Kisah Cinta
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
Kisah Cinta
No Result
View All Result

LAUTAN DIANTARA KITA

LAUTAN DIANTARA KITA

SAME KADE by SAME KADE
February 3, 2025
in Cinta Jarak jauh
Reading Time: 20 mins read
LAUTAN DIANTARA KITA

Daftar Isi

  • Bab 1  Perkenalan yang Jauh
  • Bab 2  Lautan yang Memisahkan
  • Bab 3  Lautan Hati yang Bergelora
  • Bab 4  Lautan Dalam dan Keputusan Besar
  • Bab 5  Menyebrangi Lautan
  • Bab 6  Lautan Tak Lagi Memisahkan

Bab 1  Perkenalan yang Jauh

Hari itu, langit Jakarta terlihat cerah, namun bagi Alya, suasana hatinya terasa sebaliknya. Di balik jendela kantor tempatnya bekerja, hiruk-pikuk kota besar tampak begitu jauh, seolah dunia luar sedang berputar dalam kecepatan yang berbeda. Meski begitu, matanya tetap terpaku pada layar komputer, menyelesaikan pekerjaan yang seolah tak ada habisnya. Ia meraba tumpukan dokumen di meja kerjanya, sementara pikiran dan hatinya jauh melayang.

Alya adalah seorang desainer grafis muda yang sangat ambisius. Setiap hari, ia berkutat dengan gambar dan layout untuk klien-kliennya, menghabiskan waktu berjam-jam di depan layar komputer. Namun, meskipun kesibukan itu menyibukkan dirinya, ada sebuah kekosongan yang tak bisa ia tutupi. Tidak banyak yang tahu tentang kesendirian yang kerap ia rasakan. Bahkan di tengah keramaian Jakarta, ia merasa seperti terjebak dalam dunia yang tak ada habisnya. Ia butuh sesuatu, atau seseorang, yang bisa mengisi ruang-ruang kosong itu.

Suatu malam, setelah menyelesaikan pekerjaan, Alya iseng membuka aplikasi forum sains online yang biasa ia kunjungi untuk sekadar mengusir kebosanan. Di sana, ia berkenalan dengan seseorang yang membuatnya penasaran. Namanya Dika. Tak seperti kebanyakan orang yang sekadar membicarakan teori atau riset ilmiah, Dika memiliki cara berbicara yang penuh antusiasme dan sangat memikat. Ia tidak hanya berbagi pengetahuan, tetapi juga memiliki pandangan yang berbeda mengenai banyak hal.

Alya merasa ada yang istimewa dari percakapan mereka, meskipun obrolan pertama itu hanya berkisar tentang topik ringan. Mereka mulai sering bertukar pesan, berbicara tentang topik yang lebih dalam, mulai dari impian, keluarga, hingga pandangan hidup. Setiap kali mereka berbicara, Alya merasa seolah-olah mereka sudah saling mengenal bertahun-tahun, meskipun jarak memisahkan mereka dengan ribuan kilometer.

Dika, ternyata, tinggal di sebuah kota kecil di Eropa. Ia bekerja sebagai peneliti di bidang bioteknologi di sebuah universitas. Meski demikian, Dika sering berbicara tentang ketertarikannya pada seni, bahkan menggambar dan melukis sebagai hobi. Ada sisi lembut dalam dirinya yang tidak banyak orang tahu. Dia suka mengeksplorasi berbagai topik dan tidak takut mengungkapkan sisi lain dari dirinya yang terkadang bertentangan dengan citra ilmiah yang dimilikinya.

Alya tidak bisa menahan rasa ingin tahunya. Meskipun ada ribuan kilometer di antara mereka, percakapan mereka terasa begitu dekat. Setiap kali Alya merasa lelah dengan rutinitasnya yang monoton, ia selalu kembali membuka aplikasi forum tersebut, menunggu pesan dari Dika. Mereka mulai berbicara lebih intens, saling berbagi cerita tentang kehidupan mereka, meskipun jarak yang memisahkan membuat semuanya terasa begitu jauh.

Suatu hari, saat mereka berbicara tentang pengalaman hidup, Dika mengungkapkan sesuatu yang membuat Alya terdiam sejenak.

“Alya, aku selalu merasa ada yang hilang dalam hidupku. Aku pernah mencoba banyak hal, tapi selalu merasa seperti ada jarak yang memisahkan aku dengan dunia di sekitarku. Mungkin karena aku jauh dari keluarga, atau mungkin karena aku hanya tinggal di kota kecil yang jauh dari hiruk-pikuk kehidupan kota besar. Aku merasa terjebak dalam kesendirian.”

Alya merasa hatinya tergerak mendengar pengakuan itu. Ia tahu perasaan itu. Meskipun ia tinggal di Jakarta yang selalu ramai, ia juga merasa seperti ada ruang kosong yang sulit diisi. “Aku mengerti,” jawab Alya pelan. “Terkadang aku merasa meskipun ada banyak orang di sekitarku, aku tetap merasa sendirian. Kadang aku ingin lebih dekat dengan seseorang yang bisa mengerti aku.”

Percakapan mereka terus berlanjut, semakin intens, semakin pribadi. Tanpa sadar, waktu berlalu begitu cepat. Namun, ada satu hal yang selalu mengganjal di hati Alya. Dika, yang meskipun dekat dalam dunia maya, tetap terasa jauh dalam kenyataan. Jarak ribuan kilometer, perbedaan waktu yang tak pernah sinkron, dan kenyataan bahwa mereka tidak bisa saling melihat wajah secara langsung membuat semuanya terasa terhalang.

Namun, entah bagaimana, perasaan Alya terhadap Dika mulai berkembang. Ia merasa nyaman berbicara dengannya. Ketika hari-harinya terasa begitu berat, Dika menjadi sosok yang selalu bisa membuatnya tersenyum, meskipun hanya lewat kata-kata di layar ponsel.

Satu malam, setelah percakapan panjang tentang impian hidup dan masa depan, Dika mengirimkan pesan yang berbeda dari biasanya.

“Alya, apakah kamu pernah berpikir tentang bagaimana rasanya bertemu langsung? Maksudku, kita sudah berbicara begitu banyak, dan aku merasa kita sudah saling mengenal meski hanya lewat layar.”

