dada Lana sesak. Dulu, Reza tak pernah bertanya seperti itu. Dulu, ia akan berkata, “Akhirnya denger suara kamu lagi,” atau “Aku kangen.”
Sekarang, telepon ini terasa seperti sebuah gangguan.
“Nggak ada apa-apa. Aku cuma mau ngobrol,” Lana berkata pelan.
Hening.
“Reza?”
“Iya?”
“Kita ini masih baik-baik aja, kan?”
Hening lagi. Kali ini lebih lama.
Sampai akhirnya, Reza menjawab, “Kamu kenapa tiba-tiba nanya kayak gitu?”
Lana ingin tertawa—bukan karena lucu, tapi karena jawaban itu adalah yang paling ia takutkan.
“Karena aku nggak tahu lagi ini hubungan kita masih sama atau nggak,” katanya akhirnya.
Reza terdiam.
Lana menunggu, berharap ada jawaban yang bisa menenangkan hatinya. Tapi yang ia dapatkan hanyalah sebuah helaan napas panjang.
“Lana, aku… aku nggak tahu harus jawab apa.”
Ternyata, ini lebih buruk dari yang ia kira.
Ternyata, bukan hanya ia yang merasa ada yang berubah.
“Jadi kamu nggak yakin sama kita?” Lana bertanya dengan suara pelan.
“Bukan begitu, aku cuma… Aku nggak mau nyakitin kamu, Lana. Aku nggak tahu apa aku masih bisa jadi pasangan yang baik buat kamu. Jarak ini… berat.”
Air mata menggenang di mata Lana.
“Kalau berat, kenapa kamu nggak cerita? Kenapa kamu nggak bilang dari awal?”
“Karena aku nggak mau tambah beban buat kamu.”
Lana menghela napas panjang.
“Reza, yang lebih menyakitkan dari jarak adalah ketika kamu berhenti berbagi denganku. Ketika aku merasa kita nggak ada di halaman yang sama lagi.”
Hening.
Lama sekali.
Dan saat akhirnya Reza bicara, kata-katanya seperti pisau yang menusuk hati Lana.
“Mungkin… kita butuh waktu buat mikir.”
Mikir.
Dulu, Reza selalu yakin dengan mereka.
Sekarang, ia butuh waktu untuk berpikir.
Lana menutup matanya.
Cinta mereka dulu terasa seperti langit yang luas, tanpa batas.
Tapi kini, rasanya seperti pesawat yang kehilangan sinyal.
Seperti cinta yang ada di airplane mode—tidak sepenuhnya mati, tapi juga tidak benar-benar terhubung.
Dan pertanyaannya sekarang adalah: haruskah ia tetap menunggu, atau akhirnya mengakhiri semuanya?
Bab 4: Ujian Kepercayaan
Adanya orang ketiga yang secara tak langsung menggoyahkan hubungan mereka.
Salah satu dari mereka mulai mempertanyakan apakah masih layak bertahan.
Sebuah pertengkaran besar karena kesalahpahaman.
Kepercayaan adalah fondasi dalam hubungan. Seperti sebuah jembatan gantung, ia menghubungkan dua hati yang terpisah oleh jarak dan waktu. Namun, seperti jembatan yang lama tak terawat, kepercayaan juga bisa rapuh, bisa retak, bahkan bisa runtuh jika tak dijaga dengan baik.
Lana selalu percaya pada Reza. Percaya bahwa meskipun mereka jauh, cinta mereka tetap sama. Tapi belakangan ini, ada sesuatu yang berubah. Sesuatu yang perlahan-lahan membuatnya bertanya: Apakah aku masih bisa percaya padanya?
Bayangan Keraguan
Sejak percakapan mereka terakhir, hubungan ini terasa menggantung. Reza berkata bahwa ia butuh waktu untuk berpikir, dan Lana mencoba memberinya ruang.
Tapi, seberapa lama seseorang harus menunggu kepastian?