Alya terdiam sejenak membaca pesan itu. Untuk pertama kalinya, ia merasakan sedikit kegelisahan. Jarak antara mereka seakan semakin nyata, dan perasaan yang sebelumnya hanya berupa kata-kata itu, mulai terasa lebih nyata. Mungkin mereka memang sudah sangat dekat dalam dunia maya, tetapi apakah semuanya akan tetap sama ketika mereka bertemu di dunia nyata?

“Aku tidak tahu, Dika,” jawab Alya hati-hati. “Aku rasa kita sudah cukup dekat, tetapi aku khawatir jika pertemuan kita nanti tidak sesuai dengan ekspektasi. Aku takut semuanya tidak akan seindah yang kita bayangkan.”

Dika membalas dengan kalimat yang penuh pengertian. “Aku mengerti, Alya. Aku pun merasa hal yang sama. Tapi aku percaya, jika kita benar-benar saling menghargai dan jujur satu sama lain, jarak dan ketakutan itu akan hilang dengan sendirinya.”

Alya merasa sedikit lega membaca kata-kata itu, tetapi juga merasa cemas. Seiring berjalannya waktu, hubungan mereka semakin berkembang, namun ketidakpastian tentang masa depan mereka tetap menghantui. Dika tinggal begitu jauh, dan untuk saat ini, hanya percakapan mereka yang bisa menghubungkan dua dunia yang begitu berbeda. Meski begitu, Alya merasa ada harapan kecil yang tumbuh dalam dirinya—bahwa mungkin, suatu hari nanti, mereka akan berhasil menjembatani jarak yang memisahkan mereka.

Namun, untuk saat ini, mereka hanya bisa berharap dan menunggu, terhubung oleh kata-kata yang mengalir di antara layar ponsel dan perasaan yang tumbuh meski terhalang oleh ribuan kilometer. Alya tahu bahwa ini baru awal dari perjalanan panjang mereka. Dan meskipun dunia mereka begitu berbeda, ia merasa ada kemungkinan besar untuk mereka menemukan jalan menuju satu sama lain. Di antara dua dunia yang jauh, mungkin ada tempat untuk mereka bertemu.*

Bab 2  Lautan yang Memisahkan

Setiap pagi, saat matahari mulai menyinari Jakarta, Alya sudah duduk di depan komputernya. Rutinitasnya sebagai desainer grafis semakin padat. Namun, meskipun banyak pekerjaan yang harus diselesaikan, hatinya tidak bisa sepenuhnya fokus. Ada perasaan yang terus mengganggu pikirannya sebuah kerinduan yang sulit diungkapkan. Ia kembali membuka aplikasi forum yang menjadi tempat pertama kali ia berkenalan dengan Dika.

Keinginan untuk berbicara dengannya selalu ada, meskipun di dalam hatinya ada sedikit ketakutan. Ketakutan bahwa hubungan mereka yang selama ini hanya melalui pesan-pesan singkat, panggilan video, dan obrolan malam akan terhenti karena jarak yang semakin terasa luas. Jarak yang memisahkan mereka, meskipun tidak selalu terlihat, tetapi semakin lama semakin nyata.

Alya dan Dika sudah berteman hampir enam bulan. Mereka berbicara tentang berbagai hal: tentang pekerjaan, tentang keluarga, tentang impian hidup, dan tentang cinta. Namun, meskipun keduanya merasa sangat dekat, perasaan ragu dan cemas selalu mengiringi setiap percakapan mereka. Jarak antara mereka tak hanya soal ribuan kilometer, tetapi juga perbedaan dunia yang mereka jalani. Alya terjebak dalam kesibukan kota besar yang tak pernah tidur, sementara Dika tinggal di sebuah kota kecil di Eropa, jauh dari keramaian dan hiruk-pikuk kehidupan sosial yang Alya rasakan setiap hari.

Pagi itu, setelah menyelesaikan beberapa pekerjaan di kantor, Alya membuka ponselnya. Ada pesan dari Dika. Sebuah pesan singkat yang tidak seperti biasanya.

“Alya, kita harus bicara.”

Hati Alya berdegup lebih cepat. Meskipun ia sudah terbiasa dengan pesan-pesan Dika yang kadang sedikit misterius, kali ini ada sesuatu yang berbeda. Dengan ragu, ia membalas.

“Ada apa, Dika?”

Beberapa detik berlalu sebelum pesan balasan itu datang.

“Aku merasa kita harus lebih serius tentang hubungan ini. Aku tidak ingin ini hanya menjadi percakapan kosong. Tapi aku juga takut… Jarak kita… Lautan ini… apakah kita bisa melewatinya?”

Pesan itu membuat Alya terdiam. Lautan yang dimaksud Dika bukanlah laut yang sesungguhnya, tetapi jarak yang memisahkan mereka—ribuan kilometer yang tak bisa disederhanakan dengan kata-kata. Lautan yang menahan mereka dari pertemuan, yang memisahkan dua dunia yang berbeda. Di satu sisi, mereka berada dalam dunia yang hampir tak terjangkau, dan di sisi lain, mereka terikat oleh perasaan yang terus berkembang.

Alya merasa keheningan itu mulai meresap ke dalam dirinya. Ia tahu bahwa perasaan yang mereka bangun selama ini tidak bisa dipandang enteng. Ia tahu bahwa hubungan mereka sudah melewati banyak hal mereka sudah saling berbagi banyak cerita, tawa, bahkan tangis, meski semua itu hanya terjadi lewat layar kaca ponsel. Namun, semakin lama, semakin sulit bagi Alya untuk menepis kenyataan bahwa mereka berada di dua dunia yang berbeda. Jarak itu bukan hanya soal fisik, tetapi tentang cara hidup yang tidak mudah untuk dipersatukan.

“Aku juga merasa begitu, Dika,” balas Alya, setelah beberapa saat berpikir. “Aku merasa kita sudah mencoba untuk berusaha, tetapi jarak ini… rasanya semakin berat. Aku takut jika kita terlalu lama di sini, perasaan kita akan memudar.”

Kekhawatiran itu benar-benar ada. Alya tidak ingin kehilangan Dika, tetapi ia juga tahu bahwa hubungan ini akan semakin menuntut mereka untuk berkomitmen lebih banyak. Dalam dunia nyata, tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi setelah berbulan-bulan berhubungan jarak jauh. Tidak ada yang bisa menjanjikan bahwa keduanya akan bertahan. Meskipun ada harapan, kadang-kadang ketakutan itu begitu nyata.

“Aku mengerti,” tulis Dika, dan Alya bisa merasakan kedalaman perasaan dalam kata-katanya. “Tapi aku ingin kita terus berusaha, Alya. Aku ingin kita memberi kesempatan untuk hubungan ini, meski lautan memisahkan kita.”

Alya merasakan sesuatu yang menghangatkan dadanya. Ada ketulusan dalam setiap kata yang Dika kirimkan. Namun, di saat yang sama, perasaan cemas itu tak bisa dihilangkan begitu saja. Mereka berbicara setiap hari, tetapi hidup mereka begitu berbeda. Alya hidup dalam kesibukan yang tak ada habisnya, sementara Dika kadang merasa terasing di tempat yang jauh dari rumah. Apakah mereka bisa terus bertahan? Apakah mereka bisa melewati lautan yang memisahkan dunia mereka?

Pagi itu, setelah beberapa kali memikirkan percakapan mereka, Alya memutuskan untuk menghubungi Dika lagi. Kali ini, ia ingin mengungkapkan kekhawatirannya dengan lebih jujur.

“Dika, aku ingin jujur denganmu. Aku takut jika kita terlalu lama terpisah seperti ini, kita akan semakin jauh. Aku tahu perasaan kita kuat, tapi jarak ini, pekerjaan kita, dan kehidupan yang harus kita jalani… itu semua menguji kita. Aku tidak ingin kita hanya menjadi kenangan yang terlupakan.”

Setelah beberapa menit, balasan dari Dika datang. Kali ini, tidak ada pesan panjang seperti biasanya. Hanya satu kalimat yang membuat hati Alya sedikit terobati.

“Aku juga takut, Alya. Tapi aku yakin kita bisa melewati ini. Aku ingin berjuang untuk kita.”

Alya menatap layar ponselnya, merasa ada kehangatan yang perlahan menggantikan kekhawatiran yang mengganggu hatinya. Meskipun lautan yang memisahkan mereka terasa begitu besar, ia mulai menyadari bahwa cinta mereka lebih besar daripada jarak itu. Dika tidak hanya berbicara tentang berjuang untuk hubungan ini; dia juga berbicara tentang harapan—harapan untuk suatu hari bisa melewati lautan yang memisahkan mereka dan menemukan cara untuk bersama.

Namun, ada satu hal yang masih menghantui Alya: apakah mereka benar-benar bisa melakukannya? Menghadapi kenyataan bahwa hubungan mereka tidak bisa selalu seperti yang mereka inginkan? Tidak mudah bagi Alya untuk menerima bahwa meskipun mereka terhubung dengan begitu dalam, perbedaan dunia mereka bisa menjadi penghalang yang sulit diatasi. Tidak mudah bagi Alya untuk melepaskan ketakutannya dan sepenuhnya percaya pada hubungan ini.

Tapi satu hal yang pasti—mereka akan terus berusaha, meski jarak itu semakin memisahkan mereka.

Alya menghela napas dalam-dalam dan menutup ponselnya, berpikir tentang masa depan. Lautan yang memisahkan mereka mungkin tidak akan pernah hilang, tetapi itu bukan alasan untuk menyerah. Dika sudah memutuskan untuk berjuang bersama. Kini, tugas Alya adalah memutuskan apakah ia siap untuk ikut berjuang, atau apakah jarak ini akan menjadi alasan yang cukup untuk berhenti.

Perasaan rindu itu semakin menggerogoti, tetapi dalam hatinya, Alya tahu bahwa ia tidak bisa begitu saja melepaskan Dika. Sebuah hubungan jarak jauh memang penuh dengan ujian, tetapi tidak ada yang mengatakan bahwa mereka tidak bisa berhasil melewatinya.

Karena pada akhirnya, meskipun lautan memisahkan mereka, laut yang sama itu juga bisa menjadi penghubung penghubung dua hati yang saling merindu.*

Bab 3  Lautan Hati yang Bergelora

Setelah beberapa bulan menjalani hubungan yang hampir sepenuhnya terbatas di dunia maya, Alya dan Dika mulai merasa bahwa jarak di antara mereka bukan hanya soal fisik. Bagi mereka, jarak itu mulai menyentuh bagian terdalam dari hati mereka. Setiap pesan, setiap video call, dan setiap percakapan terasa semakin berat, karena meskipun mereka terhubung melalui teknologi, ada perasaan yang tak bisa dijangkau oleh layar ponsel. Mereka seperti dua kapal yang berlayar di lautan luas, sama-sama terombang-ambing, berusaha untuk tetap berada pada jalur yang sama, namun seringkali terhanyut oleh ombak rindu dan ketidakpastian.

Alya duduk di balkon apartemennya, menatap langit senja yang memerah. Lautan Jakarta tampak jauh dari tempatnya, namun hatinya seperti berada di tengah lautan yang tak berujung. Meski begitu, perasaan itu bukan hanya kesepian. Ada rindu yang menyelimutinya, perasaan yang sangat kuat terhadap Dika. Rindu yang semakin membesar, yang tak bisa ia tahan lagi.

Tapi, dalam keheningan itu, ia mulai merasa gelisah. Apakah ini benar-benar akan berhasil? Apakah cinta mereka cukup kuat untuk bertahan dengan jarak yang begitu jauh? Bagaimana jika Dika merasa terperangkap dalam hubungan ini? Bagaimana jika dia merasa bahwa jarak mereka sudah terlalu besar untuk dijembatani?

Alya tidak bisa menahan perasaan itu lebih lama. Ia membuka ponselnya dan mulai mengetik pesan untuk Dika.

“Dika, aku merasa semakin sulit untuk menjaga semua ini tetap berjalan. Aku takut jika kita terlalu lama terpisah, kita akan semakin terhanyut dalam dunia kita masing-masing. Aku tidak ingin itu terjadi, tapi aku juga tidak tahu bagaimana cara untuk membuat semuanya tetap nyata.”

Tak lama setelah pesan itu terkirim, layar ponsel Alya berkedip. Pesan dari Dika muncul di layar.

“Aku juga merasa seperti itu, Alya. Semakin lama, semakin terasa ada jarak antara kita. Aku ingin kamu tahu, aku sangat mencintaimu, tapi aku juga takut kita mulai kehilangan arah.”