Lana berusaha bersikap biasa, menjalani harinya tanpa terlalu memikirkan Reza. Namun, di tengah-tengah kesibukannya, pikirannya selalu kembali ke satu hal: Apakah Reza benar-benar hanya butuh waktu, atau ini hanya cara halus untuk menjauh dariku?
Malam itu, ia membuka Instagram. Ia tidak ingin menjadi seseorang yang curiga tanpa alasan, tapi ia juga tidak bisa menahan diri.
Matanya langsung tertuju pada satu foto yang baru saja diunggah Reza.
Sebuah foto di sebuah kafe, dengan dua cangkir kopi di atas meja.
Dan di sudut gambar, ada tangan seseorang.
Bukan tangannya.
Hatinya mencelos.
Dua Cangkir Kopi dan Sebuah Kebohongan
Lana tidak langsung bertanya pada Reza. Ia mencoba menenangkan diri, mencoba berpikir rasional.
Mungkin itu hanya rekan kerja. Mungkin itu temannya. Mungkin tidak ada yang perlu dikhawatirkan.
Tapi, semakin ia mencoba mengabaikannya, semakin rasa tidak enak itu menghantui pikirannya.
Akhirnya, ia memberanikan diri untuk .
Lana dan Reza telah menjalani hubungan jarak jauh selama beberapa bulan. Mereka berdua telah berkomunikasi melalui panggilan video, email, dan pesan singkat.
Tapi, meskipun mereka berdua telah menjalani hubungan yang sangat dekat, Lana mulai merasa tidak percaya diri. Ia mulai merasa bahwa Reza tidak benar-benar mencintainya.
Lana mulai merasa bahwa Reza hanya menggunakan dirinya untuk mengisi waktu luangnya. Ia mulai merasa bahwa Reza tidak benar-benar peduli dengan perasaannya.
Suatu hari, Lana memutuskan untuk menghubungi Reza dan membicarakan perasaannya. Ia ingin tahu apakah Reza benar-benar mencintainya atau tidak.
Reza sangat terkejut ketika menerima panggilan dari Lana. Ia tidak tahu apa yang terjadi dan apa yang Lana ingin bicarakan.
“Lana, apa yang terjadi?” tanya Reza dengan suara yang khawatir.
“Aku hanya ingin tahu apakah kamu benar-benar mencintai aku atau tidak,” jawab Lana dengan suara yang lembut.
Reza terdiam sejenak sebelum menjawab. “Lana, aku sangat mencintai kamu. Aku tidak tahu apa yang terjadi, tapi aku tahu bahwa aku sangat mencintai kamu.”
Lana merasa sedikit lega ketika mendengar kata-kata Reza. Ia merasa bahwa Reza benar-benar mencintainya.
Tapi, Lana juga merasa bahwa Reza tidak benar-benar memahami perasaannya. Ia merasa bahwa Reza tidak benar-benar peduli dengan perasaannya.
“Lana, apa yang terjadi? Apa yang membuat kamu merasa tidak percaya diri?” tanya Reza dengan suara yang khawatir.
“Aku hanya merasa bahwa kamu tidak benar-benar peduli dengan perasaanku,” jawab Lana dengan suara yang lembut.
Reza terdiam sejenak sebelum menjawab. “Lana, aku sangat peduli dengan perasaanmu. Aku tidak tahu apa yang terjadi, tapi aku tahu bahwa aku sangat peduli dengan perasaanmu.”
Lana merasa sedikit lega ketika mendengar kata-kata Reza. Ia merasa bahwa Reza benar-benar peduli dengan perasaannya.
Tapi, Lana juga merasa bahwa Reza tidak benar-benar memahami perasaannya. Ia merasa bahwa Reza tidak benar-benar peduli dengan perasaannya.