Alya menatap pesan itu, perasaan campur aduk mengalir dalam dirinya. Di satu sisi, hatinya hangat karena mengetahui bahwa Dika merasakan hal yang sama. Namun, di sisi lain, ada keraguan yang semakin tumbuh keraguan tentang masa depan mereka, tentang bagaimana cara untuk membuat hubungan ini bertahan. Bagaimana mereka bisa menghadapinya jika mereka tidak bisa bertemu? Bagaimana jika rindu ini semakin menggerogoti mereka?

“Dika,” Alya mengetik lagi, kali ini lebih hati-hati. “Aku tahu kita sudah berusaha sekuat tenaga untuk tetap terhubung, tetapi apa yang terjadi jika kita tidak bisa melanjutkan ini lebih jauh lagi? Aku takut kita terjebak dalam ilusi, hanya karena kita terlalu ingin percaya bahwa jarak ini tidak bisa memisahkan kita.”

Dika hanya membaca pesan itu dalam diam. Beberapa menit berlalu sebelum dia mengirimkan balasan, dan meskipun kalimatnya sederhana, namun terasa begitu dalam.

“Aku percaya pada kita, Alya. Aku tahu kita terpisah oleh lautan yang sangat luas, tetapi aku juga tahu kalau hati kita lebih besar dari itu. Aku siap untuk berjuang lebih keras, tapi aku juga tidak ingin kita saling terluka.”

Kata-kata Dika mengalir begitu tenang, namun menyentuh relung terdalam dari perasaan Alya. Mereka sudah melalui banyak hal bersama tawa, tangis, kebahagiaan, dan juga ketakutan. Semua itu terjadi dalam dunia yang serba terbatas, namun tetap terasa begitu nyata. Dalam sekejap, Alya menyadari bahwa meskipun mereka tidak bisa merasakan sentuhan fisik satu sama lain, ada ikatan yang jauh lebih kuat daripada jarak yang memisahkan mereka. Cinta itu, meskipun terhalang ribuan kilometer, ternyata tetap bisa mengalir dengan deras, seperti lautan yang tak pernah kering.

Namun, bukan berarti semuanya menjadi mudah. Kadang-kadang, mereka merasa seperti dua orang yang tenggelam dalam lautan emosi yang tidak bisa mereka kendalikan. Setiap percakapan terasa seperti berlayar melawan badai penuh dengan keraguan dan kecemasan, namun tetap berusaha untuk tetap bertahan.

Satu minggu setelah percakapan yang mengguncang hati itu, Dika menghubungi Alya dan mengajak untuk melakukan panggilan video. Alya menatap layar ponselnya, mempersiapkan diri untuk melihat wajah Dika, meskipun itu hanya melalui teknologi yang tidak pernah bisa menggantikan perasaan nyata. Begitu layar ponselnya menyala, wajah Dika muncul di depannya. Meskipun ada senyum di wajahnya, Alya bisa melihat kekhawatiran yang tersembunyi di balik matanya.

“Alya, aku ingin kita bicara tentang masa depan kita.” Suara Dika terdengar serius, dan Alya merasa jantungnya berdegup lebih kencang.

“Apa maksudmu, Dika?” tanya Alya dengan hati-hati.

“Aku merasa kita sudah cukup lama bertahan di lautan ini, dan aku tahu ini tidak mudah untuk kita. Tapi aku ingin kita membicarakan bagaimana cara kita melewati lautan yang lebih besar lagi bagaimana kita bisa melangkah ke dunia nyata bersama.”

Alya terdiam. Suara Dika penuh harapan, tetapi juga mengandung keraguan yang sama seperti dirinya. Mereka sudah begitu dekat, namun jarak yang memisahkan mereka tetap menjadi tantangan terbesar. Mereka berbicara tentang kemungkinan-kemungkinan yang bisa mereka coba—bertemu di tengah jalan, mencari cara agar bisa lebih sering mengunjungi satu sama lain, atau mungkin bahkan salah satu dari mereka pindah untuk tinggal bersama.

Namun, pada akhirnya, setiap percakapan itu berujung pada satu kenyataan: mereka tidak bisa mengubah jarak yang memisahkan mereka. Mereka tidak bisa melawan waktu, dan mereka tidak bisa menghilangkan ketakutan akan masa depan yang tidak pasti. Yang mereka bisa lakukan adalah berusaha untuk tetap berkomunikasi, tetap saling memahami, dan tetap saling mendukung.

“Dika, aku tidak tahu apa yang akan terjadi,” kata Alya akhirnya, dengan suara yang penuh perasaan. “Tapi aku ingin tetap berjuang. Aku ingin kita tetap berusaha, meskipun laut ini kadang terasa begitu besar.”

Dika tersenyum, meskipun senyumnya tidak sepenuhnya menghapus keraguan di matanya. “Kita akan berusaha, Alya. Karena aku tahu kita bisa melewati ini bersama.”

Setelah percakapan itu, Alya merasa sedikit lebih tenang, meskipun lautan emosi di dalam dirinya tetap bergelora. Mereka tidak tahu apa yang akan terjadi, tetapi mereka tahu satu hal mereka tidak akan menyerah pada cinta yang telah mereka bangun.

Alya menatap layar ponselnya dengan perasaan campur aduk. Cinta mereka sudah teruji oleh jarak, namun mereka masih memilih untuk berjuang. Lautan ini, meskipun tampak tak berujung, bukanlah penghalang. Karena mereka berdua tahu hati mereka yang saling menghubungkan lebih kuat daripada jarak yang memisahkan. Dan di lautan yang luas ini, mereka akan terus berlayar bersama, berusaha untuk menemukan pantai yang sama.*

Bab 4  Lautan Dalam dan Keputusan Besar

Waktu terus berjalan, dan jarak antara Alya dan Dika semakin terasa seperti jurang yang tak bisa dijembatani. Meskipun komunikasi mereka tetap terjaga dengan intens, semakin lama Alya merasakan adanya perbedaan yang semakin besar di dalam dirinya. Setiap kali membuka ponselnya dan membaca pesan dari Dika, ada rasa rindu yang datang begitu mendalam, namun juga ada kecemasan yang mulai meresap ke dalam hatinya.

Hari itu, Alya duduk di kafe favoritnya, menghadap ke luar jendela yang memandang langsung ke jalan raya yang sibuk. Suara klakson dan langkah kaki orang-orang yang tergesa-gesa seperti bergema dalam pikirannya. Jakarta, yang biasanya terasa begitu hidup, kini terasa asing. Sebuah kesendirian yang tidak bisa dijelaskan mengendap di hatinya. Pekerjaan yang menggunung, rutinitas yang semakin padat, dan perasaan yang tak pernah berhenti bergelora di dalam dirinya.

Ia meraih ponsel dan membuka aplikasi pesan yang sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari hidupnya. Ada pesan dari Dika, seperti biasanya.

“Alya, aku merasa kita sudah sampai pada titik di mana kita harus memutuskan arah kita. Aku tahu ini tidak mudah, tapi aku juga merasa ini adalah waktu yang tepat untuk kita memikirkan langkah selanjutnya.”

Alya menatap pesan itu dengan tatapan kosong. Kata-kata Dika terasa lebih berat dari biasanya. Ada ketegangan yang terbaca di setiap hurufnya. Mereka sudah melewati banyak hal, sudah berbicara tentang masa depan, tentang bertemu, dan tentang bagaimana mereka akan menghadapi jarak ini. Namun, sekarang semuanya terasa lebih nyata. Mereka tidak bisa terus berada dalam ketidakpastian. Mereka harus memutuskan apakah hubungan ini akan berlanjut, ataukah akan berhenti di tengah jalan.

Pikirannya mulai melayang ke banyak hal. Apakah dia siap untuk membuat keputusan besar ini? Apakah dia benar-benar siap untuk menghadapi kenyataan bahwa cinta mereka bisa saja berakhir karena jarak yang begitu jauh? Mungkin itu adalah hal yang harus mereka lakukan, tetapi keputusan itu tidak bisa dibuat dengan mudah. Tidak ada jawaban yang jelas, tidak ada cara yang pasti untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu.

Alya membalas pesan itu dengan tangan yang sedikit gemetar. “Aku tahu, Dika. Aku juga merasa kita sudah sampai pada titik yang sulit. Tapi… apa yang harus kita lakukan? Aku tidak ingin kehilanganmu, tetapi aku juga tidak tahu bagaimana kita bisa melanjutkan ini lebih jauh.”

Tunggu beberapa saat. Kemudian, balasan Dika muncul di layar ponselnya.

“Aku juga merasa sama, Alya. Tapi aku juga tahu kita sudah berusaha sekuat tenaga. Kini, saatnya kita bertanya pada diri kita sendiri—apa yang sebenarnya kita inginkan? Apakah kita siap untuk mengambil langkah besar dan menghadapi apa yang ada di depan kita?”

Alya menutup matanya sejenak, mencoba menenangkan pikirannya. Perasaan yang bercampur aduk cinta, keraguan, ketakutan, dan harapan semua itu tumpah dalam benaknya. Mungkin Dika benar. Mungkin ini saat yang tepat untuk membuat keputusan besar, meskipun itu sangat menakutkan. Keputusan yang bisa mengubah segala sesuatu. Keputusan yang bisa membawa mereka lebih dekat, atau justru memisahkan mereka selamanya.

Tidak ada jawaban yang mudah. Setiap pilihan terasa seperti memilih antara dua dunia yang sama-sama penting baginya. Dunia yang ia miliki di Jakarta dengan pekerjaannya, teman-temannya, dan hidup yang sudah terjalin di sana dan dunia yang ada di sisi Dika, dunia yang penuh dengan kemungkinan baru, tetapi juga penuh ketidakpastian. Apakah ia siap untuk meninggalkan satu dunia demi dunia yang lain?

Dengan hati-hati, Alya mengetik balasan.

“Dika, aku ingin kita bertemu. Aku ingin melihatmu, berbicara langsung denganmu, dan merasakan apa yang kita rasakan ketika berada di satu tempat yang sama. Mungkin itu akan memberi kita jawaban.”

Pesan itu terkirim, dan Alya merasa sebuah beban yang sangat berat terasa sedikit lebih ringan. Setidaknya, mereka akhirnya membuat langkah nyata menuju masa depan. Setidaknya, mereka akan berusaha bertemu meskipun itu akan melibatkan perjalanan panjang dan tantangan besar, terutama untuk Dika yang tinggal begitu jauh di Eropa.

Tapi keputusan untuk bertemu itu bukan tanpa konsekuensi. Alya tahu bahwa pertemuan itu bisa saja mengubah segalanya. Mungkin pertemuan itu akan membuat mereka semakin yakin untuk melanjutkan hubungan ini, atau mungkin justru mereka akan merasa bahwa perasaan mereka tidak sekuat yang mereka kira. Ketakutan akan kekecewaan itu mulai menyelimuti hati Alya. Bagaimana jika pertemuan itu justru membuka kenyataan pahit yang selama ini mereka hindari?

Namun, satu hal yang pasti pertemuan itu akan membawa mereka pada titik yang tidak bisa lagi ditarik mundur. Setelah pertemuan itu, tidak ada lagi tempat untuk bersembunyi dari kenyataan. Mereka akan tahu apakah hubungan ini akan terus berlanjut atau berakhir di sana.

Selama beberapa hari setelah pesan itu, Alya merasa gelisah. Ia merasa terombang-ambing di antara harapan dan ketakutan. Jakarta yang dulu terasa begitu hidup kini seperti tempat asing. Ia tidak tahu lagi apa yang harus dilakukannya, bagaimana mempersiapkan diri untuk pertemuan yang begitu besar maknanya. Apa yang akan ia katakan kepada Dika ketika akhirnya bertemu? Apakah mereka akan merasa sama? Atau justru merasa lebih jauh satu sama lain?

Hari yang ditunggu akhirnya datang. Alya sudah mempersiapkan segala sesuatunya: tiket pesawat, akomodasi, bahkan detail pertemuan mereka di kota tempat Dika tinggal. Setiap detik terasa begitu panjang, dan perasaan cemas semakin menguasai dirinya. Apa yang akan terjadi setelah ini? Apakah semuanya akan berjalan sesuai dengan harapan mereka?