Dan begitulah, Lana dan Reza terus berbicara tentang perasaan mereka. Mereka berdua berusaha untuk memahami perasaan satu sama lain dan berusaha untuk memperbaiki hubungan mereka.
Tapi, apakah mereka berdua bisa memperbaiki hubungan mereka? Apakah mereka berdua bisa memahami perasaan satu sama lain?
Bab 5: Mencari Jalan Tengah
Usaha untuk kembali memperbaiki hubungan.
Liana mencoba memahami kehidupan Aidan di tempat baru, dan sebaliknya.
Mereka sepakat untuk lebih terbuka dan tidak menghindar.
Liana dan Aidan telah menjalani hubungan jarak jauh selama beberapa bulan. Mereka berdua telah berkomunikasi melalui panggilan video, email, dan pesan singkat.
Tapi, meskipun mereka berdua telah menjalani hubungan yang sangat dekat, Liana mulai merasa tidak percaya diri. Ia mulai merasa bahwa Aidan tidak benar-benar mencintainya.
Liana mulai merasa bahwa Aidan hanya menggunakan dirinya untuk mengisi waktu luangnya. Ia mulai merasa bahwa Aidan tidak benar-benar peduli dengan perasaannya.
Suatu hari, Liana memutuskan untuk menghubungi Aidan dan membicarakan perasaannya. Ia ingin tahu apakah Aidan benar-benar mencintainya atau tidak.
Aidan sangat terkejut ketika menerima panggilan dari Liana. Ia tidak tahu apa yang terjadi dan apa yang Liana ingin bicarakan.
“Liana, apa yang terjadi?” tanya Aidan dengan suara yang khawatir.
“Aku hanya ingin tahu apakah kamu benar-benar mencintai aku atau tidak,” jawab Liana dengan suara yang lembut.
Aidan terdiam sejenak sebelum menjawab. “Liana, aku sangat mencintai kamu. Aku tidak tahu apa yang terjadi, tapi aku tahu bahwa aku sangat mencintai kamu.”
Liana merasa sedikit lega ketika mendengar kata-kata Aidan. Ia merasa bahwa Aidan benar-benar mencintainya.
Tapi, Liana juga merasa bahwa Aidan tidak benar-benar memahami perasaannya. Ia merasa bahwa Aidan tidak benar-benar peduli dengan perasaannya.
“Liana, apa yang terjadi? Apa yang membuat kamu merasa tidak percaya diri?” tanya Aidan dengan suara yang khawatir.
“Aku hanya merasa bahwa kamu tidak benar-benar peduli dengan perasaanku,” jawab Liana dengan suara yang lembut.
Aidan terdiam sejenak sebelum menjawab. “Liana, aku sangat peduli dengan perasaanmu. Aku tidak tahu apa yang terjadi, tapi aku tahu bahwa aku sangat peduli dengan perasaanmu.”
Liana merasa sedikit lega ketika mendengar kata-kata Aidan. Ia merasa bahwa Aidan benar-benar peduli dengan perasaannya.
Tapi, Liana juga merasa bahwa Aidan tidak benar-benar memahami perasaannya. Ia merasa bahwa Aidan tidak benar-benar peduli dengan perasaannya.
Dan begitulah, Liana dan Aidan terus berbicara tentang perasaan mereka. Mereka berdua berusaha untuk memahami perasaan satu sama lain dan berusaha untuk memperbaiki hubungan mereka.
Mereka berdua memutuskan untuk mencari jalan tengah untuk memperbaiki hubungan mereka. Mereka berdua memutuskan untuk lebih sering berkomunikasi dan lebih sering bertemu.
Dan begitulah, Liana dan Aidan mulai memperbaiki hubungan mereka. Mereka berdua mulai lebih sering berkomunikasi dan lebih sering bertemu.
Mereka berdua mulai memahami perasaan satu sama lain dan mulai memperbaiki hubungan mereka. Mereka berdua mulai merasa lebih percaya diri dan lebih bahagia.