Pagi itu, saat pesawat yang membawa Alya terbang menuju Eropa, hatinya berdebar kencang. Lautan yang memisahkan mereka seolah semakin dalam. Tidak hanya lautan fisik, tetapi juga lautan perasaan yang penuh dengan harapan, ketakutan, dan rasa rindu yang teramat besar. Apakah pertemuan ini akan menjadi titik balik? Alya hanya bisa berharap. Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi setelah mereka bertemu.

Namun satu hal yang pasti perjalanan ini adalah keputusan terbesar yang pernah ia buat. Keputusan untuk melangkah ke dalam lautan yang lebih dalam, untuk mencoba menghadapi ketakutan terbesar mereka berdua. Dan mungkin, setelah ini, mereka akan menemukan bahwa lautan yang begitu luas tidak lagi menjadi penghalang. Karena mereka berdua sudah siap untuk menghadapi apa pun yang datang, bersama-sama.*

Bab 5  Menyebrangi Lautan

Alya menatap jendela pesawat dengan pandangan kosong, sementara pesawat itu mengudara melintasi cakrawala. Hatinya berdebar kencang, entah karena kegembiraan atau kecemasan, ia sendiri tak bisa memastikannya. Selama ini, hubungan mereka terjalin hanya di dunia maya suara Dika melalui telepon, tawa mereka dalam video call, dan kata-kata yang disusun dengan hati-hati dalam pesan-pesan teks. Semua itu terasa nyata, namun kini mereka berdua akan berada dalam satu ruang yang sama, satu ruang yang jauh lebih nyata dan lebih dekat dari sebelumnya. Mereka akan berhadapan langsung dengan kenyataan yang selama ini hanya bisa mereka bayangkan.

Pesawat itu melaju, membawa Alya menuju pertemuan yang penuh harapan dan ketakutan sekaligus. Selama perjalanan panjang itu, banyak hal yang terlintas di pikirannya. Apakah semuanya akan berjalan lancar? Apakah perasaan mereka yang selama ini terjaga hanya melalui jarak akan tetap sama setelah mereka bertemu? Ataukah mereka akan merasa canggung, asing satu sama lain? Selama berbulan-bulan, mereka terhubung lewat pesan, tetapi apakah mereka benar-benar saling mengenal?

“Apa yang akan aku katakan ketika bertemu dengannya? Apakah aku bisa menyembunyikan kegugupanku?” pikir Alya, meremas tangan di pangkuannya. Perasaan takut dan rindu bercampur, menciptakan gelombang yang tak bisa dijelaskan. Namun, di balik semua kecemasan itu, ada satu hal yang lebih kuat dari apapun—keinginan untuk benar-benar melihat Dika, untuk menghadapinya dalam kenyataan yang tidak bisa lagi dihindari.

Beberapa jam kemudian, pesawat itu akhirnya mendarat di kota yang akan menjadi saksi bagi pertemuan mereka. Alya melangkah keluar dari bandara dengan perasaan campur aduk. Udara di luar terasa berbeda, lebih dingin dari yang ia bayangkan, dan suara orang-orang berbahasa asing seolah menjadi pengingat bahwa ia kini berada di dunia yang berbeda. Dunia yang selama ini hanya bisa ia lihat lewat layar ponselnya, kini ada di depan mata.

Tak lama setelah itu, Alya menerima pesan dari Dika yang memberitahunya bahwa dia sudah menunggu di luar. “Aku di depan, Alya. Tidak sabar menunggu.”

Dengan hati yang berdebar, Alya berjalan menuju pintu keluar. Langkah kakinya terasa lebih berat dari biasanya, setiap detiknya mengingatkan dirinya bahwa pertemuan ini bukan hanya tentang dua orang yang bertemu setelah berbulan-bulan berkomunikasi jarak jauh, tetapi juga tentang keputusan yang bisa mengubah segalanya.

Alya berhenti sejenak di depan pintu keluar bandara, menatap sekeliling dengan hati yang berdebar. Lalu, di ujung pandangannya, ia melihat sosok itu. Dika. Berdiri dengan tenang, mengenakan jaket abu-abu dan celana jeans, dengan senyum tipis yang tampak tulus. Matanya bertemu dengan matanya, dan dalam sekejap, semua ketegangan itu meledak menjadi sebuah perasaan yang sulit dijelaskan. Mereka berdua saling tersenyum, dan seolah dunia berhenti sejenak. Tidak ada lagi jarak, tidak ada lagi lautan yang memisahkan mereka hanya ada dua hati yang merasa seperti akhirnya menemukan tempat yang tepat.

Dika berjalan mendekat. “Alya,” katanya pelan, seolah takut suara yang keluar dari bibirnya bisa mematahkan keajaiban momen ini.

“Aku di sini, Dika,” jawab Alya dengan suara yang hampir tidak terdengar, tapi hatinya merasa seperti dipenuhi oleh ribuan emosi yang mengalir begitu cepat.

Begitu mereka saling mendekat, Dika membuka tangannya, dan dengan ragu Alya melangkah ke dalam pelukannya. Pelukan itu hangat, penuh dengan perasaan yang sudah lama mereka simpan, perasaan yang kini nyata. Mereka tidak berbicara seketika, hanya saling merasakan kehadiran satu sama lain. Selama ini, mereka berbicara tentang apa yang mereka inginkan, apa yang mereka harapkan, tetapi sekarang mereka hanya berdiri di sana, saling berbagi kehadiran yang tak bisa digantikan oleh kata-kata.

“Alya…” Dika akhirnya berkata dengan suara yang serak, “Aku tidak tahu harus berkata apa. Ini… lebih dari yang aku bayangkan.”

Alya menarik napas dalam-dalam, merasakan perasaan yang bercampur aduk. “Aku juga tidak tahu, Dika. Ini terasa seperti mimpi. Kita… akhirnya bisa bertemu.”

Setelah beberapa detik dalam keheningan yang nyaman, mereka melangkah bersama keluar dari bandara. Dika mengajaknya menuju mobil yang sudah disiapkan untuk mereka. Perjalanan menuju tempat penginapan terasa seperti perjalanan yang tak pernah mereka bayangkan tanpa pesan teks, tanpa panggilan video, hanya suara mesin mobil dan gelegak hati yang tak bisa ditahan.

Namun, meskipun mereka sudah berada dalam satu tempat yang sama, Alya tidak bisa menahan diri untuk bertanya-tanya. Apa yang akan terjadi setelah ini? Mereka sudah membuat keputusan besar untuk bertemu, tetapi apakah ini benar-benar akan mengubah segalanya? Apakah perasaan mereka akan tetap sama?

Saat mobil melaju menyusuri jalanan kota, Dika memecah keheningan. “Alya, aku sudah berpikir panjang tentang ini. Meskipun pertemuan kita baru saja dimulai, aku merasa ini adalah langkah pertama dari sesuatu yang lebih besar. Sesuatu yang lebih nyata dari hanya sekedar kata-kata dan layar ponsel.”

Alya menatap Dika, dan senyum tipis muncul di wajahnya. “Aku tahu, Dika. Aku juga merasakannya. Tapi… kita tahu tidak ada yang bisa dijamin. Jarak ini, meskipun kita sudah bertemu, akan tetap ada. Tapi aku ingin melihat kita mencoba. Aku ingin berusaha.”

Dika mengangguk, matanya berkilat penuh tekad. “Aku pun ingin berusaha, Alya. Aku ingin melewati lautan ini bersama, apa pun yang terjadi. Aku tahu itu tidak mudah, tapi aku juga tahu kita bisa melakukannya. Karena sekarang, kita sudah mulai menyebrangi lautan ini lautan yang dulu terasa begitu besar dan menakutkan, sekarang terasa sedikit lebih kecil.”

Alya tersenyum. Dika benar. Mereka sudah memulai perjalanan besar ini, dan meskipun tantangan akan terus datang, setidaknya mereka berdua sekarang tahu bahwa mereka tidak lagi sendirian dalam menghadapi lautan ini.

Malam itu, mereka berjalan bersama di sepanjang jalan kota, menikmati kebersamaan yang tak pernah mereka bayangkan bisa mereka rasakan. Setiap langkah terasa penuh makna. Tidak ada lagi keraguan, tidak ada lagi ketakutan yang membekap hati mereka hanya ada dua orang yang saling berpegangan tangan, menyebrangi lautan yang luas menuju masa depan yang penuh harapan.

Dan mungkin, di sinilah babak baru dalam perjalanan cinta mereka dimulai. Mereka tahu bahwa jalan ini akan penuh dengan gelombang dan badai, tetapi mereka juga tahu satu hal mereka tidak akan lagi menghadapinya sendirian. Mereka akan menyebrangi lautan ini bersama, apapun yang terjadi.*

Bab 6  Lautan Tak Lagi Memisahkan

Alya berdiri di tepi pantai yang sepi, angin laut menyapu lembut wajahnya. Ia menatap horizon, tempat laut dan langit bertemu, seolah memanggilnya untuk kembali berpikir. Sejak kedatangannya di kota tempat Dika tinggal, banyak hal yang telah berubah dalam dirinya. Hari-hari yang penuh cemas dan keraguan kini mulai menghilang, tergantikan oleh perasaan yang lebih tenang, meski tak sepenuhnya bebas dari tantangan.

Hari itu, setelah beberapa hari mereka menghabiskan waktu bersama, Alya dan Dika memutuskan untuk mengunjungi pantai. Mereka berjalan bergandengan tangan di sepanjang bibir pantai, mengikuti jejak kaki mereka yang tertinggal di pasir. Laut yang luas seolah menjadi metafora bagi perjalanan hubungan mereka yang penuh tantangan, namun juga penuh dengan harapan.

“Alya,” suara Dika terdengar, membawa Alya keluar dari lamunannya. “Aku tahu kita sudah banyak berbicara tentang masa depan, tapi… aku ingin mendengar darimu, apa yang kamu rasakan sekarang?”

Alya menoleh dan melihat Dika yang berjalan di sampingnya, matanya penuh perhatian. Untuk pertama kalinya dalam beberapa hari, Alya merasa bebas untuk mengungkapkan apa yang ada di hatinya. Selama ini, ada perasaan terjaga, seolah ia harus berhati-hati dalam setiap kata yang ia ucapkan, tetapi kini—dengan Dika di sampingnya, di dunia yang sama—segala kekhawatiran itu mulai hilang.

“Aku merasa… lebih ringan,” jawab Alya pelan, sambil memandang Dika dengan senyum lembut. “Dulu, aku selalu merasa berat ketika memikirkan jarak kita. Tapi sekarang, setelah kita bertemu, rasanya seperti lautan yang memisahkan kita tidak lagi ada. Memang, kita masih terpisah oleh jarak fisik, tetapi aku merasa kita sudah lebih dekat.”

Dika berhenti sejenak, menatap Alya dengan pandangan yang dalam, seolah mencerna setiap kata yang diucapkannya. “Aku merasa sama, Alya. Dulu, aku selalu berpikir tentang bagaimana kita bisa bertahan, bagaimana kita bisa mengatasi jarak ini. Tetapi sekarang… setelah kita bersama seperti ini, aku mulai merasa bahwa semua itu bukanlah hal yang harus ditakuti. Kita sudah melangkah jauh, dan aku rasa kita bisa melewati apapun yang datang.”

Alya tersenyum lebih lebar, meski ada sedikit rasa haru di matanya. Mereka telah melalui begitu banyak rintangan, dan meskipun mereka tahu bahwa perjalanan mereka masih panjang, mereka sudah berada pada titik di mana mereka mulai merasa lebih yakin. Ada rasa percaya yang tumbuh di antara mereka, percaya bahwa mereka bisa mengatasi apapun, karena mereka tidak lagi merasa terpisah oleh lautan yang luas itu.

“Sejujurnya,” lanjut Alya dengan suara lebih rendah, “aku merasa takut sebelum aku datang ke sini. Takut kalau kita tidak bisa seperti yang aku bayangkan, takut kalau setelah bertemu, kita malah merasa lebih jauh. Tapi kenyataannya, aku merasa semakin dekat denganmu.”

Dika mengangguk pelan, kemudian menggenggam tangan Alya dengan erat. “Aku pun merasakan hal yang sama. Ketika kita berkomunikasi lewat pesan atau video call, aku selalu merasa ada sesuatu yang kurang. Tapi sekarang, aku mulai merasa bahwa meskipun kita berada di tempat yang berbeda, kita tetap bisa berada di satu dunia yang sama, di satu tujuan yang sama.”