Dan begitulah, kisah cinta Liana dan Aidan berlanjut. Mereka berdua terus berusaha untuk memperbaiki hubungan mereka dan terus berusaha untuk memahami perasaan satu sama lain.
Bab 6: Antara Melepaskan atau Bertahan
Sebuah peristiwa besar yang membuat mereka harus mengambil keputusan.
Apakah cinta mereka cukup kuat untuk bertahan, atau justru mereka harus menyerah?
Liana dan Aidan telah menjalani hubungan jarak jauh selama beberapa bulan. Mereka berdua telah berkomunikasi melalui panggilan video, email, dan pesan singkat.
Tapi, meskipun mereka berdua telah menjalani hubungan yang sangat dekat, Liana mulai merasa tidak percaya diri. Ia mulai merasa bahwa Aidan tidak benar-benar mencintainya.
Liana mulai merasa bahwa Aidan hanya menggunakan dirinya untuk mengisi waktu luangnya. Ia mulai merasa bahwa Aidan tidak benar-benar peduli dengan perasaannya.
Suatu hari, Liana memutuskan untuk menghubungi Aidan dan membicarakan perasaannya. Ia ingin tahu apakah Aidan benar-benar mencintainya atau tidak.
Aidan sangat terkejut ketika menerima panggilan dari Liana. Ia tidak tahu apa yang terjadi dan apa yang Liana ingin bicarakan.
“Liana, apa yang terjadi?” tanya Aidan dengan suara yang khawatir.
“Aku hanya ingin tahu apakah kamu benar-benar mencintai aku atau tidak,” jawab Liana dengan suara yang lembut.
Aidan terdiam sejenak sebelum menjawab. “Liana, aku sangat mencintai kamu. Aku tidak tahu apa yang terjadi, tapi aku tahu bahwa aku sangat mencintai kamu.”
Liana merasa sedikit lega ketika mendengar kata-kata Aidan. Ia merasa bahwa Aidan benar-benar mencintainya.
Tapi, Liana juga merasa bahwa Aidan tidak benar-benar memahami perasaannya. Ia merasa bahwa Aidan tidak benar-benar peduli dengan perasaannya.
“Liana, apa yang terjadi? Apa yang membuat kamu merasa tidak percaya diri?” tanya Aidan dengan suara yang khawatir.
“Aku hanya merasa bahwa kamu tidak benar-benar peduli dengan perasaanku,” jawab Liana dengan suara yang lembut.
Aidan terdiam sejenak sebelum menjawab. “Liana, aku sangat peduli dengan perasaanmu. Aku tidak tahu apa yang terjadi, tapi aku tahu bahwa aku sangat peduli dengan perasaanmu.”
Liana merasa sedikit lega ketika mendengar kata-kata Aidan. Ia merasa bahwa Aidan benar-benar peduli dengan perasaannya.
Tapi, Liana juga merasa bahwa Aidan tidak benar-benar memahami perasaannya. Ia merasa bahwa Aidan tidak benar-benar peduli dengan perasaannya.
Dan begitulah, Liana dan Aidan terus berbicara tentang perasaan mereka. Mereka berdua berusaha untuk memahami perasaan satu sama lain dan berusaha untuk memperbaiki hubungan mereka.
Tapi, Liana juga merasa bahwa ia harus membuat keputusan yang sulit. Ia harus memutuskan apakah ia akan melepaskan Aidan atau bertahan dengan hubungan mereka.
Liana merasa bahwa ia tidak bisa melepaskan Aidan. Ia merasa bahwa ia masih mencintai Aidan dan ingin memperbaiki hubungan mereka.
Tapi, Liana juga merasa bahwa ia tidak bisa bertahan dengan hubungan mereka. Ia merasa bahwa ia tidak bisa terus-menerus merasa tidak percaya diri dan tidak bisa terus-menerus merasa bahwa Aidan tidak benar-benar peduli dengan perasaannya.