Mereka melanjutkan perjalanan di sepanjang pantai, langkah kaki mereka ringan, seiring dengan perasaan yang kini lebih tenang dan lebih pasti. Lautan yang dulunya tampak begitu besar dan menakutkan kini terasa lebih kecil, seolah sudah tidak lagi mampu memisahkan mereka. Mereka sudah menemukan cara untuk menghadapinya bersama, dan meskipun perjalanan masih panjang, mereka tahu bahwa mereka tidak akan lagi merasa sendirian.

Pagi-pagi setelahnya, Alya dan Dika memutuskan untuk berjalan ke sebuah kafe kecil di sudut kota. Di tengah secangkir kopi panas dan percakapan ringan, mereka berbicara tentang kehidupan mereka di masa depan. Dika menatap Alya dengan penuh perhatian, menyadari bahwa semakin lama, ia merasa semakin yakin dengan keputusan yang telah mereka buat.

“Alya,” kata Dika, menatapnya dengan serius. “Aku ingin kita lebih serius tentang masa depan kita. Tidak hanya soal hubungan kita, tapi juga tentang langkah-langkah besar yang harus kita ambil.”

Alya mengerutkan dahi, sedikit terkejut, namun juga penasaran dengan arah percakapan ini. “Apa maksudmu, Dika?”

Dika menarik napas, menatap Alya dengan mata yang penuh keyakinan. “Aku ingin kita mulai merencanakan bagaimana kita bisa hidup bersama. Aku sudah cukup lama berpikir tentang ini—tentang bagaimana kita bisa melewati jarak yang memisahkan kita, tentang bagaimana kita bisa memulai hidup bersama, tanpa harus terus terpisah oleh lautan.”

Alya terdiam. Kata-kata Dika membuat jantungnya berdegup kencang. Ini adalah keputusan besar, jauh lebih besar dari yang ia bayangkan. Memulai hidup bersama berarti mereka harus menghadapi banyak hal bukan hanya tentang cinta, tetapi juga tentang pekerjaan, keluarga, dan keputusan-keputusan besar lainnya. Namun, ada sesuatu dalam hati Alya yang tahu bahwa ini adalah langkah yang tepat.

“Aku tahu ini tidak akan mudah,” lanjut Dika, “tetapi aku merasa kita sudah cukup kuat untuk menjalani ini bersama. Aku ingin menghabiskan waktu lebih banyak denganmu, tanpa terhalang jarak. Aku ingin kita bisa menjalani kehidupan bersama.”

Alya menatap Dika, matanya sedikit berkaca-kaca, tetapi senyum itu tak bisa ia sembunyikan. “Aku juga ingin itu, Dika. Aku merasa kita sudah melewati banyak hal bersama, dan sekarang saatnya kita berani melangkah lebih jauh. Lautan yang dulu memisahkan kita tak lagi ada, dan aku percaya kita bisa menghadapinya bersama.”

Mereka saling tersenyum, dengan harapan yang semakin besar di hati mereka. Keputusan untuk melangkah bersama dalam kehidupan nyata sudah ada di depan mata. Lautan yang dulunya tampak tak terjangkau kini hanya menjadi kenangan yang semakin jauh, tak lagi menjadi penghalang di antara mereka.

Namun, Alya tahu satu hal pasti meskipun mereka telah mengatasi jarak dan semua rintangan yang ada, perjalanan mereka belum selesai. Ada banyak tantangan yang akan datang, dan mereka harus siap menghadapinya bersama. Tetapi yang lebih penting, mereka sudah tahu bahwa mereka tidak akan lagi merasa terpisah. Mereka memiliki satu sama lain, dan itu lebih dari cukup untuk melewati segala sesuatu yang ada di depan mereka.

Hari-hari setelah percakapan itu, mereka mulai merencanakan langkah-langkah konkret untuk hidup bersama. Alya memikirkan kemungkinan untuk pindah ke tempat Dika, atau mungkin Dika yang akan mencari peluang di Jakarta. Meskipun belum ada keputusan pasti, satu hal yang mereka yakini mereka tidak akan lagi dipisahkan oleh jarak.

Di laut yang luas, di bawah langit yang tak terbatas, mereka kini tahu bahwa cinta mereka lebih besar daripada lautan itu sendiri. Mereka telah menyebrangi lautan yang tak terlihat, dan kini mereka berada di tempat yang lebih dekat dari sebelumnya. Lautan itu, yang dulu terasa begitu menghalangi, kini terasa begitu kecil. Karena mereka tahu, tak ada jarak yang cukup besar untuk memisahkan dua hati yang telah memilih untuk bersama.***

—————THE END————-

 

Source: ASIFA HIDAYATI
Tags: #cintajarakjauh#cintasejati#HubunganLDR#LautanCinta#PertemuanSetelahJarak
Previous Post

SAAT HUJAN MENGINGATKAN MU

Next Post

CINTA YANG TERJUAL

Related Posts

JIKA RINDU BISA TERBANG

JIKA RINDU BISA TERBANG

May 11, 2025
“MENJAGA CINTA DI ANTARA KILOMETER”

“MENJAGA CINTA DI ANTARA KILOMETER”

May 10, 2025
SELAMANYA MILIKMU: LANGIT YANG SAMA, CINTA YANG BERBEDA

SELAMANYA MILIKMU: LANGIT YANG SAMA, CINTA YANG BERBEDA

May 9, 2025
KISAH DI BALIK LAYAR

KISAH DI BALIK LAYAR

May 8, 2025
“JARAK MENGUJI, HATI BERTAHAN”

“JARAK MENGUJI, HATI BERTAHAN”

May 7, 2025
RINDU YANG TAK TERUCAP

RINDU YANG TAK TERUCAP

May 6, 2025
Next Post
CINTA YANG TERJUAL

CINTA YANG TERJUAL

Aku Masih Mencintaimu

Aku Masih Mencintaimu

LANGIT YANG TERPISAH

LANGIT YANG TERPISAH

Top Stories

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

May 17, 2025
KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

May 16, 2025
KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

May 15, 2025

Tentang Kisah Cinta

Kami menyajikan kumpulan novel dan cerpen cinta yang menggambarkan berbagai sisi cinta, dari yang manis hingga yang pahit, dari yang bahagia hingga yang menyayat hati

Connect on Social

© 2024 Kisahcinta.id

No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta

© 2024 Kisahcinta.id