Dan begitulah, Liana terus berpikir tentang keputusan yang harus ia buat. Ia terus berpikir tentang apakah ia akan melepaskan Aidan atau bertahan dengan hubungan mereka.
Tapi, Liana juga tahu bahwa ia tidak bisa membuat keputusan yang salah. Ia tahu bahwa ia harus membuat keputusan yang benar untuk dirinya dan untuk hubungan mereka.
Dan begitulah, Liana terus berusaha untuk membuat keputusan yang benar. Ia terus berusaha untuk memahami perasaannya dan untuk memahami perasaan Aidan.
Dan akhirnya, Liana membuat keputusan yang benar. Ia memutuskan untuk bertahan dengan hubungan mereka dan untuk terus berusaha untuk
Bab 7: Kejutan dalam Kedatangan
Salah satu dari mereka memutuskan untuk datang secara tiba-tiba.
Emosi yang bercampur antara bahagia dan canggung.
Sebuah keputusan penting diambil.
Liana telah menunggu Aidan selama beberapa minggu. Ia telah merencanakan segala sesuatu dengan baik, dari tempat makan hingga tempat wisata.
Tapi, Liana tidak tahu bahwa Aidan telah merencanakan kejutan untuknya. Ia tidak tahu bahwa Aidan telah mempersiapkan sesuatu yang sangat spesial untuknya.
Suatu hari, Liana menerima panggilan dari Aidan. Ia sangat gembira ketika mendengar suara Aidan.
“Aidan, aku sangat gembira mendengar suaramu!” kata Liana dengan suara yang ceria.
“Aku juga sangat gembira mendengar suaramu, Liana,” jawab Aidan dengan suara yang hangat.
Liana dan Aidan kemudian berbicara tentang rencana mereka untuk bertemu. Liana sangat gembira ketika mendengar bahwa Aidan akan datang ke Indonesia untuk bertemu dengannya.
Tapi, Liana tidak tahu bahwa Aidan telah merencanakan kejutan untuknya. Ia tidak tahu bahwa Aidan telah mempersiapkan sesuatu yang sangat spesial untuknya.
Suatu hari, Liana menerima pesan dari Aidan. Ia sangat gembira ketika mendengar bahwa Aidan telah tiba di Indonesia.
“Aidan, aku sangat gembira mendengar bahwa kamu telah tiba di Indonesia!” kata Liana dengan suara yang ceria.
“Aku juga sangat gembira bertemu denganmu, Liana,” jawab Aidan dengan suara yang hangat.
Liana kemudian memutuskan untuk pergi ke bandara untuk menjemput Aidan. Ia sangat gembira ketika melihat Aidan di bandara.
Tapi, Liana tidak tahu bahwa Aidan telah merencanakan kejutan untuknya. Ia tidak tahu bahwa Aidan telah mempersiapkan sesuatu yang sangat spesial untuknya.
Aidan kemudian memimpin Liana ke sebuah mobil yang sangat mewah. Liana sangat terkejut ketika melihat mobil tersebut.
“Aidan, mobil apa ini?” tanya Liana dengan suara yang terkejut.
“Mobil ini adalah hadiah untukmu, Liana,” jawab Aidan dengan suara yang hangat.
Liana sangat terkejut dan gembira ketika mendengar kata-kata Aidan. Ia tidak tahu bahwa Aidan telah merencanakan kejutan untuknya.
Dan begitulah, Liana dan Aidan kemudian memulai petualangan mereka bersama-sama. Mereka berdua sangat gembira dan bahagia ketika bersama-sama.
Tapi, Liana tidak tahu bahwa Aidan masih memiliki kejutan lain untuknya. Ia tidak tahu bahwa Aidan telah merencanakan sesuatu yang sangat spesial untuknya.
Dan begitulah, Liana dan Aidan terus berpetualang bersama-sama, tanpa tahu apa yang akan terjadi di masa depan.***